BAB II GEREJA SANTA MARIA DIANGKAT KE SURGA STASI DALEM
2.1 Profil Gereja Nama Paroki
“Maria diangkat ke Surga” merupakan peristiwa iman. Melalui perayaan ini oleh Gereja, kita diajak merenungkan perbuatan besar yang
dikerjakan Allah bagi Maria, Bunda Kristus dan Bunda seluruh umat beriman. Kita percaya bahwa Maria telah dipilih Allah sejak awal mula
untuk menjadi Bunda Putera-Nya, Yesus Kristus. Untuk itu Allah menghindarkannya dari noda dosa asal dan mengangkatnya jauh diatas
para malaekat dan orang-orang kudus. Dalam putera Maria, Allah telah menolong kita menurut janji-Nya kepada Abrahamdan keturunannya.
Sebab Kristus telah mengalahkan dosa dan kematian, dan Ia Berjaya mulia di hadapan takhta Allah. Demikian pula setiap orang yang bersau dengan
Kristus akan dibangkitkan dari alam maut dan berjaya bersama Kristus. Dalam Maria harapan ini telah dipenuhi, sebab dialah yang paling dekat
pada Kristus. Ia bangkit ke dalam kemuliaan abadi dengan jiwa raganya, dan maut tidak lagi berkuasa atas dia.
2.2 Sejarah Gereja Santa Maria diangkat ke Surga
Kompleks Gereja Santa Maria diangkat ke Surga
8
Gereja Santa Maria Diangkat ke Surga terletak di Desa Dalem, Gantiwarno, Klaten Paroki ini berkembang pesat sejak tahun 1960. Kondisi tersebut
mendorong Yayasan Gereja dan Papa Miskin di Wedi berupaya untuk mendapatkan tanah lahan untuk mewujudkan tempat ibadah yang layak bagi
umat di Dalem dengan membangun Gereja permanen. Berkat kerja keras dan ketekunan doa umat, gereja ini berhasil dibangun dan diberkati oleh Mgr. J.
Darmojuwono Pr. Pada tanggal 23 Agustus 1964 dengan nama GEREJA ST MARIA DIANGKAT KE SURGA – Stasi Dalem. Gerejajugapernah di renovasi
pada tahun 1969 oleh arsitek alm Romo YB. Mangunwijaya Pr. Saat peristiwa gempa bumi 27 Mei 2006 yang melanda sebagian besar wilayah
Yogyakarta Selatan dan Klaten Jawa Tengah, hampir semua bangunan dan rumah-rumah rakyat hancur. Tidak terkecuali, Gereja Stasi Dalemdan Pastoral
mengalami kerusakan cukup parah, terutama gereja. Berdasarkan hasil archictectural assessment FT-UAJY, tanggal 5 Juni 2006, kondisi Gereja dan
Pastoran dinyatakan rusak berat dan direkomendasikan untuk dirobohkan dan diganti bangunan yang baru. Dengan kondisi demikian maka pengurus Gereja
segera menindaklanjuti situasi tersebut dengan membuat Gereja sementara dan merencanakan Gereja baru pada lokasi dan membentuk panitia pembangunan
Gereja dan Pastoran. Untuk mengatasi keadaan darurat, maka dibangunlah tenda untukdapat
menampung umat ketika ibadah hari Minggu sekaligus sebagai posko untuk bantuan social bagi masyarakat sekitar. Kondisi ini berjalan selama 4 bulan.Dan
bertahan 2 tahun sampai Gereja Baru selesai dibangun.
Dalam perkembangannya, Gereja mendapat bantuan teknis dan bangunan dari ATMI Solo dan LSM, berupa Gerejasementara dan GSS, yang di tempatkan di
sekitar bangunan lama.GSS difokuskan untuk pelayanan para korban gempa yang mengalami patah tulang, dengan kontrak selama 2 tahun. Setelah itu bangunan
diserahkan kepada Gereja untuk digunakan sebagai sekretariat stasi. Karena telah ada Gereja darurat yang dapat dipakai untuk waktu cukup lama,
panitia meminta bantuan PPKT FT-UAJY untuk perencanaan gedung Gereja dan Pastoran yang baru, dengan membuat Master Plan Kompleks Gereja Santa Maria
Diangkat ke Surga. Berdasarkan surat Wedi ke Universitas Atma Jaya Yogyakarta, maka dibentuklah tim perencanaan untuk menyusun Master Plan Kompleks
Gereja Santa Maria Diangkat ke Surga, Stasi Dalem, Paroki Wedi-Klaten. Perjalanan umat Katolik Stasi Dalem dimulai pada tahun 1932. Perjalanan
tersebut bermulai dari pemandian atas Antonius Soenaryo,putera Bapak Wongso Sentono Lurah Gayam tahun 1924-1946 tanggal 19 Maret 1932 di Muntilan.
Pemandian juga diterimakan atas Yosephine Sukinah,puteri Wongso Diharjo,adik Bapak Wongso Sentono Demang Kerten,Gantiwarno, Klaten tanggal 4 Mei 1932
di Ambarawa. Beliau berdua akhirnya menjadi Soenaryo,SY dan Muder Yosepha di Pringsewu, Lampung. Tahun 1935 warta keselamatan yang diterima oleh kedua
pendahulu tersebut ternyata benar-benar sampai kepada banyak orang. Hal itu terbukti dengan dipermandikannya sebanyak 95 orang umat Jali- Gayamprit di
Gereja Wedi oleh romo D.Harjo Suwondo pada tanggal 23 Desember 1935. Mereka adalah Bapak Wongso Sentono, Bapak Wongso Diharjo, Bapak Kriyo
Sonto, Bapak Atmowiguno bersama keluarga dan tetangga. Permandian massa
dengan jumlah yang cukup besar tersebut tidak lepas juga dari perjuanganromo D.Harjosuwondo dan romo J. Vershteeg dalam menyampaikan warta keselamatan
kepada penduduk. Warta keselamatan ini diawali dengan dirintisnya STASI JALI- GAYAMPRIT oleh kedua romo tersebut awal tahun 1935. Pelajaran agama
Katolik dilaksanakan di Rumah Bp.Wongso Diharjo,Kerten, dan di rumah Bapak Surorejo,Garutan dengan kereta kuda sebagai alat transportasi. Stasi Jali-
Gayamprit ini merupakan stasi dan bagian dari Paroki Klaten. Setelah Stasi Wedi berdiri sebagai Paroki,stasi ini berada dalam wilayah Paroki Wedi.
Setelah pemandian 95 orang umat Jali-Gayamprit, perayaan Ekaristi dilaksanakan secara teratur setiap selapan 35 hari sekali. Perayaan ekaristi tersebut
dilaksanakan setiap hari Selasa Kliwon di rumah Bp.Surorejo yang bertempat tinggal di Garutan,Sengon,Prambanan,Klaten.
Permandian umat Katolik Jali-Gayamprit terus berlanjut. Tanggal 25 Desember 1936,sebanyak 40 orang dipermandikan oleh D.Harjo Suwondo,SY. Dengan air
Sendang Sriningsih. Diantara mereka adalah Bp.Ig.Atmosuwito , Ibu Th. Dwijo Siswoyo dan Bapak Harjo Sukarto, Ngandong. Permandian terus berlanjut hingga
tahun 1950 meski jumlahnya tidak sebanyak seperti tahun sebelumnya. Permandian dilaksanakan di Kapel Garutan di rumah Bapak Surorejo. Salah satu
diantaranya adalah Bapak Ag. Sonarto. Setelah beberapa tahun dilaksanakan perayaan Ekaristi secara teratur, jumlah umat semakin bertambah. Umat yang
semakin banyak membutuhkan tempat yang lebih memadai sehingga pada tahun 1950 perayaan Ekaristi dilaksanakan di rumah Rymundus Sastro Suparno,
Gayamprit, Sawit, Gantiwarno, Klaten. Selang beberapa tahun, dibawah
bimbingan romo St. Danu Widjoyo, para umat berhasil membeli joglo dari Ngorean secara gotong royong. Joglo tersebut didirikan di pekarangan Bapak
Ry.Sastro Suparno secara gotong royong pula.Mulai tahun 1950 permandian yang semula dilaksanakan di kapel Garutan beralih di kapel Gayamprit. Persatuan
mereka ini kemudian diwujudkan dalam nama LEMBAGA KATOLIK STASI JALI-GAYAMPRIT,diketuai oleh Bapak Ry.Sastro Suparno dan Bapak
Ig.Atmosuwito serta dibantu beberapa pengurus. Nama ini penuh makna sebab dari Jali Warta keselamatan diterimakan kepada Antonius Soenaryo sementara
dari Gayamprit sekolah rakyat tumbuh kembang. Pada tanggal 1 Juni 1935, sekolah rakyat ini dipindahkan dari Gyamprit ke Kerten menempati rumah Bapak
Wongso Diharjo untuk selanjutnya dipindahkan ke Gunung Wungkal di rumah Bapak Y.Mangunrejo dan akhirnya menempati sebuah lahan dan menjadi sekolah
yang kita kenal sebagai SD Kanisius Kerten. Dengan berdirinya SMP Pius X di desa Dalem,Sawit,Gantiwarno,Klaten tahun
1957 perayaan Ekaristi dilaksankan di SMP Pius X sekarang tempat ini digunakan susteran karena tanah ini dibeliditukar guling dengan joglo
pekarangan Bapak Ry. Sastro Suparno. Dan sejak saat itu Joglo menjadi milik Bapak Ry. Sastro Suparno.Tahun 1962 SMP Pius X berkembang pesat sehingga
memerlukan banyak ruang.Atas kesepakatan bersama pelayanan Ekaristi kembali dipindah ke Gayamprit menempati bangunan baru di sebelah timur rumah utama
Bapak Ry. Sastro Suparno. Pada tahun 1960,Yayasan Gereja dan Papa Miskin Wedi berusaha untuk memperoleh tanah untuk membangun gereja yang
permanen.Romo Al. Wahyasudibyo,pr yang ada saat itu menjabat ketua PGPM,
dibantu oleh Bapak Endropwawoko, Bapak Ag. Soenarto dan Bapak Ig.Suharto berhasil mendapatkan tanah dengan status hak pakai yang terletak di Dalem
dengan luas 7500 m2. Tanah tersebut merupakan tanah OG tanah milik Ondermening Ground pada zaman Belanda. Tanah ini merupakan anugerah yang
luar biasa karena tanah ini dapat diperoleh dengan cukup mudah.Gereja mulai dibangun tanggal 15 Agustus 1963 setelah sertifikat tanah berhasil didapatkan.
Gereja diberkati tanggal 23 Agustus 1964 dengan nama Gereja Dewi Maria Kapundhut dhateng swarga Santa Maria Diangkat Ke Surga diberkati oleh Mgr.
Y. Darmoyuwono,pr. Nama ini dipilih karena dimulai pembangunan gereja tanggal 15 Agustus 1964. Sejak saat itu tanggal 15 Agustus dijadikan pesta nama
gereja ini. Bangunan Gereja dengan luas 8x25 m itu sangat sederhana dengan satu pintu menghadap ke timur. Tidak mengherankan jika almarhum Mgr.Leo Soekoto
pernah berseloroh bahwa bangunan itu mirip kandang singa.Tercatat tanggal 23 Agustus 1964 umat Katolik Jali-Gayamprit berjumalh 582 orang. Sejak saat itu
pemandian dilaksanakan di gereja ini.Pada tahun 1974 umat Katolik Jali- Gayamprit sudah tercatat sebnayak 2000 orang. Perkembangan umat yang luar
biasa adalah hasil kegiatan sosial yang dilakukan pada tiap-tiap wilayah, Seblum tahun 1967,kesatuan wilayah yang disebut kelompok sejumlah 8 dikelola oleh
pengurus kelompok. Tetapi sejak 1967 disesuaikan menjadi wilayah dengan pengurus wilayah sebagai pengelolanya. Sejak tahun 1950-an setiap kelompok
memiliki Lembaga Sosial Kelompok yang modalnya diterima dari Lembaga Katolik Stasi. Lembaga ini bergerak di bidang sosial ekonomi untuk umat dan
masyarakat sekitarnya sebagai sarana untuk mengajak mereka menjadi bagian dari
warta keselamatan. Kegiatan yang sangat sederhana ini berbuah pada perkembangan umat. Perkembangan umat yang luar biasa ini bukan hanya buah
dari kegiatan social semata. Kerja keras guru agama dan umat mewartakan keselamatan.
Lembaga Katolik Stasi ini kemudian diganti dengan nama DEWAN GEREJA DALEM, dengan susunan pengurus sebagai berikut :
1. KetuaWakil ketua : Romo Paroki Romo Pembantu 2. Koordinator Umum : Bapak Ag. Soenarto
3. Koordinator Wilayah : Bapak F.Mulyadi 4. Koordinator Organisasi : Bapak Tc.Tugimin
5. Koordinator Agama : Bapak YB. Harjosudarmo 6. Sekretaris Koordinator : Bapak S.Kalijo-Bapak Al. Sunardi
Kepengurusaan tersebut dilengkapi dengan bidang kegerejaan, social ekonomi, dan pendidikan yang masih dibagi menjadi 8 seksi.
Pada 29 Mei 1967 Dewan paroki Wedi menjadi paroki federative di mana masing- masing stasi mempunyai otonom dan ketua dewan paroki merupakan ketua
presidium dan dijabat secara bergiliran. Maka Dewan Gereja Dalem berubah nama menjadi Dewan Stasi Dalem dengan wilayah sebanyak 12 wilayah. Nama
pelindung gereja yang semula mengambil nama latin Gereja Maria Assumpta
bahkan sempat diselenggarakan Assumpta cup akhirnya menjadi Gereja Santa Maria Di Angkat ke Surga.
Tiga orang yang pernah menjadi ketua presidium Dewan Paroki ialah : 1. Bpk.Ag . Sunarto
2. Bpk. Mekto Suseno 3. Bpk. Mateus Ramelan
Tahun 1969 perkembangan umat yang semakin banyak memerlukan perluasan tempat ibadat maka dipikirkan merehap gereja sehingga memadai jumlah umat
yang semakin banyak. Akhirnya dirancang gereja yang lebih mengakomondasijumlah umat.Berdasarkan ide dan rancangan Rono YB. Mangun
Wijoyo dIbuat gereja yang berbentuk huruf “L” dengan harapan bias dikembangkan menjadi huruf “T” dan altar ada di tengah umat menghadap utara
dan barat . Adapun karakter dari bangunan Gereja pada saat itu : 1. Arsitektur Jawa
2. Tampilan sederhana 3. Akses dan suasana terbuka
4. Besar disudut orientasi menyebar
Bagai gayung bersambut pada saat yang bersamaan Bapak Ry. Sastro Suparno berniat mengembalikan joglo ke tangan gereja maka “eguh” Rm. Santo Seputro,
pr joglo dibeli oleh paroki Boro. Hasil penjualan joglo tersebut digunakan untuk merehabilitasi Gereja Dalem. Pada saat gereja direhap, perayaan ekaristi kembali
dilaksanakan di rumah Bapak Ry. Sastro Suparno.Setahun kemudian pasturan dibangun oleh Bapak Ry. Sastro Suparno . Perayaan ekaristi kembali ke Gereja
Dalem.Selanjutnya gereja Dalem diperluas 2 kali hingga akhirnya terguncang gempa pada tanggal 27 Mei 2006.
Gempa Bumi yang terjadi pada 27 Mei 2006 berakibat pada rusaknya bangunan gereja Stasi Dalem . Bangunan gereja dinyatakan tidak layak digunakan dan perlu
dirobohkan untuk direnovasi demikian hasil rekomendasi architectural assessment universitas Atma jaya Yogyakarta . Karena gereja tidak dapat
dipergunakan untuk perayaan ekaristi , untuk sementara , perayaan ekaristi dilaksanakan di rumah Bapak St. Kalijo, Dalem hingga didirikan tenda di samping
gereja. Selanjutnya, umat stasi Dalem bergotong royong membuat gereja sementara
dengan didukung room paroki dan para donator. Menurut rencana awal, gereja sementara akan dIbuat dari bambu, namun dalam perjalanan mendapat bantuan
dari ATMI Solo berupa bangunan dari Baja. Gereja sementara di berkati oleh Mgr . I. Suharyo bersamaan dengan penerimaan sakaramen krisma untuk
melaksanakan kegiatan gerejawi lainnya antara lain kegiatan PIAPIR, pertemuan pengurus gereja, rapat mudika dan kegiatan lainnya.
Namun gereja sementara tidak bisa menampung umat dalam perayaan Ekaristi mingguan apalagi hari besar.Karena hal tersebut , Seluruh umat mendesak agar
gereja yang rusak segera direnovasi. Untuk mewujudkan perenovasian gereja , pada tahun 2007 dibentuk panitia renovasi Gereja.
Tanggal 25 Desember 2007 dilaksanakan peletakan batu pertama renovasi Gereja Maria Diangkat ke Surga oleh romo F.X Sumantara . Malam sebelum
peletakan batu pertama diadakan kenduri dengan masyarakat sekitar beserta pamong Desa Sawit , Kecamatan GantiWarno, dan Muspika Gantiwarno. Tanggal
7 April 2008 s.d 14 April 2008 pembongkaran gereja dan pasturan yang lama. Tanggal 20 April 2008 merupakan awal renovasi Gereja Maria Diangkat ke Surga.
Namun, pekerjaan di hentikan sementara menunggu IMB turun, setelah IMB turun pada tanggal 25 januari 2009 dimulai pembangunan gereja secara fisik
dengan pemberkatan batu utama pad soko guru , oleh Rm. Yohanes yanuar Ismadi.
Adapun bangunan yang baru ini adalah rancangan Tim Pengabdi Masyarakat Fakultas Teknik Atma Jaya Yogyakarta. Karakter gereja yang baru ini adalah :
1. Arsitektur Jawa khas bentuk berupa bangunan rumah Jawa 2. Bangunan Gereja terkesan terbuka, namun tetap dapat ditutup tanggap
terhadap situasi 3. Orientasi Altar memusat Altar di dalam area soko guru dibawah
tumpangsari Arsitektur Jawa, bangunan Gereja Santa Maria Diangkat ke Surga Stasi Dalem
Paroki Wedi bukanlah joglo murni, melainkan joglo modifikasi dengan karakter sebagai berikut :
1. Soko guru dan tumpangsari sebagai cirri khas joglo , diposisikan pada daerah altar, sebagai area utama
2. Altar di dalam area soko guru di bawah tumpangsari berada di bawah bangunan puncak yang mempunyai tiga sirip horizontal yang merupakan
filosofi Trinitas yang bermakna sebagai area yang dipayungi oleh berkat Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus .
3. Area di belakang altar lebih pendek dibandingkan dengan area di depan altar sebagai gambaran orang yang bersujud. Hal ini dalam rangka
memaknai suatu filosofi bahwa gereja adalah tempat ibadah di mana umat dating kepada Tuhan Allah dari berbagai penjuru, kondisi, dan status
sosial, tanpa memandang perbedaan, bersujud untuk berdoa 4. Gereja dengan pintu-pintu yang mudah dIbuka lebar dan dapat ditutup
rapat mengesankan gereja yang terbuka namun tetap aman Proses pembangunan ini didampingi oleh Ir. Dwijo Susanto yang di tunjuk KAS
untuk menjadi konsultan pembangunan gereja dan pasturan. Pada tanggal 25 Desember 2009, perayaan ekaristi sudah dapat dilaksanakan di gereja yang baru
ini. Selanjutnya, Gereja Santa Maria Diangkat ke Surga Stasi Dalem paroki Wedi beserta pasturan yang baru ini akan diberkati Mgr. Yohanes Pujo Sumarto , pr dan
diresmikan oleh Bupati Klaten pada tanggal 15 Agustus 2011. Konsep rumah jawa bentuk joglo diwujudkan secara siluet , dengan tetap
menghadirkan soko guru dan tumpangsarinya, sebagai cirri khas joglo. Disamping itu filosofi iman kristiani di wujudkan dengan menghadirkan konsep trinitas
Bapa, Putra dan Roh kudus .
2.3 Letak Geografis dan kondisi Gereja Santa Perawan Maria diangkat ke surga Stasi Dalem