Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia : Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba

PEMBENTUKAN GOLONGAN PENGUSAHA LOKAL
Dl INDONESIA: PENGUSAHA TENUN DALAM
MASYARAKAT BATAK TOBA

OLEH:
MARLYN TUA FELIX SITORUS

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
1999

MARLYN TUA FELIX SITORUS. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha
Tenun dalam Masyarakat Batak Toba.

(Dibawah bimbingan SNOGYO sebagai Ketua, SEDIONO M.P.

TJONDRONEGORO, BUNGARAN SARAGIH, THEE KlAN ME,dan DANIEL DHAKIDAE sebagai Anggota).

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji "mengapa dan bagaimana" pembentukan golongan
pengusaha lokal bidang industri tenun dalam masyarakat Batak Toba di Balige, Tapanuli Utara, sebagai

jalan untuk menjelaskan mengapa keberadaan golongan sosial tenebut semakin memudar.
dipumpunkan pada dua aspek pembentukan golongan pengusaha tenun yaitu,

pertama,

Kajian
proses

kemunculannya yang mencakup aspek-aspek asal-usul sosial dan mekanisme kemunculan golongan
tersebut dm, kedua, proses kelangsungan sosialnya yang mencakup aspek-aspek statuslperanan dan
perkembangan sosialnya.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kasus-historis yang

rnelibatkan tiga pihak subyek penelitian, yaitu tineliti, peneliti, dan lian (orang lain, subyek ketiga yang
rnemberikan informasi lisanltertulis berkenaan dengan topik peneliian).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan golongan pengusaha tenun dalam rnasyarakat
Batak Toba Balige rnelibatkan tiga kelompok pengusaha tenun yang

- menurut masa kemunculannya --


diidentifikasi sebagai berikut:
(a) Kelompok Perintis: kelompok pengusaha tenun yang muncul pada masa kolonial, yaitu paruh kedua
1930-an, sebagai hasil implementasi kebijaksanaan pengembangan industri rakyat oleh pemerintah
kolonial, menyusul Depresi Besar di awal dekade tersebut;
(b) Kelompok Pengikut: kelompok pengusaha tenun yang -- rnengikuti jejak perintis -- muncul dalam
kurun pertengahan 1950-an m p a i pertengahan 1970-an, dengan puncak ledakan populasinya
pada pertengahan 1960-an, sebagai akibat langsung dari penerapan kebijaksanaan penjatahan
benang tenun (sistem jatah) oleh Pemerintahan Soekarno pada pamh pertarna 1960-an;
(c) Kelompok Penerus: kelompok pengusaha tenun yang muncul terutama sejak paruh kedua 1980-an,

sebagai hasil suksesi kepemimpinan perusahaan dalam terutama dalam sejumlah kecil keluarga
pengusaha tenun pengikut.

Analisis gejala pembentukan golongan pengusaha tenun lokal di Balige terpumpun pada ketiga kelompok
tersebut.
Berdasar hasil analisis diperoleh butir-butir kesimpulan tentang pembentukan golongan
pengusaha lokal pada dua aras yaitu aras perumuman empirik dan aras penteorian.

lika kesimpulan


pada aras tersebut pertama bersifat mikm dan secara spesifik berlaku khusus untuk kasus pembentukan
golongan pengusaha tenun Balige, maka yang kedua -- dengan mengacu pada perumuman empirik yang
bersifat mikro tadi -- dimaksudkan sebagai upaya mengangkat kesimpulan mikro itu ke ranah keberlakuan
yang lebih luas.
Pada aras perumuman empirik, mengenai aspek pertama dari pembentukan golongan pengusaha
tenun yaitu proses kemunculan sosial golongan pengusaha tenun diperoleh berturut-turut kesimpulan
menyangkut asal-usul sosial dan mekanisme kemunculannya sebagai berikut:
(a) Golongan pengusaha industri tenun dalam masyarakat Batak Toba di Balige umumnya berasal dari
kelompok e l l tradisional, yaitu tenrtama dari kalangan elit tradisional yang -- sebelumnya adalah
petani tetapi dalam perjalanannya kemudian -- telah tampil sebagai elit ekonomi lokal dengan basis
usaha dagangljasa, dan ut-tuk sebagian kecil lagi dari kalangan elit tradisional yang tergolong petani
subsisten tetapi sempat menjadi buruh pada perusahaan tenun milik para tokoh perintis industri tenun
Balige.

(b) Kemunculan golongan pengusaha industri tenun dalam masyarakat Batak Toba di Balige merupakan
hasil rekayasa sosial oleh pemerintah,

terutama oleh Pemerintah Kolonial dan Pemerintahan


Soekarno dalam bentuk ragam bantuan (teknis dan permodalan) khususnya terhadap elit sosiatekonomi lokal. Tetapi, rekayasa tersebut dapat memberikan hasil karena di dalam masyarakat Batak
Toba Balige sendiri telah terdapat prakondisi produksi kapitalis yaitu, pertama, unsur pembentukan
modal uang oleh elt msial-ekonomi tradisional melalui usaha luar-pertanian yang bersifat komersial
dan, kedua, unsur pembentukan golongan buruh upahan potensil di sektor pertanian subsisten.
Sedangkan mengenai aspek kedua, yaitu kelangsungan sosial golongan pengusaha tenun,
diperoleh berturut-turut kesimpulan menyangkut statuslperanan dan perkembangan sosialnya sebagai
berikut:

(a) Golongan pengusaha tenun Balige tenebut

hadir dan berkembang dalam konteks dan sebagai

pendukung formasi sosial kapitalis aras lokal, atau kapiialis lokal yang kemudian mendapatkan
statusnya sebagai kelas menengah yaitu suatu "kelas baru" dalarn s t ~ k t u rsosial Batak Toba yang
aslinya hanya mengenal dua kelas yaitu "raja" dan "rakyat". Namun golongan pengusaha tenun lokal
di Balige tidak dapat dikatakan kelas menengah mandiri, melainkan lebih tepat sebagai pengusaha
klien aras lokal, mengingat kelangsungan usaha mereka sangat tergantung pada kebijaksanaan
pemerintah.

Dalam status ketakmandirian itu pengusaha tenun Balige telah berperan sebagai


penggerak transfotmasi sosial-ekonomi masyarakat Batak Toba di Balige.
(b) Status kelangsungan sosial golongan pengusaha tenun dalam masyarakat Batak Toba di Balige
menunjuk pada gejala pemudaran. Analisis aras mikro menunjukkan bahwa gejala pemudaran tersebut
rnerupakan gejala "bunuh diri" yang berpangkal pada dua ha1 yang benifat menghambat
kelangsungan usaha yaitu gejala reproduksi kultur agraris yaitu etos keja petani datam keluarga
pengusaha dan reproduksi struktur agraris dalarn organisasi produksi perusahaan tenunnya. Analisis
aras meso kemudian menunjukkan bahwa pemudaran golongan pengusaha tenun Balige rnerupakan
implikasi keterdesakan golongan tenebut dalam dinamika formasi sosial atau adu-kekuatan antar
pendukung beragam cara produksi di lingkup perekonomian lokal/regional. Analisis makro akhirnya
menjelaskan bahwa dalam konteks integrasi dengan sistem perekonomian atau formasi sosial
nasionalldunia yang kapitalistik, gejala surut pada golongan pengusaha tenun Balige menunjuk pada
gejala

marginalisasi kapitalis lokal yang sekaligus juga merupakan implikasi kebijaksanaan

industrialisasi yang benifat elitis semasa Pemerintahan Soeharto. Bagi golongan pengusaha tenun
Balige gejala rnarginalisasi tenebut dialami sebagai proses 'penggureman din" yang dipahami
sebagai strategi bertahan terhadap penetrasi kapttalis pertekstilan nasional/intemasional.
Berdasar perumuman-perumuman empirik di atas, yang kernudian dibanding dengan berbagai

kesimpulan atau pemikiran teoritis sejumlah peneliti atau ilmuwan berkenaan dengan ragam aspek
pembentukan golongan pengusaha, rnaka pada aras penteorian dapat dlarik butir-butir kesirnpulan
tentang pembentukan golongan pengusaha kapitalis lokal sebagai berikut:
(a) Golongan pengusaha kapitalis lokal terutama berasal dari golongan elit sosialekonomi tradisional yang
terdapat dalam komunitas lokal yang benangkutan.

(b) Kemunculan golongan pengusaha kap'italis lokal mewpakan resuitan dari dua unsur pokok yaitu,
pertama, terpenuhinya prakondisi produksi kapitalis berupa pembentukan modal uang pada golongan
elit ekonomi lokal

dan pernbentukan golongan buruh upahan dalam

komunitas lokal yang

bersangkutan dan, kedua, adanya rekayasa sosial dari negara dalam bentuk bantuan tekni dan
permodalan khususnya terhadap sejumlah elit sosial-ekonomi dalam komunitas tenebut.
(c) Golongan pengusaha kapitalis lokal adalah kelas menengah lokal yang berperan sebagai pelopor dan
penggerak transformasi sosial dalam kornunitas lokal yang benangkutan, tetapi golongan tenebut
bukanlah kelas rnenengah rnandiri melainkan klien yang tergantung kepada pemerintah yang berada
pada posisi patron sosial.

(d) Status kelangsungan sosial golongan pengusaha kapitalis lokal merupakan resultan dari faktor-faktor
intensitas

reproduksi kuitur dan struktur agraris dalam

perusahaan,

taraf

keterdesakan

pengusaha dalam adu kekuatan antar pendukung ragam cara produksi dalam formasi sosial
lokallregional,

tingkat kemampuan

survival

pengusaha terhadap penetrasi kapitalis aras


nasionalfinternasional, dan taraf dukungan negara melalui kebijaksanaan pembangunan ekonomi
nasional. (SuNtnya keiangsungan sosial golongan pengusaha kapitalis lokal

berpangkal pada

tingginya intensitas reproduksi kultur dan struktur agraris dalam perusahaan, tingginya intensitas
keterdesakan pengusaha dalam adu kekuatan antar pendukung ragam cara produksi dalam forinasi
sosial lokallregional, rendahnya kemampuan survival pengusaha terhadap penetrasi kapitalis aras
nasionalldunia yang benifat kapiialistik, dan rendahnya dukungan negara-sebagai implikasi dari
kebijaksanaan pembangunan ekonomi nasional yang bersifat elitis.)

PEMBENTUKAN GOLONGAN PENGUSAHA LOKAL
Dl INDONESIA: PENGUSAHA TENUN DALAM
MASYARAKAT BATAK TOBA

Oleh
Marlyn Tua Felix Sitorus

DlSERTASl
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada
Program Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor

PROGRAM STUD1 SOSlOLOGl PEDESAAN
PROGRAM PASCASANANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1999

Iudul Disertasi : Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia:
Pengusaha Tenun Dalarn Masyarakat Batak Toba
Nama Mahasiswa: Marlyn Tua Felix Sitorus
Nomor Pokok

: 93526

Program Studi

: Sosiologi Pedesaan

Menyetujui:

1. Komisi Pembimbing

Pr0f.Dr.k. Saioavo
Ketua

A ggota

Anggota

/

Anggota

2.

w'

Ketua Program Studi

Ir. Said Rusli. MA


Tanggal lulus: 6 Februari 1999

Dr. Daniel Dhakidae
Anggota

Penulis lahir di Aeknatolu, Tapanuli Utara pada tanggal 22 luni 1961. Orangtuanya adalah Osten
Siorus (almarhum) dan Paina br. Sinaga. Pendidikan dasar diselesaikan di SDN Sipanganbolon-Parapat
tahun 1973, dan pendidikan menengah pertama dan atas berturut-turut disdesaikan di SMP Seminafi
Menengah Pematang Siantar tahun 1976 dan SMAN Porsea, Tapanuli Utara tahun 1980.

Pada tahun

1985 penulis menyelesaikan pendidikan aras S1 di Jurum Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian, lnstitut Pertanian Bogor (IPB).

Tahun 1987 sampai 1989 mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan aras S2 Sosiologi Pedesaan di Program Pascasajana IPB - KPK Universitas
Kristen Satya

Wacana (UKSW), Salatiga.

Pendidikan aras S3 Sosiologi Pedesaan di Program

Paxasajana IPB dimulai pada tahun 1993.
Penulis bekeja sebagai staf pengajar pada lurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian,

Fakultas Pertanian IPB terhiiung sejak tahun 1990. Disamping t u ia juga terlibat sebagai peneliti pada
Pusat Studi Pembangunan (PSP), LP-IPB dan Pusat Studi Wanita (PSW), LP-IPB.
Pada tahun 1994 penulis menikah dengan Anastasia Endang Nugrahaningsih, dan dikaruniai
seorang anak perempuan, Teresa Anyelir Putri Siorus (kini 4 tahun).

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih dan penghargaan setulusnya pertama-tama saya sampaikan kepada Komisi
Pembimbing yaitu Prof.Dr. Sajogyo (sebagai Ketua), Prof.Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro, Pr0f.Dr.k.
Bungaran Saragih, M.Ec., Dr. Thee Kian Wie, dan Dr. Daniel Dhakidae atas bimbingan mereka kepada saya
selama proses pengerjaan disertasi ini.

Lebih dari sekadar pembimbing, mereka adalah guru sekaligus

"teman" bagi saya.
Ucapan terimakasih dan penghargaan setulusnya kemudian saya sampaikan kepada orang-orang
yang namanya biasanya disebut paling akhir dalam teks "Ucapan Terimakasih" sebuah disertasi, yaitu isteri
saya Anastasia Endang Nugrahaningsih yang dengan tabah telah menyertai dan mendukung saya
melewati masa studi yang panjang dan melelahkan, dan anak perempuan karni Teresa Anyelir Putri (Anya),
inspirasi saya, yangdengan caranya sendiri telah menyemangati saya. Untuk mereMah karya disertasi ini
saya persembahkan.
Kepada ayah, Osten Sitorus (almarhum) dan ibu, Paina br Sinaga, serta kakek (almarhum) dan
nenek, terimakasih dan penghargaan yang sama juga saya sampaikan.

Mereka telah sangat berjasa

menghantar saya ke jalur pendidikan terbaik, sehingga saya kini dapat mencapai gelar akademik tertinggi.
Juga kepada kedua mertua, terimakasih juga saya sampaikan atas segala dukungan mereka selama saya
menempuh pendidikan aras S3.
Saya juga menyampaikan terimakasih kepada Pimpinan lurusan Ilmu-ilmu Sosiat dan Ekonomi
Pertanian atas kesempatan belajar yang diberikan, dan kepada Program Paxasarjana lnstitut Pertanian
Bogor yang telah memungkinkan saya memperoleh dukungan dana TMPD dan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

Ucapan yang sama juga saya sampaikan kepada Prof.Dr. Sajogyo yang telah

mengupayakan dukungan dana pendidikan aras 53 untuk saya pada tahun-tahun pertama.
Dengan tidak menyebut nama satu per satu, ucapan terimakasih setulusnya juga harus saya
sampaikan kepada para responden dan informan saya di Balige.

Terimakasih juga kepada para aparat '

kelurahan dan kecamatan di Balige yang telah membantu saya dalam pengumpulan data.

Tanpa

penerimaan dan dukungan mereka yang tanpa pamrih tehadap saya, disertasi ini tidak akan pernah ada.

Secara khusus saya berterimakasih pula kepada Prof.Dr. T.O. IhromiJimatupang dan Dr. Firman
Djoenasien, atas kesediaan dan komitmen mereka sebagai penguji luar-komisi pada saat saya menjalani
promosi doktor. luga terimakasih kepada Prof.Dr. Rudolf Sinaga dan Dr. Mangara Tambunan yang tak
jemu-jemunya mengingatkan saya untuk menempuh dan menyelesaikan pendidikan aras S3.
Akhirnya saya mengucapkan terimakasih atas segala dukungan rekan-rekan sejawat di lurusan
Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Banyak yang telah memberikan dukungan
langsung dan tak langsung, tetapi beberapa nama perlu secara khusus saya sebutkan di sini yaitu
Endriatmo Soetarto dan Titik Sumarti, keduanya teman senasib-sekelas sekaligus lawan diskusi, Satyawan
Sunito yang telah membantu saya untuk mengerti arsip-arsip berbahasa Belanda, Sugiah M. Machfud,
Sumardjo, dan Wmati Wigna atas segala dukungan mereka. Kepada para staf PSW, LP-IPB, khususnya Ira
Rachmatul , Achmad, dan Asep, serta para staf PSP, LP-IPB ~ y juga
a menyampaikan terirnakasih atas
segala dukungan teknis rnereka terhadap saya dalam proses pnnyusunan disertasi ini.

DAFTAR IS1

DAFTAR ISTllAH DAN SlNGKATAN

I. PENDAHULUAN
1. Latarbelakang Penelitian
2. Batasan Konsep dan Pertanyaan Penelitian
3. Tujuan Penelitian
II. PEMBENTLIKAN GOLONGAN PENGUSAHA TENUN Dl INDONESIA: TEORl DAN FAKTA
1. Pembentukan Golongan Pengusaha: Tinjauan Teoriiis
1.l.Kemunculan sosial golongan pengusaha
1.2. Kelangsungan sosial golongan pengusaha
2. Perkembangan Usaha dan Pengusaha Tenun di Indonesia, 1900-1998
2.1. Periode Pemerintahan Kolonial Belanda (1 900-1 942)
2.2. Periode Perang (1 942-1 950)
2.3. Periode Pemerintahan Soekarno (1950-1 966)
2.4. Periode Pemerintahan Soeharto (1966-1998)
3. Kesimpulan
Ill. METODOLOGI PENELlTlAN
1. Acuan-kerja Peneltian
1.1. Beberapa hipotesa pengarah
1.2. Batas-batas analisis
2 Paradigma Penelitian
3. Metode Penelitan
3.1. Pendekatan utama: sosiologi sejarah dan sejarah sosiologis
3.2. Metode kasus historis
3.3. Masalah validitas internal

IV. BALIGE: NANG SOSIAL PENGUSAHATENUN
1. Terbentuknya Kota Balige
1.l.
Sebelum abad ke-20: pusat kekuasaan dan ekonomi tradisional
1.2. Abad ke-20: menuju pwat ekonomi dan kekuasaan modem
2. Struktur Sosial Asli Masyarakat Batak Toba Balige
2.1. Sistem DaLhan Na Tolu
2.2. Struktur sosial hi& masyarakat BatakToba sebagai masyarakat dua kelas
3. Penduduk Balige
3.1. Pertumbuhan penduduk dan migrasi
3.2. Keragaman etno-religi dan etno-okupasi
4. Perekonomian Rakyat
4.1. Pertanian rakyat
4.2. Perdagangan dan jasa lainnya
4.3. lndustri

V. KEMUNCULAN GOLONGAN PENGUSAHA TENUN BALIGE
1. Asal-usul Sosial Pengusaha Tenun
1.1. Struktur sosial hutadan peluang usaha pertenunan
1.2. Latarbelakang sosial pengusaha tenun Balige
2. Peranan Pemerintah dalam Kernunculan Pengusaha Tenun Balige
2.1. Kelompok perintis: masa kolonial dan masa pernerintahan Soekamo
2.2. Kelompok pengikut: rnasa pemerintahan Soekarno dan Soeharto
3. Kemunculan Pengusaha Tenun: Genealogi Produksi Kapitalis
3.1. Pembentukan modal awal pada pengusaha tenun Balige
h
3.2. Pernbentukan golongan b u ~ upahan
VI. GOLONGAN PENGUSAHA TENUN DALAM FORMASI SOSIAL BALIGE
1. Forrnasi Sosial: Artikulasi Cara Produksi
1.l.Produksi subsisten: persawahan
1.2. Produksi komenialis
1.3. Produksi kapitalis
1.4. Artikulasi tiga cara produksi
2. Pengusaha Tenun: Kapitalis Aras Lokal
2.1. Pengusaha tenun sebagai kelas rnenengah lokal
2.2. Golongan pengusaha tenun: kapitalis mendiri atau klien?
3. PerananSosialGolongan Pengusaha Tenun
3.1. lndustrialisasi dan pengukuhan produksi kapiialis di aras lokal
3.2. Pencapaian cita-cita Harnquon

-.

VII. REPRODUKSI KULTUR DAN STRUKTUR AGRARIS BATAK TOBA:
GEIALA "BUNUH DIRI" GOLONGAN PENGUSAHA TENUN BAUGE
1. Etos Kerja, Kegagalan Suksesi dan Penciutan Skala Usaha
1.1. Etos kerja dan kegagalan suksesi dalam keluarga pengusaha tenun
1.2. Etos kerja dan penciutan skala usaha pertenunan
2. Masalah Organisasi Produksi Perusahaan Tenun
2.1. Kelompok perintis dibandingkan kelompok pengikutlpenerus
2.2. Kelornpok pengikut "dulu" dan "kini"
2.3. Reproduksi struktur agraris pada industri tenun dan akibatnya
VIII. DlNAMlKA FORMASI SOSIAL LOKAUREGIONAL DAN KETERDESAKAN GOLONGAN
PENGUSAHA TENUN BALIGE
1. Kekalahan dalam Pasaran Tenaga Kerja
1.l.Pendidikan, rnigrasi, dan kelangkaan buruh lokal
1.2. Buruh pendatang: jurnlah langka, keterampilan rendah
1.3. Masalah strategi nafkah ganda pada keluarga buruh tenun
2. Kekurangan Modal: Menurunnya Dukungan Pemerintah
3. Penaingan dengan Penenun Tradisional dan Pedagang Pakaian Bekas
3.1. Konflik dengan golongan penenun tradisional
3.2. Penaingan dengan pedagang pakaian bekas

IX. MARGINALISAS1GOLONGAN PENGUSAHA TENUN BALIGE DALAM SISTEM

PEREKONOMIAN NASIONAUGLOBAL
1. Golongan Pengusaha Tenun Balige dalam Konteks Formasi Sosial
NasionalIGlobal
2. Proses Marginalisasi Golongan Pengusaha Tenun Balige
2.1. Periode "pernberdayaan": dari masa kolonial sampai masa pemerintahan
Soekamo
2.2. Periode marginalisasi: masa pemerintahan Soeharto
3. Strategi Bertahan dalamProses Marginalisasi
X.

IKHTISAR, KESIMPULAN DAN PENUTUP
1. lkhtisar Hasil Penelitian
1.l.Kemunculan golongan pengusaha tenun Balige
1.2. Kelangsungan sosial golongan pengusaha tenun Balige
2. Kesirnpulan Penelitian
2.1. Kemunculan golongan pengusaha lokal
2.2. Kelangsungan sosial golongan pengumha lokal
3. Penulup
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Nomor
2.1.
2.2.
2.3.
4.1.
4.2.
4.3.
4.4.
4.5.
4.6.

Teks

Hal

lumlah Pabrik Tenun dan Alat Tenun di Indonesia, 1930-1996
lumlah Pabrik Tenun menurut Kelornpok lumlah Alat Tenun di Indonesia, 1930-1950
lumlah lndustri Pertenunan di Indonesia menurut Etnis Pernilik, 1942 dan 1951
Penduduk Kecamatan Balige pada Tahun-tahun Tertentu, 1930-1990
PendudukTapanuli Utara pada Tahun-Tahun Tertentu, 1914-1995
laju Perturnbuhan Penduduk di Wilayah Eks-Karesidenan Tapanuli, 1961-1 990
Penduduk Kecamatan Balige dan Tapanuli Utara menurut jenis Pekerjaan, 1979
Produktivitas Rata-rata Usahatani Sawah di OndmfddeihgToba, 1930-1935
Luas Areal Penawahan di Kecamatan Balige dan Kabupaten Tapanuli Utara menurut
Jenisnya pada Tahun-tahun Tertentu, 1970-1993 (dalarn Ha)
4.7. Luas Panen, Produksi Padi, dan Produktivitas Persawahan di Kecamatan Balige dan
Kabupaten Tapanuli Utara pada Tahun-tahun Tertentu, 1985-1993
4.8. Jurnlah Temak menurut Jenisnya di Kecamatan Balige dan Kabupaten Tapanuli Lltara pada
Tahun-tahun Tertentu, 1914-1993 (ekor)
4.9. lurnlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja Sektor Tersier di Kecarnatan Balige dan Kabupaten
Tapanuli Utara, 1986
4.1 0. lumlah Usaha lndustri dan Tenaga Kerja Terserap menurut Skala Usha di Kecamatan Balige
dan Kabupaten Tapanuli Utara, 1986
5.1. lumlah Pengusaha Tenun Balige menurut MargaAsal dan Kelangsungan Usaha Berdasarkan
Pencatatan Bulan Maret 1998
5.2. lumlah Pengusaha Tenun di Balige menunit Mxga Asal dan Kelornpok Berdasarkan
Berdasarkan Pencatatan Bulan Maret 1988
5.3. Perbedaan Latar Belakang Sosial Tiga Kelompok Pengusaha Tenun di Balige
5.4. lumlah Unit Usaha lndustri Tekstil di Sumatem Utara, 1971172
5.5. lumlah Pengusaha Tenun Berbasis ATM dari Etnis Batak Toba di Pernatang Siantar dan
Medan, 1976
5.6. lurnlah Unit Usaha Pertenunan menurut Jurnlah ATM di Tiga Lokasi Utarna Surnatera
Utara, 1976
6.1. lurnlah Rumahtangga Pertanian Menurut Luas Lahan dan Status Penguasaan Tanah di
Kecamatan Balige dan Tapanuli Utara, 1980
6.2. Fonasi Sosial Balige: Artikulasi Tiga Cara Produksi
6.3. Struktur Sosial Masyarakat Batak Toba Balige Pra-Kolonial, Kolonial, dan Pasca-Kolonial
7.1. Perkembangan lumlah Perushaan Pertenunan di Balige, 1935-1 998
7.2. Perbandingan Organisasi Produksi Pertenunan antara Kelornpok Perintis dan Kelompok
Pengikut di Balige
7.3. PerbandinganOrganisasi Produksi Pertenunan Kelornpok Pengikut di Balige: Dulu dan Kini
8.1. Pembagian Kerja dalarn Industri Tenun Balige
8.2. Rata-rata Upah Buruh di lndustri Tekstil, Surnatera Utara, 1970
9.1. Perkembangan lndustri Tekstil di Surnatera Utara, 1960-1987
9.2 lkhtisar Perkembangan lndustri Tenun Lokal dalam Konteks Perkembangan Ekonomi
NasionalIGlobal

9.3. lumlah ATBM dan ATM di Sumatera Utara, 1961-1967
9.4. Perbandingan Upah Untuk Lima lenis Pekerjaan Pokok Pertenunan di Dua Perusahaan
Pertenunan, Balige (Semester Kedua), 1997

251
265

Lampiran
1.

Marga-Marga Raja dan Kampung "Kerajaannnya di Balige
Nomenklatur Status Sosial Batak Toba dalam Konteks Sistern D a h n Na Toh
3. Penduduk Karesidenan Tapanuli menurut Etnis, 1900-1930
4. lurnlah Ekspor Karet, Kopi, dan Kemenyan dari Tapanuli, 1922-1927
5. Harga-Harga Tekstil Buatan Dalam-Negeri dan Luar-Negeri di Pasaran Medan, Minggu ke-4
Desember 1970
2.

296
297
298
298
299

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Teks

5.1. Diagram Hubungan Antar-Kelornpok Pengusaha Tenun di Balige
9.1. Posisi lndustri Tenun Balige dalam Konteks Pertekstilan Nasional/Global

Halarnan
96
235

Larnpiran
1

Tahapan Perkembangan lndustri Tekstil Nasional

300

DAFTAR PETA
Nomor
1. Letak Balige di Sumatera Utara
2. Kecamatan Bdlige, Tapanuli Utara
3. Kedudukan Balige di Tapanuli Utara
4. Sketsa Toba Holbung
5. Penyebaran lndustri Rurnahan di Kabupaten Tapanuli Utara, 1990

Halaman
xix
xx
mi
xxii
d
r
i

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

I. Istilah-istilah Batak Toba
Bius. Suatu wilayah kekuasaan dan pemerintahan yang terdiri dari sejurnlah h o j d
Born Pihak pengambil isteri dalam watu kelompok kekerabatan berdasar ikatan perkawinan.
Dalihan Na Tola Arti harafiahnya "Tiga Batu Tungku"; simbolisme untuk struktur sosial geneatogis Batak
Toba yang mencakup tiga unsur yaitu hula-hula, dongan tubudan boru.
Dongan Tubu Arti harafiahnya "saudara serahim"; dalam arti luas menunjuk pada saudara semarga (satu
ayah, satu kakek, satu leluhur).
Hoja: Suatu wilayah yang merupakan persekutuan dari sejumlah huta
Hula-hulz Pihak pengambilan isteri dalam suatu kelompok kekerabatan berdasar ikatan perkawinan.
Huta Suatu wilayah kekuasaan dan pemerintahan otonom yang merupakan tingkat pernerintahan bius
yang terbawah.
Marga: Kelompok genealogis-patrilineal yang mengambil nama leluhur sebagai nama bersama.
Marga born Kelompok genealogis yang merupakan pihak pengarnbil isteri dalam suatu huta.
Margarqa Kelompok genealogis-patrilineal yang merupakan pendiri, pemilik, dan pemerintah suatu
wilayah huta.
OnanPekan atau prqnata pasar dalam suatu wilayah bius.
Onan Manogot-nogot Pasar (pekan) kecil di pagi hari.
Onan Namarpatik Pasar (Pekan) Besar Behukum, pranata pasar utama yang memiliki perangkat hukum
tertentu dalam suatu wilayah bius.
Raja Hutz Penguasa suatu hula, dipilih dari antara anggota marga r4a generasi tertua.

ATBM : Alat Tenun Bukan Mesin
: Alat Tenun Mesin
ATM
Bld.
: Belanda, bahasa
BNI 1946: Bank Nasional Indonesia 1946
Btk.
: Batak Toba, bahasa
BRO
: Bedrijsreglementerings Ordonantie (BRO)
: Dalihan Na Tolu
DNT
GKR
: Gereja Katolik Rorna
HIS
: Hollandsch lnlandsche School
HKB
: Hatopan Kristen Batak
HKBP :Huria Kristen Batak Protestan
:Handelsvereeniging Balige
HVB
Ind.
: Indonesia, bahasa
MvO
:Memorie van Overgave
OSVlA :Opleidingxhool vier lnlandsche Ambtenaren
: Rheinische Missions-Gesellschaft
RMG
TIB
: Textiel lnrichting te Bandoeng

Skala: 1 : 2.493.400

Peta 1. Letak Balige di Surnatera Utara

DANllU TOBA

Peta 2. Kecamatan Balige, Tapanuli Utara

LEGENDA:
Sawah
Belukar
Pemukiman

LEGENDA:
Batas kecamatan
Batas wilayah Toba Holbung
+++ Batas wilayah eks-onderafdeeling Toba
Batas wilayah kabupaten
lalan raya

-

-- -

Peta 3. Kedudukan Balige di Tapanuli Utara

LEGENDA:
!Ij
Tenun ulos
Anyaman
Gula aren
I Pandai besi

Peta 5. Penyebaran lndustri Rumahan di Kabupaten Tapanuli Utara, 1990

L PENDAHULUAN

1. Latarbelakang Penelitian
Bagi masyarakat Batak Toba, Balige -- kota kecil di pantai selatan Danau Toba, Tapanuli
Utara -- sejak akhir 1950-an sampai 1970-an identik dengan "pertenunan". Balige pada masa itu
adalah salah satu pusat industri tenun terpenting di Sumatera Utara, sehingga sempat dijuluki "Kota
Tenunan" atau bahkan "Majalaya Keduan.1 Masa tersebut adalah "Zaman Emas" industri tenun di
Balige, masa ketika warga Balige banyak yang tertarik menjadi pengusaha tenun, suatu kegiatan
ekonomi yang identik dengan "kemakmuran ekonomi" waktu itu.

Pada tahun 1970 tercatat

sebanyak 82 unit usaha "kilang" (pabrik) tenun di Tapanuli litara -- meliputi 34 unit kilang berbasis
alat tenun mesin (ATM) dan 48 unit berbasis alat tenun bukan mesin (ATBM) -- dan hampir seluruh
kilang tersebut berada di Balige (Suatera Utara Dalam Angka, 1970). Produk utama seMigus
andalan industri tenun Balige pada waktu itu -- sampai sekarang - adalah mandar(sarung) katun.
Namun sejak 1980-an, julukan Balige sebagai "Kota Tenunan" boleh dikatakan sudah
menjadi "masa lalu". Dalam masa tersebut, ketika perkembangan ekonomi Indonesia secara makro
menunjukkan gejala industrialisasi, sebaliknya perkembangan ekonomi

lokal di

Balige justru

menunjukkan gejala "de-industrialisasin yaitu, merujuk pada pengettian ekonomi (Savage dan Warde,
1993: 36; Crafts, 1993: 22), mengecilnya populasi usaha industri manufaktur d i a i penurunan
sumbangannya (share) dalam penyerapan tenaga keja, ban
terhadap pendapatan daerah.

-- dapat diduga -- juga sumbangan

Menurut hasil Senws Ekonomi 1986 pada tahun 1985 tinggal 18

unit (dari total 22 unit di Tapanuli Utara) kilang tenun skala kecil (8 unit) dan menengah (10 unit)
yang masih beroperasi di Balige. Pada bulan Maret 1998 jumlah yang masih bertahan tinggal 13
unit kilang tenun, dan seluruhnya beroperasi di bawah kapasitas produksi. Status sebagai pengusaha
tenun tidak lagi identik dengan "kemakmuran ekonomi", tetapi sudah cenderung menjadi "kesulitan '

Knrnunikasi pribadi penulii dengan sejumlah pengusaha tenun senior di Balige dalam angka studi pmlahuluan
(Agustw/Septembw 1996). Lihat juga Samng &@
! , yang Senakin T-k,
Kompas. 22 Marel 1996, hal. 15.
b@aya, Wupten Bandung (lawa Barat) n w u p a h pusat iwhtri tern terbesar di Indonesia sejak masa kolonial
tahun 1930-an.

ekonomi" atau bahkan "beban moraln.2

Berbeda dari situasi tahun 1960-an dan 1970-an,

sekarang ini tidak ada lagi warga Balige yang tertarik menjadi pengusaha tenun, apalagi menjadi
buruh pabrik tenun.
Lebih dari sekadar gejala ekonomi, kemunduran kondisi industri tenun di Balige terutama
sejak 1980-an sesungguhnya menunjuk pada suatu gejala sosiologis yang sangat mendasar, yaitu
memudamya kehadiran sosial pengusaha tenun sebagai suatu "golongan sosial strategis" dalam
masyarakat Batak Toba. Disebut "golongan sosial strategis" karena golongan tersebut merupakan
kekuatan sosial potensil dalam rangka transfotmasi sosial masyarakat Batak Toba di Balige dari
masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Sepanjang sejarah perkembangannya sejak masa
kolonial (tahun 1930-an), golongan tersebut telah sernpat "memimpin" proses industrialisasi di
tengah masyarakat Batak Toba Balige yang berciri agraris. Tetapi sekarang kehadiran sosial
golongan tersebut telah semakin rnemudar, dan itu berarti potensinya sebagai "golongan sosial
strategis" juga memudar. Mengapa dan bagaimana ha1 itu terjadi, itulah pertanyaan besar yang
rnendasari penelitian ini.
Pertanyaan "mengapa dan bagaimana kehadiran sosial golongan pengusaha tenun Balige
memudar", dapat diangkat ke tataran pertanyaan yang lebih konseptual dan menyeluwh yaitu
"mengapa dan bagairnana pembentukan golongan pengusaha tenun Balige". Sebagai suatu konsepsi
sosiologis, "pembentukan golongan pengusaha" di sini menunjuk pada suatu gejala sosial yang
bersifat menyelunrh yaitu "keberadaan sosial"

suatu golongan pengusaha di dalam suatu sistem

sosial atau masyarakat. Gejala tenebut mencakup dua aspek prosesual yang bersifat pokok, yaitu
"kemunculan" (emergence) dan dan "kelangsungan" (mnbhu@j sosial golongan pengusaha.
Proses kemunculan sosial menunjuk pada dua aspek sekaligus yaitu, pertama, "asal-usul" (genesk)
sosial golongan pengusaha dan, kedua, kekuatan-kekuatan sosial yang memungkinkan golongan itu
mewujudkan statuslperan sosial sebagai pengusaha. Sedangkan proses kelangsungan sosial
menunjuk pada perkembangan statuslperanan sosial golongan pengusaha berikut keterkaitannya ,
Penggambaran status sebagai pengusaha tenun dewasa ini sebagai "kesulii ekonomi" didasarkan pada pemyataan
para pengusaha yang mengemukakan bahwa mereka sekarang dihadapkan pada masalah "bagaimana agar kilang tenun
tetap !isbempwasi set@ hari". Sedargkan penggambaranstatus pengusahatenw, sebagai 'beban moral" didasarkan
pada pernyataan sejumlah pengusaha yang mengakui bahwa mweka sebenamya sekarang ini dihadapkan pada kondisi

dimam secara ekoromilb'anis usaha tenw, sebenamya paling baik dihentikan. tetapi ha1 itu t i dilakukan karena secara
wsial me& 'malu jika haw Mup" (&
m p Batak Toba) atau, bagi pengusaha gmrasi anak, qdak ingin

merghilangkanpeningalanorangtua".

dengan ragarn kekuatan sosial lain dari rnasa ke masa, dengan ragam kernungkinan akhir berikut:
semakin kuat, mandeg, sernakin lemah (memudar), atau punah sarna seMi.
Dengan perurnusan di atas, hendak ditegaskan bahwa penelitian ini dipumpunkan pada
gejala pembentukan golongan pengusaha tenun Balige sebagai suatu gejala sosiologis. Dengan
menyebut "Balige", suatu kota kecil, hendak ditekankan bahwa lingkup perbatian penelitian ini adalah
gejala sosial "loM", terbatas di lingkungan masyarakat Batak Toba di suatu kota kecil. Namun ha1
ini tidak berarti bahwa keterkaiiannya dengan gejala sosial "nasional" dan "internasional" hendak
diabaikan. Hanya saja, merujuk Dirlik (1 998). arti penting satuan l o M sebagai suatu "ternpat"

@lace) hendak ditekankan di sini karena sesuatu gejala sosial selalu berlangsung di suatu "tempat"
tertentu yaitu di suatu ajang kehidupan tertentu. Rumusan spesifik untuk pumpunan penelitian ini
dengan demikian adalah "gejala sosial pernbentukan golongan pengusaha lokal bidang pertenunan
dalarn masyarakat Bat* Toba di Balige, Tapanuli Utara". Rumusan ini sekaligus membedakan atau
menunjukkan kekhususan penelitian ini dari penelitian-penelitian terdahulu.
Predikat "lokal" pada "pengusaha lokal" yang menjadi pumpunan penelitian ini rnerupakan
kekhususan pertama. Pengetahuan tentang gejala pernbentukan golongan pengusaha lokal di
Indonesia sejauh

ini

masih

sangat terbatas, dibanding dengan pengetahuan tentang

pernbentukan golongan pengusaha nasional. Kajian sosial tentang gdongan pengusaha di Indonesia
sejauh ini masih didominasi studi-studi politik-ekonomi aras makro tentang pengusaha kapitalis
nasional (lihat antara lain Sutter, 1959; Robison, 1986; Muhaimin, 1990; Hill, 1990; dan
Yoshihara,

1990). Sebaliknya kqian sosial mengenai pengusaha l o M di aras mikro sangat

terbatas. Dari sejumlah kecil penelitian tentang golongan itu antara lain dapat disebut studi Geertz
(1963) yang menyajikan karakteristik pengusaha tipe 'firma ' (dm tipe "bazaar") di lawa dan Bali,
studi

Castles (1982) yang menyoroti kegagalan santri pengusaha rokok kretek di Kudus, dan

studi Kahn (1974) yang menganalisis gejala atomisasi usaha pandai besi di pedesaan
Minanghbau.
Unsur "pengusaha" pada "pengusaha bidang pertenunan" sebagai subyek penelitian telah
membedakan penelitian ini dari berbagai peneliiian bidang industri tenun atau (lebih luas) tekstil
terdahulu. Sejumlah penelitian terdahulu didominmi studi ekonomi yang lebih memwtkan perhatian
pada aspek "usaha tekstiiw dan kurang memperhatikan aspek 'pengusaha tekstil". Studi-studi

makro mengarahkan kajian pada perkembangan industri tekstil sejak masa pemerintahan Soekamo
sampai akhir tahun 1960-an (Palmer dan Castles, 1965; Boucherie, 1969; Palmer, 1972),
perubahan teknologi industri tenun di penghujung tahun 1970-an (Hill, 1980), dan proses
pembentukan dan implementasi kebijaksanaan industri tekstil di Indonesia tahun 1980-an (Wibisono,
1989). Sedangkan studi-studi mikro sejauh ini temyata memusat pada kajian industri tekstil di
Majalaya, lawa Barat. Antara lain dapat disebutkan studi Antlov dan Svenson (1991) yang menyoroti
perkembangan industri tekstil Majalaya sejak tahun 1930-an sampai 1980-an, studi Matsuo (1970)
yang menyoroti perkembangannya terbatas sejak masa pemerintahan Soekarno
penghujung tahun

sampai

1960-an, studi Hardjono (1990) yang secara khusus menyoroti aspek

ketenagakejaan dalam industri tekstil Majalaya tahun 1980-an, dan studi Mizuno (1990) yang
mengkaji kelangsungan industri tenun berbasis komunitas di Majalaya semasa pemerintahan
Soeharto.'
Pilihan atas kota kecil Balige, Tapanuli Utara sebagai lokasi penelitian, juga telah
membedakan penelitian ini dari berbagai penelitian tenebut di atas. Disamping memusatkan perhatian
terutama pada aspek ekonomi atau perusahaan, studi-studi terdahulu juga lebih memusatkan
perhatian pada industri tenunltekstil di lawa. Studi tentang industri tenunltekstil di luar Jawa sangat
terbatas; salah satunya adalah kajian Oki (1986) tentang sejarah industri tekstil l o M di Sumatera
Barat. Karena itu dapat dikatakan akumulasi pengetahuan tentang industri tekstil di lndonesia
sejauh ini, sesungguhnya lebih merupakan pengetahuan tentang

industri tekstil di lawa. Dengan

memilih Balige, salah satu pusat industri tenun "modem" tertua di puhu Sumatera (sejak tahun
1930-an), maka lokasi telah bergeser ke "Luar-lawa". Terletak di pantai selatan Danau Toba, Balge
adalah kota kecil yang tergolong "terpencil* di punggung Bukit Barisan di pedalaman Sumatera.
Sangat menarik bahwa kota kecil yang terpencil lu, dan juga tergolong paling akhir ditaklukkan
Belanda pada masa penjajahan di Tapanuli, dapat atau pernah berkembang menjadi pusat industri
tenun. Sejauh ini belum pernah dilakukan suatu penelitian ilmiah mengenai keberadaan industri
J h.
ping berbagai studi twsebut, pellu pula dimtat studi Kraan ( 1996) rneyenai persaingan Irggk dan
Belawla didam merebut pasar telofil di lawa masa 1811-1830, y a y rnembatkw antara lain kwnemsdan industri
t a i l lokal. Kongres Wina tahun 19815 memutuskan untuk nwqabungkan klamda-Be& Wahm W a a n Belanda
a Bersatu di h v a h pmerintahan Raja William. Dengan pnggabungan au maka industti W i l
menjadi Kerajaan M
yang beads di B e b n d a w a dengan d i r h y a menjadi miRk Ke&landa BeMtu. Dakm rangka pmgembangan
indud tenebot, k+an Bdanda kemudian mekkukan perluasan pasar tekilnya sarnpai ke lawa, yarg setdurnnya telah
me@& pasm tekstil bagi Inggris.

tenun di sana.

Penelitian mengenai tekstil di Tapanuli Utara masih terbatas pada tekstil

tradisional yaitu ulos Batak, misalnya studi Niessen tentang ragam tema kehidupan dalam motif ulos
(Niessen, 1985) dan penciutanfungsi ulosdari semula pakaian adat dan harian menjadi sematamata pakaian adat (Niessen, 1993).
Akhirnya, dibanding dengan berbagai penelitian lain tentang masyarakat Batak Toba,
penelitian ini memberikan sumbangan tersendiri rnengingat studi sosiologis

tentang kehidupan

sosial-ekonomi masyarakat Batak Toba sejauh ini temyata masih terbatas.4 Sampai tahun 1950-an.
berdasar perneriksaan terhadap masukan (entry) bibtiografi yang disusun

R. Kennedy (1955)5,

Viner mencatat bahwa mayoritas tulism tentang Bat* Toba berkenaan dengan topik-topik adat,
kegiatan missionaris, pepatah, mitos, genealogi dan kebudayaan rnateril. Sedangkan tulisan tentang
sistern-sistem ekonomi, politik, dan pengetahuan masyarakat Batak sangat sedikit (Viner, 1979:
86). Sampai tahun 1960-an pun menurut Siagian daerah Batak masih kurang mendapat perhatian
penetiti, sehingga sumber pengetahuan tentang daerah itu sebagian besar adalah catatanllaporan
para missionaris dan aparat pernerintah kolonial (Siagian, 1966:161). Setdah publikasi laporan
Vergouwen (1986) yang sangat terkenal mengenai ragam segi antropologi hukum masyarakat Batak
Toba pada 1933, sampai tahun 1960-an memang hanya sedikit peneltian ilrniah tentang
masyarakat Batak Toba. Diantaranya yang paling menonjol adalah studi Pedersen (1 969) tentang
agama dan perubahan sosial, studi Cunningham (1958) tentang migrasi orang Batak Toba ke
Sumatera Tirnur, dan studi Lumbantobing (1 956) tentang struktur kepercayaan masyarakat Batak
Toba.
Sampai dekade 1990, khasanah penelitian ilrniah tentang masyarakat Batak Toba,
khususnya dari disiplin sosiologi, rnasih tergolong miskin terutama jika dibandig dengan khasanah
kajian tentang lawa. Sejumlah kecil studi tentang masyarakat Batak Toba tahun 1970-an ke atas
memusatkan perhatian pada tema poliik antara lain mengenai kehidupan poliik masa kolonial

' Dengan rnasyarakat Batak Toba dimakwdlen di sini adalah lcesdunhan penduduk asli y q mendiii behagai wihyah
hukum adat adat di Tapanuli Utara, mdiputi wihyah Samasir, Uuan, Toba-Hdnmg, Humbang. Slindung, Pahae,
Habimaran. Hwkng, dan Sijanqdang ( l ihpiran Peta aawah Suku-Sula, di Tapanuli dalam Vergouw~1.1986).
R KRmedy, 1955, Bibliography of Indonesian Peoplet and CulhKs, New Haven: Yale University Southeast Asia
Studies. BiMiirdi ini memuat kbih dari 500 m a d m tul'isan tentang Batak umumnya, dan seldtar 80 penen d
i
khusus tentang BatakToba.

(Castles, 1972), gerakan millenarianisme pada masa kolonial (Hirosue, 1988), dan revolusi nasional
tahun 1942-1950 (Langenberg, 1976). Selain itu ada studi-studi antropologis kaitan struktur
sosial dengan irigasi (Lando, 1980) atau dengan sistem kepercayaan dan nilai (Sherman, 1982),
sistem kepercayaan asli orang Batak Toba (Sinaga, 1981), adat dalam prakteknya (Myers, 1982)
dan peranan wanita yang ditinggal migran pria (Rodenburg, 1993). Studi Simanjuntak (1996)
tentang konflik status dan kekuasaan dalam masyarakat Batak Toba adalah satu-satunya studi
sosiologis yang serius sarnpai tahun 1990-an.

2. Batasan Konsep dan Pertanyaan Penelitian
Sebelum rnerumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian secara lebih spesifik, terlebih
dahulu di sini akan dirumuskan batasan sejumlah konsep sosiologis berkenaaan dengan masalah
yang menjadi pumpunan penelitian ini. Di muka sudah dirumuskan tadi bahwa penelitian ini hendak
mengkaji "mengapa dan bagairnana pembentukan golongan pengusaha lokal bidang industti tenun
dalam masyarakat Batak Toba di Balige".
Konsep 'pengusaha' di sini menunjuk pada 'manusia dan tindakan sosialnya dalam
statuslperanan sebagai pengusaha". Merujuk tipologi Jennings, Cox, dan Cooper (1994: 4-6)
di sini diikuti pembedaan pengusaha atas 'entrepreneur mandiri' (independent eelrqreneufs) dan

~ ) ) .
mandiri adalah individu yang mendirikan perusahaan
'intrapreneur' ( i n t r ~ ~ 'Entrepreneur'
sendiri dengan maksud menjadi mandiri, tanpa keinginan untuk bekeja bagi orang lain. Sebaliknya
'intrapreneur'
saham

adalah eksekutif

perusahaan,

perusahaan,

bukan

pendiri ataupun pemegang

melainkan pekerja yang digaji untuk

utarna

mengelola dan membesarkan

perusahaan. Pengusaha yang menjadi pumpunan penelitian ini adalah pengusaha dalam pengertian
'entrepreneur mandiri".
Predikat 'mandiri pada pengusaha tersebut seMigus menunjukkan bahwa ia menjalankan
berbagai fungsi sekaligus.

Sekurangnya ada tiga fungsi pokok yang dijalankannya yaitu sebagai

manajer (administrasi), pemanfaat peluang berkembang (menanggung ataupun menekan resiko), dan
pembaharu.

Pembahaman oleh pengusaha umumnya terbatas untuk kepentingan perusahaan

sendiri, tetapi mungkin juga untuk kepentingan keseluruhan ekonorni sehingga ia menjadi penyebar

pembaharuan (Belshaw,

1984: 148-50).

Karena itu tepat jika

pengusaha disebut sebagai

inovator, yaitu pemimpin perkembangan sosial dan penerap kegiatan baru dalam masyarakat
(Geertz, 1963: 153; Nabi, 1988: 17).
Kedua, predikat 'lokal' pada 'pengusaha lokal' menunjuk pada basis sosial pengusaha
Mengadaptasi batasan Uphoff (1986: 11), dengan istilah 'lokal' dimaksudkan di sini adalah suatu
satuan sosial,

terdiri dari sejumlah komunitas yang satu sama lain memiliki hubungan sosial

langsung, misalnya hubungan dagang atau ragam bentuk kerjasama lainnya. Satuan sosial lokal ini
secara administratif dapat mencakup wilayah seluas kecamatan, dengan suatu pasar-kota sebagai
pusatnya. Antara warga dalam satuan sosial 'lokal" sangat dirnungkinkan tejadi pergaulan personal
dan hubungan kej a sama.
Pengusaha (enterpreneur mandiri) lokal yang dikaji adalah golongan pengusaha industri
tenun. Di sini dibuat pembedaan tipe pengusaha tenun menurut organisasi produksinya, yaitu tipe
'pabrikan'

(manufacturing indushyl dan tipe 'kerajinan'

(hdndicrafl. lipe pengusaha yang

menjadi pumpunan penelitian ini adalah tipe "pabrikan' , mulai dari skala "rumahan" sampai skala
besar.6
Dalam konteks batasan konsep-konsep di atas, dan batasan konsepsi "pembentukan
golongan pengusaha" yang telah dirumuskan di muka, maka pertanyaan utama penelitian ini yaitu
"mengapa dan bagaimana pembentukan golongan pengusaha l o M bidang industri tenun di
Balige" secara lebih spesifik dapat diuraikan menjadi dua kelompok pertanyaan analitis, yaitu:
(1) Pertanyaantentang proses kemunculan sosial golongan pengusaha tenun di Balige:

(1.1) Asal-usul sosial golongan golongan pengusaha tenun: dari lapislkelas sosial mana
(elt/nonelit)

golongan tenebut datang, dan dari basis sosialekonomi apa

(pertanianlnonpertanian) golongan tenebut bertitik-tolak?

(1.2) Mekanisme sosial kemunculan golongan pengusaha tenun: bagaimana bentuk dan darimana
sumber kekuatan-kekuatan sosial yang telah memungkinkan golongan tersebut tarnpil
menjadi pengusaha, bagaimana kekuatan-kekuatan sosial itu telah bekerja, dan bagaimana
irnplikasinya terhadap cara kemunculan golongan pengusaha tersebut?
Bjro Pusat Statiktik membuat M k a s i &ah usaha sebaqai berilart: (a) peMahaan besar ( t m keria 100 wanq
atau kbih), (b) pwufahaanmenengah (tenaga h j a 20-99&),
(c ) d a a n kedl (ten& ke& 5-19 orang), d i
(d) pensahaan mrnahan (teI?agaketja larang dari 5 wang termawk tenaga kerja kduarga tanpa upah).

,

(2) Pertanyaan tentang proses kelangsungansosial golongan pengusaha tenun di Balige:
(2.1) Statuslperanan sosial golongan pengusaha tenun:

dalam konteks strukur sosial

masyarakat Batak Toba dapatkah golongan tersebut ditempatkan sebagai kelas menengah
dm, jika demikian halnya, bagaimana peranan sosial yang dijalankannya?
(2.2) Status ketangsungan sosial golongan pengusaha tenun:

setelah sempat mengalami

kemajuan, mengapa keberadaan atau statuslperanan sosial golongan pengusaha tenun
memudar, bagaimana gejala pernudaran tenebut dapat dijelaskan dalam konteks mikro
(keluarga/pemsahaan), meso (loM/regional), dan makro (nasional/global), dan bagaimana
makna gejala tersebut bagi golongan pengusaha itu sendiri?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkqi "mengapa dan bagaimma" pembentukan gotongan
pengusaha lokal bidang industri tenun dalam masyarakat Batak Toba di kota kecil Balige, Tapanuli
Utara. Kajian tenebut

mencakup aspek-aspek proses kemunculan dan kelangsungan sosial

golongan pengusaha tenun tenebut dalam konteks sosialnya. Kajian atas dua aspek tersebut dapat
rnenjelaskan mengapa dan bagaimana golongan pengusaha tenun hadir di Balige sempat mengalami
masa kejayaan tetapi akhirnya semakin memudar. Dengan menerapkan metode studi kasus-historis,
kajian ~siologisini

dimaksudkan untuk "berteori" ( h o k i n g ) tentang gejala pembentukan

golongan pengusaha lokal dalam masyarakat Batak Toba.

II. PEMBENNKAN GOLONGAN PENGUSAHA TENUN Dl INDONESIA:
TEORl DAN FAKTA

Studi tentang gejala pembentukan pengusaha l o M pertenunan di Balige, dapat diawali
dengan suatu tinjauan liieratur mengenai teori dan fakta empiris tentang pembentukan golongan
pengusaha khususnya pengusaha tenunltekstil di Indonesia. Tinjauan ini nanti berguna sebagai
landasan teoritis dan empiris dalam perumusan sejumlah "hipotesis pengarah" (guidnghypotheses)
mengenai pernbentukan pengusaha tenun di Balige.
1. Pembentukan Golongan Pengusaha: Tinjauan Teoritis

Di sini hendak ditelusuri konsep-konsep danlatau teori-teori yang mungkin relevan
sebagai acuan, sekalipun sifatnya sementara, dalam upaya memperoleh pemahaman tentang gejala
pembentukan golongan pengusaha dalam suatu masyarakat. Relevansi konseplteori tersebut pada
gilirannya nanti akan ditunjukkan melalui suatu penyimpuian, yaitu dengan mencoba rnenggunakannya
untuk menjelaskan gejala pembentukan golongan pengusaha tenunltekstil di Indonesia.

1.I. Kernunculan sosial golongan pengusaha

1.1 . I . Asal-usul sosial golongan pengusaha
Aspek asal-usul sosial, bersama dengan aspek nilai yang melatarbelakangi sikap wirausaha.
rnerupakan tema klasik dalam kajian kewirausahaan. Dalam studi Wasik mengenai etika protestan
dan jiwa kaplalisme, Max Weber telah menyimpulkan bahwa golongan pengusaha kapitalis yang
diilhami etika dan j i a tersebut terutarna berasal dari ketas menengah-bawah yang kurang terikat
tradisi, bukan dari kelas aristokrat yang terikat tradisi (Weber, 1958). Studi tentang asal-usul
sosial pengusaha sejauh ini cendemng mengukuhkan tesis Weber tersebut, yaitu bahwa
golongan pengusaha umumnya berasal dari kalangan marjinal, yaitu kalangan yang berjuang keras
di bidang ekonomi untuk mengimbangi majinalitas dalam konteks sosialnya (Long, 1977: 105).
Dengan menganalisis riwayat hidup sejumlah elit pengusaha mandiri (entepreneufs] skala dunia,
lennings et.al. (1 99469)misalnya telah menguji tesis Weber ini dan tiba pada kesirnpulan bahwa
mayoritas pengusaha mandiri berasal dari keluarga kelas pekerja atau lapisan bawah. Kesimpulan

Weber dan para pengikutnya tentang asal-usul pengusaha kapitalis ini sesungguhnya konsisten
dengan kesimpulan Marx jauh hari sebelumnya.

Menurut Marx, kapitalis-kapitalis kecil (yang

kemudian menjadi besar) untuk sebagian datang dari kalangan perajin kecil dan bahkan buruh
upahan (Marx, 1965: 750) atau dengan kata lain dari kalangan kelas bawah.
Untuk kasus lndonesia tesis Weber khususnya harus diterima secara hati-hati mengingat
golongan pengusaha di negara ini terdiri dari sejumlah kategori primordial dengan latar sejarah
berbeda-beda, yaitu pribumi, non-pribumi keturunan Cina, dan non-pribumi selain Cina. Tesis Weber
mungkin berlaku untuk golongan pengusaha Cina, yang menurut Wertheim cikal-bakalnya adalah
imigran-buruh di perkebunan dan industri Hindia Belanda (abad 17), sebelum kemudian menjadi
pedagang perantara (abad 18 dan 19) dan terakhir juga menjadi pengusaha industri manufaktur
(sejak sekitar pertengahan abad 20). Orang Cina itu agaknya lebih respons~fdalam memanfaatkan
peluang usaha dibanding misalnya orang Iawa. Ketika pada penghujung abad 19 peluang usaha
pedagang perantara terbuka lebar menyusul perluasan pasar industri Eropa Barat ke Hindia
Belanda, di Iawa orang Cina inilah yang terutama memanfaatkan peluang itu, bukan orang Iawa
yang masih terikat pada tradisi agraris (Wertheim, 1959: 58, 94).
Terhadap asal-usul sosial pengusaha pribumi, tesis Weber tampaknya tidak sepenuhnya
mengena. lika pengusaha dianggap elit modern di bidang ekonomi, maka terbuka kemungkinan ia
berasal dari Mangan elit tradisional atau rakyat biasa. lntegrasi golongan petani dan pedagang
biasa (non-elit) ke dalam ekonomi uang misalnya, sebagaimana diamati Wertheim di luar-Jawa, dapat
mengantar golongan itu kepada "kemakmuran ekonomi" dan dengan demikian menjadi "elit baru"
yang menuntut kesetaraan dengan elit tradisional (Wertheim, 1969:141-53). Kesimpulan van Niel
lebih tegas lagi: "garis besar perkembangan eiit lndonesia adalah dari elit tradisionil berdasar
keturunan dengan orientasi kosmologis kepada elit modem berdasar pendidikan

dengan

orientasi negara kemakmuran" (van Niel, 98412). Baik elit tradisional maupun rakyat biasa, samasama berpeluang menjadi "orang berpendidikan dan berorientasi negara kemakmuran" atau dengan ,
kata lain "etit modem".
Dalam kenyataan mungkin Mja susunan elit modem didominasi individu berlatarbelakang elit
tradisional. Dbanding rakyat biasa, elit tradisional memang memiliki akses lebih besar terhadap
jalur-jalur menuju elii modem (pendidikan, modal, kekuasaan). Dengan demikian elit tradisional

sangat dimungkinkan menjadi pihak pertama yang mengambil manfaat misalnya dari ekonomi uang
dan kemudian mendominasi susunan elit ekonomi termas.uk pengusaha industri.
Studi mikro Geertz misalnya menunjukkan bahwa pengusaha pribumi rnandiri (tipe firma)
berasal dari golongan elit tradisional tertentu, yaitu antara lain pedagang Muslim saleh (Mojokuto,
lawa) dan keluarga bangsawanlaristokrat (Tabanan, Bali). Atas dasar itu ia kemudian memmuskan
hipotesis tentatif tentang asal-usul sosial golongan pengusaha mandiri, yang disebutnya "kelompok
inovatif", yang intinya sebagai berikut (Geertz, 1963: 147-50):

(a) pemimpin ekonomi inovatif datang dari kelompok sosial yang cukup mapan dan homogen
secara sosial;

(b) kelompok inovatif ini terkristalisasi dari suatu kelompok tradisional lebih-luas yang - melalui
sejarah panjang

--

memiliki status lintasdesa dan orientasi antar-daerah; dan

(c) kelompok trad