Peranan Komposisi Campuran Kayu dan Tingkat Sulfiditas terhadap Sifat-sifat Pulp Rayon dari Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg)
*-
"
r
-r-2
'-23r
4
PERANAN KOMPOSISI CAMPURAN KAYU DAN TINGKAI
SULFlOlTAS TERHAOAP SIFAT-SIFAT PULP RAYON
DARl KAYU RARE7 ( Hevea brasiliensis Muell Arg /
Oleh
NORZAIN AKHMAD YANl
F 21. 1119
1 9 9 1
FAKULTAS TEKNOLOGI
PERTANiAtJ
INSTITUT PERTANIAN BOG.33
B O G O R
'-?
C
i--' k
NORZAIN ~ I M A DYANI.
F21 1119. Pengaruh Komposisi campuran
Kayu dan Tingkat Sulfiditas Terhadap Sifat-sifat Pulp Rayon
dari Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg). Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wachjuddin Tjiptadi, MS dan Ir. Ridwan
A. Pasaribu, MS.
RINGKASAN
Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg) dikenal
sebagai penghasil bahan baku karet alam (lateks) paling utama.
Pada usia 25 tahun lebih umumnya tanaman karet hanya
menghasilkan lateks dalam jumlah sedikit dan dinilai tidak
ekonomis lagi untuk disadap.
Pemanfaatan kayu karet yang
sudah tidak disadap lagi ini dapat digunakan sebagai bahan
baku untuk pembuatan pulp kertas atau rayon sehingga akan
meningkatkan nilai tambahnya mengingat selama ini lebih banyak hanya digunakan untuk kayu bakar.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh
komposisi campuran kayu, yaitu kayu karet sebagai bahan baku
utama ditambah kayu sengon (Paraserianthes falcataria) , kayu
pinus (Pinus merkusii), kayu jabon (Anthocephalus cadamba)
serta kayu ekaliptus (Eucalyptus), dan tingkat sulfiditas
larutan pemasak terhadap sifat-sifat pulp rayon yang dihasilkan.
Sifat-sifat yang dianalisis meliputi rendemen, bi-
langan permanganat, kadar selulosa alpha, kelarutan pulp dalam NaOH 10 dan 18%, kadar sari, kadar abu dan silika, viskositas dan derajat putih pulp.
Hasil analisis kemudian di-
bandingkan dengan persyaratan SII 1163-84 untuk pulp rayon
biasa.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan dua kali ulangan.
Perlakuan yang dicobakan adalah
komposisi campuran kayu (A) dengan tiga taraf rasio kayu karet : campuran kayu lainnya (50:50, 75:25 dan 100:O) dan
tingkat sulfiditas (B) dengan tiga taraf (20, 25 dan 30%).
Hasil penelitian menunjukkan .bahwa perubahan komposisi
campuran kayu menyebabkan perbedaan pada pengurangan berat
akibat prahidrolisis, rendemen pemasakan, kadar sari, kelarutan dalam NaOH 10 dan 18% dan viskositas pulp.
Kenaikan
tingkat sulfiditas mengakibatkan menurunnya rendemen pemasakan sejalan dengan menurunnya bilangan permanganat pulp.
Secara keseluruhan dari hasil analisis pulp rayon yang
diperoleh sudah memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan SII 1163-84 seperti kadar selulosa alpha, kelarutan dalam NaOH 10 dan 18% dan kadar abu, kecuali kadar sari dan
silika, viskositas dan derajat putih pulp.
PERANAN KOMPOSISI CAMPURAN KAYU DAN TINGKAT
SULFIDITAS TERHADAP SIFAT-SIFAT PULP RAYON
DARI KAYU KARET (Heveu bru.silierrsis Muell Arg)
Oleh
NORZAIN AKHMAD YANI
F21 1119
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat u n t ~ r kmemperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOG I PERTANIAN
pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
1991
FAKULTAS TEKNOLOG I PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
--
PERANAN KOMPOSISI CAMPURAN KAYU DAN TINGKAT
SULFIDITAS TERHADAP SIFAT-SIFAT PULP RAYON
DARI KAYU KARET (Heveu hrusiliertsk Muell Arg)
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk rneinperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NORZAIN AKHMAD YANl
F21 1119
Dilahirkan di Tanjung pada tanggal 19 Desember 1965
Tanggal Lulus 7 September 1991
1
. Wachjuddin Tjiptadi. MS.
\
Dosrn Prnihimhing 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya berkat rahmat dan hidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima-kasih
kepada
:
1. Prof.Dr.Ir.
Wachjuddin Tjiptadi, MS. dan Ir.
Ridwan
A.
Pasaribu selaku dosen pembimbing I dan pembimbing I1 atas
bimbingannya
selama penelitian dan
penyusunan
skripsi
ini,
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor
yang
telah menyediakan sarana dan fasilitas selama penelitian,
3. Ayah,
Ibu
dan Adik-adikku yang
selama
ini
senantiasa
memberikan dorongan moril dan doa,
4. Mbak
Evi, Pak Nawawi, Mas Ismed, Mbak Yoswita
dan
Mbak
Yani yang telah banyak membantu selama penelitian dan
5. Ir. Triyono 'Hangga' Saputro, Ir. Akhmad 'Amad'
lah
dan
rekan-rekan lainnya di AMKS
Lambung
KhairulMangkurat
atas bantuan dan dukungannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
dari
semua
pihak.
Penulis berharap semoga
dari
saran
laporan
ini
bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, September 1991
Penulis
DAFTAR IS1
halaman
...............................
TABEL .................................
GAMBAR ................................
LAMPIRAN ..............................
KATA PENGANTAR
DAFTAR
DAFTAR
DAFTAR
iii
vi
Viii
ix
. PENDAHULUAN ...................................
A . LATAR BELAKANG .............................
B . TUJUAN .....................................
I
I1 . TINJAUAN PUSTAKA
A
. KAYU KARET
..............................
(Hevea brasiliensis Muell Arg)
..
................
1 . Ekaliptus (Eucalyptus sp.) ..............
2 . Jabon (Antocephalus cadamba Miq.) .......
B . BEBERAPA JENIS KAYU LAINNYA
C
3
.
Sengon (Paraserianthes falcataria (L)
Nielsen) ................................
4
.
Pinus (Pinus merkusii
Vriese
Jungh .
et
de
..................................
. DISSOLVIhTG PULP .............................
1. Pengertian Dissolving Pulp ..............
12
.............
13
2 . Persyaratan Mutu Pulp Rayon
.............
I11 . BAHAN DAN METODE PENELITIAN ...................
A . BAHAN ......................................
1. Bahan Baku ..............................
2 . Bahan Penghidrolisis. Pemasak dan Pemutih
3 . Bahan Untuk Analisis ....................
3
.
Proses Pembuatan Pulp Rayon
12
15
25
25
25
25
26
B
.
.................................
PENELITIAN ..........................
ALAT-ALAT
C . METODE
.
2.
3.
4.
1
...................
...........................
26
26
Pembuatan Serpih Kayu
26
Prahidrolisis
27
...............................
Pemutihan ...............................
D . PENGAMATAN .................................
E . RANCANGAN PERCOBAAN ........................
30
..........................
32
Pemasakan
IV . HASIL DAN PEMBAHASAN
A . RENDEMEN DAN BILANGAN PERMANGANAT
1
. Rendemen ................................
32
....................
39
.
.
4.
..
..........................
..............................
Selulosa Alpha
2 . Kadar Sari
5
30
32
B . ANALISIS BEBERAPA SIFAT FISIKO-KIMIA PULP
3
29
..........
2 . Bilangan Permanganat
1
27
.........
....................
41
42
44
Kelarutan dalam NaOH 10 dan 18%
46
Kadar Abu dan Silika
50
. Viskositas ..............................
...........................
V . KESIMPULAN DAN SARAN ..........................
A . KESIMPULAN .................................
6 . Derajat Putih
......................................
PUSTAKA ................................
53
56
59
59
B . SARAN
60
DAFTAR
61
LAMPIRAN
......................................
64
DAFTAR TABEL
halaman
Komposisi kimia kayu karet
...............
5
Hasil analisa beberapa sifat kimia dan fisika 3 jenis kayu ekaliptus
Komposisi kimia kayu jabon
.............. 7
............... . 8
Analisa kimia kayu sengon (Paraserianthes
falcataria (L) Nielsen) pada berbagai
10
umur
.....................................
Sifat dan komposisi kimia kayu pinus .....
Persyaratan untuk pulp rayon biasa .......
Kondisi pemutihan pulp untuk rayon .......
11
15
29
Nilai rata-rata pengurangan berat serpih
hasil'prahidrolisispada berbagai komposisi campuran kayu ....................... 32
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap pengurangan berat serpih hasil pra33
hidrolisis
...............................
Nilai rata-rata rendemen pulp belum putih
pada ber,bagai tingkat sulfiditas dan komposisi campuran kayu ..................... 35
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap pulp belum putih ................... 35
Nilai rata-rata rendemen pulp putih
......
38
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap rendemen pulp putih ................ 38
Nilai rata-rata bilangan permanganat pulp
39
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap bilangan permanganat pulp
40
..........
Tabel 16.
Nilai rata-rata kadar selulosa alpha pulp
Tabel 17.
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan tarhadap kadar selulosa pulp ................ 43
Nilai rata-rata kadar sari pulp
..........
42
44
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar sari pulp .................... 4 5
Nilai rata-rata
NaOH 10%
kelarutan pulp
dalam
.................................
46
Nilai rata-rata kelarutan pulp dalam .
NaOH 18% ................................. 47
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap kelarutan pulp dalam NaOH 10% ...... 4 7
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap kelarutan pulp dalam NaOH 18%
48
......
Nilai rata-rata kadar abu pulp
...........
51
........
51
Nilai rata-rata kadar silika pulp
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar abu pulp ..................... 52
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar silika pulp
52
Nilai rata-rata
..................
viskositas pulp .........
53
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap viskositas pulp
54
....................
.......
Tabel 3 0 .
Nilai rata-rata derajat putih pulp
Tabel 31 .
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap derajat putih pulp ................. 57
56
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar
1.
Pengaruh suhu dan waktu pemasakan terhadap penurunan kadar lignin dan karbohidrat pada proses sulfat
.................
22
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran
1.
Daftar peralatan yang digunakan dalam
Penelitian ...........................
Lampiran
2.
Rekapitulasi data penelitian pembuatan pulp rayon dari kayu karet (Hevea
brasiliensis Muell Arg.)
.............
..........
Lampiran
3.
Prosedur penentuan rendemen
Lampiran
4.
Prosedur penentuan bilangan permanganat
Lampiran
5.
Prosedur penentuan kadar selulosa alpha
Lampiran
6.
Prosedur penentuan kadar sari pulp
Lampiran
7.
Cara uji kelarutan pulp dalam alkali
pada suhu 25 OC ......................
Lampiran
8.
Prosedur penentuan kadar abu dan silika .................................
Lampiran
9.
Prosedur pengukuran viskositas pulp
dengan metoda Cannon-Fenske ..........
Lampiran
10.
..................................
.................................
...
Prosedur penentuan derajat putih pulp
Lampiran lla.
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap pengurangan berat
serpih kayu pada waktu prahidrolisis .
Lampiran Ilb.
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap rendemen pulp belum putih hasil pemasakan ............
Lampiran llc.
Hasil uji BNT pengaruh tingkat sulfiditas terhadap rata-rata rendemen pulp
belum putih hasil pemasakan ..........
Lampiran Ild.
Hasil uji BNT pengaruh komposisi camterhadap bilangan permanganat pulp . . .
Lampiran lle.
Hasil uji BNT pengaruh tingkat sulfiterhadap bilangan permanganat pulp ...
Lampiran llf.
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap kadar sari pulp .
Lampiran llg.
Lampiran llh.
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap kelarutan pulp dalam NaOH 10%
.........................
80
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap kelarutan pulp dalam NaOH 18%
80
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap viskositas pulp
80
.........................
Lampiran lli.
..
Industri tekstil merupakan salah satu komoditi
ekspor non-migas yang cukup besar menyumbangkan devisa
bagi negara.
Produksi tekstil terus meningkat seiring
dengan tumbuhnya industri-industri yang mendukungnya.
Peningkatan produksi ini antara lain disebabkan oleh
meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya kemampuan
daya beli penduduk serta makin luasnya pasaran ekspor
di luar negeri.
Bahan baku utama dalam industri tekstil adalah kapas, selain itu digunakan pula serat sintetis dan serat
buatan.
Penyediaan kapas untuk industri tekstil masih
merupakan masalah sampai saat ini karena jumlahnya yang
dirasakan belum memenuhi kebutuhan.
Hal ini dapat di-
lihat dari impor kapas yang terus meningkat, yaitu pada
tahun 1986 sebesar 105 406 ton dan tahun 1987 sebesar
129 951 ton (Anonim, 1988).
Salah satu serat buatan yang cukup banyak dibutuhkan adalah serat rayon.
Serat rayon memiliki mutu yang
tidak kalah dari kapas dan dapat dipintal bersama kapas
untuk menghasilkan benang tenun bermutu tinggi.
Bahan
baku yang sering digunakan untuk membuat serat rayon
adalah kayu.
Pembuatan serat rayon di dalam negeri di-
nilai cukup menguntungkan mengingat potensi bahan baku
yang melimpah.
Salah satu potensi yang bisa dimanfaat-
kan adalah kayu dari pohon karet yang sudah tidak produktif lagi serta jenis-jenis kayu yang direncanakan
ditanam pada hutan tanaman industri.
Luas tanaman karet di Indonesia sekitar 3,l,juta
hektar.
Dari luas tersebut 2,7 juta hektar diantaranya
adalah karet rakyat dan seluas 350 000 hektar dari milik petani itu dalam kondisi parah yang perlu secepatnya diremajakan (Anonim, 1991).
Pohon karet (Hevea
brasiliensis Muell Arg.) yang telah berusia lebih dari
25 tahun umumnya menghasilkan lateks dalam jumlah sedikit sehingga dinilai tidak ekonomis lagi untuk disadap.
Jika kayu karet yang sudah tidak disadap lagi ini digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan serat rayon
atau kertas, berarti akan meningkatkan nilai tambahnya
mengingat selama ini lebih banyak hanya digunakan sebagai kayu bakar
Kegunaan kayu karet untuk pulp dan kertas telah
banyak diteliti, tetapi adanya lateks yang dapat disadap dan masih mengalir beberapa waktu setelah pohon ditebang dapat menimbulkan kesukaran-kesukaran dalam pengerjaan (Joedodibroto, 1969).
Kemudian dijelaskan le-
bih lanjut oleh Poeder (1982) bahwa dalam penggunaan
kayu karet sebagai bahan baku pulp, biasanya residu lateks walaupun dalam jumlah yang sedikit akan menimbulkan kesulitan pada proses pemasakan, pencucian dan pemutihan.
Pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku pembuatan pulp rayon sampai saat ini masih dihadapkan pada
kendala seperti di atas, mengingat adanya persyaratan
tertentu yang harus dipenuhi.
Untuk mengatasi ha1 ter-
sebut perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi proses ataupun bahan baku sehingga diperoleh hasil terbaik
yang layak diterapkan.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan antara lain
untuk :
1. Melihat pengaruh pencampuran kayu dan tingkat sulfi-
ditas
terhadap
sifat-sifat pulp
rayon
dari
kayu
karet .
2. Memperoleh
komposisi pencampuran kayu
dan
tingkat
sulfiditas yang optimal untuk menghasilkan pulp
ra-
yon dari kayu karet yang memenuhi persyaratan sesuai
Standar Industri Indonesia (SII).
11. TINJAUAN PUSTAKA
A.
KAYU
KARET (Hevea brasiliensis Muell kg.)
Tanaman karet dalam bahasa Latin disebut Hevea
brasiliensis, termasuk genus Hevea dan famili Euphorbiaceae dan sering disebut para atau balam perak.
Tana-
man ini adalah tanaman daerah tropik dan dapat tumbuh
pada segala jenis tanah dengan ketinggian antara
sampai dengan
600
200
m
m dari permukaan laut (Setyamidjaja,
Tanaman karet mempunyai toleransi terhadap pH
1983).
tanah yang cukup besar, yaitu dapat tumbuh cukup baik
antara pH
lah pH
4,O
3,8
-
-
6,5.
8,
meskipun yang dianggap optimum adaSedangkan curah hujan yang cocok un-
tuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari
optimal antara
gi dalam
100
-
Setyamidjaja,
2500
150
1983)
hingga
4000
2000
m,
mm pertahun yang terba-
hari hujan (Goutara et al.,
1985
dan
.
Pada waktu masih segar kayu teras pohon karet berwarna keputih-putihan namun seqera berubah menjadi coklat karena oksidasi enzimatik dari sejumlah senyawa
phenol yang terdapat dalam rongga sel kayu.
Kayu gubal
berwarna putih, tetapi batas antara kayu gubal dengan
kayu teras tidak dapat ditentukan dngan tegas.
Serat
kayu lurus dengan tekstur yang agak kasar dan rata,
lingkaran tumbuh tampak jelas karena warna kayu awal
lebih terang dari kayu akhir (Martawijaya,
1972).
Kayu karet mempunyai berat jenis rata-rata 0,53
yang terdiri dari serat 58,5%, vessel 10,7% dan sel-sel
parenkim 30,5% (Martawijaya, 1972).
Menurut Alaudin et
dl. (1973), seperti umumnya kayu daun lebar lainnya maka kayu karet berserat pendek
,
yaitu 1,27
Diameter serat antara 1,55 sampai 22,O
p
dinding sel yang relatif tipis, yaitu 2,4
-
1,50 mm.
dengan tebal
-
2,9
p.
Analisa kimia kayu karet menunjukkan kadar pentosan yang tinggi (20,0%) sedang kadar lignin relatif
rendah jika dibandingkan dengan kayu-kayu tropis lainnya.
Dari analisa kimia ini dapat diramalkan bahwa pe-
masakan dan pemutihan pulp cukup mudah karena kadar
lignin yang rendah, tetapi kadar pentosan yang tinggi
kurang menguntungkan dalam penyediaan pulp untuk rayon
Tabel 1.
-
Komposisi Kimia Kayu ~aret*)
-
Jenis analisa
Selulosa total
Alpha selulosa
Pentosan
Lignin
Ekstrak alkohol-benzen
Kelarutan dalam : air panas
air dingin
NaOH 1%
Abu
*)Alaudin et al. (1973)
Kadar ( % )
(Joedodibroto, 1969).
Selanjutnya menurut Sibatuara
(1973), kayu karet mengandung abu 0,75%, lignin 25,38%,
selulosa 52,88% dan pentosan 19,50%.
Pada Tabel 1 da-
pat dilihat komposisi kimia kayu karet.
B. BEBERAPA JENIS K ~ Y ULAINNYA
1. Ekaliptus (Eucalyptus Sp. )
Ekaliptus termasuk dalam ordo Myrtales dan famili Myrtaceae yang memiliki ratusan jenis (spesies).
Blakely (1934, di dalam Pratiwi, 1984) men-
catat ada sebanyak 605 spesies dan varietas, sedangkan Pryor dan Johnston (1971, d i dalam Pratiwi,
1984) mencatat sebanyak 500 spesies dan sub-spesies.
Ekaliptus merupakan suatu jenis pohon yang cepat pertumbuhannya sehingga siklus penebangannya
menjadi pendek.
Jenis pohon ini dapat tumbuh di da-
taran rendah maupun dataran tinggi, yaitu berkisar
antara 300 hingga 2000 m di atas permukaan laut
(Suhendi dan Djapilus, 1978).
Beberapa jenis ekaliptus tumbuh secara alamiah
maupun sengaja ditanam di luar Australia dengan kecepatan yang baik dibandingkan dengan jenis lainnya
yang tumbuh di Australia.
Eucalyptus deglupta dan
Eucalyptus urophylla tercatat sebagai jenis yang cepat pertumbuhannya di daerah tropis.
Walaupun jumlahnya cukup banyak, tidak semua
jenis ekaliptus telah diusahakan secara ekonomis,
baik karena pertumbuhannya yang lambat maupun karena
kualitas kayunya yang kurang baik.
(1969,
Menurut Watson
di dalam Pertiwi, 1 9 8 4 ) , kegunaan utama kayu
ekaliptus adalah dalam pembuatan pulp dengan proses
sulfat.
Di Brazil, 8 0 % dari jenis ekaliptus yang
ditanam terdiri dari Eucalyptus saliqna dan Eucalyptus urophylla (Eucalyptus a l b a ) , kayunya banyak di-
pakai sebagai bahan baku pembuatan pulp sulfat
(kraft).
Pohon yang paling disukai adalah yang ber-
usia antara 5
25 cm.
-
8 tahun dengan diameter 8 hingga
Pulp sulfat yang diperoleh dari pohon seper-
ti ini adalah sekitar 59%.
Beberapa sifat kimia dan fisika tiga jenis kayu
ekaliptus yang dilaporkan oleh Pratiwi ( 1 9 8 4 ) dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Hasil Analisa Beberapa Sifat Kimia dan Fisika 3 Jenis Kayu ~kali~tus*)
Analisa
Abu ( % )
Sari ( % )
Lignin ( % )
Alpha selulosa ( % )
Holoselulosa ( % )
Pentosan ( % )
Panjang serat rata-rata (mm)
* ) Pratiwi (1984)
E.alba
E.saliqna
E.urophylla
0,85
2,16
28,71
38,96
72,99
12,21
0,27
1,85
21,lO
33,32
72,88
11,58
0,25
2,38
23,80
35,46
73,07
13,66
1,28
1,38
1,33
2.
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Anthocephalus cadamba Miq. atau dikenal dengan
nama lokal jabon, termasuk famili Rubiaceae.
Tanam-
an ini tumbuh menyebar pada ketinggian 1000 m dari
permukaan laut dan tumbuh baik pada tempat-tempat
beriklim monsoon dengan tanah alluvial yang dalam
dan lembab (Grijpma, 1967 di dalam Suwandi, 1973).
Pertumbuhan jabon dapat mencapai tinggi antara
15 sampai 30 m dengan diameter antara 40
-
60 cm.
Riap volume yang dicapat tercatat 13 hingga 21 m3
per ha per tahun.
sar antara 10
-
Pada umur 9 tahun diameter berki42,20 cm atau rata-rata 25,31 cm
dengan tinggi 9,53 sampai 26,7 m atau rata-rata
17,61 m (Grijpma, 1967 di dalam Suwandi, 1973).
Tabel 3.
Komposisi Kimia Kayu Jabon
Komposisi Kimia
Abu
Lignin
Pentosan
Holoselulosa
Selulosa terhadap
holoselulosa
Selulosa
-
Kadar (%)a
3,92
29,03
16,42
60,48
-
a)Sachur (1966, di dalam Suwandi, 1973)
b)Grijpma (1967, di dalam Suwandi, 1973)
Kadar
It9
25,6
24,l
-
(%)
Menurut Monsalud dan Lopez (1967, di dalam Suwandi, 1 9 7 3 ) , panjang serat dari kayu jabon ratarata 1,44 mm dengan diameter lumen 3 0 sampai 3 5 p .
Komposisi kimia kayu jabon menurut Suwandi ( 1 9 7 3 )
dapat dilihat pada Tabel 3.
3. Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
Paraserianthes falcataria (L) Nielsen sudah lama dikenal oleh masyarakat luas di pulau Jawa dan di
Jawa Barat dikenal dengan nama jeunjing atau sengon.
Tanaman ini termasuk dalam famili Mimosaceae, berasa1 dari Maluku dan sudah ditanam secara meluas di
pulau Jawa dan Kalimantan.
Selain itu terdapat pula
di Sumatera, Sulawesi Utara dan Irian Jaya (Indriati
et al., 1985).
Tanaman ini tumbuh menyebar dari dataran rendah
sampai ketinggian 1 5 0 0 m dari permukaan laut pada
tanah subur sampai sedang dengan musim kemarau yang
sangat lembab sampai kelembaban sedang.
Sifat per-
tumbuhan yang cepat dan dapat membantu menyuburkan
tanah menyebabkan digunakannya tanaman ini untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis melalui program reboisasi dan penghijauan.
Tinggi tanaman sengon dapat mencapai 4 5 m dengan diameter lebih dari 100 cm.
Pada tanah dengan
tingkat kesuburan yang baik, pertambahan tinggi ra-
ta-rata per tahun sampai umur 5 tahun adalah kurang
lebih 4 m, kemudian berkurang dengan cepat pada tahun-tahun berikutnya.
Riap tanaman pada umur 6 ta-
hun sudah menghasilkan kayu sebesar 14,16 m3 atau
kurang-lebih 10 ton per are setiap tahun (Indriati
et a1.,1985).
Menurut Sibatuara (1973), komposisi
kimia dari kayu sengon antara lain adalah kadar abu
0,68%, lignin 24,74%, pentosan 15,40% dan selulosa
49,16%.
Sedangkan komposisi kimia kayu sengon me-
nurut Pratiwi (1983) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.
Analisa Kimia Kayu Sengon (Paraserianthus
falcataria (L) Nielsen) pada berbagai umur*)
Sifat Kimia ( % )
3 thn
5 thn
8 thn
Holoselulosa
Alpha selulosa
Pentosan
Lignin
Kelarutan dalam :
Air dingin
Air panas
NaOH 1%
73,39
45,69
15,81
23,19
70,49
42,38
13,64
23,55
72,09
43,89
16,40
23,23
3,08
4,82
16,46
4,21
5,03
16,93
3,60
4,29
15,50
* ) Pratiwi (1983)
4. Pinus (Pinus rnerkusii Jungh. et de Vriese)
Menurut Anonim (1979) dan Samingan (1982), Pinus merkusii Jungh. et de Vriese yang dikenal dengan
nama-nama daerah : tusam, sala, uyeum, sulu, huyam,
sugi, sigi dan pinus adalah termasuk famili Pinaceae, tersebar secara alami mulai dari Burma, Muangthai, Kamboja, Laos, Vietnam sampai ke Sumatera
dan
tumbuh pada ketinggian 500 - 2000 m dari permukaan
laut.
Kayu pinus termasuk kayu ringan-sedang dalam
-
beratnya dengan berat-jenis antara 0,46
0,70,
tetapi bagian yang mengandung resin kadang-kadang
mencapai berat-jenis 0,95. Jenis kayu ini
kelas kuat 11-111 dan kelas awet IV.
gubal setebal 6
-
termasuk
Bagian kayu
8 cm berwarna putih atau kekuning-
kuningan, sedangkan kayu teras berwarna lebih coklat
tua atau kemerah-merahan.
Kayu jenis ini terutama
banyak digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan
pulp kertas dengan proses soda, mekanis atau proses
sulfat (Samingan, 1982).
Sifat dan komposisi kimia kayu pinus menurut
Sudradjat (1979) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5.
Sifat dan Komposisi Kimia Kayu pinus*)
Sifat dan Komposisi Kimia
Selulosa
Lignin
Pentosan
Kelarutan dalam : air panas
air dingin
alkohol-benzen
* ) Sudrajat
(1979)
Kadar ( % )
43,9
24,3
14,O
3,2
0,4
6,3
B. DISSOLVING PULP
1. Pengertian Dissolving Pulp
Pulp adalah bahan berserat yang diperoleh dari
hasil pengolahan bahan berserat ligno-selulosa dan
digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas, rayon
serta derivat selulosa lainnya.
Menurut Casey
(1952), proses pembuatan pulp ada tiga cara, yaitu
mekanis, kimia dan semi-kimia.
Proses
mekanis
dilakukan dengan cara menghancurkan kayu atau bahan
baku lainnya menjadi serat dengan menggunakan alat
mekanis, seperti batu gerinda.
Proses secara kimia
meliputi pemasakan bahan baku dengan bahan kimia untuk melarutkan lignin dan bahan-bahan non-selulosa
lainnya, mengisolasi serta memurnikan serat-serat.
Ada tiga macam proses kimia yang penting, yaitu
proses soda, sulfat dan sulfit.
Proses secara semi-
kimia merupakan perpaduan dari kedua cara sebelumnya
dimana bahan yang akan digiling terlebih dahulu
diberi perlakuan kimia
Umumnya proses pembuatan pulp ditujukan untuk
memproduksi bahan baku pulp untuk kertas, tetapi
disamping itu juga ditujukan untuk pembuatan rayon.
Thomas (1970)
menjelaskan bahwa dalam pembuatan
kertas, kualitas fisik serat merupakan persyaratan
utama.
Komposisi kimia serat tidak terlalu diper-
hatikan kecuali bila mempengaruhi sifat fisik serat.
Pada beberapa produk selulosa lainnya, faktor-faktor
tersebut malah menjadi sebaliknya.
Produk-produk
yang dibuat dengan proses kimia dan selulosa biasanya terlarut dalam larutan, komposisi kimia dari
pulp merupakan perhatian utama.
Pulp yang digunakan
dalam proses kimia yang demikian disebut dengan
dissolving pulp atau selulosa kimia.
Dissolving
pulp dapat pula didefinisikan dengan pulp yang
memiliki tingkat kemurnian selulosa yang tinggi.
Selain digunakan untuk rayon, dissolving pulp
digunakan pula untuk pembuatan selopan, metil-selulosa, etil-selulosa, nitro-selulosa, selulosa asetat
dan turunan selulosa lainnya.
Pulp untuk maksud
tersebut haruslah relatif bebas dari pentosan dan
selulosa yang tidak berkualitas serta kandungan
bahan bukan selulosa lainnya.
Terdapatnya bahan-
bahan ini akan mengurangi mutu dissolving pulp, sehingga pulp yang dihasilkan menjadi kurang cerah,
mengurangi kemampuan pemurnian bahan kimia dan
mengurangi sifat fisiko-kimia turunan selulosa
(Olsen, 1938) .
2. Persyaratan Mutu Pulp Rayon
Menurut Joedodibroto (1972), dissolving pulp
sebagai bahan baku untuk pembuatan serat rayon ha-
ruslah memenuhi persyaratan kimiawi tertentu.
Ber-
beda dengan pulp untuk kertas, adanya hemiselulosa,
pentosan dan zat-zat non selulosa lainnya tidak menyebabkan penurunan kualitas kertas, bahkan kadangkadang diinginkan karena menaikkan rendemen dan memberikan sifat-sifat tertentu, maka sebaliknya untuk
pulp rayon, adanya zat-zat bukan selulosa tersebut
sedapat mungkin harus dihilangkan.
Selanjutnya di-
tambahkan pula oleh Poeder (1982) bahwa pulp yang
digunakan untuk pembuatan rayon haruslah mempunyai
kandungan alpha selulosa yang tinggi, minimal 90%.
Menurut Salihima dan Fatah (1982), pulp untuk
rayon haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain keseragaman kualitas.
Proses pembuatan pulp
yang betul-betul sempurna sehingga keseragaman kualitas dapat dicapai serta bebas dari zat-zat nonselulosa merupakan faktor yang penting.
Selanjutnya
walaupun suatu pulp rayon telah memenuhi persyaratan
kimia, belum berarti secara otomatis telah baik untuk dibuat rayon karena masih ada faktor-faktor lain
seperti kondisi proses, peralatan, jenis serat yang
akan dibuat dan lain-lain ha1 yang menentukan kualitas serat rayon.
laudi in dan Joedodibroto (1972) menyatakan bahwa standar kemurnian untuk rayon dalam dunia perdagangan adalah (a) alpha selulosa 91 - 93%, (b) beta
dan gamma selulosa 6 - 10% dan (c) pentosan 2 - 3%.
Sedangkan persyaratan pulp unuk rayon biasa menurut
Standar Industri Indonesia (SII) dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Persyaratan Untuk Pulp Rayon .~iasa*)
Parameter
Satuan
Alpha selulosa
Kelarutan dalam NaOH 18%
Kelarutan dalam NaOH 10%
Sari (alkohol-benzen)
Abu
Silika (sebagai Si02)
Kalsium (sebagai Ca)
Besi (sebagai Fe)
Viskositas (Cupram)
Derajat putih (GE)
Variasi kadar air
Nilai
min.
mak.
rnak .
rnak
rnak
rnak .
rnak .
rnak
min.
min.
.
.
.
k
Proses Pembuatan Pulp Rayon
Proses pembuatan pulp untuk rayon tidak sama
dengan pembuatan pulp untuk kertas.
Pulp untuk ra-
yon diproses sedemikian rupa sehingga diperoleh pulp
dengan tingkat kemurnian yang tinggi (Alaudin,
1982).
Tahapan dalam pembuatan pulp untuk rayon
adalah prahidrolisis, pemasakan dan pemutihan.
a. Prahidrolisis
Adanya perlakuan tambahan sebelum proses pemasakan dalam pembuatan pulp rayon merupakan modifikasi dari pembuatan pulp kertas, dimana perlakuan pendahuluan ini dikenal sebagai proses
prahidrolisis (Pooder, 1982).
Menurut Alaudin
(1982), pembuatan pulp rayon dengan proses sulfat
saja tidak dapat menghasilkan pulp yang murni seperti yang dikehendaki, karena sebagian hemiselulosa menjadi tahan terhadap reaksi basa sehingga
akan tetap berada dalam serat.
Kesulitan terse-
but dapat diatasi dengan mengolah serpih kayu melalui proses prahidrolisis sebelum dilakukan pemasakan dengan sulfat.
Adanya proses tersebut
menyebabkan serpih kayu menjadi lunak atau mengembang sehingga memudahkan penyerapan bahan kimia selama proses pemasakan.
Selanjutnya Wenzl
(1970) menyatakan bahwa proses prahidrolisis da-
pat mengurangi rendemen serta kandungan lignin
dan akan meningkatkan kandungan alpha selulosa
Pulp
Zhan dan Chen ( 1 9 8 3 ) menyatakan bahwa pada
dasarnya prahidrolisis akan mengakibatkan perombakan hemiselulosa dan lignin serta terjadinya
perubahan struktur kimia dari kayu.
Hemiselulosa
yang terombak dan terlarutkan terdiri atas gula-
gula pentosan dan heksosan baik dalam bentuk polimer ataupun gula bebas seperti xylosa, galaktosa, arabinosa dan lain sebagainya (Parekh et
al., 1977).
Proses prahidrolisis dapat dilakukan dengan
menggunakan air atau asam encer (Joedodibroto,
1972).
Penggunaan media air dalam proses prahi-
drolisa lebih menguntungkan karena lebih murah
dan kemungkinan terjadinya peristiwa degradasi
terhadap selulosa lebih kecil (Bawagan dan Faulmino, 1978).
Penggunaan uap panas lebih mem-
percepat waktu prahidrolisis dan menghemat energi
serta tidak menimbulkan air buangan yang dapat
menimbulkan polusi (Alaudin, 1984).
Menurut Wenzl (1970), variabel yang mempengaruhi prahidrolisis adalah suhu dan waktu.
Pe-
nelitian mengenai pengaruh suhu dan waktu terhadap proses prahidrolisis telah dilakukan.
Pe-
ningkatan suhu dan lamanya waktu pada proses prahidrolisis akan meningkatkan kadar alpha sellosa, tetapi kandungan pentosan dan rendemen pulp
akan menurun.
Joedodibroto (1972) mengemukakan bahwa apabila suhu prahidrolisis yang dipakai relatif rendah atau dibawah suhu 150
OC,
putih masih relatif tinggi.
kadar pentosan pulp
Selanjutnya menurut
Wenzl (1970), penggunaan suhu prahidrolisis diatas
160
akan menurunkan rendemen pulp dan degrada-
OC
si selulosa semakin meningkat.
prahidrolisis di atas 170
OC
Penggunaan suhu
pada jangka waktu
yang lebih panjang akan semakin banyak menurunkan
kandungan alpha selulosa.
Dari hasil penelitian terhadap pulp sulfat
kayu karet yang dihidrolisis dengan air pada suhu
120
-
150 OC, menunjukkan bahwa pada kondisi ini
tidak mampu mendegradasi pentosan.
Sebagai gam-
baran, pulp putih yang mengalami proses prahidrolisis pada 120
OC
mengandung pentosan 7,58%, pada
mengandung pentosan 7,62%, pada suhu
135
OC
150
OC
mengandung pentosan 6,12% dan pada suhu
160
OC
mengandung pentosan 3,10% (Joedodibroto,
1972).
b. Pemasakan
Proses pembuatan pulp untuk rayon umumnya
dilakukan dengan proses kimia mengingat tingkat
kemurniannya yang tinggi.
Terdapat tiga macam
proses kimia yaitu proses sulfit (menggunakan larutan asam), proses sulfat dan soda (menggunakan
larutan basa) .
Dalam pembuatan pulp rayon, proses sulfit
lebih menguntungkan karena menghasilkan pulp yang
relatif lebih mudah diputihkan dan dimurnikan namun kurang sesuai untuk kayu daun lebar sebab sangat peka terhadap jenis kayu yang memiliki kandungan resin tinggi (Alaudin dan Joedodibroto,
1972).
Menurut Casey (1952), resin yang terdapat
pada kayu dapat dikeluarkan dengan proses sulfat
dalam bentuk crude tall oil.
Casey (1952) menyatakan bahwa proses sulfat
menghasilkan pulp yang lebih banyak dan kekuatannya umumnya 50% lebih besar dibandingkan pulp
yang dihasilkan dengan proses soda.
Selain itu
karena pengaruh sodium sulfit yang lunak, kerusakan yang terjadi pada bahan selulosa lebih sedikit.
Selanjutnya ditambahkan oleh Bryce (di
dalam Casey, 1980), bila dibandingkan dengan pulp
soda, pulp sulfat relatif lebih baik dalam ha1
kualitas dan ongkos produksi lebih murah serta
rendemennya lebih besar.
Beberapa keuntungan
dari proses sulfat adalah fleksibel dalam bahan
baku, waktu pemasakan singkat, pulp dapat diputihkan sampai derajat kecerahan tinggi, kekuatan
pulp tinggi dan bahan pemasak mudah didaur ulang.
Sedang kelemahannya antara lain investasi yang
tinggi untuk pabrik, masalah bau gas buangan dan
biaya pemutihan.
Pembuatan pulp dengan proses sulfat menggunakan bahan pemasak berupa NaOH dan Na2S yang dinyatakan sebagai alkali aktif.
Alkali aktif ini
sangat selektif dan aktif menghilangkan bahanbahan non-selulosa terutama lignin, pada suhu,
tekanan dan konsentrasi yang sesuai (Britt, 1970)
Konsentrasi alkali aktif pada pembuatan pulp sulfat umumnya antara 15 - 25%.
Penggunaan dibawah
15% menyebabkan pemasakan kurang sempurna dan bila dilakukan diatas 25% menyebabkan degradasi selulosa yang berlebihan (Casey, 1952).
Menurut Casey (1952), penambahan natrium
sulfida (Na2S) pada proses sulfat akan menaikkan
kandungan natrium hidroksida fNaOH) pada larutan
pemasak dan yang lebih penting lagi menghasilkan
-mahidrosulfida yang sangat menguntungkan pada psakan.
Hidrosulfida bertindak sebagai buffer dan
cenderung memperkecil efek degradasi hidroksida
terhadap selulosa.
Efek terpenting dari hidro-
sulfida adalah reaksinya dengan lignin membentuk
thiolignin atau gugus SNa yang memungkinkan lignin lebih mudah larut (Clayton, 1969).
Reaksi yang terjadi pada penambahan natrium
sulfida adalah
Na2S + H20
=NaOH
+
NaSH.
Persentasi natrium sulfida pada larutan pemasak
berdasarkan total alkali yang dapat dititrasi dikenal sebagai sulfiditas larutan (Casey, 1952).
Dikatakan oleh Casey (1952) bahwa pada proses sulfat komposisi larutan pemasak atau sulfiditas merupakan perbandingan antara natrium sulfida dengan campuran natrium sulfida dan natrium
hidroksida yang dinyatakan dalam persen.
Dalam
proses sulfat, sulfiditas yang banyak digunakan
berkisar antara 20 sampai 30% dimana sulfiditas
25% memberikan hasil rata-rata yang terbaik.
Menurut Casey (1952), pada proses sulfat suhu maksimum yang biasa digunakan berkisar antara
160 hingga 180 OC, sedangkan waktu pemasakan berkisar antara 1 sampai 5 atau 6 jam tergantung pada jenis pulp yang ingin dihasilkan.
Selanjutnya
dijelaskan oleh Clayton (1969) bahwa suhu pemasakan dibawah 170
OC
tidak akan memberikan keun-
tungan baik dari segi hasil maupun kualitas pulp,
tetapi suhu diatas 180
OC
menyebabkan degradasi
selulosa yang semakin besar.
Casey (1952) dan Libby (1962) mengemukakan
bahwa waktu dan suhu pemasakan serta konsentrasi
bahan pemasak berhubungan erat satu sama lainnya.
Apabila pemasakan menggunakan suhu dan konsentrasi larutan yang tinggi maka waktu pemasakan yang
dibutuhkan akan lebih singkat.
Pelarutan kompo-
nen kimia kayu akan berlangsung semakin besar sejalan dengan kenaikan suhu dan waktu pemasakan
sulfat yang dapat dilihat pada Gambar 1.
glucan +
galactan
xylan
rnannan
}~ignin
waktu pemasakan ( j a m )
m 12, WIT^
0
suhu pemasakan ( C )
Gambar 1.
Pengaruh suhu dan waktu pemasakan terhadap penurunan kadar lignin dan karbohidrat pada proses sulfat (Yilner et a l . di
dalam Rydholm, 1965)
c. Pemutihan
Selulosa murni berwarna putih tetapi selulosa yang biasa diperdagangkan mengandung kotorankotoran yang tidak pernah dapat dihilangkan secara sempurna pada pemasakan sehingga pulp tidak
berwarna putih.
Proses pemutihan bertujuan untuk
mendapatkan pulp berwarna putih yang stabil dan
diperoleh dengan biaya yang layak serta kerusakan
seminimum mungkin terhadap sifat-sifat fisika dan
kimia pulp (Casey, 1952).
Proses pemutihan dalam pembuatan pulp rayon
diperlukan terutama bila menggunakan proses sulfat.
Proses pemutihan yang biasa diterapkan pada
proses sulfit sukar diterapkan pada proses sulfat
karena pulp sulfat lesih sukar diputihkan (Casey,
1952).
Alaudin dan Joedodibroto (1972) menyata-
kan bahwa umumnya proses pemutihan yang digunakan
dalam proses pembuatan pulp rayon adalah pemutihan bertingkat lima yang diakhiri dengan pengasaman.
Kelima tingkat proses pemutihan tersebut
adalah klorinasi (C), ekstraksi pertama (El), hipoklorit pertama (HI), ekstraksi kedua (E2), hipoklorit kedua (HZ) dan pengasaman.
~lorinasimerupakan bagian penting pada pemutihan lima tingkat dari pulp sulfat, karena
klorin secara selektif beraksi terhadap thiolignin, melarutkan lignin tanpa merusakkan kekuatan
serat.
Selanjutnya Singh (di dalam Britt,
1970)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
klorinasi adalah konsentrasi klorin, konsistensi,
suhu, waktu serta pH.
Ditambahkan oleh Casey
(1952) bahwa kebutuhan klorine adalah 50 sampai
60% dan suhu biasanya dijaga antara 25 sampai
30 OC sedangkan konsistensi antara 3 hingga 5%.
Konsistensi yang tinggi diinginkan untuk menjaga
agar pH tetap rendah ( 1 5 - 2 ) dan tetap tingginya konsentrasi klorin efektif.
Ekstraksi denqan alkali digunakan untuk
menghilangkan lignin yang terklorinasi pada waktu
klorinasi pulp serta menghilangkan hemiselulosa
dari serat.
Selain itu ekstraksi alkali pada
proses pemutihan pulp juga menghasilkan penghematan dalam penqqunaan bahan-bahan kimia untuk
proses pemutihan pulp (Meller et al., 1969 di dalam Britt, 1970).
Tahapan pemberian hipoklorit adalah proses
dimana terjadi perubahan warna pulp dari belum
putih menjadi putih.
Bahan pemutih yang diguna-
kan biasanya natrium hipoklorit dan kalsium hipoklorit.
Tahapan ini juga memberikan pengaruh
terhadap kandungan selulosa pada pulp. Penyerangan terhadap selulosa dipengaruhi oleh suhu, waktu
pemutihan, pH, konsistensi serta konsentrasi hipoklorit (Larsen, 1970).
Menurut Alaudin dan Joedodibroto (1972) proses pengasaman pada tingkat terakhir dimaksudkan
untuk mengikat dan melarutkan ion-ion logam yang
berasal dari pulp atau lingkungan dan juga untuk
menstabilkan warna pulp.
Bahan kimia yang biasa-
nya digunakan untuk proses pengasaman ini adalah
asam oksalat, HC1, HCOOH, SO2 dengan pH sekitar 4.
111. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
A. BAHAN
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi
bahan baku, bahan untuk hidrolisis, bahan pemasak, bahan pemutih dan bahan untuk analisis.
1. Bahan Baku
Pada penelitian digunakan bahan baku berupa kayu karet (Hevea brasiliensis Muell Arg. ) dari Kebun
Percobaan Darmaga, Bogor dan campuran beberapa jenis
kayu yang berasal dari hutan percobaan Pusat Penelitian Hutan di Haurbentes, Bogor, yaitu Ekaliptus
(Eucalyptus sp.), kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen), kayu jabon (Anthochephalus cadamba Miq.) dan kayu pinus (Pinus merkusii Jungh. et
de Vriese).
2. Bahan Untuk Hidrolisis, Pemasak dan Pemutih
Pada proses hidrolisis serpih kayu sebelum dimasak digunakan air dan untuk pemasakan hasil prahidrolisis digunakan proses sulfat dengan
Na2S sebagai larutan pemasak.
NaOH dan
Untuk pemutihan digu-
nakan asam klorida (HCl), NaOH, natrium hipoklorit
(NaOC1) dan gas klor (el2).
3. Bahan untuk Analisa
ah an
kimia yang diperlukan untuk analisa pulp
adalah natrium hidroksida
(NaOH), asam asetat
(CH~COOH),natrium tiosulfat (Na2S203), asam sulfat
(HZS04), kalium dikromat (K2Cr20,), kalium iodida
(KI), larutan kanji, asam klorida (HC1), larutan
ploroglucinol, larutan cuoxam, metanol, logam Cu,
ferroamonium sulfat (Fe(NH4)2(S04)2.6H20), indikator
ferroin dan alkohol benzene.
Peralatan yang digunakan meliputi alat untuk persiapan proses, proses dan analisis pulp.
Daftar per-
alatan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
C. METODE PENELITIAN
Secara umum penelitian ini meliputi empat tahapan
proses, yaitu persiapan bahan baku (untuk membuat serpih kayu atau chips), prahidrolisis, pemasakan dan pemutihan
.
1. Pembuatan Serpih Kayu
Setiap jenis kayu yang telah dipisahkan dari
kulitnya, dibuat menjadi serpih dengan ukuran panjang 2,O - 3 , O cm, lebar 1,5 - 2,O cm dan tebal 0,2
-
0,3
cm.
Serpih tersebut dihamparkan di dalam
ruangan selama 2
-
3 hari sampai mencapai kering
udara dan kemudian diukur kadar airnya.
Serpih kayu
selanjutnya dicampur dengan perbandingan kayu karet
: campuran kayu lainnya sebesar 50 : 50, 75 : 25 dan
loo : 0 (campuran kayu dari sengon, pinus, jabon dan
ekaliptus dibuat dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 1
berdasarkan bobot kering oven).
2.
Prahidrolisis
Sebelum menjalani proses pemasakan, serpihan
kayu yang telah dicampur terlebih dahulu menjalani
proses prahidrolisis.
Bahan penghidrolisis yang di-
gunakan adalah air dengan perbandingan air : serpih
sehesar 4
: 1, suhu maksimum 160 OC dan lama waktu
pada suhu maksimum satu jam.
Proses prahidrolisis
ini dilakukan di dalam digester berputar.
Setelah lama waktu pada suhu maksimum dicapai
(satu jam), proses prahidrolisis dihentikan dan serpihan dikeluarkan untuk dicuci.
Serpihan kemudian
dihamparkan di dalam ruangan untuk menyeragamkan kadar airnya.
Kadar air diukur untuk menentukan jum-
lah contoh dalam pemasakan.
3. Pemasakan
Serpih kayu yang telah diprahidrolisa selanjutnya dimasak dengan menggunakan proses sulfat pada
ketel pemasak berputar (rotary digester).
Kondisi
pemasakan dibuat sama kecuali tingkat sulfiditas,
yaitu alkali aktif 17% (berdasarkan berat kering
oven serpih), tiga tingkat sulfiditas (20%, 25% dan
30%), perbandingan larutan pemasak dengan kayu adalah
4 : 1, suhu pemasakan maksimum 175
pemasakan seluruhnya 3,5 jam.
OC
dan lama
Lama pemasakan dibagi
kedalam dua tahap, yaitu 2 jam pertama untuk mencapai suhu maksimum dan 1,5 jam terakhir pada suhu
maksimum.
Proses pemasakan dihentikan setelah lama pemasakan pada suhu maksimum dicapai.
Klep dibuka untuk
menghilangkan tekanan dan udara panas, kemudian pulp
dikeluarkan untuk dicuci dan diperas dengan air bersih agar cairan hitamnya keluar dan bebas alkali.
Pulp selanjutnya diurai seratnya dengan alat pengurai serat, disaring dengan alat penyaring berukuran
60 mesh dan dikeluarkan airnya dengan alat sentri-
fuse.
Pulp yang dihasilkan setelah proses pemasakan
ini dinamakan pulp yang belum diputihkan (unbleached
pulp).
Pulp ini masih mengandung sisa lignin yang
belum terlarut pada waktu pemasakan.
4. Pemutihan
Proses pemutihan dilakukan dalam lima tahap,
yaitu tahap klorinasi dengan air klor, tahap ekstraksi pertama dengan natrium hidroksida (NaOH), tahap hipoklorit pertama dengan natrium hipoklorit
(NaClO), tahap ekstraksi kedua dengan natrium hidroksida, tahap hipoklorit kedua dengan natrium hipoklorit
dan pengasaman dengan asam klorida
Tabel 7.
Kondisi Pemutihan Pulp Untuk Rayon
Tahap
Pemberian dalam
C12
NaOH
Klorinasi
Ekstraksi I
Hipoklorit I
Ekstraksi I1
Hipoklorit I1
Pengasaman
65,O
x CN*)
-
24,5
x CN
*)CN
=
-
10,5
x CN
-
bilangan C12 =
112
-
%
(HC1).
suhu waktu konsistensi
(OC) (jam)
(8)
kamar
1
3,5
I t 5
60
40
1
3
4,5
1,5
60
1
4,5
40
3
4,5
1
2,5
-
kamar
5,O
bilangan permanganat
Pada setiap akhir tahapan dilakukan pencucian untuk
menghilangkan setiap sisa lignin yang larut dalam
alkali atau untuk setiap sisa bahan pemutih yang
berlebih supaya tidak mengganggu proses selanjutnya.
Kondisi pemutihan pada setiap tahap dapat dilihat
pada Tabel 7.
D. PENGAMATAN
Sebelum proses pemasakan dilakukan pengukuran
pengurangan bobot akibat proses prahidrolisisis dan setelah proses pemasakan dilakukan penentuan rendemen dan
bilangan permanganat (SII 0530 - 81) pulp belum putih.
Setelah proses pemutihan dilakukan penentuan rendemen
pulp putih, kadar selulosa alpha (SII 1658
-
85), ke-
larutan dalam NaOH 10% dan 18% (SII 1294 - 85), kadar
sari (SII 1293 - 85), kadar abu dan silika (SII 1292
-
84), viskositas (SII 1157 - 84) dan derajat putih pulp
(SII 0473
-
81).
Prosedur lengkap setiap analisis da-
pat dilihat pada Lampiran 3
E.
-
10.
RANCANGAN PERCOBAAN
Untuk melihat pengaruh setiap perlakuan secara
statistik, digunakan rancangan acak lengkap dengan percobaan faktorial.
Dari tiga taraf perlakuan pada kom-
posisi campuran kayu (50%, 75% dan 100% kayu karet) dan
tiqa taraf perlakuan tinqkat sulfiditas (20%, 25% dan
30%) diperoleh sembilan kombinasi perlakuan.
Ulangan
percobaan dilakukan sebanyak dua kali.
Model rancangan percobaan adalah sebagai berikut :
Yijk
= nilai pengamatan akibat pengaruh komposisi cam-
puran kayu ke-i dan tingkat sulfiditas ke-j pada ulangan ke-k
c
I.1
=
nilai rata-rata harapan
Ai
=
pengaruh
faktor komposisi campuran kayu
pada
taraf ke-i
Bj
=
pengaruh
faktor tingkat sulfiditas pada
taraf
ke-j
ABij
=
pengaruh
interaksi faktor
komposisi
campuran
kayu pada taraf ke-i dengan faktor tingkat sulfiditas pada taraf ke-j
'ijk
=
kekeliruan unit percobaan ke-k dalam
kombinasi
perlakuan ke-ij
i
=
j
= 1, 2, 3
k
=
1, 2, 3
1, 2.
Berdasarkan model tersebut di atas, untuk mengetahui nyata-tidaknya pengaruh faktor A, faktor B dan
interaksi kedua faktor maka dilakukan analisis keragaman (ANAVA).
Selanjutnya untuk mengetahui taraf pada
perlakuan yang berpengaruh nyata, dilakukan uji beda
nyata terkecil (Least Square Difference).
IV. HASIL DAN PENBAHASAN
A. RENDENEN DAN BILANGAN PERMANGANAT
Data lengkap hasil pengamatan pengurangan berat
serpih kayu setelah proses prahidrolisis, rendemen dan
bilangan permanganat pulp belum putih serta rendemen
pulp putih dapat dilihat pada Lampiran 2.
1. Rendemen
Nilai rata-rata pengurangan berat serpih setelah proses prahidrolisis pada berbagai komposisi
campuran kayu disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai rata-rata pengurangan berat
hasil prahidrolisis pada berbagai
sisi campuran kayu
Komposisi Campuran
Kayu Karet
serpih
kompo-
Pengurangan Berat
Serpih Rata-rata ( % )
Sidik ragam pengurangan berat serpih setelah
prahidrolisis menunjukkan pengaruh yang sangat nyata
oleh komposisi campuran kayu (Tabel 9).
Tabel 9.
daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap pengurangan berat serpih hasil prahidrolisis
Sumber
Keragaman
Ftabel
Perlakuan :
~ o m p .campuran kayu
Sisa
--
db
JK
JKT
2
27,073
13,536
15
23,880
1,592
--
Fhit
5%
8,50*) 3,89
1%
6,93
-
*)Berpengaruh sangat nyata pada tingkat 1%
Uji beda nyata terkecil pada tingkat nyata 1%
(Lampiran 10a) menunjukkan bahwa pengurangan berat
serpih hasil prahidrolisis dari campuran kayu yang
terdiri dari 75% kayu karet tidak berbeda nyata dengan kedua komposisi lainnya.
Peningkatan komposisi
kayu karet dari 50% menjadi 100% akan menyebabkan
peningkatan pengurangan berat serpih secara nyata.
Pengurangan berat tertinggi terjadi pada campuran
dengan komposisi 100% kayu karet, yaitu 10,43% dari
berat serpih asal.
Proses prahidrolisis bertujuan untuk melarutkan
komponen hemiselulosa (pentosan dan heksosan) yang
terdapat dalam jumlah cukup besar pada kayu daun lebar.
Kayu karet diketahui memiliki kandungan pento-
san cukup tinggi yaitu sekitar 20% (Joedodibroto,
1969), sedangkan kayu campuran lainnya (pinus, eka-
liptus, jabon dan sengon) memiliki kandungan hemiselulosa yang lebih rendah.
Perbedaan pengurangan berat serpih pada proses
prahidrolisis pada berbagai komposisi campuran kayu
diduga berkaitan dengan terlarutnya hemiselulosa
yang dikandung masing-masing kayu.
Semakim besar
persentasi kayu karet pada komposisi campuran kayu
semakin besar pengurangan berat serpih kayu karena
semakin banyak hemiselulosa yang terlarut.
Proses prahidrolisis serpih pada penelitian ini
menghasilkan berat serpih rata-rata 90,84% yang berarti terjadi pengurangan berat rata-rata 9,16%.
Pe-
ngurangan berat ini masih berada dibawah berat serpih rata-rata akibat proses prahidrolisis pada
umumnya menurut Casey (1952), yaitu sebesar 19%.
Proses prahidrolisis selain merupakan awal degradasi hemiselulosa dan bahan bukan selulosa lain
(seperti zat ekstraktif) juga terjadi akan pemekaran
struktur serat dan pelunakan serpih, sehingga diharapkan lignin akan lebih mudah dirombak atau dilarutkan pada saat pemasakan dengan proses sulfat.
Hal ini menyebabkan rendemen pulp belum putih hasil
pemasakan semakin menurun (pada Tabel 10) akan tetapi tingkat kemurnian pulp yang diperoleh semakin
tinggi atau memiliki kadar selulosa alpha tinggi.
Sidik ragam rendemen pulp belum putih menunjukkan bahwa komposisi campuran kayu berpengaruh sangat nyata dan tingkat sulfiditas berpengaruh nyata,
Tabel 10.
Nilai rata-rata rendemen pulp belum putih
pada berbagai tingkat sulfiditas dan komposisi campuran kayu
Komposisi Campuran Kayu Karet
50%
Ratarata
Tinskat Sulfiditas f % )
20
33,35
25
33,56
30
32,96
33,29
sedangkan interaksi antara komposisi campuran kayu
dengan tingkat sulfiditas tidak menunjukkan pengaruh
yang nyata terhadap rendemen (Tabel 11).
Tabel 11.
Sumber
Keragaman
Daftar sidik-ragam pengaruh
terhadap pulp belum putih
perlakuan
Ftabel
db
Perlakuan :
Komp. cam2
puran kayu
~k.sulfiditas2
Interaksi
4
Sisa
9
JK
JKT
25,680
12,8401
12,64**)4,26
8,02
12,361
3,450
9,142
6,1806
0,8626
1,0158
6,08*)
0,85
3,63
6,42
Fhit
5%
1%
**)Berpengaruh sangat nyata pada tingkat 1%
*)Berpengaruh nyata pada tingkat 5%
Uji beda nyata terkecil pengaruh komposisi campuran kayu pada tingkat nyata 1% terhadap rata-rata
rendemen pulp belum putih (Lampiran lob) memperli-
hatkan bahwa rendemen pulp belum putih dari campuran
kayu dengan komposisi 75% kayu karet tidak berbeda
nyata dengan kedua komposisi lainnya.
Rata-rata
rendemen tertinggi diperoleh pada campuran kayu dengan komposisi kayu karet l o o % , yaitu sebesar
36,20%.
Uji beda nyata terkecil pengaruh tingkat s
"
r
-r-2
'-23r
4
PERANAN KOMPOSISI CAMPURAN KAYU DAN TINGKAI
SULFlOlTAS TERHAOAP SIFAT-SIFAT PULP RAYON
DARl KAYU RARE7 ( Hevea brasiliensis Muell Arg /
Oleh
NORZAIN AKHMAD YANl
F 21. 1119
1 9 9 1
FAKULTAS TEKNOLOGI
PERTANiAtJ
INSTITUT PERTANIAN BOG.33
B O G O R
'-?
C
i--' k
NORZAIN ~ I M A DYANI.
F21 1119. Pengaruh Komposisi campuran
Kayu dan Tingkat Sulfiditas Terhadap Sifat-sifat Pulp Rayon
dari Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg). Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wachjuddin Tjiptadi, MS dan Ir. Ridwan
A. Pasaribu, MS.
RINGKASAN
Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg) dikenal
sebagai penghasil bahan baku karet alam (lateks) paling utama.
Pada usia 25 tahun lebih umumnya tanaman karet hanya
menghasilkan lateks dalam jumlah sedikit dan dinilai tidak
ekonomis lagi untuk disadap.
Pemanfaatan kayu karet yang
sudah tidak disadap lagi ini dapat digunakan sebagai bahan
baku untuk pembuatan pulp kertas atau rayon sehingga akan
meningkatkan nilai tambahnya mengingat selama ini lebih banyak hanya digunakan untuk kayu bakar.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh
komposisi campuran kayu, yaitu kayu karet sebagai bahan baku
utama ditambah kayu sengon (Paraserianthes falcataria) , kayu
pinus (Pinus merkusii), kayu jabon (Anthocephalus cadamba)
serta kayu ekaliptus (Eucalyptus), dan tingkat sulfiditas
larutan pemasak terhadap sifat-sifat pulp rayon yang dihasilkan.
Sifat-sifat yang dianalisis meliputi rendemen, bi-
langan permanganat, kadar selulosa alpha, kelarutan pulp dalam NaOH 10 dan 18%, kadar sari, kadar abu dan silika, viskositas dan derajat putih pulp.
Hasil analisis kemudian di-
bandingkan dengan persyaratan SII 1163-84 untuk pulp rayon
biasa.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan dua kali ulangan.
Perlakuan yang dicobakan adalah
komposisi campuran kayu (A) dengan tiga taraf rasio kayu karet : campuran kayu lainnya (50:50, 75:25 dan 100:O) dan
tingkat sulfiditas (B) dengan tiga taraf (20, 25 dan 30%).
Hasil penelitian menunjukkan .bahwa perubahan komposisi
campuran kayu menyebabkan perbedaan pada pengurangan berat
akibat prahidrolisis, rendemen pemasakan, kadar sari, kelarutan dalam NaOH 10 dan 18% dan viskositas pulp.
Kenaikan
tingkat sulfiditas mengakibatkan menurunnya rendemen pemasakan sejalan dengan menurunnya bilangan permanganat pulp.
Secara keseluruhan dari hasil analisis pulp rayon yang
diperoleh sudah memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan SII 1163-84 seperti kadar selulosa alpha, kelarutan dalam NaOH 10 dan 18% dan kadar abu, kecuali kadar sari dan
silika, viskositas dan derajat putih pulp.
PERANAN KOMPOSISI CAMPURAN KAYU DAN TINGKAT
SULFIDITAS TERHADAP SIFAT-SIFAT PULP RAYON
DARI KAYU KARET (Heveu bru.silierrsis Muell Arg)
Oleh
NORZAIN AKHMAD YANI
F21 1119
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat u n t ~ r kmemperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOG I PERTANIAN
pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
1991
FAKULTAS TEKNOLOG I PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
--
PERANAN KOMPOSISI CAMPURAN KAYU DAN TINGKAT
SULFIDITAS TERHADAP SIFAT-SIFAT PULP RAYON
DARI KAYU KARET (Heveu hrusiliertsk Muell Arg)
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk rneinperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NORZAIN AKHMAD YANl
F21 1119
Dilahirkan di Tanjung pada tanggal 19 Desember 1965
Tanggal Lulus 7 September 1991
1
. Wachjuddin Tjiptadi. MS.
\
Dosrn Prnihimhing 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya berkat rahmat dan hidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima-kasih
kepada
:
1. Prof.Dr.Ir.
Wachjuddin Tjiptadi, MS. dan Ir.
Ridwan
A.
Pasaribu selaku dosen pembimbing I dan pembimbing I1 atas
bimbingannya
selama penelitian dan
penyusunan
skripsi
ini,
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor
yang
telah menyediakan sarana dan fasilitas selama penelitian,
3. Ayah,
Ibu
dan Adik-adikku yang
selama
ini
senantiasa
memberikan dorongan moril dan doa,
4. Mbak
Evi, Pak Nawawi, Mas Ismed, Mbak Yoswita
dan
Mbak
Yani yang telah banyak membantu selama penelitian dan
5. Ir. Triyono 'Hangga' Saputro, Ir. Akhmad 'Amad'
lah
dan
rekan-rekan lainnya di AMKS
Lambung
KhairulMangkurat
atas bantuan dan dukungannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
dari
semua
pihak.
Penulis berharap semoga
dari
saran
laporan
ini
bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, September 1991
Penulis
DAFTAR IS1
halaman
...............................
TABEL .................................
GAMBAR ................................
LAMPIRAN ..............................
KATA PENGANTAR
DAFTAR
DAFTAR
DAFTAR
iii
vi
Viii
ix
. PENDAHULUAN ...................................
A . LATAR BELAKANG .............................
B . TUJUAN .....................................
I
I1 . TINJAUAN PUSTAKA
A
. KAYU KARET
..............................
(Hevea brasiliensis Muell Arg)
..
................
1 . Ekaliptus (Eucalyptus sp.) ..............
2 . Jabon (Antocephalus cadamba Miq.) .......
B . BEBERAPA JENIS KAYU LAINNYA
C
3
.
Sengon (Paraserianthes falcataria (L)
Nielsen) ................................
4
.
Pinus (Pinus merkusii
Vriese
Jungh .
et
de
..................................
. DISSOLVIhTG PULP .............................
1. Pengertian Dissolving Pulp ..............
12
.............
13
2 . Persyaratan Mutu Pulp Rayon
.............
I11 . BAHAN DAN METODE PENELITIAN ...................
A . BAHAN ......................................
1. Bahan Baku ..............................
2 . Bahan Penghidrolisis. Pemasak dan Pemutih
3 . Bahan Untuk Analisis ....................
3
.
Proses Pembuatan Pulp Rayon
12
15
25
25
25
25
26
B
.
.................................
PENELITIAN ..........................
ALAT-ALAT
C . METODE
.
2.
3.
4.
1
...................
...........................
26
26
Pembuatan Serpih Kayu
26
Prahidrolisis
27
...............................
Pemutihan ...............................
D . PENGAMATAN .................................
E . RANCANGAN PERCOBAAN ........................
30
..........................
32
Pemasakan
IV . HASIL DAN PEMBAHASAN
A . RENDEMEN DAN BILANGAN PERMANGANAT
1
. Rendemen ................................
32
....................
39
.
.
4.
..
..........................
..............................
Selulosa Alpha
2 . Kadar Sari
5
30
32
B . ANALISIS BEBERAPA SIFAT FISIKO-KIMIA PULP
3
29
..........
2 . Bilangan Permanganat
1
27
.........
....................
41
42
44
Kelarutan dalam NaOH 10 dan 18%
46
Kadar Abu dan Silika
50
. Viskositas ..............................
...........................
V . KESIMPULAN DAN SARAN ..........................
A . KESIMPULAN .................................
6 . Derajat Putih
......................................
PUSTAKA ................................
53
56
59
59
B . SARAN
60
DAFTAR
61
LAMPIRAN
......................................
64
DAFTAR TABEL
halaman
Komposisi kimia kayu karet
...............
5
Hasil analisa beberapa sifat kimia dan fisika 3 jenis kayu ekaliptus
Komposisi kimia kayu jabon
.............. 7
............... . 8
Analisa kimia kayu sengon (Paraserianthes
falcataria (L) Nielsen) pada berbagai
10
umur
.....................................
Sifat dan komposisi kimia kayu pinus .....
Persyaratan untuk pulp rayon biasa .......
Kondisi pemutihan pulp untuk rayon .......
11
15
29
Nilai rata-rata pengurangan berat serpih
hasil'prahidrolisispada berbagai komposisi campuran kayu ....................... 32
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap pengurangan berat serpih hasil pra33
hidrolisis
...............................
Nilai rata-rata rendemen pulp belum putih
pada ber,bagai tingkat sulfiditas dan komposisi campuran kayu ..................... 35
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap pulp belum putih ................... 35
Nilai rata-rata rendemen pulp putih
......
38
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap rendemen pulp putih ................ 38
Nilai rata-rata bilangan permanganat pulp
39
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap bilangan permanganat pulp
40
..........
Tabel 16.
Nilai rata-rata kadar selulosa alpha pulp
Tabel 17.
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan tarhadap kadar selulosa pulp ................ 43
Nilai rata-rata kadar sari pulp
..........
42
44
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar sari pulp .................... 4 5
Nilai rata-rata
NaOH 10%
kelarutan pulp
dalam
.................................
46
Nilai rata-rata kelarutan pulp dalam .
NaOH 18% ................................. 47
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap kelarutan pulp dalam NaOH 10% ...... 4 7
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap kelarutan pulp dalam NaOH 18%
48
......
Nilai rata-rata kadar abu pulp
...........
51
........
51
Nilai rata-rata kadar silika pulp
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar abu pulp ..................... 52
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar silika pulp
52
Nilai rata-rata
..................
viskositas pulp .........
53
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap viskositas pulp
54
....................
.......
Tabel 3 0 .
Nilai rata-rata derajat putih pulp
Tabel 31 .
Daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap derajat putih pulp ................. 57
56
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar
1.
Pengaruh suhu dan waktu pemasakan terhadap penurunan kadar lignin dan karbohidrat pada proses sulfat
.................
22
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran
1.
Daftar peralatan yang digunakan dalam
Penelitian ...........................
Lampiran
2.
Rekapitulasi data penelitian pembuatan pulp rayon dari kayu karet (Hevea
brasiliensis Muell Arg.)
.............
..........
Lampiran
3.
Prosedur penentuan rendemen
Lampiran
4.
Prosedur penentuan bilangan permanganat
Lampiran
5.
Prosedur penentuan kadar selulosa alpha
Lampiran
6.
Prosedur penentuan kadar sari pulp
Lampiran
7.
Cara uji kelarutan pulp dalam alkali
pada suhu 25 OC ......................
Lampiran
8.
Prosedur penentuan kadar abu dan silika .................................
Lampiran
9.
Prosedur pengukuran viskositas pulp
dengan metoda Cannon-Fenske ..........
Lampiran
10.
..................................
.................................
...
Prosedur penentuan derajat putih pulp
Lampiran lla.
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap pengurangan berat
serpih kayu pada waktu prahidrolisis .
Lampiran Ilb.
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap rendemen pulp belum putih hasil pemasakan ............
Lampiran llc.
Hasil uji BNT pengaruh tingkat sulfiditas terhadap rata-rata rendemen pulp
belum putih hasil pemasakan ..........
Lampiran Ild.
Hasil uji BNT pengaruh komposisi camterhadap bilangan permanganat pulp . . .
Lampiran lle.
Hasil uji BNT pengaruh tingkat sulfiterhadap bilangan permanganat pulp ...
Lampiran llf.
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap kadar sari pulp .
Lampiran llg.
Lampiran llh.
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap kelarutan pulp dalam NaOH 10%
.........................
80
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap kelarutan pulp dalam NaOH 18%
80
Hasil uji BNT pengaruh komposisi campuran kayu terhadap viskositas pulp
80
.........................
Lampiran lli.
..
Industri tekstil merupakan salah satu komoditi
ekspor non-migas yang cukup besar menyumbangkan devisa
bagi negara.
Produksi tekstil terus meningkat seiring
dengan tumbuhnya industri-industri yang mendukungnya.
Peningkatan produksi ini antara lain disebabkan oleh
meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya kemampuan
daya beli penduduk serta makin luasnya pasaran ekspor
di luar negeri.
Bahan baku utama dalam industri tekstil adalah kapas, selain itu digunakan pula serat sintetis dan serat
buatan.
Penyediaan kapas untuk industri tekstil masih
merupakan masalah sampai saat ini karena jumlahnya yang
dirasakan belum memenuhi kebutuhan.
Hal ini dapat di-
lihat dari impor kapas yang terus meningkat, yaitu pada
tahun 1986 sebesar 105 406 ton dan tahun 1987 sebesar
129 951 ton (Anonim, 1988).
Salah satu serat buatan yang cukup banyak dibutuhkan adalah serat rayon.
Serat rayon memiliki mutu yang
tidak kalah dari kapas dan dapat dipintal bersama kapas
untuk menghasilkan benang tenun bermutu tinggi.
Bahan
baku yang sering digunakan untuk membuat serat rayon
adalah kayu.
Pembuatan serat rayon di dalam negeri di-
nilai cukup menguntungkan mengingat potensi bahan baku
yang melimpah.
Salah satu potensi yang bisa dimanfaat-
kan adalah kayu dari pohon karet yang sudah tidak produktif lagi serta jenis-jenis kayu yang direncanakan
ditanam pada hutan tanaman industri.
Luas tanaman karet di Indonesia sekitar 3,l,juta
hektar.
Dari luas tersebut 2,7 juta hektar diantaranya
adalah karet rakyat dan seluas 350 000 hektar dari milik petani itu dalam kondisi parah yang perlu secepatnya diremajakan (Anonim, 1991).
Pohon karet (Hevea
brasiliensis Muell Arg.) yang telah berusia lebih dari
25 tahun umumnya menghasilkan lateks dalam jumlah sedikit sehingga dinilai tidak ekonomis lagi untuk disadap.
Jika kayu karet yang sudah tidak disadap lagi ini digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan serat rayon
atau kertas, berarti akan meningkatkan nilai tambahnya
mengingat selama ini lebih banyak hanya digunakan sebagai kayu bakar
Kegunaan kayu karet untuk pulp dan kertas telah
banyak diteliti, tetapi adanya lateks yang dapat disadap dan masih mengalir beberapa waktu setelah pohon ditebang dapat menimbulkan kesukaran-kesukaran dalam pengerjaan (Joedodibroto, 1969).
Kemudian dijelaskan le-
bih lanjut oleh Poeder (1982) bahwa dalam penggunaan
kayu karet sebagai bahan baku pulp, biasanya residu lateks walaupun dalam jumlah yang sedikit akan menimbulkan kesulitan pada proses pemasakan, pencucian dan pemutihan.
Pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku pembuatan pulp rayon sampai saat ini masih dihadapkan pada
kendala seperti di atas, mengingat adanya persyaratan
tertentu yang harus dipenuhi.
Untuk mengatasi ha1 ter-
sebut perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi proses ataupun bahan baku sehingga diperoleh hasil terbaik
yang layak diterapkan.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan antara lain
untuk :
1. Melihat pengaruh pencampuran kayu dan tingkat sulfi-
ditas
terhadap
sifat-sifat pulp
rayon
dari
kayu
karet .
2. Memperoleh
komposisi pencampuran kayu
dan
tingkat
sulfiditas yang optimal untuk menghasilkan pulp
ra-
yon dari kayu karet yang memenuhi persyaratan sesuai
Standar Industri Indonesia (SII).
11. TINJAUAN PUSTAKA
A.
KAYU
KARET (Hevea brasiliensis Muell kg.)
Tanaman karet dalam bahasa Latin disebut Hevea
brasiliensis, termasuk genus Hevea dan famili Euphorbiaceae dan sering disebut para atau balam perak.
Tana-
man ini adalah tanaman daerah tropik dan dapat tumbuh
pada segala jenis tanah dengan ketinggian antara
sampai dengan
600
200
m
m dari permukaan laut (Setyamidjaja,
Tanaman karet mempunyai toleransi terhadap pH
1983).
tanah yang cukup besar, yaitu dapat tumbuh cukup baik
antara pH
lah pH
4,O
3,8
-
-
6,5.
8,
meskipun yang dianggap optimum adaSedangkan curah hujan yang cocok un-
tuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari
optimal antara
gi dalam
100
-
Setyamidjaja,
2500
150
1983)
hingga
4000
2000
m,
mm pertahun yang terba-
hari hujan (Goutara et al.,
1985
dan
.
Pada waktu masih segar kayu teras pohon karet berwarna keputih-putihan namun seqera berubah menjadi coklat karena oksidasi enzimatik dari sejumlah senyawa
phenol yang terdapat dalam rongga sel kayu.
Kayu gubal
berwarna putih, tetapi batas antara kayu gubal dengan
kayu teras tidak dapat ditentukan dngan tegas.
Serat
kayu lurus dengan tekstur yang agak kasar dan rata,
lingkaran tumbuh tampak jelas karena warna kayu awal
lebih terang dari kayu akhir (Martawijaya,
1972).
Kayu karet mempunyai berat jenis rata-rata 0,53
yang terdiri dari serat 58,5%, vessel 10,7% dan sel-sel
parenkim 30,5% (Martawijaya, 1972).
Menurut Alaudin et
dl. (1973), seperti umumnya kayu daun lebar lainnya maka kayu karet berserat pendek
,
yaitu 1,27
Diameter serat antara 1,55 sampai 22,O
p
dinding sel yang relatif tipis, yaitu 2,4
-
1,50 mm.
dengan tebal
-
2,9
p.
Analisa kimia kayu karet menunjukkan kadar pentosan yang tinggi (20,0%) sedang kadar lignin relatif
rendah jika dibandingkan dengan kayu-kayu tropis lainnya.
Dari analisa kimia ini dapat diramalkan bahwa pe-
masakan dan pemutihan pulp cukup mudah karena kadar
lignin yang rendah, tetapi kadar pentosan yang tinggi
kurang menguntungkan dalam penyediaan pulp untuk rayon
Tabel 1.
-
Komposisi Kimia Kayu ~aret*)
-
Jenis analisa
Selulosa total
Alpha selulosa
Pentosan
Lignin
Ekstrak alkohol-benzen
Kelarutan dalam : air panas
air dingin
NaOH 1%
Abu
*)Alaudin et al. (1973)
Kadar ( % )
(Joedodibroto, 1969).
Selanjutnya menurut Sibatuara
(1973), kayu karet mengandung abu 0,75%, lignin 25,38%,
selulosa 52,88% dan pentosan 19,50%.
Pada Tabel 1 da-
pat dilihat komposisi kimia kayu karet.
B. BEBERAPA JENIS K ~ Y ULAINNYA
1. Ekaliptus (Eucalyptus Sp. )
Ekaliptus termasuk dalam ordo Myrtales dan famili Myrtaceae yang memiliki ratusan jenis (spesies).
Blakely (1934, di dalam Pratiwi, 1984) men-
catat ada sebanyak 605 spesies dan varietas, sedangkan Pryor dan Johnston (1971, d i dalam Pratiwi,
1984) mencatat sebanyak 500 spesies dan sub-spesies.
Ekaliptus merupakan suatu jenis pohon yang cepat pertumbuhannya sehingga siklus penebangannya
menjadi pendek.
Jenis pohon ini dapat tumbuh di da-
taran rendah maupun dataran tinggi, yaitu berkisar
antara 300 hingga 2000 m di atas permukaan laut
(Suhendi dan Djapilus, 1978).
Beberapa jenis ekaliptus tumbuh secara alamiah
maupun sengaja ditanam di luar Australia dengan kecepatan yang baik dibandingkan dengan jenis lainnya
yang tumbuh di Australia.
Eucalyptus deglupta dan
Eucalyptus urophylla tercatat sebagai jenis yang cepat pertumbuhannya di daerah tropis.
Walaupun jumlahnya cukup banyak, tidak semua
jenis ekaliptus telah diusahakan secara ekonomis,
baik karena pertumbuhannya yang lambat maupun karena
kualitas kayunya yang kurang baik.
(1969,
Menurut Watson
di dalam Pertiwi, 1 9 8 4 ) , kegunaan utama kayu
ekaliptus adalah dalam pembuatan pulp dengan proses
sulfat.
Di Brazil, 8 0 % dari jenis ekaliptus yang
ditanam terdiri dari Eucalyptus saliqna dan Eucalyptus urophylla (Eucalyptus a l b a ) , kayunya banyak di-
pakai sebagai bahan baku pembuatan pulp sulfat
(kraft).
Pohon yang paling disukai adalah yang ber-
usia antara 5
25 cm.
-
8 tahun dengan diameter 8 hingga
Pulp sulfat yang diperoleh dari pohon seper-
ti ini adalah sekitar 59%.
Beberapa sifat kimia dan fisika tiga jenis kayu
ekaliptus yang dilaporkan oleh Pratiwi ( 1 9 8 4 ) dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Hasil Analisa Beberapa Sifat Kimia dan Fisika 3 Jenis Kayu ~kali~tus*)
Analisa
Abu ( % )
Sari ( % )
Lignin ( % )
Alpha selulosa ( % )
Holoselulosa ( % )
Pentosan ( % )
Panjang serat rata-rata (mm)
* ) Pratiwi (1984)
E.alba
E.saliqna
E.urophylla
0,85
2,16
28,71
38,96
72,99
12,21
0,27
1,85
21,lO
33,32
72,88
11,58
0,25
2,38
23,80
35,46
73,07
13,66
1,28
1,38
1,33
2.
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Anthocephalus cadamba Miq. atau dikenal dengan
nama lokal jabon, termasuk famili Rubiaceae.
Tanam-
an ini tumbuh menyebar pada ketinggian 1000 m dari
permukaan laut dan tumbuh baik pada tempat-tempat
beriklim monsoon dengan tanah alluvial yang dalam
dan lembab (Grijpma, 1967 di dalam Suwandi, 1973).
Pertumbuhan jabon dapat mencapai tinggi antara
15 sampai 30 m dengan diameter antara 40
-
60 cm.
Riap volume yang dicapat tercatat 13 hingga 21 m3
per ha per tahun.
sar antara 10
-
Pada umur 9 tahun diameter berki42,20 cm atau rata-rata 25,31 cm
dengan tinggi 9,53 sampai 26,7 m atau rata-rata
17,61 m (Grijpma, 1967 di dalam Suwandi, 1973).
Tabel 3.
Komposisi Kimia Kayu Jabon
Komposisi Kimia
Abu
Lignin
Pentosan
Holoselulosa
Selulosa terhadap
holoselulosa
Selulosa
-
Kadar (%)a
3,92
29,03
16,42
60,48
-
a)Sachur (1966, di dalam Suwandi, 1973)
b)Grijpma (1967, di dalam Suwandi, 1973)
Kadar
It9
25,6
24,l
-
(%)
Menurut Monsalud dan Lopez (1967, di dalam Suwandi, 1 9 7 3 ) , panjang serat dari kayu jabon ratarata 1,44 mm dengan diameter lumen 3 0 sampai 3 5 p .
Komposisi kimia kayu jabon menurut Suwandi ( 1 9 7 3 )
dapat dilihat pada Tabel 3.
3. Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
Paraserianthes falcataria (L) Nielsen sudah lama dikenal oleh masyarakat luas di pulau Jawa dan di
Jawa Barat dikenal dengan nama jeunjing atau sengon.
Tanaman ini termasuk dalam famili Mimosaceae, berasa1 dari Maluku dan sudah ditanam secara meluas di
pulau Jawa dan Kalimantan.
Selain itu terdapat pula
di Sumatera, Sulawesi Utara dan Irian Jaya (Indriati
et al., 1985).
Tanaman ini tumbuh menyebar dari dataran rendah
sampai ketinggian 1 5 0 0 m dari permukaan laut pada
tanah subur sampai sedang dengan musim kemarau yang
sangat lembab sampai kelembaban sedang.
Sifat per-
tumbuhan yang cepat dan dapat membantu menyuburkan
tanah menyebabkan digunakannya tanaman ini untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis melalui program reboisasi dan penghijauan.
Tinggi tanaman sengon dapat mencapai 4 5 m dengan diameter lebih dari 100 cm.
Pada tanah dengan
tingkat kesuburan yang baik, pertambahan tinggi ra-
ta-rata per tahun sampai umur 5 tahun adalah kurang
lebih 4 m, kemudian berkurang dengan cepat pada tahun-tahun berikutnya.
Riap tanaman pada umur 6 ta-
hun sudah menghasilkan kayu sebesar 14,16 m3 atau
kurang-lebih 10 ton per are setiap tahun (Indriati
et a1.,1985).
Menurut Sibatuara (1973), komposisi
kimia dari kayu sengon antara lain adalah kadar abu
0,68%, lignin 24,74%, pentosan 15,40% dan selulosa
49,16%.
Sedangkan komposisi kimia kayu sengon me-
nurut Pratiwi (1983) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.
Analisa Kimia Kayu Sengon (Paraserianthus
falcataria (L) Nielsen) pada berbagai umur*)
Sifat Kimia ( % )
3 thn
5 thn
8 thn
Holoselulosa
Alpha selulosa
Pentosan
Lignin
Kelarutan dalam :
Air dingin
Air panas
NaOH 1%
73,39
45,69
15,81
23,19
70,49
42,38
13,64
23,55
72,09
43,89
16,40
23,23
3,08
4,82
16,46
4,21
5,03
16,93
3,60
4,29
15,50
* ) Pratiwi (1983)
4. Pinus (Pinus rnerkusii Jungh. et de Vriese)
Menurut Anonim (1979) dan Samingan (1982), Pinus merkusii Jungh. et de Vriese yang dikenal dengan
nama-nama daerah : tusam, sala, uyeum, sulu, huyam,
sugi, sigi dan pinus adalah termasuk famili Pinaceae, tersebar secara alami mulai dari Burma, Muangthai, Kamboja, Laos, Vietnam sampai ke Sumatera
dan
tumbuh pada ketinggian 500 - 2000 m dari permukaan
laut.
Kayu pinus termasuk kayu ringan-sedang dalam
-
beratnya dengan berat-jenis antara 0,46
0,70,
tetapi bagian yang mengandung resin kadang-kadang
mencapai berat-jenis 0,95. Jenis kayu ini
kelas kuat 11-111 dan kelas awet IV.
gubal setebal 6
-
termasuk
Bagian kayu
8 cm berwarna putih atau kekuning-
kuningan, sedangkan kayu teras berwarna lebih coklat
tua atau kemerah-merahan.
Kayu jenis ini terutama
banyak digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan
pulp kertas dengan proses soda, mekanis atau proses
sulfat (Samingan, 1982).
Sifat dan komposisi kimia kayu pinus menurut
Sudradjat (1979) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5.
Sifat dan Komposisi Kimia Kayu pinus*)
Sifat dan Komposisi Kimia
Selulosa
Lignin
Pentosan
Kelarutan dalam : air panas
air dingin
alkohol-benzen
* ) Sudrajat
(1979)
Kadar ( % )
43,9
24,3
14,O
3,2
0,4
6,3
B. DISSOLVING PULP
1. Pengertian Dissolving Pulp
Pulp adalah bahan berserat yang diperoleh dari
hasil pengolahan bahan berserat ligno-selulosa dan
digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas, rayon
serta derivat selulosa lainnya.
Menurut Casey
(1952), proses pembuatan pulp ada tiga cara, yaitu
mekanis, kimia dan semi-kimia.
Proses
mekanis
dilakukan dengan cara menghancurkan kayu atau bahan
baku lainnya menjadi serat dengan menggunakan alat
mekanis, seperti batu gerinda.
Proses secara kimia
meliputi pemasakan bahan baku dengan bahan kimia untuk melarutkan lignin dan bahan-bahan non-selulosa
lainnya, mengisolasi serta memurnikan serat-serat.
Ada tiga macam proses kimia yang penting, yaitu
proses soda, sulfat dan sulfit.
Proses secara semi-
kimia merupakan perpaduan dari kedua cara sebelumnya
dimana bahan yang akan digiling terlebih dahulu
diberi perlakuan kimia
Umumnya proses pembuatan pulp ditujukan untuk
memproduksi bahan baku pulp untuk kertas, tetapi
disamping itu juga ditujukan untuk pembuatan rayon.
Thomas (1970)
menjelaskan bahwa dalam pembuatan
kertas, kualitas fisik serat merupakan persyaratan
utama.
Komposisi kimia serat tidak terlalu diper-
hatikan kecuali bila mempengaruhi sifat fisik serat.
Pada beberapa produk selulosa lainnya, faktor-faktor
tersebut malah menjadi sebaliknya.
Produk-produk
yang dibuat dengan proses kimia dan selulosa biasanya terlarut dalam larutan, komposisi kimia dari
pulp merupakan perhatian utama.
Pulp yang digunakan
dalam proses kimia yang demikian disebut dengan
dissolving pulp atau selulosa kimia.
Dissolving
pulp dapat pula didefinisikan dengan pulp yang
memiliki tingkat kemurnian selulosa yang tinggi.
Selain digunakan untuk rayon, dissolving pulp
digunakan pula untuk pembuatan selopan, metil-selulosa, etil-selulosa, nitro-selulosa, selulosa asetat
dan turunan selulosa lainnya.
Pulp untuk maksud
tersebut haruslah relatif bebas dari pentosan dan
selulosa yang tidak berkualitas serta kandungan
bahan bukan selulosa lainnya.
Terdapatnya bahan-
bahan ini akan mengurangi mutu dissolving pulp, sehingga pulp yang dihasilkan menjadi kurang cerah,
mengurangi kemampuan pemurnian bahan kimia dan
mengurangi sifat fisiko-kimia turunan selulosa
(Olsen, 1938) .
2. Persyaratan Mutu Pulp Rayon
Menurut Joedodibroto (1972), dissolving pulp
sebagai bahan baku untuk pembuatan serat rayon ha-
ruslah memenuhi persyaratan kimiawi tertentu.
Ber-
beda dengan pulp untuk kertas, adanya hemiselulosa,
pentosan dan zat-zat non selulosa lainnya tidak menyebabkan penurunan kualitas kertas, bahkan kadangkadang diinginkan karena menaikkan rendemen dan memberikan sifat-sifat tertentu, maka sebaliknya untuk
pulp rayon, adanya zat-zat bukan selulosa tersebut
sedapat mungkin harus dihilangkan.
Selanjutnya di-
tambahkan pula oleh Poeder (1982) bahwa pulp yang
digunakan untuk pembuatan rayon haruslah mempunyai
kandungan alpha selulosa yang tinggi, minimal 90%.
Menurut Salihima dan Fatah (1982), pulp untuk
rayon haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain keseragaman kualitas.
Proses pembuatan pulp
yang betul-betul sempurna sehingga keseragaman kualitas dapat dicapai serta bebas dari zat-zat nonselulosa merupakan faktor yang penting.
Selanjutnya
walaupun suatu pulp rayon telah memenuhi persyaratan
kimia, belum berarti secara otomatis telah baik untuk dibuat rayon karena masih ada faktor-faktor lain
seperti kondisi proses, peralatan, jenis serat yang
akan dibuat dan lain-lain ha1 yang menentukan kualitas serat rayon.
laudi in dan Joedodibroto (1972) menyatakan bahwa standar kemurnian untuk rayon dalam dunia perdagangan adalah (a) alpha selulosa 91 - 93%, (b) beta
dan gamma selulosa 6 - 10% dan (c) pentosan 2 - 3%.
Sedangkan persyaratan pulp unuk rayon biasa menurut
Standar Industri Indonesia (SII) dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Persyaratan Untuk Pulp Rayon .~iasa*)
Parameter
Satuan
Alpha selulosa
Kelarutan dalam NaOH 18%
Kelarutan dalam NaOH 10%
Sari (alkohol-benzen)
Abu
Silika (sebagai Si02)
Kalsium (sebagai Ca)
Besi (sebagai Fe)
Viskositas (Cupram)
Derajat putih (GE)
Variasi kadar air
Nilai
min.
mak.
rnak .
rnak
rnak
rnak .
rnak .
rnak
min.
min.
.
.
.
k
Proses Pembuatan Pulp Rayon
Proses pembuatan pulp untuk rayon tidak sama
dengan pembuatan pulp untuk kertas.
Pulp untuk ra-
yon diproses sedemikian rupa sehingga diperoleh pulp
dengan tingkat kemurnian yang tinggi (Alaudin,
1982).
Tahapan dalam pembuatan pulp untuk rayon
adalah prahidrolisis, pemasakan dan pemutihan.
a. Prahidrolisis
Adanya perlakuan tambahan sebelum proses pemasakan dalam pembuatan pulp rayon merupakan modifikasi dari pembuatan pulp kertas, dimana perlakuan pendahuluan ini dikenal sebagai proses
prahidrolisis (Pooder, 1982).
Menurut Alaudin
(1982), pembuatan pulp rayon dengan proses sulfat
saja tidak dapat menghasilkan pulp yang murni seperti yang dikehendaki, karena sebagian hemiselulosa menjadi tahan terhadap reaksi basa sehingga
akan tetap berada dalam serat.
Kesulitan terse-
but dapat diatasi dengan mengolah serpih kayu melalui proses prahidrolisis sebelum dilakukan pemasakan dengan sulfat.
Adanya proses tersebut
menyebabkan serpih kayu menjadi lunak atau mengembang sehingga memudahkan penyerapan bahan kimia selama proses pemasakan.
Selanjutnya Wenzl
(1970) menyatakan bahwa proses prahidrolisis da-
pat mengurangi rendemen serta kandungan lignin
dan akan meningkatkan kandungan alpha selulosa
Pulp
Zhan dan Chen ( 1 9 8 3 ) menyatakan bahwa pada
dasarnya prahidrolisis akan mengakibatkan perombakan hemiselulosa dan lignin serta terjadinya
perubahan struktur kimia dari kayu.
Hemiselulosa
yang terombak dan terlarutkan terdiri atas gula-
gula pentosan dan heksosan baik dalam bentuk polimer ataupun gula bebas seperti xylosa, galaktosa, arabinosa dan lain sebagainya (Parekh et
al., 1977).
Proses prahidrolisis dapat dilakukan dengan
menggunakan air atau asam encer (Joedodibroto,
1972).
Penggunaan media air dalam proses prahi-
drolisa lebih menguntungkan karena lebih murah
dan kemungkinan terjadinya peristiwa degradasi
terhadap selulosa lebih kecil (Bawagan dan Faulmino, 1978).
Penggunaan uap panas lebih mem-
percepat waktu prahidrolisis dan menghemat energi
serta tidak menimbulkan air buangan yang dapat
menimbulkan polusi (Alaudin, 1984).
Menurut Wenzl (1970), variabel yang mempengaruhi prahidrolisis adalah suhu dan waktu.
Pe-
nelitian mengenai pengaruh suhu dan waktu terhadap proses prahidrolisis telah dilakukan.
Pe-
ningkatan suhu dan lamanya waktu pada proses prahidrolisis akan meningkatkan kadar alpha sellosa, tetapi kandungan pentosan dan rendemen pulp
akan menurun.
Joedodibroto (1972) mengemukakan bahwa apabila suhu prahidrolisis yang dipakai relatif rendah atau dibawah suhu 150
OC,
putih masih relatif tinggi.
kadar pentosan pulp
Selanjutnya menurut
Wenzl (1970), penggunaan suhu prahidrolisis diatas
160
akan menurunkan rendemen pulp dan degrada-
OC
si selulosa semakin meningkat.
prahidrolisis di atas 170
OC
Penggunaan suhu
pada jangka waktu
yang lebih panjang akan semakin banyak menurunkan
kandungan alpha selulosa.
Dari hasil penelitian terhadap pulp sulfat
kayu karet yang dihidrolisis dengan air pada suhu
120
-
150 OC, menunjukkan bahwa pada kondisi ini
tidak mampu mendegradasi pentosan.
Sebagai gam-
baran, pulp putih yang mengalami proses prahidrolisis pada 120
OC
mengandung pentosan 7,58%, pada
mengandung pentosan 7,62%, pada suhu
135
OC
150
OC
mengandung pentosan 6,12% dan pada suhu
160
OC
mengandung pentosan 3,10% (Joedodibroto,
1972).
b. Pemasakan
Proses pembuatan pulp untuk rayon umumnya
dilakukan dengan proses kimia mengingat tingkat
kemurniannya yang tinggi.
Terdapat tiga macam
proses kimia yaitu proses sulfit (menggunakan larutan asam), proses sulfat dan soda (menggunakan
larutan basa) .
Dalam pembuatan pulp rayon, proses sulfit
lebih menguntungkan karena menghasilkan pulp yang
relatif lebih mudah diputihkan dan dimurnikan namun kurang sesuai untuk kayu daun lebar sebab sangat peka terhadap jenis kayu yang memiliki kandungan resin tinggi (Alaudin dan Joedodibroto,
1972).
Menurut Casey (1952), resin yang terdapat
pada kayu dapat dikeluarkan dengan proses sulfat
dalam bentuk crude tall oil.
Casey (1952) menyatakan bahwa proses sulfat
menghasilkan pulp yang lebih banyak dan kekuatannya umumnya 50% lebih besar dibandingkan pulp
yang dihasilkan dengan proses soda.
Selain itu
karena pengaruh sodium sulfit yang lunak, kerusakan yang terjadi pada bahan selulosa lebih sedikit.
Selanjutnya ditambahkan oleh Bryce (di
dalam Casey, 1980), bila dibandingkan dengan pulp
soda, pulp sulfat relatif lebih baik dalam ha1
kualitas dan ongkos produksi lebih murah serta
rendemennya lebih besar.
Beberapa keuntungan
dari proses sulfat adalah fleksibel dalam bahan
baku, waktu pemasakan singkat, pulp dapat diputihkan sampai derajat kecerahan tinggi, kekuatan
pulp tinggi dan bahan pemasak mudah didaur ulang.
Sedang kelemahannya antara lain investasi yang
tinggi untuk pabrik, masalah bau gas buangan dan
biaya pemutihan.
Pembuatan pulp dengan proses sulfat menggunakan bahan pemasak berupa NaOH dan Na2S yang dinyatakan sebagai alkali aktif.
Alkali aktif ini
sangat selektif dan aktif menghilangkan bahanbahan non-selulosa terutama lignin, pada suhu,
tekanan dan konsentrasi yang sesuai (Britt, 1970)
Konsentrasi alkali aktif pada pembuatan pulp sulfat umumnya antara 15 - 25%.
Penggunaan dibawah
15% menyebabkan pemasakan kurang sempurna dan bila dilakukan diatas 25% menyebabkan degradasi selulosa yang berlebihan (Casey, 1952).
Menurut Casey (1952), penambahan natrium
sulfida (Na2S) pada proses sulfat akan menaikkan
kandungan natrium hidroksida fNaOH) pada larutan
pemasak dan yang lebih penting lagi menghasilkan
-mahidrosulfida yang sangat menguntungkan pada psakan.
Hidrosulfida bertindak sebagai buffer dan
cenderung memperkecil efek degradasi hidroksida
terhadap selulosa.
Efek terpenting dari hidro-
sulfida adalah reaksinya dengan lignin membentuk
thiolignin atau gugus SNa yang memungkinkan lignin lebih mudah larut (Clayton, 1969).
Reaksi yang terjadi pada penambahan natrium
sulfida adalah
Na2S + H20
=NaOH
+
NaSH.
Persentasi natrium sulfida pada larutan pemasak
berdasarkan total alkali yang dapat dititrasi dikenal sebagai sulfiditas larutan (Casey, 1952).
Dikatakan oleh Casey (1952) bahwa pada proses sulfat komposisi larutan pemasak atau sulfiditas merupakan perbandingan antara natrium sulfida dengan campuran natrium sulfida dan natrium
hidroksida yang dinyatakan dalam persen.
Dalam
proses sulfat, sulfiditas yang banyak digunakan
berkisar antara 20 sampai 30% dimana sulfiditas
25% memberikan hasil rata-rata yang terbaik.
Menurut Casey (1952), pada proses sulfat suhu maksimum yang biasa digunakan berkisar antara
160 hingga 180 OC, sedangkan waktu pemasakan berkisar antara 1 sampai 5 atau 6 jam tergantung pada jenis pulp yang ingin dihasilkan.
Selanjutnya
dijelaskan oleh Clayton (1969) bahwa suhu pemasakan dibawah 170
OC
tidak akan memberikan keun-
tungan baik dari segi hasil maupun kualitas pulp,
tetapi suhu diatas 180
OC
menyebabkan degradasi
selulosa yang semakin besar.
Casey (1952) dan Libby (1962) mengemukakan
bahwa waktu dan suhu pemasakan serta konsentrasi
bahan pemasak berhubungan erat satu sama lainnya.
Apabila pemasakan menggunakan suhu dan konsentrasi larutan yang tinggi maka waktu pemasakan yang
dibutuhkan akan lebih singkat.
Pelarutan kompo-
nen kimia kayu akan berlangsung semakin besar sejalan dengan kenaikan suhu dan waktu pemasakan
sulfat yang dapat dilihat pada Gambar 1.
glucan +
galactan
xylan
rnannan
}~ignin
waktu pemasakan ( j a m )
m 12, WIT^
0
suhu pemasakan ( C )
Gambar 1.
Pengaruh suhu dan waktu pemasakan terhadap penurunan kadar lignin dan karbohidrat pada proses sulfat (Yilner et a l . di
dalam Rydholm, 1965)
c. Pemutihan
Selulosa murni berwarna putih tetapi selulosa yang biasa diperdagangkan mengandung kotorankotoran yang tidak pernah dapat dihilangkan secara sempurna pada pemasakan sehingga pulp tidak
berwarna putih.
Proses pemutihan bertujuan untuk
mendapatkan pulp berwarna putih yang stabil dan
diperoleh dengan biaya yang layak serta kerusakan
seminimum mungkin terhadap sifat-sifat fisika dan
kimia pulp (Casey, 1952).
Proses pemutihan dalam pembuatan pulp rayon
diperlukan terutama bila menggunakan proses sulfat.
Proses pemutihan yang biasa diterapkan pada
proses sulfit sukar diterapkan pada proses sulfat
karena pulp sulfat lesih sukar diputihkan (Casey,
1952).
Alaudin dan Joedodibroto (1972) menyata-
kan bahwa umumnya proses pemutihan yang digunakan
dalam proses pembuatan pulp rayon adalah pemutihan bertingkat lima yang diakhiri dengan pengasaman.
Kelima tingkat proses pemutihan tersebut
adalah klorinasi (C), ekstraksi pertama (El), hipoklorit pertama (HI), ekstraksi kedua (E2), hipoklorit kedua (HZ) dan pengasaman.
~lorinasimerupakan bagian penting pada pemutihan lima tingkat dari pulp sulfat, karena
klorin secara selektif beraksi terhadap thiolignin, melarutkan lignin tanpa merusakkan kekuatan
serat.
Selanjutnya Singh (di dalam Britt,
1970)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
klorinasi adalah konsentrasi klorin, konsistensi,
suhu, waktu serta pH.
Ditambahkan oleh Casey
(1952) bahwa kebutuhan klorine adalah 50 sampai
60% dan suhu biasanya dijaga antara 25 sampai
30 OC sedangkan konsistensi antara 3 hingga 5%.
Konsistensi yang tinggi diinginkan untuk menjaga
agar pH tetap rendah ( 1 5 - 2 ) dan tetap tingginya konsentrasi klorin efektif.
Ekstraksi denqan alkali digunakan untuk
menghilangkan lignin yang terklorinasi pada waktu
klorinasi pulp serta menghilangkan hemiselulosa
dari serat.
Selain itu ekstraksi alkali pada
proses pemutihan pulp juga menghasilkan penghematan dalam penqqunaan bahan-bahan kimia untuk
proses pemutihan pulp (Meller et al., 1969 di dalam Britt, 1970).
Tahapan pemberian hipoklorit adalah proses
dimana terjadi perubahan warna pulp dari belum
putih menjadi putih.
Bahan pemutih yang diguna-
kan biasanya natrium hipoklorit dan kalsium hipoklorit.
Tahapan ini juga memberikan pengaruh
terhadap kandungan selulosa pada pulp. Penyerangan terhadap selulosa dipengaruhi oleh suhu, waktu
pemutihan, pH, konsistensi serta konsentrasi hipoklorit (Larsen, 1970).
Menurut Alaudin dan Joedodibroto (1972) proses pengasaman pada tingkat terakhir dimaksudkan
untuk mengikat dan melarutkan ion-ion logam yang
berasal dari pulp atau lingkungan dan juga untuk
menstabilkan warna pulp.
Bahan kimia yang biasa-
nya digunakan untuk proses pengasaman ini adalah
asam oksalat, HC1, HCOOH, SO2 dengan pH sekitar 4.
111. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
A. BAHAN
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi
bahan baku, bahan untuk hidrolisis, bahan pemasak, bahan pemutih dan bahan untuk analisis.
1. Bahan Baku
Pada penelitian digunakan bahan baku berupa kayu karet (Hevea brasiliensis Muell Arg. ) dari Kebun
Percobaan Darmaga, Bogor dan campuran beberapa jenis
kayu yang berasal dari hutan percobaan Pusat Penelitian Hutan di Haurbentes, Bogor, yaitu Ekaliptus
(Eucalyptus sp.), kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen), kayu jabon (Anthochephalus cadamba Miq.) dan kayu pinus (Pinus merkusii Jungh. et
de Vriese).
2. Bahan Untuk Hidrolisis, Pemasak dan Pemutih
Pada proses hidrolisis serpih kayu sebelum dimasak digunakan air dan untuk pemasakan hasil prahidrolisis digunakan proses sulfat dengan
Na2S sebagai larutan pemasak.
NaOH dan
Untuk pemutihan digu-
nakan asam klorida (HCl), NaOH, natrium hipoklorit
(NaOC1) dan gas klor (el2).
3. Bahan untuk Analisa
ah an
kimia yang diperlukan untuk analisa pulp
adalah natrium hidroksida
(NaOH), asam asetat
(CH~COOH),natrium tiosulfat (Na2S203), asam sulfat
(HZS04), kalium dikromat (K2Cr20,), kalium iodida
(KI), larutan kanji, asam klorida (HC1), larutan
ploroglucinol, larutan cuoxam, metanol, logam Cu,
ferroamonium sulfat (Fe(NH4)2(S04)2.6H20), indikator
ferroin dan alkohol benzene.
Peralatan yang digunakan meliputi alat untuk persiapan proses, proses dan analisis pulp.
Daftar per-
alatan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
C. METODE PENELITIAN
Secara umum penelitian ini meliputi empat tahapan
proses, yaitu persiapan bahan baku (untuk membuat serpih kayu atau chips), prahidrolisis, pemasakan dan pemutihan
.
1. Pembuatan Serpih Kayu
Setiap jenis kayu yang telah dipisahkan dari
kulitnya, dibuat menjadi serpih dengan ukuran panjang 2,O - 3 , O cm, lebar 1,5 - 2,O cm dan tebal 0,2
-
0,3
cm.
Serpih tersebut dihamparkan di dalam
ruangan selama 2
-
3 hari sampai mencapai kering
udara dan kemudian diukur kadar airnya.
Serpih kayu
selanjutnya dicampur dengan perbandingan kayu karet
: campuran kayu lainnya sebesar 50 : 50, 75 : 25 dan
loo : 0 (campuran kayu dari sengon, pinus, jabon dan
ekaliptus dibuat dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 1
berdasarkan bobot kering oven).
2.
Prahidrolisis
Sebelum menjalani proses pemasakan, serpihan
kayu yang telah dicampur terlebih dahulu menjalani
proses prahidrolisis.
Bahan penghidrolisis yang di-
gunakan adalah air dengan perbandingan air : serpih
sehesar 4
: 1, suhu maksimum 160 OC dan lama waktu
pada suhu maksimum satu jam.
Proses prahidrolisis
ini dilakukan di dalam digester berputar.
Setelah lama waktu pada suhu maksimum dicapai
(satu jam), proses prahidrolisis dihentikan dan serpihan dikeluarkan untuk dicuci.
Serpihan kemudian
dihamparkan di dalam ruangan untuk menyeragamkan kadar airnya.
Kadar air diukur untuk menentukan jum-
lah contoh dalam pemasakan.
3. Pemasakan
Serpih kayu yang telah diprahidrolisa selanjutnya dimasak dengan menggunakan proses sulfat pada
ketel pemasak berputar (rotary digester).
Kondisi
pemasakan dibuat sama kecuali tingkat sulfiditas,
yaitu alkali aktif 17% (berdasarkan berat kering
oven serpih), tiga tingkat sulfiditas (20%, 25% dan
30%), perbandingan larutan pemasak dengan kayu adalah
4 : 1, suhu pemasakan maksimum 175
pemasakan seluruhnya 3,5 jam.
OC
dan lama
Lama pemasakan dibagi
kedalam dua tahap, yaitu 2 jam pertama untuk mencapai suhu maksimum dan 1,5 jam terakhir pada suhu
maksimum.
Proses pemasakan dihentikan setelah lama pemasakan pada suhu maksimum dicapai.
Klep dibuka untuk
menghilangkan tekanan dan udara panas, kemudian pulp
dikeluarkan untuk dicuci dan diperas dengan air bersih agar cairan hitamnya keluar dan bebas alkali.
Pulp selanjutnya diurai seratnya dengan alat pengurai serat, disaring dengan alat penyaring berukuran
60 mesh dan dikeluarkan airnya dengan alat sentri-
fuse.
Pulp yang dihasilkan setelah proses pemasakan
ini dinamakan pulp yang belum diputihkan (unbleached
pulp).
Pulp ini masih mengandung sisa lignin yang
belum terlarut pada waktu pemasakan.
4. Pemutihan
Proses pemutihan dilakukan dalam lima tahap,
yaitu tahap klorinasi dengan air klor, tahap ekstraksi pertama dengan natrium hidroksida (NaOH), tahap hipoklorit pertama dengan natrium hipoklorit
(NaClO), tahap ekstraksi kedua dengan natrium hidroksida, tahap hipoklorit kedua dengan natrium hipoklorit
dan pengasaman dengan asam klorida
Tabel 7.
Kondisi Pemutihan Pulp Untuk Rayon
Tahap
Pemberian dalam
C12
NaOH
Klorinasi
Ekstraksi I
Hipoklorit I
Ekstraksi I1
Hipoklorit I1
Pengasaman
65,O
x CN*)
-
24,5
x CN
*)CN
=
-
10,5
x CN
-
bilangan C12 =
112
-
%
(HC1).
suhu waktu konsistensi
(OC) (jam)
(8)
kamar
1
3,5
I t 5
60
40
1
3
4,5
1,5
60
1
4,5
40
3
4,5
1
2,5
-
kamar
5,O
bilangan permanganat
Pada setiap akhir tahapan dilakukan pencucian untuk
menghilangkan setiap sisa lignin yang larut dalam
alkali atau untuk setiap sisa bahan pemutih yang
berlebih supaya tidak mengganggu proses selanjutnya.
Kondisi pemutihan pada setiap tahap dapat dilihat
pada Tabel 7.
D. PENGAMATAN
Sebelum proses pemasakan dilakukan pengukuran
pengurangan bobot akibat proses prahidrolisisis dan setelah proses pemasakan dilakukan penentuan rendemen dan
bilangan permanganat (SII 0530 - 81) pulp belum putih.
Setelah proses pemutihan dilakukan penentuan rendemen
pulp putih, kadar selulosa alpha (SII 1658
-
85), ke-
larutan dalam NaOH 10% dan 18% (SII 1294 - 85), kadar
sari (SII 1293 - 85), kadar abu dan silika (SII 1292
-
84), viskositas (SII 1157 - 84) dan derajat putih pulp
(SII 0473
-
81).
Prosedur lengkap setiap analisis da-
pat dilihat pada Lampiran 3
E.
-
10.
RANCANGAN PERCOBAAN
Untuk melihat pengaruh setiap perlakuan secara
statistik, digunakan rancangan acak lengkap dengan percobaan faktorial.
Dari tiga taraf perlakuan pada kom-
posisi campuran kayu (50%, 75% dan 100% kayu karet) dan
tiqa taraf perlakuan tinqkat sulfiditas (20%, 25% dan
30%) diperoleh sembilan kombinasi perlakuan.
Ulangan
percobaan dilakukan sebanyak dua kali.
Model rancangan percobaan adalah sebagai berikut :
Yijk
= nilai pengamatan akibat pengaruh komposisi cam-
puran kayu ke-i dan tingkat sulfiditas ke-j pada ulangan ke-k
c
I.1
=
nilai rata-rata harapan
Ai
=
pengaruh
faktor komposisi campuran kayu
pada
taraf ke-i
Bj
=
pengaruh
faktor tingkat sulfiditas pada
taraf
ke-j
ABij
=
pengaruh
interaksi faktor
komposisi
campuran
kayu pada taraf ke-i dengan faktor tingkat sulfiditas pada taraf ke-j
'ijk
=
kekeliruan unit percobaan ke-k dalam
kombinasi
perlakuan ke-ij
i
=
j
= 1, 2, 3
k
=
1, 2, 3
1, 2.
Berdasarkan model tersebut di atas, untuk mengetahui nyata-tidaknya pengaruh faktor A, faktor B dan
interaksi kedua faktor maka dilakukan analisis keragaman (ANAVA).
Selanjutnya untuk mengetahui taraf pada
perlakuan yang berpengaruh nyata, dilakukan uji beda
nyata terkecil (Least Square Difference).
IV. HASIL DAN PENBAHASAN
A. RENDENEN DAN BILANGAN PERMANGANAT
Data lengkap hasil pengamatan pengurangan berat
serpih kayu setelah proses prahidrolisis, rendemen dan
bilangan permanganat pulp belum putih serta rendemen
pulp putih dapat dilihat pada Lampiran 2.
1. Rendemen
Nilai rata-rata pengurangan berat serpih setelah proses prahidrolisis pada berbagai komposisi
campuran kayu disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai rata-rata pengurangan berat
hasil prahidrolisis pada berbagai
sisi campuran kayu
Komposisi Campuran
Kayu Karet
serpih
kompo-
Pengurangan Berat
Serpih Rata-rata ( % )
Sidik ragam pengurangan berat serpih setelah
prahidrolisis menunjukkan pengaruh yang sangat nyata
oleh komposisi campuran kayu (Tabel 9).
Tabel 9.
daftar sidik-ragam pengaruh perlakuan terhadap pengurangan berat serpih hasil prahidrolisis
Sumber
Keragaman
Ftabel
Perlakuan :
~ o m p .campuran kayu
Sisa
--
db
JK
JKT
2
27,073
13,536
15
23,880
1,592
--
Fhit
5%
8,50*) 3,89
1%
6,93
-
*)Berpengaruh sangat nyata pada tingkat 1%
Uji beda nyata terkecil pada tingkat nyata 1%
(Lampiran 10a) menunjukkan bahwa pengurangan berat
serpih hasil prahidrolisis dari campuran kayu yang
terdiri dari 75% kayu karet tidak berbeda nyata dengan kedua komposisi lainnya.
Peningkatan komposisi
kayu karet dari 50% menjadi 100% akan menyebabkan
peningkatan pengurangan berat serpih secara nyata.
Pengurangan berat tertinggi terjadi pada campuran
dengan komposisi 100% kayu karet, yaitu 10,43% dari
berat serpih asal.
Proses prahidrolisis bertujuan untuk melarutkan
komponen hemiselulosa (pentosan dan heksosan) yang
terdapat dalam jumlah cukup besar pada kayu daun lebar.
Kayu karet diketahui memiliki kandungan pento-
san cukup tinggi yaitu sekitar 20% (Joedodibroto,
1969), sedangkan kayu campuran lainnya (pinus, eka-
liptus, jabon dan sengon) memiliki kandungan hemiselulosa yang lebih rendah.
Perbedaan pengurangan berat serpih pada proses
prahidrolisis pada berbagai komposisi campuran kayu
diduga berkaitan dengan terlarutnya hemiselulosa
yang dikandung masing-masing kayu.
Semakim besar
persentasi kayu karet pada komposisi campuran kayu
semakin besar pengurangan berat serpih kayu karena
semakin banyak hemiselulosa yang terlarut.
Proses prahidrolisis serpih pada penelitian ini
menghasilkan berat serpih rata-rata 90,84% yang berarti terjadi pengurangan berat rata-rata 9,16%.
Pe-
ngurangan berat ini masih berada dibawah berat serpih rata-rata akibat proses prahidrolisis pada
umumnya menurut Casey (1952), yaitu sebesar 19%.
Proses prahidrolisis selain merupakan awal degradasi hemiselulosa dan bahan bukan selulosa lain
(seperti zat ekstraktif) juga terjadi akan pemekaran
struktur serat dan pelunakan serpih, sehingga diharapkan lignin akan lebih mudah dirombak atau dilarutkan pada saat pemasakan dengan proses sulfat.
Hal ini menyebabkan rendemen pulp belum putih hasil
pemasakan semakin menurun (pada Tabel 10) akan tetapi tingkat kemurnian pulp yang diperoleh semakin
tinggi atau memiliki kadar selulosa alpha tinggi.
Sidik ragam rendemen pulp belum putih menunjukkan bahwa komposisi campuran kayu berpengaruh sangat nyata dan tingkat sulfiditas berpengaruh nyata,
Tabel 10.
Nilai rata-rata rendemen pulp belum putih
pada berbagai tingkat sulfiditas dan komposisi campuran kayu
Komposisi Campuran Kayu Karet
50%
Ratarata
Tinskat Sulfiditas f % )
20
33,35
25
33,56
30
32,96
33,29
sedangkan interaksi antara komposisi campuran kayu
dengan tingkat sulfiditas tidak menunjukkan pengaruh
yang nyata terhadap rendemen (Tabel 11).
Tabel 11.
Sumber
Keragaman
Daftar sidik-ragam pengaruh
terhadap pulp belum putih
perlakuan
Ftabel
db
Perlakuan :
Komp. cam2
puran kayu
~k.sulfiditas2
Interaksi
4
Sisa
9
JK
JKT
25,680
12,8401
12,64**)4,26
8,02
12,361
3,450
9,142
6,1806
0,8626
1,0158
6,08*)
0,85
3,63
6,42
Fhit
5%
1%
**)Berpengaruh sangat nyata pada tingkat 1%
*)Berpengaruh nyata pada tingkat 5%
Uji beda nyata terkecil pengaruh komposisi campuran kayu pada tingkat nyata 1% terhadap rata-rata
rendemen pulp belum putih (Lampiran lob) memperli-
hatkan bahwa rendemen pulp belum putih dari campuran
kayu dengan komposisi 75% kayu karet tidak berbeda
nyata dengan kedua komposisi lainnya.
Rata-rata
rendemen tertinggi diperoleh pada campuran kayu dengan komposisi kayu karet l o o % , yaitu sebesar
36,20%.
Uji beda nyata terkecil pengaruh tingkat s