Uji Antimutagenik Ekstrak Etanol KulitBuah Rotan Jernang (Daemonoropsdraco) Pada Mencit Jantan Yang Diinduksi Siklofosfamid

(1)

UJI ANTIMUTAGENIK EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH

ROTAN JERNANG (

Daemonorops draco

(Wild.) Blume)

PADA MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI

SIKLOFOSFAMID

SKRIPSI

OLEH:

DITA AYUDHYAS CANALOVTA

NIM 121524142

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UJI ANTIMUTAGENIK EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH

ROTAN JERNANG (

Daemonorops draco

(Wild.) Blume)

PADA MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI

SIKLOFOSFAMID

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DITA AYUDHYAS CANALOVTA

NIM 121524142

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI ANTIMUTAGENIK EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH

ROTAN JERNANG (

Daemonorops draco

(Wild.) Blume)

PADA MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI

SIKLOFOSFAMID

OLEH:

DITA AYUDHYAS CANALOVTA NIM 121524142

Dipertahankan diHadapanPanitiaPengujiSkripsi FakultasFarmasiUniversitas Sumatera Utara

Padatanggal: 20 Desember 2014 DisetujuiOleh:

Pembimbing I,

Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, M.Si., Apt. NIP 197506102005012003

Pembimbing II,

Prof. Dr. SumadioHadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002

PanitiaPenguji,

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 195103261978022001

Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, M.Si., Apt. NIP 197506102005012003

Dra. Azizah Nst, M.Sc., Ph.D., Apt. NIP 195503121983032001

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP197806032005012004

Medan, Desember2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara a.n. Dekan,

WakilDekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 1958071001986012001


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa yang telahmelimpahkan rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Antimutagenik Ekstrak Etanol KulitBuah Rotan Jernang (Daemonoropsdraco) Pada Mencit Jantan Yang Diinduksi Siklofosfamid”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan inipenulis mengucapkan terima kasih kepada BapakProf. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., dan Ibu Dr. Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si., Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Penulis jugamengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan, kepadaBapak Drs. Immanuel S. Meliala,M.Si., Apt., selaku penasehat akademis yang memberikan bimbingan kepada penulis selama ini, kepada Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan.Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada IbuProf. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., IbuDra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt., dan IbuAminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt., selaku penguji yang telah memberikan evaluasi dan masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(5)

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang tulus kepada ayahanda Drs. Yusvandi dan Ibunda Arnita Isfa, Ibu Yusni Elizar, SH., Hakimi Wahyudi Ritonga, Dita Vathyas Canalovta, S.Pd., Farkhan Muhammad, Dita Azkhyas Canalovta, Fenny Adlia Z, S.Farm., Dwi Ayu Septiati Hasanah, Septia Adrina Dalimunthe, dan Zuhra Alaili atas dukungan baik moral maupun material dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaannya. Harapan saya semoga skripsi ini dapatbermanfaatbagi ilmu pengetahuan kefarmasian.

Medan, Desember 2014 Penulis,

Dita Ayudhyas Canalovta NIM 121524142


(6)

UJI ANTIMUTAGENIK EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH

ROTAN JERNANG (

Daemonorops draco

(Wild.) Blume)

PADA MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI

SIKLOFOSFAMID

ABSTRAK

Buah rotan jernang telah dimanfaatkan masyarakat sebagai antiseptik, antirematik, antibakteri, antivirus, antitumor, dan obat luka. Kulit buah rotan jernang yang mengandung resin dilaporkan berpotensi sebagai antioksidan. Penelitian-penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa drakorhodin yang terkandung dalam rotan jernang memiliki potensi untuk menginduksi apoptosis sel dan menghambat proliferasi sel yang mengalami mutasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik simplisia, skrining fitokimia dan uji antimutagenik ekstrak etanol kulit buah rotan jernang (Daemonorops draco (Wild.) Blume) pada mencit jantan yang diinduksi siklofosfamid secara intraperitonial.

Ekstraksi serbuk simplisia kulit buah rotan jernang dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Uji efek antimutagenik menggunakan mencit jantan yang diinduksi siklofosfamid dosis 30 mg/kg bb secara intraperitonial. Ekstrak etanol kulit buah rotan jernang (EEKBRJ) diberikan secara oral pada dosis 5, 10, dan 15 mg/kg bb. Aktivitas antimutagenik ditunjukkan oleh adanya penurunan jumlah mikronukleus dalam setiap 200 sel eritrosit polikromatik pada preparat apusan sumsum tulang femur mencit. Data hasil pengujian dianalisis dengan metode analisis variansi (ANAVA), kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Tukey.

Hasil karakterisasi simplisia terhadap kadar air 6,65%, kadar sari larut air 12,44%, kadar sari larut etanol 27,25%, kadar abu total 9,41%, dan kadar abu tidak larut asam 0,4%. Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEKBRJ menunjukkan adanya flavonoid, tanin, saponin, steroida/triterpenoida, dan glikosida. Hasil analisis menunjukkan adanya penurunan jumlah mikronukleus pada mencit dimana dengan pemberian ekstrak etanol kulit buah rotan jernang dosis 15 mg/kg bb memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dosis 5 dan 10 mg/kg bb. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian EEKBRJ mampu menurunkan jumlah sel mikronukleus yang terbentuk secara signifikan terhadap kelompok penginduksi (p < 0,05). Dengan demikian disimpulkan bahwa EEKBRJ mempunyai aktivitas sebagai antimutagenik. Penurunan jumlah mikronukleus meningkat sejalan dengan kenaikan dosis yang diberikan.


(7)

ANTIMUTAGENIC TEST OF ETHANOLIC EXTRACT RATTAN JERNANG RIND

(

Daemonorops draco

(Wild.) Blume)

ON MALE MICE INDUCED BY CYCLOPHOSPHAMIDE ABSTRACT

Fruit of rattan jernang has been used as traditional medicines for antiseptic, antirheumatic, antibacteries, antiviral, antitumor, and wound healing. Rattan jernang rind which contain resin reported have potention as antioxidant. Researches showed that dracorhodin contained in rattan jernang had a capability to induced cell apoptosis and inhibited proliferation of several mutation cell.

This study aimed to perform characterization of simplex rattan jernang rind, phytochemical screening and antimutagenic test of ethanolic extract rattan jernang rind (Daemonorops draco (Wild.) Blume) on male mice induced by cyclophosphamide.

The extraction was done by maceration using 96% ethanol. Antimutagenic test using male mice were induced by cyclophosphamide dose 30 mg/kg bw by intraperitoneal. Ethanolic extract rattan jernang rind administrated orally at doses of 5, 10, and 15 mg/kg bw. Antimutagenic activity showed by a decrease in the number of micronucleus in polychromatic erythrocytes per 200 cells in smear preparations femur bonemarrow of mice. Test result were analyzed by the method of Analysis of Variance (ANOVA) followed by Post Hoc Tuckey method

The result of the characterization rattan jernang rind simplex moisture content 6.65%, water-soluble extract concentration 12.44%, soluble in ethanol extract concentration 27.25%, total ash content 9.41%, and insoluble ash content in acid 0.4%. The result of phytochemical screening showed that the simplex have flavonoids, tannins, saponins, steroids/triterpenoids and glycosides. The analysis showed a decrease the number of micronucleus in which the administration ethanol exctract rattan jernang rind dose of 15 mg/kg bw give the better effect than dose 5 and 10 mg/kg bw. The statistic analysis, it is showed that the administration of EEKBRJ was able to reduce the number of micronucleus cells formed significantly to the inducer group (p < 0.05). Thus, it is concluded that EEKBRJ has antimutagenic activity. The decrease in micronucleus increase with increase the doses given..


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Judul ... i

Halaman Judul ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat ... 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan Rotan Jernang ... 6

2.1.1 Habitat (Daerah Tumbuh) ... 6

2.1.2 Morfologi Tumbuhan Rotan Jernang ... 6


(9)

2.1.4 Kandungan Kimia ... 7

2.1.5 Khasiat Tumbuhan ... 8

2.2 Ekstraksi ... 9

2.2.1 Metode-metode Ekstraksi ... 9

2.3 Mikronukleus ... 10

2.4 Siklofosfamid ... 13

2.5 Mencit ... 16

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1. Alat dan Bahan ... 17

3.1.1. Alat-alat ... 17

3.1.2. Bahan-bahan ... 17

3.2. Hewan Percobaan ... 18

3.3. Pembuatan Pereaksi ... 18

3.3.1. Pereaksi Mayer ... 18

3.3.2. Pereaksi Dragendorff ... 18

3.3.3. Pereaksi Bouchardat ... 19

3.3.4. Pereaksi Molish ... 19

3.3.5. Pereaksi Liebermann-Burchard ... 19

3.3.6. Pereaksi besi (III) klorida 1% ... 19

3.3.7. Pereaksi timbal (II) asetat ... 19

3.3.8. Pereaksi natrium hidroksida 2 N ... 19

3.3.9. Pereaksi asam klorida 2 N ... 19


(10)

3.4.2. Identifikasi sampel ... 20

3.4.3. Pengolahan bahan tumbuhan ... 20

3.5. Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 20

3.5.1 Pemeriksaan makroskopik ... 21

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 21

3.5.3 Penetapan kadar air ... 21

3.5.4 Penetapan kadar sari larut dalam air ... 22

3.5.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ... 22

3.5.6 Penetapan kadar abu total ... 23

3.5.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 23

3.6. Pemeriksaan Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia ... 23

3.6.1 Pemeriksaan alkaloida ... 23

3.6.2 Pemeriksaan flavonoida ... 24

3.6.3 Pemeriksaan tanin ... 24

3.6.4 Pemeriksaan glikosida ... 25

3.6.5 Pemeriksaan saponin ... 25

3.6.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida ... 26

3.7. Pembuatan EEKBRJ ... 26

3.8. Pemeriksaan Skrining Fitokimia EEKBRJ ... 26

3.9. Uji Efek Antimutagenik ... 27

3.9.1 Penyiapan hewan percobaan ... 27

3.9.2 Penyiapan suspensi Na-CMC 1% ... 27

3.9.3 Penyiapan suspensi EEKBRJ ... 27


(11)

3.9.5 Pembuatan serum darah sapi (SDS) ... 28

3.9.6 Pengujian antimutagenik ... 28

3.9.7 Pembuatan preparat hapusan sumsum tulang femur ... 29

3.9.8 Pengamatan apusan ... 30

3.10. Analisis data ... 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1. Simplisia dan Ekstrak ... 31

4.2. Pengujian Efek Antimutagenik ... 32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

5.1. Kesimpulan ... 36

5.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia Kulit Buah

Rotan Jernang ... 31

Tabel 2 Hasil Pemeriksaan Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan EEKBRJ ... 32

Tabel 3 Jumlah Mikronukleus dalam 200 Sel Eritrosit Polikromatik .. 59

Tabel 4 Uji Deskriptif ... 60

Tabel 5 Uji ANAVA satu arah (One Way ANOVA) ... 60

Tabel 6 Uji Normalitas ... 61

Tabel 7 Uji Post Hoc Tuckey ... 62


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Diagram kerangka pikir penelitian ... 5

Gambar 2 Struktur drakorodin ... 8

Gambar 3 Pembentukan mikronukleus ... 12

Gambar 4 Struktur siklofosfamid ... 14

Gambar 5 Reaksi alkilasi pada basa DNA ... 15

Gambar 6 Grafik jumlah sel mikronukleus dalam tiap 200 sel eritrosit polikromatik ... 33

Gambar 7 Pohon rotan jernang pada pohon rambatan ... 43

Gambar 8 Buah rotan jernang ... 43

Gambar 9 Simplisia kulit buah rotan jernang ... 44

Gambar 10 Serbuk simplisia kulit buah rotan jernang ... 44

Gambar 11 Mikroskopik serbuk simplisia kulit buah rotan jernang perbesaran 10 x 40 ... 45

Gambar 12 Velocity 18RRefrigerated Centrifuge ... 54

Gambar 13 Alat bedah ... 54

Gambar 14 Oral sonde dan spuit ... 55

Gambar 15 Mikroskop Boeco BM-180 dan lensa ... 55

Gambar 16 Mencit jantan ... 56

Gambar 17 Pengambilan sumsum tulang femur mencit ... 56


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 41

Lampiran 2 Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan ... 42

Lampiran 3 Rotan Jernang ... 43

Lampiran 4 Hasil Pemeriksaan Mikroskopik ... 45

Lampiran 5 Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 46

Lampiran 6 Bagan Alur Penelitian ... 51

Lampiran 7 Bagan Pmbuatan Preparat/Apusan Sumsum Tulang Femur Mencit ... 53

Lampiran 8 Alat-Alat ... 54

Lampiran 9 Hewan Percobaan ... 56

Lampiran 10 Contoh Perhitungan Dosis ... 57

Lampiran 11 Hasil Pengamatan Apusan Menggunakan Mikroskop ... 58

Lampiran 12 Jumlah Sel Mikronukleus pada Sumsum Tulang Femur Mencit ... 59


(15)

UJI ANTIMUTAGENIK EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH

ROTAN JERNANG (

Daemonorops draco

(Wild.) Blume)

PADA MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI

SIKLOFOSFAMID

ABSTRAK

Buah rotan jernang telah dimanfaatkan masyarakat sebagai antiseptik, antirematik, antibakteri, antivirus, antitumor, dan obat luka. Kulit buah rotan jernang yang mengandung resin dilaporkan berpotensi sebagai antioksidan. Penelitian-penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa drakorhodin yang terkandung dalam rotan jernang memiliki potensi untuk menginduksi apoptosis sel dan menghambat proliferasi sel yang mengalami mutasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik simplisia, skrining fitokimia dan uji antimutagenik ekstrak etanol kulit buah rotan jernang (Daemonorops draco (Wild.) Blume) pada mencit jantan yang diinduksi siklofosfamid secara intraperitonial.

Ekstraksi serbuk simplisia kulit buah rotan jernang dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Uji efek antimutagenik menggunakan mencit jantan yang diinduksi siklofosfamid dosis 30 mg/kg bb secara intraperitonial. Ekstrak etanol kulit buah rotan jernang (EEKBRJ) diberikan secara oral pada dosis 5, 10, dan 15 mg/kg bb. Aktivitas antimutagenik ditunjukkan oleh adanya penurunan jumlah mikronukleus dalam setiap 200 sel eritrosit polikromatik pada preparat apusan sumsum tulang femur mencit. Data hasil pengujian dianalisis dengan metode analisis variansi (ANAVA), kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Tukey.

Hasil karakterisasi simplisia terhadap kadar air 6,65%, kadar sari larut air 12,44%, kadar sari larut etanol 27,25%, kadar abu total 9,41%, dan kadar abu tidak larut asam 0,4%. Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEKBRJ menunjukkan adanya flavonoid, tanin, saponin, steroida/triterpenoida, dan glikosida. Hasil analisis menunjukkan adanya penurunan jumlah mikronukleus pada mencit dimana dengan pemberian ekstrak etanol kulit buah rotan jernang dosis 15 mg/kg bb memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dosis 5 dan 10 mg/kg bb. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian EEKBRJ mampu menurunkan jumlah sel mikronukleus yang terbentuk secara signifikan terhadap kelompok penginduksi (p < 0,05). Dengan demikian disimpulkan bahwa EEKBRJ mempunyai aktivitas sebagai antimutagenik. Penurunan jumlah mikronukleus meningkat sejalan dengan kenaikan dosis yang diberikan.


(16)

ANTIMUTAGENIC TEST OF ETHANOLIC EXTRACT RATTAN JERNANG RIND

(

Daemonorops draco

(Wild.) Blume)

ON MALE MICE INDUCED BY CYCLOPHOSPHAMIDE ABSTRACT

Fruit of rattan jernang has been used as traditional medicines for antiseptic, antirheumatic, antibacteries, antiviral, antitumor, and wound healing. Rattan jernang rind which contain resin reported have potention as antioxidant. Researches showed that dracorhodin contained in rattan jernang had a capability to induced cell apoptosis and inhibited proliferation of several mutation cell.

This study aimed to perform characterization of simplex rattan jernang rind, phytochemical screening and antimutagenic test of ethanolic extract rattan jernang rind (Daemonorops draco (Wild.) Blume) on male mice induced by cyclophosphamide.

The extraction was done by maceration using 96% ethanol. Antimutagenic test using male mice were induced by cyclophosphamide dose 30 mg/kg bw by intraperitoneal. Ethanolic extract rattan jernang rind administrated orally at doses of 5, 10, and 15 mg/kg bw. Antimutagenic activity showed by a decrease in the number of micronucleus in polychromatic erythrocytes per 200 cells in smear preparations femur bonemarrow of mice. Test result were analyzed by the method of Analysis of Variance (ANOVA) followed by Post Hoc Tuckey method

The result of the characterization rattan jernang rind simplex moisture content 6.65%, water-soluble extract concentration 12.44%, soluble in ethanol extract concentration 27.25%, total ash content 9.41%, and insoluble ash content in acid 0.4%. The result of phytochemical screening showed that the simplex have flavonoids, tannins, saponins, steroids/triterpenoids and glycosides. The analysis showed a decrease the number of micronucleus in which the administration ethanol exctract rattan jernang rind dose of 15 mg/kg bw give the better effect than dose 5 and 10 mg/kg bw. The statistic analysis, it is showed that the administration of EEKBRJ was able to reduce the number of micronucleus cells formed significantly to the inducer group (p < 0.05). Thus, it is concluded that EEKBRJ has antimutagenic activity. The decrease in micronucleus increase with increase the doses given..


(17)

BAB I PENDAHULUAN

2.1Latar Belakang

Mutagen (mutagene) adalah bahan yang dapat menginduksi deoxyribonucleic acid (DNA) menjadi mutasi. Adapun yang dimaksud dengan mutasi adalah perubahan susunan nukleotida pada DNA baik karena pengurangan (deletion), penambahan (insertion), maupun perpindahan atau pertukaran (translocation). Oleh karena itu, bila terjadi perubahan susunan nukleotida pada DNA, maka asam amino penyusun protein yang dikodenya akan mengalami perubahan, sehingga protein yang bersangkutan menjadi abnormal. Protein yang abnormal tersebut tentunya akan mempunyai fungsi yang abnormal pula (Sudiana, 2008).

Uji mikronukleus merupakan salah satu metode untuk meneliti adanya efek mutagenik. Uji tersebut merupakan prosedur skrining secara in vivo untuk mendeteksi adanya kerusakan atau kehilangan kromosom yang disebabkan oleh mutagen (Schmid, 1975). Selain digunakan untuk pengujian efek mutagenik, uji mikronukleus juga dapat digunakan untuk pengujian efek antimutagenik (Kong, et al., 1995).

Mikronukleus adalah salah satu indikasi kerusakan pada kromosom yang ditandai dengan terbentuknya gambaran fragmen kromosom atau bagian dari kromosom yang tidak dapat bergabung dengan nukleus (inti) pada saat terjadi pembelahan sel (Lusiyanti, et al., 1996). Jumlah mikronukleus menunjukkan


(18)

Mutasi merupakan proses perubahan materi genetik suatu organisme yang diketahui sebagai faktor dasar dari karsinogenesis atau pembentukan sel kanker (Kong, et al., 1995). Terjadinya kanker melewati proses yang panjang dan dapat berawal dari setitik kelainan akibat mutasi pada DNA, maka kerusakan sekecil apapun perlu disikapi sebelum setitik kelainan tersebut berubah menjadi kanker yang sangat sulit untuk disembuhkan. Hubungan mutagen pada manusia dalam kehidupan sehari-hari dapat terjadi melalui berbagai hal, antara lain: makanan dan minuman, obat-obatan, kosmetika dan perantaraan lingkungan. Mengingat banyaknya pemaparan mutagen atau karsinogen yang mungkin terjadi, perlu adanya upaya untuk mencegah terjadinya pemaparan tersebut atau dengan menggunakan antimutagen. Oleh karena itu perlu dikembangkan bahan dari obat tradisional yang dapat bersifat antimutagen (Sumpena, et al., 2009).

Buah rotan jernang mengandung resin berwarna merah, hasil sekresi dari kulit buah tanaman rotan jernang. Di pasar internasional rotan jernang asal Indonesia umumnya dikenal dari jenis Daemonorops spp (Waluyo dan Pasaribu, 2013). Rotan jernang telah digunakan sebagai pengobatan tradisional yang terkenal sejak zaman dahulu oleh banyak suku sebagai antiseptik, antirematik, antibakteri, antivirus, antitumor, dan obat luka (Gupta, et al., 2008).

Drakorhodin merupakan komponen utama jernang yang memberikan warna dan merupakan turunan senyawa flavonoid (Shi, et al., 2009). Senyawa golongan flavonoid cenderung memiliki aktivitas antimutagen (Amin dan Moussa, 2007). Ekstrak metanol jernang dilaporkan memiliki potensi sebagai antioksidan dengan nilai LC50 70 ppm (Wilastra, 2013). Suatu ekstrak dikatakan memiliki potensi antikanker apabila nilai LC50-nya di bawah 1000 ppm (Colegate


(19)

dan Molyneux, 2008). Drakorhodin perklorat merupakan senyawa yang diisolasi dari buah rotan jernang (Daemonorops draco) dapat menginduksi kematian sel kanker melanoma dan sel kanker payudara melalui jalur apoptosis dan menghambat proliferasi sel HeLa (Xia, et al., 2005; Yu, et al., 2013; Xia, et al., 2004).

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan pengujian efek antimutagenik ekstrak etanol kulit buah rotan jernang pada mencit jantan yang diinduksi siklofosfamid. Penelitian dilakukan secara in vivo dengan menggunakan metode mikronukleus. Metode tersebut dilakukan karena prosesnya mudah dan tidak memerlukan alat dan biaya yang terlalu mahal serta umum digunakan untuk melihat genotoksisitas suatu senyawa tertentu.

2.2Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. apakah golongan senyawa yang terkandung dalam simplisia kulit buah rotan jernang dan EEKBRJ?

b. apakah EEKBRJ memiliki aktivitas antimutagenik? 1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis:

a. golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia kulit buah rotan jernang dan EEKBRJ adalah flavonoid, tanin, steroida/triterpenoida, saponin, dan glikosida.


(20)

1.4Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

a. untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia kulit buah rotan jernang dan EEKBRJ.

b. untuk mengetahui aktivitas antimutagenik EEKBRJ. 1.5 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. sebagai informasi tentang kandungan golongan senyawa metabolit sekunder kulit buah rotan jernang.


(21)

1.6Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka Pikir Penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1 Diagram kerangka pikir penelitian Simplisia kulit

buah rotan jernang

Ekstrak etanol kulit buah rotan jernang dosis 5, 10, dan 15

mg/kg bb

Suspensi CMC 1%

Karakteristik simplisia

Skrining fitokimia

Penurunan jumlah sel mikronukleus

1. Pemeriksaan makroskopik 2. Pemeriksaan mikroskopik 3. Kadar air

4. Kadar sari larut dalam air

5. Kadar sari larut dalam etanol

6. Kadar abu total 7. Kadar abu tidak larut

asam 1. Flavonoid 2. Tanin 3. Glikosida 4. Saponin 5. Steroid/Triterpenoid

Sel yang bermikronukleus pada 200 sel eritrosit

polikromatik dari sumsum tulang femur

mencit Larutan

Siklofosfamid 30 mg/kg bb Ekstrak etanol kulit


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.3Uraian Tumbuhan Rotan Jernang

Uraian tumbuhan meliputi habitat (daerah tumbuh), morfologi tumbuhan, sistematik tumbuhan, kandungan kimia, dan khasiat tumbuhan.

2.1.1 Habitat (Daerah Tumbuh)

Potensi rotan jernang di Indonesia tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Di Sumatera, rotan jernang dapat dijumpai di Provinsi Aceh, Riau dan Jambi sedangkan di Kalimantan terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Dengan kata lain pohon rotan jernang pada umumnya masih terdapat di hutan alam dan hutan lindung sedangkan saat ini keberadaannya di Jawa suda h sulit ditemukan (Winarto dan Alwis, 2013).

Dari 530 jenis rotan di dunia, sebanyak 316 jenis terdapat di hutan Indonesia. Di wilayah hutan Sumatera terdapat 132 jenis, Jawa 29 jenis, Kalimantan 138 jenis, Sulawesi 86 jenis, Maluku dan Papua 47 jenis. Tanaman rotan jernang tumbuh baik pada ketinggian 150-200 m di atas permukaan laut. Suhu udara optimal untuk pertumbuhan tanaman ini adalah 22-32°C, kelembaban nisbi rata-rata 81%, intensitas cahaya sekitar 56%. Pemberian pupuk kimia dan pupuk organik pada dosis yang tepat akan memberikan respon positif terhadap kualitas pertumbuhan tanaman (Winarto dan Alwis, 2013).

2.1.2 Morfologi Tumbuhan Rotan Jernang

Rotan jernang biasanya tumbuh dengan membentuk kelompok, memanjat hingga ketinggian 30 m. Batang rotan jernang langsing dan fleksibel berdiameter


(23)

2-3 cm dipenuhi duri-duri kecil dan tajam. Daun rotan jernang berwarna hijau terdiri dari helaian anak daun yang tersusun berpasang-pasangan, permukaan bagian bawah daun sedikit cekung. Buah rotan jernang seperti buah rotan pada umumnya, yaitu bulat kecil-kecil berkumpul seperti buah salak (Winarto dan Alwis, 2013).

Resin jernang atau dikenal dengan pula dengan nama dragon’s blood atau darah naga merujuk pada warnanya yang merah pekat seperti darah, merupakan hasil sekresi buah rotan jernang yang menempel pada kulit buah (Waluyo, 2008). 2.1.3 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan rotan jernang adalah sebagai berikut (Winarto dan Alwis, 2013).

Kingdom : Plantae

Divisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Arecales

Familia : Arecaceae Genus : Daemonorops

Spesies : Daemonorops draco (Wild.) Blume 2.1.4 Kandungan Kimia

Komponen kimia utama yang terkandung dalam buah rotan jernang adalah resin ester dan drakoresinotanol (57-82%). Resin yang berwarna merah mengandung senyawa-senyawa seperti drakoresena (14%), drakoalban (hingga 2,5%), resin tak larut (0,3%), residu (18,4%), asam benzoilasetat, flavonoid,


(24)

tannin, saponin, steroid/triterpenoid dan beberapa pigmen terutama drakorhodin dan nordrakorhodin (Purwanto et al, 2005; Waluyo dan Pasaribu, 2013).

Drakorhodin merupakan komponen jernang utama yang memberikan warna dan merupakan turunan senyawa flavonoid antosianin. Kerangka drakorhodin terdiri atas 2 cincin aromatik yang dihubungkan oleh 3 atom karbon yang juga membentuk cincin ketiga dengan atom oksigen. Warna drakorhodin yang menyolok disebabkan oleh adanya system ikatan rangkap yang sangat terkonjugasi dan umumnya memiliki aktivitas antioksidan (Shi, et al., 2009).

Gambar 2 Struktur drakorhodin (Shi, et al., 2009). 2.1.5 Khasiat Tumbuhan

Resin/getah jernang telah digunakan oleh bangsa Arab, Yunani, dan Romawi sebagai obat luka, membantu mengetalkan darah, menyembuhkan diare, dan menurunkan demam. Masyarakat Cina menggunakannya untuk mengobati

keseleo dan mengatasi pendarahan ulkus. Resin jernang juga memiliki efek

sebagai antikoagulasi, analgetik, antiinflamasi, antibakteri, antivirus, antitumor


(25)

2.4Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavanoida, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM, 1979).

2.2.1 Metode-metode Ekstraksi

Menurut Depkes RI (2000), ada beberapa metode ekstraksi: 1. Cara dingin

Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari:

a. Maserasi, adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.


(26)

Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlah nya 1-5 kali bahan.

2. Cara panas

Ekstraksi dengan cara panas terdiri dari:

a. Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C. d. Infundasi, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekoktasi, adalah infus dengan waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.5Mikronukleus

Mutasi merupakan perubahan yang terjadi pada gen atau pada kromosom. Mutasi dapat dikaitkan dengan timbulnya beragam kelainan, termasuk penyakit kanker. Selain dapat terjadi secara spontan, mutasi juga dapat diinduksi oleh


(27)

beberapa faktor seperti radiasi, senyawa kimia tertentu, dan virus. Faktor-faktor penginduksi mutasi dikenal sebagai mutagen (Purwadiwarsa, et al., 2000).

Salah satu indikator terjadinya mutasi adalah adanya mikronukleus (MN). Mikronukleus merupakan hasil mutasi dari kromosom utuh yang patah dan kemudian tampak sebagai nukleus berukuran kecil di dalam suatu sel. Mikronukleus mudah diamati pada sel polikromatik eritrosit (PCE) (Purwadiwarsa, et al., 2000). Terbentuknya mikronukleus menunjukkan adanya kerusakan sitogenetik pada kromosom atau tidak berfungsinya benang spindel pada saat anafase yang disebabkan mutagen. Oleh karena itu, mikronukleus dapat menjadi parameter untuk mengetahui efek paparan suatu senyawa karsinogenik (Sumpena et al.,2009).

Mikronukleus terlihat jelas dan dapat dihitung pada sel polikromatik eritosit yang masih muda dan berukuran lebih besar dari eritrosit. Polikromatik eritrosit merupakan sel darah yang akan mengalami perkembangan menjadi eritrosit. Sel darah berasal dari stem cell dengan proses pematangan dan pembentukan yang terjadi pada sumsum tulang merah. Ketika tahap mitosis berakhir, sel akan mengeluarkan inti nukleus (enukleasi). Sel yang telah terpajan senyawa mutagenik akan mengeluarkan nukleus disertai dengan mikronukleus (Khrisna dan Hayashi, 2000). Tahapan tersebut menyebabkan mikronukleus dapat terlihat jelas pada sel polikromatik eritrosit (Heddle, et al., 1983).


(28)

Keterangan :

a. Pembentukan MN akibat satu kromosom utuh yang tertinggal saat anafase b. Pembentukan MN akibat patahan kromosom yang tertinggal saat anafase c. Pembentukan MN melalui Jembatan Kromatin

Gambar 3 Pembentukan Mikronukleus (Fenech, et al., 2011).

Senyawa karsinogen dapat menimbulkan mutasi gen yang dapat dimanifestasikan sebagai kerusakan kromosom, yaitu terjadi aberasi atau terbentuk patahan-patahan kromosom. Beberapa senyawa karsinogenik diantaranya siklofosfamid, etil metansulfonat, trietil enemelamin, mitomisin C, dan kolkisin. Ketika tahap telofase, fragmen kromosom atau massa kromatin


(29)

dalam sel akan tertinggal pada sitoplasma membentuk struktur menyerupai inti sel dengan diameter antara 1/20 sampai 1/5 diameter inti yang dinamakan mikronukleus. Terbentuknya mikronukleus pada sel merupakan indikasi terjadinya aktivitas mutagenik yang merusak kromosom dan akhirnya memicu terjadinya kanker. Metode uji mikronukleus merupakan cara sederhana untuk mengetahui efek sitotoksik suatu senyawa yang dapat dilakukan pada sel PCE dari apusan sumsum tulang hewan rodensia (Heddle, et al., 1983; Sumpena, et al., 2009).

Uji mikronukleus pada sumsum tulang mencit sangat efektif untuk mendeteksi kerusakan dan hilangnya kromosom akibat induksi zat kimia mutagenik karena uji tersebut lebih sederhana dan cepat dibandingkan cara analisis yang lain (Ciccheti, et al., 1999). Pada uji mikronukleus, efek karsinogenik dapat diukur dengan menghitung jumlah mikronukleus yang terdapat dalam sel. Uji mikronukleus terhadap mencit merupakan prosedur yang umum digunakan untuk mendeteksi potensi agen-agen mutagen yang dapat merusak kromosom (Hayes, et al.,2009).

2.6Siklofosfamid

Siklofosfamid merupakan antineoplastik golongan pengalkilasi yang banyak digunakan dalam mengobati berbagai kanker. Siklofosfamid bekerja dengan cara mengalkilasi basa nitrogen pada DNA sel tumor sehingga replikasi DNA dan proliferasi sel berhenti. Siklofosfamid biasanya diberikan dalam bentuk oral maupun injeksi intravena. Selain itu, siklofosfamid juga dapat diberikan secara intramuscular, intraperitoneal, dan intraarterial (Brundage,


(30)

Gambar 4 Struktur Siklofosfamid (International Agency of Research on Cancer, 2010).

Efek samping yang ditimbulkan oleh penggunaan siklofosfamid adalah sistitis hemoragik dan leukopenia berat. Selain itu, obat ini juga menyebabkan anoreksia, mual, muntah, dan alopesia. Efek samping khas yang terjadi pada penggunaan siklofosfamid ataupun bahan pengalkilasi lainnya serta radiasi adalah timbulnya kanker sekunder (Penn, 1986).

Siklofosfamid menginduksi pembentukan sel mikronukleus melalui metabolit aktifnya yang bersifat pengalkilasi, yaitu nor nitrogen mustar, fosforamida mustar, dan akrolein. Senyawa pengalkilasi tersebut dapat berikatan dengan berbagai gugus fungsi komponen sel, termasuk terhadap basa-basa DNA sehingga terjadi kesalahan pemasangan pasangan basa nitrogen yang berakibat kepada mutasi DNA (mutagenesis). Mutasi DNA yang permanen dan kerusakan DNA yang terakumulasi akan menyebabkan berubahnya pola perkembangan sel sehingga sel akan berproliferasi secara berlebih dan dapat terlihat sebagai mikronukleus yang dapat membentuk sel kanker (Lyngdoh, 1994; Czyzewska dan Mazur, 1995). Atom oksigen pada posisi C nomor 6 dari gunanin merupakan salah satu atom yang terlibat dalam pembentukan ikatan hidrogen dengan basa


(31)

komplemennya yaitu sitosin. Atom tersebut juga merupakan salah satu atom yang dapat dialkilasi oleh siklofosfamid yang menyebabkan terbentuknya produk tambahan/addition product (adduct) DNA yaitu O6-alkilguanidin (Smith dan Clark, 2011). Jika terjadi alkilasi pada posisi tersebut, maka hanya terbentuk dua ikatan hidrogen sehingga basa yang dipasangkan adalah timin dan terjadilah mutasi titik. Kesalahan dalam pemasangan basa pada atom yang terlibat dalam ikatan hidrogen pada penyusun kelengkapan pasangan basa tersebut dapat meningkatkan resiko mutagenisitas dan karsinogenisitas (Lyngdoh, 1994). Metabolisme siklofosfamid juga dilaporkan menyebabkan peningkatan radikal anion superoksida dan hidroksil yang mungkin ikut berperan dalam menginduksi pembentukan mikronukleus (Ramu, et al. 1996). Sifat alkilasinya itu terutama timbul pada jaringan yang tumbuh cepat seperti sumsum tulang (Salmon dan Alan, 1998). International Agency of Research on Cancer juga telah mengkatagorikan siklofosfamid ke dalam senyawa karsinogen golongan I (karsinogen pada manusia) karena telah memiliki cukup bukti karsinogenisitas pada manusia serta pada hewan coba (International Agency of Research on Cancer, 2010).


(32)

2.7Mencit

Mencit merupakan hewan kelas Mamalia, bangsa Rodentia, dan suku Muridae. Nama ilmiah yang digunakan untuk mencit adalah Mus musculus. Mencit sering digunakan sebagai hewan uji di laboratorium. Pemilihan mencit sebagai hewan percobaan karena mencit mudah dipelihara dalam jumlah besar, variasi genetik yang tinggi, dan memiliki ciri, sifat, serta pola absorpsi yang mirip dengan manusia. Ukuran mencit relatif kecil dan harga yang relatif murah menyebabkan mencit umum digunakan dalam uji toksisitas dan karsinogenisitas (Sirois, 2005). Berdasarkan hasil mouse genome sequencing consortium pada tahun 2002, diketahui bahwa kemiripan genetik antara mencit dan manusia mencapai 99%, diperkirakan 30.000-40.000 gen manusia ada pada mencit (Fox, et al., 2007). Mencit biasa digunakan dalam penelitian genetika in vivo karena mencit peka terhadap berbagai bahan kimia mutagenik dan karsinogenik. Umur mencit yang digunakan dalam uji mikronukleus sebaiknya antara 6-8 minggu karena pada umur tersebut sumsum tulang mencit secara optimum memproduksi eritrosit (Schmid, 1976; Khrisna dan Hayashi, 2000).


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan identifikasi sampel, pengumpulan dan pengolahan sampel, pembuatan simplisia, pemeriksaan karakterisasi simplisia, pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia dan EEKBRJ, penyiapan hewan uji, pengujian efek antimutagenik pada mencit, dan pengolahan data. Data dianalisis secara analysis of variance

(ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tuckey meggunakan program

Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 22. Bagan alur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 51.

3.1Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas,

aluminium foil, blender (Philips), neraca kasar (OHAUS), neraca listrik (VIBRA), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, stoples kaca, desikator, stopwatch, mortir dan stamfer, objek glass, rotary evaporator (Heidolph VV-300), neraca hewan (Presica), spuit 1 ml (Terumo), oral sonde, alat bedah (Wells Spencer), mikroskop (Boeco), centrifuge (Velocity 18R), polytube dan mikrotube. Sebagian gambar alat–alat yang digunakan dapat dilihat dalam Lampiran 8 halaman 54. 3.1.2 Bahan-bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit buah rotan jernang (Daemonorops draco). Bahan kimia yang digunakan berkualitas pro


(34)

iodida, merkuri (II) klorida, bismut nitrat, asam nitrat, iodium, kalium iodida, α -naftol, asam asetat anhidrida, asam sulfat pekat, kloroform, besi (III) klorida, timbal (II) asetat, natrium hidroksida, asam klorida pekat, n-heksana, etil asetat, serbuk seng, serbuk magnesium, isopropanol, air suling (teknis), etanol (teknis),

natrium-carboxy metil cellulosa (Na-CMC), larutan giemsa, siklofosfamid (Cyclovid®), aqua pro injeksi, serum darah sapi dan larutan fisiologis natrium klorida (NaCl) 0,9%.

3.2Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah mencit jantan berumur 6-8 minggu dengan berat badan 20-30 g. Sebelum percobaan dimulai, terlebih dahulu mencit dipelihara selama dua minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan lingkungannya.

3.3Pembuatan Pereaksi 3.3.1 Pereaksi Mayer

Sebanyak 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling kemudian ditambahkan larutan 1,36 g merkuri (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.2 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8 g bismut nitrat dilarutkan dalam asam nitrat pekat 20 ml kemudian dicampur dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).


(35)

3.3.3 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, dilarutkan dalam air suling secukupnya, kemudian sebanyak 2 g iodium dilarutkan dalam larutan kalium iodida, setelah larut dicukupkan volume dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.4 Pereaksi Molish

Seban yak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya

hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995). 3.3.5 Pereaksi Liebermann-Burchard

Campur secara perlahan 5 ml asam asetat anhidrida dengan 5 ml asam sulfat pekat tambahkan etanol hingga 50 ml (Merck, 1978).

3.3.6 Pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml kemudian disaring (Ditjen POM, 1995).

3.3.7 Pereaksi timbal (II) asetat

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbon dioksida hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.8 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1979).

3.3.9 Asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai 100 ml (Depkes RI, 1979).


(36)

3.4Penyiapan Sampel

Penyiapan sampel meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi sampel, dan pengolahan sampel.

3.4.1 Pengumpulan bahan tumbuhan

Pengumpulan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan daerah lain. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit buah rotan jernang yang diambil dari Kecamatan Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.

3.4.2 Identifikasi sampel

Identifikasi sampel dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Biologi, Bogor.

3.4.3 Pengolahan bahan tumbuhan

Bahan tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit buah rotan jernang yang telah matang. Kulit buah dipisahkan dari daging buahnya, dirajang-rajang dan ditimbang, diperoleh berat basah 980 g. Selanjutnya kulit buah dikeringkan selama 2 hari dalam lemari pengering dengan temperatur ±400C. Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk kemudian serbuk ditimbang dan diperoleh berat kering sebesar 750 g. Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi etiket dan disimpan di tempat yang kering.

3.5Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut dalam asam, penetapan kadar sari larut dalam air dan penetapan kadar sari larut dalam etanol.


(37)

3.5.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan cara mengamati bentuk, ukuran, bau, rasa dan warna dari simplisia.

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik terhadap simplisia dilakukan dengan cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek yang telah diteteskan dengan larutan kloral hidrat dan ditutup dengan kaca penutup kemudian diamati di bawah mikroskop.

3.5.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluena) (WHO, 1992).

Cara kerja:

Dimasukkan 200 ml toluen dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai


(38)

dihitung dalam persen. Hasil perhitungan penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 46.

3.5.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995). Hasil perhitungan penetapan kadar sari larut dalam air dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 47.

3.5.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995). Hasil perhitungan penetapan kadar sari larut dalam etanol dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 48.


(39)

3.5.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995). Hasil perhitungan penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 49.

3.5.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995). Hasil perhitungan penetapan kadar abu tidak larut asam dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 50.

3.6Pemeriksaan Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia 3.6.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi:


(40)

b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan diatas (Ditjen POM, 1995).

3.6.2 Pemeriksaan flavonoida

Serbuk simplisia ditimbang 0,5 g, lalu ditambahkan 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling, setelah dingin ditambahkan 5 ml petroleum eter, dikocok hati-hati, lalu didiamkan sebentar. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etilasetat, disaring. Filtratnya digunakan untuk uji flavonoid dengan cara berikut:

a. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 2 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,5 g serbuk Zn dan 2 ml asam klorida 2 N. Didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat. Jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3-flavonol).

b. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,1 g serbuk Mg dan 10 tetes asam klorida pekat. Jika terjadi warna merah jingga sampai warna merah ungu menunjukkan adanya flavonoid. Jika terjadi warna kuning jingga menunjukkan adanya flavon, kalkon dan auron (Ditjen POM, 1995).

3.6.3 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang, disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna.


(41)

Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.6.4 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran etanol 96% dengan air (7:3) direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Kemudian diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran kloroform dan isopropanol (3:2), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan: sebanyak 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (Ditjen POM, 1995).

3.6.5 Pemeriksaan saponin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM,1995).


(42)

3.6.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml nheksan selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1987).

3.7Pembuatan EEKBRJ

Serbuk simplisia dimaserasi dengan etanol, dilakukan dengan cara 500 gram serbuk simplisia (10 bagian) dimasukkan kedalam bejana, kemudian dituangi dengan 3,75 liter (75 bagian) cairan etanol, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai (saring), ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 5 liter (100 bagian). Bejana ditutup, dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan. Maserat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan bantuan alat rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak etanol (Depkes RI, 1986).

3.8Pemeriksaan Skrining Fitokimia EEKBRJ

Ekstrak kental terlebih dahulu dilarutkan dalam etanol 96%. Kemudian dilakukan pemeriksaan golongan senyawa metabolit sekunder ekstrak. Prosedur pemeriksaan golongan senyawa kimia ekstrak etanol kulit buah rotan jernang dilakukan sama seperti prosedur untuk pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia.


(43)

3.9Uji Efek Antimutagenik

Pengujian efek antimutagenik meliputi penyiapan hewan percobaan, penyiapan suspensi Na-CMC 1%, penyiapan suspensi EEKBRJ, penyiapan larutan siklofosfamid (LS), pembuatan serum darah sapi (SDS), pengujian antimutagenik dan pembuatan preparat apusan sumsum tulang femur mencit dan pengamatan apusan pada mikroskop.

3.9.1 Penyiapan hewan percobaan

Hewan yang digunakan adalah mencit jantan putih dengan berat 20-30 g dibagi 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5 ekor mencit.

Sebelum digunakan sebagai hewan percobaan, semua mencit dipelihara terlebih dahulu selama kurang lebih dua minggu untuk penyesuaian lingkungan, mengontrol kesehatan dan berat badan serta menyeragamkan makanannya (Kusmardi, 2007).

3.9.2 Penyiapan suspensi Na-CMC 1%

Sebanyak 1 g Na-CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi 20 ml air suling panas. Didiamkan selama 15 menit lalu digerus hingga diperoleh massa yang transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan sedikit demi sedikit air hangat, dihomogenkan dan dimasukkan ke labu tentukur 100 ml, dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 100 ml.

3.9.3 Penyiapan suspensi EEKBRJ

Dalam pengujian digunakan 3 variasi dosis yakni dosis 5 mg/kg bb, 10 mg/kg bb dan 15 mg/kg bb. Pembuatan suspensi EEKBRJ dilakukan dengan cara sebagai berikut: ditimbang EEKBRJ sebanyak 0,1 gram kemudian dimasukkan ke


(44)

ditambahkan suspensi Na-CMC 1% sedikit demi sedikit dan digerus hingga homogen, dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, kemudian dicukupkan volumenya hingga batas tanda, konsentrasi suspensi adalah 1%. Suspensi yang digunakan adalah suspensi EEKBRJ dengan konsentrasi 0,1%, maka suspensi EEKBRJ 1% diencerkan menjadi suspensi EEKBRJ 0,5% lalu diencerkan menjadi 0,1%.

3.9.4 Penyiapan larutan siklofosfamid (LS)

Pembuatan LS dilakukan dengan cara yang tertera pada etiket cyclovid®, yaitu dengan melarutkan serbuk steril cyclovid® yang mengandung 200 mg siklofosfamid dengan larutan injeksi NaCl 0,45%. Pengenceran larutan fisiologis NaCl 0,9% menjadi 0,45% yaitu dengan memipet 5 ml larutan NaCl 0,9% lalu ditambahkan dengan aqua pro injeksi hingga 10 ml. Konsentrasi LS yang diperoleh adalah 20 mg/ml (2%), dosis LS yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 mg/kg bb (Kong, et al., 1995).

3.9.5 Pembuatan serum darah sapi (SDS)

Serum diperoleh dari darah sapi segar. Darah ditampung langsung menggunakan vakum tube, vakum tube ditutup dan didiamkan lebih kurang 30 menit, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit hingga terpisah antara endapan dan cairan yang berwarna bening kekuning-kuningan yang merupakan serumnya, kemudian cairan tersebut dipisahkan dari endapan. 3.9.6 Pengujian antimutagenik

Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 5 ekor hewan percobaan. Kelompok tersebut adalah:


(45)

- Kelompok II: Penginduksi, diberikan suspensi Na-CMC 1% selama 7 hari secara oral dan setelah hari ke-7, diinduksikan LS.

- Kelompok III: Perlakuan, diberikan suspensi EEKBRJ dengan dosis 5 mg/kg bb secara oral selama 7 hari dan setelah hari ke-7, diinduksikan LS. - Kelompok IV: Perlakuan, diberikan suspensi EEKBRJ dengan dosis 10 mg/kg

bb secara oral selama 7 hari dan setelah hari ke-7, diinduksikan LS.

- Kelompok V : Perlakuan, diberikan suspensi EEKBRJ dengan dosis 15 mg/kg bb secara oral selama 7 hari dan setelah hari ke-7, diinduksikan LS.

Cara perhitungan dosis dapat dilihat pada Lampiran 10 halaman 57.

Setelah 30 jam pemberian LS, hewan dibunuh dengan cara dislokasi leher dan diambil sumsum tulang femurnya dengan cara diaspirasi dengan spuit yang berisi SDS sebanyak 0,3 ml dan ditampung di dalam mikrotube (Khrisna dan Hayashi, 2000).

3.9.7 Pembuatan preparat hapusan sumsum tulang femur

Campuran sumsum tulang dan SDS dalam mikrotube disentrifuge dengan kecepatan 1200 rpm selama 5 menit, kemudian supernatannya dibuang. Endapannya disuspensikan kembali dengan dua tetes SDS. Kemudian satu tetes suspensi sel diambil dan diletakkan ke atas slide, kemudian disorong dengan menggunakan deck glass dibuat menjadi preparat hapusan. Kemudian slide dikeringkan, difiksasi dengan metanol selama 5 menit. Kemudian di berikan pewarna giemsa dibiarkan selama 10 menit, dibuang zat warna dengan dibilas


(46)

perbesaran 10 × 40 dan 10 × 100 dengan bantuan minyak immersi. Jumlah sel mikronukleus dalam 200 sel dihitung. Perhitungan dilakukan sebanyak 2 kali pada setiap hapusan. Ukuran sel mikronukleus lebih kecil dari ukuran nukleus normal. (Khrisna dan Hayashi, 2000). Bagan pembuatan apusan dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 53 dan gambar pengambilan tulang femur mencit dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 56.

3.9.8 Pengamatan apusan

Data pengamatan masing-masing hewan harus dipresentasikan dalam bentuk tabel. Jumlah eritrosit polikromatik bermikronukleus maupun tidak bermikronukleus dihitung paling tidak sebanyak 200 sel. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10 × 40 dan 10 × 100 dengan bantuan minyak immersi (Khrisna dan Hayashi, 2000). Gambar sel mikronukleus sumsum tulang mencit dapat dilihat pada Lampiran 11 halaman 58.

3.10 Analisis Data

Data hasil penellitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS 22. Data hasil penelitian ditentukan homogenitas dan normalitasnya untuk menentukan analisis statistik yang digunakan. Data dianalisis dengan menggunakan uji one way ANOVA untuk menentukan perbedaan rata-rata di antara perlakuan. Jika terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan uji

Post Hoc Tuckey untuk mengetahui variabel mana yang memiliki perbedaan. Berdasarkan nilai signifikansi p < 0,05 dianggap signifikan. Hasil analisis data ditampilkan pada Lampiran 13 halaman 60.


(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Simplisia dan Ekstrak

Tumbuhan yang diteliti telah diidentifikasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Biologi, Bogor. Hasil identifikasi tumbuhan yaitu Daemonorops draco (Wild.) Blume (Arecaceae). Surat hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 41.

Hasil pemeriksaan makroskopik, simplisia kulit buah rotan jernang berwarna merah kehitaman, tekstur keras dan bersisik, panjang kira–kira 1-2 cm, dan rasanya pahit. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia kulit buah rotan jernang terlihat adanya fragmen sel batu, berkas pengangkut berbentuk spiral, Parenkim mesokarp, dan hablur kalsium oksalat. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 43 dan hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisisa dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 45.

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia kulit buah rotan jernang yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia Kulit Buah Rotan Jernang

No. Parameter Hasil

1. Kadar air 6,65%

2. Kadar abu total 9,41%

3. Kadar abu tidak larut dalam asam 0,4%

4. Kadar sari larut dalam air 12,44%


(48)

Hasil pemeriksaan skrining fitokimia baik terhadap simplisia maupun ekstrak menunjukkan bahwa keduanya mengandung senyawa kimia golongan flavonoid, tannin, steroida/triterpenoida, saponin dan glikosida seperti yang terlihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2 Hasil Pemeriksaan Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan EEKBRJ

No. Golongan Senyawa Hasil

Simplisia Ekstrak

1. Alkaloida - -

2. Flavonoida + +

3. Tanin + +

4. Steroida / Triterpenoida + +

5. Saponin + +

6. Glikosida + +

Keterangan: (+) = Positif; (-) = Negatif

Adanya senyawa flavonoida dan senyawa-senyawa polifenol yang terkandung dalam kulit buah rotan jernang menunjukkan bahwa kulit buah rotan jernang memiliki aktivitas antioksidan yang dapat digunakan sebagai antimutagenik.

4.2 Pengujian Efek Antimutagenik

Pada penelitian ini, pengujian efek antimutagenik ekstrak etanol kulit buah rotan jernang dilakukan dengan metode mikronukleus yang digunakan untuk melihat pengaruh ekstrak terhadap penghambatan pembentukan sel mikronukleus. Sel mikronukleus merupakan hasil mutasi dari kromosom utuh yang patah dan kemudian tampak sebagai nukleus berukuran kecil di dalam suatu sel (Schmid, 1975). Adanya peningkatan jumlah sel mikronukleus menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan kromosom yang disebabkan oleh agen penginduksi (siklofosfamid) (Krishna dan Hayashi, 2000).


(49)

Perhitungan jumlah sel mikronukleus dilakukan sebanyak 2 kali pada tiap apusan sumsum tulang femur mencit untuk mengurangi kesalahan pada perhitungan. Adapun grafik hasil perhitungan jumlah sel mikronukleus dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6:

Gambar 6 : Grafik Jumlah sel mikronukleus dalam tiap 200 sel eritrosit polikromatik

Keterangan:

1 = pemberian Na-CMC 1% (kontrol normal)

2 = pemberian Na-CMC 1%, kemudian diinduksi dengan LS (Penginduksi) 3 = pemberian suspensi EEKBRJ dosis 5 mg/kg bb, kemudian diinduksi dengan

LS

4 = pemberian suspensi EEKBRJ dosis 10 mg/kg bb, kemudian diinduksi dengan LS

5 = pemberian suspensi EEKBRJ dosis 15 mg/kg bb, kemudian diinduksi dengan LS

Pada Gambar 2 terlihat bahwa pemberian Na-CMC 1% (kelompok 1) dan suspensi EEKBRJ dosis 5, 10, dan 15 mg/kg bb kemudian diinduksikan dengan LS (kelompok 3, 4, dan 5) menunjukkan jumlah sel mikronukleus yang terbentuk berbeda dengan pemberian Na-CMC 1% yang kemudian diinduksikan dengan siklofosfamid (kelompok 2). Jumlah rata-rata sel mikronukleus pada pemberian

21,6 66 54,5 35 25,4 0 10 20 30 40 50 60 70 80

1 2 3 4 5

Jum la h m ik r o nuk le us Perlakuan


(50)

adalah 21,60 sel, 54,40 sel, 35,00 sel dan 25,40 sel. Jumlah ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah sel mikronukleus yang terbentuk pada kelompok yang diberikan Na-CMC 1% kemudian diinduksikan dengan LS (penginduksi), yang jumlah rata-ratanya mencapai 66,00 sel.

Untuk melihat ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan coba, dilakukan analisis variansi menggunakan program SPSS versi 22 terhadap jumlah sel mikronukleus yang terbentuk, hasil analisis variansi dapat dilihat pada Tabel 5, Lampiran 13 halaman 60. Dari hasil ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan terhadap jumlah sel mikronukleus yang terbentuk dengan nilai signifikansi p < 0,05.

Untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang sama atau berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan yang lain dilakukan uji

Post Hoc Tuckey untuk semua perlakuan, hasil uji tersebut dapat dilihat pada Tabel 7, Lampiran 13 halaman 62.

Hasil uji Post Hoc Tuckey menunjukkan bahwa jumlah sel mikronukleus yang terbentuk pada kelompok perlakuan suspensi EEKBRJ dosis 15 mg/kg bb menyamai kelompok perlakuan Na-CMC 1% (kontrol normal). Ini menunjukkan bahwa suspensi EEKBRJ dosis 15 mg/kg bb dapat menghambat terjadinya pembentukan sel mikronukleus yang diinduksi oleh siklofosfamid paling kuat karena dapat menyamai jumlah mikronukleus pada kelompok perlakuan yang hanya diberi suspensi Na-CMC 1% tanpa diinduksi dengan siklofosfamid. Efek penghambatan terbentuknya sel mikronukleus ini terkait dengan adanya senyawa flavonoid dan triterpenoid. Senyawa golongan flavonoid cenderung memiliki aktivitas antimutagenik. Radikal bebas sebagai salah satu faktor penyebab mutasi


(51)

mampu ditangkap oleh sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada flavonoid. Kandungan senyawa tanin, saponin, steroid/triterpenoid, dan glikosida juga berperan dalam mengurangi pembentukan mikronukleus dengan cara meningkatkan jumlah kematian sel dan menghambat proliferasi sel yang mengalami mutasi melalui inhibisi terhadap aktivitas protein kinase sehingga menghambat jalur tranduksi sinyal dari membran sel ke inti sel (Amin dan Moussa, 2007).

Seperti agen sitostatika pada umumnya, siklofosfamid memberikan efek samping pada sel-sel yang cepat membelah sehingga pasien dapat mengalami mual dan muntah, alopesia, serta penurunan jumlah sel darah. Namun, efek samping khas yang diakibatkan oleh penggunaan siklofosfamid jangka panjang adalah timbulnya kanker sekunder (secondary cancer) seperti leukemia myeloma akut dan limfoma (Balmer, et al., 2005). Akibatnya, pasien kanker yang mendapatkan siklofosfamid dalam regimen kemoterapinya akan rentan mengidap kanker lainnya dalam waktu beberapa tahun pasca kesembuhan dari kanker pertama. Keganasan sekunder ini muncul sebagai akibat sifat mutagenisitas dan karsinogenisitas dari siklofosfamid (Hemminki dan Kallama, 1986).


(52)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: a. Simplisia dan EEKBRJ mengandung senyawa golongan flavonoid, tanin,

steroida/triterpenoida, saponin, dan glikosida.

b. Ekstrak etanol kulit buah rotan jernang mempunyai efek sebagai antimutagenik. Pemberian EEKBRJ dosis 15 mg/kg bb memberikan efek penurunan jumlah mikronukleus yang paling kuat..

5.2 Saran

a. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menguji efek toksisitas dari EEKBRJ.

b. Disarankan kepada masyarakat secara bersama-sama untuk menjaga populasi rotan jernang yang tersisa di alam.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, A., dan Mousa, M. (2007). Merits of anti-cancer plants from the Arabian Gulf region. Cancer Therapy. 5: 55-66.

Balmer, C.M., Valley, A.W., dan Iannucini, A. (2005). Cancer Treatment and Chemotherapy. Dalam: Pharmacotherapy: A Patophysiologic Approach.

Edisi 6. Editor Joseph DiPiro. New York: McGraw-Hill. Halaman 2282. Brundage, D. (2008). Cancer Chemotherapy and Treatment. Dalam:

Pharmacotheraphy Principles & Practice. Editor Marie Chisholm-Burns. New York: McGraw-Hills.

Ciccheti, R., Bari, M., dan Argentin, G. (1999). Induction of Micronuclei in Bone Marrow by Two Pesticides and Their Differentiation With CREST Staining: In vivo Study in Mice. Mutation Research 439: 239-248.

Colegate S.M., dan Molyneux, R.J. (2008). Bioactive Natural Products: Detection, Isolation, and Structural Determination. California: CRC Press. Halaman 352-354.

Czyzewska, A., dan Mazur, L. (1995). Supressing Effect or WR-2721 on Micronuclei Induced by Cyclophosphamide in Mice. Teratogenesis, Carcinog. Mutagen.15: 109-114.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 7, 744, 748.

Depkes RI. (1986). Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 19.

Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Ditjen POM. Halaman 17, 31-32.

Ditjen POM. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 300-306, 321, 325, 333-337.

Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants. J. Pharm. Sci. 55(3): 264.

Fenech, M., Kirsch-Volders, M., Natarajan, A.T., Suralles, J., Crott, J.W., Parry, J., Norppa, H., Eastmond, D.A., Tucker, J.D., dan Thomas, P. (2011). Molecular Mechanisms of Micronucleus, Nucleoplasmic Bridge and


(54)

Fox, J.G., Davisson, M.T., Quimby, F.W., Barthold, S.W., Newcomer, C.E., dan Smith, A.L. (2007). The Mouse in Biomedical Research. Volume. 3. Edisi 2. San Diego: Elsevier. Halaman 25.

Gupta, D., Bleakly, B., dan Gupta, R.K. (2008). Dragon’s Blood: Botany, Chemistry and Therapeutic Uses. Journal of Ethnopharmacology. 115: 361-380.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Edisi II. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 152.

Hayes, J., Doherty, A.T., Adkins, D.J., Oldman, K., dan O’Donovan, M.R. (2009). The Rat Bone Marrow Micronucleus Test-Study Design and Statistical Power. Mutagenesis 24(5): 419-424.

Heddle, J.A., Hite, M., Kirkhart, B., Mavournin, K., MacGregor, J.T., Newel, G.W., dan Salamone, M.F. (1983). The Induction of Micronuclei As a Measure of Genotoxicity. Mutation Research. 123: 61-118.

Hemminki, K., dan Kallama, S. (1986). Reactions of Nitrogen Mustards with DNA. International Agency for Research on Cancer Scientific Publication.

78: 55-70.

International Agency of Reasearch on Cancer. (2010). IARC Monographs – 100A: Cyclophosphamide. Paris: International Agency of Reasearch on Cancer. Halaman 63-82.

Kong, Z., Liu, Z., dan Ding, B. (1995). Study On The Antimutagenic Effect Of Pine Needle Extract. Mutation Research. 347: 101-104.

Krishna, G., dan Hayashi, M. (2000). In Vivo Rodent Micronucleus Assay: Protocol, Conduct and Data Interpretation. Mutation Research. 455: 155-166.

Kusmardi, S.K., dan Enif, E.T. (2007). Efek Imunomodulator Ekstrak Daun Ketepeng Cina (Cassia alata L.) Terhadap Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag. Makara Kesehatan. 11(2): 50-51.

Lusiyanti, Y., Indrawati I., Wa’id, A., dan Lubis, M. (1996). Studi Awal Mikronukleus Pada Sel Limfosit Perifer. Jakarta: Pusat Standarisasi dan Penelitian Keselamatan Radiasi-Batan. Halaman 278-282.

Lyngdoh, D. (1994). Mutagenic Role of Watson-Crick Protons in Alkylated DNA Bases : A Theotrical Study. J. Biosci. 19(2): 131-143

Merck, E. (1978), Dyeing Reagents for Thin Layer and Paper Chromatography. Darmstadt: Merck. Halaman 1.


(55)

Penn, I. (1986). Malignancies Induced by Drug Therapy: A Review. International Agency for Research on CancerScientific Publication. 78: 13-27.

Purwadiwarsa. D.J., Subarnas, A., Hadiansyah, C., dan Supriyatna. (2000). Aktivitas anitimutagenik dan antioksidan daun puspa (Schima wallichii

Kort.). Cermin Dunia Kedokteran. 127: 18-21

Purwanto, Y., Polosokan, R., Susiarti, S., Waluyu, B.E. (2005). Ektraktivisme Jernang (Daemonorops sp.) dan Kemungkinan Pengembangan: Studi Kasus di Jambi, Sumatera, Indonesia. Laporan Teknik Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor.

Ramu, K., Perry, C.S., Ahmed, T., Pakenham, G., dan Kehrer, J.P. (1996). Studies on the Basis For The Toxicity of Acrolein Mercapturates. Toxicol. Appl. Pharmacol. 140(2): 487-498.

Salmon, S.E., dan Alan, C.S. (1998). Kemoterapi Kanker. Dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi keempat. Editor Bertram Katzung. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Halaman 860-861, 865.

Schmid, W. (1975). The Micronucleus Test. Mutation Research. 31: 9-15.

Shi, J., Hu, R., Lu, Y., Sun, C., dan Wu, T. (2009). Single-Step Purification of Dracorhodin From Dragon’s Blood Resin of Daemonorops draco Using High-Speed Cunter-Current Chromatography Combined With pH Modulation. J. Sep. Sci. 32: 4040-4041.

Sirois, M. (2005). Laboratory Animal Medicine: Prnciples and Procedures. St. Louis: Elsevier Mosby. Halaman 89.

Smith, F.T., dan Clark, C.R. (2011). Antineoplastic Agents. Dalam: Wilson and Gisvold’s Textbook of Organic Medicinal and Pharmaceutical Chemistry.

Edisi 12. Editor John H. Block. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins. Halaman 358-369.

Sudiana, I.K. (2008). Patobiologi Molekuler Kanker. Jakarta: Salemba Medika. Halaman 27.

Sumpena, Y., Sofyan, R., dan Rusilawati, R. (2009). Uji Mutagenisitas

Benzo(α)piren Dengan Metode Mikronukleus Pada Sumsum Tulang

Mencit Albino (Mus musculus). Cermin Dunia Kedokteran. 36(1): 35. Waluyo, T.K. (2008). Teknik Ekstraksi Tradisional dan Analisis Sifat-sifat


(56)

Wilastra, F.H. (2013). Potensi Antikanker dan Identifikasi Fraksi Drakorodin Jernang Daemonorops draco. Skripsi. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB.

Winarto, V., dan Alwis. (2013). Budidaya Tanaman Rotan Jernang (Daemonorops sp.). Pusat Penyuluhan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Halaman 2-6. World Health Organization. (1992). Quality Control Methods For Medicinal

Plant Materials. Hongkong: Printed in England. Halaman 36.

Xia, M., Wang, D., Wang, M., Tashiro, S., Onodera, S., Minami, M., Ikejima, T. (2004). Dracorhodin Perchlorate Induces Apoptosis via Activation of Caspases and Generation of Reactive Oxygen Species. J Pharmacol Sci.

95: 273–283.

Xia, M., Wang, M., Tashiro, S., Onodera, S., Minami, M., dan Ikejima, T. (2005). Dracorhodin Perchlorate Induces A375-S2 Cell Apoptosis Via Accumulation of p53 and Activation of Caspases. Biol. Pharm. Bull.

28(2): 226-232.

Yu, J., Zheng, G., Liu, C., Zhang, L., Gao, H., Zhang, Y., Dai, C., Huang, L., Meng, X., Zhang, W., dan Yu, X. (2013). Dracorhodin Perchlorate Induced Human Breast Cancer MCF-7 Apoptosis Through Mitochondrial Pathways. Int. J. Med. Sci. 10(9): 1149-1156.


(57)

LAMPIRAN


(58)

(59)

Lampiran 3. Rotan Jernang

Gambar 7 Pohon Rotan Jernang pada Pohon Rambatan Keterangan : A : Pohon Rotan Jernang


(60)

Lampiran 3. (lanjutan)

Gambar 9 Simplisia kulit buah rotan jernang


(61)

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik

1

2 3 4

5

Gambar 11 Mikroskopik serbuk simplisia kulit buah rotan jernang perbesaran 10 x 40

Keterangan :

1. Parenkim Mesokarp 2. Hablur kalsium oksalat 3. Sel batu

4. Hablur kalsium oksalat yang terdapat pada parenkim 5. Berkas pengangkut bentuk spiral


(62)

Lampiran 5. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia 1. Perhitungan Penetapan Kadar Air

% Kadar air = x 100%

(g) sampel berat (ml) air volume

a. Berat sampel = 5,0003 g Volume air = 0,3 ml

% Kadar air = x 100% 5,99% g

5,0003 ml

0,3 =

b. Berat sampel = 5,0001 g Volume air = 0,4 ml

% Kadar air = x 100% 7,99% g

5,0001 ml 0,4

= c. Berat sampel = 5,0001 g

Volume air = 0,3 ml

% Kadar air = x 100% 5,99% g

5,0001 ml 0,3

=

% Kadar air rata-rata = 6,65%

3

5,99% 7,99%


(63)

Lampiran 5. (Lanjutan)

2. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

% Kadar sari larut dalam air = x 100% 20 100 x (g) sampel berat (g) sari berat

a. Beratsampel = 5,0003 g

Berat sari = 0,1233 g

% Kadar sari larut dalam air = x 100% 12,33% 20 100 x g 5,0003 g 0,1233 =

b. Berat sampel = 5,0002 g

Berat sari = 0,1352 g

% Kadar sari larut dalam air = x 100% 13,52% 20 100 x g 5,0002 g 0,1352 =

c. Berat sampel = 5,0002 g

Berat sari = 0,1148 g

% Kadar sari larut dalam air = x 100% 11,48% 20 100 x g 5,0002 g 0,1148 =

% Kadar sari larutdalam air rata-rata = 3

11,48% 13,52%

12,33%+ +


(64)

Lampiran 5.(Lanjutan)

3. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

% Kadar sari larut dalam etanol = x 100% 20 100 x (g) sampel berat (g) sari berat

a. Berat sampel = 5,0002 g

Berat sari = 0,2514 g

% Kadar sari larut dalam etanol = x 100% 25,13% 20 100 x g 5,0002 g 0,2514 =

b. Beratsampel = 5,0004 g

Berat sari = 0,2932 g

% Kadar sari larut dalam etanol = x 100% 29,31% 20 100 x g 5,0004 g 0,2932 =

c. Berat sampel = 5,0004 g

Berat sari = 0,2733 g

% Kadar sari larut dalam etanol = x 100% 27,32% 20 100 x g 5,0004 ml 0,2733 =

% Kadar sari larut dalam etanol rata-rata = 3

27,32% 29,31%

25,13%+ +


(65)

Lampiran 5. (Lanjutan)

4. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total

% Kadar Abu Total = x 100% (g) sampel berat (g) abu berat

a. Berat sampel = 2,0029 g

Beratabu = 0,2102 g

% Kadar abu total = x 100% 10,49% g

2,0029 g

0,2102 =

b. Berat sampel = 2,0048 g

Beratabu = 0,1736 g

% Kadar abu total = x 100% 8,65% g

2,0048 g 0,1736

= c. Berat sampel = 2,0044 g

Beratabu = 0,1824 g

% Kadar abu total = x 100% 9,09% g

2,0044 g 0,1824

=

% Kadar abu total rata-rata =

3

9,09% 8,65%

10,49%+ +


(66)

Lampiran 5. (Lanjutan)

5. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tidak LarutAsam

% Kadar Abu Tidak LarutAsam = x 100% (g) sampel berat (g) abu berat

a. Berat sampel = 2,0046 g

Berat abu = 0,0082 g

% Kadar abu tidak larut asam = x 100% 0,40% g

2,0046 g

0,0082 =

b. Berat sampel = 2,0025 g

Beratabu = 0,0078 g

% Kadar abu tidak larut asam = x 100% 0,38% g

2,0025 g 0,0078

=

c. Berat sampel = 2,0044 g

Berat abu = 0,0086 g

% Kadar abu tidak larut asam = x 100% 0,43% g

2,0044 g 0,0086

=

% Kadar abu tidak larut asam rata-rata = 3

0,43% 0,38%

0,40%+ +


(67)

Lampiran 6. Bagan Alur Penelitian

Dipisahkan dari tangkainya Dikupas kulit buahnya

Dirajang-rajang Ditimbang

Dikeringkan dalam lemari pengering Ditimbang

Dihaluskan (diblender) Ditimbang

Buah rotan jernang

Kulit buah rotan jernang

Berat basah 980 g

Berat kering 820 g

Beratserbuk750 g

8. Pemeriksaan Makroskopik 9. Pemeriksaan Mikroskopik 10.Penetapan Kadar Air

11.Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air 12.Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol 13.Penetapan Kadar Abu Total

14.Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

6. Pemeriksaan Alkaloid 7. Pemeriksaan Flavonoid 8. Pemeriksaan Tanin 9. Pemeriksaan Glikosida 10.Pemeriksaan Saponin 11.Pemeriksaan


(68)

Lampiran 6.(Lanjutan)

Dimasukkan ke dalam wadah Ditambahkan etanol 96% hingga serbuk terendam

Dibiarkan selama lima hari terlindung dari cahaya, sambil sesekali diaduk

Disaring

Dimaserasi ulang menggunakan etanol 96%

Dibiarkan selama duahari terlindung daricahaya, sambil sesekali diaduk

Diuapkan dengan rotavapor(suhu 40oC)

Diuji aktifitas anti mutagenik Dilakukan skrining fitokimia

Serbuk Simplisia

Maserat Ampas

Maserat Ampas

Ekstrak kental (62,78 g)

Hasil + Hasil (Alkaloid, Flavonoid,

Tanin, Glikosida, Saponin, Steroid/Triterpeoid)


(69)

Lampiran 7. Bagan Pembuatan Preparat/Apusan Sumsum Tulang Femur Mencit

Dibunuh dengan cara dislokasi leher

Diambil salah satu tulang femurnya, dan dipotong pada bagian pangkal dan ujungnya

Pada salah satu ujung tulang femur, tusukkan jarum syringe yang telah diisi dengan 0,3 ml serum darah sapi, lalu diaspirasi sum-sum tulangkedalammikrotube

Disentrifuge dengan kecepatan 1.200 rpm selama 5 menit

Dibuang bagian supernatan

Diambil dengan menggunakan mikropipet Ditaruh pada salah satu ujung sisi objek glass, dan dioleskan hingga menyebar menggunakan objek glass yang lain

Dibiarkan hingga kering

Difiksasi menggunakan methanol selama 10 menit

Diwarnai dengan Giemsa-Metanol (20% v/v) selama 30 menit

Dicuci dengan air yang mengalir

Dikeringkan pada suhu kamar selama satu malam Mencit

Endapan / seluntuk dibuat apusan

Apusuan Sumsum tulang femur mencit


(1)

Lampiran 10.

Contoh perhitungan dosis

Contoh perhitungan dosis unuk mencit dengan berat badan 25 g dengan dosis

ekstrak etanol kulit buah rotan jernang 5 mg/kg bb

Dosis = 5 mg/kg bb

=

x

2

5

g

0

,

125

mg

g

1000

mg

5

=

Konsentrasi suspensi ekstrak yang dibuat 0,1% =

ml

mg

1

ml

100

mg

00

1

ml

100

g

,1

0

=

=

Jumlah obat yang disuntikkan =

0

,

125

ml

mg/ml

1

mg

,125

0

=

Digunakan syringe 1 ml dengan skala 100, maka 1 skala = 0,01 ml

Maka suspense yang diberikan =

12,5

skala

ml

,01

0

ml

,125


(2)

58

Lampiran 11.

Hasil Pengamatan Apusan Menggunakan Mikroskop

A

B

C

D

Gambar18

Sel yang Tampak pada Apusan Sumsum Tulang Mencit

Keterangan:

A : Sel eritrosit polikromatik bermikronukleus (perbesaran 10x100)

B : Sel eritrosit polikromatik tidak bermikronukleus (perbesaran 10x100)

C : Sel eritrosit polikromatik bermikronukleus (perbesaran 10x40)

D : Sel eritrosit polikromatik tidak bermikronukleus (perbesaran 10x40)


(3)

Lampiran 12.

Jumlah Sel Mikronukleus Pada SumsumTulang Femur Mencit

Tabe l3

Jumlah mikronukleus dalam 200 sel eritrosit polikromatik

Kelompok

Perlakuan

Jumlah sel mikronukleus

Mencit1 Mencit2 Mencit3 Mencit4 Mencit5

I

Suspensi CMC

1%

23

20

21

24

20

II

Suspensi CMC

1%, Induksi

dengan

Siklofosfamid

68

65

64

66

67

III

Suspensi

EEKBRJ dosis 5

mg/kg bb,

Induksi dengan

Siklofosfamid

59

54

55

53

51

IV

Suspensi

EEKBRJ dosis

10 mg/kg bb,

Induksi dengan

Siklofosfamid

37

34

36

35

33

V

Suspensi

EEKBRJ dosis

15 mg/kg bb,

Induksi dengan

Siklofosfamid


(4)

60

Lampiran 13.

Hasil Analisis Statistik Menggunakan SPSS 22

Tabel 4

Uji Deskriptif

Descriptives jumlahmikronukleus

N Mean Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound

Upper Bound

Kontrol

Normal 5 21,6000 1,81659 ,81240 19,3444 23,8556 20,00 24,00 penginduksi 5 66,0000 1,58114 ,70711 64,0368 67,9632 64,00 68,00

EEKBRJ 5

mg/kg bb 5 54,4000 2,96648 1,32665 50,7166 58,0834 51,00 59,00 EEKBRJ 10

mg/kg bb 5 35,0000 1,58114 ,70711 33,0368 36,9632 33,00 37,00 EEKBRJ 15

mg/kg bb 5 25,4000 1,14018 ,50990 23,9843 26,8157 24,00 27,00 Total 25 40,4800 17,52170 3,50434 33,2474 47,7126 20,00 68,00

Tabel 5.

Uji ANAVA satu arah (

one way

ANOVA)

ANOVA jumlahmikronukleus

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 7294,640 4 1823,660 495,560 ,000 Within Groups 73,600 20 3,680

Total 7368,240 24


(5)

Lampiran 13.

(lanjutan)

Tabel 6

Uji Normalitas

Tests of Normality perlakuan

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Jumlahmikronukleus Kontrol Normal ,229 5 ,200* ,867 5 ,254

Penginduksi ,136 5 ,200* ,987 5 ,967

EEKBRJ 5 mg/kg

bb ,220 5 ,200

* ,956 5 ,777

EEKBRJ 10

mg/kg bb ,136 5 ,200

* ,987 5 ,967

EEKBRJ 15

mg/kg bb ,237 5 ,200

* ,961 5 ,814

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction


(6)

62

Lampiran 13.

(lanjutan)

Tabel 7

Uji

Post Hoc Tuckey

Multiple Comparisons Dependent Variable: jumlahmikronukleus

Tukey HSD

(I)

perlakuan (J) perlakuan

Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Kontrol Normal

Penginduksi -44,40000* 1,21326 ,000 -48,0305 -40,7695

EEKBRJ 5 mg/kg bb -32,80000* 1,21326 ,000 -36,4305 -29,1695

EEKBRJ 10 mg/kg bb -13,40000* 1,21326 ,000 -17,0305 -9,7695

EEKBRJ 15 mg/kg BB -3,80000* 1,21326 ,037 -7,4305 -,1695 Penginduksi Kontrol Normal 44,40000* 1,21326 ,000 40,7695 48,0305 EEKBRJ 5 mg/kg bb 11,60000* 1,21326 ,000 7,9695 15,2305 EEKBRJ 10 mg/kg bb 31,00000* 1,21326 ,000 27,3695 34,6305 EEKBRJ 15 mg/kg bb 40,60000* 1,21326 ,000 36,9695 44,2305 EEKBRJ 5

mg/kg BB

Kontrol Normal 32,80000* 1,21326 ,000 29,1695 36,4305 Penginduksi -11,60000* 1,21326 ,000 -15,2305 -7,9695 EEKBRJ 10 mg/kg bb 19,40000* 1,21326 ,000 15,7695 23,0305 EEKBRJ 15 mg/kg bb 29,00000* 1,21326 ,000 25,3695 32,6305 EEKBRJ 10

mg/kg BB

Kontrol Normal 13,40000* 1,21326 ,000 9,7695 17,0305 Pengiduksi -31,00000* 1,21326 ,000 -34,6305 -27,3695 EEKBRJ 5 mg/kg bb -19,40000* 1,21326 ,000 -23,0305 -15,7695 EEKBRJ 15 mg/kg bb 9,60000* 1,21326 ,000 5,9695 13,2305 EEKBRJ 15

mg/kg BB

Kontrol Normal 3,80000* 1,21326 ,037 ,1695 7,4305

Penginduksi -40,60000* 1,21326 ,000 -44,2305 -36,9695

EEKBRJ 5 mg/kg bb -29,00000* 1,21326 ,000 -32,6305 -25,3695

EEKBRJ 10 mg/kg bb -9,60000* 1,21326 ,000 -13,2305 -5,9695

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.


Dokumen yang terkait

Uji Antimuagenik Ekstrak Etanol Bunga Jantan Pepaya (Carica papaya L.) pada Mencit Jantan yang Diinduksi dengan Siklofosfamid

3 63 76

Efek Ekstrak Etanol Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) Sebagai Antimutagenik Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid

4 46 91

Efek Ekstrak Etanol Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) Sebagai Antimutagenik Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid

0 0 14

Efek Ekstrak Etanol Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) Sebagai Antimutagenik Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid

0 0 2

Efek Ekstrak Etanol Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) Sebagai Antimutagenik Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid

0 0 6

Efek Ekstrak Etanol Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) Sebagai Antimutagenik Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid

0 0 12

Efek Ekstrak Etanol Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) Sebagai Antimutagenik Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid

0 1 5

Efek Ekstrak Etanol Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) Sebagai Antimutagenik Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid

0 0 27

Uji Antimutagenik Ekstrak Etanol KulitBuah Rotan Jernang (Daemonoropsdraco) Pada Mencit Jantan Yang Diinduksi Siklofosfamid

0 0 22

UJI ANTIMUTAGENIK EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH ROTAN JERNANG (Daemonorops draco(Wild.) Blume) PADA MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI SIKLOFOSFAMID SKRIPSI

0 0 14