Epidemi Beberapa Penyakit Penting Pada Tanaman Ubi Jalar (Ipomoea Batatas Lamb.) Di Tiga Desa, Kabupaten Bogor

EPIDEMI BEBERAPA PENYAKIT PENTING
PADA TANAMAN UBI JALAR (Ipomoea batatas Lamb.)
DI TIGA DESA, KABUPATEN BOGOR

LINA FADLIATUL JANNAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Epidemi beberapa
Penyakit Penting pada Tanaman Ubi Jalar (Ipomoea batatas Lamb.) di Tiga Desa,
Kabupaten Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016
Lina Fadliatul Jannah
NIM A34110012

____________________
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian harus didasarkan pada
perjanjian kerja sama pihak yang terkait.

ABSTRAK

LINA FADLIATUL JANNAH. Epidemi beberapa Penyakit Penting pada Tanaman
Ubi Jalar (Ipomoea batatas Lamb.) di Tiga Desa, Kabupaten Bogor. Dibimbing
oleh ABDUL MUIN ADNAN.
Ubi jalar (Ipomoea batatas Lamb.) merupakan salah satu jenis tanaman
pangan yang banyak dibudidayakan terutama di wilayah Indonesia bagian Timur.
Ubi jalar dimanfaatkan ubinya baik sebagai makanan pokok maupun sebagai
makanan sampingan karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi. Berbagai jenis

patogen yang dapat menyerang ubi jalar merupakan salah satu kendala yang cukup
penting dalam budidaya tanaman ini. Penelitian ini bertujuan mengetahui
perkembangan penyakit-penyakit penting dan cara budidaya tanaman ubi jalar di
tiga desa, wilayah Kabupaten Bogor. Pengamatan dilakukan terhadap
perkembangan penyakit dan cara budidaya tanaman. Perkembangan penyakit
diamati secara langsung pada sampel daun beserta tangkai dan batangnya di petakpetak pertanaman. Pengamatan penyakit dilakukan pada 50 sampel daun beserta
tangkai, dan batangnya per sub petak, dan dinilai berdasarkan skoring penyakit
dengan mengacu pada Zuraida et al. (1992). Pengamatan penyakit dilakukan 6 kali
dengan interval satu minggu sekali. Identifikasi penyakit yang disebabkan oleh
cendawan menggunakan acuan dari Barnett dan Hunter (1998). Sebagai data
penunjang, dikumpulkan informasi cara budidaya tanaman dengan metode
wawancara dengan petani pemilik/penggarap lahan ubi jalar di lokasi penelitian
menggunakan kuesioner terstruktur. Pengolahan data menggunakan Microsoft
Office Excel 2013 dan dianalisis secara deskriptif. Penyakit yang ditemukan di
Tenjolaya dan Bantarjaya adalah penyakit bercak daun cercospora, Sweet potato
chlorotic stunt virus (SPCSV), bercak daun alternaria, kudis, Sweet potato feathery
mottle virus (SPFMV), dan busuk batang. Sementara itu, penyakit yang ditemukan
di Cikarawang adalah penyakit bercak daun cercospora, SPCSV, bercak daun
alternaria, dan penyakit hawar daun phytophthora.
Kata kunci: Epidemi, ubi jalar, penyakit ubi jalar


ABSTRACT

LINA FADLIATUL JANNAH. Epidemi of Some Important Diseases on Sweet
Potato (Ipomoea batatas Lamb.) in Three Villages, Bogor Regency. Supervised by
ABDUL MUIN ADNAN.
Sweet potato (Ipomoea batatas Lamb.) is one of crop grown mainly in the
eastern zone of Indonesia. It is commonly used both as a staple food and as a side
dish for its high carbohydrate content. Various types of pathogens that can infect it
become a quite serious problem of its cultivation. This research was conduct to
determine the development of sweet potato’s important diseases and to describe its
cultivation in three villages of Bogor regency. Observations were held on disease
development and cultural practices. Disease development was observed directly on
leaves sample along with the petioles and stems at the crop plots. It carried out on
50 leaves, petioles, and stems per sub plot by using scoring according to Zuraida et
al. (1992). The observation was conducted six times, one a week. Identification
disease caused by fungus was held using reference from Barnett and Hunter (1998).
As supporting data, information about cultural practices was also collected by
interviewing farmer as owner or tenant of the field using structured questionnaire.
Data was processed using Microsoft Office Excel 2013 and analyzed descriptively.

Identified disease at Tenjolaya and Bantarjaya were cercospora leaf spot, Sweet
potato chlorotic stunt virus (SPCSV), alternaria leaf spot, Sweet potato feathery
mottle virus (SPFMV), scab, and stem rot; where as identified disease at
Cikarawang were cercospora leaf spot disease, SPCSV, alternaria leaf spot, and
phytophthora leaf blight.
Keywords: Epidemiology, sweet potato, sweet potato disease

3

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

5


EPIDEMI BEBERAPA PENYAKIT PENTING
PADA TANAMAN UBI JALAR (Ipomoea batatas Lamb.)
DI TIGA DESA, KABUPATEN BOGOR

LINA FADLIATUL JANNAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

9


PRAKATA

Alhamdulillahirabbilaalamiin, penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
telah memberikan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir yang berjudul “Epidemi beberapa Penyakit Penting pada Tanaman Ubi
Jalar (Ipomoea batatas Lamb.) di Tiga Desa, Kabupaten Bogor”. Penelitian ini
dilaksanakan di desa Tenjolaya, Cikarawang, dan Bantarjaya, Kabupaten Bogor,
dan Laboratorium Nematologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor pada bulan November sampai Desember 2014, dan bulan
Mei sampai Juni 2015.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS
sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing dan memberikan
arahan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan
penelitian, sampai penyusunan skripsi ini. Dr. Ir. Pudjianto, MS sebagai dosen
penguji yang telah memberikan banyak masukan untuk penulisan skripsi, serta
Bapak Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, M.S. sebagai dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan banyak masukan selama perkuliahan. Kepada
yang tercinta Ayahanda Safarudin dan Ibunda Nurhayati yang senantiasa
mendoakan penulis dengan penuh keikhlasan, kasih, dan sayangnya sampai penulis

meraih sukses hingga detik ini, Kakak dan Adik-adik yang juga mewarnai hari –
hari penulis dengan penuh canda tawa. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak H. Yusuf, Bapak Sukardi, Ibu Wati, dan Bapak Nunung
yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menggunakan lahannya sebagai
tempat penelitian penulis. Saudara Etoser 48 yang telah membersamai penulis sejak
awal menginjakkan kaki di IPB, terima kasih atas doa dan semangat yang kalian
berikan kepada penulis, sungguh sangat berpengaruh dalam penyelesaian tugas
akhir ini. Rekan-rekan Departemen Proteksi Tanaman angkatan 48 yang selalu
memberikan dukungan dalam setiap kesempatan, terima kasih untuk kebersamaan
ini. Fuad Hilmi, saudara se-perjuangan sejak masa kanak-kanak sampai dewasa,
terima kasih telah memberikan hiburan dan motivasi kepada penulis. Terima kasih
untuk semua canda, tawa, suka, duka yang kalian bagi dengan penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan hasil penelitian ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk memperbaiki penulisan di
masa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis dan
pembaca.
Bogor, Januari 2016
Lina Fadliatul Jannah


iii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iiiii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. v
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................................... 2
Tujuan Penelitian ........................................................................................... 2
Manfaat Penelitian ......................................................................................... 3
BAHAN DAN METODE ....................................................................................... 3
Waktu dan Tempat......................................................................................... 3
Bahan dan Alat .............................................................................................. 3
Metode Pengumpulan Data ........................................................................... 3
Wawancara ........................................................................................... 3
Pengamatan Perkembangan Penyakit .................................................. 3
Identifikasi Penyebab Penyakit ............................................................ 5
Analisis Data ........................................................................................ 5

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 6
Karakteristik Umum Lahan Pengamatan ....................................................... 6
Laju Perkembangan Penyakit ........................................................................ 7
Bercak Daun Cercospora...................................................................... 7
Sweet potato chlorotic stunt virus (SPCSV) ..................................... 8
Bercak Daun Alternaria........................................................................ 9
Kudis (scab) ....................................................................................... 10
Sweet potato feathery mottle virus (SPFMV) .................................... 11
Busuk Batang ..................................................................................... 12
Hawar Daun Phytophthora ................................................................. 13
Perkembangan Penyakit-Penyakit secara Kolektif ............................ 14
Pembahasan Umum ..................................................................................... 14
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 16
Simpulan ...................................................................................................... 16
Saran ............................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17
LAMPIRAN .......................................................................................................... 19
RIWAYAT HIDUP............................................................................................... 23

DAFTAR TABEL

1 Skoring penyakit ubi jalar menurut Zuraida et al. 1992 ..................................... 4
2 Karakteristik umum lahan pengamatan penyakit ubi jalar di Tenjolaya,
Cikarawang, dan Bantarjaya, Kabupaten Bogor ................................................ 6
3 Intensitas penyakit bercak daun Cercospora di tiga desa, Kabupaten Bogor
............................................................................................................................ 8
4 Intensitas penyakit Sweet potato chlorotic stunt virus di tiga desa, Kabupaten
Bogor .................................................................................................................. 9
5 Intensitas penyakit Alternaria di tiga desa, Kabupaten Bogor.......................... 10
6 Intensitas penyakit kudis di tiga desa, Kabupaten Bogor ................................. 11
7 Intensitas penyakit Sweet potato feathery mottle virus di tiga desa,
Kabupaten Bogor .............................................................................................. 12
8 Intensitas penyakit busuk batang di tiga desa, Kabupaten Bogor..................... 13
9 Intensitas penyakit hawar daun Phytophthora. di tiga desa, Kabupaten
Bogor ................................................................................................................ 14
10 Intensitas kolektif penyakit-penyakit di tiga desa, Kabupaten Bogor

DAFTAR GAMBAR

1 Contoh petak dan sub petak pengamatan ............................................................ 3
2 Sub petak pengamatan di Desa Cikarawang ....................................................... 4

3 Gejala bercak daun cercospora (A) dan bentuk konidiofor Cercospora
ipomoea pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran
100X (B) ............................................................................................................. 7
4 Gejala klorosis pada daun, terjadi penebalan warna pada tulang daun .............. 8
5 Gejala penyakit bercak daun alternaria pada daun ubi jalar (A) dan bentuk
konidia* cendawan Alternaria sp. (B: *Sumber: prgdb.crg.eu) ............................... 9
6 Batang tanaman ubi jalar yang terkena penyakit kudis (A) dan bentuk
konidia Elsinoe batatas pada pengamatan menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 100X (B) ............................................................................ 10
7 Gejala SPFMV pada daun ubi jalar .................................................................. 12
8 Batang ubi jalar yang terkena penyakit busuk batang ...................................... 13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner wawancara petani ............................................................................ 21

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ubi jalar (Ipomoea batatas Lamb.) merupakan jenis tanaman pangan umbiumbian terpenting ketiga di dunia dan makanan pokok paling populer keempat di
negara berkembang termasuk Indonesia (FAO 2013). Ubi jalar termasuk salah satu
jenis tanaman merambat yang dapat tumbuh dari dataran rendah sampai pada
ketinggian 2 500 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini memiliki banyak
manfaat, mulai dari daun sampai umbi. Selain itu ubi jalar merupakan salah satu
tanaman indegenus yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber
karbohidrat. Pengembangan ini didasari oleh beberapa faktor pendukung yaitu: (1)
budidaya ubi jalar memerlukan input rendah, berisiko kecil serta memiliki
penyebaran lingkungan tumbuh yang cukup luas; (2) berumur pendek (± 3.5 bulan);
(3) memiliki produktivitas yang tinggi; (4) memiliki kandungan gizi yang baik bagi
kesehatan; (5) harga umbi relatif tinggi; dan (6) potensi pemanfaatannya cukup luas
(Mekonen et al. 2014).
Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat alternatif pengganti beras.
Selain itu, zat gizi yang terkandung dalam ubi jalar dapat mengimbangi zat gizi
yang terdapat pada gandum dan beras. Selain sebagai sumber karbohidrat yang
baik, ubi jalar juga sebagai sumber serat pangan yang sangat diperlukan tubuh. Ubi
jalar ungu dan jingga mengandung senyawa betakaroten dan antosianin yang
berfungsi sebagai komponen antioksidan (Suarta et al. 2012). Avianty (2013)
mengemukakan bahwa ubi jalar memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, dalam
satu takaran saji 56 g snack bar ubi merah, kuning, ungu secara berurutan
mengandung 131.89; 149.79; 142.30 kkal energi, 30.86; 35.68; 33.32 g karbohidrat,
0.41; 0.39; 0.43 g lemak, 1.19; 0.897; 1.28 g protein, 1.74; 1.66; 2.13 g serat, dan
10.24; 13.89; 8.91 g amilosa.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS 2013) Provinsi Jawa Barat, produksi ubi
jalar mengalami peningkatan sebesar 9.99% dari 436 577 ton pada tahun 2012
menjadi 485 065 ton pada tahun 2013 dengan luas tanam 26 635 hektar. Wilayah
yang berpotensi untuk penanaman ubi jalar di Jawa Barat terdapat sekitar 26
kabupaten dan kota. Kabupaten Bogor berada pada urutan ke-3 dengan luas tanam
3 764 hektar untuk penanaman ubi jalar setelah Kabupaten Kuningan dan Garut
dengan luas tanam berturut-turut 5 546 hektar dan 5 388 hektar (BKPM 2015).
Macam-macam produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku ubi jalar di antaranya
selai, dodol, permen, kremes, tepung, korbitol, kue marmer, tape, manisan, asinan,
keripik, minuman ringan, dan lain-lain (Koswara 2009; Sudarwati 2012).
Luasnya lahan yang digunakan untuk budidaya ubi jalar di Kabupaten Bogor
memberikan peluang bagi masyarakat luas, khususnya masyarakat Bogor untuk
membuka usaha rumahan seperti yang sudah dilakukan oleh warga di Desa
Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor. Gabungan beberapa petani ubi jalar serta
masyarakat di Desa Cikarawang membuat usaha tepung ubi jalar yang selanjutnya
dipasarkan ke warung-warung dan pasar terdekat. Namun berbagai faktor gangguan
hama, penyakit, lingkungan, dan cuaca menyebabkan kurangnya pasokan ubi jalar
dari petani sehingga produksi tepung ubi jalar menjadi terhambat. Beberapa

2

penyebab rendahnya produktivitas tanaman ubi jalar gangguan faktor lingkungan,
genetik tanaman, hama dan penyakit tanaman (Syah et al. 2009)
Beberapa penyakit penting yang sering menjangkiti tanaman ubi jalar adalah
kudis (scab), bercak daun cercospora, busuk umbi, mozaik virus, dan penyakit
lainnya dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Semangun 2004). Salah satu
prasyarat keberhasilan dalam pengendalian suatu penyakit tanaman adalah
pengetahuan tentang epidemi penyakit tersebut. Epidemi merupakan proses intensif
suatu patogen untuk menyebabkan penyakit pada inangnya dalam waktu dan
wilayah tertentu, sedangkan ilmu yang mempelajari tentang epidemi disebut
epidemiologi (Madden 2010). Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui epidemi berbagai penyakit yang menimbulkan
kerusakan pada tanaman ubi jalar di Kabupaten Bogor, agar strategi pengendalian
dapat dilakukan lebih terarah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui perkembangan penyakit-penyakit
penting pada tanaman ubi jalar, khususnya di tiga desa, wilayah Kabupaten Bogor,
Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai informasi
dasar mengenai perkembangan macam-macam penyakit penting pada tanaman ubi
jalar di tiga desa, wilayah Kabupaten Bogor yang dapat digunakan sebagai dasar
pengelolaan penyakit-penyakit tersebut.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan November sampai Desember 2014 di Desa
Tenjolaya (Kecamatan Tenjolaya) dan Cikarawang (Kecamatan Dramaga), dan
bulan Mei sampai Juni 2015 di Desa Bantarjaya (Kecamatan Bantar Kambing),
Kabupaten Bogor. Pengamatan morfologi gejala dan identifikasi penyebab penyakit
dilakukan di Laboratorium Nematologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah pertanaman ubi jalar di
kebun milik petani dengan luasan minimal 3000 m2 di Desa Tenjolaya, Cikarawang,
dan Bantarjaya. Serta menggunakan kuesioner sebagai alat untuk mendapatkan
informasi pendukung tentang teknik budidaya ubi jalar pada tiap desa.
Metode Pengumpulan Data
Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap petani pemilik atau penggarap lahan dengan
menggunakan kuesioner terstruktur (Lampiran 1). Kuesioner berisi tentang sejarah
pertanaman, sejarah penggunaan lahan, teknik budidaya yang digunakan, jenis
patogen yang sering menyerang tanaman, cara pengendalian, dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan budidaya ubi jalar.
Pengamatan perkembangan penyakit
Pengamatan dilakukan secara langsung di lapangan pada tiga desa. Pada tiap
desa diamati 5 petak tanaman ubi jalar. Pada tiap petak diamati 5 subpetak
pengamatan masing-masing berukuran 1 m2, 4 subpetak berada di setiap sudut lahan
dan satu subpetak berada di tengah petak (Gambar 1 dan 2). Pada tiap subpetak
diamati 50 daun contoh berserta tangkai dan batangnya (unit sampel) yang dipilih
secara acak dan diberi label dengan penomoran 1 sampai 50. Pengamatan dilakukan
enam kali dimulai pada tanaman umur 6 minggu setelah tanam dengan interval satu
minggu. Pengamatan dilakukan dengan menduga penyebab penyakit berdasarkan
morfologi gejala, kemudian dinilai berdasarkan skoring Zuraida et al. (1992) yang
secara rinci tersedia pada Tabel 1.
1

2

Petak amatan

3

4

Sub-petak

5

Gambar 1 Contoh petak dan subpetak pengamatan

4

Gambar 2 Subpetak pengamatan di Desa Cikarawang
Indrayani (2008) mengemukakan bahwa pengambilan sampel dengan metode
sistematik dapat memberikan hasil yang sama dengan metode acak sederhana
dalam pemencaran penyakit tanaman. Milan et al. (2010) melakukan pengamatan
intensitas penyakit pada tanaman dihitung dengan menggunakan metode
Townsend-Heuberger (1943), dengan rumus sebagai berikut:
KP =

∑���
×
��

%

Keterangan:
KP : Keparahan penyakit
n
: Jumlah tanaman dengan kategori kerusakan tertentu
vi
: Nilai skala kerusakan dengan kategori i tertentu (i = 0, 1, 2, 3, 4, 5)
Z
: Nilai skala tertinggi yang ditentukan (=5)
N
: Jumlah seluruh tanaman yang diamati
Tabel 1 Skoring penyakit ubi jalar menurut Zuraida et al. 1992
Nilai skala (vi)
0
1
2
3
4
5

Presentase daun (x) yang mengalami kerusakan
x=0
0 < x ≤ 20%
20% < x ≤ 40%
40% < x ≤ 60%
60% < x ≤ 80%
x > 80%

Kejadian/insidensi penyakit yang disebabkan oleh virus dihitung berdasarkan
jumlah tanaman sakit dibagi dengan jumlah tanaman yang diamati dikali dengan
100%. Rumus yang digunakan adalah rumus perhitungan Insidensi penyakit (IP).
Pengukuran IP dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
IP =


×


%

5
Keterangan:
IP : Insidensi penyakit
n
: Jumlah tanaman bergejala
N
: Jumlah tanaman diamati
Identifikasi penyebab penyakit
Daun, tangkai daun dan batang di luar sampel, yang menunjukkan gejala yang
sama dengan sampel yang diamati, damati di laboratorium. Pengamatan dilakukan
dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis
dilakukan terhadap morfologi gejala yang tampak pada tanaman, sedangkan
pengamatan mikroskopis dilakukan terhadap morfologi tanda/propagul patogen
yang berasosiasi dengan gejala, dengan bantuan mikroskop compound pada
perbesaran 100x. Patogen yang tergolong cendawan diidentifikasi berdasarkan
morfologi sporanya menggunakan acuan menurut Barnett dan Hunter (1998).
Analisis Data
Data diolah menggunakan Microsoft Office Excel 2013 dan analisis secara
deskriptif.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Krakteristik Umum Lahan Pengamatan
Tiga desa pengamatan, yaitu Desa Tenjolaya, Cikarawang, dan Bantarjaya
merupakan sentra penghasil ubi jalar di Kabupaten Bogor. Karakteristik umum
lahan pengamatan ketiga desa tersebut relatif berbeda (Tabel 2).
Tabel 2 Karakteristik umum lahan pengamatan penyakit ubi jalar di Tenjolaya,
Cikarawang, dan Bantarjaya, Kabupaten Bogor
Kategori
a

Koordinat

a

Curah hujan
Temperatur
a
Kelembaban
d
Luas lahan
d
Varietas
d
Asal bibit
a

d
d

Pola tanam
Pola rotasi

d

Pupuk
Pestisida
d
Umur panen
d
Hasil panen
d

Lokasi penelitian (Desa)
Tenjolaya
Cikarawang
b
Lat :-6.5457012 LS
Lat :-6.6592198 LS
c
Long:106.7010986 BT Long:106.7323118 BT
270 mdpl
273 mdpl
447.7 mm
441.5 mm
22.9 oC
23.5 oC
83%
82%
2
3250 m
3200 m2
Ubi putih
Ubi kuning
Dari tanaman
Dari tanaman
sebelumnya dan petani sebelumnya dan petani
lain
lain
Monokultur
Monokultur
Ubi jalar, padi, ubi jalar Kacang tanah, ubi
jalar, ubi jalar
Ponska
Ponska, Urea, TSP
Tidak
Ya (Decis)
3 bulan
3 bulan
2.5 ton
57 kg

Bantarjaya
Lat : -6.5307222 LS
Long: 106.7330267 BT
350 mdpl
228.5 mm
25.7 oC
82%
3000 m2
Ubi putih, AC
Dari petani lain

Monokultur
Jagung, ubi kayu, ubi
jalar
Pukan, TSP
Tidak
3 bulan
2.5 ton

a

Data diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Dramaga, Bogor.
Latitude atau lintang
c
Longitude atau bujur
d
Hasil wawancara dengan petani.
b

Penyakit yang Ditemukan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di Tenjolaya dan Bantarjaya
ditemukan 6 jenis penyakit yang sama, yaitu penyakit bercak daun cercospora,
kudis, Sweet potato feathery mottle virus (SPFMV), Sweet potato chlorotic stunt
virus (SPCSV), bercak daun alternaria, dan busuk batang. Sementara itu di Desa
Cikarawang hanya ditemukan 4 jenis penyakit, yaitu bercak daun cercospora,
SPCSV, bercak daun alternaria, dan hawar daun phytophthora. Hasil pengamatan
menunjukkan bawa bercak daun cercospora merupakan penyakit yang paling
dominan dan kontribusinya paling besar dalam besaran intensitas penyakit-penyakit
secara kolektif.

7
Laju Perkembangan Penyakit
Bercak Daun Cercospora
Penyakit bercak daun cercospora ditemukan di semua desa yang diamati.
Penyakit ini terdapat pada daun muda dan daun tua. Gejala yang terlihat di lapangan
pada awal infeksi berupa bercak coklat pekat pada permukaan atas daun, kemudian
bercak membesar seiring berjalannya waktu, dan warna bercak berubah menjadi
coklat muda dengan dikelilingi zona berwarna kuning (Gambar 3A). Pada tingkat
infeksi lanjut, daun menguning secara keseluruhan dengan bercak coklat yang tetap
tampak, akhirnya daun gugur.
Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis dapat diketahui bahwa
penyakit tersebut disebabkan oleh cendawan. Morfologi cendawan yang didapatkan
yaitu konidiofor berwarna abu-abu gelap dan memanjang dengan beberapa sekat
(Gambar 3B). Menurut Barnet dan Hunter (1998) cendawan dengan morfologi
konidiofor berwarna abu-abu gelap atau hialin, bentuk memanjang dengan
beberapa sekat adalah cendawan dari genus cercospora. Cendawan ini umumnya
menyerang tumbuhan tingkat tinggi yang dapat menyebabkan gejala seperti mata
katak. Semangun (1991) mengemukakan bahwa penyakit bercak daun cercospora
pada tanaman ubu jalar disebabkan oleh cendawan Cercospora ipomoea. Penyakit
tersebut umumnya meningkat pada musim hujan (Harter dan Weimer 1929).

10 µm
Gambar 3 Gejala bercak daun cercospora (A) dan bentuk konidiofor Cercospora
ipomoea pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran
100X (B)
Intensitas penyakit bercak daun cercospora di tiap desa terus mengalami
peningkatan dari pengamatan ke-1 hingga ke-6 dengan laju yang relatif tidak
berbeda (Tabel 3). Bercak daun cercospora merupakan penyakit yang paling
dominan di seluruh desa dibandingkan dengan penyakit-penyakit lainnya. Intensitas
penyakit ini paling tinggi terjadi di Cikarawang kemudian diikuti oleh Bantarjaya
dan Tenjolaya. Tingginya intensitas penyakit ini menjadi salah satu penyebab
terjadinya gugur daun secara massal yang memberikan kontribusi paling besar
dalam penurunan produksi di Cikarawang (Tabel 2).
Intensitas pada awal pengamatan tertinggi terjadi di Tenjolaya, kemudian
diikuti oleh Cikarawang dan Bantarjaya (paling rendah). Hal ini disebabkan saat
awal pengamatan, curah hujan di Tenjolaya paling tinggi dibandingkan dua desa
lainnya. Selain itu ada kemungkinan bibit yang digunakan sudah terinfeksi

8
Cercospora ipomoea karena bibit yang digunakan berasal dari tanaman
sebelumnya dan dari petani lain yang tidak terjamin kesehatannya.
Intensitas dan laju perkembangan penyakit bercak daun cercospora di tiga
desa pada pengamatan ke-5 relatif tidak berbeda, akan tetapi pada pengamatan ke6 menjadi relatif berbeda. Intensitas penyakit tertinggi terjadi di Cikarawang,
diikuti oleh Bantarjaya dan Tenjolaya (Tabel 3). Intensitas penyakit tertinggi yang
terjadi di Cikarawang diduga berkaitan erat dengan penanaman ubi jalar yang
dilakukan selama dua musim berturut-turut, tanpa rotasi. Sementara itu,
berdasarkan perkembangan penyakit laju tertinggi terjadi di Bantarjaya, diikuti oleh
Cikarawang dan Tenjolaya.
Tabel 3 Intensitas penyakit bercak daun cercospora di tiga desa, Kabupaten
Bogor
Desa
Tenjolaya
Cikarawang
Bantarjaya

Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)
1
2
3
4
5
6
3.88
11.68
25.90
39.02
53.17
55.30
1.87
5.87
25.37
46.46
58.78
70.54
0.22
6.89
24.19
34.68
45.74
68.44

Sweet Potato Chlorotic Stunt Virus (SPCSV)
Penyakit Sweet potato chlorotic stunt virus (SPCSV) terdapat di semua desa.
Gejala khas SPCSV terjadi pada daun berupa klorosis, dan tulang daun menebal
dengan warna yang lebih gelap dibandingkan dengan lamina daun (Gambar 4).
Diketahui virus ini dapat mematikan daun dalam waktu satu sampai dua minggu.
Daun yang terinfeksi SPCSV memiliki warna lebih cerah dibandingkan daun yang
tidak terinfeksi. Pada infeksi lanjut, menyebabkan tingkat keparahan penyakit
semakin tinggi dan menyebabkan gugur daun secara prematur.

Gambar 4 Gejala klorosis pada daun, terjadi penebalan warna pada tulang daun
Insidensi penyakit SPCSV di tiga desa relatif berbeda. Insidensi penyakit
tertinggi terjadi di Tenjolaya, kemudian diikuti Cikarawang dan Bantarjaya,
sedangkan laju perkembangan penyakit tertinggi terjadi di Bantarjaya, kemudian
diikuti Cikarawang dan Tenjolaya (Tabel 4). Penyakit ini disebabkan oleh virus
yang bersifat persisten dan dapat disebarkan oleh serangga vektor Bemisia tabaci.
Populasi B. tabaci dapat mempengaruhi penyebaran SPCSV. Semakin tinggi
populasi B. tabaci maka penyebaran virus ini semakin luas, dan insidensi penyakit
menjadi semakin tinggi.

9

Tabel 4 Insidensi penyakit Sweet potato chlorotic stunt virus di tiga desa,
Kabupaten Bogor
Desa
Tenjolaya
Cikarawang
Bantarjaya

Insidensi penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)
1
2
3
4
5
6
6.80
8.08
10.20
10.60
10.60
10.60
2.48
5.84
8.08
8.64
8.64
8.64
0.08
1.12
3.52
3.76
3.76
3.76

Bercak Daun Alternaria
Penyakit bercak daun alternaria merupakan salah satu penyakit dengan
keparahan terbesar ketiga setelah bercak daun cercospora dan SPCSV. Gejala
penyakit ini yaitu pada permukaan atas daun dipenuhi oleh bercak abu-abu,
beberapa ada yang sampai ke batang (Gambar 5A). Pada infeksi lanjut, bercak abuabu pada daun akan semakin berkembang, dan dikelilingi oleh zona berwarna
kuning. Apabila gejala telah menyebar luas, daun menguning seluruhnya, layu,
hingga akhirnya mati. Hal ini sesuai dengan Stathers et al. (2005) yang
mengemukakan bahwa penyakit dengan gejala bercak coklat/abu-abu/hitam
berbentuk oval/bulat dengan lingkaran konsentris berwarna kuning pada tingkat
gejala lanjut disebabkan oleh Alternaria sp. Cendawan Alternaria sp. memiliki
bentuk mikroskopis yang khas yaitu konidia berwarna gelap, dengan septa yang
membujur dan melintang serta pada bagian ujungnya membentuk kerucut yang
tumpul seperti pada Gambar 5B (Barnet dan Hunter 1998). Gejala penyakit ini
hampir mirip dengan gejala penyakit bercak daun cercospora. Akan tetapi terdapat
perbedaan antar keduanya yaitu daun yang terinfeksi Alternaria sp. memiliki bercak
berwarna abu-abu dengan bentuk yang lebih bundar, sedangkan daun yang
terinfeksi C. ipomoea memiliki bercak berwarna coklat dengan bentuk dan ukuran
yang kurang beraturan.

Gambar 5 Gejala penyakit bercak daun alternaria pada daun ubi jalar (A) dan
bentuk konidia* cendawan Alternaria sp. (B: *Sumber: prgdb.crg.eu)
Laju dan perkembangan penyakit bercak daun alternaria di tiga desa relatif
tidak berbeda. Intensitas penyakit tertinggi terdapat di Tenjolaya sejak awal hingga
akhir pengamatan (Tabel 5). Alternaria sp. merupakan kelompok cendawan yang
dapat bertahan di tanah dan sisa tanaman. Spora cendawan ini dapat tersebar
melalui angin. Infeksi Alternaria sp. akan meningkat pada saat curah hujan dan

10
kelembaban tinggi, serta pada wilayah dataran tinggi (Stathers et al. 2005). Hal ini
sesuai dengan hasil yang didapatkan, yaitu intensitas penyakit tertinggi terjadi di
Desa Tenjolaya yang memiliki karakteristik wilayah dengan kelembaban dan curah
hujan lebih tinggi dibandingkan dengan dua desa lainnya (Tabel 2).
Tabel 5 Intensitas penyakit bercak daun alternaria di tiga desa, Kabupaten
Bogor
Desa
Tenjolaya
Cikarawang
Bantarjaya

Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)
1
2
3
4
5
6
0.44
1.64
3.79
5.88
7.30
7.65
0.28
1.42
2.89
4.04
4.75
5.21
0.01
0.30
1.48
2.40
3.64
5.90

Kudis (Scab)
Kudis merupakan penyakit penting yang sering ditemukan pada tanaman ubi
jalar, terutama untuk wilayah Asia dan Kepulauan Pasifik. Di Indonesia penyakit
kudis tersebar di sentra produksi ubi jalar di Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua.
Kehilangan hasil akibat kudis bervariasi antara 20-50% tergantung varietas yang
ditanam, umur tanaman saat terinfeksi, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh
terhadap perkembangan penyakit di lapangan.
Gejala penyakit kudis pada ubi jalar di lapangan terdapat pada tulang daun
bagian bawah, tangkai daun, dan batang. Pada bagian batang, tangkai daun, dan
tulang daun terlihat kudis membentuk cekungan (Gambar 6A). Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Martanto (2010) yang mengemukakan bahwa kudis pada
ubi jalar berbentuk cekung. Cekungan tersebut terjadi karena tanaman membentuk
lapisan gabus pada lapisan epidermis dan sub-epidermis. Gejala lain yang terlihat
jelas adalah terjadinya malformasi pada daun dan tangkai daun. Daun berukuran
lebih kecil dari ukuran normal, keriput, dan menggulung ke dalam, sedangkan
tangkai daun menjadi lebih pendek dibandingkan dengan tangkai yang normal.
Keberadaan penyakit kudis pada daun dapat menghambat perkembangan daun,
daun kerdil, menggulung, dan keriput (Wall 2000).
24 µm

A

B

Gambar 6 Batang tanaman ubi jalar yang terkena penyakit kudis (A) dan bentuk
konidia Elsinoe batatas pada pengamatan menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 100X (B)
Pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran 100X menunjukkan
bahwa konidia berbentuk bundar, berwarna coklat, dan tanpa sekat (Gambar 6B).

11
Berdasarkan pengamatan makroskopis terhadap gejala dan mikroskopis
disimpulkan bahwa penyakit kudis disebabkan oleh cendawan Elsinoe batatas. Hal
sesuai dengan hasil penelitian Martanto (2010) yang mengemukakan bahawa
penyakit kudis ubi jalar disebabkan oleh cendawan E. batatas yang memiliki
konidia berbentuk bulat, dan tidak bersekat.
Intensitas penyakit kudis paling tinggi terjadi di Bantarjaya, dan diiukuti
Tenjolaya pada urutan kedua (Tabel 6). Di Cikarawang tidak terdapat penyakit
kudis karena curah hujan relatif rendah dan lahan dalam kondisi kekeringan. Hal
ini sesuai dengan Wall (2000) yang mengemukakan bahwa penyakit kudis lebih
banyak terjadi pada musim hujan saat kelembaban udara tinggi. Percikan air hujan
disertai angin diduga sangat membantu penyebaran spora cendawan dari tanaman
sakit ke tanaman di sekitarnya. Sumber inokulum penyakit kudis di lapangan
terutama berasal dari penggunaan bibit yang telah terifeksi cendawan E. batatas
yang selanjutnya menyebar ke tanaman sehat di sekitarnya.
Intensitas dan laju perkembangan penyakit di Bantarjaya meningkat pada
pengamatan ke-3 dan terus meningkat sampai pengamatan terakhir namun dengan
laju yang lambat. Pada awal pengamatan intensitas tertinggi terjadi di Tejolaya,
namun akhirnya intensitas tertinggi terajadi di Bantarjaya, hal ini diduga
dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian tempat. Wall (2000) mengemukakan bahwa
penyakit kudis umumnya menjadi permasalahan pada pertanaman ubi jalar di
dataran tinggi, tapi kurang berarti pada tanaman di dataran rendah.
Tabel 6 Intensitas penyakit kudis di tiga desa, Kabupaten Bogor
Desa
Tenjolaya
Cikarawang
Bantarjaya

Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)
1
2
3
4
5
6
0.11
0.30
1.01
1.39
2.00
2.06
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.22
1.21
2.09
3.23
4.88

Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV)
Sweet potato feathery mottle virus (SPFMV) adalah salah satu virus yang
menyerang tanaman ubi jalar di Indonesia. Gejala yang muncul pada daun yang
terinfeksi SPFMV adalah berupa bintik-bintik klorosis yang tidak beraturan dengan
bercak keunguan yang tidak merata pada lamina daun, tetapi ukuran daun relatif
normal (Gambar 7). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ames et al.
(1997) bahwa daun yang terserang SPFMV memiliki gejala berupa klorosis dengan
bercak ungu. Daun yang terinfeksi virus tersebut umunya hanya terjadi pada daun
yang sudah tua.
Sweet potato feathery mottle virus ditularkan secara non persisten oleh kutu
daun, sehingga apabila terdapat satu tanaman yang terinfeksi SPFMV maka
tanaman di sekitarnya dengan cepat akan terinfeksi pula, karena kutu daun hanya
memerlukan waktu 20 sampai 30 detik untuk menularkan virus tersebut (Ames et
al. 1997). Daun yang terserang SPFMV dalam satu batang yang sama menunjukkan
gejala yang serupa. Pada umumnya virus yang menyerang ubi jalar sulit ditularkan
secara mekanis, dan kisaran inangnya terbatas pada famili Convolvulaceae
(Wolters et al. 1990). Keparahan penyakit ini relatif rendah jika dibandingkan
dengan penyakit lainnya, sehingga pengaruhnya terhadap produktivitas tanaman

12
relatif kecil. Pengaruh infeksi virus pada produktivitas tanaman sangat bervariasi,
bergantung pada jenis virus yang menginfeksi, kekomplekan virus, dan kultivar ubi
jalar yang terinfeksi (Domola et al. 2008).

Gambar 7 Gejala SPFMV pada daun ubi jalar
Insidensi penyakit SPFMV terlihat paling tinggi terjadi di Tenjolaya,
kemudiam Bantarjaya (Tabel 7). Di Cikarawang tidak terdapat penyakit SPFMV
diduga karena penggunaan pestisida di desa tersebut cukup tinggi, sehingga
serangga-serangga kecil seperti kutu daun yang berperan sebagai vektor tidak dapat
bertahan di lahan tersebut. Pada pengamatan ke-4 terlihat bahwa laju perkembangan
penyakit di Bantarjaya relatif lambat, sedangkan di Tenjolaya relatif lebih cepat.
Penyakit ini di tiga desa yang diamati tidak terlalu dominan, dan relatif tidak
berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar. Daun yang terinfeksi SPFMV
umumnya tidak menunjukkan gejala yang terlalu jelas, daun tetap terlihat normal
seperti daun sehat, hanya pada bagian permukaan atas daun terdapat bercak
keunguan.
Tabel 7 Insidensi penyakit Sweet potato feathery mottle virus di tiga desa,
Kabupaten Bogor
Desa
Tenjolaya
Cikarawang
Bantarjaya

Insidensi penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)
1
2
3
4
5
6
1.20
2.24
4.46
5.60
5.60
5.60
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.04
3.76
3.84
3.84
3.84

Busuk Batang
Penyakit busuk batang hanya terdapat di Desa Tenjolaya dan Bantarjaya.
Penyakit ini diduga disebabkan oleh bakteri. Gejala yang terlihat yaitu bagian
batang menjadi lunak dan berlendir. Lendir tersebut merupakan ooze bakteri
penyebab penyakit busuk batang. Laju perkembangan dan intensitas penyakit
semakin meningkat dari awal hingga akhir pengamatan. Intensitas tertinggi terdapat
di Tenjolaya dengan laju perkembangan yang relatif lebih cepat dibandingkan
dengan intensitas dan laju perkembangan penyakit di Bantarjaya. Hal ini
disebabkan sejak awal pengamatan, intensitas penyakit di Tenjolaya lebih tinggi
dari desa lainnya. Selain itu, kondisi lingkungan Tenjolaya yang lembab dan curah
hujan yang tinggi berpengaruh terhadap perkembangan bakteri. Di Cikarawang

13
tidak terdapat penyakit busuk batang disebabkan lingkungan di desa tersebut tidak
mendukung perkembangan bakteri, lahan yang kering, drainase yang kurang baik,
dan curah hujan yang rendah menjadi salah satu faktor terhambatnya perkembangan
penyakit busuk batang di Cikarawang.
Penyakit ini kurang penting di semua lahan pengamatan, dan merupakan
penyakit minor. Namun jika penyakit ini meluas akan berpengaruh terhadap
produktivitas karena busuk batang dapat menjalar sampai ke umbi. Sehingga jika
tingkat kejadian dan keparahan penyakitnya tinggi akan menurunkan hasil panen.

Gambar 8 Batang ubi jalar yang terkena penyakit busuk batang
Tabel 8 Intensitas penyakit busuk batang di tiga desa, Kabupaten Bogor
Desa
Tenjolaya
Cikarawang
Bantarjaya

Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)
1
2
3
4
5
6
0.09
0.33
0.54
0.80
0.92
0.96
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.14
0.19
0.21
0.24
0.24

Hawar Daun Phytophthora
Penyakit hawar daun phytophthora merupakan penyakit yang jarang
ditemukan pada tanaman ubi jalar. Hal ini sesuai dengan yang ditemukan saat
pengamatan, penyakit ini hanya ditemukan di Cikarawang, sedangkan di Tenjolaya
dan Bantarjaya tidak. Intensitas penyakit di Cikarawang semakin meningkat sejak
awal hingga akhir pengamatan dengan laju yang relatif konstan (Tabel 9).
Berkembangnya penyakit ini disebabkan bibit yang digunakan berasal dari tanaman
yang sebelumnya pernah ditanam. Diduga bibit yang digunakan sudah terinfeksi
Phytophthora sp. sehingga saat ditanam kembali penyakitnya dapat berkembang.
Beberapa karakteristik dari cendawan Phytophthora sp. yang membuatnya efektif
sebagai patogen tanaman adalah mampu bereproduksi (menghasilkan zoospora)
dalam waktu 3-5 hari sehingga mendorong terjadinya multisiklus, zoospora dapat
bergerak aktif menuju perakaran tanaman, mudah tersebar jauh melalui percikan air
hujan, air irigasi, dan udara, dapat bertahan di luar jaringan tanaman sebagai
klamidospora atau oospora, terbatasnya jenis fungisida yang efektif, dan
berkembang cepat pada musim hujan (Drenth dan Guest 2004 dalam Wahyuno et
al. 2010).

14
Tabel 9 Intensitas penyakit hawar daun phytophthora di tiga desa, Kabupaten
Bogor
Desa
Tenjolaya
Cikarawang
Bantarjaya

Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)
1
2
3
4
5
6
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.21
0.77
2.24
2.99
3.41
3.57
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00

Perkembangan Penyakit-Penyakit secara Kolektif
Intensitas semua jenis penyakit di tiap desa, secara kolektif terus meningkat
dari pengamatan pertama ke pengamatan-pengamatan berikutnya dengan laju yang
relatif tidak berbeda (Tabel 10). Perbedaan intensitas kolektif semua jenis penyakit
disebabkan oleh adanya perbedaan intensitas penyakit pada awal pengamatan
(pengamatan ke-1). Intensitas pada awal pengamatan tertinggi terjadi di Tenjolaya,
kemudian diikuti oleh Cikarawang dan Bantarjaya (paling rendah). Berdasarkan
perkembangan penyakit sampai dengan pengamatan ke-5, menunjukkan bahwa
intensitas kolektif penyakit relatif berbeda, kemudian pada pengamatan ke-6
menjadi relatif tidak berbeda, namun dengan laju perkembangan penyakit relatif
berbeda.
Tabel 10 Intensitas kolektif penyakit-penyakit di tiga desa, Kabupaten Bogor
Desa
Tenjolaya
Cikarawang
Bantarjaya

Intensitas penyakit (%) pada pengamatan ke-n (Minggu)
1
2
3
4
5
6
12.52
24.27
45.90
63.29
79.59
82.17
4.84
13.90
38.58
62.13
75.58
87.96
0.32
9.71
34.35
46.98
60.45
87.06

Pembahasan Umum
Secara umum, Tenjolaya dan Bantarjaya memiliki karakteristik wilayah yang
sama, begitupula dalam hal teknik budidaya ubi jalar. Hal ini menyebabkan
penyakit yang terdapat di kedua desa tersebut relatif sama. Berdasarkan intensitas
penyakit secara kolektif, di Cikarawang terdapat intensitas penyakit tertinggi untuk
penyakit-penyakit yang berhasil ditemukan. Namun pada awal pengamatan,
intensitas penyakit tertinggi terdapat di Tenjolaya. Lahan di Tenjolaya merupakan
lahan yang memiliki kelembaban paling tinggi dibandingkan dua desa lainnya.
Curah hujan yang tinggi menyebabkan lahan tergenang air selama beberapa
minggu. Selain itu, jumlah daun pada tiap subpetak terlalu banyak sehingga
memberikan efek meningkatnya kelembaban di pertanaman, yang menyebabkan
intensitas penyakit menjadi tinggi di awal pengamatan. Kondisi lingkungan yang
kurang baik menjadi salah satu penyebab terjadinya epidemi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi epidemi di antaranya adalah tanaman
inang yang rentan, patogen yang virulen, dan lingkungan yang mendukung untuk
perkembangan dan persebaran patogen. Interaksi yang terjadi antara ketiga faktor
tersebut dikenal dengan segitiga penyakit. Epidemi penyakit juga dipengaruhi oleh

15
faktor manusia dan waktu, interaksi antara lima faktor tersebut disebut dengan
piramida penyakit (Agrios 2005).
Laju perkembangan penyakit yang ditemukan di tiga desa relatif berbeda,
namun seluruhnya mengalami peningkatan dari awal hingga akhir pengamatan.
Intensitas penyakit makin meningkat seiring berjalannya waktu. Berat ringannya
gejala yang ditimbulkan ditentukan oleh derajat virulensi patogen, derajat
ketahanan inang, dan faktor lingkungan (Oka 1993).
Berdasarkan hasil pengamatan, faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya
intensitas penyakit di tiga desa di antaranya adalah intensitas pada awal
pengamatan, keberadaan patogen yang virulen, tanaman inang yang rentan,
lingkungan yang mendukung perkembangan patogen, waktu, dan tindakan
budidaya yang dilakukan oleh petani. Tingginya intensitas penyakit ini menjadi
salah satu penyebab rendahnya produktivitas ubi jalar. Cikarawang merupakan
salah satu sentra ubi jalar di Kecamatan Dramaga, namun tingginya intensitas
penyakit, gangguan hama, dan perawatan lahan yang kurang baik yang di desa
tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya kegagalan panen, dengan hasil
produksi yang dicapai hanya sebesar 57 Kg dari luas lahan 3 200 meter persegi.
Kondisi lahan di Cikarawang tidak terpelihara, terbukti dengan banyaknya gulma
yang tumbuh di areal pertanaman, dan banyak tanaman mati akibat penyakit
dibiarkan membusuk di lahan. Kondisi seperti ini mendukung perkembangan
patogen sehingga kejadian dan keparahan penyakit menjadi meluas di seluruh
lahan. Selain itu cuaca yang tidak menentu menyebabkan keseimbangan
lingkungan menjadi terganggu. Sinar matahari yang terlalu terik dan rendahnya
curah hujan menyebabkan tanah di lahan ubi jalar menjadi kering dan retak. Selain
itu keberadaan hama seperti Cylas formicarius menjadi salah satu penyebab
tingginya tingkat kerusakan umbi yang terjadi di lapangan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penyakit-penyakit pada tanaman ubi jalar yang berhasil ditemukan di desa
Tenjolaya, Cikarawang, dan Bantarjaya relatif sama. Terdapat 6 jenis penyakit di
Tenjolaya dan Bantarjaya, di antaranya penyakit bercak daun cercospora, kudis,
Sweet potato feathery mottle virus (SPFMV), Sweet potato chlorotic stunt virus
(SPCSV), bercak daun alternaria, dan busuk batang. Sedangkan di Cikarawang
hanya ditemukan 4 jenis penyakit, yaitu bercak daun cercospora, SPCSV, bercak
daun alternaria, dan hawar daun phytophthora. Intensitas penyakit secara kolektif
di tiga desa relatif tidak berbeda. Intensitas tiga jenis penyakit tertinggi pada tiaptiap desa berturut-turut adalah bercak daun cercospora, SPCSV, dan bercak daun
alternaria. Dari keseluruhan penyakit yang ditemukan, bercak daun cercospora
merupakan penyakit dengan intensitas tertinggi di tiga desa. Dengan diketahuinya
epidemi berbagai penyakit pada tanaman ubi jalar, maka dapat dilakukan cara
budidaya dan pengendalian yang tepat di kemudian hari.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan waktu pengamatan pada musim
hujan, karena pada umumnya penyakit tanaman berkembang pada musim hujan,
juga perlu dilakukan pengamatan pada tempat yang lebih beragam agar informasi
jenis penyakit yang didapatkan lebih beragam.

DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. 5th ed. San Diego (US): Academic Press.
Ames T, Smit NEJM, Braun AR, O’Sullivan JN, Skoglun LG. 1997. Sweetpotato:
Major Pests, Diseases, and Nutritional Disorders. Lima, Peru (PE):
International Potato Center
Avianty A. 2013. Kandungan zat gizi dan tingkat kesukaan snack bar ubi jalar
kedelai hitam sebagai alternatif makanan selingan penderita diabetes melitus
tipe 2 [Skripsi]. Semarang (ID): UNDIP.
Barnett HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Paul (US):
APS Pr.
[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2015. Wilayah potensi
pengembangan komoditi ubi jalar [Internet]. [diunduh 2015 Mei 22]. Tersedia
pada:http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/commodityarea.php?ia
=32&ic=2608.
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2013. Potensi ubi jalar di Jawa
Barat [Internet]. [diunduh: 2014 Des 11]. Tersedia pada: http://regional
investment.bkpm.go.id/newsipid/id/commodityarea.php?ia=3201&ic=2608
Domola MJ, Thompson GJ, Aveling TAS, Laurie SM, Strydom H, Van den Berg
AA. 2008. Sweet potato viruses in south Africa and the effect of viral
infection on storage root yield. African Plant Protection. 14: 15–23.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2013. Food and Agricultural
Organization statistics. Roma (IT): Food and Agricultural Organization of
the United nations.
Harter LL, Weimer JL. 1929. A monographic study of sweet potato diseases and
their control. Technical Buletin. 99: 144 hlm.
Indrayani IGAD. 2008. Penentuan metode pengambilan sampel tanaman dalam
pengamatan gejala penyakit layu nanas [Ananas comosus (Linn.) Merr.] di
Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Jaya EFP. 2013. Pemanfaatan antioksidan dan betakaroten ubi jalar ungu pada
pembuatan minuman non-beralkohol. Media Gizi Masyarakat Indonesia.
2(2): 54-57.
Juanda D, Cahyono B. 2000. Ubi Jalar. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Koswara S. 2009. Ubi jalar dan hasil olahannya (teori dan praktek) [Internet].
[diunduh 2015 Mei 25]. Tersedia pada: tekpan. unimus.ac.id/
wp/UBIJALAR-DAN-HASIL-OLAHANNYA.pdf.
Madden L. 2010. Plant diseases epidemiology [Internet]. [diunduh 2015 Juni 14].
Tersedia pada: http://www.oardc.ohiostate.edu/pp702/notes/EPIDEM12_1r.
Pdf.
Martanto EA. 2010. Potensi Euphorbia heteriphylla L. sebagai inang alternatif
penyakit kudis pada ubi jalar. J. HPT. Tropika. 10(2): 172-177.
Mekonen S, Fikre H, Fekadu G, Elias U. 2014. Sweetpotato diseases research in
Ethiopia. International Journal of Agriculture Innovations and Research.
2(6): 932-938.

18
Milan S, Petar V, Ibrahim E. 2010. Resistance of Venturia inaequalis to
demethylation inhibiting (DMI) fungicides. Zemdirbyste=Agriculture. 97(4):
65-72.
Nirwanto H. 2007. Pengantar Epidemi dan Manajemen Penyakit Tanaman.
Surabaya (ID): UPN Veteran.
Oka IN. 1993. Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman. Yogyakarta (ID):
Universitas Gadjah Mada Press.
Purwono, Purnamawati H. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.
Depok (ID)