(STUDI KASUS KECEMBURUHAN SOSIAL DALAM PEMBAGIAN HASIL TAMBANG PT FREEPORT INDONESIA ANTARA SUKU AMUNGME DENGAN SUKU DANI DI DESA BANTI KEC. TEMBAGAPURA KAB. MIMIKA-PAPUA)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada Umumnya masyarakat Indonesia memiliki kemajemukan dan diferensiasi sosial yang di tumbuh atas keberagaman dalam konstruksi masyarakat Indonesia yang majemuk, yang di tandai oleh keaneragaman Suku, Agama, Ras pada satu sisi merupakan potensi yang dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan berbangsa dan bernegara melalui semangat KeBhineka Tunggal ika-an Negara Indonesia berdiri kokoh di antara bangsa-bangsa di Nusantara ini. Namun pada sisi lain kemajemukan tersebut, dapat membawah akibat negative, khusus berkaitan dengan stablitas atau kohesifitas masyarakat. Rendahnya kohesifitas masyarakat dapat menjadi potensi konflik yang sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.

Papua menjadi termasuk dalam NKRI, yang memiliki kemajemukan terutama dilihat dari organisasi Kesukuan, dan Pulau Papua merupakan salah satu provinsi yang terletak pada wilayah paling timur dari Nusantara Indonesia, dan merupakan daerah yang penuh harapan. Daerahnya belum banyak di rambah aktivitas manusia karena minimnya kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, tetapi kaya akan sumber daya alam (SDA) yang menyajikan peluang bagi perkembangan dunia bisnis. Tanahnya yang luas dipenuhi dengan hutan, laut dan keanekaragaman biotanya dan berjuta – juta Hekstar tanah yang cocok untuk lahan pertanian. Di dalam buminya, Papua juga menyimpan sumber daya alam yang tidak dapat di perbaharui seperti gas alam, minyak bumi dan aneka bahan tambang lainnya yang siap menunggu untuk dapat di kelolahnya.


(2)

Kondisi wilayah Papua bervariasi mulai dari dataran rendah berawa sampai dataran tinggi serta berlereng-lereng yang dipadati dengan hutan tropis, padang rumput dan lembah dengan alang – alangnya. Di bagian tengah berjejer rangkaian pegunungan tinggi sepanjang 650 km. Sungai – sungai besar beserta anak sungainya mengalir ke arah selatan dan ke arah utara. Sungai – sungai mempunyai peran penting bagi masyarakat sepanjang alirannya baik sebagai sumber air bagi kehidupan sehari – hari, sebagai penyedia ikan maupun sebagai sarana penghubung antar daerah (profil propinsi Papua)1.

Propinsi Papua walaupun penduduknya sedikit, akan tetapi daerah ini memiliki diversifitas budaya paling banyak di banding provinsi lain di Indonesia. Sebab terdapat sekitar 250 etnik dan bahasa daerah. Kebanyakan diantara mereka tidak atau kurang saling mengenal budaya satu sama yang lainnya, dan juga puluhan atau ratusan etnik, bahasa serta kelompok masyarakat migran spontan dan transmigran. Kemajemukan masyarakat telah melahirkan satu struktur sosial, relasi sosial, lapisan sosial dan jaringan sosial yang belum banyak terjadi sebelumnya, serta diantara relasi – relasi sosial itu terdapat relasi kekerasan dan konflik antar individu serta antar kelompok – kelompok masyarakat lainnya.

Kabupaten Mimika merupakan salah satu wilayah yang terletak di bagian selatan Provinsi Papua. Kabupaten ini pada mulanya adalah bagian dari kabupaten Fakfak dan dimekarkan sebagai kabupaten administratif pada tahun 1996, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 tahun 1996. Kemudian pada tahun 2000, berdasarkan Undang – Undang (UU) Nomor 5 tahun 2000 Mimika beralih status resmi menjadi kabupaten/kota, yang berarti menjadi daerah Otonom,

Sejak awalnya PT Freeport Indonesia ada di Timika-Papua, orang-orang kaya dari Amerika, Ingris, dan Belanda yang membentuk perusahaan bersama NV Nederlandsch Nieuw Guinee

1


(3)

Petroleum Maatschappij (NNGPM) pada tahun 1935. Mereka terobsesi menemukan minyak di daerah jajahan baru Belanda di Tanah Papua Barat (Nieuw Guinee). Pemerintah Belanda kemudian memberikan konsesi lahan seluas 10 juta hektar atau meliputi sepertiga Wilayah Papua NV NNGPM. Inilah awal pengaplingan tanah Papua oleh pemodal pendatang, sekaligus permulaan munculnya konflik sumber daya alam yang berkepanjangan.

Salah seorang penjelajah itu adalah Jean Jaques Dozy, yang menulis laporannya pada tahun 1936 mengenai sebuah gunung tembaga (Ertsberg) di jajaran puncak es abadi. Temuan yang sempat terbengkalai semasa Perang Dunia II ini kemudian mendorong eksplorasi lebih lanjut oleh Freeport, yang dipimpin oleh Forbes Wilson dan Del Flint. Ketika Wilson tiba di Gunung Tembaga itu tahun 1960, Ia terpesona menyaksikan kekayaan bijih tembaga yang terhampar luas di atas permukaan tanah. Dalam perjalanan laporan perjalanannya pada The Conquest of Cooper Mountain, yaitu proses mineralisasi di kawasan yang begitu tinggi, atau lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Terdiri atas sekitar 40 sampai 50 persen bijih besi, 3 persen tembaga, serta terdapat perak dan emas, keuntungan besar membayang.

Impian keuntungan besar itu sempat kandas ketika kemudian Papua bergabung dengan Republik Indonesia. Presiden Soekarno yang antikapitalisme Barat menentang pembangunan itu. Namun Freeport kembali bersukacita ketika rezim baru Presiden Soeharto yang proinvestasi berkuasa. Bahkan, Freeport menjadi perusahaan Asing yang pertama kali kontraknya ditandatangani oleh Soeharto pascapengesahan Undang-undang penanaman modal Asing (UU PMA) Tahun 1967.

Freeport berkembang cepat, apalagi setelah cadangan mineral di Gresberg pada tahun 1988, dapat ditemuhkan sehingga menaikkan cadangan mineral mereka menjadi 200 juta ton metrik. Keuntungan diperkirakan lebih dari 1,5 miliar dollar AS per tahun, maka dengan itu


(4)

areal penambangan 2Freeport di Papua disebut-sebut mempunyai deposit ketika terbesar di dunia, sedangkan untuk emas menempati urutan pertama.

Dalam laporan resmi PT Freeport Indonesia, pada tahun 2005, melalui pipa raksasa dari Gresberg-Tembagapura, sekitar 1,6 miliar pon tembaga dan 3,4 juta ons emas digerus dan disalurkan sejauh 100 kilometer ke Laut Arafura, di mana kapal-kapal besar telah menunggu.

Dengan demikian belum memberikan dampak positif. Namun di balik keberhasilan PT. Freeport Indonesia terhadap masyarakat suku Amungme dan suku Kamoro sebagai penduduk asli pemilik hak ulayat di kabupaten Mimika. Dan Dampak sosial sangat erat kaitannya dengan dampak lingkungan fisik, karena perubahan – perubahan sosial yang terjadi. Disamping karena ide – ide, pengaruh fisik juga diabaikan perannya. Bahkan kehidupan sosial masyarakat Kamoro, pada kawasan tertentu dipengaruhi langsung oleh perubahan lingkungan fisik.

Salah satu pengaruh nyata terhadap perubahan lingkungan adalah gejala pembuangan Limba tailing yang merusak lingkungan sepanjang aliran sungai. Tailing adalah pasir sisa yang dihasilkan dari kegiatan penambangan PT. FI , setelah mineral tembaga, emas dan perak dipisahkan dari bijih. Sisa batuan bijih berserta sedimen alam, dibuang ke dalam sungai dan mengendap pada dataran rendah. Melihat hamparan tailing yang memusnahkan tanaman, bagi masyarakat Kamoro merupakan bencana akan mengganggu kehidupan mereka dalam waktu lama. Oleh karena itu, masyarakat Kamoro mengalami dan luka hati yang mendalam.

Dampak sosial PT.FI terhadap masyarakat Amungme nampaknya lebih mendalam dibandingkan masyarakat Kamoro, meskipun keduanya mempunyai dasar falsafah alam yang sama, yakni menganggap adanya kesatuan antara alam manusia dengan alam semesta

2


(5)

(lingkungan fisik). Hal ini disebabkan, kerusakan alam akibat penambangan bagi suku Amungme yang ada di dataran tinggi atau puncak gunung yang merupakan tempat pemujaan, tempat suci dan tempat arwah leluhur Amungme.

Kehadiran PT Freeport menambah kemajemukan masyarakat Mimika karena perusahaan ini banyak mendatangkan tenaga kerja dari luar Mimika dan luar Papua. Perkembangan wilayah yang pesat karena kehadiran Freeport juga menarik pendatang lebih banyak lagi ke Mimika. Operasi PT.FI menimbulkan dampak lingkungan yang luar biasa, sehingga masyarakat yang terkena dampaknya merasa dirugikan dan di korbankan. Kenyataan ini menyebabkan konflik bertambah luas antar masyarakat3.

Konflik yang timbul dalam kehidupan masyarakat yang antara lain disebabkan perebutan hak atas tanah, tentu saja mengakibatkan rusaknya keharmonisan hubungan atau interaksi sosial. Kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis yang dicita-citakan bersama menjadi sulit untuk diraih, sebaliknya berkembang rasa dendam berkepanjangan yang menghancurkan kerukunan hidup bersama (Bolong, 2005 :4), 4.

Pertikaian merupakan proses sosial dimana seseorang atau sekelompok sosial berusaha memenuhi atau mencapai tujuannya dengan jalan menentang lawannya dengan ancaman atau kekerasan mengaduh fisik. Pertikaian terjadi karena perbedaan persepsi yang dipertajam oleh emosional atau perasaan, apalagi didukung pihak ketiga. Salah satunya adalah perbedaan pendirian atau sikap yang tidak terkendali oleh akal sehat karena datang dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda (Syarbaini, Rahman dan Djihardo, 2004: 29-30), 5.

3

Ngadisah, opcit hlm 89 –97.

4

Bertholomeus Bolong, OCD. Memburu Hak Persaudarraan Potret Konflik Pengklaiman Hak Atas Tanah Ulayat di Ngada, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005. Halaman 4.

5

Syahrial Syarbaini, Rahman dan Monang Djihado, Sosiologi dan Politik, Jakarta: Ghalia Indonesia, , 2004 hlm 29 – 30.


(6)

Tadinya suku Amungme dan suku Kamoro yang mendiami di Kabupaten Mimika, namun dengan kehadiriannya, subsuku dari Kabupaten yang berdekatan dengan Kabupaten Mimika yaitu subsuku dari Kabupaten Paniai, Wamena, Puncakjaya, suku dari luar Kabupaten Mimika maupun dari luar Papua berdatangan secara perlahan-lahan ke Kabupaten mimika untuk bekerja di Freeport dari sinilah bermula konflik antar suku. Oleh karena itu, di Kabupaten Timika ada tujuh suku yaitu dua suku induk suku Amungme dan suku Kamoro, sedangkan lima subsuku lainnya suku Dani, Damal, Moni, Mee/Ekari dan Nduga

Konflik bagi masyarakat di kawasan Mimika merupakan hal yang biasa, yang ditunjukan dengan kebiasaan perang suku dan pergantian kepemimpinan yang sering terjadi. Kehadiran PTFI juga dapat dikatakan menjadi sumber konflik baru, karena konflik-konflik lama masih mewarnai kehidupan sosial masyarakat dan Freeport menambah kompleksitas konflik di daerah ini.

Kegiatan PTFI yang merupakan perusahaan multinasional yang sangat cepat pengaruhnya di Kabupaten Mimika. Ini berarti faktor-faktor materiil nampak lebih nyata pengaruhnya terhadap perubahan sosial, karena penggunaan alat-alat canggih memerlukan prasarana yang memadai dan penyesuaian sikap mental manusianya. Apalagi dengan adanya perubahan lingkungan hidup yang berpengaruh langsung terhadap sumber mata pencaharian penduduk, diperlukan perbahan nilai secara signifikan agar masyarakat tetap bisa bertahan hidup.

Perubahan yang demikian cepat melahirkan konflik-konflik sosial yang makin tajam, karena ketegangan meningkat. Meningkatnya ketegangan disebabkan situasi sosial yang telah ada sudah mengandung potensi konflik berupa persaingan dan tradisi peperangan antar suku. Sebagai perusahaan modern PTFI dituntut untuk bertindak secara rasional, sedangkan masyarakat sekitar masih sangat tradisional. Sementara itu perubahan-perubahan tidak


(7)

terhindarkan sehingga masyarakat adat makin sulit beradaptasi dengan situasi maupun nilai-nilai baru. Akhirnya, perubahan dan konflik berjalan beriringan sebagai suatu kenyataan yang tidak terhindarkan, yang dipicu oleh kehadiran PTFI.

Bagaimana konflik itu berproses, dapat dilihat dari tahap awal perencanaan penambangan sampai tahap operasional dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan setelah proyek berjalan. Tahap perencanaan umum dapat ditelusuri sejak penandatanganinya kontrak karya I pada tahun 1973 antara pemerintah RI dengan PTFI, sedangkan dalam kaitannya dengan masyarakat setempat ditandai dengan January Agreement (1974), sebagai upaya Freeport untuk berdamai dengan masyarakat. Selama kurang lebih 20 tahun PTFI beroprasi, dengan segala pasang surutnya, perusahaan ini seolah-olah tidak peduli terhadap masyarakat di sekitarnya. Baru setelah ada peristiwa kerusuhan bulan Maret 1996, kebijakan-kebijakan PTFI diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat maupun Papua pada umunya. Langkah nyata ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan penyediaan dana 1% dari keuntungan kotor, yang diwujudkan melaui berbagai program. Kebijakan ini ternyata belum mampu meredam konflik yang sudah lama terpendam, bahkan menjadi sumber konflik baru.

Konflik antar suku pada masyarakat Mimika merupakan faktor bawaan yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi perang suku adalah salah satu indikator penting mengenai hal ini. Tradisi suku-suku yang ada disekitar Mimika masih dipegang teguh untuk memelihara eksistensi sekaligus upaya untuk menjadi suku yang dominan diantara suku-suku lain. Kolektivitas di dalam suku dijaga ketat dengan tradisi, sehingga kesadaran kolektif tetap tertanam. Sepanjang tidak ada musuh bersama diantara mereka, maka persaingan antar suku kembali menguat. Ikatan kolektif yang demikian dilihat dari perspektif pemikiran Durkheim disebut solidaritas mekanik. Bila solidaritas mekanik pada setiap suku terus dihidupkan,


(8)

maka toleransi bagi suku-suku lain melemah. Perilaku individu lebih dipengaruhi oleh sistem yang berlaku dalam masyarakat suku daripada suku sistem yang lebih luas.

Konflik internal antar suku merupakan salah satu faktor penyebab konflik di daerah Mimika terus berlanjut, karena ada anggapan bahwa diluar sukunya adalah “orang asing” (oyame). Perbedaan karakter antara suku-suku dari pegunungan dengan suku-suku dataran rendah juga mewarnai konflik di kawasan Mimika, dimana masyarakat dari dataran rendah menganggap suku-suku pegunungan terlalu agresif. Klaim bahwa semua tanah yang di kuasai Freeport adalah milik orang Amungme, merupakan ganjalan bagi masyarakat Kamoro yang tidak berani di ungkapkan secara terang-terangan.

Sebagaimana para ahli-ahli ilmuwan social yang dapat disimpulkan bahwa Realitas Sosiokultural merupakan kenyataan atau keadaan yang dapat dilihat secara riil yang menyangkut kondisi kehidupan manusia di dalam suatu kelompok yang di sebut masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat terdapat sekelompok orang yang saling menjalin hubungan antara satu dan lainnya, sehingga dalam hubungan social ini menimbulkan tata aturan kehidupan bersama yang menjadi kesepakatan social. Kesepakatan social ini berupa tata aturan yang menjadi pedoman kehidupan bersama yang berisi tata aturan perilaku yang diperbolehkan, dianjurkan, dan dilarang. Kesepakatan social ini menjadi panduan perilaku manusia di dalam kelompok social di mana kelompok social ini berada.

Rivalitas yang berkembang di antara suku-suku menciptakan kondisi ketegangan sosial terus-menerus, sehingga rasa saling curiga mewarnai interaksi sosial mereka. Kondisi ini berpengaruh terhadap muncul dan berkembangnya konflik di Mimika. Ada satu suku yang terus berupaya untuk menjadi pemimpin di antara suku-suku lain dengan membentuk lembaga adat sebagai wadah gerakan dalam rangka memperjuangkan kepentingan sukunya, yaitu suku Amungme. Apabila di dalam kehidupan suku terdapat mekanisme pemilihan


(9)

pemimpin melalui tradisi perang, maka dalam kondisi hubungan antar suku pun terjadi hal serupa. Perebutan hegemoni terus berlangsung yang menyatu dengan promosi kepemimpinan bagi individu maupun kelompok. Bila pemimipin dari salah satu suku menonjol, maka pamor suku itu pun meningkat, karena kepala suku merupakan personifikasi dari sukunya (Ngadisah, 2003:42).

Dari konflik-konflik antara suku, para pelaku tidak pernah proses sampai ke meja pengadilan. Beberapa pelaku pernah ditangkap polisi tapi kemudian dibebaskan tanpa proses lebih lanjut. Disini para penegak hukum seakan-akan tidak berdaya menerapkan hukum positif. Dalam kasus-kasus tertentu juga, pemerintah dan penegak hukum melepaskan pelaku karena takut akan ada konflik berkelanjutan. Disini, pemerintah justru takut kepada rakayatnya, bukannya rakyat yang tunduk kepada pemerintah. Disinilah terlihat bahwa pemerintah dan penegak hukum tidak berwibawa. 6

Karena itu, perlu ditegaskan bahwa pemerintah dan penegak hukum terutama di Kabupaten Mimika sangat lemah atau belum profesional untuk menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di kabupaten tersebut. Setiap konflik yang terjadi di sana tidak pernah diselesaikan secara baik oleh pemerintah dan penegak hukum (jaksa dan polisi) akan tetapi selama ini hanya diselesaikan secara adat. Alangkah baiknya masyarakat harus tunduk kepada pemerintah dan hukum positif sehingga itu hukum positif harus ditegakkan.

Pemerintah dan penegak hukum terlalu sering mengikuti kemauan orang- orang yang berkonflik untuk menyelesaikan secara adat, akhirnya pemerintah dan penegak hukum hanya ikut-ikutan, sedangkan masyarakat menjalankan kemauan sendiri sehingga antara pemerintah dengan masyarakat sangat kontradiktif. Artinya, pemerintah dan penegak hukum tidak menegakan hukum positif secara profesional sementara masyarakat tidak memahami

6


(10)

hukum positif, tetapi setiap konflik hanya selesaikan dengan hukum adat, karena itu setiap konflik yang terjadi disana sangat sulit diselesaikan secara baik oleh pemerintah ataupun penegak hukum.

Adapun tata cara penyelesaian konflik perang antar suku secara adat di pegunungan tengah provinsi Papua, salah satunya di Kabupaten Mimika, ketika ada perang suku di suatu tempat kemudian untuk merealisasikan perdamaian atau menyelesaikan perang antar suku biasanya mengambil suatu keputusan (decision making) atau membuat sebuah kesepakatan bersama dari kedua pihak masing-masing woemum atau penyelenggaran perang suku itu, untuk menyelesaikan/mengakhiri perang dan merealisasikan perdamaian. Proses perdamaian dilakukan dengan digelar prosesi acara bakar batu memberi makan kaum laki-laki dan kaum perempuan secara bertahap. Acara bakar batu adalah tanda jika mereka yang melibatkan perang supaya membersihkan diri dari pernak ernik perang. Selanjutnya proses perdamaian juga dilakukan dengan upacara peletakan anak panah secara sinkron/simultan untuk disimpam, itu membuktikan bahwa perang sudah berakhir dan damai, kemudian dilakukan saling berjabatangan di antara kedua kubu yang berkonflik perang.

Warga kampung Banti dan Kemeli, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, yang terlibat perang sejak September 2007,sepakat menggelar acara perdamaian pada 8 Februari 2008, akhirnya perang diakhiri dan merealisasikan perdamaian sesuai dengan kesepakatan yang sudah di tentukan sebelumnya.

Terkait dengan hal ini, melakukan mewawancarai langsung dengan salah satu pimpinan Perang Bapak Marthen Magal, pada tanggal 22 Maret 2008, Ia mengatakan bahwa:

Proses meyelesaikan perang antar suku ataupun perang antar saudara kemudian untuk menuju perdamaian secara adat, harus dilakukam melalui beberapa proses, antaranya


(11)

adalah diawali dengan membuat sebuah keputusan dan mengambil suatu kesepakatan antara kedua kubu masing-masing penyelenggara perang, yang menyatakan bahwa kita harus melakukan perdamaian, selanjutnya melaksanakan acara bakar batu untuk memberi makan kaum laki-laki, dan kaum perempuan. Namun waktu untuk memberi makan antara kaum perempuan dan laki-laki tidak semestinya kesamaan waktu, tapi hari pertama memberi makan kaum perempuan lalu hari kedua memberi makan kaum laki-laki, atas perintah dari penyelenggara perang masing-masing kelompok perang wajib melaksanakan itu. Kemudian paling terakhir saling jabat tangan. Kalau masalah bayar kepala atau ganti rugi dilakkukan setelah perdamaian.7

Pelaku-pelaku konflik ditangkap kemudian diproses hukum positif. Hal itu pernah dilakukan oleh penegak hukum positif di Kabupaten Mimika, tapi kemudian tanpa proses lebih lanjut dibebaskan, ini yang terjadi di Kabupaten Mimika.

Sementara upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan hukum positif di Kabupaten Mimika. Selama konflik perang antar suku, pemerintah daerah dan aparat keamanan berupaya terjun ke medan atau lapangan perang untuk mengamankan perang suku itu, namun belum pernah dihentikan atau diamankan, apalagi perangnya semakin memanas justru pemerintah dan keamanan takut turun ke medan perang, untuk menghentikan.

Pada tahun 2006 perang suku antara suku Damal dengan suku Dani, selama dua bulan berlangsung .Pemerintah daerah mencoba memberhentikan perang suku itu dengan syarat ganti ruginya ditanggup pemerintah daerah artinya membayar kepala, dan pemerintah daerah sudah melakukan itu dengan dipertanggung jawabkan untuk membayar ganti rugi senilai Rp 300,000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) perkepala. Namun masyarakat melihat pertanggung jawaban dari pemerintah daerah, masyarakat mengatakan bahwa untuk kedepan tidak skeptis atau ragu untuk melakukan perang lagi karena ada konflik-konflik pasti pemerintah daerah akan dipertanggung jawabkan atau membayar kapala. Oleh karena itu, cara seperti ini bukan

7


(12)

merupakan solusi untuk penyelesaian konflik dalam jangka panjang, akan tetapi cara ini seakan-akan mendoromg masyarakat untuk berkonflik kemudian belum tentu konflik akan mereda dan pulih atau berakhir. Solusi yang terbaik untuk penyelesaian konflik jangka panjang adalah; pemerintah sebagai pengayomi dan selaku pembangunan dalam segalah kebijakan, maka menerapkan hukum dengan tegas secara adil, jujur, serta transparan dengan itu masyarakat tentu saja bisa tunduk dan takut kepada hukum positif. Jika hal itu dilakukan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah dan penegak hukum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan judul yang sudah ditentukan maka akan diambil beberapa formulasi atau rumusan masalah, sebagai berikut:

1. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya konflik antar suku Dani dengan suku Amungme di Timika-Papua?

2. Bagaimana proses resolusi konflik antar Suku Dani dengan suku Amungme?

C. Tujuan Penelitian

Dengan tujuan penelitian ini, bisa menjawab dua pertanyaan dalam rumusan masalah diatas, kemudian untuk mencapai suatu hasil yang maksimal dari suatu penelitian tersebut, dan beberapa tujuan yang ingin dicapai antara lain adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana dampak konflik antar Kedua Suku di Distrik Tembagapura kabupaten Mimika.

2. Untuk mendeskripsikan sumber-sumber maupun pokok masalah konflik antar Suku di kabupaten Mimika-Papua


(13)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini, keniscayaan akan mengoptimalisasikan beberapa manfaat dari hasil penelitian, yang mana melihat dua sudut pandang yaitu dari sudut pandang praktis dan sudut pandang akademik:

1. Manfaat akademis

Penelitian ini pada dasarnya diharapkan dapat menambah wawasan (insight) dan pengetahuan yang luas secara inovatif maupun kreatif terutama bermanfaat sebagai bahan penunjang acuan bagi Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang, dan dijadikan sebagai dasar perbandingan pengetahuan bagi penelitian – penelitian berikutnya, kaitannya dengan konflik yang selalu timbul di beberapa daerah di Indonesia khususnya di kabupaten Mimika Papua.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau masukan yang signifikan atau berarti kepada pemerintah maupun lembaga – lembaga yang ada di kabupaten Mimika. Agar dengan berupaya untuk menyelesaikan persoalan – persoalan konflik yang terjadi di kabupaten Mimika ini, dengan mudah mencari solusi untuk membasmi persoalan konflik antar etnis di kabupaten Mimika

E. Definisi Konseptual

Sebelumnya untuk menjelaskan definisi konseptual dari judul yang sudah ditentukan, maka betapa baiknya menguraikan makna definisi konseptual yang sudah ditentukan adalah definisi yang digunakan dalam beberapa unsur – unsur dari suatu generalisasi. Konsep –


(14)

konsep ini diwujudkan melalui beberapa variabel yang ada, sehingga dengan beberapa variabel tersebut benar – benar menjadi gamblang. Dengan demikian judul yang sudah ditentukan, maka akan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa variabel penelitian antara lain sebagai berikut :

1. Suku

Suku adalah sekolompok kecil dari berbagai konvonen masyarakat yang memiliki latar belakang kehidupan budaya yang sama serta berdomisili di wilayah-wilayah tertentu, dan juga memiliki karakter dan sifat yang berbeda dengan Suku yang lainnya.

2. Konflik

Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperoleh hal – hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain sebagainya. Dimana tujuan dari mereka yang bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaraman8.

Konflik merupakan gejala serba hadir dalam masyarakat atau istilah lain dikenal dengan “everyday to life” artinya seperti tidak ada individu atau masyarakat tanpa konflik. Konflik sudah menjadi keseharian hidup manusia9.

Menurut Karl Marx, konflik adalah satu kenyataan sosial yang bisa ditemukan dimana – mana. Bagi Marx, konflik sosial adalah pertentangan antara segmen – segmen masyarakat untuk memperebutkan aset – aset yang bernilai10.

Menurut Clinton F. Fink, konflik adalah relasi – relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan – tujuan yang tidak bisa disesuaikan interest – interest eksklusif dan

8

Jabal Tarik Ibrahim, Sosiologi Pedesaan, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002 hlm 21– 22.

9

Budi Suryadi, Sosiologi Politik Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep, Jogjakarta: IRCISOD, 2007 hlm 76.

10


(15)

tidak bisa di pertemukan, sikap – sikap emosional yang bermusuhan dan struktur – struktur nilai yang berbeda11.

Pendekatan konflik dengan keyakinan menganggap bahwa konflik adalah merupakan gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, dan oleh karenanya tidak mungkin dilenyapkan12.

Etnik diganti dengan istilah golongan etnik atau suku bangsa dengan alasan bahwa suku yang bukan kelompok melainkan golongan13.

3. Konflik antar Suku

Suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda (suku bangsa, ras, agama, golongan, dan lain – lain) karena mereka memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai – nilai atau kebutuhan. Hubungan pertentangan antara dua etnik atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, merasa memiliki, sasaran – sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan14. F. Definisi Operasional

Definisi operasional menyatakan bagaimana operasi atau kegiatan yang harus dilakukan untuk memperoleh data akan indikator yang menunjukkan konsep dimaksud15.

Definisi operasional atau standar ukur atau indikator upaya penelitian untuk melekatkan arti pada suatu konstruk atau variabel dengan cara menetapkan kegiatan – kegiatan atau tindakan

11

Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 hlm 246.

12

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, , 2003 hlm 22.

13

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Indonesia, Yakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2000 hlm 149.

14

Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: LKIS, 2005 hlm 250.

15


(16)

– tindakan yang perlu untuk mengukur konstruk atau variabel itu16. Oleh karena itu, penulis membatasi permasalahan yang sudah di uraikan dalam latar belakang, kemudian dispesifikasikan dalam indikator – indikator definisi operasional yaitu : dampak konflik ekonomi, dampak politik, dampak sosial budaya dan dampak konflik lingkungan PT.FI terhadap masyarakat Kabupaten Mimika, maka indikator – indikator para peneliti telah dirumuskan bahwa dampak keberadaan PT. Freeport Indonesia terhadap konflik antar suku di kabupaten Mimika adalah sebagai berikut 1. Terjadinya konflik antar suku

a. Waktu (dimensi waktu) b. Pihak-pihak yang berkonflik c. Objek Konflik

d. Mekanisme Konflik e. Daerah konflik 2. Faktor penyebab konflik

a. Konflik pasca keberadaan PT Freeport Indonesia

b. Kecemburuan social antar suku Dani dengan suku Amungme dalam pengelolahan hasil dari PT Freeport Indonesia

c. Semua kebijakan tidak sesuai dengan harapan masyarakat 3. Resolusi Konflik.

a. Mediasi b. Abitras c. Koordinasi d. Jalur hukum

16

Krisno Hadi, Materi Perkuliahan, Metode Penelitian Sosial, Universitas Muhammadiyah Malang, Fisip Ilmu Pemerintahan, 2005


(17)

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan. Sedangkan penelitian merupakan kegiatan yang sistemik yang dimaksudkan untuk menambah pengetahuan baru atas pengetahuan yang sudah ada, dengan cara yang dapat dikomunikasikan dan dapat dinilai kembali17. Oleh karena itu, peneliti menentukan metodologi sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam jenis penelitian ini, yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian deskriptif, dimana jenis penelitian merupakan penelitian yang mendeskripsikan karakteristik suatu masyarakat atau suatu kelompok orang tertentu.

Penelitian yang dimaksud untuk mengumpulkan data secara seksama, akurat dan sistematis terhadap fakta sosial, dengan cara yang mendeskripsikan suatu variabel yang diamati dilapangan. Oleh karena itu, peneliti mengumpulkan data maupun informasi dalam fakta sosial, baik itu dari seseorang, kelompok sosial maupun lembaga – lembaga terkait, sesuai dengan judul Konflik antar Suku di Papua, pada khususnya Kabupaten Mimika, Distrik Temagapura.

2. Lokasi Penelitian

Berdasarkan judul Konflik Antar Suku di Papua, di kabupaten Mimika, maka penelitian ini dilakukan di kabupaten Mimika – Papua.

3. Subyek Penelitian

17


(18)

Subyek penelitian disini, lebih pada pengumpulan informasi. Informasi adalah orang – orang yang dimintai keterangan tentang permasalahan yang terjadi dilapangan.

Berdasarkan judul yang sudah ditentukan, maka beberapa lembaga atau orang – orang yang dijadikan sebagai subyek penelitian sebagai berikut:

 Bagian Humat LEMASA di kabupaten Mimika  Kepala Dinas sosial di kabupaten Mimika  Tokoh-tokoh masyarakat dan agama

 Departement CLO/SLD PTFI di Kabupaten Mimika  Bagian Humat LPMAK di Kabupaten Mimika.

4. Sumber Data

Sumber data dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sumber Data Primer, adalah data maupun informasi yang bersifat lisan ataupun tulisan didapat dari lembaga-lembaga terkait yang mewakili, kepala-kepala bidang, kepala biro, ketua lapangan harian, tokoh masyarakat dan agama, dan lembaga-lembaga lain tempat dimana mereka berada di Kabupaten Mimika, yang memberikan data dan informasi sesuai dengan masalah yang mereka lihat, tahu, rasakan bahkan laksanakan di lapangan.

b. Sumber Data Sekunder, adalah sumber data sebagai pelengkap dan penguat data yang sudah ada, seperti internet, bulletin-buletin, buku laporan, media cetak (Koran seperti Kompas, Radar Timika, dan lain – lain) sesuai dengan masalah yang terjadi di lapangan. 5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup tiga kegiatan : a. Wawancara (interview)


(19)

Adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pengumpul data (pewawancara) kepada responden, dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap dari sumber dan subyek yang lebih paham akan permasalahan yang ada di lapangan.

b. Observasi (observation)

Adalah suatu pengamatan dengan indera pengelihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan – pertanyaan. Indera diartikan sebagai melihat, mengamati dan merasakan.

c. Dokumentasi (docummentation)

Adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditunjukkan kepada subyek penelitian, dokumen yang diteliti dapat berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi, dokumen dapat berupa buku harian, laporan, notulen rapat, catatan kasus dalam pekerjaan sosial dan dokumen lainya. Kemudian teknik pengumpulan data ini juga mengumpulkan data melalui berbagai media baik itu media massa, media cetak maupun media elektronik, untuk melengkapi data yang sudah ada18

I. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data merupakan suatu ikhtiar untuk mencari dan tersusun secara sistematis dari hasil interview, observasi dan dokumentasi untuk meningkatkan akan tahu tentang masalah gerakan sosial dan fenomena sosial yang diteliti dan menyajikannya sebagai inovasi bagi orang lain.

18


(20)

Berdasarkan tujuan penelitian, maka peneliti menggunakan analisa deskriptif kualitatif, karena peneliti lebih melihat dan menggambarkan masalah – masalah yang sedang terjadi di lapangan. Beberapa jenis penelitian dalam analisa data sebagai berikut:

Data yang dikumpulkan berupa bertanya jawab dan di konsep dari berbagai nada sumber yang mau sampaikan informasi yang berdasarkan realita yang terjadi, kemudian akan di lihat kembali kepastian dan bertanya pada orang lain dengan pertanyaan yang sama.

Dalam penganalisaan lebih sosial dan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis, serta selalu transparansi dalam setiap pertanyaan.

Prinsip penelitian adalah membenarkan diri di dalam data kasus dan diinformasikan dengan analisis yang bersifat induktif.

Di dalam analisa, analisa dan pengumpulan data terjadi secara simultan. Oleh karena itu, hipotesa tidak dicantumkan dalam rencana penelitian, melainkan digali dan dikembangkan di lapangan19

19

Ngadisah, Loc cit hlm 40.


(21)

KONFLIK ANTAR SUKU DI PAPUA

(STUDI KASUS KECEMBURUHAN SOSIAL DALAM PEMBAGIAN HASIL

TAMBANG PT FREEPORT INDONESIA ANTARA SUKU AMUNGME DENGAN

SUKU DANI DI DESA BANTI KEC. TEMBAGAPURA KAB. MIMIKA-PAPUA)

Di Susun Oleh:

Yulius Beanal

(201020050312114)

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


(22)

LEMBAR PENGESAHAN

Telah Dipertahankan Dihadapan

Sidang Dewan Penguji Skripsi

Jurusan Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang

Pada:

Hari

: Jumat

Tanggal

: 16 November 2012

Jam

: 11.15

Tempat

: Kantor Jurusan Ilmu Pemerintahan

Dosen Penguji :

1. Drs. Jaenuri

2. Hallaudhin

3. Dr. Tri Sulisyaningsih, M.Si

4. Drs. Krishno Hadi

Mengesahkan Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Muhammadiyah Malang

Dr. Wahjudi, M.Si


(23)

KATA PENGANTAR

Dengan ini selayaknya menunaikan Puji dan Syukur kepada Allh Yang Mahakuasa, atas

penyertaan dan pertolongan-Nya agar penulis dapat menyelesaikan karya tulis dalam penyusunan

skripsi dengan judul; Konflik Antar Suku di Papua (Studi kasus Kecemburuhan Sosial dalam

pembagian hasil Tambang PT.Freeport Indonesia antara suku Amungme dengan suku Dani di

Desa Banti, Kec. Tembagapuara, Kab. Mimika-Papua) dengan demikian maka terpenuhinya

persyaratan Akadimisi untuk memperoleh gelar Kesarjanaan (S-1), pada Jurusan Ilmu

Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam kesempatan ini pula penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas

segala bantuan dalam bentuk apapun yang berikan kepada penulis baik dari segi moriil maupun

materiil dari semua pihak maka saya bisa dapat menyelesaikan Skripsi ini, walaupun masih

banyak kekurang dan keterbatasan saya tapi dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima

kasih banyak kepada:

1.

Drs. Muhadjir Effendi. MAP, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Malang

2.

Dr. Wahyudi, M.Si, selaku Dekan FISIP UMM

3.

Dr. Trisulityaningsih M.Si, selaku ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP, sekaligus

Dosen Pembimbing I, terima kasih banyak Ibu atas bantuan secara moriil dan

materiilnya, terima kasih banyak ilmu-ilmu yang berikan kepada saya melalui bimbingan

Skripsi, dan luangkan waktu untuk memberikan bimbingan.

4.

Drs. Krisno Hadi, selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih banyak atas motifasinya,

dukungannya, dan terima kasih banyak atas luangkan waktu dalam banyak kesibukan tapi

bisa memberikan bimbingannya.

5.

Drs. Jainuri, M.Si, selaku wali Dosen, terima kasih banyak Bapak atas semua harapan

melalui peratihan, dorongan, motivasi sehingga saya bisa dapat menyelesaikan Skripsi.

6.

Drs. Asep Nurjaman.M.Si, selaku Pembantu Dekan I FISIP UMM

7.

Drs. Sullismadi, M.Si, selaku Pembantu Dekan II FISIP UMM

8.

Drs. Abdullah Masmuh, M.Si, selaku Pembantu Dekan III FISIP UMM

9.

Semua Bapak/Ibu Dosen Ilmu Pemerintahan yang saya belum disebutkan namanya,

terima kasih banyak atas teorinya.

10.

Bapak/Ibu petugas TU FISIP UMM, terima kasih atas semua pelayanannya

11.

Yang tersayang Ayanda Almarhum (Yusak Beanal)


(24)

13.

Bapak dan Ibu Pendeta Dedy Sutiadi di Sawojajar, walaupun saya jarang masuk Gereja

tapi selalu ada dukungan Doanya, terima kasih banyak Tuhan Memberkati.

14.

Bapak-Bapak Pendeta, Kaum Ibu serta semua Bapak/Ibu di Kampung, terima kasih

banyak atas dukungan Doanya.

15.

Yang tercinta Adik-adiku, Emzon Beanal, Aplius Beanal, Aljerina Beanal, Apliance

Beanal dan Almarhum (Ananias Beanal), terima kasih atas semua harapan dan Doanya.

16.

Kakak Joap Beanal, Kakak Aser Beanal, keluarga Bapak Joel Beanal, Keluarga Bapak

Marthen Magal, Om Oscar Natkime,terima kasih banyak atas peratihan serta bantuannya.

17.

Teman-teman dan Adik-adik seperjuangan, Elisa Bayaw Yawan, Kak Julias M.Dolame,

Fery Uamang, Anis Magal, Marianus Magal, Pius Saopetaka, Erna Beanal, Domingkus

A.Magal, Feliks Songgonaw, Arianus Katagame, Justinus Timang, Wensius Kigibalon,

Jerinus Kum, Farden Murid, Bony Uamang, Jones Agabal, Yefry dan semua pengurus

serta anggota organisasi IPMAMI Malang yang saya belum sebutkan namanya, terima

kasih banyak atas kebersamaan, kekompakan, saling pengertiannya.

18.

Drs. Paul Sudiyo, selaku Direktur Jayasan Binterbusih Semarang, terima kasih banyak

Bapa atas semua kebaikan dalam pengorbanan moriil, materiil, tenaga, waktu untuk

mendidik kami Anak-anak Papua pada khususnya peserta program beasiswa dari

LPMAK.

19.

Bapak/Ibu, Kakak semua Staf Jayasan Binterbusih, terima kasih banyak atas

pendampingan, bimbingan dan pelayanannya.

20.

Saudara Krinus Kum M.Si, selaku Koordinator Wilayah Malang dari Jayasan

Binterbusih, terima kasih (Haie Enae) atas koordinasi dan menyelesaikan administrasi di

kampus.

Dengan ini saya menyadari bahwa penyusunan Skripsi banyak kekurangan dan tidak sempurna,

untuk itu penulis sangat dibutuhkan saran dan kritik dari semua pihak untuk membantu dalam


(25)

menyempurnakan Skripsi ini, dan penulis diharapkan supaya karya tulis ini bermanfaat bagi

mereka yang ingin membutuhkannya.

Malang, 12 November 2012

Penulis

Yulius Beanal


(26)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

………

i

HALAMAN PERSETUJUAN

………

ii

HALAMAN PENGESAHAN

…...……….

iii

SURAT PERNYATAAN

………...

iv

BERITA ACARA BIMBINGAN

………

v

ABSTRAKSI

………..

vi

KATA PENGANTAR

……….

...

.x

DAFTAR ISI

………

xiii

DAFTAR TABEL

………

xx

DAFTAR GAMBAR

………

xxi

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

……….

1

B. Rumusan Masalah

……….

13

C.Tujuan Penelitian

………

13

D. Manfaat Penelitian

………

14

1.

Manfaat Akademis

……….

14

2.

Manfaat Praktis

………..

14

E. Definisi Konseptual

………...

15

1.

Konflik

………...

15

2.

Suku

………...

16

3.

Konflik Antar Suku

………

16


(27)

1.

Terjadinya Konflik Antara Suku

………

17

2.

Faktor Penyebab Konflik

………..

.

18

3.

Resolusi Konflik

………

18

H. Metode Penelitian

……….

18

1.

Jenis Penelitian

………...

19

2.

Lokasi Penelitia

………..

19

3.

Subyek Penelitian

………...

19

4.

Sumber Data

………...

20

a.

Sumber Data Primer

……….

20

b.

Sumber Data Sekunder

………

20

5.

Teknik Pengumpulan Data

………

20

a.

Wawancara

………..

20

b.

Observasi

………..

21

c.

Dokumentasi

………

21

I.Teknik Analisa Data

………

21

BAB II. KAJIAN KONSEP DAN TINJAUAN TEORITIS

A.Konflik

………...

23

1.

Pengertian Konflik

……….

23

2.

Tipe-tipe Konflik

………...

27

2.1.Konflik Sederhana

……….

28

2.2. Konflik Organisasi

………

28

2.3. Konflik Sifat

……….

28

2.4. Konflik Jenis Peristiwa dan Proses

………...

29

2.5. Konflik Faktor Pendorong

………

30

a.

Konflik Internal

………

30

b.

Konflik Eksternal

……….

30

c.

Konflik Realitis

………

30

d.

Konflik tidak Realitis

………...

30

2.6. Konflik Jenis Ancaman

……….

31


(28)

2.7. Kanflik Apa, dinama, Kapan terjadinya?

...

31

2.8. Konflik Cara memandang Peristiwa/ Isu

………..

32

2.9. Konflik berdasarkan Level

………

32

B. Suku

………...

32

1.

Pengertian Suku/Etnis

………

32

2.

Pengertian Konflik Antar Suku/Etnis

………

34

3.

Sebab atau Sumber Konflik

………...

35

4.

Unsur-unsur Konflik Antar Suku

………...

39

5.

Tujuan Mempelajari Konflik Antar Suku

………..

39

5.1. Mengenal

……….

42

5.2. Tidak Ekspresif

………...

42

5.3. Toleransi

……….

42

5.4. Empati

………

43

5.5. Bangga

………

43

BAB III. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

A. Jejarah Kabupaten Mimika

………...

44

B. Gambaran Umum Kab. Mimika

………...

45

1.

Kondisi Geografi

………

45

2.

Cuaca dan Iklim

……….

48

3.

Demografi

………..

51

C. Laju Pertumbuhan Penduduk

………

52

D. Pemerintahan

……….

56

E. Sosial dan Budaya

……….

57

1.

Fasilitas Agama

………..

58

2.

Fasilitas pendidikan

………

...

59

3.

Fasilitas Kesehatan

……….

61

4.

Organisasi Sosial

………

61


(29)

F. Potensi Daerah

……….

..

62

1.

Sektor Parawisata

………..

.

62

2.

Sektor Pertanian

………

63

3.

Sektor Peternakan

………..

65

4.

Sektor Perkebunan

……….

65

5.

Sektor Perikanan

………

68

6.

Sektor Kehutanan

………..

69

7.

Sektor Perhubungan

………...

70

8.

Sektor Pertambangan

……….

72

BAB IV. PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

A.Konflik Antar Suku di Papua

………

.

77

B. Konflik antar Suku Amungme dengan Dani di Kec.Tembagapura

……….

.

79

1.

Program Rekognisi

………...

.

87

2.

Program Pembangunan Tiga Desa

………...

.

89

3.

Program Pengembangan Ekonomi Tujuh Suku

………

.

93

3.1. Ekonomi Suku Amungme

………..

.

94

3.2. Ekonomi Suku Kamoro

……….

..

94

3.3. Biro Ekonomi Suku Mee

………

95

3.4. Biro Ekonomi Suku Moni

………..

.

95

3.5. Biro Ekonomi Suku Dani

………

96

3.6. Biro Ekonomi Suku Damal

……….

96

3.7. Biro Ekonomi Suku Nduga

……….

97

C. Pelayanan PT.FI Kecemburuhan Sosial

………

99

1.

Pelayanan Kesehatan

……….

99

1.1. Rumah Sakit Mitra Masyarakat

………..

99

1.2. Rumah Sakit Desa Banti

………

...

101

2.

Pelayanan Pendidikan

………...

...

104

D. Keterlibatan PT.FI dalam Politik berdampak Konflik

………

108


(30)

1.

Langkah Penyelesaian Konflik

………

113

a.

Secara Hukum Positif

………

113

b.

Secara Hukum Adat

……….

.

115

2.

Memahami Proses Perdamaian

………...

.

129

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan

……….

131

B. Saran

………

133

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Luas Wilayah Kabupaten Mimika Menurut Distrik 2011

………

47

Tabel 3.2. Rata-rata Curah Hujan dan Hari Hujan Kabupaten Mimika Tahun 2009

2011

...

50

Tabel 3.3. Rata-rata Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin Kabupaten MimikaTahun 2009-

2011

………

50

Tabel 3.4. Jumlah Penduduk Menurut Distrik dan Jenis Kelamin 2011

...

52

Tabel 3.5.

Rata-Rata Anggota Rumah Tangga Menurut Distrik Hasil SP2011

………

54

Tabel 3.6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku

2011

………..

55

Tabel 3.7. Jumlah PNS Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Mimika 2010

………..

55

Tabel 3.8. Jumlah Kampung/Kelurahan Menurut Distrik Tahun 2011

……….

56

Tabel 3.9. Banyaknya Tempat Peribadatan di Kabupaten Mimika 2011

...

58

Tabel 3.10. Pemeluk Agama di Kabupaten Mimika Tahun 2011

……….

59

Tabel 3.11. Jumlah Sekolah Kabupaten Mimika Tahun 2012

...

60

Tabel 3.12. Potensi Obyek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Mimika tahun 2010

...

63

Tabel 3.13. Potensi Lahan yang Sudah Dimanfaatkan dan Belum Dimanfaatkan

Di Kabupaten Mimika 2010

……….

64

Tabel 3. 14

.

Potensi Peternakan Berdasarkan Jenis Ternak 2010

...

65


(31)

Tabel 3.15. Luas Tanam, Panen dan Produksi Tanaman Buah-buahan, Kabupaten Mimika

Tahun 2010

...

66

Tabel 3.16. Luas Tanam, Panen dan Produksi Tanaman Sayuran Kabupaten Mimika Tahun

2010

...

66

Tabel 3.17. Luas Tanam, Panen dan Produksi Padi dan Palawija Di Kabupaten Mimika Tahun

2009

………...

67

Tabel 3.18. Potensi, Lokasi dan Profil Investasi Perkebunan 2010

...

67

Tabel 3.19. Potensi Penangkapan Ikan Berdasarkan Jenis dan Kwantitas Ikan 2010

...

68

Tabel 3.20. Fungsi Hutan dan Luas Hutan 2007

...

69

Tabel 3.21. Perusahaan Pemegang HPH di Kabupaten Mimika 2007

...

70

Tabel 3.22. Investor dan bidang usaha PTFI di Kabupaten Mimika 2005

………

74

Tabel 3.23. Perusahaan Partner PTFI 2005

...

75

Tabel 3.24. Perusahaan Kontraktor PTFI 2005

……….

75

Tabel 4.1. PTFI Dibangun Beberapa Instrastruktur dan Fasilitas Bagi Warga Nawaripi dan

Tipuka tahun 2004

……….

88

Tabel 4.2. PTFI Membangun Pembangunan Fisik Dalam Program Tiga Desa 2006

...

92

Tabel 4.3. Pencapaian Program Ekonomi Tahun 2006

………

.

98

Tabel 4.4. Kunjungan Pasien Rawat Inap di RSMM Per Suku Tahun 2006

………..

101

Tabel 4.5. Persentase pasien berdasarkan suku 2006

………..

102

Tabel 4.6. Penghuni asrama di Mimika dan Semarang tahun 2006

...

105

Tabel 4.7. Peserta Program beasiswa LPMAK 2006

………...

105

Tabel 4.8. Kelulusan Berdasarkan Suku dan Jenjang Pendidikan 2006

...

106

DAFTAR GAMBAR


(32)

Gambar 3.1. Peta Kabupaten Mimika

………

46

Gambar 4.1. Salah satu korban kena panah

………...

84

Gambar 4.2. Prosesi Acara Memberi Makan Untuk Perdamaian Tahun 2008

………

121

Gambar 4.3. Kepala suku Amungme dengan Rombongan dari Suku Dani Sedang Diskusi

...

123


(33)

Alo Liliweri, 1996, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lantas Budaya Masyarakat

Multikultural. PT.LKIS Pelangi Aksara. Yogyakarta

Alo Liliweri, 1996,

Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat

Multikultur

.PT. LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta

Arnold Mampioper, 2000,

Amungme Manusia Utama Pegunungan Nemangkawi Carstensz

,

Mimika: PTFI

Bertholomeus Bolong, 2005, OCD.

Memburu Hak Persaudarraan Potret Konflik Pengklaiman

Hak Atas Tanah Ulayat di Ngada, Bigraf Publishing

, Yogyakarta.

Budi Suryadi, 2007,

Sosiologi Politik Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep

, Jogjakarta:

IRCISOD

Benard Raho, 2007,

Teori Sosiologi Modern

, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher

Hugh Mial, 2000,

resolusi damai konflik kontemporer menyelesaikan, mencegah, mengelola dan

mengubah konflik bersumber politik, sosial, agama dan ras

, Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Irawan Soehartono, 2004,

Metode Penelitian Sosial

, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Jabal Tarik Ibrahim, 2002,

Sosiologi Pedesaan

, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang,

Kartini Kartono, 2004,

Pemimpin dan Kepemimpinan

, , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Kamanto Sunarto, 2000,

Pengantar Sosiologi Indonesia

, Yakarta: Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia

Krishno Hadi, 2005,

Materi Perkuliahan, Metode Penelitian Sosial

, Universitas Muhammadiyah

Malang, Fisip Ilmu Pemerintahan.

Nasikun, 2003,

Sistem Sosial Indonesia,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ngadisah, 2003,

konflik pembangunan dan gerakan social politik di papua

, Yogyakarta:

Pustaka Raja.


(34)

Syahrial Syarbaini, Rahman dan Monang Djihado, 2004,

Sosiologi dan Politik

, Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Surbakti Ramlan, 1999,

Memahami Ilmu Politik

, Jakarta: Grasindo

Media Elektronik

Laporan Jurnalistik Kompas, Tanah Papua, 2007

Bulletin PTFI

General Inducation

(edisi ke 2),Tembagapura: 2004 hlm 13-16.

http://www.kompas.co.id/.

www.anneahira.com/perang-antar-suku.htm(Diakses pada 31 Desember 2011 pukul 23.30 WIB

http://www.kapetbiak.com/modules.php? Diakses pada tanggal 10 Januari 2009. pkl4:30

Hasil Wawancara

Bapak Marthen Magal, pada tanggal 22 Maret 2008,

Bapak Janes Natkime, pada tanggal 16 September 2007,

Bapak Nathan Kum, pada tanggal 20 November 2007,

Bapak Joap Beanal, pada tanggal 22 Januari 2009

Bapak Johanis Kum, pada tanggal 23 Januari 2009

Ibu Rosalinda, pada tanggal 16 April 2009

Drs. Yusuf, pada tanggal 22 Oktober 2008,

1.

Tanah Papua, Laporan Jurnalistik Kompas 2007

Bapak Fiktor Beanal, pada tanggal 13 Juni 2010


(35)

2.

.Ngadisah, opcit hlm 89

97.

3.

.Bertholomeus Bolong, OCD. Memburu Hak Persaudarraan Potret Konflik Pengklaiman

Hak Atas Tanah Ulayat di Ngada, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005. Halaman 4.

4.

Syahrial Syarbaini, Rahman dan Monang Djihado, Sosiologi dan Politik, Jakarta: Ghalia

Indonesia, , 2004 hlm 29

30.

5.

http://www.kompas.co.id/.

6.

Hasil wawancara, 20 Maret 2008.

7.

Jabal Tarik Ibrahim, Sosiologi Pedesaan, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang,

2002 hlm 21

22.

8.

Budi Suryadi, Sosiologi Politik Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep, Jogjakarta:

IRCISOD, 2007 hlm 76.

9.

10.Benard Raho, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007.

hlmn 73.

10.

Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004 hlm 246.

11.

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, , 2003 hlm 22.

12.

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Indonesia, Yakarta: Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia, 2000 hlm 149.

13.

Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur,

Yogyakarta: LKIS, 2005 hlm 250.

14.

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, , 2004

hlm 29.


(36)

15.

Krisno Hadi, Materi Perkuliahan, Metode Penelitian Sosial, Universitas Muhammadiyah

Malang, Fisip Ilmu Pemerintahan, 2005

16.

Irawan Soehartono, Opcit hlm 2

17.

Irawan Soehartono, Ibid hlm 67

71

18.

Ngadisah, Loc cit hlm 40.

19.

Hugh Mial, resolusi damai konflik kontemporer menyelesaikan, mencegah, mengelola

dan mengubah konflik bersumber politik, sosial, agama dan ras, Jakarta: Raja Grafindo

Persada,2000 hlm 76.

20.

Surbakti Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo,1999 hlm 77-78.

21.

Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat

Multikultur. PT. LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2005. hlm. 249

250.

22.

Ibid, hlm 265-267

23.

Ibid, hlm 268

273.

24.

Menurut fakta sosial kaitannya dengan konflik perang suku ataupun perang saudara

khususnya di kabupaten Mimika sangatlah ironis. Jika dipantau dari dekat, didengar dari

orang-orang tua, dibaca dari media cetak dan dilihat dari media elektronik atau dilayar

televisi, karena masyarakat dikabupaten Mimika diwarnai dengan kecemburuan sosial,

kurangnya kesadaran masyarakat, rendahnya pendidikan, konflik dendaman dan lain-lain,

akibatnya konflik menjadi lebih besar.

25.

http://www.kompas.co.id

26.

Alo Liliweri, Loc cit hlm 261 - 262

27.

Kompas, op.cit


(37)

29.

Ngadisah, Loc cit hlm 246-248.

30.

www.anneahira.com/perang-antar-suku.htm(Diakses pada 31 Desember 2011 pukul

23.30 WIB)

31.

http://www.kapetbiak.com/modules.php? Diakses pada tanggal 10 Januari 2009. pkl4:30.

32.

Kabupaten Mimika dalam angka, Opcit hlm 2.

33.

Arnold Mampioper, Amungme Manusia Utama Pegunungan Nemangkawi Carstensz,

Mimika: PTFI, 2000 hlm 12-13

34.

Kapetbiak , Loc cit.

35.

Ngadisah, konflik pembangunan dan gerakan social politik di papua, Yogyakarta:

Pustaka Raja, 2003. hlm 107-108.

36.

Kapetbiak,Ibid.

37.

PTFI

General Inducation

(edisi ke 2),Tembagapura: 2004 hlm 13-16.


(38)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada Umumnya masyarakat Indonesia memiliki kemajemukan dan diferensiasi sosial yang di tumbuh atas keberagaman dalam konstruksi masyarakat Indonesia yang majemuk, yang di tandai oleh keaneragaman Suku, Agama, Ras pada satu sisi merupakan potensi yang dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan berbangsa dan bernegara melalui semangat KeBhineka Tunggal ika-an Negara Indonesia berdiri kokoh di antara bangsa-bangsa di Nusantara ini. Namun pada sisi lain kemajemukan tersebut, dapat membawah akibat negative, khusus berkaitan dengan stablitas atau kohesifitas masyarakat. Rendahnya kohesifitas masyarakat dapat menjadi potensi konflik yang sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.

Papua menjadi termasuk dalam NKRI, yang memiliki kemajemukan terutama dilihat dari organisasi Kesukuan, dan Pulau Papua merupakan salah satu provinsi yang terletak pada wilayah paling timur dari Nusantara Indonesia, dan merupakan daerah yang penuh harapan. Daerahnya belum banyak di rambah aktivitas manusia karena minimnya kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, tetapi kaya akan sumber daya alam (SDA) yang menyajikan peluang bagi perkembangan dunia bisnis. Tanahnya yang luas dipenuhi dengan hutan, laut dan keanekaragaman biotanya dan berjuta – juta Hekstar tanah yang cocok untuk lahan pertanian. Di dalam buminya, Papua juga menyimpan sumber daya alam yang tidak dapat di perbaharui seperti gas alam, minyak bumi dan aneka bahan tambang lainnya yang siap menunggu untuk dapat di kelolahnya.


(39)

Kondisi wilayah Papua bervariasi mulai dari dataran rendah berawa sampai dataran tinggi serta berlereng-lereng yang dipadati dengan hutan tropis, padang rumput dan lembah dengan alang – alangnya. Di bagian tengah berjejer rangkaian pegunungan tinggi sepanjang 650 km. Sungai – sungai besar beserta anak sungainya mengalir ke arah selatan dan ke arah utara. Sungai – sungai mempunyai peran penting bagi masyarakat sepanjang alirannya baik sebagai sumber air bagi kehidupan sehari – hari, sebagai penyedia ikan maupun sebagai sarana penghubung antar daerah (profil propinsi Papua)1.

Propinsi Papua walaupun penduduknya sedikit, akan tetapi daerah ini memiliki diversifitas budaya paling banyak di banding provinsi lain di Indonesia. Sebab terdapat sekitar 250 etnik dan bahasa daerah. Kebanyakan diantara mereka tidak atau kurang saling mengenal budaya satu sama yang lainnya, dan juga puluhan atau ratusan etnik, bahasa serta kelompok masyarakat migran spontan dan transmigran. Kemajemukan masyarakat telah melahirkan satu struktur sosial, relasi sosial, lapisan sosial dan jaringan sosial yang belum banyak terjadi sebelumnya, serta diantara relasi – relasi sosial itu terdapat relasi kekerasan dan konflik antar individu serta antar kelompok – kelompok masyarakat lainnya.

Kabupaten Mimika merupakan salah satu wilayah yang terletak di bagian selatan Provinsi Papua. Kabupaten ini pada mulanya adalah bagian dari kabupaten Fakfak dan dimekarkan sebagai kabupaten administratif pada tahun 1996, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 tahun 1996. Kemudian pada tahun 2000, berdasarkan Undang – Undang (UU) Nomor 5 tahun 2000 Mimika beralih status resmi menjadi kabupaten/kota, yang berarti menjadi daerah Otonom,

Sejak awalnya PT Freeport Indonesia ada di Timika-Papua, orang-orang kaya dari Amerika, Ingris, dan Belanda yang membentuk perusahaan bersama NV Nederlandsch Nieuw Guinee

1


(40)

Petroleum Maatschappij (NNGPM) pada tahun 1935. Mereka terobsesi menemukan minyak di daerah jajahan baru Belanda di Tanah Papua Barat (Nieuw Guinee). Pemerintah Belanda kemudian memberikan konsesi lahan seluas 10 juta hektar atau meliputi sepertiga Wilayah Papua NV NNGPM. Inilah awal pengaplingan tanah Papua oleh pemodal pendatang, sekaligus permulaan munculnya konflik sumber daya alam yang berkepanjangan.

Salah seorang penjelajah itu adalah Jean Jaques Dozy, yang menulis laporannya pada tahun 1936 mengenai sebuah gunung tembaga (Ertsberg) di jajaran puncak es abadi. Temuan yang sempat terbengkalai semasa Perang Dunia II ini kemudian mendorong eksplorasi lebih lanjut oleh Freeport, yang dipimpin oleh Forbes Wilson dan Del Flint. Ketika Wilson tiba di Gunung Tembaga itu tahun 1960, Ia terpesona menyaksikan kekayaan bijih tembaga yang terhampar luas di atas permukaan tanah. Dalam perjalanan laporan perjalanannya pada The Conquest of Cooper Mountain, yaitu proses mineralisasi di kawasan yang begitu tinggi, atau lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Terdiri atas sekitar 40 sampai 50 persen bijih besi, 3 persen tembaga, serta terdapat perak dan emas, keuntungan besar membayang.

Impian keuntungan besar itu sempat kandas ketika kemudian Papua bergabung dengan Republik Indonesia. Presiden Soekarno yang antikapitalisme Barat menentang pembangunan itu. Namun Freeport kembali bersukacita ketika rezim baru Presiden Soeharto yang proinvestasi berkuasa. Bahkan, Freeport menjadi perusahaan Asing yang pertama kali kontraknya ditandatangani oleh Soeharto pascapengesahan Undang-undang penanaman modal Asing (UU PMA) Tahun 1967.

Freeport berkembang cepat, apalagi setelah cadangan mineral di Gresberg pada tahun 1988, dapat ditemuhkan sehingga menaikkan cadangan mineral mereka menjadi 200 juta ton metrik. Keuntungan diperkirakan lebih dari 1,5 miliar dollar AS per tahun, maka dengan itu


(41)

areal penambangan 2Freeport di Papua disebut-sebut mempunyai deposit ketika terbesar di dunia, sedangkan untuk emas menempati urutan pertama.

Dalam laporan resmi PT Freeport Indonesia, pada tahun 2005, melalui pipa raksasa dari Gresberg-Tembagapura, sekitar 1,6 miliar pon tembaga dan 3,4 juta ons emas digerus dan disalurkan sejauh 100 kilometer ke Laut Arafura, di mana kapal-kapal besar telah menunggu.

Dengan demikian belum memberikan dampak positif. Namun di balik keberhasilan PT. Freeport Indonesia terhadap masyarakat suku Amungme dan suku Kamoro sebagai penduduk asli pemilik hak ulayat di kabupaten Mimika. Dan Dampak sosial sangat erat kaitannya dengan dampak lingkungan fisik, karena perubahan – perubahan sosial yang terjadi. Disamping karena ide – ide, pengaruh fisik juga diabaikan perannya. Bahkan kehidupan sosial masyarakat Kamoro, pada kawasan tertentu dipengaruhi langsung oleh perubahan lingkungan fisik.

Salah satu pengaruh nyata terhadap perubahan lingkungan adalah gejala pembuangan Limba tailing yang merusak lingkungan sepanjang aliran sungai. Tailing adalah pasir sisa yang dihasilkan dari kegiatan penambangan PT. FI , setelah mineral tembaga, emas dan perak dipisahkan dari bijih. Sisa batuan bijih berserta sedimen alam, dibuang ke dalam sungai dan mengendap pada dataran rendah. Melihat hamparan tailing yang memusnahkan tanaman, bagi masyarakat Kamoro merupakan bencana akan mengganggu kehidupan mereka dalam waktu lama. Oleh karena itu, masyarakat Kamoro mengalami dan luka hati yang mendalam.

Dampak sosial PT.FI terhadap masyarakat Amungme nampaknya lebih mendalam dibandingkan masyarakat Kamoro, meskipun keduanya mempunyai dasar falsafah alam yang sama, yakni menganggap adanya kesatuan antara alam manusia dengan alam semesta

2


(42)

(lingkungan fisik). Hal ini disebabkan, kerusakan alam akibat penambangan bagi suku Amungme yang ada di dataran tinggi atau puncak gunung yang merupakan tempat pemujaan, tempat suci dan tempat arwah leluhur Amungme.

Kehadiran PT Freeport menambah kemajemukan masyarakat Mimika karena perusahaan ini banyak mendatangkan tenaga kerja dari luar Mimika dan luar Papua. Perkembangan wilayah yang pesat karena kehadiran Freeport juga menarik pendatang lebih banyak lagi ke Mimika. Operasi PT.FI menimbulkan dampak lingkungan yang luar biasa, sehingga masyarakat yang terkena dampaknya merasa dirugikan dan di korbankan. Kenyataan ini menyebabkan konflik bertambah luas antar masyarakat3.

Konflik yang timbul dalam kehidupan masyarakat yang antara lain disebabkan perebutan hak atas tanah, tentu saja mengakibatkan rusaknya keharmonisan hubungan atau interaksi sosial. Kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis yang dicita-citakan bersama menjadi sulit untuk diraih, sebaliknya berkembang rasa dendam berkepanjangan yang menghancurkan kerukunan hidup bersama (Bolong, 2005 :4), 4.

Pertikaian merupakan proses sosial dimana seseorang atau sekelompok sosial berusaha memenuhi atau mencapai tujuannya dengan jalan menentang lawannya dengan ancaman atau kekerasan mengaduh fisik. Pertikaian terjadi karena perbedaan persepsi yang dipertajam oleh emosional atau perasaan, apalagi didukung pihak ketiga. Salah satunya adalah perbedaan pendirian atau sikap yang tidak terkendali oleh akal sehat karena datang dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda (Syarbaini, Rahman dan Djihardo, 2004: 29-30), 5.

3

Ngadisah, opcit hlm 89 –97.

4

Bertholomeus Bolong, OCD. Memburu Hak Persaudarraan Potret Konflik Pengklaiman Hak Atas Tanah Ulayat di Ngada, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005. Halaman 4.

5

Syahrial Syarbaini, Rahman dan Monang Djihado, Sosiologi dan Politik, Jakarta: Ghalia Indonesia, , 2004 hlm 29 – 30.


(43)

Tadinya suku Amungme dan suku Kamoro yang mendiami di Kabupaten Mimika, namun dengan kehadiriannya, subsuku dari Kabupaten yang berdekatan dengan Kabupaten Mimika yaitu subsuku dari Kabupaten Paniai, Wamena, Puncakjaya, suku dari luar Kabupaten Mimika maupun dari luar Papua berdatangan secara perlahan-lahan ke Kabupaten mimika untuk bekerja di Freeport dari sinilah bermula konflik antar suku. Oleh karena itu, di Kabupaten Timika ada tujuh suku yaitu dua suku induk suku Amungme dan suku Kamoro, sedangkan lima subsuku lainnya suku Dani, Damal, Moni, Mee/Ekari dan Nduga

Konflik bagi masyarakat di kawasan Mimika merupakan hal yang biasa, yang ditunjukan dengan kebiasaan perang suku dan pergantian kepemimpinan yang sering terjadi. Kehadiran PTFI juga dapat dikatakan menjadi sumber konflik baru, karena konflik-konflik lama masih mewarnai kehidupan sosial masyarakat dan Freeport menambah kompleksitas konflik di daerah ini.

Kegiatan PTFI yang merupakan perusahaan multinasional yang sangat cepat pengaruhnya di Kabupaten Mimika. Ini berarti faktor-faktor materiil nampak lebih nyata pengaruhnya terhadap perubahan sosial, karena penggunaan alat-alat canggih memerlukan prasarana yang memadai dan penyesuaian sikap mental manusianya. Apalagi dengan adanya perubahan lingkungan hidup yang berpengaruh langsung terhadap sumber mata pencaharian penduduk, diperlukan perbahan nilai secara signifikan agar masyarakat tetap bisa bertahan hidup.

Perubahan yang demikian cepat melahirkan konflik-konflik sosial yang makin tajam, karena ketegangan meningkat. Meningkatnya ketegangan disebabkan situasi sosial yang telah ada sudah mengandung potensi konflik berupa persaingan dan tradisi peperangan antar suku. Sebagai perusahaan modern PTFI dituntut untuk bertindak secara rasional, sedangkan masyarakat sekitar masih sangat tradisional. Sementara itu perubahan-perubahan tidak


(44)

terhindarkan sehingga masyarakat adat makin sulit beradaptasi dengan situasi maupun nilai-nilai baru. Akhirnya, perubahan dan konflik berjalan beriringan sebagai suatu kenyataan yang tidak terhindarkan, yang dipicu oleh kehadiran PTFI.

Bagaimana konflik itu berproses, dapat dilihat dari tahap awal perencanaan penambangan sampai tahap operasional dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan setelah proyek berjalan. Tahap perencanaan umum dapat ditelusuri sejak penandatanganinya kontrak karya I pada tahun 1973 antara pemerintah RI dengan PTFI, sedangkan dalam kaitannya dengan masyarakat setempat ditandai dengan January Agreement (1974), sebagai upaya Freeport untuk berdamai dengan masyarakat. Selama kurang lebih 20 tahun PTFI beroprasi, dengan segala pasang surutnya, perusahaan ini seolah-olah tidak peduli terhadap masyarakat di sekitarnya. Baru setelah ada peristiwa kerusuhan bulan Maret 1996, kebijakan-kebijakan PTFI diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat maupun Papua pada umunya. Langkah nyata ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan penyediaan dana 1% dari keuntungan kotor, yang diwujudkan melaui berbagai program. Kebijakan ini ternyata belum mampu meredam konflik yang sudah lama terpendam, bahkan menjadi sumber konflik baru.

Konflik antar suku pada masyarakat Mimika merupakan faktor bawaan yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi perang suku adalah salah satu indikator penting mengenai hal ini. Tradisi suku-suku yang ada disekitar Mimika masih dipegang teguh untuk memelihara eksistensi sekaligus upaya untuk menjadi suku yang dominan diantara suku-suku lain. Kolektivitas di dalam suku dijaga ketat dengan tradisi, sehingga kesadaran kolektif tetap tertanam. Sepanjang tidak ada musuh bersama diantara mereka, maka persaingan antar suku kembali menguat. Ikatan kolektif yang demikian dilihat dari perspektif pemikiran Durkheim disebut solidaritas mekanik. Bila solidaritas mekanik pada setiap suku terus dihidupkan,


(45)

maka toleransi bagi suku-suku lain melemah. Perilaku individu lebih dipengaruhi oleh sistem yang berlaku dalam masyarakat suku daripada suku sistem yang lebih luas.

Konflik internal antar suku merupakan salah satu faktor penyebab konflik di daerah Mimika terus berlanjut, karena ada anggapan bahwa diluar sukunya adalah “orang asing” (oyame). Perbedaan karakter antara suku-suku dari pegunungan dengan suku-suku dataran rendah juga mewarnai konflik di kawasan Mimika, dimana masyarakat dari dataran rendah menganggap suku-suku pegunungan terlalu agresif. Klaim bahwa semua tanah yang di kuasai Freeport adalah milik orang Amungme, merupakan ganjalan bagi masyarakat Kamoro yang tidak berani di ungkapkan secara terang-terangan.

Sebagaimana para ahli-ahli ilmuwan social yang dapat disimpulkan bahwa Realitas Sosiokultural merupakan kenyataan atau keadaan yang dapat dilihat secara riil yang menyangkut kondisi kehidupan manusia di dalam suatu kelompok yang di sebut masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat terdapat sekelompok orang yang saling menjalin hubungan antara satu dan lainnya, sehingga dalam hubungan social ini menimbulkan tata aturan kehidupan bersama yang menjadi kesepakatan social. Kesepakatan social ini berupa tata aturan yang menjadi pedoman kehidupan bersama yang berisi tata aturan perilaku yang diperbolehkan, dianjurkan, dan dilarang. Kesepakatan social ini menjadi panduan perilaku manusia di dalam kelompok social di mana kelompok social ini berada.

Rivalitas yang berkembang di antara suku-suku menciptakan kondisi ketegangan sosial terus-menerus, sehingga rasa saling curiga mewarnai interaksi sosial mereka. Kondisi ini berpengaruh terhadap muncul dan berkembangnya konflik di Mimika. Ada satu suku yang terus berupaya untuk menjadi pemimpin di antara suku-suku lain dengan membentuk lembaga adat sebagai wadah gerakan dalam rangka memperjuangkan kepentingan sukunya, yaitu suku Amungme. Apabila di dalam kehidupan suku terdapat mekanisme pemilihan


(46)

pemimpin melalui tradisi perang, maka dalam kondisi hubungan antar suku pun terjadi hal serupa. Perebutan hegemoni terus berlangsung yang menyatu dengan promosi kepemimpinan bagi individu maupun kelompok. Bila pemimipin dari salah satu suku menonjol, maka pamor suku itu pun meningkat, karena kepala suku merupakan personifikasi dari sukunya (Ngadisah, 2003:42).

Dari konflik-konflik antara suku, para pelaku tidak pernah proses sampai ke meja pengadilan. Beberapa pelaku pernah ditangkap polisi tapi kemudian dibebaskan tanpa proses lebih lanjut. Disini para penegak hukum seakan-akan tidak berdaya menerapkan hukum positif. Dalam kasus-kasus tertentu juga, pemerintah dan penegak hukum melepaskan pelaku karena takut akan ada konflik berkelanjutan. Disini, pemerintah justru takut kepada rakayatnya, bukannya rakyat yang tunduk kepada pemerintah. Disinilah terlihat bahwa pemerintah dan penegak hukum tidak berwibawa. 6

Karena itu, perlu ditegaskan bahwa pemerintah dan penegak hukum terutama di Kabupaten Mimika sangat lemah atau belum profesional untuk menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di kabupaten tersebut. Setiap konflik yang terjadi di sana tidak pernah diselesaikan secara baik oleh pemerintah dan penegak hukum (jaksa dan polisi) akan tetapi selama ini hanya diselesaikan secara adat. Alangkah baiknya masyarakat harus tunduk kepada pemerintah dan hukum positif sehingga itu hukum positif harus ditegakkan.

Pemerintah dan penegak hukum terlalu sering mengikuti kemauan orang- orang yang berkonflik untuk menyelesaikan secara adat, akhirnya pemerintah dan penegak hukum hanya ikut-ikutan, sedangkan masyarakat menjalankan kemauan sendiri sehingga antara pemerintah dengan masyarakat sangat kontradiktif. Artinya, pemerintah dan penegak hukum tidak menegakan hukum positif secara profesional sementara masyarakat tidak memahami

6


(47)

hukum positif, tetapi setiap konflik hanya selesaikan dengan hukum adat, karena itu setiap konflik yang terjadi disana sangat sulit diselesaikan secara baik oleh pemerintah ataupun penegak hukum.

Adapun tata cara penyelesaian konflik perang antar suku secara adat di pegunungan tengah provinsi Papua, salah satunya di Kabupaten Mimika, ketika ada perang suku di suatu tempat kemudian untuk merealisasikan perdamaian atau menyelesaikan perang antar suku biasanya mengambil suatu keputusan (decision making) atau membuat sebuah kesepakatan bersama dari kedua pihak masing-masing woemum atau penyelenggaran perang suku itu, untuk menyelesaikan/mengakhiri perang dan merealisasikan perdamaian. Proses perdamaian dilakukan dengan digelar prosesi acara bakar batu memberi makan kaum laki-laki dan kaum perempuan secara bertahap. Acara bakar batu adalah tanda jika mereka yang melibatkan perang supaya membersihkan diri dari pernak ernik perang. Selanjutnya proses perdamaian juga dilakukan dengan upacara peletakan anak panah secara sinkron/simultan untuk disimpam, itu membuktikan bahwa perang sudah berakhir dan damai, kemudian dilakukan saling berjabatangan di antara kedua kubu yang berkonflik perang.

Warga kampung Banti dan Kemeli, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, yang terlibat perang sejak September 2007,sepakat menggelar acara perdamaian pada 8 Februari 2008, akhirnya perang diakhiri dan merealisasikan perdamaian sesuai dengan kesepakatan yang sudah di tentukan sebelumnya.

Terkait dengan hal ini, melakukan mewawancarai langsung dengan salah satu pimpinan Perang Bapak Marthen Magal, pada tanggal 22 Maret 2008, Ia mengatakan bahwa:

Proses meyelesaikan perang antar suku ataupun perang antar saudara kemudian untuk menuju perdamaian secara adat, harus dilakukam melalui beberapa proses, antaranya


(48)

adalah diawali dengan membuat sebuah keputusan dan mengambil suatu kesepakatan antara kedua kubu masing-masing penyelenggara perang, yang menyatakan bahwa kita harus melakukan perdamaian, selanjutnya melaksanakan acara bakar batu untuk memberi makan kaum laki-laki, dan kaum perempuan. Namun waktu untuk memberi makan antara kaum perempuan dan laki-laki tidak semestinya kesamaan waktu, tapi hari pertama memberi makan kaum perempuan lalu hari kedua memberi makan kaum laki-laki, atas perintah dari penyelenggara perang masing-masing kelompok perang wajib melaksanakan itu. Kemudian paling terakhir saling jabat tangan. Kalau masalah bayar kepala atau ganti rugi dilakkukan setelah perdamaian.7

Pelaku-pelaku konflik ditangkap kemudian diproses hukum positif. Hal itu pernah dilakukan oleh penegak hukum positif di Kabupaten Mimika, tapi kemudian tanpa proses lebih lanjut dibebaskan, ini yang terjadi di Kabupaten Mimika.

Sementara upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan hukum positif di Kabupaten Mimika. Selama konflik perang antar suku, pemerintah daerah dan aparat keamanan berupaya terjun ke medan atau lapangan perang untuk mengamankan perang suku itu, namun belum pernah dihentikan atau diamankan, apalagi perangnya semakin memanas justru pemerintah dan keamanan takut turun ke medan perang, untuk menghentikan.

Pada tahun 2006 perang suku antara suku Damal dengan suku Dani, selama dua bulan berlangsung .Pemerintah daerah mencoba memberhentikan perang suku itu dengan syarat ganti ruginya ditanggup pemerintah daerah artinya membayar kepala, dan pemerintah daerah sudah melakukan itu dengan dipertanggung jawabkan untuk membayar ganti rugi senilai Rp 300,000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) perkepala. Namun masyarakat melihat pertanggung jawaban dari pemerintah daerah, masyarakat mengatakan bahwa untuk kedepan tidak skeptis atau ragu untuk melakukan perang lagi karena ada konflik-konflik pasti pemerintah daerah akan dipertanggung jawabkan atau membayar kapala. Oleh karena itu, cara seperti ini bukan

7


(1)

Gambar 3.1. Peta Kabupaten Mimika………46

Gambar 4.1. Salah satu korban kena panah………...84

Gambar 4.2. Prosesi Acara Memberi Makan Untuk Perdamaian Tahun 2008………121

Gambar 4.3. Kepala suku Amungme dengan Rombongan dari Suku Dani Sedang Diskusi…...123


(2)

Alo Liliweri, 1996, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lantas Budaya Masyarakat Multikultural. PT.LKIS Pelangi Aksara. Yogyakarta

Alo Liliweri, 1996, Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.PT. LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta

Arnold Mampioper, 2000, Amungme Manusia Utama Pegunungan Nemangkawi Carstensz, Mimika: PTFI

Bertholomeus Bolong, 2005, OCD. Memburu Hak Persaudarraan Potret Konflik Pengklaiman Hak Atas Tanah Ulayat di Ngada, Bigraf Publishing, Yogyakarta.

Budi Suryadi, 2007, Sosiologi Politik Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep, Jogjakarta: IRCISOD

Benard Raho, 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher

Hugh Mial, 2000, resolusi damai konflik kontemporer menyelesaikan, mencegah, mengelola dan mengubah konflik bersumber politik, sosial, agama dan ras, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Irawan Soehartono, 2004, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Jabal Tarik Ibrahim, 2002, Sosiologi Pedesaan, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang,

Kartini Kartono, 2004, Pemimpin dan Kepemimpinan, , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Kamanto Sunarto, 2000, Pengantar Sosiologi Indonesia, Yakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Krishno Hadi, 2005, Materi Perkuliahan, Metode Penelitian Sosial, Universitas Muhammadiyah Malang, Fisip Ilmu Pemerintahan.

Nasikun, 2003, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ngadisah, 2003, konflik pembangunan dan gerakan social politik di papua, Yogyakarta: Pustaka Raja.


(3)

Syahrial Syarbaini, Rahman dan Monang Djihado, 2004, Sosiologi dan Politik, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Surbakti Ramlan, 1999, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo

Media Elektronik

Laporan Jurnalistik Kompas, Tanah Papua, 2007

Bulletin PTFI General Inducation (edisi ke 2),Tembagapura: 2004 hlm 13-16. http://www.kompas.co.id/.

www.anneahira.com/perang-antar-suku.htm(Diakses pada 31 Desember 2011 pukul 23.30 WIB

http://www.kapetbiak.com/modules.php? Diakses pada tanggal 10 Januari 2009. pkl4:30

Hasil Wawancara

Bapak Marthen Magal, pada tanggal 22 Maret 2008,

Bapak Janes Natkime, pada tanggal 16 September 2007,

Bapak Nathan Kum, pada tanggal 20 November 2007,

Bapak Joap Beanal, pada tanggal 22 Januari 2009

Bapak Johanis Kum, pada tanggal 23 Januari 2009

Ibu Rosalinda, pada tanggal 16 April 2009

Drs. Yusuf, pada tanggal 22 Oktober 2008,

1. Tanah Papua, Laporan Jurnalistik Kompas 2007 Bapak Fiktor Beanal, pada tanggal 13 Juni 2010


(4)

2. .Ngadisah, opcit hlm 89 –97.

3. .Bertholomeus Bolong, OCD. Memburu Hak Persaudarraan Potret Konflik Pengklaiman Hak Atas Tanah Ulayat di Ngada, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005. Halaman 4. 4. Syahrial Syarbaini, Rahman dan Monang Djihado, Sosiologi dan Politik, Jakarta: Ghalia

Indonesia, , 2004 hlm 29 – 30. 5. http://www.kompas.co.id/.

6. Hasil wawancara, 20 Maret 2008.

7. Jabal Tarik Ibrahim, Sosiologi Pedesaan, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002 hlm 21– 22.

8. Budi Suryadi, Sosiologi Politik Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep, Jogjakarta: IRCISOD, 2007 hlm 76.

9. 10.Benard Raho, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hlmn 73.

10.Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 hlm 246.

11.Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, , 2003 hlm 22. 12.Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Indonesia, Yakarta: Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia, 2000 hlm 149.

13.Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: LKIS, 2005 hlm 250.

14.Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, , 2004 hlm 29.


(5)

15.Krisno Hadi, Materi Perkuliahan, Metode Penelitian Sosial, Universitas Muhammadiyah Malang, Fisip Ilmu Pemerintahan, 2005

16.Irawan Soehartono, Opcit hlm 2 17.Irawan Soehartono, Ibid hlm 67 – 71 18.Ngadisah, Loc cit hlm 40.

19.Hugh Mial, resolusi damai konflik kontemporer menyelesaikan, mencegah, mengelola dan mengubah konflik bersumber politik, sosial, agama dan ras, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000 hlm 76.

20.Surbakti Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo,1999 hlm 77-78. 21.Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat

Multikultur. PT. LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2005. hlm. 249 – 250. 22.Ibid, hlm 265-267

23.Ibid, hlm 268 – 273.

24.Menurut fakta sosial kaitannya dengan konflik perang suku ataupun perang saudara khususnya di kabupaten Mimika sangatlah ironis. Jika dipantau dari dekat, didengar dari orang-orang tua, dibaca dari media cetak dan dilihat dari media elektronik atau dilayar televisi, karena masyarakat dikabupaten Mimika diwarnai dengan kecemburuan sosial, kurangnya kesadaran masyarakat, rendahnya pendidikan, konflik dendaman dan lain-lain, akibatnya konflik menjadi lebih besar.

25.http://www.kompas.co.id

26.Alo Liliweri, Loc cit hlm 261 - 262 27.Kompas, op.cit


(6)

29.Ngadisah, Loc cit hlm 246-248.

30.www.anneahira.com/perang-antar-suku.htm(Diakses pada 31 Desember 2011 pukul 23.30 WIB)

31.http://www.kapetbiak.com/modules.php? Diakses pada tanggal 10 Januari 2009. pkl4:30. 32.Kabupaten Mimika dalam angka, Opcit hlm 2.

33.Arnold Mampioper, Amungme Manusia Utama Pegunungan Nemangkawi Carstensz, Mimika: PTFI, 2000 hlm 12-13

34. Kapetbiak , Loc cit.

35.Ngadisah, konflik pembangunan dan gerakan social politik di papua, Yogyakarta: Pustaka Raja, 2003. hlm 107-108.

36.Kapetbiak,Ibid.

37.PTFI General Inducation (edisi ke 2),Tembagapura: 2004 hlm 13-16.