Dimensi Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai Kejahatan Lintas

dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana danatau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perkembangan TPPO terkait pula dengan perubahan dalam bidang ekonomi global, yang telah memberikan keuntungan bagi penjahat tingkat dunia, yaitu dengan memanfaatkan peningkatan arus barang, uang, dan orang secara lintas batas negara. Organisasi kejahatan internasional telah memperluas jangkauan wilayah dan hubungan mereka dengan kekuasaan pemerintahan setempat. 42 Oleh karena itu, TPPO sebagai bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional mengingat ruang lingkup dan dimensinya sangat luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime 43 , white collar crime, corporate crime, dan transnational crime. Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk cyber crime. 44 42 Muladi, Demokratisasi..., op.cit., hlm. 121. 43 Untuk memahami kejahatan terorganisasi dikemukakan dalam Article 2 ayat 1 Proposal and Contributions Received from Governments, dinyatakan General Assembly, AAC.2545 19 December 1998, bahwa organized crime berarti kegiatan-kegiatan yang bertujuan melakukan perbuatan dalam rangka dalam kaitannya dengan sebuah organisasi kejahatan. Selanjutnya, ayat 2 dinyatakan bahwa sebuah organisasi kejahatan a criminal organization berarti suatu kelompok tiga atau lebih orang dengan hubungan hierarki atau hubungan personal yang dapat bertahan lama untuk tujuan memperkaya diri atau pengawasan wilayah-wilayah atau pasar- pasar, baik di dalam maupun di luar negeri internal or foreign dengan cara melawan hukum seperti kekerasan, ancaman atau korupsi, dan dalam memajukan aktivitas kejahatan itu juga masuk ke dalam ekonomi yang sah, dikutip oleh M. Arief Amrullah, op.cit., hlm. 122. 44 Bela Bonita Chatterjee menyatakan eksploitasi seks terhadap wanita dan anak-anak merupakan krisis hak-hak asasikemanusiaan global a global human rights crisis yang semakin meningkat dengan penggunaan teknologi baru. Teknologi informasi dan komunikasi information and communication technologies ICTs telah digunakan sebagai fasilitator untuk perdagangan dan eksploitasi seksual para wanita dan anak-anak dengan berbagai cara. Lihat Bela Bonita Chatterjee, Human Rights and the Cyber Sex Trade, bahan internet, dalam Barda Nawawi Arief, Pornografi Pornoaksi dan Cybersex-Cyberporn, Pustaka Magister, Semarang, 2011, hlm. 14. Globalisasi juga mempengaruhi perkembangan kejahatan yang semula kejahatan terjadi dalam lingkup domestik suatu negara, berubah dan berkembang menjadi kejahatan lintas negara transnational crimes yang demikian pesat, 45 dewasa ini kejahatan lintas negara dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Pada lingkup multilateral, kejahatan ini lebih sering disebut Transnational Organized Crimes TOC. Kejahatan lintas negara memiliki karakteristik yang sangat kompleks. Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Keadaan ekonomi dan politik global yang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas kejahatan lintas negara. Saat ini perdagangan orang sudah menjadi sindikasi internasional. Perdagangan orang menjadi bisnis yang sangat menggiurkan. Uang yang beredar dalam bisnis haram ini menempati urutan ketiga setelah perdagangan narkotika dan senjata gelap. 46 Setiap tahun diperkirakan 1,2 juta perempuan dan anak diperdagangkan secara global untuk tujuan eksploitasi seksual. Sedangkan di Indonesia diperkirakan 100.000 perempuan dan anak diperdagangkan untuk tujuan seksual. Karakteristik TPPO merupakan kejahatan lintas batas negara yang luar biasa berbahayanya, sangat merugikan dan meresahkan, melanggar kemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia. Kejahatan yang memiliki banyak modus operandi untuk mewujudkan bentuk TPPO, baik sudah diaturdirumuskan dalam UU 45 Op.cit., http:www.kemlu.go.idPagesIIssuesDisplay.aspx?IDP=201=Rabu, 12 Oktober 2011 pukul 09.18 Wib. 46 http:www.pelitaonline.comread-cetak3216perdagangan-orang-merupakan-kejahatan- kemanusiaandiunduh pada hari Senin, 02 Januari 2012 pukul 10:46 Wib. PTPPO in abstracto maupun belum dirumuskan dalam undang-undang yang terjadi di masyarakat in concreto. TPPO terus menerus diperbincangkan dan dibahas di berbagai level, yaitu di level internasional oleh PBB, level regional di kawasan ASEAN dan Asia Pasifik, level nasional sampai ke level daerah. Karakteristik TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara yang luar biasa berbahayanya, sangat merugikan, dan melanggar hak asasi manusia dapat dicermati dari uraian sebagai berikut 47 kejahatan luar biasa extra-ordinary crimes, TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara transnational organized crimescross boundaries countries, TPPO sebagai kejahatan kerah putih white collar crime, TPPO sebagai kejahatan terorganisasi organized crime dan TPPO sebagai kejahatan melanggar hak asasi manusia. Salah satu masalah yang memerlukan perhatian, baik dari masyarakat nasional maupun masyarakat internasional adalah masalah kejahatan lintas batas teritorial. Masalah kejahatan lintas batas teritorial ini terutama pada abad ke-20 sudah dipandang oleh masyarakat internasional sebagai musuh umat manusia hostis humanis generis. 48 Perdagangan orang terjadi tidak hanya menyangkut di dalam negeri, yaitu perdagangan orang antarpulau, tetapi juga perdagangan orang 47 Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, Perdagangan Orang: Dimensi, Instrumen Internasional dan Pengaturannya di Indonesia , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. ….. 48 Romli Atmasasmita , Hukum Pidana Internasional: Dalam Kerangka Perdamaian dan Keamanan Internasional, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hlm. 1. Dalam bukunya yang lain, Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm. xviii menyatakan bahwa salah satu masalah yang memerlukan perhatian, baik dari masyarakat nasional maupun masyarakat internasional adalah masalah kejahatan lintas batas teritorial. Masalah kejahatan lintas batas teritorial ini terutama pada abad ke-20 sudah dipandang oleh masyarakat internasional sebagai musuh umat manusia hostis humanis generis; I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2004, hlm. 41 menyebutnya dalam istilah Latin sebagai hostis humani generis. antarnegarakejahatan lintas batas negaranasional transnasional, 49 baik bersifat perseorangan maupun terorganisasi. Tindak pidana transnasional yang terorganisasi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian dunia. Tindak pidana tersebut pada saat ini telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain, juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam, dan maraknya tindak pidana. Melalui kerja sama antarnegara yang efektif dan pembentukan suatu kerangka hukum merupakan hal yang sangat penting dalam menanggulangi tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Dengan demikian, Indonesia dapat lebih mudah memperoleh akses dan kerja sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Meningkatkan kerja sama internasional pada upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membentuk United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi melalui Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 5525 sebagai instrumen hukum dalam menanggulangi tindak pidana transnasional yang terorganisasi. 49 Kejahatan lintas batas negara atau antarnegara menjadi yurisdiksi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi 2000. United Nations Office on Drugs and Crime UNODC sebagai wali dari Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 50 berikut Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang 51 selanjutnya disebut Protokol Perdagangan OrangTrafficking In Persons Protocol, pen. membantu negara-negara dalam melaksanakan Protokol Perdagangan Orang. Indonesia, sebagai negara anggota PBB, turut menandatangani United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi pada tanggal 15 Desember 2000 di Palermo, Italia, sebagai perwujudan komitmen memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi melalui kerangka kerja sama bilateral, regional, ataupun internasional. Walaupun Indonesia ikut serta menandatangani Konvensi tersebut, Indonesia menyatakan Pensyaratan Reservation terhadap Pasal 35 ayat 2 yang mengatur mengenai pilihan Negara Pihak dalam penyelesaian perselisihan apabila terjadi perbedaan penafsiran atau penerapan Konvensi. 50 Diratifikasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi. 51 Diratifikasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Protokol Untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi.

D. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Perdagangan Orang

Melihat kebijakan legislatifformulasi atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang UU PTPPO dapat dimulai dari konsiderannya menimbang bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas. Kebijakan formulasilegislasi UU PTPPO sejumlah pasal telah mengatur mengenai semua “perencanaan” planning penanggulangan TPPO dengan sistem hukum pidana yang meliputi pembangunan-pembangunan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum dalam kerangka pemberantasan, pencegahan, penanganan, dan penanggulangan kejahatan TPPO. Keseluruhan sistem hukum pidana yang dirancang itu, pada intinya mencakup tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah perumusan tindak pidana kriminalisasi, pertanggungjawaban pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan atas kejahatan TPPO yang diatur dalam sejumlah pasal, di antaranya terkait dengan kebijakan kriminal yang menggunakan sarana penal, khususnya terkait dengan perumusan tindak pidana dan aturan pidana dan pemidanaan, yaitu: Pasal 1 butir 1 Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penye- kapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga mempe- roleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar-negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Pasal 2 a. Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampung- an, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak Rp600.000.000,00 enam ratus juta rupiah. b. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Dan seterusnya dari Pasal 3 sampai dengan Pasal 18 UU PTPPO. Sementara kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana nonpenal juga telah diatur dalam Bab VI perihal Pencegahan dan Penanganan UU TPPO, yaitu: Pasal 56 Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Pasal 57 1 Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang. 2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. Pasal 58 1 Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. 2 Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti akademisi. 3 Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan penelitiakademisi. 4 Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 merupakan lembaga koordinatif yang bertugas: a. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang; b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama; c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial; d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; serta e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi. 5 Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat setingkat menteri yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden. 6 Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang diperlukan. 7 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan Presiden. Untuk memahami UU PTPPO di atas perlu dilihat dari ketiga masalah pokok hukum pidana meliputi: a. tindak pidana strafbaarfeitcriminal actactus reus, b. kesalahan schuldguiltmens rea, dan c. pidana strafpunishmentpoena. 52 Ketiga masalah pokok hukum pidana di atas sebenarnya hanya merupakan komponen atau sub-sub sistem dari keseluruhan sistem hukum pidana. 53 Adapun perumusan tindak pidana, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana serta aturan pidana dan pemidanaan. Masing-masing merupakan subsistem dan sekaligus 52 Sauer menyebutnya sebagai trias hukum pidana berupa sifat melawan hukum, kesalahan, dan pidana dan H.L. Packer 1968: 17 menyebutnya sebagai the three concept atau the three basic problems berupa offence, guilt, dan punishment. Dalam Barda Nawawi Arief, Optimalisasi Kinerja Aparat Hukum Dalam Penegakan Hukum Indonesia Melalui Pemanfaatan Pendekatan Keilmuan, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan RI. Gedung Program Pasca Sarjana Undip. Semarang tanggal 29 Nopember 2008. Hlm. 14. 53 Loc.cit. pilar-pilar dari keseluruhan bangunan hukum pidana dan sistem pemidanaan, khususnya dalam UU PTPPO adalah:

a. Masalah Tindak Pidana

Masalah tindak pidana dan sanksi pidana diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 18 dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 27 UU PTPPO. Pengertian umum pengertian tindak pidana perdagangan orang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 1 UU PTPPO adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam UU PTPPO. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang Pasal 1 butir 2 UU PTPPO adalah setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.

b. Masalah Kesalahan atau Pertanggungjawaban Pidana

Kesalahan atau pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana perdagangan orang diatur dalam Bab II tentang Tindak Pidana Pasal 2 sampai dengan Pasal 18 dan Bab III tentang Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 19 sampai dengan Pasal 27 dan Bab VIII Ketentuan Peralihan Pasal 64 UU PTPPO.

c. Pidana dan Pemidanaan

Sanksi pidana diatur dalam Bab II tentang Tindak Pidana Pasal 2 sampai dengan Pasal 18 dan Bab III tentang Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 19 sampai dengan Pasal 27 UU PTPPO, yaitu dipidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 empat puluh juta rupiah dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima milyar rupiah.