134
Panduan Pembelajaran BIOLOGI X SMAMA
C. Plathyhelminthes
Orang sering menyebut phylum cacing ini sebagai cacing pipih.
1. Ciri-ciri Plathyhelminthes
a. Tubuh pipih dan tidak berbuku-buku.
b. Sistem pencernaan dengan gastrovaskuler.
c. Sistem pencernaan tidak sempurna tidak memiliki anus.
d. Sistem transportasi secara difusi melalui seluruh permukaan tubuh.
e. Sistem saraf dengan ganglion.
f. Sistem ekskresi menggunakan sel api.
g. Tidak memiliki sistem peredaran darah.
h. Berespirasi secara difusi melalui seluruh permukaan tubuhnya.
2. Struktur Tubuh Plathyhelminthes
Tubuh cacing ini terdiri atas 3 lapisan jaringan, yaitu ektoderm lapisan luar, mesoderm lapisan tengah, dan endoderm lapisan dalam serta tidak
memiliki rongga tubuh atau bersifat triploblastik aselomata.
3. Klasifikasi Plathyhelminthes
Plathyhelminthes dikelompokkan menjadi 3 kelas, yaitu: a.
Turbellaria atau cacing berbulu getar. b.
Trematoda atau cacing isap. c.
Cestoda atau cacing pita.
a. Turbellaria cacing berbulu getar
Turbellaria atau cacing berbulu getar merupakan cacing yang hidup bebas. Contohnya adalah Planaria.
Planaria adalah cacing yang hidup secara bebas di perairan. Cacing
ini bisa dijadikan sebagai bioindikator terhadap kadar pencemaran di suatu perairan. Cacing ini suka hidup di perairan yang bersih atau belum
tercemar.
Planaria memiliki sistem pencernaan yang masih sederhana. Makanan
akan ditangkap melalui tonjolan faring yang berada pada bagian tengah ventral tubuhnya. Makanan yang sudah ditangkap lalu dimasukkan
dalam usus yang bercabang-cabang untuk dicerna. Hasil pencernaan makanan akan berdifusi ke seluruh jaringan tubuh, sementara itu sisa
pencernaan akan dikeluarkan lewat mulut. Planaria merupakan cacing yang bersifat karnivora.
Animalia
135
Cacing ini memiliki alat pengeluaran atau ekskresi berupa sel api atau flame cell
. Planaria bereproduksi secara seksual dengan peleburan sperma dan ovum. Planaria bersifat hermafrodit, namun demikian tidak pernah
ada pembuahan sendiri karena matangnya sperma dan ovum tidak dalam waktu yang bersamaan. Reproduksi aseksual dengan fragmentasi atau
memotong diri. Setiap potongan tubuhnya mampu menjadi individu baru.
Pada bagian kepala, di antara stigma bintik mata terdapat ganglion yang merupakan pusat saraf. Ganglion mengalami pemanjangan oleh saraf
tepi yang menuju ke arah posterior. Antara kedua saraf tepi tersebut, akan dihubungkan oleh cabang saraf melintang, sehingga susunan sarafnya
seperti tangga, oleh karena itu sistem saraf pada Planaria disebut sistem saraf tangga tali.
b. Trematoda cacing isap
Anggota cacing ini semuanya bersifat parasit, baik pada hewan ternak ataupun pada manusia. Tubuh cacing ini dibungkus oleh kutikula untuk
mempertahankan diri. Contoh Trematoda antara lain:
1
Fasciola hepatica cacing hati pada ternak Cacing ini memiliki panjang 2-6 cm. Habitatnya adalah di hati ternak.
Sama dengan Plathyhelminthes yang lain, cacing ini memiliki sel api atau flame cell
sebagai alat ekskresi, sistem saraf tangga tali serta memiliki alat pengisap atau sucker yang terdapat pada bagian mulut serta pada bagian
ventral atau perut. Cacing ini bereproduksi secara generatif. Satu individu bisa menghasilkan 2000-4000 telur. Telur yang sudah dibuahi akan
melewati saluran empedu kemudian ke usus dan akan keluar bersama feses. Cacing ini memiliki hospes sementara siput air dan hospes tetapnya
adalah ternak.
Daur hidup cacing ini dimulai dari telur yang berada dalam feses keluar ke lingkungan. Telur itu akan menetas menjadi larva bersilia
mirasidium dan masuk ke dalam tubuh siput sebagai inang antara, lalu berkembang menjadi sporosista, kemudian menjadi redia, lalu sekaria.
Serkaria keluar dari tubuh siput, lalu menempel pada tanaman, kemudian berkembang menjadi metaserkaria. Ketika tanaman dimakan ternak,
metaserkaria akan menetas di usus dan dewasa dalam organ hati.
136
Panduan Pembelajaran BIOLOGI X SMAMA
2 Clonorchis sinensis
Clonorchis sinensis merupakan cacing hati yang parasit pada hati
manusia. Cacing ini hospes antaranya adalah ikan air tawar. Daur hidup cacing ini dimulai dari telur yang keluar bersama feses, kemudian menetas
menjadi sporosista yang akan berkembang menjadi redia. Redia akan berubah menjadi serkaria yang akan hidup di dalam tubuh ikan air tawar.
Ketika ikan air tawar yang terinfeksi larva cacing ini tidak dimasak secara sempurna dan dimakan manusia, maka akan masuk menuju saluran
pencernaan dan menuju saluran empedu dan dewasa dalam organ hati. Cacing ini dapat merusak sel-sel hati dan dapat menyebabkan kematian.
c. Cestoda cacing pita