atlet juga menghadapi tekanan hidup yang lain. Atlet butuh untuk mengkomunikasikan kebutuhan mereka pada pelatih, dan pelatih seharusnya
mendengarkan. Seorang pelatih yang baik akan bekerja bersama atlet. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkomunikasikan ide dan perasaan sebelum membuat
keputusan besar. Komunikasi merupakan dimensi interpersonal yang mempengaruhi
kualitas hubungan pelatih dengan atlet. Montgomery dan Baxter dalam Jowett, 2007: 11 menjelaskan, komunikasi dapat dilihat sebagai jembatan dari hubungan
antara nggota. Dengan kata lain, komunikasi merupakan sebuah proses yang dapat memberikan jarak yang jauh di antara pelatih dan atlet, menjadikan keduanya
semakin dekat, atau bahkan menjadikan keduanya pada satu garis tujuan yang sama. Artinya bahwa kualitas dan kuantitas komunikasi membawa pelatih-atlet
bersama-sama pada satu tujuan atau justru membuat terpisah. Dengan alasan tersebutlah komunikasi memegang peranan penting dalam sebuah hubungan
antara pelatih dengan atlet. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa intimasi
antara pelatih dengan atlet dapat terjalin dengan baik apabila di antara keduanya terdapat sikap empati, keterbukaan, serta komunikasi.
2.2.4 Aspek-Aspek Intimasi
Interaksi yang intim dapat didefinisikan sebagai pengalaman intim pasangan selama berinteraksi atau merupakan hasil dari interaksi. Pengalaman
yang intim dapat diartikan sebagai komponen afektif dan kognitif. Komponen afektif terdiri atas keikutsertaan, ketertarikan, merasa satu sama lain, saling
berhubungan dan berpasangan. Komponen kognitif terdiri atas persepsi pasangan akan adanya pengertian di antara pasangan. Selanjutnya, dikatakan bahwa sebuah
interaksi intim merupakan bentuk di mana pasangan membagi informasi personal, hal-hal privasi, perasaan positif satu sama lain, dan adanya saling pengertian
Prager, 1995: 22. Prager 1995: 24 menyebutkan tiga ciri dari interaksi intim, yaitu adanya afeksi cinta di antara pasangan, rasa saling percaya, dan adanya
keterpaduan antar pasangan. Tidak jauh berbeda, White, dkk. dalam Prager, 2005: 59 juga
menetapkan tiga komponen untuk menentukan kapasitas intimasi, yaitu 1 komponen kognitif, merupakan perspektif atau kemampuan untuk melihat dunia
dari sisi orang lain, 2 komponen afektif, merupakan empati atau kemampuan untuk merasakan pengalaman emosi orang lain secara langsung, 3 komponen
perilaku, merupakan perilaku yang dapat dipercaya, peka dan responsif, serta komunikasi yang efektif.
Pada ruang lingkup yang lebih spesifik pun, intimasi sangat diperlukan dalam dunia olahraga. Hubungan interpersonal yang terjalin antara pelatih dengan
atlet tentu akan berpengaruh dalam proses pencapaian prestasi puncak sang atlet. Sejalan dengan hal terebut, Wylleman dalam Jowett, 2007: 7 mendefinisikan
hubungan pelatih-atlet berdasarkan pada manifestasi perilaku pelatih juga atlet di lapangan pertandingan. Dalam perilaku hubungan interpersonal tersebut terdapat
beberapa hal penting yang harus terpenuhi, yaitu 1 acceptance-rejection, merupakan sikap positif maupun negatif yang ditunjukkan pelatih-atlet, 2
dominance-submission, merefleksikan kuat lemahnya posisi dalam suatu
hubungan interpersonal, serta 3 social-emotional, merupakan cara pelatih-atlet dalam memahami satu sama lain.
Sejalan dengan Wylleman, Jowett 2007: 11 juga mengemukakan hal yang serupa bahwa komponen utama dalam membangun hubungan yang
berkualitas antara pelatih-atlet haruslah memenuhi beberapa hal, yaitu: a.
Closeness Closeness menggambarkan sifat emosional dari hubungan dan merefleksikan
tingkat kedekatan pelatih dengan atlet atau kedalaman dari kelekatan emosional. Ungkapan-ungkapan pelatih dan atlet, seperti rasa suka, rasa
percaya, rasa hormat, dan apresiasi menandakan sebuah hubungan interpersonal yang positif.
b. Commitment
Commitment merefleksikan tujuan pelatih dan atlet atau keinginan untuk membina dan memelihara hubungan, dapat dilihat sebagai sebuah
representasi kognitif dari hubungan antara pelatih dan atlet. c.
Complementarity Complementarity mendefinisikan interaksi antara pelatih dan atlet yang dirasa
kooperatif dan efektif. Complementarity merefleksikan keinginan menyatu dari perilaku interpersonal, dan termasuk beberapa perilaku di dalamnya,
seperti menjadi responsif, ramah, menentramkan, serta keinginan untuk saling adanya kesediaan satu sama lain.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti menggunakan aspek intimasi yang dikemukakan oleh Jowett sebagai acuan dalam pembuatan skala
intimasi pelatih-atlet pada penelitian ini. Aspek-aspek intimasi pelatih-atlet tersebut adalah closeness, commitment, dan complementarity.
2.3 Tipe Kepribadian