Persepsi Dan Preferensi Masyarakat Tentang Aspek Perancangan Kota Dalam Upaya Pelestarian Kota Lama Tangerang

(1)

(2)

PERSEPSI DAN PREF

PERANCANGAN KO

Diajukan Untuk Me Progr

R

PROGRAM STUD

FAKULTAS

UNIVER

EFERENSI MASYARAKAT TENTAN

KOTA DALAM UPAYA PELESTARIA

LAMA TANGERANG

TUGAS AKHIR

Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Sarjana Strata 1 ogram Studi Perencanaan Wilayah dan Kota

Oleh:

Rahnandahegar Ardin Adinugrah 10608001

DI PERENCANAAN WILAYAH DAN

LTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER

ERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

2012

NG ASPEK

IAN KOTA

ata 1

N KOTA

TER


(3)

(4)

ABSTRAK

Kota Lama Tangerang adalah kawasan pecinan yang merupakan cikal bakal berkembangnya Kota Tangerang. Bangunan-bangunan dan kebudayaan sehari-hari pun masih cukup kental dengan budaya Cina yang telah berbaur dengan budaya lokal, seperti betawi dan sunda. Namun gencarnya pembangunan di Kota Tangerang ini menimbulkan hilangnya unsur historis pada kawasan ini. Banyak mengandung nilai historis dan budaya membuat Pemerintah Kota Tangerang menyusun rencana Revitalisasi Kota Lama Tangerang dan menjadikan Kota Lama Tangerang sebagai kawasan wisata budaya. Namun program tersebut belum terealisasi secara optimal.

Tujuan studi ini adalah mengetahui bagaimana persepsi dan preferensi masyarakat tentang aspek perancangan kota dalam upaya pelestarian Kota Lama Tangerang. Dalam studi ini, aspek perancangan kota yang dibahas adalah aspek perancangan kota dari Hamid Shirvani yang terdiri daribuilding form and massing,open space,

pedestrian ways, signage, dan activity support. Aspek-aspek perancangan kota tersebut diturunkan lagi kedalam beberapa variabel, yang kemudian penilaian persepsi dan preferensi masyarakat akan dilakukan dengan menggunakan perbandingan kondisi dari masing-masing variabel.

Dalam penelitian ini menggunakan dua alat analisis yaitu analisis deskriptif dan

Importance Performance Analysis yang terdiri dari analisis gap dan analisis kuadran. Penelitian ini juga menggunakan panduan berupa aspek perancangan kota sebagai dasar penelitian. Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat diketahui arahan pengembangan dari variabel-variabel yang masuk dalam prioritas utama, pertahankan, prioritas rendah dan berlebihan dalam analisis kuadran.

Kata kunci: Persepsi dan Preferensi, Masyarakat Kota Lama Tangerang, Aspek Perancangan Kota ,Importance Performance Analysis


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang menjadikan langit dan bumi dan memberikan kehidupan pada makluk-Nya. Dan atas ridha-Nya pula tugas akhir dengan judul “Persepsi dan Preferensi Masyarakat Tentang Aspek Perancangan Kota Dalam Upaya Pelestarian Kota Lama Tangerang” ini bisa diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW.

Penulisan tugas akhir ini merupakan bagian dari proses yang tak terpisahkan dari kegiatan menuntut ilmu, namun ini bukan merupakan proses akhir melainkan sebagai langkah awal untuk terus berkarya demi kesejahteraan bangsa Indonesia.

Selama melakukan penulisan tugas akhir ini, penulis menyadari betul bahwa tanpa bimbingan dan motivasi dari pembimbing saya, penulisan ini mungkin belum berakhir. Oleh karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan tertinggi saya haturkan kepada Ibu Rifiati Safariah, ST., MT. Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini. Tanpa jasa-jasa mereka, sulit rasanya tugas kerja praktik ini bisa diselesaikan. Sehingga dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang mendalam kepada:

1. Yang tercinta Ayahanda dan Ibunda yang paling berjasa dalam kehidupan penulis. Gilang Primanda Rahtiantudi Kakak ku satu-satunya yang sangat mendorong agar penulis menyelesaikan laporan ini.;

2. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, M.Sc., selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

3. Bapak Prof. Dr. H. Denny Kurniadie, Ir., M.Sc, selaku Dekan Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Komputer Indonesia;


(6)

4. Ibu Ir. Romeiza Syafriharti, M.T., selaku Ketua Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, dosen wali dan dosen penguji yang telah memberikan semangat kepada penulis;

5. Ibu Rifiati Safariah, ST., MT. selaku dosen pembimbing, sekali lagi saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah memberikan banyak sekali waktu, pemikiran dan saran sehingga tugas akhir ini menjadi lebih baik dan berari;

6. Ibu Dr. Ir. Lia Warlina, M.Si., selaku dosen penguji;

7. Teman-teman angkatan 2008 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota (Fahmi, Melati, Dwi, Rian, Babas, Reza, Sarwen, Tendri, Budi, Anto, Nilton, Giri, Yudis, Feri, Riki, Stefanus, Deri), yang selama 4 tahun di Kota Bandung ini selalu memberikan canda, tawa serta inspirasinya; 8. Teman-teman seperjuangan tugas akhir (kang Riski, kang Sidik, kang

Cucu, kaka Ona, Dedi, kang Herdi, Fahmi, Melati, Dwi, Budi);

9. Kepada Seluruh angkatan Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota dan teh Vitri terima kasih atas bantuannya mengurus surat-surat perizinan dan lain-lain;

10. Kepada teman-teman selama saya di Bandung yang tidak bisa disebutin satu-satu, saya hanya bisa bilangHatur nuhun Sadayana!;

11. Kepada kokoh Weli dan kawan-kawan di Tangerang, terima kasih sudah membantu saya selama saya survey di Kota Lama;

12. Kepada Bapak Kos,dan Ibu Kos atas dukungannya selama di Bandung; 13. Segenap pribadi yang mungkin terlupakan.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang ada dalam tugas akhir ini. Oleh karena itu saran dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga Allah SWT memberikan rahmatnya kepada semua pihak yang telah membantu kami selama menyelesaikan tugas akhir ini.

Bandung, Agustus 2012


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Permasalahan ...………. 4

1.3 Tujuan dan Sasaran ... 4

1.4 Ruang lingkup ... 5

1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah ... 5

1.4.2 Ruang Lingkup Materi ... 5

1.5 Metodologi Penelitian... 6

1.5.1 Metode Pengumpulan Data ... 6

1.5.1.1 Teknik Pengambilan Data ... 6

1.5.1.2 Desain Survey ... 8

1.5.1.3 Teknik Sampling ... 11

1.6 Metode Analisis ... 12

1.6.1.1 Analisis Deskriptif ... 12

1.6.1.2Important Performance Analysis ... 12

1.7 Kerangka Pemikiran ... 16

1.8 Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Bentuk-Bentuk Pelestarian/Konservasi ... 18

2.2 Definisi Wisata Budaya ... 21

2.3 Persepsi Masyarakat ... 26


(8)

2.3.2 Faktor yang mempengaruhi Persepsi Masyarakat ... 27

2.4 Definisi Perancangan Kota dan Elemen-Elemen Rancang Kota ... 27

2.4.1 Peruntukan Lahan (Land Use)... 28

2.4.2 Tata Massa dan Bentuk Bangunan (Building Form And Massing) .. 30

2.4.3 Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking)... 33

2.4.4 Ruang Terbuka (Open Space) ... 36

2.4.5 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)... 39

2.4.6 Pendukung Kegiatan (Activity Support)... 40

2.4.7 Tata Informasi (Signage) ... 41

2.4.8 Pelestarian (Preservation)... 43

2.5 Contoh Pelestarian Kawasan Kota Lama ... 44

2.5.1 Kota Tua Jakarta ... 44

2.5.3 Kota Tua Tanjong Pagar (Singapura) ... 44

2.5.3 Kota Tua Tianjin (Cina)... 45

2.5.4 Kota Lama Semarang ... 45

BAB III IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RANCANG KOTA 3.1 Gambaran Umum Wilayah Studi ... 48

3.2 Identifikasi Karakteristik Rancang Kota ... 52

3.2.1 KarakteristikLand Use... 55

3.2.2 KarakteristikBuilding Form and Massing(Bentuk dan massa bangunan)………... 58

3.2.3 Karakteristikcirculation and parking... 59

3.2.4 Karakteristikopen space... 62

3.2.5 Karakteristikpedestrian ways... 63

3.2.6 Karakteristiksignage... 65


(9)

BAB IV ANALISIS PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT TENTANG ASPEK PERANCANGAN KOTA DALAM UPAYA

PELESTARIAN KOTA LAMA TANGERANG

4.1 Analisis Persepsi Masyarakat Tentang Apek Perancangan Kota ... 72

4.1.1 Analisis Persepsi Masyarakat Tentang AspekBuilding Form And Massing ... 73

4.1.2 Analisis Persepsi Masyarakat Tentang AspekOpen Space ... 75

4.1.3 Analisis Persepsi Masyarakat Tentang AspekPedestrian Ways .... 76

4.1.4 Analisis Persepsi Masyarakat Tentang AspekSignage ... 78

4.1.5 Analisis Persepsi Masyarakat Tentang AspekActivity Support ... 79

4.2 Analisis Preferensi Masyarakat Tentang Aspek Perancangan kota ... 82

4.2.1 Analisis Preferensi Masyarakat Tentang AspekBuilding Form And Massing... 82

4.2.2 Analisis Preferensi Masyarakat Tentang AspekOpen Space... 84

4.2.3 Analisis Preferensi Masyarakat Tentang AspekPedestrian Ways . 85 4.2.4 Analisis Preferensi Masyarakat Tentang AspekSignage ... 87

4.2.5 Analisis Preferensi Masyarakat Tentang AspekActivity Support.. 89

4.3 Bobot Persepsi dan Preferensi Aspek Perancangan Kota Setiap Variabel ... 91

4.4 Analisis Kuadran Persepsi dan Preferensi Tentang Apek Perancangan Kota ... 93

4.5 Analisis Kesenjangan /Gap Tentang Aspek Perancangan Kota ... 95

BAB V Kesimpulan 5.1 Kesimpulan ... 97

5.2 Rekomendasi ... 102

5.3 Kelemahan Studi ... 102

5.4 Studi Lanjutan ... 103


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Desain Survey ... 8

Tabel 1.2 : Bobot Persepsi dan Preferensi Setiap Variabel ... 13

Tabel 3.1 : Potensi dan Permasalahan Tentang AspekLand Use(Guna Lahan) ... 55

Tabel 3.2 : Potensi Permasalahan Tentang AspekBuilding Form And Massing (Bentuk dan Massa Bangunan) ... 58

Tabel 3.3 : Potensi Permasalahan Tentang AspekCirculation and Parking (Sirkulasi dan Parkir)... 60

Tabel 3.4 : Potensi Permasalahan Tentang AspekOpen Space (Ruang Terbuka) ... 62

Tabel 3.5 : Potensi Permasalahan Tentang AspekPedestrian Ways(Jalur Pejalan Kaki) ... 63

Tabel 3.6 : Potensi Permasalahan Tentang AspekSignage(Tata Informasi) . 66 Tabel 3.7 : Potensi Permasalahan Tentang AspekActivity Support(Kegiatan Pendukung) ... 68

Tabel 3.8 : Potensi Permasalahan Tentang AspekActivity Support(Kegiatan Pendukung khusus)... 68

Tabel 4.1 : Bobot Persepsi Masyarakat ... 72

Tabel 4.2 : Bobot Persepsi Masyarakat Tentang AspekBuilding Form And Massing... 74

Tabel 4.3 : Bobot Persepsi Masyarakat Tentang AspekOpen Space... 75

Tabel 4.4 : Bobot Persepsi Masyarakat Tentang AspekPedestrian Ways... 77

Tabel 4.5 : Bobot Persepsi Masyarakat Tentang AspekSignage... 78

Tabel 4.6 : Bobot Persepsi Masyarakat Tentang AspekActivity Support... 80

Tabel 4.7 : Bobot Preferensi Masyarakat ... 82

Tabel 4.8 : Bobot Preferensi Masyarakat Tentang AspekBuilding Form And Massing... 83

Tabel 4.9 : Bobot Preferensi Masyarakat Tentang AspekOpen Space... 85

Tabel 4.10 : Bobot Preferensi Masyarakat Tentang AspekPedestrian Ways... 86


(11)

Tabel 4.12 : Bobot Preferensi Masyarakat Tentang AspekActivity Support.... 90 Tabel 4.13 : Bobot Persepsi dan Preferensi Setiap Variabel ... 91 Tabel 5.1 : Tingkat Kepentingan Aspek Perancangan Kota Terhadap

Pelestarian Kota Lama ... 100 Tabel 5.2 : Arahan Pengembangan ... 101


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Peta Lingkup Penelitian ... 5

Gambar 1.2 : Diagram Kartesius... 14

Gambar 1.3 : Kerangka Pemikiran... 16

Gambar 2.1 : Kota Tua Tanjong Pagor ... 45

Gambar 3.1 : Peta Abad 17-18 Kota Lama dan Sekitarnya ... 50

Gambar 3.2 : Peta Kota Lama Akhir Abad 19 ... 52

Gambar 3.3 : Peta Kawasan Kota Lama Tangerang ... 54

Gambar 3.4 : Kondisi Eksisting Bentuk dan Massa Bangunan ... 58

Gambar 3.5 : Kondisi Eksisting Sirkulasi dan Parkir ... 61

Gambar 3.6 : Kondisi EksistingPedestrian Waysdi Permukiman... 64

Gambar 3.7 : Kondisi EksistingPedestrian Waysdi Kawasan Komersial... 64

Gambar 3.8 : Kondisi EksistingPedestrian Waysdi Ruang Terbuka ... 65

Gambar 3.9 : Kondisi EksistingSignage... 65

Gambar 3.10: Kegiatan PKL... 67

Gambar 3.11: Museum BentengHeritage... 67

Gambar 3.12: Kegiatan Pendukung Khusus ... 70

Gambar 4.1 : Bobot Persepsi Masyarakat Tentang AspekBuilding Form And Massing ... 74

Gambar 4.2 : Bobot Persepsi Masyarakat Tentang AspekOpen Space... 76

Gambar 4.3 : Bobot Persepsi Masyarakat Tentang AspekPedestrian Ways... 77

Gambar 4.4 : Bobot Persepsi Masyarakat Tentang AspekSignage... 79

Gambar 4.5 : Bobot Persepsi Masyarakat Tentang AspekActivity Support... 81

Gambar 4.6 : Bobot Preferensi Masyarakat Tentang AspekBuilding Form And Massing... 84

Gambar 4.7 : Bobot Preferensi Masyarakat Tentang AspekOpen Space... 85

Gambar 4.8 : Bobot Preferensi Masyarakat Tentang AspekPedestrian Ways.. 87

Gambar 4.9 : Bobot Preferensi Masyarakat Tentang AspekSignage... 89


(13)

Gambar 4.11: Analisis Kuadran Persepsi dan Preferensi Masyarakat Tentang Aspek Perancangan Kota ... 93 Gambar 4.12: Gap Persepsi dan Preferensi Masyarakat Tentang Aspek

Perancangan Kota Terhadap Upaya Pelestarian Kota Lama


(14)

BAB 1 Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Perancangan kota merupakan suatu proses yang memberikan arahan bagi terwujudnya suatu lingkungan binaan fisik yang layak dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, kemampuan sumber daya setempat serta daya dukung lahannya. Perancangan kota tidak akan terlepas dari rentetan kolektif memori dari masa lalu yang ditengarai menjadiurban heritage tourism(Widodo, 2004). Peninggalan sejarah dalam wujud artefak kota menjadi pusaka mampu menciptakan keunikan sebuah tempat, membangunbrand dan kondisi yang kuat terhadap skala makro kota (Rossi, 1982). Selain itu, peningkatan citra dan identitas kota dengan pengenalan pada aset pusaka terbukti menumbuhkan kebanggaan pada warganya sehingga memberi semangat pada komunitas untuk lebih aktif membangun kotanya.

Kota Lama Tangerang terletak di Kecamatan Tangerang, kawasan kota ini merupakan peninggalan artefak kota lama cikal bakal berdirinya Kota Tangerang. Perkembangan Kota Lama Tangerang dimulai dari kedatangan Warga Cina yang mendirikan perkampungan yang diberi nama Petak Sembilan, sebagai perkampungan dengan kegiatan usaha pertanian dan perkebunan gula, kopi dan lada yang dikuasai pemerintah Hindia Belanda. Perkembangan selanjutnya Belanda membuat stasiun kereta api lengkap dengan gudang gula. Kota Lama Tangerang tidak bisa terlepas dari empat hal utama yang saling terkait. Keempat hal itu adalah peranan Sungai Cisadane, lokasi Tangerang di tapal batas antara Banten dan Jakarta, status bagian terbesar daerah Tangerang sebagai tanah partikelir dalam jangka waktu lama, dan bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam masyarakat Tangerang (Wahidin Halim, 2008). Sungai Cisadane mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian di Kota Tangerang baik pada zama kerajaan maupun zaman pemerintahan Hindia Belanda, selain itu Sungai Cisadane yang membelah tepat di pusat Kota Tangerang membuat Kota Tangerang termasuk salah satu kota pelabuhan


(15)

yang datang dari Negeri Cina. Kedatangan pedagang-pedagang Cina yang kemudian mendirikan permukiman merasa betah dan tinggal selama bertahun-tahun. Selanjutnya kebudayaan mereka berasimilasi dengan kebudayaan Melayu Betawi yang juga berpindah tempat dari Batavia pada zaman itu. Dari pertemuan itu lahirlah jenis-jenis budaya yang bercirikan Melayu Betawi dan China, seperti tari topeng, gambang kromong, tradisi perkawinan Chiou Thaou, tari cokek. Asimilasi budaya tersebut berlanjut hingga kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, yang menjadikan Kota Tangerang yang bermula dari Kota Lama Tangerang tidak lepas dari perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Sampai saat ini pun budaya tersebut tetap ada dan dipertahankan oleh beberpa komunitas tertentu.

Namun seiring perjalanan waktu dan perkembangan Kota Tangerang yang pesat, membuat Kota Lama Tangerang terpinggirkan akibat pembangunan kota baru di Kota Tangerang. Bangunan-bangunan kuno yang bersejarah di Kawasan Kota Lama Tangerang ini pun perlahan-lahan mengalami perubahan fisik, seperti bangunan rumah kuno bersejarah yang tak terpakai dan ditinggal pemiliknya sehingga bangunan tak terawat dan menjadi rusak. Gejala penurunan kualitas fisik tersebut dengan mudah dapat diamati pada Kawasan Kota Lama Tangerang yang berada dalam tekanan pembangunan. Dengan kondisi pembangunan yang ada sekarang, budaya membangun pun telah mengalami peningkatan, hal ini terjadi karena kekuatan-kekuatan masyarakat tidak menjadi bagian dalam proses perencanaannya.

Bagian dari permasalahan itu, akan membuat kawasan kota yang menyimpan nilai kesejarahan semakin terdesak dan terkikis. Perangkat rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum banyak dipakai secara sempurna untuk mengendalikan wujud kota, secara umumpun belum dapat memberikan panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap fenomena urban, baik situasi dan kondisi serta masyarakat yang menikmatinya. Atau dengan kata lain, masih terdapat kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga dimensi. Dengan demikian, konservasi/pelestarian bukanlah


(16)

romantisme masa lalu atau upaya mengawetkan kawasan kota yang bersejarah, namun lebih ditujukan untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi melalui pemahaman tentang sejarah perkotaan dan aspek-aspek dalam pelestarian yang dijadikan dasar dalam merancang sebuah kota.

Sesuai dengan KLHS RTRW Kota Tangerang tahun 2011-2030, bahwa Kota Tangerang mengalokasikan Kawasan Kota Lama Tangerang sebagai kawasan budaya (Urban Heritage). Kota Tangerang sejatinya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kota wisata budaya, bangunan bersejarah seperti Bendungan Pintu Sepuluh atau biasa disebut Bendung Sengego di Sungai Cisadane, Vihara Nimmala atau Kelenteng Boen San Bio, Rumah Tua Kapiten Tionghoa dan sebagainya yang masih tetap dipelihara. Demikian pula budaya lokal yang dipengaruhi oleh etnik Tionghoa seperti Peh-Cun (Balap Perahu Naga) di Sungai Cisadane, Tari Cokek, tradisi chio-thaou, musik tanjidor dan lain-lain. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi Kota Tangerang sebagai kota industri dan perdagangan yang modern.

Kegiatan di Kota Lama Tangerang pun menjadi daya tarik sendiri, wisata kulinernya serta aktivitas perekonomian lainnya seperti pasar tradisional menjadi favorit masyarakat untuk berkunjung ke kawasan ini. Namun, kegiatan tersebut membuat citra kawasan Kota Lama Tangerang yang merupakan kawasan pecinan menghilang. Hal tersebut menandakan bahwa kebanyakan masyarakat berkunjung ke kawasan ini adalah untuk sekedar berkunjung menikmati hidangan kuliner yang dijajakan para pedagang kaki lima (PKL) dan bukan untuk menikmati wisata budaya di kawasan ini. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah yang menjadikan kawasan Kota Lama Tangerang sebagai kawasan wisata budaya. Padahal, jika dilihat lebih mendalam lagi kawasan Kota Lama ini mempunyai potensi dari bangunan-bangunan nya yang mempunyai ciri khas etnis Tionghoa.

Namun bukan berarti aktivitas seperti pasar tradisional dan pedagang kaki lima (PKL) yang menajajakan kuliner yang beragam dihilangkan, semua itu harus


(17)

direncanakan dengan baik, salah satunya dengan teori perancangan kota. Teori perancangan kota sendiri digunakan untuk membentuk ruang fisik kota, dimana ditekankan pada suatu bentuk fisik berupa tempat (place) yang merupakan suatu ruang oleh manusia yang dianggap mempunyai makna. Teori perancangan kota ini juga digunakan dalam upaya pelestarian di Kawasan Kota Lama Tangerang.

1.2 Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, kenyataannya upaya revitalisasi atau pelestarian Kota Lama Tangerang masih belum terealisasi. Sedangkan dalam pengembangan kawasan seperti Kota Lama Tangerang ini harus melibatkan masyarakat, sehingga menjadi hal yang penting untuk mengetahui Bagaimana persepsi dan preferensi masyarakat tentang aspek perancangan kota dalam upaya pelestarian Kota Lama Tangerang tersebut.

1.3 Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi aspek perancangan kota dalam upaya pelestarian kawasan Kota Lama Tangerang berdasarkan persepsi dan preferensi masyarakat. Adapun sasaran-sasaran untuk mencapai tujuan tersebut adalah:

• Mengidentifikasi karakteristik aspek perancangan kota di Kawasan Kota Lama Tangerang

• Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang aspek perancangan kota dalam upaya pelestarian Kota Lama Tangerang

• Mengidentifikasi preferensi masyarakat tentang aspek perancangan kota dalam upaya pelestarian Kota Lama Tangerang

• Menganalisis kesenjangan (gap) antara persepsi dan preferensi masyarakat tentang aspek perancangan kota dalam upaya pelestarian kawasan Kota Lama Tangerang.


(18)

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian yang akan di uraikan dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu ruang lingkup ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup materi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini :

1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah

Lingkup wilayah studi adalah Kota Lama Tangerang yang berada di Kecamatan Tangerang, Jalan Ki Samaun,

Gambar 1.1 Peta Lingkup Penelitian

Sumber: RTRK Kali Pasir tahun 2007

1.4.2 Ruang Lingkup Materi

Ruang lingkup materi dari penelitian ini meliputi Konsep Perancangan Kota, adalah dapat dilihat di bawah ini :

deliniasi

Zona pemerintahan Zona stasiun Zona pecinan Keterangan:


(19)

Standar yang digunakan untuk mengukur tentang Perencanaan Perancangan Kota adalah dengan menggunakan konsep Perencanaan Perancangan Kota dari Hamid Shirvani, yaitu:

Land Use(Guna lahan)

Building form and massing(bentuk dan massa bangunan ) • Circulation and parking(sirkulasi dan parkir)

Open Space(ruang terbuka) • Pedestrian ways(jalur pedestrian • Singage(tanda-tanda)

Preservation and conservation

Activity Support

Dari aspek-aspek perancangan kota dari Hamid Shirvani, yang digunakan dalam pembahasan analisis adalah aspek building form and massing, Open Space, Pedestrian Ways, Signage,danActivity Support. Aspek-aspek tersebut dipilih karena sesuai dengan kondisi eksisting di Kawasan Kota Lama Tangerang.

1.5 Metodologi Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian diperlukan metode dan pendekatan yang tepat agar dapat memperoleh data yang relevan serta pelaksanaan penelitian yang tepat. Metode penelitian adalah menggunakan metode analisis deskriptif. Untuk lebih jelas dapat dilihat di bawah ini ;

1.5.1 Metode Pengumpulan Data

Metodologi dalam penelitian ini antara lain; teknik pengumpulan data, dan teknik analisa. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan di bawah ini:

1.5.1.1 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan cara melakukan survey primer dan survey sekunder.


(20)

a. Data primer yaitu hasil survey lapangan:

•Mengetahui persepsi dan preferensi masyarakat dari hasil kuesioner yang di sebar kepada responden.

•Mengetahui kondisi eksisting Kawasan Kota Lama Tangerang dilakukan dengan cara survey lapangan, dokumentasi serta foto-foto.

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari survey instansional melalui sumber data yang relevan dengan topik yang diteliti yaitu instansi terkait diantaranya BAPPEDA.


(21)

1.5.1.2 Desain Survey

Desain survey pada penelitian ini dapat dilihat padatabel 1.1berikut ini : Tabel 1.1

Desain Survey

Tujuan Sasaran Aspek

Input Metode Analisis Variabel Cara Pengumpulan Mengidentifikasi aspek perancangan kota dalam upaya pelestarian kawasan Kota Lama Tangerang berdasarkan persepsi dan preferensi masyarakat Identifikasi karakteristik aspek perancangan kota di Kawasan Kota Lama Tangerang

Land Use • Kawasan

Permukiman • Kawasan Perkantoran • Pasar •Observasi Lapangan deskriptif Bentuk dan massa bangunan • Ruko • Permukiman • Klenteng • Museum •Observasi Lapangan deskriptif

Parkir • On Street Parking

Off Street Parking

•Observasi Lapangan

deskriptif

Open Space

(Ruang Terbuka)

• Ruang Terbuka Hijau

• Taman bermain

•Observasi Lapangan

deskriptif

Jalur Pedestrian • Trotoar • Gang di

Permukiman

•Observasi Lapangan


(22)

Tujuan Sasaran Aspek Input Metode Analisis Variabel Cara Pengumpulan Activity Support (Kegiatan Pendukung)

• Pedagang Kaki Lima (PKL) • Koleksi Museum • Even-even •Observasi Lapangan deskriptif Signage (Tanda-tanda)

• Papan Iklan di ruko

• Rambu-rambu • Papan Informasi

•Observasi Lapangan deskriptif Identifikasi persepsi masyarakat tentang aspek perancangan kota dalam upaya pelestarian Kawasan Kota Lama Tangerang Bentuk dan massa bangunan • Ruko • Permukiman • Klenteng • Museum

•Kuesioner Analisis Kuantitatif Identifikasi preferensi masyarakat tentang aspek perancangan kota dalam upaya pelestarian Open Space (Ruang Terbuka)

• Ruang Terbuka Hijau

• Taman bermain

•Kuesioner Analisis Kuantitatif


(23)

Tujuan Sasaran Aspek Input Metode Analisis Variabel Cara Pengumpulan Lama Tangerang Analisis kesenjangan (gap) antara persepsi dan preferensi masyarakat tentang aspek perancangan kota dalam upaya pelestarian Kawasan Kota Lama Tangerang

Jalur Pedestrian • Trotoar • Gang di

Permukiman

•Kuesioner Analisis Kuantitatif

Signage (Tanda-tanda)

• Papan Iklan di ruko

• Rambu-rambu • Papan Informasi

•Kuesioner Analisis Kuantitatif

Activity Support

(Kegiatan Pendukung)

• Pedagang Kaki Lima (PKL) • Koleksi Museum • Even-even

•Kuesioner Analisis Kuantitatif


(24)

1.5.1.3 Teknik Sampling (Penentuan Jumlah Sampel)

Pengambilan Sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan sampel acak sederhana (random sampling). Metode pengambilan sampel acak sederhana adalah metode yang digunakan untuk memilih sampel dari populasi dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama besar untuk diambil sebagai sampel. Hal tersebut menunjukkan bahwa semua anggota populasi menjadi anggota dari kerangka sampel (Sugiarto, 2003).

Dalam menentukan ukuran sampel dilakukan dengan mengacu pada pendapat slovin (Umar, 2005) sesuai dengan rumus :

n=

dimana :

n = Ukuran Sampel N= Ukuran Populasi 1= Konstanta e= Error (0,15)

Ukuran Populasi mengacu pada data tingkat kunjungan terbaru yang diperoleh penyusun pada saat survey sekunder, yakni data dari jumlah penduduk di Kawasan Kota Lama Tangerang di Kecamatan Tangerang yaitu sebesar 111.397 jiwa. Maka, dengan mengambil e ( error ) sebesar 15 %, sampel, adalah:

n=

= 44,5 = 45 Orang N

1 + ( N (e)2)

111.397


(25)

Dari hasil survey, tidak semua sampel dapat diolah. Dari sampel dengan nilai e (error) sebesar 15 % atau 0,15, sampel yang dapat diolah peneliti adalah sebanyak 30 sampel, maka dapat dikatakan bahwa pengambilan sampel untuk masing-masing aspek perancangan kota menggunakan nilai e ( error) = 0,18.

n =

= 30,8 = 31 Orang

1.5.2 Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan dua alat analisis, antara lain sebagai berikut:

1.5.2.2 Statistik Deskriptif

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yang digunakan untuk menjelaskan atau menggambarkan berbagai karakteristik aspek perancangan kota.

1.5.2.2Importance Performance Analysis

Importance Performance Analysis atau Analisis Tingkat kinerja / persepsi dan kepentingan / preferensi masyarakat digunakan untuk memetakan hubungan antar persepsi dengan preferensi dari atribut-atribut yang telah ditentukan. Importance Performance Analysisterdiri dari dua komponen yaitu, analisis kuadran dan analisis kesenjangan (gap). Dengan analisis kuadran dapat diketahui respon konsumen terhadap atribut yang diplotkan berdasarkan tingkat persepsi dan preferensi dari atribut tersebut. Sedangkan analisis kesenjangan (gap) digunakan untuk melihat kesenjangan antara kinerja suatu atribut dengan harapan konsumen terhadap atribut tersebut.

Untuk analisis kuadran cara pengukurannya yaitu untuk menghadapkan kepada 30 responden kepada masyarakat di Kawasan Kota Lama Tangerang dengan kuesioner yang kemudian diminta untuk memberi jawaban. Untuk menilai tingkat persepsi dan

111.397


(26)

preferensi pengunjung terhadap sub variable-sub variabel tersebut, dalam hal ini digunakan skala 5 tingkat dimana setiap sub variable diberi bobot. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1.2

Bobot Persepsi dan Preferensi Setiap Variabel

Sumbu X (Persepsi) Bobot Sumbu Y (Preferensi) Bobot Sangat Baik (SB) 5 Sangat Penting (SP) 5

Baik (B) 4 Penting (P) 4

Sedang (S) 3 Cukup Penting (CP) 3

Buruk (b) 2 Kurang Penting (Kp) 2

Sangat Buruk (sb) 1 Tidak Penting (Tp) 1

Langkah selanjutnya adalah menghitung jumlah bobot penilaian kinerja/persepsi dan kepentingan/preferensi untuk setiap variabel dengan rumus:

Xi=

Yi=

Dimana:

Xi = Bobot rata-rata tingkat penilaian kinerja atribut ke-i Yi = Bobot rata-rata tingkat penilaian kepentingan atribut ke-i n = Jumlah responden

Langkah selanjutnya adalah menghitung rata-rata tingkat persepsi dan preferensi untuk keseluruhan variabel dengan rumus :

Xi =

Yi = ∑Xi

n ∑Yi

n

∑Xi n ∑Yi


(27)

Dimana :

Xi = Nilai rata-rata kinerja atribut Yi = Nilai rata-rata kepentingan atribut N = Jumlah atribut

Selanjutnya tingkat unsur-unsur tersebut akan dijabarkan dan dibagi menjadi empat bagian ke dalam diagram kartesius seperti pada gambar berikut ini:

Gambar 1.2 Diagram Kartesius

Keterangan: 1. Kuadran I

Variabel-variabel yang terletak dalam kuadran ini dianggap sebagai faktor yang penting dan atau diharapkan oleh konsumen tetapi kondisi persepsi dan atau kinerja aktual yang ada pada saat ini belum memuaskan sehingga pihak pengembang berkewajiban mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk meningkatkan kinerja berbagai variabel tersebut. Variabel-variabel yang terletak pada kuadran ini merupakan prioritas untuk ditingkatkan.

2. Kuadran II

Variabel-variabel di kuadran ini dianggap penting oleh responden dan faktor-faktor yang dianggap oleh responden sudah sesuai dengan yang

Y Preferensi

X Preferensi

Kuadran I

Prioritas Utama

Kuadran II

Pertahankan

Kuadran III

Prioritas Rendah

Kuadran IV


(28)

diharapkannya. Variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran ini harus tetap dipertahankan, karena variabel ini yang menjadikan variabel tersebut memiliki keunggulan di mata responden

3. Kuadran III

Variabel-variabel yang dianggap kurang penting oleh responden dan pada kenyataannya biasa saja atau tidak terlalu istimewa. Variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran ini dapat dipertimbangkan untuk dihilangkan karena pengaruhnya terhadap manfaat yang dirasakan oleh responden amat kecil 4. Kuadran IV

Variabel-variabel di kuadran ini dianggap kurang penting oleh responden, tetapi pada kenyataannya diterima atau dirasakan terlalu berlebihan. Sehingga variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran dapat dipertimbangkan untuk dikurangi atau tidak perlu ditambah.


(29)

1.6 Kerangka Pemikiran Bagan alir merupakan ke dapat dilihat pada gamba iran

n kerangka pemikiran dalam penelitian ini, untuk le bar 1.3.

Gambar 1.3 Kerangka Pemikiran


(30)

1.7 Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang isi laporan ini, maka sub bab ini menjelaskan tentang sistematika pembahasan, seperti pada uraian dibawah ini.

Bab I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan secara khusus mengenai penyusunan penelitian ini diantaranya megenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup, metodologi penelitian, kerangka pemikiran dan sistematika pembahasan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab ini secara umum menjelaskan mengenai definisi Pelestarian, bentuk-bentuk pelestarian, objek pelestarian, definisi wisata budaya, definisi persepsi masyarakat, definisi perancangan kota dan elemen-elemen rancang kota, dan contoh pelestarian Kawasan Kota Lama.

Bab III Identifikasi Karakteristik Perancangan Kota

Bab ini secara umum menjelaskan tentang gambaran umum kawasan Kota Lama Tangerang, Potensi Kawasan Kota Lama Tangerang, dan Karakteristik Aspek Perancangan Kota di Kota Lama Tangerang

Bab IV Analisis Persepsi dan Preferensi Masyarakat Tentang Aspek Perancangan Kota dalam Upaya Pelestarian Kawasan Kota Lama Tangerang Bab ini menjelaskan dan menganalisis tentang persepsi dan preferensi masyarakat tentang aspek-aspek perancangan kota, analisisgap tentang aspek perancangan kota, analisis kuadran tentang aspek perancangan kota

Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan, rekomendasi, kelemahan studi dan saran studi lanjut.


(31)

BAB II TINJAUAN TEORI

Bab ini secara umum menjelaskan mengenai definisi Pelestarian, bentuk-bentuk pelestarian, objek pelestarian, definisi wisata budaya, definisi Persepsi masyarakat, Konsep-konsep Pengembangan Kawasan Urban, dan Contoh Pelestarian Kawasan Kota Lama.

2.1 Definisi dan Bentuk-Bentuk Pelestarian/Konservasi

Konservasi secara umum diartikan pelestarian namun demikian dalam khasanah para pakar konservasi ternyata memiliki serangkaian pengertian yang berbeda-beda implikasinya. Istilah konservasi yang biasa digunakan para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981 yang dikenal dengan Burra Charter.

Burra Charter menyebutkan konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik.” Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Bila dikaitkan dengan kawasan maka konservasi kawasan atau sub bagian kota mencakup suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan yang tidak sesuai dan bukan secara fisik saja.

Suatu program konservasi sedapat mungkin tidak hanya dipertahankan keaslian dan perawatannya, namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi pemilik atau masyarakat luas. Konsep pelestarian yang dinamik tidak hanya mendapatkan tujuan pemeliharaan bangunan tercapai namun dapat menghasilkan pendapatan dan keuntungan lain bagi pemakainya. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting dalam menentukan fungsi yang sesuai karena tidak semua fungsi dapat


(32)

dimasukkan. Kegiatan yang dilakukan ini membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan. Dan pelestarian merupakan upaya untuk menciptakan pusaka budaya masa mendatang (future heritage), seperti kata sejarawan bahwa sejarah adalah masa depan bangsa. Masa kini dan masa depan adalah masa lalu generasi berikutnya.

Bentuk-bentuk dari kegiatan konservasi antara lain :

1. Restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan mengembalikan bentukan fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya dengan menghilangkan tambahan-tambahan atau merakit kembali komponen eksisting menggunakan material baru. 2. Restorasi (dalam konteks terbatas) ialah kegiatan pemugaran untuk

mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref.UNESCO.PP. 36/2005).

3. Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan.

4. Preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar kelayakan fungsinya terjaga baik (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).

5. Konservasi ( dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi, rekonstruksi, konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut.

6. Konservasi (dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya perbaikan dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan


(33)

pengawasan bahan yang digunakan sebagai kontsruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).

7. Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut layak fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).

8. Konsolidasi ialah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi dan bangunan tetap layak fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur.

9. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005, Ditjen PU-Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan).

10. Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, histories dan teknis. (Ref. PP.36/2005). Kegiatan pemulihan arsitektur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.


(34)

2.2 Definisi Wisata Budaya

Istilah pariwisata budaya memiliki beberapa definisi (Sofield dan Birtles, 1996) dan hal tersebut yang masih membingungkan (Hughes, 1996) dan istilah simtomatik Tribes (1997) serta pariwisata indisiplin. Dalam sebuah buku yang dikarang oleh Valene Smith (1978: 4) berjudul Hosts dan Guests membedakan antara pariwisata etnik dan pariwisata budaya: pariwisata etnik dipasarkan untuk umum/wisatawan berdasarkan budaya yang mengalir/turun temurun dari penduduk pribumi yang bersifat eksotis. Wood (1984: 361) lebih lanjut mendefinisikan pariwisata etnik dengan memfokuskan pada orang-orang yang meninggalkan identitas budaya yang keunikannya dipasarkan kepada wisatawan.

Khususnya yang dikemas untuk wisatawan seperti tari-tarian pertunjukan, rumah atau pemukiman asli penduduk lokal, upacara, dan hasil-hasil kerajinan berupa ornament dengan segala pernak-perniknya (Smith, 1978:4).

Wood (1984) maupun Smith (1978) membedakan antara pariwisata etnik dan pariwisata budaya, sementara dalam kenyataannya yang sama, muncul (Cole, 1997). Menggunakan istilah etnik dianggap merupakan suatu masalah dalam konteks pariwisata. Lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan secara umum tentang istilah etnik mengimplikasikan adanya kelompok minoritas dengan segala keterbatasannya terhadap yang lain; penelusuran tentang primitifisme sehingga memunculkan keingintahuan tentang orang-orang primitif yang tak tersentuh (Mowforth dan Munt, 1998:69). Kebanyakan wisatawan memiliki pandangan etnosentrik tentang masyarakat dan budaya yang mereka kunjungi (Laxon, 1991). Selwyn (1996: 21) menyatakan bahwa secara luas bisa diterima oleh para Antropolog. sementara kebanyakan pariwisata kontemporer dibangun berdasarkan Quest for the Other the other tergolong pada pramodern, prakomodifikasi, dunia yang dibayangkan serta autentik secara sosial (Sewlyn, 1996:21).


(35)

Pariwisata mentransformasi perbedaan pada masalah global pada konsumerisme suatu proses di mana otherness menjadi komoditas yang dikonsumsi. Hal ini merupakan rasisme institusional yang mempertontonkan keprimitifan (Munt dan Mowforth, 1998: 270) sebagai penderitaan dan kemiskinan merupakan sesuatu yang astetis bagi wisatawan, akumulasi image dari kemiskinan. Hal-hal yang dilakukan oleh manusia didefinisikan sebagai komoditas seperti pariwisata diekspos pada perbedaan budaya dan variasi budaya lokal. Hal ini mengarah pada pembedaan dan kebangkitan budaya dan keetnikan (Walters, 1995).

Dikotomi antara pariwisata etnik dan pariwisata budaya di mana pariwisata etnik dipergunakan untuk istilah primitive other dan pariwisata budaya diasosiasikan sebagai seni yang tinggi pada negara berkembangan (seperti yang dikatakan Richard, 1996), untuk menentukan ketidakseimbangan antara mereka yang miskin dan kaya. MacIntosh dan Goeldner (1990) mempergunakan konsep jarak budaya (cultural distance) untuk istilah wisatawan yang memiliki budaya yang berbeda dari tempat yang ia kunjungi. Pada saat ini, akademisi Barat mempergunakan istilah pariwisata etnik bila perbedaan budaya besar dan pariwisata budaya bila perbedaannya kecil. Semua masyarakat memiliki budaya; semakin jauh daerah tersebut dari wisatawan akan makin eksotis kelihatannya budaya itu.

Sangat menarik untuk menanyakan mereka yang melihat suatu perbedaan apakah mereka akan menganggapnya pariwisata dalam Lapland, di Eropa seperti pariwisata etnim atau pariwisata budaya. Pertanyaan yang sama dapat dipertanyakan tentang kota pariwisata/township tourism termasuk kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah masyarakat Afrika yang miskin dan pada saat yang sama pemahaman tentang masyarakat kulit hitam kelas menengah yang tinggal di kota (Lihat Briedenhann dan Ramchanders) merupakan studi kasus tentunya tidak ada grup etnik tertentu yang dapat direpresentasikan sebagai istilah etnik.


(36)

Lebih jauh istilah grup etnik biasanya dipergunakan untuk mendefinisikan ras khusus atau kelompok linguistik (Hitchcooks (1993: 307). Jika etnisitas dan identitas dilihat secara proses dalam perubahannya tidak tepat untuk kelompok-kelompok beserta etnisnya untuk dikaitkan dengan pariwisata. Kelompok-kelompok lokal secara kreatif mempergunakan nama-nama etnis yang terkenal untuk keuntungannya.

MacCannells (1984: 386) menganalisis pariwisata etnik bahwa kelompok-kelompok etnik yang dipariwisatakan sering melemah karena satu sejarah eksploitasi yang terbatas pada sumber-sumber dan kekuatan, dan tidak memiliki bangunan-bangunan yang besar, mesin, monumen ataupun keajaiban alam utnuk menarik perhatian wisatawan dari kehidupan mereka sehari-hari. Lebih jauh, struktur ekonomi pariwisata etnis sebagian uang yang ikut serta tidak mengubah daerah tersebut yang menghasilkan hanya sedikit keuntungan secara ekonomi bagi kelompok tersebut. Analisis yang diungkapkan oleh Cohen juga menekankan pada kurang berkembangnya sumber-sumber kelompok. Lebih jauh ia membuat beberapa poin-poin penting: bahwa kelompok marginal merupakan sumber utama dari ketertarikan, dan preservasi dari perbedaannya merupakan prekondisi yang krusial dari keberlanjutan kepariwisataannya.

Presentasinya cenderung pada esensialisasi sebagai entitas homogenius yang ditandai dengan perbedaan dengan karakteristik yang mudah diketahui (Cohen, 2001: 28). Cohen (2001) menyatakan bahwa telah terjadi evolusi pariwisata etnis, dimana para wisatawan merupakan agen aktif namun masyarakat mencapai hanya satu tingkat pemberdayaan karena hanya mendapat sedikit reward finansial melalui penjualan dari barang-barang kerajinan. Dia selanjutnya menyarankan bahwa untuk pembangunan pariwisata, beberapa penduduk harus dapat mengakumulasikan modal serta mengetahui selera wisatawan sehingga dapat meningkatkan pengeluaran wisatawan. Performance hospitality dan hasil kerajinan menjadi komoditas yang diorientasikan untuk wisatawan atau orang-orang luar.


(37)

MacCannell (1984) menyarankan bahwa: masyarakat harus melihat atraksi etnis anggota kelompok dan mulai berpikir tentang diri mereka sebagai perwakilan dari cara hidup etnik sebagai sebuah komunitas, karena jika terjadi perubahan ekonomi akan ber-implikasi politik untuk seluruh kelompok. Kelompok tersebut terpaku pada satu imaji tentang dirinya atau museumized (MacCannell, 1984: 388). Butcher (2001) menyatakan bahwa pariwisata budaya dapat menimbulkan straight jacket. Budaya mereka menjadi cerminan lebih jauh bila tingkat perkembangan ekonomi dilihat sebagai bagian dari budaya dan ketidakseimbangan menjadi interpretasi ulang sebagai perbedaan budaya pariwisata dapat mempertahankan kemiskinan.

Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan motivasi wisatawan serta atraksi yang terdapat di daerah tujuan wisata maka kegiatan pariwisata dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu pariwisata yang bersifat massal dan pariwisata minat khusus. Jika pada pariwisata jenis pertama lebih ditekankan aspek kesenangan (leisure) maka pada tipe kedua penekanannya adalah pada aspek pengalaman dan pengetahuan.

Pariwisata Pusaka adalah salah satu bentuk pariwisata minat khusus yang menggabungkan berbagai jenis wisata (seperti wisata bahari, wisata alam, wisata trekking, wisata budaya, wisata ziarah dan sebagainya) ke dalam satu paket kegiatan yang bergantung pada sumber daya alam dan budaya yang dimiliki oleh suatu daerah. Pariwisata Pusaka atau heritage tourism biasanya disebut juga dengan pariwisata pusaka budaya (cultural and heritage tourism atau cultural heritage tourism) atau lebih spesifik disebut dengan pariwisata pusaka budaya dan alam. Pusaka adalah segala sesuatu (baik yang bersifat materi maupun non materi) yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang ingin kita jaga keberadaan dan keberlangsungannya. Dalam undang-undang negara kita,pusaka yang bersifat material disebut sebagai Benda Cagar Budaya.


(38)

Pada pasal 1 UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya mendefinisikan Benda Cagar Budaya sebagai :

1. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;

2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.Jadi yang dimaksud dengan pusaka bisa berupa hasil kebudayaan manusia maupun alam beserta isinya.

Beberapa lembaga telah mendefinisikan pariwisata pusaka dengan titik berat yang berbeda-beda. Organisasi Wisata Dunia (World Tourism Organization) mendefinisikan pariwisata pusaka sebagai kegiatan untuk menikmati sejarah, alam, peninggalan budaya manusia, kesenian, filosofi dan pranata dari wilayah lain. Badan Preservasi Sejarah Nasional Amerika (The National Trust for Historic Preservation) mengartikannya sebagai perjalanan untuk menikmati tempat-tempat,artefak-artefak dan aktifitas-aktifitas yang secara otentik mewakili cerita/sejarah orang-orang terdahulu maupun saat ini. Suatu negara bagian di Amerika, Texas (Texas Historical Commission) mengartikannya sebagai perjalanan yang diarahkan untuk menikmati peninggalan-peninggalan yang terdapat di suatu kota, daerah, provinsi atau negara. Kegiatan ini membuat wisatawan dapat mempelajari, dan dilingkupi oleh adat-istiadat lokal, tradisi, sejarah dan budaya.

Berdasarkan berbagai definisi yang telah ada, maka dapatlah disimpulkan bahwa pariwisata pusaka adalah sebuah kegiatan wisata untuk menikmati berbagai adat istiadat lokal, benda-benda cagar budaya, dan alam beserta isinya di tempat asalnya yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman akan keanekaragaman budaya dan alam bagi pengunjungnya.


(39)

2.3 Persepsi Masyarakat

2.3.1 Pengertian Persepsi Masyarakat

Seorang pakar organisasi bernama Robbins (2001:88) mengungkapkan bahwa Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Sejalan dari defenisi diatas, seorang ahli yang bernama Thoha (1998:23) , mengungkapkan bahwa persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan maupun pendengaran. Wirawan (1995:77), menjelaskan bahwa proses pandangan merupakan hasil hubungan antar manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran (kognisi) yang dipengaruhi memori tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap, intelegensi, dimana hasil atau penelitian terhadap apa yang diinderakan akan Mempengaruhi tingkah laku.

Defenisi persepsi juga diartikan oleh Indrawijaya (2000:45), sebagai suatu penerimaan yang baik atau pengambilan inisiatif dari proses komunikasi. Lebih lanjut adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ralph Linton dalam Harsojo (1997:144) menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.


(40)

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Masyarakat

Robbins (2001:89) mengemukakan bahwasanya ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat yaitu :

1. Pelaku persepsi, bila seseorang memandang suatu objek dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya dan penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individu itu

2. Target atau objek, karakteristik-karakteristik dan target yang diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Target tidak dipandang dalam keadaan terisolasi, hubungan suatu target dengan latar belakangnya mempengaruhi persepsi seperti kecendrungan kita untuk mengelompokkan benda-benda yang berdekatan atau yang mirip

3. Situasi, dalam hal ini penting untuk melihat konteks objek atau peristiwa sebab unsur-unsur lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi kita.

2.4 Definisi perancangan kota dan elemen-elemen rancang kota

Rancang kota atau urban design merupakan bidang disiplin ilmu yang kompleks yang mencangkup banyak hal seperti disiplin ilmu arsitektur, lanskap, perencanaan perkotaan, teknik sipil dan transportasi, psikologi atau banyak hal lainnya. Rancang kota menyangkut manajemen suatu pembangunan fisik dari kota. Pembatasan dari pengertiannya ditekankan pada suatu bentuk fisik berupa tempat (place) yang merupakan suatu ruang olah manusia yang dianggap mempunyai makna. rancang kota menitik beratkan pada hubungan elemen fisik kota sebagai suatu bentuk jaringan yang tidak dapat berdiri sendiri. Sifat rancang kota mengarahkan, membatasi masyarakat sebagai pemakai ruang kota dengan memberikan ruang hidup yang lebih baik. elemen-elemen rancang kota didasarkan menurut Hamid Shirvani (1985) dalam

Urban Design Proccess yang membagi elemen perancangan fisik perkotaan menjadi delapan kategori yaitu:


(41)

2.4.1 Peruntukan Lahan (Land Use)

Land useatau peruntukan lahan merupakan suatu bentuk penerapan rencana-rencana dasar dua dimensi ke dalam pembuatan ruang tiga demensi dan penyelenggaraan fungsi ruang tersebut.Peruntukan lahan mempertimbangkan tujuan dan prinsip yang akan dicapai pada guna tertentu seperti guna hunian, komersil, rekrasional, industri dan sebagainya. Mempertimbangkan kondisi daya dukung alam terhadap kapasitas kegiatan yang ditampung, kondisi ini juga berkaitan dengan pemakaian lantai dasar bangunan dan kofisien lantai bangunan. Keberadaan komunitas sekitar juga mempengaruhi pertimbangan tata guna lahan, dampak yang terjadi baik secara fisik maupun secara sosial. Pertimbangan penentuan peruntukan lahan tersebut sangatlah penting dan sensitif , karena menyangkut keberlangsungan daya dukung kehidupan pada suatu kota yang berhubungan baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan alam atau ekologi.

Menurut Shirvani (1985) permasalahan utama dari kebijakan land use adalah pertama, kurangnya keragaman guna di suatu area dengan kata lain pemisahan peruntukan lahan di wilayah perkotaan. Kedua , Salah dalam menyadari keberadaan faktor fisik dari lingkungan hidup dan alam dan terakhir infrastruktur. Kebijakan peruntukan lahan suatu kota tak terlepas dengan keberadaan dan perencanaan infrastruktur dan hubungannya dengan kota lain. Permasalahan yang timbul dalam kebijakan tersebut saat ini adalah dengan adanya penyebaran yang tidak tertata dari fungsi lahan yang disebut juga sprawl. Dengan adanya akses jalan raya seperti tol atau arteri, yang menghubungkan pusat kota dengan daerah sekitar dan adanya kecenderungan pemilikan kendaraan bermotor yang tinggi mempercepat proses

sprawltersebut.

Urban sprawl mengakibatkan timbulnya masalah sosial seperti perbedaan kontras terhadap pengelompokan tempat tinggal berdasarkan pendapatan, kurangnya interaksi sosial, permasalahan pencemaran lingkungan, hilangnya ruang terbuka atau lahan pertanian dan penghijauan, maupun timbulnya ruang-ruang kosong perkotaan. Dalam


(42)

Charter of the New Urbanism(2000) memandang permasalahan urban sprawl harus melihat dalam konteks dari skala metropolitan, dengan adanya hubungan pusat kota dan daerah pinggir kota, sampai pada lingkungan terkecil yaitu lingkungan

neighborhood dan blok. Dengan konteks tersebut, kebijakan peruntukan lahan memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya permasalahan urban sprawl

disamping hubungannya dengan elemen sirkulasi dan faktor sosial ekonomi masyarakat kota itu sendiri.

Menurut Roger Trancik (1986) kebijakan peruntukan yang tidak hati-hati seperti pemisahan peruntukan lahan kepada fungsi tersendiri, menggantikan kepadatan horzontal ke vertikal, dan pemisahan fungsi ruang tempat tinggal dengan tempat

bekerja mempengaruhi terbentuknya’ruang yang hilang’ atau lost space. Lost space

menciptakan jurang pemisah sosial, pengelompokan pemukiman menjadi suatu kantong pemukiman atauenclave, menghilangkan keberlangsungan pejalan kaki, dan juga berkaitan dengan permasalahan sprawl. Dari kebijakan peruntukan lahan juga

dapat menimbulkan permasalahan ‘pod development’ atau semacam pembangunan

yang berdiri sendiri. Sebagaimana ditulis oleh Ford (2000) bahwa di dalam pod development, setiap peruntukan seperti shopping mall, outlet siap saji, taman perkantoran, apartemen, hotel, kelompok-kelompok perumahan, dsb. Disusun sebagai elemen terpisah, dikelilingi oleh ruang parkir dan biasanya memiliki akses masuk sendiri dari jalan kolektor atau jalan distribusi utama. Idenya adalah memisahkan atau mendindingi peruntukan lahan pada lingkungan sosial dan fungsional yang tersendiri. Bentuk pod development juga menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan permasalahanurban sprawl maupun terbentuknya ruang-ruang yang hilang atau lost space.

Kebijakan peruntukan lahan yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai permasalah seperti yang tersebut diatas, terutama kebijakan pemisahan peruntukan lahan yang berdiri sendiri. Pendekatan penyelesaian permasalahan tersebut dari elemen peruntukan lahan adalah perdekatan terhadap peruntukan lahan campuran


(43)

atau yang disebut sebagai mixed use. Pada saat ini peruntukan lahan dua dimensi dijabarkan ke dalam ruang yang tidak terbatas pada peruntukan lantai dasar tetapi juga kepada peruntukan vertikalnya sehingga memunculkan suatu bentuk peruntukan campuran (mixed use). Peruntukan campuran merupakan penerapan yang menentukan hubungan antara fungsi-fungsi kegiatan yang saling mendukung pada suatu lokasi peruntukan. Peruntukan campuran di area perkotaan mempunyai arti lebih karena sangat besar hubungan dengan pemanfaatan intensitas lahan yang semakin terbatas, kebutuhan keragaman kegiatan pada satu lokasi, efisiensi energi dengan mempersingkat perjalanan, faktor ekonomi maupun faktor sosial yang mampu memberikan suasana yang lebih hidup, menarik, bergairah dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat untuk berinteraksi.

Menurut Shirvani (1985) percampuran kegunaan adalah kunci permasalahan dalam pengambilan kebijakan peruntukan lahan. Kegiatan 24 jam dengan perbaikan sirkulasi melalui fasilitas-fasilitas pejalan kaki, penggunaan yang lebih baik dari sistem infrastruktur, analisis yang berdasarkan lingkungan hidup alami dan perbaikan-perbaikan infrastruktur mendukung fungsi peruntukan campuran. Kegiatan pada tingkat jalur pejalan kaki dalam peruntukan campuran memegang peranan penting, ia dapat menciptakan ruang yang lebih manusiawi, menyenangkan dan ramah lingkungan. Akan tetapi peruntukan campuran tidak akan berhasil pada tingkat konsentrasi kegiatan jalur pejalan kaki apabila tidak didukung oleh tata massa dan bangunan yang mendukung hal tersebut. Pola massaurban perimeter blockatau pola bangunan yang menempatkan muka lantai dasar menempel dengan garis jalan lebih mendukung kegiatan jalur pejalan kaki dibanding pola free standing building atau bangunan tinggi yang berdiri di ruang terbuka.

2.4.2 Tata Massa dan Bentuk Bangunan (Building Form and Massing)

Bentuk dan tata massa bangunan pada awalnya menyangkut aspek-aspek bentuk fisik oleh rona spesifik atas ketinggian, pengaturan muka bangunan (setback) dan penutupan (coverage). Kemudian lebih luas menyangkut masalah penampilan dan


(44)

konfigurasi bangunan. Disamping ketinggian dan kepejalan, penampilan (appearence) dipengaruhi oleh warna, material, tekstur dan fasade, style, skala, dsb. Spreiregen (1965) menyatakan isu-isu kritis yang berhubungan dengan bentuk

bangunan dan massa. Pertama adalah ‘skala’, yang berhubungan aspek visual manusia (human vision), sirkulasi, bangunan pada lingkungan tempat tinggal dan ukuran lingkungan tempat tinggal. Selanjutnya adalah ruang perkotaan sebagai sebuah elemen utama dari rancang kota dan pentingnya penekanan pada bentuk, skala dan rasa keterlingkupan (sense of enclosure) dan jenis-jenis dari ruang perkotaan. Dan yang terakhir adalah urban mass atau massa perkotaan yang termasuk bangunan-bangunan, permukaan tanah, dan segala objek yang disusun untuk membentuk ruang perkotaan dan membentuk pola-pola kegiatan.

Peruntukan lahan juga berperan dalam pengaturan tata massa dan bentuk bangunan seperti penerapan pada peruntukan campuran pusat kota yang diarahkan pada ketinggian yang lebih dari peruntukan lainnya. Peruntukan lahan komersil atau retail pada lantai dasar menjadi pertimbangan pengaturan pemunduran bangunan yang diletakan pada garis kavling atau zero setback untuk mendekatkan dengan kegiatan alur pejalan kaki.

Peletakan tersebut dapat memberikan keuntungan pada kedua sisi, memudahkan pengenalan produk retail dan memudahkan pencapaian transaksi dari fungsi retail pada bangunan kepada pejalan kaki dan memberikan keberlangsungan pejalan kaki dalam pergerakan dan mampu menarik perhatian pejalan kaki untuk berbelanja pada fungsi tersebut. Aspek visual disamping pengaturan pemunduran lantai bawah juga dicapai dengan pengaturan pemunduran lantai atasnya dimana arah pencahayaan alami menjadi aspek yang sangat penting dalam aspek visual tersebut. Kesan harmonis dan tidak monoton (diverse) dicapai dengan pengaturan muka bangunan (façade) dengan pewarnaan, tekstur, keseimbangan lebar muka bangunan terhadap lebar jalan, gaya (style), dan ketinggian. Ketegasan tepi bangunan dan vista koridor jalan juga dapat dibentuk dengan pengaturan massa bangunan, setback, ketinggian


(45)

sehingga ruang jalan memberikan arahan dan kenyaman pengguna jalan. Konfigurasi bangunan sangat mempengaruhi kualitas visual dan berhubungan erat dengan elemen sirkulasi yaitu jalan dan elemen ruang terbuka. Keterlingkupan (enclosure) dapat dibentuk dari konfigurasi bangunan tersebut. Roger Trancik (1986) menekankan

keterlingkupan berdasarkan bangunan arsitektural sebagai ‘ruang keras’ atau hard space. Carmona, et al. (2000) memaparkan keterlingkupan merupakan ruang positif , ruang luar memiliki bentuk yang pasti, tersendiri. Bentuknya yang paling penting adalah keberadaan bangunan yang memilikinya. Keterlingkupan yang di bentuk oleh tata bangunan memiliki skala yang dapat dirasakan secara visual oleh manusia.

Gari Robinette (1972) menyatakan, keterlingkupan penuh didapat ketika dinding bangunan yang mengelilingi menciptakan perbandingan 1:1 atau mengisi 45 derajat sudut pandang kerucut. Ambang keterlingkupan terjadi pada perbandingan 2:1 antara jarak ruang terbuka horizontal dengan ketinggian dinding bangunan. Keterlingkupan minim didapat dari perbandingan 3:1 dan hilangnya keterlingkupan terjadi pada perbandingan 4:1 atau lebih besar. Yosinobu Ashihara (1981) menghubungkan keterlingkupan dengan pengaruhnya terhadap keguanaan dan efek perasaan manusia. Kesan intim dapat dirasakan pada jarak ke perbandingan ketinggian bangunan antara 1 sampai 3. Dan perbandingan 6:1 atau lebih menciptakan ruang umum atau public. Untuk perbandingan yang dianggap ideal dari keterlingkupan ini adalah perbandingan antara jarak ke ketinggian bangunan 2:1. pada perbandingan ini sisi atas dinding bangunan masih terlihat pada sudut 27 derajat diatas bidang horizontal mata manusia.

Tapi dari skala nilai perbandingan keterlingkupan ini yang harus diperhatikan adalah jarak maksimal yang masih dapat dirasakan. Karena walau nilai perbandingan dianggap ideal tetapi jarak horizontal antar bangunan sangat jauh, kesan humanis tetap akan hilang. Kemudahan pengenalan dengan penekanan pada landmark ruang kota tidak hanya dicapai dengan bentuk simbolis pada ruang terbuka umum seperti tugu, monumen, dsb. Tapi dapat diolah melalui konfigurasi penataan ini. Penekanan pengaturan pada simpul jalan (node) merupakan salah satu bentuk kemudahan


(46)

pengenalan (legibility) tersebut. Keseluruhan konfigurasi dan penampilan tata massa dan bentuk bangunan juga dapat diarahkan pada tema daerah yang akan dicapai tercapai kualitas citra (image)districtseperti pada tulisan Kevin Lynch dalam Image of the City.

Pengaturan ini juga berhubungan dengan aspek cuaca (climate) yang berbeda-beda pada suatu tempat tertentu. Seperti pada kondisi iklim tropis, pengaturan massa bangunan dan bentuk jalan diarahkan pada bentuk grid yang menerus dan tidak memecah sirkulasi penghawaan, menghidari ruang coutyard yang tidak memiliki bukaan ventilasi menyilang (cross ventilation) dan peragaman ketinggian bangunan pada blok untuk dapat memberikan aliran udara yang menyeluruh. Penyinaran yang besar yang berpengaruh pada kenyamanan pejalan kaki membutuhkan bentuk perlindungan yang salah satunya dapat dicapai dengan pengaturan setback lantai dasar fungsi komersil pada ruang umum dengan membentuk arcade atau collonade

sepanjang fungsi ruang tersebut.

Aspek visual memegang peranan penting pada pembentukan ruang kota yang dapat dicapai dari tata massa dan bentuk bangunannya disamping faktor kegiatan dan faktor iklim setempat. Bentuk bangunan dan tata massa tidak terlepas dengan hubungannya terhadap elemen lain dari rancang kota tersebut. Sehingga keterpaduan hubungan antar elemen dan faktor non fisik menjadi pertimbangan yang penting dalam mencapai kualitas perancangan fisik kota melalui elemen tata massa dan bentuk bangunannya.

2.4.3 Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking)

Sirkulasi merupakan bagian terpenting dari elemen rancang kota. Ia dapat membentuk mengarahkan dan mengontrol pola-pola kegiatan dan pola-pola pembangunan di dalam kota, sebagaimana sistem transportasi dari jalan-jalan umum, jalur-jalur pejalan kaki dan sistem transit menghubungkan dan mengutamakan pada pergerakan. Sirkulasi juga dapat menjadi suatu prinsip yang menstrukturkan,


(47)

menegaskan dan memberikan karakteristik pada bentuk-bentuk fisik perkotaan seperti pembedaan suatu daerah, kegiatan suatu tempat, dsb.

Dalam rancang kota jenis alur sirkulasi menekankan pada bentuk street yang membedakan dengan bentuk road. Pengertian road adalah alur sirkulasi kendaraan bermotor. Sedangkan pengertian street dalam Public Place-Urban Space (Carmona, 2003) dan menurut Roger Trancik (1986) adalah suatu bentu alur sirkulasi yang memfasilitasi pemisahan pergerakan kendaraan dan pejalan kaki . Dari fungsi yang ada tidak sekedar sebagai alur pergerakan tetapi sebagai tempat kegiatan sosial maupun pemegang peranan penting dalam aspek visual suatu kota. Dengan demikian, alur sirkulasi yang memegang peranan penting dalam rancang kota adalah yang memiliki pengertian tersebut. Jalan sebagai bentuk sirkulasi memegang peranan penting dalam suatu kota, pertama orang mengenali suatu kota melalui jalannya, ketika orang ingin mencari suatu tempat di suatu kota, jalan merupakan hal pertama

yang di pelajarinya, seperti ditulis oleh Jane Jacob (1961): ‘Pikirkan suatu kota, dan

apa yang terlintas di dalam pikiran? Itu adalah jalan-jalannya. Apabila jalan suatu kota terlihat penting, maka kota tersebut menjadi penting dan apabila ia terlihat gersang maka kota tersebut menjadi gersang.

Rancang kota tak terlepas dengan aspek visual sehingga pengolahan jalan sebagai alur sirkulasi haruslah menjadi elemen ruang terbuka visual yang positif dimana elemen-elemen fisik di ruang jalan tersebut haruslah terintegrasi dengan baik, membentuk ruang visual yang dapat dinikmati pengguna jalan. Seperti pengaturan tata bangunan dan massa, treatment pola hijau, pengaturan tempat atau lahan parkir, tata informasi (signage), elemen street furniture, dsb. Dari aspek visual tersebut banyak hal yang dapat dicapai melalui pengolahan jalan seperti pemberian sifat

legibilityatau pengenalan suatu tempat atau daerah, adanya ruang yang memberikan kesan humanis dengan skala manusia, sifat menerus (continuity), meningkatkan aspek estetika, menghilangkan sifat monoton yang menimbulkan kejenuhan dalam


(48)

pergerakan seperti pengaturan tata letak lahan parkir yang dapat menimbulkan kekosongan ruang visual jalan, dsb.

Hirarki jalan juga menentukan dalam rancang kota. Ia menentukan zoning ruang umum (public) dan ruang pribadi (privat), menentukan tingkat kecepatan pergerakan, penghubung ruang-ruang umum utama dan penempatan transitpointdan moda Selain jalan, parkir merupakan tempat yang sangat berhubungan dengan elemen sirkulasi. Shirvani (1985) menyatakan pada saat ini tujuan yang ingin dicapai pada perancangan alur sirkulasi meliputi perbaikan mobilitas pada CBD, menghindari penggunaan kendaraan pribadi, menganjurkan penggunana transportasi umum dan perbaikan akses ke pusat bisnis terpadu (CBD). Permasalahan sirkulasi pada ruang kota pada saat ini tak terlepas dengan meningkatnya kebutuhan kendaraan bermotor dan kebijakan peruntukan seperti yang telah disebutkan pada penjelasan mengenai peruntukan lahan diatas. Permasalahan yang terjadi dari perancangan sirkulasi antara lain timbulnya pemisahan ruang kota dan kegiatannya akibat adanya jalan bebas hambatan atau jalan dengan kapasitas pergerakan yang tinggi. Ketiadaan penyediaan alur sirkulasi pada jenis pergerakan tertentu juga menimbulkan konflik pada pergerakan lain. Minimnya kontrol terhadap penyalahgunaan fungsi alur pergerakan pejalan kaki menjadi fungsi lain sehingga menimbulkan ketidak nyamanan dan ketidak amanan pada pejalan kaki itu sendiri maupun pada pengguna alur sirkulasi yang lain.

Kebutuhan luas tempat parkir tak terlepas dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan kondisi fasilitas angkutan umum kota. Keberadaan parkir itu sendiri saat ini juga tak terlepas dari kegiatan komersial pusat kota dimana mobil sebagai simbol gaya hidup kota terutama golongan menegah ke atas tak terlepas dari hubungannya dengan gaya hidup konsumtif yang mengarah pada akses ke lokasi perbelanjaan yang memfasilitasinya.


(49)

Keberadaan parkir dapat bersifat positif yaitu memfasilitasi pengguna mobil dan mengaktifkan tempat perbelanjaan pusat kota dan dapat bersifat negatif secara visual dengan memberikan ruang pada bahu jalan dapat mengurangi kecepatan kendaraan bermotor dan menambah keamanan bagi pedestrian.

Pengolahan ruang parkir tak terlepas dengan elemen-elemen lain dalam rancang kota. Seperti pengaturan peruntukan campuran pada bangunan parkir dimana lantai bawah sepanjang jalur pedestrian (sidewalks) bangunan parkir digunakan sebagai fungsi retail yang dapat memberikan keberlangsungan pengguna jalur pedestrian atau penggabungan ruang parkir antara fungsi suatu tempat kegiatan dan waktu kegiatan yang berbeda. Juga penempatan lahan parkir dapat diatur pada ruang–ruang di belakang bangunan komersial yang menempel pada jalan sehingga koridor jalan tidak terputus dengan lahan parkir.

Kencenderungan perancangan lahan parkir saat ini pada pusat perbelanjaan di kota Jakarta salah satunya adalah penempatanya pada lantai atas bangunan komersial tersebut sehingga mengarahkan pengunjung untuk melewati fungsi kegiatan perbelanjaan pada setiap lantai di bawahnya. Akan tetapi sebagian besar penempatan lahan parkir pada fungsi retail maupun perkantoran di kota Jakarta selain pada basement juga menggunakan ruang terbuka hasil dari peraturan pemda terhadap ketentuan KDB dan GSB (setback). Dengan kondisi ini ruang kota yang dibentuk masih didominasi oleh ruang parkir, sehingga kualitas kota yang dibentuk tidak maksimal.

2.4.4 Ruang Terbuka (Open Space)

Menurut Shirvani (1985) ruang terbuka ditegaskan dalam arti semua landscape, hardscape (jalan, jalur pejalan kaki, dan sebebagainya), taman maupun ruang-ruang rekreasi di dalam ruang perkotaan. Kantong-kantong kosong sebagai lubang yang besar dalam ruang perkotaan tidak dikategorikan dalam ruang terbuka. Disini ruang


(50)

terbuka yang dimaksud tidak hanya sebagai sekedar area kosong tetapi lebih ditekankan pada nilai yang dimilikinya.

Ruang terbuka umum/publik menurut Rustam Hakim (1987) adalah bentuk dasar dari ruang terbuka di luar bangunan, dapat digunakan oleh publik (setiap orang) dan memberikan bermacam-macam kegiatan.

Sebagaicivic space, ruang terbuka publik memiliki arti suatu ruang luar yang terjadi dengan membatasi alam dan komponen-komponennya (bangunan) mengunakan elemen keras seperti pedestrian, jalan, plasa, pagar beton dan sebagainya; maupun elemen lunak seperti tanaman dan air sebagai unsur pelembut dalam lansekap dan merupakan wadah aktifitas masyarakat yang berbudaya dalam kehidupan kota.

Fungsi ruang terbuka dapat dijabarkan sebagai berikut: • Fungsi umum:

 Tempat bersantai.

 Tempat komunikasi sosial.

 Tempat peralihan, tempat menunggu.

 Sebagai ruang terbuka untuk mendapatkan udara segar dengan lingkungan.

 Sebagai pembatas atau jarak diantara massa bangunan • Fungsi ekologis:

 Penyegaran udara.  Penyerapan air hujan.  Pengendalian banjir.

 Memelihara ekosistem tertentu.  Pelembut arsitektur bangunan.

Menurut Harvey S. Perloff (1969) open space pada pembentukannya mempunyai fungsi:


(51)

• Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara ke dalam bangunan terutama bangunan tinggi di pusat kota.

• Menghadirkan kesan perspektif dan vista pada pemandangan kota (urban scene), terutama pada kawasan padat di pusat kota.

• Menyediakan area rekreasi dengan bentuk aktifitas yang spesifik.

• Melindungi fungsi ekologis kawasan.

• Memberikan bentuksold-voidkawasan kota.

• Sebagai area cadangan bagi pengguna dimasa mendatang (cadangan area pengembangan).

Dilihat dari fungsi ruang terbuka tersebut manfaat ruang terbuka baik secara fisik perkotaan yang berkaitan dengan fungsi ekologi maupun secara sosial mempunyai arti penting terhadap keberlangsungan kota itu sendiri.

Dalam aspek visual, ruang terbuka dapat diolah dengan membentuk kesan keterlingkupan dan unsur bangunan disekelilingnya maupun dengan unsur natural seperti tata hijau membantu pembentukan keterlingkupan pada ruang terbuka. Keterlingkupan dicapai pada skala perbandingan tertentu yang telah disebut pada pembahasan elemen tata massa dan bentuk bangunan di atas. Akan tetapi kualitas visual dari ruang terbuka menurut Alexander et al. (1977) tidak harus dicapai dengan keterlingkupan ruang. Misalnya ketika orang merasa nyaman pada pantai yang terbuka. Keterlingkupan menciptakan rasa aman dan lebih pribadi, pada ruang terbuka penataan tata hijau dan street furniture maupun lanskap sangat berperan dalam menciptakan rasa tersebut.

Bentuk ruang terbuka bermacam-macam seperti telah disebutkan diatas. Pada ruang terbuka di Indonesia, kecenderungan yang ada adalah pemanfaatan ruang terbuka khususnya sebagai tempat berinteraksi sosial terjadi pada pola ruang terbuka linear, dan alur sirkulasi terutama sirkulasi perkampungan memegang peranan penting dari konsep ruang terbuka tersebut.


(52)

2.4.5 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)

Untuk waktu yang lama perencanaan untuk pejalan kaki di dalam rancang kota terabaikan, ketika keberadaan shopping mall pada pusat kota tumbuh subur pejalan kaki menjadi faktor utama dari elemen perancangan kota. Mereka adalah suatu sistem yang nyaman sebagaimana elemen pendukung perbelanjaan dan juga tenaga hidup pada ruang perkotaan.

Sistem jalur pejalan kaki yang baik dapat mengurangi ketergantungan dengan kendaraan bermotor, meningkatkan perjalan dalam pusat kota , mempertinggi aspek lingkungan hidup dengan memperkenalkan sistem skala manusia, menciptakan kegiatan perbelanjaan dan pada akhirnya membantu perbaikan kualitas udara.

Pentingnya kegiatan pejalan kaki sebagai elemen dari perancangan kota pada saat ini muncul setelah adanya konsep New Urbanism yang menempatakan hubungan jarak tempuh pejalan kaki dengan transit point sebagai bentuk dasar konsep rancang kota. Walaupun konsep tersebut sudah ada pada awal abad 20, akan tetapi permasalahan yang ada dari faktor sosial ekonomi dan pelestarian lingkungan membuat konsep tersebut menjadi penting untuk diangkat dan dikembangkan lagi secara lebih luas. Dasar dari konsep rancang kota tersebut adalah jarak tempuh pejalan kaki orang dewasa normal selama 5 menit atau + 400m terhadap transit point yang dapat mempengaruhi elemen-elemen perkotaan contohnya adalah; peruntukan lahan tempat tinggal, ruang umum, akses baik akses pejalan kaki itu sendiri maupun kendaraan bermotor, besaran blok, aspek visual kota maupun aspek lingkungan alam yang berhubungan dengan ruang fisik kota.

Kegiatan perbelanjaan atau retail berperan sangat besat terhadap keberlangsungan pejalan kaki. Menurut Amos Rapoport (1977) : dilihat dari kecepatan rendah pejalan kaki, terdapat keuntungan karena dapat mengamati lingkungan sekitar dan mengamati obyek secara detail serta mudah menyadari lingkungan sekitar. Dari kondisi pejalan kaki tersebut keberadan fungsi retail sangat mendukung keberlangsungan pejalan


(53)

kaki pada jalur pergerakannya. Secara psikologis pengalihan arah visual dalam mengamati lingkungan sekitar yang tidak monoton dan atraktif dapat menurunkan tingkat kebosanan dalam melakukan pergerakan dengan jalan kaki.

2.4.6 Pendukung Kegiatan (Activity Support)

Pendukung kegiatan merupakan suatu elemen kota yang mendukung dua atau lebih pusat kegiatan umum yang berada di kawasan pusat kota yang mempunyai konsentrasi pelayanan yang cukup besar. Keberadaannya tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan utama pada suatu lokasi yang dapat menghubungkan kegiatan-kegiatan utama tersebut. Pendukung kegiatan tidak hanya bersifat horizontal pada ruang luar akan tetapi juga berada pada kegiatan vertikal pada suatu ruang dalam atau bangunan seperti peruntukan lahan campuran (mixed use).

Keberadaan pendukung kegiatan tidak terlepas pada kegiatan yang diarahkan pada bentuk keberlangsungan (continuity), bersifat hidup (livability) dan kegembiraan atau kesenangan (excitement). Bentuk-bentuk pendukung kegiatan dapat berupa elemen fisik kota seperti tata ruang luar, street furniture dan peruntukan lahan yang menunjang hubungan pada kegiatan utama kota. Dapat juga diarahkan pada kegiatan yang berhubungan dengan bagaimana kenyamanan maupun keberlangsungan secara psikologis dapat dicapai untuk mendukung pergerakan pada jalur pencapaian pada dua atau lebih pusat-pusat kegiatan umum pada suatu kota. Pada jalur pedestrian, kualitas penataan street furniture, penghijauan, pavement, signage dan tampilan dan penataan bangunan yang membingkai ruang visual pejalan kaki dan sebagainya, mempengarruhi keberlangsungan suatu kegitan pergerakan tersebut.

Elemen-elemen fisik ini merupakan salah satu bentuk dari pendukung kegiatan tersebut. Bentuk lain yang penting dari pendukung kegiatan adalah suatu kegiatan yang dapat memberikan keberlangsungan secara psikologis dan dapat menghubungkan kegiatan-kegiatan utama yang ada, kegiatan tersebut sekarang ini yang menjadi penting adalah kegiatan retail baik yang diarahkan pada fungsi kegiatan


(1)

(2)

BAB V Kesimpulan

Tingkat Kepentingan Aspek Perancangan Kota Dalam Upaya

pelestarian Kota Lama Tangerang

Variabel Penting Tidak Penting

Ruko

Permukiman

Klenteng

Fisik Museum

Taman Bermain

Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau

Trotoar

Gang di permukiman

Papan iklan di ruko

Rambu-rambu

Papan Informasi

PKL

Museum

even-even


(3)

Variabel Prioritas Utama Pertahankan Priotitas Rendah Berlebihan

Ruko

Permukiman

Klenteng

Fisik Museum

Taman Bermain

Ruang Terbuka Hijau

BAB V Kesimpulan

Arahan pengembangan

Ruang Terbuka Hijau

Trotoar

Gang di permukiman

Papan iklan di ruko

Rambu-rambu

Papan Informasi

PKL

Koleksi Museum

even-even


(4)

BAB V Kesimpulan

Rekomendasi

Dari kesimpulan yang telah dikemukakan pada bagian ini, selanjutnya akan

disampaikan rekomendasi sebagai masukan bagi pemerintah Kota Tangerang untuk merevitalisasi kawasan Kota Lama Tangerang dan juga sesuai dengan harapan masyarakat di Kawasan Kota Lama Tangerang, rekomendasi ini di ambil dari hasil analisis dengan menggunakan teknik analisis Importance Performance Analysis.

 Memprioritaskan pengembangan terhadap variabel-variabel yang terdapat dalam

prioritas utama dalam analisis kuadran, yaitu permukiman, taman bermain, ruang terbuka hijau, trotoar dan papan informasi.

 Mempertahankan/menjaga variabel-variabel yang terdapat dalam pertahankan

dalam analisis kuadran, agar variabel-variabel ini tidak menurun kualitasnya, karena variabel-variabel yang terdapat dalam pertahankan merupakan ciri khas dari Kawasan Kota Lama Tangerang, yaitu klenteng, bangunan museum, koleksi museum, even-even dan pasar tradisional.

 Mempertahankan dan mengembangkan variabel-variabel dari aspek perancangan

kota yang dianggap sangat penting bagi masyarakat.

Dari kesimpulan yang telah dikemukakan pada bagian ini, selanjutnya akan

disampaikan rekomendasi sebagai masukan bagi pemerintah Kota Tangerang untuk merevitalisasi kawasan Kota Lama Tangerang dan juga sesuai dengan harapan masyarakat di Kawasan Kota Lama Tangerang, rekomendasi ini di ambil dari hasil analisis dengan menggunakan teknik analisis Importance Performance Analysis.

 Memprioritaskan pengembangan terhadap variabel-variabel yang terdapat dalam

prioritas utama dalam analisis kuadran, yaitu permukiman, taman bermain, ruang terbuka hijau, trotoar dan papan informasi.

 Mempertahankan/menjaga variabel-variabel yang terdapat dalam pertahankan

dalam analisis kuadran, agar variabel-variabel ini tidak menurun kualitasnya, karena variabel-variabel yang terdapat dalam pertahankan merupakan ciri khas dari Kawasan Kota Lama Tangerang, yaitu klenteng, bangunan museum, koleksi museum, even-even dan pasar tradisional.

 Mempertahankan dan mengembangkan variabel-variabel dari aspek perancangan


(5)

BAB V Kesimpulan

Kelemahan Studi dan Studi Lanjutan

Kelemahan Studi

 Pengambilan sampel hanya kepada masyarakat setempat, padahal masyarakat di seluruh Kota

Tangerang dan di luar Kota Tangerang berhak untuk menilai kawasan Kota Lama Tangerang ini sebagai kawasan budaya

 Penggunaaan aspek perancangan kota dari Hamid Shirvani tidak seluruhnya di pakai dalam penelitian ini.

Studi Lanjutan

 Studi mengenai pengembangan kawasan Kota Lama Tangerang untuk mendapatkan gambaran lebih rinci

tentang aspek-aspek perancangan kota terhadap upaya revitalisasi kawasan Kota Lama

 Studi aspek perancangan kota yang menggunakan keseluruhan aspek perancangan kota dari Hamid

Shirvani

 Studi menggunakan aspek-aspek perancangan kota dari hasil analisis yang masuk dalam prioritas utama

Kelemahan Studi

 Pengambilan sampel hanya kepada masyarakat setempat, padahal masyarakat di seluruh Kota

Tangerang dan di luar Kota Tangerang berhak untuk menilai kawasan Kota Lama Tangerang ini sebagai kawasan budaya

 Penggunaaan aspek perancangan kota dari Hamid Shirvani tidak seluruhnya di pakai dalam penelitian ini.

Studi Lanjutan

 Studi mengenai pengembangan kawasan Kota Lama Tangerang untuk mendapatkan gambaran lebih rinci

tentang aspek-aspek perancangan kota terhadap upaya revitalisasi kawasan Kota Lama

 Studi aspek perancangan kota yang menggunakan keseluruhan aspek perancangan kota dari Hamid

Shirvani


(6)

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

ANALISIS PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT TENTANG ASPEK PERANCANGAN KOTA SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN KOTA LAMA TANGERANG

Rahnandahegar A.A

10608001