Ketahanan panas bakteri Bongkrek Pseudomonas cocovenenans X128 dan taksoflavin serta pengaruh komponen lemak terhadap produksi taksoflavin
I. PENDAHULUAN
A.
L a t a r Belakang
Di Indonesia terdapat bermacam-macam jenis tempe, tergantung bahan dasarnya dikenal tempe kedelai yang terbuat
dari bahan dasar kedelai, tempe gembus dari ampas tahu,
tempe kecipir dari biji kecipir, dan tempe bongkrek dari
ampas kelapa' atau bungkil kelapa.
~pabilaorang menyebut
tempe saja maka yang dimaksud biasanya adalah tempe kedelai.
Kebiasaan makan tempe di Indonesia sudah berlangsung
berabad-abad lamanya, terutama pada masyarakat yang tinggal
di pulau Jawa.
Informasi ini sudah tertulis sejak tahun
1815 di dalam surat Centini yang ditulis oleh Raja Mataram
bernama Kanjeng Sunan Pakubuwono V di Keraton Surakarta
(Ridwan, 1986;
Kuswanto, 1988).
Sekarang tempe bukan saja
dikenal di Indonesia, tetapi sudah meluas sampai ke negara
Belanda, Amerika Serikat, dan Jepang.
Bagi masyarakat Indonesia, terutama golongan menengah
ke bawah yang tinggal di pulau Jawa, tempe merupakan sumber
protein yang cukup
penting.
Diperkirakan konsumsi tempe
oleh masyarakat antara 30 sampai 110 g per orang per hari.
Nilai gizi protein tempe hampir setara dengan nilai gizi
protein hewani (Ridwan, 1986).
Khusus di daerah Banyumas,
masyarakat yang tinggal di pedesaan sebagian besar mengkonsumsi jenis tempe bongkrek, karena selain rasanya yang khas
dan istimewa, harganyapun sangat murah.
Proses pembuatan tempe bongkrek umumnya masih bersifat
kurang higienis, sehingga mutu produk tidak terjamin dari
waktu ke waktu, bahkan sering terjadi keracunan sebagai
akibat proses fermentasi tempe bongkrek yang menyimpang.
Tempe bongkrek yang sering menimbulkan keracunan terutama
yang menggunakan bahan dasar ampas kelapa.
Kasus keracunan tempe bongkrek sebetulnya sudah terjadi
di daerah Banyumas sejak tahun 1895, namun baru pertama kali
dilaporkan oleh Vorderman pada tahun 1902 (Arbianto, 1975;
Darjono, 1975; Ekosapto, 1975).
Pencatatan korban keracunan
tempe bongkrek secara rinci baru dimulai pada tahun 1951
(Ekosapto, 1975; Soerjopranoto, 1975).
Vorderman melaporkan bahwa sejak tahun 1895 sampai tahun 1901 telah terjadi korban keracunan tempe bongkrek sebanyak 340 orang dan 200 orang diantaranya meninggal dunia.
Korban keracunan tempe bongkrek paling banyak terjadi pada
tahun 1975, yaitu sebanyak 1 036 orang dan 125 orang diantaranya meninggal dunia.
~eristiwakeracunan tempe bongkrek
terakhir yang memakan cukup banyak korban terjadi pada bulan
Februari
rang.
-
Maret 1988, di daerah Lumbir, Kecamatan ~ j i b a -
Menurut ~ a l a iPengawasan Obat dan Makanan Jawa Tengah
(Suhardjo et al, 1988/1989) dan Roedhijanto (1988) jumlah
korban keracunan tempe bongkrek pada saat itu mencapai 273
orang dan 37 orang diantaranya meninggal dunia.
Umumnya keracunan tempe bongkrek terjadi karena tumbuhnya bakteri P. cocovenenans selama fermentasi.
Sesungguhnya
proses fermentasi dapat berjalan baik bila mikrobe yang tumbuh baik adalah kapang Rhizopus sp.
Akan tetapi umumnya
masyarakat menggunakan ampas kelapa sebagai bahan dasarnya,
sehingga karena faktor-faktor lingkungan yang tidak menunjang maka bakteri P. cocovenenans ikut tumbuh dan berkembang
biak.
Telah banyak dilakukan penelitian tentang penyebab
keracunan tempe bongkrek dan cara pencegahannya.
Selain itu
sudah banyak pula dilakukan penelitian tentang toksin bongkrek.
Penelitian tentang asam bongkrek sudah banyak dila-
kukan baik tentang sifat antibiotiknya, rumus empirisnya,
pengaruh medium terhadap produksi asam bongkrek, mekanisme
kerja asam bongkrek pada jaringan tubuh, cara ekstraksi,
isolasi, pemurnian, dan'sebagainya (van Veen dan Mertens,
1933 dan 1935; Nugteren dan Berends, 1957; Hardjohutomo,
1958; Arbianto, 1963 dan 1971; Lijmbach et al.,
1971; De Bruijn et al.,
et al.,
1970 dan
1973; Soedigdo, 1975 dan 1977; KO
1979; Subardjo, 1983).
Namun penelitian tentang
toksoflavin relatif masih sangat terbatas.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih luas, khususnya
tentang beberapa sifat termal toksoflavin dan ketahanan
panas P. cocovenenans, maka penelitian ini dilakukan.
Sela-
in itu diteliti juga pengaruh komponen lemak terhadap produksi toksoflavin.
Diharapkan hasil penelitian yang dipero-
leh dapat memberikan sumbangan ilmu dalam bidang biokimia
dan mikrobiologi pada khususnya maupun dalam bidang ilmu
pangan dan gizi pada umumnya.
1.
Bakteri P. cocovenenans mempunyai ketahanan panas tertentu pada medium kaldu nutrien ( N u t r i e n t B r o t h ) .
2.
Toksoflavin mempunyai ketahanan panas tertentu pada medium yang berbeda.
3.
Medium pertumbuhan
mempengaruhi
aktivitas bakteri
P . cocovenenans dalam memproduksi toksoflavin.
C.
1.
Tujuan Penelitian
Menentukan karakteristik ketahananan panas bakteri
P . cocovenenans dalam medium pertumbuhan kaldu nutrien.
2.
Menentukan karakteristik ketahanan panas toksoflavin
pada medium tertentu.
3.
Mempelajari pengaruh komponen lemak dalam medium ampas
kelapa rendah lemak terhadap kemampuan P. cocovenenans
untuk memproduksi toksoflavin.
11.
A.
TINJAUAN PUSTAKA
Tempe Bongkrek
Tempe bongkrek merupakan makanan khas masyarakat daerah
Banyumas, biasanya dipergunakan sebagai lauk penghantar nasi
atau dibuat makanan jajan (Hardjohutonio, 1970; Ekosapto,
1975;
Winarno, 1986).
Tempe ini sangat disukai oleh masya-
rakat daerah tersebut.
Selain tempe bongkrek, di daerah Banyumas juga ada
jenis makanan lain yang mirip dengan tempe bongkrek, yaitu
yang disebut semayi (Kuswanto, 1988).
Bahan dasar
semayi
adalah kelapa parut, ampas kelapa atau campurannya.
Pada
pembuatan semayi proses fermentasi terjadi secara alami,
artinya tidak ditambahkan mikrobe tertentu secara sengaja,
sedangkan pada pembuatan tempe bongkrek ditambahkan laru
tempe yang berisi kapang R. oligosporus (Nugteren dan
Berends, 1957; Budijono, 1976/1977; KO dan Kelholt, 1981;
KO, 1985) atau Mucor sp. (Hardjohutomo, 1958; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1979/1980).
Garis besar pembuatan tempe bongkrek adalah sebagai
berikut : ampas kelapa atau bungkil kelapa direndam selama
semalam, kemudian dicuci dan diperas.
tersebut
Kemudian ampas kelapa
dikukus selama 30 sampai 60 menit.
ampas kelapa dicampur dengan laru
Setelah dingin
dan dibungkus dengan daun
pisang, kantung plastik atau dihamparkan di atas nyiru
dengan ketebalan sekitar 3 cm, kemudian ditutup dengan
daun
pisang dan karung goni.
Setelah itu ampas kelapa dibiarkan
selama dua hari pada suhu kamar, sehingga kapang tempenya
tumbuh.
Tempe bongkrek yang baik, mempunyai tekstur yang
padat dan kompak, berwarna putih seperti kapas karena ditutupi secara sempurna oleh miselia kapang tempe (KO et al.,
1979; KO, 1985; Ridwan, 1986).
Setiap 100 g tempe bongkrek,
kandungan zat gizinya sebagai berikut
: nilai kalori
119 Kal, protein 4.4 g, lemak 3.5 g, karbohidrat 18.3 g,kalsium 27.0 mg, fosfor 100.0 mg, zat besi 2.6 mg, vitamin B1
0.08 mg, dan air 72.5 g (Ekosapto, 1975).
Bahan dasar yang dipergunakan untuk membuat tempe bongkrek dapat berupa bungkil kelapa pabrik, bungkil kelapa
botokan yang diperoleh dari hasil samping pembuatan minyak
kelapa dengan menggunakan yuyu (Cancer), ampas kelapa yang
merupakan bahan sisa pembuatan minyak kelapa secara tradisional (klentik) atau sisa dari industri dodol.
Umumnya
tempe bongkrek yang dibuat dari bungkil kelapa pabrik jarang
ditumbuhi oleh bakteri P. cocovenenans karena kadar lemaknya
rendah.
Akan tetapi bungkil kelapa
botokan dan ampas kela-
pa, karena masih mengandung minyak yang cukup tinggi maka
sering ditumbuhi oleh bakteri P. cocovenenans (van Veen dan
Mertens, 1933; Soedigdo, 1977; KO, 1985).
Memurut van Veen dan Mertens (1933); Soedigdo (1977);
dan KO (1985) bakteri P. cocovenenans dapat membentuk toksin
pada ampas kelapa yang disimpan.
Mengingat kemungkinan
tersebut di atas maka keracunan tempe bongkrek dapat juga
disebabkan karena bahan dasar yang telah tercemar oleh toksin yang dihasilkan bakteri P. cocovenenans selama bahan
dasar tersebut disimpan.
Menurut Lie et al. (1985) untuk
mencegah tumbuhnya bakteri selama penyimpanan, sebaiknya
ampas kelapa dikeringkan.
1
B.
Keracunan Tempe Bongkrek dan Usaha Pencegahannya
Sudah banyak terjadi korban keracunan akibat mengkonsumsi tempe bongkrek.
Data tentang korban keracunan tempe
bongkrek dapat dilihat pada Tabel 1.
.
Tabel 1.
Data korban keracunan tempe bongkrek di beberapa
daerah di Jawa Tengah (1951-1988)
Penderita keracunan bongkrek
Tahun
M a t i
H i d u p
Jumlah
Sumber : Roedhijanto (1988)
Musim terjadinya keracunan tempe bongkrek pada umumnya
tidak tertentu.
Ada indikasi bahwa keracunan tempe bongkrek
terjadi bila musim paceklik dan harga bahan dasar bungkil
kelapa meningkat, sehingga produsen tempe bongkrek sengaja
mengganti atau mencampuri bungkil kelapa dengan ampas kelaPa
Berat ringannya keracunan tempe bongkrek ditentukan
oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah tempe bongkrek yang
dikonsumsi, ketahanan tubuh si penderita, dan kecepatan
untuk mendapatkan perawatan dokter.
Menurut ~urmandali
(1979) cukup dengan mengkonsumsi sebanyak 5 g sampai 25 g
tempe bongkrek yang beracun kematian sudah dapat terjadi.
Ciri-ciri atau gejala-gejala keracunan tempe bongkrek
dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Ciri-ciri keracunan tempe bongkrek
Tingkat Keracunan
Ciri-ciri Keracunan
Ringan
Pusing, mual, muntah
Sedang
Pusing, mual, muntah, sakit perut
Berat
Meninggal
Diare, kejang, keluar buih dari mulut
Koma, ada bercak-bercak darah beku
di bawah kulit
Sumber : Suhardjo et al. (1988/1989)
Kasus keracunan tempe bongkrek, sebenarnya tidak hanya
terjadi di daerah Banyumas saja, tetapi terjadi juga di daerah lainnya.
Akan tetapi karena korban keracunan paling
banyak terjadi di daerah Banyumas dan dapat dikatakan hampir
terjadi setiap tahun, maka yang paling terkenal adalah kasus
keracunan tempe bongkrek di daerah
Banyumas.
Pada tahun 1928 di daerah Kediri terjadi kasus keracunan tempe bongkrek.
Pada saat itu masyarakat daerah
Kediri
menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakar untuk penerangan.
Ampas kelapa yang dihasilkan dari hasil samping
pembuatan minyak kelapa digunakan sebagai bahan dasar untuk
membuat tempe bongkrek.
Kasus keracunan tempe bongkrek di
daerah Kediri tidak timbul lagi setelah daerah Kediri menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk penerangan.
Pada tahun 1956 di Kabupaten Kulonprogo dan di Malang juga
terjadi kasus keracunan tempe bongkrek.
Demikian juga di
daerah Brebes dan Lampung juga pernah terjadi kasus keracunan tempe bongkrek.
Dahulu diduga penyebab terjadinya keracunan tempe bongkrek di daerah Banyumas adalah alat tembaga yang digunakan
untuk merendam dan memasak ampas kelapa atau bungkil kelapa.
Namun setelah alat tersebut diganti dengan alat yang tidak
terbuat dari tembaga, kasus keracunan tempe bongkrek masih
saja terjadi.
Selain itu diduga juga penyebab keracunan
tempe bongkrek karena penggunaan yuyu (Cancer) untuk membuat
minyak kelapa (Soeryopranoto, 1975; Balai Penelitian Kimia
Semarang, 1976/1977 dan 1979/1980; Budijono, 1976/1977;
Winarno, 1986)
.
Sudah banyak usaha dilakukan untuk menemukan dan mencegah
penyebab
keracunan
tempe
bongkrek.
Penelitian telah
diawali oleh Vorderman pada
Soewad j i et al.,
tahun 1902 (Hardjohutomo, 1970;
1975; Balai Penelitian Kimia Semarang,
1976/1977), kemudian
dilanjutkan pada tahun 1928 oleh
Jansen (Suklan, 1984).
Namun baru pada tahun 1932 van Veen
dan Mertens berhasil mengungkap penyebab terjadinya keracunan pada tempe bongkrek dan menemukan bahwa penyebab keracunan adalah suatu bakteri kontaminan yang disebut Pseudomonas
cocovenenans (Nugteren dan Berends, 1957; Hardjohutomo, 1958
dan 1970).
Ternyata jika bakteri ini tumbuh, maka kapang
Rhizopus sp. yang diharapkan menjadi tidak dapat tumbuh
sehingga fermentasi tempe bongkrek mengalami kegagalan.
Bakteri P. cocovenenans bila ditumbuhkan pada medium
ampas kelapa akan memproduksi toksin yang dikenal dengan nama asam bongkrek dan toksoflavin.
Asam bongkrek merupakan
toksin yang tidak berwarna yang mempunyai daya toksisitas
yang lebih potensial daripada toksoflavin, sedangkan toksoflavin merupakan toksin yang berwarna kuning yang dapat
dilihat jelas jika ampas kelapa tercemar oleh toksin tersebut.
Van Veen (Hardjohutomo,l958) juga telah melakukan usaha
untuk mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek selama fermentasi dengan menggunakan kapang Monillia sitophila
sebagai pengganti kapang Rhizopus sp..
Kapang ini sanggup
memanfaatkan sisa minyak kelapa yang masih terdapat pada
ampas kelapa dalam waktu sehari semalam sehingga apabila
tempe bongkrek terkontaminasi bakteri P. cocovenenans maka
bakteri tersebut tidak mampu untuk memproduksi toksin.
Meskipun kapang ini berhasil mencegah pembentukan toksin dalam tempe bongkrek namun ada masalah karena yang dihasilkan
bukan tempe.bongkrek melainkan oncom.
Dilain pihak masyara-
kat daerah Banyumas sangat menyukai tempe bongkrek dan bukan
oncom, sehingga usaha penerapannya mengalami kegagalan.
Pada tahun 1956 Hardjohutomo juga melakukan penelitian
untuk mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek.
Pada awal penelitiannya digunakan antibiotik aureomisin dan
teramisin yang ternyata dapat mencegah pertumbuhan bakteri
P. cocovenenans.
Namun dalam penerapannya senyawa antibio-
tik ini susah dicari dan harganyapun mahal, sehingga hasil
penelitian ini tidak dapat diterapkan oleh masyarakat Banyumas (Hardjohutomo, 1958)
.
Hardjohutomo kemudian beralih menggunakan daun-daun
tanaman yang mengandung senyawa yang bersifat antibiotik.
Ternyata dari beberapa jenis daun yang digunakan untuk penelitian, ada satu jenis daun yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri P. cocovenenans.
Daun tanaman tersebut berasal
dari tanaman calincing (Oxalis sepium).
Daun tanaman terse-
but rasanya asam dan sering digunakan untuk membuat sayur
asam.
Rasp asam daun calincing disebabkan adanya senyawa
asam, seperti asam oksalat 0.06 persen, asam sitrat 0.05
persen dan asam-asam tartarat, malat dalam jumlah sedikit
(Hardjohutomo, 1958)
.
Penggunaan daun calincing dapat menghambat bakteri
P. cocovenenans atau merupakan antidotum dari toksin yang
diproduksinya.
Menurut penelitian Hardjohutomo (1958) daun
calincing merupakan penghambat bagi pertumbuhan bakteri, sedangkan .menurut Subardjo (1983) daun calincing bukan merupakan suatu antibiotik, tetapi merupakan antidotum terhadap
asam bongkrek.
Namun Ekosapto
(1975) menyatakan bahwa daun
calincing bersifat bakteriostatik dan merupakan antidotum.
Dosis yang efektif untuk mencegah pertumbuhan bakteri
P.
cocovenenans adalah 6 sampai 10 g daun calincing per
250 g ampas kelapa.
Penggunaan daun calincing segar menim-
I
bulkan masalah karena timbulnya warna hijau pada tempe bongkrek yang dihasilkan.
Timbulnya warna hijau ini dapat.di-
atasi dengan menggunakan ekstrak daun calincing kering.
Penggunaan daun calincing pada mulanya berjalan baik, namun
karena susah penyediaannya maka akhirnya upaya ini terhenti.
KO et al. (1979) juga telah melakukan penelitian untuk
mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek.
penambahan garam NaCl sebanyak 1.5
-
Ternyata
2.0 persen pada ampas
kelapa dapat mencegah tumbuhnya bakteri P. cocovenenans
tanpa mempengaruhi rasa tempanya.
KO dan Kelholt (1981)
menyatakan bahwa apabila bakteri P. cocovenenans yang tumbuh
pada starter jumlahnya kurang dari 10 kali jumlah spora kapang R. o l i g o s p o r u s maka toksin bongkrek tidak dapat diproduksi pada medium ampas kelapa.
Hasil penelitian KO et al.
(1979); KO dan Kelholt (1981) ternyata tidak mudah diterapkan di masyarakat.
Pemerintah dari dulu juga sudah melakukan upaya untuk
menanggulangi masalah keracunan tempe bongkrek.
Upaya yang
dilakukan umumnya bersifat preventif, seperti dikeluarkannya
larangan untuk memproduksi dan menjual tempe bongkrek,
pembinaan teknologi dan sanitasi pembuatan tempe bongkrek,
penyuluhan yang berkaitan dengan tempe bongkrek yang beracun
dan lain-lainnya.
Larangan untuk memproduksi tempe bongkrek dapat menurunkan jumlah produsen, namun hanya bersifat sementara.
Hal
ini terjadi karena biasanya larangan yang diberlakukan tidak
diikuti dengan cara pemecahan masalah yang tuntas.
Penda-
patan yang diperoleh dari pekerjaan lain umumnya lebih kecil
dari pendapatan yang diperoleh dari usaha tempe bongkrek.
Berdasarkan hal-ha1 tersebut maka'meskipun produsen tahu
bahwa tempe bongkrek dapat menimbulkan bahaya keracunan dan
ada larangan dari pemerintah untuk memproduksinya, mereka
tetap saja membuatnya.
Pada umumnya para konsumen tempe bongkrek meskipun mereka tahu bahwa memakan tempe bongkrek mempunyai resiko keracunan, namun masih tetap mengkonsumsinya.
Hal ini terjadi
karena beberapa alasan, seperti tingkat sosial ekonominya
yang rendah, harganya murah, rasanya enak dan rasa kecanduannya
.
Akhir-akhir ini usaha yang dilakukan oleh pemerintah
untuk menanggulangi masalah keracunan tempe bongkrek adalah
mengalihkan usaha t e m p bangkrek ke usaha tempe jamur merang
atau menjadi.petani jamur merang.
Pembuatan tempe jamur
merang diharapkan tidak mengalami kesulitan, kareng mereka
sudah mempunyai pengalaman menbuat tempe bongkrek.
C.
1.
Bakteri P. cocovenezmns
B i f a t Bakteri
Pada mulanya bakteri yang dicurigai tumbuh pada tempe
bongkrek adalah Bacillus, kemudian diberi nama Bacillus
cocovenenans.
Setelah diteliti kembali di Mikrobiologisch
Institut pada Technische Hogenschool, Delft, Nederland, diajukan nama genus Pseudomonas, sehingga namanya menjadi
P. cocovenenans (Nugteren dan Berends, 1957 ; Hard johutomo,
1958 dan 1970).
Nama P. cocovenenans, berasal dari kata venenum yang
berarti toksin di dalaa bahasa Latin dan coco dari kata
coconut yang berarti kelapa.
Jadi nama P. cocovenenans ber-
arti toksin dari kelapa yang diproduksi oleh bakteri genus
~seudonoias (Baluel, 1978 ; Anggraeni , 1990)
.
Menurut Bergeyls Manual of Determinative Bacteriology
bakteri P. cocovenenans ternasuk famili Bacteriaceae karena
bakteri ini bersifat heterotrof dan tidak membentuk spora
(Robert et al., 1957).
Pada tahun 1936 Kluyver dan van Niel
menggolongkan bakteri P. cocovenenans ke dalam famili
Pseudomonadaceae karena mempunyai flagela polar dan mampu
mengubah sakarida menjadi asam (van Damme et al.,
1960).
Genus Pseudomonas dapat mengubah glukosa dan jenis gula
lainnya baik'secara oksidatif maupun secara fermentatif.
Bakteri ini juga mempunyai sifat-sifat lainnya sebagai berikut : saprofitik, tidak membentuk spora, aerob atau anaerob
fakultatif dan bentuknya berubah-ubah tergantung medium
pertumbuhannya (van Veen dan Mertens, 1933; Arbianto, 1963,
1975; Hardjohutomo, 1970; Winarno, 1986; Lie et al.,
1988;
~ n g g r a e n i , 1990), berukuran pan jang 0.75 sampai 2.98
dengan lebar 0.30 sampai 0.5
j~
(Arbianto, 1971).
j~
Beberapa jenis bakteri bersifat motil, yaitu dapat
bergerak karena mempunyai suatu organ yang disebut flagela
yang terdapat pada permukaan self termasuk bakteri genus
Pseudomonas (Fardiaz, 1989)
.
Bakter i P. cocovenenans dapat
bergerak karena mempunyai flagela polar (Hardjohutomo,
1970).
Flagela P. cocovenenans bersifat lopotrikat dan
berjumlah 3 sampai 4 buah (van Veen dan Mertens, 1933).
Selain flagela bakteri ini juga mempunyai 4 silia pada salah
satu ujungnya (Arbianto, 1975)
.
Bakteri ~.cocovenenansterdapat di alam sebagai organisme bebas (van Veen dan Mertens, 1933).
Bakteri ini di-
anggap sebagai suatu rnikrobe kontaminan tempe bongkrek atau
lainnya
yang
dapat terjadi
secara
insidental
(Arbianto,
1979).
Trihadiningrum dan Arbianto (1983) berhasil mengi-
solasi P. c o c o v e n e n a n s yang menghasilkan toksoflavin dan
asam bongkrek dari tiga sampel air, yang berasal dari saluran irigasi sekunder, kolam penduduk dan sungai yang semuanya
berada di desa Arjawinangun, Kecamatan Purwokerto, daerah
Banyumas
.
Identifikasi bakteri P. cocovenenans secara morfologis
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pewarnaan Gram
dan pengujian dalam medium Kelman yang mengandung zat warna
2,3,5-trifenil tetrazolium khlorida.
Identifikasi dengan
pewarnaan Gram sesungguhnya tidak bersifat spesifik terhadap
P. c o c o v e n e n a n s .
Oleh karena itu uji pertumbuhan dalam
medium Kelman dilakukan untuk identifikasi P. cocovenenans
karena keselektifannya terhadap bakteri tersebut.
Medium
yang ditemukan oleh Kelman pada tahun 1954, terdiri dari
pepton 1 persen, glukosa 1 persen, bakto agar 1.7 persen dan
2,3,5-trifenil tetrazolium khlorida 50 ppm (Trihadiningrum
dan Arbianto, - 1983)
.
Sifat-sifat koloni bakteri P. cocovenenans dalam medium
Kelman adalah berbentuk bundar, bertepi rata (tidak bergelombang) yang berwarna putih, mempunyai pusat dengan warna
merah muda dan mempunyai kesan lembab (Arbianto, 1980;
Trihadiningrum dan Arbianto, 1983).
Trifenil tetrazolium
khlorida selain berfungsi sebagai pemberi warna pada koloni,
juga berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan bakteri lain
terutama golongan
bakteri
Gram positif.
Kadang-kadang ke
dalam medium Kelman ditambahkan
juga penisilin untuk mene-
kan pertumbuhan bakteri kontaminan.
Menurut penelitian Trihadiningrum dan Arbianto (1983)
bakteri P. cocovenenans mempunyai sifat-sifat khas sebagai
berikut : mampu mensintesis semua basa asam nukleat yang
dibutuhkan dan membutuhkan senyawa organik sebagai sumber
enersi.
Pada umumnya asam amino mempercepat pertumbuhan
karena dapat memperpendek periode lag (fase adaptasi) dengan
efektivitas yang berbeda. Glukosa merupakan sumber karbon
yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Seperti halnya mikrobe yang lain, pertumbuhan bakteri
P. cocovenenans dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Sifat
yang tirnbul karena pengaruh lingkungan ini disebut fenotip
(Anggraeni, 1990).
Fenotip atau penampakan luar dari bak-
teri terjadi karena adanya interaksi antara genotip dan
lingkungannya.
Biasanya perubahan fenotip dapat disebabkan
oleh karena adanya perubahan kondisi lingkungan yang bersifat tidak menetap.
Fenotip akan kembali normal seperti
semula apabila kondisi lingkungan dikembalikan pada keadaan
normalnya yang optimum.
Koloni bakteri P. c o c o v e n e n a n s berwarna kuning pada
medium yang mengandung gliserol, namun tidak selalu demikian.
Pada medium yang mengandung glukosa dan pada medium
yang mengandung asam-asam lemak dari minyak kelapa pembentukan warnanya jauh berkurang (van Veen, 1967).
2.
Produksi Toksin oleh P. cocovenenans
Dalam pertumbuhan dan perkembangbiakannya, mikrobe mem-
butuhkan zat-zat gizi untuk mensintesis komponen sel, menghasilkan metabolit sekunder dan enersi.
Metabolit sekunder
adalah suatu hasil metabolisme yang bukan merupakan kebutuhan pokok sel mikrobe untuk hidup dan tumbuh, seperti misalnya toksin, antibiotik, pigmen, vitamin dan lain sebagainya.
Bakteri P. cocovenenans memproduksi toksin pada medium ampas
kelapa dan toksin yang dihasilkan ini merupakan suatu metabolit sekunder.
Semenjak pertengahan tahun 1890 telah ditemukan beberapa jenis toksin yang dihasilkan oleh bakteri.
~ebagian
besar bakteri penghasil toksin merupakan bakteri kontaminan
pada beberapq bahan pangan, seperti halnya bakteri bongkrek
P. cocovenenans yang merupakan bakteri kontaminan pada tempe
bongkrek.
Hampir semua toksin yang dihasilkan oleh bakteri
.. < .
merupakan protein atau polipeptida, namun ada juga yang
L
bukan merupakan protein, seperti asam bongkrek dan toksoflavin yang diproduksi oleh bakteri P. cocovenenans.
Asam
bongkrek merupakan asam trikarboksilat dan toksoflavin merupakan senyawa basa.
Alouf dan Reynoud
(1970) yang dikutip oleh Kuswanto
dan Sudarmadji (1988) menggolongkan toksin bakteri atas tiga
kelompok, yaitu : (1) toksin intraseluler, toksin yang
dibentuk di dalam sitoplasma yang
dapat ke luar dari sel
apabila sel inengalami otolisis atau apabila dilakukan ekstraksi; (2) toksin ekstraseluler, toksin yang diproduksi di
luar sel; dan (3) toksin yang terdapat diantara sel.
Menu-
rut Lie et al. (1988) toksin yang diproduksi oleh bakteri
P. cocovenenans merupakan suatu eksotoksin, sedangkan menurut Arbianto (1971) asam bongkrek di produksi di dalam sel
dan dibebaskan ke dalam medium ketika beberapa sel mulai
mengalami lisis pada fase stasioner.
Produksi toksin dan metabolit sekunder lainnya sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
jenis mikro-
be, pH, suhu, ketersediaan zat gizi, dan terdapatnya mikrobe
lain yang tumbuh dalam medium. Pada umumnya bahan dasar yang
digunakan untuk fermentasi sudah mengandung zat gizi sebagai
sumber enersi, sumber nitrogen, air, vitamin, mineral, dan
faktor-faktor lain yang dapat digunakan untuk pertumbuhan
mikrobe (Kuswanto dan Sudarmadji, 1988).
Bakteri P. cocovenenans hanya memproduksi toksin apabila tumbuh pada medium yang mengandung ampas kelapa.
medium lainnya meskipun
juga
mengandung
Pada
minyak, seperti
kedelai, bungkil kedelai, bungkil kacang tanah, ampas tahu,
bi ji kapok, biji munggur, biji lamtoro, dan biji koro benguk asal tidak tercampur dengan ampas kelapa, bakteri
P. cocovenenans
tidak
akan
memproduksi
dan Mertens, 1933; Soepadi, 1953;
toksin (van Veen
Hardjohutomo, 1958, 1970;
Ekosapto, 1975; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1979/1980).
Pertumbuhan bakteri P. cocovenenans tidak terpengaruh
oleh perbedaan kandungan lemak pada kisaran 2 sampai 25 persen,
sedangkan penurunan produksi toksoflavin nyata terjadi
hanya jika kandungan lemak ampas kelapa kurang dari 5 persen.
Randungan lemak sebesar 7 sampai 14 persen dalam medi-
um ampas kelapa (Coconut Culture Medium) merupakan kondisi
yang paling sesuai untuk produksi toksin (KO, 1985).
Selain.dipengaruhi oleh kadar lemak ampas kelapa, bakteri P. cocovenenans dalam pertumbuhan dan produksi toksinnya dipengaruhi pula oleh kadar air ampas kelapanya.
Pada
kisaran kadar air ampas kelapa antara 35 sampai 75 persen
pertumbuhan dan produksi toksin tidak dipengaruhi oleh perbedaan kadar air (KO, 1985)
.
Namun pada kadar air rendah
seperti pada ampas kelapa yang telah dikeringkan bakteri
P. cocovenenans tidak dapat tumbuh (Lie et al., 1985).
Pada medium ampas kelapa, bakteri P. cocovenenans akan
menggunakan asam-asam lemak terutama asam oleat dan gliserol
sebagai sumber karbon dan sumber enersi (van Veen dan
Mertens,
19.33, dan 1934; Nugteren dan Berends, 1957;
Hardjohutomo, 1958; van Damme et al., 1960; van Veen, 1967).
Asam-asam lemak, terutama asam oleat akan digunakan sebagai
substrat untuk pembentukan asam bongkrek sedangkan gliserol
digunakan sebagai substrat untuk pembentukan toksoflavin.
Adanya asam-asam amino tambahan pada medium pertumbuhan
akan menstimulasi produksi asam bongkrek.
Vitamin dan basa-
basa purin dan pirimidin tidak diperlukan untuk produksi
asam bongkrek (Arbianto, 1979). Menurut Levenberg dan Linton
(1966) basa-basa purin tertentu yang ditambahkan ke dalam
medium pertumbuhan bakteri P. cocovenenans akan menyebabkan
toksoflavin yang dihasilkan bertambah banyak.
Basa-basa pu-
rin tersebut antara lain adalah xantina, xantosina, guanina,
isoguaniana, hipoksantina dan adenina.
Penelitian lebih lanjut oleh Levenberg dan Linton
(1966) menunjukkan bahwa konversi basa-basa purin menjadi
toksoflavin distimulasi oleh adanya glisin di dalam medium
pertumbuhan bakteri P. cocovenenans,
Nurmandali (1979)
telah mencoba melakukan biosintesis toksoflavin dengan
menggunakan prekursor xantina, glisina dan metionina dengan
bantuan
enzim dari bakteri P. cocovenenans, tetapi hasil-
nya masih belum seperti yang diharapkan.
Gliserol dan asam-
asam organik cocok untuk pertumbuhan dan produksi asam
bongkrek (Arbianto, 1979)
.
Toksoflavin relatif lebih mudah diproduksi di dalam
medium cair daripada di dalam medium padat (van Veen, 1967).
Pada medium cair yang mengandung gliserol, pepton dan garam
serta dibiarkan berhubungan dengan udara pada suhu 30°C,
bakteri P. cocovenenans mudah memproduksi toksoflavin.
Selama fermentasi tempe bongkrek, P, cocovenenans tumbuh bersama dengan kapang tempe dan bersaing untuk mendapatkan substrat.
Menurut penelitian KO et al. (1979) jumlah
spora R. oligosporus untuk inokulasi sebanyak lo4- lo7 untuk
setiap
gram
bahan
akan dapat menghambat produksi
toksin,
karena pertumbuhan kapang lebih cepat daripada bakteri,
sedangkan apabila spora R . o l i g o s p o r u s yang ditambahkan tidak
lebih dari 1 500 per gram bahan, diduga produksi asam bongkrek akan meningkat.
Menurut KO dan Kelholt (1981) interaksi pertumbuhan antara kapang dan bakteri kontaminan pada tempe bongkrek dapat
menghambat pembentukan atau terjadinya penurunan jumlah tokKapang R. o l i g o s p o r u s kemungkinan dapat menghasilkan
sin.
ekstrak metabolit yang dapat menghambat pembentukan toksin
oleh P. c o c o v e n e n a n s atau bila toksin sudah terbentuk maka
terjadi dekomposisi, perubahan atau digunakan untuk metabolisme kapang, sehingga jumlahnya berkurang.
Mekanisme peng-
hambatan dan degradasi senyawa toksin tersebut masih belum
jelas.
Keasaman medium pertumbuhan bakteri P. c o c o v e n e n a n s
mempengaruhi produksi toksin.
Menurut penelitian Arbidnto
.(1975) bakteri P. cocovenenans tidak membentuk toksin apabila pH ampas kelapa 4.2 dan produksi toksin'optimum pada pH
8.0,
sedangkan menurut penelitian KO (1985) pH awal medium
6.5 sampai 7.0 merupakan kondisi yang optimum untuk produksi
toksoflavin.
Apabila pH awal rendah maka produksi toksofla-
vin juga rendah.
soflavin
akan
Pada pH lebih besar dari 7.0 produksi tokmenurun dengan kenaikan pH.
Suhu inkubasi juga mempengaruhi produksi toksin dari
bakteri
P. c o c o v e n e n a n s .
bila suhu inkubasi 30°c,
Produksi
asam
bongkrek optimum
sedangkan produksi toksoflavin
23
optimum bila suhu inkubasi antara 30°c
-
37O~. Secara nyata
suhu yang tinggi menghambat produksi asam bongkrek, tetapi
tidak menghambat perbanyakan sel.
Pada suhu 4 3 O ~ ,meskipun
sel bertambah jumlahnya namun asam bongkrek dan toksoflavin
tidak diproduksi (KO, 1985).
Produksi toksin dipengaruhi oleh kondisi aerasi pada
medium
pertumbuhan
Damme et a1
.
bakteri
P. cocovenenans.
Menurut van
(1960) produksi toksof lavin terhambat bila
jumlah oksigen terbatas.
D. Toksin Bongkrek
Bakteri P. cocovenenans pada medium ampas kelapa akan
memproduksi dua
bongkrek.
macam
toksin, yaitu
toksoflavin
dan asam
Kedua toksin ini disebut juga toksin bongkrek,
karena sering terdapat secara bersamaan pada tempe bongkrek
yang beracun
1.
.
Toksoflavin
Toksoflavin adalah toksin yang berwarna kuning, ber-
sifat sedikit basa dan sangat polar.
Toksoflavin larut
dalam air, kloroform, etanol dan aseton serta hampir tidak
larut dalam eter, benzena dan petroleum eter (van Veen dan
Mertens, 1933; Hardjohutomo, 1958; van Veen, 1967; Arbianto,
1975).
Meskipun toksisitasnya lebih rendah daripada asam
bongkrek, tetapi toksoflavin bersifat toksik terhadap sel,
sehingga merupakan senyawa yang penting juga.
Di samping
itu strukturnya lebih sederhana dan lebih stabil sifatnya
(Soedigdo, 1977).
Toksoflavin
pertama kali diisolasi oleh
van Veen pada tahun 1932 dari tempe bongkrek yang beracun
yang berasal dari daerah Banyumas.
Menuruk penelitian van Veen dan Baars (1938) rumus
empiris toksoflavin adalah C6H6N4O2 dan rumus bangunnya
seperti terlihat pada Gambar 1A.
Menurut rumus van Veen dan
Baars struktur toksoflavin serupa dengan metilsantin, hanya
berbeda posisi ikatan rangkapnya, sehingga mudah dilakukan
isomerisasi tetapi kenyataannya tidak mudah diisomerisasi
. menjadi metilsantin.
Sifat fisik dan kimiawi 1-metilsantin
sangat berbeda dengan toksoflavin, sehingga rumus toksoflavin menurut van Veen dan Baars ditolak.
Toksoflavin dengan
o-fenilenediamin dalam larutan sedikit asam akan menghasilkan senyawa C11H8N402, yang berarti menjadi N-metilalloksazin, dan berarti bahwa toksoflavin mengandung N-metilalloksan.
Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut van Damme
et al.
(1960) menemukan bahwa rumus empiris toksoflav.in
adalah C7H7N502 dan mempunyai struktur seperti terlihat pada
Gambar 1B. Struktur ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Daves et al. (1962).
Latuasan dan Berends (1961) melaporkan bahwa toksoflavin identik dengan senyawa antibiotik xantotrisin yang
diproduksi oleh bakteri Streptococcus albus.
Toksisitas
toksoflavin dan xantotrisin sama kuatnya.
P. farinofermentus
toksoflavin.
menghasilkan toksin yang
De Boer et a1.(1960)
P. glumae dan
serupa dengan
serta Elbe et a1.(1960)
yang dikutip oleh Anggraeni (1990) mengisolasi suatu
biotik
anti-
ferfenulin dari Streptomyces ferfenulens yang ter-
nyata merupakan isomer dari toksoflavin.
Gambar 1.
Struktur toksoflavin. (A) menurut van Veen dan
Baars, 1938; (B) menurut van Damme et al., 1960.
Toksoflavin diberi nama akhiran flavin karena sifat
fisiko-kimiawinya serupa dengan riboflavin, yaitu rnempunyai
warna kuning, menunjukkan fluoresensi hijau walaupun lemah,
stabil terhadap panas dan mempunyai spektrum absorpsi yang
serupa dengan riboflavin (van Veen, 1967), Toksof lavin yang
murni berbentuk seperti jarum.
Toksoflavin dengan SO2
menjadi tidak berwarna, tetapi bila dikocok di udara menjadi
berwarna lagi.
Apabila toksoflavin direaksikan dengan HC1 6N pada suhu
kamar dan dibiarkan selama 24 jam maka akan diperoleh suatu
larutan tak berwarna dan tidak melakukan absorpsi pada
daerah ultra
violet.
Pemekatan larutan ini akan menghasil-
kan senyawa tidak berwarna yang mempunyai dua puncak absorpsi pada daerah ultra violet, yaitu pada panjang gelombang
223 nm dan 328 nm.
Senyawa ini diberi nama toksoflavin B.
Toksoflavin sendiri mempunyai absorpsi maksimum pada daerah
ultra violet dengan panjang gelombang 258 nm dan 395 nm (van
D a m e et al., 1960).
Toksoflavin biasanya diukur pada panjang gelombang
258 nm dengan nilai koefisien penyerapan sebesar 16 400.
Toksoflavin bila direaksikan dengan asam mineral dihasilkan
senyawa yang mempunyai
rumus C6H8N4o3, senyawa ini dianggap
sebagai suatu hidrat dari toksoflavin (van Veen, 1967).
Slamet (1985) telah melakukan ekstraksi toksoflavin dan
ternyata toksoflavin yang dihasilkan mempunyai dua puncak
absorpsi, yaitu pada panjang gelombang 260 nm dan 216 nm.
Tantie (1985) juga telah melakukan ekstraksi toksoflavin
ternyata daerah absorpsi maksimumnya pada panjang gelombang
260 nm dan 208 nm,
sedangkan Windarmaya (1987) menemukan
bahwa absorpsi maksimum dari toksoflavin yang diperoleh
adalah pada panjang gelombang 253.5 nm dan 205.5 nm.
KO (1985) telah melakukan ekstraksi toksoflavin dan
mendapatkan hasil maksimum sebesar 0.3 sampai 0.5 mg toksoflavin untuk setiap g ampas kelapa kering, yang dihasilkan
setelah 3 sampai 6 hari fermentasi.
Nilai pH awal pertum-
buhan 6.5 sampai 7.0 dan suhu pertumbuhannya antara 30°c
sampai 3 7 O ~ .
~ e n u r u tvan Veen (1967) dan Lijmbach et al.
titik cair toksoflavin adalah 171°c,
(1970)
sedangkan menurut
Hardjohutomo (1958) titik cair toksoflavin adalah 1 5 0 ~ ~ .
Toksoflavin tahan terhadap pemanasan sampai suhu 1 5 0 dan
~ ~
baru mulai rusak bila suhu pemanasan lebih besar dari 1 5 0 ~ ~
(Winarno, 1986)
.
Anggraeni (1990) telah melakukan pemurnian toksin bongkrek selain asam bongkrek, yang dihasilkan oleh bakteri
P. cocovenenans.
Berdasarkan penelitiannya diperoleh tiga
buah senyawa toksin.
Karakteristik dari ketiga senyawa
toksin tersebut adalah sebagai berikut : senyawa pertama
mempunyai faktor retensi (Rf) pada kromatograf i lapis tipis
dengan eluen kloroform dan metanol ( 11 , v/v) sebesar 0.75,
berfluoresensi putih dan membentuk kristal putih,
mempu-
nyai titik cair 216Oc dan mempunyai absorpsi maksimum pada
panjang gelombang 360 nm dan 268 nm.
Senyawa toksin yang
kedua mempunyai nilai Rf sebesar 0.65, berfluoresensi biru
hitam dan membentuk kristal kuning berbentuk jarum dengan
28
serta
~
mempunyai puncak absorpsi pada
t i t i k cair 2 0 5 ~
panjang gelombang 258 nm dan 2 0 2 nm.
Senyawa toksin yang
ketiga mempunyai nilai Rf sebesar 0 . 6 0 , berfluoresensi biru
hitam dan membentuk kristal krem dengan titik cair 181°c dan
mempunyai puncak absorpsi pada panjang gelombang 328 nm dan
202 nm.
2.
Asam Bongkrek
Asam bongkrek merupakan toksin yang tidak berwarna yang
diproduksi oleh bakteri P I cocovenenans.
kan asam lemak tidak jenuh tinggi.
Mertens (1933)
Toksin ini merupa-
Menurut van Veen dan
asam bongkrek mempunyai rumus e m p i r i s
C28H3807# dan menurut de Bruijn et al. (1973) asam bongkrek
mempunyai struktur kimia seperti
Gambar 2.
terlihat pada Gambar 2 .
Struktur Asam Bongkrek
(de Bruijn et al., 1973)
Asam bongkrek tidak larut dalam air tetapi larut dalam
petroleum eter dan alkohol.
Toksin ini dapat dipisahkan da-
ri toksoflavin karena larut dalam pelarut lemak, tetapi tidak larut dalam air, sedangkan toksoflavin larut dalam air
(van Veen, 1967).
Asam bongkrek sukar dibebaskan dari asam lemak yang
ada di
dalam
minyak
kelapa.
Di
dalam
ekstraksi
bongkrek akan terikut asam kaprat dan asam kaproat.
asam
Apabila
dicampur dengan larutan bikarbonat maka asam bongkrek akan
larut dengan mudah dalam fase cairnya (van Veen, 1967).
Asam bongkrek mudah larut dalam larutan lipofilik dan dapat
dipisahkan dari larutan dengan mengekstraknya memakai larutan alkali (Nugteren dan Berends, 1957).
Asam bongkrek yang murni sangat tidak stabil karena cepat
teroksidasi dan mempunyai kecenderungan terpolimerisasi
(Latuasan dan Berends, 1961).
Asam bongkrek yang tidak
murni sangat stabil dalam medium lemak dan lebih stabil lagi
dalam larutan alkali.
Asam bongkrek mudah sekali dioksidasi
dan inaktif pada suhu pemanasan yang lebih tinggi dard 1 0 0 ~ ~
(Hardjohutomo, 1958)
.
Stabilitasnya yang tinggi di dalam suatu emulsi minyak
menyebabkan asam bongkrek masih bersifat toksik pada tempe
bongkrek yang digoreng (van Veen, 1967).
Pemasakan dan
penggorengan tanpa minyak mempunyai sedikit atau tanpa nenpunyai efek terhadap toksisitas asam bongkrek.
Asam bongkrek mempunyai sifat-sifat yang penting.
Per-
tama, daya toksisitasnya tinggi terhadap semua hewan percobaan yang diuji, seperti tikus, burung dara, kera dan yang
lainnya.
Kedua, mempunyai aktivitas antibiotik terhadap be-
berapa bakteri, khamir dan kapang.
nya cukup kuat, yaitu aE2
=
-+
Ketiga, aktivitas optik-
165O dalam larutan natrium bi-
karbonat 2 persen dan ag2 = + 105O dalam etanol 96 persen.
Keempat, mempunyai absorpsi yang kuat pada daerah sinar ultra violet, maksimum pada panjang gelombang 239 nm dan 267nm
( ~ ~ ~ ~ ' 4000
1
dan ~
2
~ 000)
~ ~ dalam
4 5 etanol.
Kelima, sangat
tidak stabil dalam medium asam tetapi cukup stabil dalam
larutan garam pada suhu kamar (Nugteren dan Berends, 1957).
KO (1985) telah melakukan isolasi asam bongkrek dari
medium ampas kelapa yang ditumbuhi bakteri P. cocovenenans.
Produksi toksin maksimum adalah 4 mg per g ampas kelapa
kering, dan hasil produksi berkisar antara 2
ampas kelapa kering.
-
4 mg per g
Produksi maksimum dicapai setelah 3
sampai 6 hari fermentasi dan suhu inkubasi yang baik untuk
produksi asam bongkrek adalah suhu 30°c,
3.
Isolasi ban Pemurnian
Metode isolasi dan pemurnian toksin bongkrek sudah banyak dilakukan dan dikembangkan oleh beberapa peneliti.
Van
Veen dan Mertens (1933) dan van Damme et al. (1960) telah
melakukan isolasi toksoflavin dari ampas kelapa dengan mengqunakan kloroform.. Soedigdo (1975) dan Soedigdo (1977) juga
31
telah melakukan isolasi dengan menggunakan alkohol, kloroform dan air.
Toksoflavin yang murni dapat diperoleh dengan cara-cara
sebagai berikut : pertama-tama bahan diekstraksi menggunakan
kloroform, kemudian ekstrak kloroformnya diekstraksi dengan
air bebas ion.
Air bebas ion yang mengandung toksoflavin
dipekatkan, kemudian ditambah ammonium sulfat sampai jenuh.
Setelah itu ekstraksi diulangi kembali dengan kloroform, dan
kloroform kemudian diuapkan.
Toksoflavin yang tertinggal
dilarutkan dalam propanol pada suhu 5 5 O ~kemudian disimpan
di dalam lemari pembeku selama 48 jam sampai akhirnya
kris-
tal berbentuk jarum yang berwarna kuning terbentuk (van
D a m e et al., 1960; van Veen 1967).
Toksoflavin dalam suatu larutan dapat dideteksi dengan
menggunakan spektrofotometer, kromatografi lapis tipis, kromatografi kertas maupun kromatografi cairan tekanan tinggi.
Eluen yang digunakan pada kromatografi lapis tipis maupun
kromatografi kertas biasanya campuran metanol : etil asetat
(1:1, v/v), sedangkan pada kromatografi cairan tekanan
tinggi dapat digunakan campuran metanol : air : asam asetat
(5:94:1, v/v) (van D a m e et al., 1960; Soedigdo, 1977; KO,
1985).
Pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer dan
kromatografi cairan tekanan tinggi biasanya dilakukan pada
panjang gelombang 258 nm.
Metode isolasi asam bongkrek pertama kali dikembangkan
oleh van Veen (van Veen dan Mertens, 1933) yang berdasarkan
32
kenyataan asam bongkrek larut dalam larutan lipofilik dalam
suasana asam
kemudian dapat diisolasi dengan ekstraksi
menggunakan larutan alkali encer,
Sejak itu berbagai cara
isolasi dilakukan oleh peneliti lainnya (Nugteren dan
Berends, 1957; Lijmbach et al., 1970; Soedigdo, 1975).
Untuk mengetahui apakah asam bongkrek yang dihasilkan
murni atau belum dapat dilakukan pemisahan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis.
Asam bongkrek akan mudah di-
bedakan dari asam-asam lemak yang terikut, karena asam bongkrek mempunyai nilai Rf yang lebih rendah daripada asam lemak dan mempunyai
fluoresensi hitam apabila disinari dengan
sinar ultra violet (Nugteren dan Berends, 1957).
Apabila digunakan kromatografi lapis tipis untuk mendeteksi asam bongkrek, eluen yang digunakan adalah campuran
kloroforom:metanol:asam
atau
campuran
asetat (94:5:1, v/v)(Ko et a1.,1979)
etil asetat 15 persen:metanol 1 persen dalam
heptana (1 : 1, v/v) (Soedigdo, 1977).
Untuk kromatografi
kertas digunakan eluen campuran etanol : ammonia : air (20 :
1 : 4, v/v) (Soedigdo, 1977),
sedangkan
apabila
digunakan
kromatografi cairan tekanan tinggi digunakan eluen campuran
metanol : air : asam asetat (80 : 19 : 1, v/v )(KO, 1985).
4.
Mekanisme Keracunan
Telah banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui
bagaimana
mekanisme keracunan toksoflavin maupun asam bong-
krek terjadi. Selain toksik, menurut penelitian Arbianto
(1975) asam bongkrek dan toksoflavin merupakan kofaktor da-
lam metabolisme lemak pada bakteri P.cocovenenans. Penambahan toksoflavin dan asam bongkrek pada medium pertumbuhan
bakteri tersebut
akan mempengaruhi aktivitas pertumbuhan-
nya, yaitu meningkatkan pengambilan oksigen untuk respirasi
sel bakteri tersebut.
Toksin yang diproduksi oleh bakteri P. cocovenenans merupakan antibiotik bagi mikrobe lain sehingga apabila bakteri tersebut tumbuh pada tempe bongkrek mikrobe lainnya tidak
dapat tumbuh (van Veen, 1967).
Toksoflavin pada umumnya
berpengaruh terhadap bakteri Gram positif.
Toksoflavin
mempunyai sifat antibiotik yang lebih kuat dibandingkan
dengan ampisilin terhadap bakteri Gram negatif tetapi lebih
lemah daripada tetrasiklin (Slamet, 1985).
Pada kondisi
aerob toksoflavin mempunyai aktivitas yang tinggi dan dalam
keadaan anaerob tidak.
Latuasan dan Berends (1961')telah meneliti toksisitas
toksoflavin terhadap beberapa mikrobe, seperti Escherichia
coli, Shigella, Micrococcus pyogenes, Proteus vulgaris,
Bacillus subtilis dan khamir.
lihat pada Tabel 3.
Hasil penelitiannya dapat di-
Toksoflavin juga menghambat pertumbuhan
kapang Aspergillus niger (Nurmandali, 1979; Nugroho, 1980;
Anggraeni, 1990; Suryanti, 1990).
Toksoflavin bersifat toksik terutama pada mikrobe dan
bagian sel yang
tidak
banyak
mengandung
enzim katalase.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
van Damme et al. (1960) yang meneliti pengaruh toksoflavin
terhadap metabolisme khamir Saccharomyces cerevisiae, ternyata pertumbuhan khamir tersebut tidak dihambat oleh toksoflavin.
Menurut penelitian Latuasan dan Berends (1961) sam-
pai konsentrasi 100 pg/ml toksoflavin tidak mempengaruhi
pertumbuhan khamir S.cerevisiae.
Hasil penelitian mengenai
kadar toksoflavin yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa
mikrobe dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.
Kadar toksoflavin yang dapat menghambat
pertumbuhan beberapa mikrobe
Jenis mikrobe
Kadar toksoflavin
(pg/ml)
E. coli
Shigella
P. vulgaris
B. subtilis
M. pyogenes
Sumber : Latuasan dan Berends (1961)
Ketahanan khamir terhadap toksoflavin meskipun dalam
keadaan aerob, disebabkan karena khamir mempunyai enzim
katalase.
Enzim katalase akan mengkatalisis pemecahan
hidrogen peroksida (H202) yang terbentuk karena aktivitas
toksoflavin,
menjadi
oksigen
&an air,
dengan demikian
hidrogen peroksida tidak sernpat menyebabkan terjadinya
keracunan pada mikrobe tersebut.
35
Menurut penelitian Latuasan dan Berends (1961) toksoflavin berfungsi sebagai suatu pembawa elektron antara NADH
dan oksigen, yang memungkinkan kerja sitokrom dibuat pintas
(by pass) sehingga menghasilkan hidrogen peroksida yang bersifat toksik.
Reaksi pembentukan senyawa H20Z adalah seba-
gai berikut :
Jadi kematian karena keracunan toksoflavin disebabkan
karena terbentuknya H202 yang banyak, sedangkan tubuh tidak
cukup banyak menyediakan enzim katalase.
Toksoflavin mempunyai efek memusnahkan antimisin A dan
kalium sianida dalam sel khamir
1961).
(Latuasan dan Berends,
Toksoflavin menstimulasi pengambilan oksigen dari
sel-sel darah merah dan mengubah oksihemoglobin menjadi
methemoglobin (Baluel, 1978).
Menurut Zainuddin (1981) yang dikutip oleh Suklan
(1984) toksoflavin tidak stabil pada pH rendah seperti dalam
lambung, sehingga menjadi toksoflavin B yang tidak beracun.
Walaupun begitu apabila pH lambung meningkat kemungkinan
toksoflavin akan terserap ke dalam peredaran darah.
Toksoflavin dalam bentuk alami lebih toksik daripada
dalam bentuk kristalnya.
Pada keadaan awal toksoflavin
membentuk kompleks yang tidak erat dengan suatu protein.
Pemasakan dan pembakaran makanan yang beracun akan mendenaturasi senyawa kompleks tersebut dan menyebabkan toksoflavin
bersifat kurang toksik (van Veen dan Mertens,
1933;
Arbianto, 1971).
Toksoflavin lebih toksik apabila diberikan pada hewan
percobaan melalui injeksi ke dalam darah daripada diberikan
lewat mulut.
Dosis mematikan atau LDS0 untuk tikus bila di-
berikan lewat penyuntikan adalah sebesar 1.7 mg per kg berat
badan tikus dan apabila diberikan lewat mulut 8.4 mg per kg
berat badan tikus (Latuasan dan Berends, 1961; Lijmbach
Menurut percobaan Nugroho (1980), penyuntikan dengan dosis
1.3 mg sampai 1.5 mg toksoflavin per kg berat badan tikus,
sesudah 18 jam ternyata menyebabkan penurunan kandungan
glikogen hati secara nyata, sedangkan kandungan lemak dan
protein tidak dipengaruhi.
Apabila cara penyuntikan tokso-
flavin ke dalam tubuh hewan percobaan berbeda maka pengaruhnya juga berbeda.
Toksoflavin diperkirakan menghambat kerja ATP-ase yang
menghidrolisis ATP menjadi ADP
+
Pi + enersi.
Akibat kerja
toksoflavin maka produk ATP pada mitokondria juga terhalang.
Dalam sistem'pernafasan terjadi fosforilasi oksidatif dimana
sebagian enersi yang berasal dari hasil oksidasi disimpan
dalam bentuk ATP.
Setiap pasangan elektron yang dihasilkan
oleh fosforilasi substrat dapat membentuk tiga molekul ATP
melalui sistem sitokrom.
Akibat kerja toksoflavin yang
memintas sistem sitokrom tersebut maka akan mengakibatkan
dua molekul ATP hilang pada reaksi pernafasan (Suryanti,
1990).
Menurut penelitian Tantie (1985) toksoflavin dapat
menghambat transpor gula di dalam membran eritrosit dan juga
menyebabkan hemolisis darah.
Toksoflavin menghambat kerja
enzim glutamat transaminase dan alkali fosfatase yang ada di
dalam eritrosit.
Asam bongkrek lebih toksik daripada toksoflavin sehingga lebih berperanan pada peristiwa keracunan tempe bongkrek
yang terjadi pada manusia.
Van Veen dan Mertens (1934) men-
duga asam bongkrek mempunyai efek seperti narkotik dan tetanik.
Aktivitas fisiologisnya sebanding dengan aktivitas op-
tiknya (Nugteren dan Berends, 1957).
Asam bongkrek bersifat antibiotik terhadap khamir, kapang dan bakteri (Nugteren dan Berends, 1957).
Asam bong-
krek mempunyai nilai LDS0 sebesar 2 mg per 100 g berat badan
tikus bila diberikan lewat mulut dan menyebabkan kematian
dalam waktu 2 jam sampai 5 jam (Nugteren dan Berends, 1957;
Welling et al., 1960).
Sifat toksik asam bongkrek bersifat kumulatif (Nugteren
dan Berends, 1957).
Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Welling et a1.(1960).
Menurut penelitian
mereka apabila asam bongkrek sebesar 1 mg per 100 g berat
badan tikus masih dapat ditolerir, tetapi apabila diulangi
sesudah 48 jam dosis tersebut menjadi letal.
Welling et al. (1960) telah meneliti pula efek biokimiawi asam bongkrek dan menyatakan bahwa asam bongkrek adalah
inhibitor kuat bagi enzim mitokondria.
Proses oksidasi asam
piruvat, a-ketoglutarat dan malat dihambat oleh
asam
bongkrek, tetapi oksidasi suksinat dan 43-hidroksi butirat
distimulasi.
Asam bongkrek akan menutupi gugus -SH dari ATP-ase,
akibatnya produksi ATP pada mitokondria terhenti, sehingga
ATP diproduksi di luar mitokondria secara glikolisis dari
glikogen cadangan yang ada di dalam hati.
Proses fosforila-
si oksidatif, yaitu mekanisme pemecahan oksidatif dari karbohidrat dan lipida yang menghasilkan enersi akan dihambat
oleh asam bongkrek sehingga organ-organ tubuh kekurangan
enersi.
Apabila siklus Krebs dihambat maka satu-satunya
jalan untuk mem~eroleh enersi adalah melalui penggunaan ADP
dan 3-fosfogliseraldehida.
Hal ini akan menyebabkan terja-
dinya penguraian glikogen hati, jantung dan otot-otot sehingga kadar gula glukosa darah naik.
Setelah persediaan
glikogen habis, maka glukosa darah segera turun dan penderita keracunan bongkrek
akan mengalami asidosis (Nugteren dan
Berends, 1957; Welling et al., 1960; van Veen, 1967).
Pada orang yang keracunan tempe bongkrek, mula-mula
mengalami hiperglikemia, karena terjadi pengerahan glikogen
hati, jantung dan otot-otot, kemudian diikuti de
A.
L a t a r Belakang
Di Indonesia terdapat bermacam-macam jenis tempe, tergantung bahan dasarnya dikenal tempe kedelai yang terbuat
dari bahan dasar kedelai, tempe gembus dari ampas tahu,
tempe kecipir dari biji kecipir, dan tempe bongkrek dari
ampas kelapa' atau bungkil kelapa.
~pabilaorang menyebut
tempe saja maka yang dimaksud biasanya adalah tempe kedelai.
Kebiasaan makan tempe di Indonesia sudah berlangsung
berabad-abad lamanya, terutama pada masyarakat yang tinggal
di pulau Jawa.
Informasi ini sudah tertulis sejak tahun
1815 di dalam surat Centini yang ditulis oleh Raja Mataram
bernama Kanjeng Sunan Pakubuwono V di Keraton Surakarta
(Ridwan, 1986;
Kuswanto, 1988).
Sekarang tempe bukan saja
dikenal di Indonesia, tetapi sudah meluas sampai ke negara
Belanda, Amerika Serikat, dan Jepang.
Bagi masyarakat Indonesia, terutama golongan menengah
ke bawah yang tinggal di pulau Jawa, tempe merupakan sumber
protein yang cukup
penting.
Diperkirakan konsumsi tempe
oleh masyarakat antara 30 sampai 110 g per orang per hari.
Nilai gizi protein tempe hampir setara dengan nilai gizi
protein hewani (Ridwan, 1986).
Khusus di daerah Banyumas,
masyarakat yang tinggal di pedesaan sebagian besar mengkonsumsi jenis tempe bongkrek, karena selain rasanya yang khas
dan istimewa, harganyapun sangat murah.
Proses pembuatan tempe bongkrek umumnya masih bersifat
kurang higienis, sehingga mutu produk tidak terjamin dari
waktu ke waktu, bahkan sering terjadi keracunan sebagai
akibat proses fermentasi tempe bongkrek yang menyimpang.
Tempe bongkrek yang sering menimbulkan keracunan terutama
yang menggunakan bahan dasar ampas kelapa.
Kasus keracunan tempe bongkrek sebetulnya sudah terjadi
di daerah Banyumas sejak tahun 1895, namun baru pertama kali
dilaporkan oleh Vorderman pada tahun 1902 (Arbianto, 1975;
Darjono, 1975; Ekosapto, 1975).
Pencatatan korban keracunan
tempe bongkrek secara rinci baru dimulai pada tahun 1951
(Ekosapto, 1975; Soerjopranoto, 1975).
Vorderman melaporkan bahwa sejak tahun 1895 sampai tahun 1901 telah terjadi korban keracunan tempe bongkrek sebanyak 340 orang dan 200 orang diantaranya meninggal dunia.
Korban keracunan tempe bongkrek paling banyak terjadi pada
tahun 1975, yaitu sebanyak 1 036 orang dan 125 orang diantaranya meninggal dunia.
~eristiwakeracunan tempe bongkrek
terakhir yang memakan cukup banyak korban terjadi pada bulan
Februari
rang.
-
Maret 1988, di daerah Lumbir, Kecamatan ~ j i b a -
Menurut ~ a l a iPengawasan Obat dan Makanan Jawa Tengah
(Suhardjo et al, 1988/1989) dan Roedhijanto (1988) jumlah
korban keracunan tempe bongkrek pada saat itu mencapai 273
orang dan 37 orang diantaranya meninggal dunia.
Umumnya keracunan tempe bongkrek terjadi karena tumbuhnya bakteri P. cocovenenans selama fermentasi.
Sesungguhnya
proses fermentasi dapat berjalan baik bila mikrobe yang tumbuh baik adalah kapang Rhizopus sp.
Akan tetapi umumnya
masyarakat menggunakan ampas kelapa sebagai bahan dasarnya,
sehingga karena faktor-faktor lingkungan yang tidak menunjang maka bakteri P. cocovenenans ikut tumbuh dan berkembang
biak.
Telah banyak dilakukan penelitian tentang penyebab
keracunan tempe bongkrek dan cara pencegahannya.
Selain itu
sudah banyak pula dilakukan penelitian tentang toksin bongkrek.
Penelitian tentang asam bongkrek sudah banyak dila-
kukan baik tentang sifat antibiotiknya, rumus empirisnya,
pengaruh medium terhadap produksi asam bongkrek, mekanisme
kerja asam bongkrek pada jaringan tubuh, cara ekstraksi,
isolasi, pemurnian, dan'sebagainya (van Veen dan Mertens,
1933 dan 1935; Nugteren dan Berends, 1957; Hardjohutomo,
1958; Arbianto, 1963 dan 1971; Lijmbach et al.,
1971; De Bruijn et al.,
et al.,
1970 dan
1973; Soedigdo, 1975 dan 1977; KO
1979; Subardjo, 1983).
Namun penelitian tentang
toksoflavin relatif masih sangat terbatas.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih luas, khususnya
tentang beberapa sifat termal toksoflavin dan ketahanan
panas P. cocovenenans, maka penelitian ini dilakukan.
Sela-
in itu diteliti juga pengaruh komponen lemak terhadap produksi toksoflavin.
Diharapkan hasil penelitian yang dipero-
leh dapat memberikan sumbangan ilmu dalam bidang biokimia
dan mikrobiologi pada khususnya maupun dalam bidang ilmu
pangan dan gizi pada umumnya.
1.
Bakteri P. cocovenenans mempunyai ketahanan panas tertentu pada medium kaldu nutrien ( N u t r i e n t B r o t h ) .
2.
Toksoflavin mempunyai ketahanan panas tertentu pada medium yang berbeda.
3.
Medium pertumbuhan
mempengaruhi
aktivitas bakteri
P . cocovenenans dalam memproduksi toksoflavin.
C.
1.
Tujuan Penelitian
Menentukan karakteristik ketahananan panas bakteri
P . cocovenenans dalam medium pertumbuhan kaldu nutrien.
2.
Menentukan karakteristik ketahanan panas toksoflavin
pada medium tertentu.
3.
Mempelajari pengaruh komponen lemak dalam medium ampas
kelapa rendah lemak terhadap kemampuan P. cocovenenans
untuk memproduksi toksoflavin.
11.
A.
TINJAUAN PUSTAKA
Tempe Bongkrek
Tempe bongkrek merupakan makanan khas masyarakat daerah
Banyumas, biasanya dipergunakan sebagai lauk penghantar nasi
atau dibuat makanan jajan (Hardjohutonio, 1970; Ekosapto,
1975;
Winarno, 1986).
Tempe ini sangat disukai oleh masya-
rakat daerah tersebut.
Selain tempe bongkrek, di daerah Banyumas juga ada
jenis makanan lain yang mirip dengan tempe bongkrek, yaitu
yang disebut semayi (Kuswanto, 1988).
Bahan dasar
semayi
adalah kelapa parut, ampas kelapa atau campurannya.
Pada
pembuatan semayi proses fermentasi terjadi secara alami,
artinya tidak ditambahkan mikrobe tertentu secara sengaja,
sedangkan pada pembuatan tempe bongkrek ditambahkan laru
tempe yang berisi kapang R. oligosporus (Nugteren dan
Berends, 1957; Budijono, 1976/1977; KO dan Kelholt, 1981;
KO, 1985) atau Mucor sp. (Hardjohutomo, 1958; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1979/1980).
Garis besar pembuatan tempe bongkrek adalah sebagai
berikut : ampas kelapa atau bungkil kelapa direndam selama
semalam, kemudian dicuci dan diperas.
tersebut
Kemudian ampas kelapa
dikukus selama 30 sampai 60 menit.
ampas kelapa dicampur dengan laru
Setelah dingin
dan dibungkus dengan daun
pisang, kantung plastik atau dihamparkan di atas nyiru
dengan ketebalan sekitar 3 cm, kemudian ditutup dengan
daun
pisang dan karung goni.
Setelah itu ampas kelapa dibiarkan
selama dua hari pada suhu kamar, sehingga kapang tempenya
tumbuh.
Tempe bongkrek yang baik, mempunyai tekstur yang
padat dan kompak, berwarna putih seperti kapas karena ditutupi secara sempurna oleh miselia kapang tempe (KO et al.,
1979; KO, 1985; Ridwan, 1986).
Setiap 100 g tempe bongkrek,
kandungan zat gizinya sebagai berikut
: nilai kalori
119 Kal, protein 4.4 g, lemak 3.5 g, karbohidrat 18.3 g,kalsium 27.0 mg, fosfor 100.0 mg, zat besi 2.6 mg, vitamin B1
0.08 mg, dan air 72.5 g (Ekosapto, 1975).
Bahan dasar yang dipergunakan untuk membuat tempe bongkrek dapat berupa bungkil kelapa pabrik, bungkil kelapa
botokan yang diperoleh dari hasil samping pembuatan minyak
kelapa dengan menggunakan yuyu (Cancer), ampas kelapa yang
merupakan bahan sisa pembuatan minyak kelapa secara tradisional (klentik) atau sisa dari industri dodol.
Umumnya
tempe bongkrek yang dibuat dari bungkil kelapa pabrik jarang
ditumbuhi oleh bakteri P. cocovenenans karena kadar lemaknya
rendah.
Akan tetapi bungkil kelapa
botokan dan ampas kela-
pa, karena masih mengandung minyak yang cukup tinggi maka
sering ditumbuhi oleh bakteri P. cocovenenans (van Veen dan
Mertens, 1933; Soedigdo, 1977; KO, 1985).
Memurut van Veen dan Mertens (1933); Soedigdo (1977);
dan KO (1985) bakteri P. cocovenenans dapat membentuk toksin
pada ampas kelapa yang disimpan.
Mengingat kemungkinan
tersebut di atas maka keracunan tempe bongkrek dapat juga
disebabkan karena bahan dasar yang telah tercemar oleh toksin yang dihasilkan bakteri P. cocovenenans selama bahan
dasar tersebut disimpan.
Menurut Lie et al. (1985) untuk
mencegah tumbuhnya bakteri selama penyimpanan, sebaiknya
ampas kelapa dikeringkan.
1
B.
Keracunan Tempe Bongkrek dan Usaha Pencegahannya
Sudah banyak terjadi korban keracunan akibat mengkonsumsi tempe bongkrek.
Data tentang korban keracunan tempe
bongkrek dapat dilihat pada Tabel 1.
.
Tabel 1.
Data korban keracunan tempe bongkrek di beberapa
daerah di Jawa Tengah (1951-1988)
Penderita keracunan bongkrek
Tahun
M a t i
H i d u p
Jumlah
Sumber : Roedhijanto (1988)
Musim terjadinya keracunan tempe bongkrek pada umumnya
tidak tertentu.
Ada indikasi bahwa keracunan tempe bongkrek
terjadi bila musim paceklik dan harga bahan dasar bungkil
kelapa meningkat, sehingga produsen tempe bongkrek sengaja
mengganti atau mencampuri bungkil kelapa dengan ampas kelaPa
Berat ringannya keracunan tempe bongkrek ditentukan
oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah tempe bongkrek yang
dikonsumsi, ketahanan tubuh si penderita, dan kecepatan
untuk mendapatkan perawatan dokter.
Menurut ~urmandali
(1979) cukup dengan mengkonsumsi sebanyak 5 g sampai 25 g
tempe bongkrek yang beracun kematian sudah dapat terjadi.
Ciri-ciri atau gejala-gejala keracunan tempe bongkrek
dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Ciri-ciri keracunan tempe bongkrek
Tingkat Keracunan
Ciri-ciri Keracunan
Ringan
Pusing, mual, muntah
Sedang
Pusing, mual, muntah, sakit perut
Berat
Meninggal
Diare, kejang, keluar buih dari mulut
Koma, ada bercak-bercak darah beku
di bawah kulit
Sumber : Suhardjo et al. (1988/1989)
Kasus keracunan tempe bongkrek, sebenarnya tidak hanya
terjadi di daerah Banyumas saja, tetapi terjadi juga di daerah lainnya.
Akan tetapi karena korban keracunan paling
banyak terjadi di daerah Banyumas dan dapat dikatakan hampir
terjadi setiap tahun, maka yang paling terkenal adalah kasus
keracunan tempe bongkrek di daerah
Banyumas.
Pada tahun 1928 di daerah Kediri terjadi kasus keracunan tempe bongkrek.
Pada saat itu masyarakat daerah
Kediri
menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakar untuk penerangan.
Ampas kelapa yang dihasilkan dari hasil samping
pembuatan minyak kelapa digunakan sebagai bahan dasar untuk
membuat tempe bongkrek.
Kasus keracunan tempe bongkrek di
daerah Kediri tidak timbul lagi setelah daerah Kediri menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk penerangan.
Pada tahun 1956 di Kabupaten Kulonprogo dan di Malang juga
terjadi kasus keracunan tempe bongkrek.
Demikian juga di
daerah Brebes dan Lampung juga pernah terjadi kasus keracunan tempe bongkrek.
Dahulu diduga penyebab terjadinya keracunan tempe bongkrek di daerah Banyumas adalah alat tembaga yang digunakan
untuk merendam dan memasak ampas kelapa atau bungkil kelapa.
Namun setelah alat tersebut diganti dengan alat yang tidak
terbuat dari tembaga, kasus keracunan tempe bongkrek masih
saja terjadi.
Selain itu diduga juga penyebab keracunan
tempe bongkrek karena penggunaan yuyu (Cancer) untuk membuat
minyak kelapa (Soeryopranoto, 1975; Balai Penelitian Kimia
Semarang, 1976/1977 dan 1979/1980; Budijono, 1976/1977;
Winarno, 1986)
.
Sudah banyak usaha dilakukan untuk menemukan dan mencegah
penyebab
keracunan
tempe
bongkrek.
Penelitian telah
diawali oleh Vorderman pada
Soewad j i et al.,
tahun 1902 (Hardjohutomo, 1970;
1975; Balai Penelitian Kimia Semarang,
1976/1977), kemudian
dilanjutkan pada tahun 1928 oleh
Jansen (Suklan, 1984).
Namun baru pada tahun 1932 van Veen
dan Mertens berhasil mengungkap penyebab terjadinya keracunan pada tempe bongkrek dan menemukan bahwa penyebab keracunan adalah suatu bakteri kontaminan yang disebut Pseudomonas
cocovenenans (Nugteren dan Berends, 1957; Hardjohutomo, 1958
dan 1970).
Ternyata jika bakteri ini tumbuh, maka kapang
Rhizopus sp. yang diharapkan menjadi tidak dapat tumbuh
sehingga fermentasi tempe bongkrek mengalami kegagalan.
Bakteri P. cocovenenans bila ditumbuhkan pada medium
ampas kelapa akan memproduksi toksin yang dikenal dengan nama asam bongkrek dan toksoflavin.
Asam bongkrek merupakan
toksin yang tidak berwarna yang mempunyai daya toksisitas
yang lebih potensial daripada toksoflavin, sedangkan toksoflavin merupakan toksin yang berwarna kuning yang dapat
dilihat jelas jika ampas kelapa tercemar oleh toksin tersebut.
Van Veen (Hardjohutomo,l958) juga telah melakukan usaha
untuk mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek selama fermentasi dengan menggunakan kapang Monillia sitophila
sebagai pengganti kapang Rhizopus sp..
Kapang ini sanggup
memanfaatkan sisa minyak kelapa yang masih terdapat pada
ampas kelapa dalam waktu sehari semalam sehingga apabila
tempe bongkrek terkontaminasi bakteri P. cocovenenans maka
bakteri tersebut tidak mampu untuk memproduksi toksin.
Meskipun kapang ini berhasil mencegah pembentukan toksin dalam tempe bongkrek namun ada masalah karena yang dihasilkan
bukan tempe.bongkrek melainkan oncom.
Dilain pihak masyara-
kat daerah Banyumas sangat menyukai tempe bongkrek dan bukan
oncom, sehingga usaha penerapannya mengalami kegagalan.
Pada tahun 1956 Hardjohutomo juga melakukan penelitian
untuk mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek.
Pada awal penelitiannya digunakan antibiotik aureomisin dan
teramisin yang ternyata dapat mencegah pertumbuhan bakteri
P. cocovenenans.
Namun dalam penerapannya senyawa antibio-
tik ini susah dicari dan harganyapun mahal, sehingga hasil
penelitian ini tidak dapat diterapkan oleh masyarakat Banyumas (Hardjohutomo, 1958)
.
Hardjohutomo kemudian beralih menggunakan daun-daun
tanaman yang mengandung senyawa yang bersifat antibiotik.
Ternyata dari beberapa jenis daun yang digunakan untuk penelitian, ada satu jenis daun yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri P. cocovenenans.
Daun tanaman tersebut berasal
dari tanaman calincing (Oxalis sepium).
Daun tanaman terse-
but rasanya asam dan sering digunakan untuk membuat sayur
asam.
Rasp asam daun calincing disebabkan adanya senyawa
asam, seperti asam oksalat 0.06 persen, asam sitrat 0.05
persen dan asam-asam tartarat, malat dalam jumlah sedikit
(Hardjohutomo, 1958)
.
Penggunaan daun calincing dapat menghambat bakteri
P. cocovenenans atau merupakan antidotum dari toksin yang
diproduksinya.
Menurut penelitian Hardjohutomo (1958) daun
calincing merupakan penghambat bagi pertumbuhan bakteri, sedangkan .menurut Subardjo (1983) daun calincing bukan merupakan suatu antibiotik, tetapi merupakan antidotum terhadap
asam bongkrek.
Namun Ekosapto
(1975) menyatakan bahwa daun
calincing bersifat bakteriostatik dan merupakan antidotum.
Dosis yang efektif untuk mencegah pertumbuhan bakteri
P.
cocovenenans adalah 6 sampai 10 g daun calincing per
250 g ampas kelapa.
Penggunaan daun calincing segar menim-
I
bulkan masalah karena timbulnya warna hijau pada tempe bongkrek yang dihasilkan.
Timbulnya warna hijau ini dapat.di-
atasi dengan menggunakan ekstrak daun calincing kering.
Penggunaan daun calincing pada mulanya berjalan baik, namun
karena susah penyediaannya maka akhirnya upaya ini terhenti.
KO et al. (1979) juga telah melakukan penelitian untuk
mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek.
penambahan garam NaCl sebanyak 1.5
-
Ternyata
2.0 persen pada ampas
kelapa dapat mencegah tumbuhnya bakteri P. cocovenenans
tanpa mempengaruhi rasa tempanya.
KO dan Kelholt (1981)
menyatakan bahwa apabila bakteri P. cocovenenans yang tumbuh
pada starter jumlahnya kurang dari 10 kali jumlah spora kapang R. o l i g o s p o r u s maka toksin bongkrek tidak dapat diproduksi pada medium ampas kelapa.
Hasil penelitian KO et al.
(1979); KO dan Kelholt (1981) ternyata tidak mudah diterapkan di masyarakat.
Pemerintah dari dulu juga sudah melakukan upaya untuk
menanggulangi masalah keracunan tempe bongkrek.
Upaya yang
dilakukan umumnya bersifat preventif, seperti dikeluarkannya
larangan untuk memproduksi dan menjual tempe bongkrek,
pembinaan teknologi dan sanitasi pembuatan tempe bongkrek,
penyuluhan yang berkaitan dengan tempe bongkrek yang beracun
dan lain-lainnya.
Larangan untuk memproduksi tempe bongkrek dapat menurunkan jumlah produsen, namun hanya bersifat sementara.
Hal
ini terjadi karena biasanya larangan yang diberlakukan tidak
diikuti dengan cara pemecahan masalah yang tuntas.
Penda-
patan yang diperoleh dari pekerjaan lain umumnya lebih kecil
dari pendapatan yang diperoleh dari usaha tempe bongkrek.
Berdasarkan hal-ha1 tersebut maka'meskipun produsen tahu
bahwa tempe bongkrek dapat menimbulkan bahaya keracunan dan
ada larangan dari pemerintah untuk memproduksinya, mereka
tetap saja membuatnya.
Pada umumnya para konsumen tempe bongkrek meskipun mereka tahu bahwa memakan tempe bongkrek mempunyai resiko keracunan, namun masih tetap mengkonsumsinya.
Hal ini terjadi
karena beberapa alasan, seperti tingkat sosial ekonominya
yang rendah, harganya murah, rasanya enak dan rasa kecanduannya
.
Akhir-akhir ini usaha yang dilakukan oleh pemerintah
untuk menanggulangi masalah keracunan tempe bongkrek adalah
mengalihkan usaha t e m p bangkrek ke usaha tempe jamur merang
atau menjadi.petani jamur merang.
Pembuatan tempe jamur
merang diharapkan tidak mengalami kesulitan, kareng mereka
sudah mempunyai pengalaman menbuat tempe bongkrek.
C.
1.
Bakteri P. cocovenezmns
B i f a t Bakteri
Pada mulanya bakteri yang dicurigai tumbuh pada tempe
bongkrek adalah Bacillus, kemudian diberi nama Bacillus
cocovenenans.
Setelah diteliti kembali di Mikrobiologisch
Institut pada Technische Hogenschool, Delft, Nederland, diajukan nama genus Pseudomonas, sehingga namanya menjadi
P. cocovenenans (Nugteren dan Berends, 1957 ; Hard johutomo,
1958 dan 1970).
Nama P. cocovenenans, berasal dari kata venenum yang
berarti toksin di dalaa bahasa Latin dan coco dari kata
coconut yang berarti kelapa.
Jadi nama P. cocovenenans ber-
arti toksin dari kelapa yang diproduksi oleh bakteri genus
~seudonoias (Baluel, 1978 ; Anggraeni , 1990)
.
Menurut Bergeyls Manual of Determinative Bacteriology
bakteri P. cocovenenans ternasuk famili Bacteriaceae karena
bakteri ini bersifat heterotrof dan tidak membentuk spora
(Robert et al., 1957).
Pada tahun 1936 Kluyver dan van Niel
menggolongkan bakteri P. cocovenenans ke dalam famili
Pseudomonadaceae karena mempunyai flagela polar dan mampu
mengubah sakarida menjadi asam (van Damme et al.,
1960).
Genus Pseudomonas dapat mengubah glukosa dan jenis gula
lainnya baik'secara oksidatif maupun secara fermentatif.
Bakteri ini juga mempunyai sifat-sifat lainnya sebagai berikut : saprofitik, tidak membentuk spora, aerob atau anaerob
fakultatif dan bentuknya berubah-ubah tergantung medium
pertumbuhannya (van Veen dan Mertens, 1933; Arbianto, 1963,
1975; Hardjohutomo, 1970; Winarno, 1986; Lie et al.,
1988;
~ n g g r a e n i , 1990), berukuran pan jang 0.75 sampai 2.98
dengan lebar 0.30 sampai 0.5
j~
(Arbianto, 1971).
j~
Beberapa jenis bakteri bersifat motil, yaitu dapat
bergerak karena mempunyai suatu organ yang disebut flagela
yang terdapat pada permukaan self termasuk bakteri genus
Pseudomonas (Fardiaz, 1989)
.
Bakter i P. cocovenenans dapat
bergerak karena mempunyai flagela polar (Hardjohutomo,
1970).
Flagela P. cocovenenans bersifat lopotrikat dan
berjumlah 3 sampai 4 buah (van Veen dan Mertens, 1933).
Selain flagela bakteri ini juga mempunyai 4 silia pada salah
satu ujungnya (Arbianto, 1975)
.
Bakteri ~.cocovenenansterdapat di alam sebagai organisme bebas (van Veen dan Mertens, 1933).
Bakteri ini di-
anggap sebagai suatu rnikrobe kontaminan tempe bongkrek atau
lainnya
yang
dapat terjadi
secara
insidental
(Arbianto,
1979).
Trihadiningrum dan Arbianto (1983) berhasil mengi-
solasi P. c o c o v e n e n a n s yang menghasilkan toksoflavin dan
asam bongkrek dari tiga sampel air, yang berasal dari saluran irigasi sekunder, kolam penduduk dan sungai yang semuanya
berada di desa Arjawinangun, Kecamatan Purwokerto, daerah
Banyumas
.
Identifikasi bakteri P. cocovenenans secara morfologis
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pewarnaan Gram
dan pengujian dalam medium Kelman yang mengandung zat warna
2,3,5-trifenil tetrazolium khlorida.
Identifikasi dengan
pewarnaan Gram sesungguhnya tidak bersifat spesifik terhadap
P. c o c o v e n e n a n s .
Oleh karena itu uji pertumbuhan dalam
medium Kelman dilakukan untuk identifikasi P. cocovenenans
karena keselektifannya terhadap bakteri tersebut.
Medium
yang ditemukan oleh Kelman pada tahun 1954, terdiri dari
pepton 1 persen, glukosa 1 persen, bakto agar 1.7 persen dan
2,3,5-trifenil tetrazolium khlorida 50 ppm (Trihadiningrum
dan Arbianto, - 1983)
.
Sifat-sifat koloni bakteri P. cocovenenans dalam medium
Kelman adalah berbentuk bundar, bertepi rata (tidak bergelombang) yang berwarna putih, mempunyai pusat dengan warna
merah muda dan mempunyai kesan lembab (Arbianto, 1980;
Trihadiningrum dan Arbianto, 1983).
Trifenil tetrazolium
khlorida selain berfungsi sebagai pemberi warna pada koloni,
juga berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan bakteri lain
terutama golongan
bakteri
Gram positif.
Kadang-kadang ke
dalam medium Kelman ditambahkan
juga penisilin untuk mene-
kan pertumbuhan bakteri kontaminan.
Menurut penelitian Trihadiningrum dan Arbianto (1983)
bakteri P. cocovenenans mempunyai sifat-sifat khas sebagai
berikut : mampu mensintesis semua basa asam nukleat yang
dibutuhkan dan membutuhkan senyawa organik sebagai sumber
enersi.
Pada umumnya asam amino mempercepat pertumbuhan
karena dapat memperpendek periode lag (fase adaptasi) dengan
efektivitas yang berbeda. Glukosa merupakan sumber karbon
yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Seperti halnya mikrobe yang lain, pertumbuhan bakteri
P. cocovenenans dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Sifat
yang tirnbul karena pengaruh lingkungan ini disebut fenotip
(Anggraeni, 1990).
Fenotip atau penampakan luar dari bak-
teri terjadi karena adanya interaksi antara genotip dan
lingkungannya.
Biasanya perubahan fenotip dapat disebabkan
oleh karena adanya perubahan kondisi lingkungan yang bersifat tidak menetap.
Fenotip akan kembali normal seperti
semula apabila kondisi lingkungan dikembalikan pada keadaan
normalnya yang optimum.
Koloni bakteri P. c o c o v e n e n a n s berwarna kuning pada
medium yang mengandung gliserol, namun tidak selalu demikian.
Pada medium yang mengandung glukosa dan pada medium
yang mengandung asam-asam lemak dari minyak kelapa pembentukan warnanya jauh berkurang (van Veen, 1967).
2.
Produksi Toksin oleh P. cocovenenans
Dalam pertumbuhan dan perkembangbiakannya, mikrobe mem-
butuhkan zat-zat gizi untuk mensintesis komponen sel, menghasilkan metabolit sekunder dan enersi.
Metabolit sekunder
adalah suatu hasil metabolisme yang bukan merupakan kebutuhan pokok sel mikrobe untuk hidup dan tumbuh, seperti misalnya toksin, antibiotik, pigmen, vitamin dan lain sebagainya.
Bakteri P. cocovenenans memproduksi toksin pada medium ampas
kelapa dan toksin yang dihasilkan ini merupakan suatu metabolit sekunder.
Semenjak pertengahan tahun 1890 telah ditemukan beberapa jenis toksin yang dihasilkan oleh bakteri.
~ebagian
besar bakteri penghasil toksin merupakan bakteri kontaminan
pada beberapq bahan pangan, seperti halnya bakteri bongkrek
P. cocovenenans yang merupakan bakteri kontaminan pada tempe
bongkrek.
Hampir semua toksin yang dihasilkan oleh bakteri
.. < .
merupakan protein atau polipeptida, namun ada juga yang
L
bukan merupakan protein, seperti asam bongkrek dan toksoflavin yang diproduksi oleh bakteri P. cocovenenans.
Asam
bongkrek merupakan asam trikarboksilat dan toksoflavin merupakan senyawa basa.
Alouf dan Reynoud
(1970) yang dikutip oleh Kuswanto
dan Sudarmadji (1988) menggolongkan toksin bakteri atas tiga
kelompok, yaitu : (1) toksin intraseluler, toksin yang
dibentuk di dalam sitoplasma yang
dapat ke luar dari sel
apabila sel inengalami otolisis atau apabila dilakukan ekstraksi; (2) toksin ekstraseluler, toksin yang diproduksi di
luar sel; dan (3) toksin yang terdapat diantara sel.
Menu-
rut Lie et al. (1988) toksin yang diproduksi oleh bakteri
P. cocovenenans merupakan suatu eksotoksin, sedangkan menurut Arbianto (1971) asam bongkrek di produksi di dalam sel
dan dibebaskan ke dalam medium ketika beberapa sel mulai
mengalami lisis pada fase stasioner.
Produksi toksin dan metabolit sekunder lainnya sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
jenis mikro-
be, pH, suhu, ketersediaan zat gizi, dan terdapatnya mikrobe
lain yang tumbuh dalam medium. Pada umumnya bahan dasar yang
digunakan untuk fermentasi sudah mengandung zat gizi sebagai
sumber enersi, sumber nitrogen, air, vitamin, mineral, dan
faktor-faktor lain yang dapat digunakan untuk pertumbuhan
mikrobe (Kuswanto dan Sudarmadji, 1988).
Bakteri P. cocovenenans hanya memproduksi toksin apabila tumbuh pada medium yang mengandung ampas kelapa.
medium lainnya meskipun
juga
mengandung
Pada
minyak, seperti
kedelai, bungkil kedelai, bungkil kacang tanah, ampas tahu,
bi ji kapok, biji munggur, biji lamtoro, dan biji koro benguk asal tidak tercampur dengan ampas kelapa, bakteri
P. cocovenenans
tidak
akan
memproduksi
dan Mertens, 1933; Soepadi, 1953;
toksin (van Veen
Hardjohutomo, 1958, 1970;
Ekosapto, 1975; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1979/1980).
Pertumbuhan bakteri P. cocovenenans tidak terpengaruh
oleh perbedaan kandungan lemak pada kisaran 2 sampai 25 persen,
sedangkan penurunan produksi toksoflavin nyata terjadi
hanya jika kandungan lemak ampas kelapa kurang dari 5 persen.
Randungan lemak sebesar 7 sampai 14 persen dalam medi-
um ampas kelapa (Coconut Culture Medium) merupakan kondisi
yang paling sesuai untuk produksi toksin (KO, 1985).
Selain.dipengaruhi oleh kadar lemak ampas kelapa, bakteri P. cocovenenans dalam pertumbuhan dan produksi toksinnya dipengaruhi pula oleh kadar air ampas kelapanya.
Pada
kisaran kadar air ampas kelapa antara 35 sampai 75 persen
pertumbuhan dan produksi toksin tidak dipengaruhi oleh perbedaan kadar air (KO, 1985)
.
Namun pada kadar air rendah
seperti pada ampas kelapa yang telah dikeringkan bakteri
P. cocovenenans tidak dapat tumbuh (Lie et al., 1985).
Pada medium ampas kelapa, bakteri P. cocovenenans akan
menggunakan asam-asam lemak terutama asam oleat dan gliserol
sebagai sumber karbon dan sumber enersi (van Veen dan
Mertens,
19.33, dan 1934; Nugteren dan Berends, 1957;
Hardjohutomo, 1958; van Damme et al., 1960; van Veen, 1967).
Asam-asam lemak, terutama asam oleat akan digunakan sebagai
substrat untuk pembentukan asam bongkrek sedangkan gliserol
digunakan sebagai substrat untuk pembentukan toksoflavin.
Adanya asam-asam amino tambahan pada medium pertumbuhan
akan menstimulasi produksi asam bongkrek.
Vitamin dan basa-
basa purin dan pirimidin tidak diperlukan untuk produksi
asam bongkrek (Arbianto, 1979). Menurut Levenberg dan Linton
(1966) basa-basa purin tertentu yang ditambahkan ke dalam
medium pertumbuhan bakteri P. cocovenenans akan menyebabkan
toksoflavin yang dihasilkan bertambah banyak.
Basa-basa pu-
rin tersebut antara lain adalah xantina, xantosina, guanina,
isoguaniana, hipoksantina dan adenina.
Penelitian lebih lanjut oleh Levenberg dan Linton
(1966) menunjukkan bahwa konversi basa-basa purin menjadi
toksoflavin distimulasi oleh adanya glisin di dalam medium
pertumbuhan bakteri P. cocovenenans,
Nurmandali (1979)
telah mencoba melakukan biosintesis toksoflavin dengan
menggunakan prekursor xantina, glisina dan metionina dengan
bantuan
enzim dari bakteri P. cocovenenans, tetapi hasil-
nya masih belum seperti yang diharapkan.
Gliserol dan asam-
asam organik cocok untuk pertumbuhan dan produksi asam
bongkrek (Arbianto, 1979)
.
Toksoflavin relatif lebih mudah diproduksi di dalam
medium cair daripada di dalam medium padat (van Veen, 1967).
Pada medium cair yang mengandung gliserol, pepton dan garam
serta dibiarkan berhubungan dengan udara pada suhu 30°C,
bakteri P. cocovenenans mudah memproduksi toksoflavin.
Selama fermentasi tempe bongkrek, P, cocovenenans tumbuh bersama dengan kapang tempe dan bersaing untuk mendapatkan substrat.
Menurut penelitian KO et al. (1979) jumlah
spora R. oligosporus untuk inokulasi sebanyak lo4- lo7 untuk
setiap
gram
bahan
akan dapat menghambat produksi
toksin,
karena pertumbuhan kapang lebih cepat daripada bakteri,
sedangkan apabila spora R . o l i g o s p o r u s yang ditambahkan tidak
lebih dari 1 500 per gram bahan, diduga produksi asam bongkrek akan meningkat.
Menurut KO dan Kelholt (1981) interaksi pertumbuhan antara kapang dan bakteri kontaminan pada tempe bongkrek dapat
menghambat pembentukan atau terjadinya penurunan jumlah tokKapang R. o l i g o s p o r u s kemungkinan dapat menghasilkan
sin.
ekstrak metabolit yang dapat menghambat pembentukan toksin
oleh P. c o c o v e n e n a n s atau bila toksin sudah terbentuk maka
terjadi dekomposisi, perubahan atau digunakan untuk metabolisme kapang, sehingga jumlahnya berkurang.
Mekanisme peng-
hambatan dan degradasi senyawa toksin tersebut masih belum
jelas.
Keasaman medium pertumbuhan bakteri P. c o c o v e n e n a n s
mempengaruhi produksi toksin.
Menurut penelitian Arbidnto
.(1975) bakteri P. cocovenenans tidak membentuk toksin apabila pH ampas kelapa 4.2 dan produksi toksin'optimum pada pH
8.0,
sedangkan menurut penelitian KO (1985) pH awal medium
6.5 sampai 7.0 merupakan kondisi yang optimum untuk produksi
toksoflavin.
Apabila pH awal rendah maka produksi toksofla-
vin juga rendah.
soflavin
akan
Pada pH lebih besar dari 7.0 produksi tokmenurun dengan kenaikan pH.
Suhu inkubasi juga mempengaruhi produksi toksin dari
bakteri
P. c o c o v e n e n a n s .
bila suhu inkubasi 30°c,
Produksi
asam
bongkrek optimum
sedangkan produksi toksoflavin
23
optimum bila suhu inkubasi antara 30°c
-
37O~. Secara nyata
suhu yang tinggi menghambat produksi asam bongkrek, tetapi
tidak menghambat perbanyakan sel.
Pada suhu 4 3 O ~ ,meskipun
sel bertambah jumlahnya namun asam bongkrek dan toksoflavin
tidak diproduksi (KO, 1985).
Produksi toksin dipengaruhi oleh kondisi aerasi pada
medium
pertumbuhan
Damme et a1
.
bakteri
P. cocovenenans.
Menurut van
(1960) produksi toksof lavin terhambat bila
jumlah oksigen terbatas.
D. Toksin Bongkrek
Bakteri P. cocovenenans pada medium ampas kelapa akan
memproduksi dua
bongkrek.
macam
toksin, yaitu
toksoflavin
dan asam
Kedua toksin ini disebut juga toksin bongkrek,
karena sering terdapat secara bersamaan pada tempe bongkrek
yang beracun
1.
.
Toksoflavin
Toksoflavin adalah toksin yang berwarna kuning, ber-
sifat sedikit basa dan sangat polar.
Toksoflavin larut
dalam air, kloroform, etanol dan aseton serta hampir tidak
larut dalam eter, benzena dan petroleum eter (van Veen dan
Mertens, 1933; Hardjohutomo, 1958; van Veen, 1967; Arbianto,
1975).
Meskipun toksisitasnya lebih rendah daripada asam
bongkrek, tetapi toksoflavin bersifat toksik terhadap sel,
sehingga merupakan senyawa yang penting juga.
Di samping
itu strukturnya lebih sederhana dan lebih stabil sifatnya
(Soedigdo, 1977).
Toksoflavin
pertama kali diisolasi oleh
van Veen pada tahun 1932 dari tempe bongkrek yang beracun
yang berasal dari daerah Banyumas.
Menuruk penelitian van Veen dan Baars (1938) rumus
empiris toksoflavin adalah C6H6N4O2 dan rumus bangunnya
seperti terlihat pada Gambar 1A.
Menurut rumus van Veen dan
Baars struktur toksoflavin serupa dengan metilsantin, hanya
berbeda posisi ikatan rangkapnya, sehingga mudah dilakukan
isomerisasi tetapi kenyataannya tidak mudah diisomerisasi
. menjadi metilsantin.
Sifat fisik dan kimiawi 1-metilsantin
sangat berbeda dengan toksoflavin, sehingga rumus toksoflavin menurut van Veen dan Baars ditolak.
Toksoflavin dengan
o-fenilenediamin dalam larutan sedikit asam akan menghasilkan senyawa C11H8N402, yang berarti menjadi N-metilalloksazin, dan berarti bahwa toksoflavin mengandung N-metilalloksan.
Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut van Damme
et al.
(1960) menemukan bahwa rumus empiris toksoflav.in
adalah C7H7N502 dan mempunyai struktur seperti terlihat pada
Gambar 1B. Struktur ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Daves et al. (1962).
Latuasan dan Berends (1961) melaporkan bahwa toksoflavin identik dengan senyawa antibiotik xantotrisin yang
diproduksi oleh bakteri Streptococcus albus.
Toksisitas
toksoflavin dan xantotrisin sama kuatnya.
P. farinofermentus
toksoflavin.
menghasilkan toksin yang
De Boer et a1.(1960)
P. glumae dan
serupa dengan
serta Elbe et a1.(1960)
yang dikutip oleh Anggraeni (1990) mengisolasi suatu
biotik
anti-
ferfenulin dari Streptomyces ferfenulens yang ter-
nyata merupakan isomer dari toksoflavin.
Gambar 1.
Struktur toksoflavin. (A) menurut van Veen dan
Baars, 1938; (B) menurut van Damme et al., 1960.
Toksoflavin diberi nama akhiran flavin karena sifat
fisiko-kimiawinya serupa dengan riboflavin, yaitu rnempunyai
warna kuning, menunjukkan fluoresensi hijau walaupun lemah,
stabil terhadap panas dan mempunyai spektrum absorpsi yang
serupa dengan riboflavin (van Veen, 1967), Toksof lavin yang
murni berbentuk seperti jarum.
Toksoflavin dengan SO2
menjadi tidak berwarna, tetapi bila dikocok di udara menjadi
berwarna lagi.
Apabila toksoflavin direaksikan dengan HC1 6N pada suhu
kamar dan dibiarkan selama 24 jam maka akan diperoleh suatu
larutan tak berwarna dan tidak melakukan absorpsi pada
daerah ultra
violet.
Pemekatan larutan ini akan menghasil-
kan senyawa tidak berwarna yang mempunyai dua puncak absorpsi pada daerah ultra violet, yaitu pada panjang gelombang
223 nm dan 328 nm.
Senyawa ini diberi nama toksoflavin B.
Toksoflavin sendiri mempunyai absorpsi maksimum pada daerah
ultra violet dengan panjang gelombang 258 nm dan 395 nm (van
D a m e et al., 1960).
Toksoflavin biasanya diukur pada panjang gelombang
258 nm dengan nilai koefisien penyerapan sebesar 16 400.
Toksoflavin bila direaksikan dengan asam mineral dihasilkan
senyawa yang mempunyai
rumus C6H8N4o3, senyawa ini dianggap
sebagai suatu hidrat dari toksoflavin (van Veen, 1967).
Slamet (1985) telah melakukan ekstraksi toksoflavin dan
ternyata toksoflavin yang dihasilkan mempunyai dua puncak
absorpsi, yaitu pada panjang gelombang 260 nm dan 216 nm.
Tantie (1985) juga telah melakukan ekstraksi toksoflavin
ternyata daerah absorpsi maksimumnya pada panjang gelombang
260 nm dan 208 nm,
sedangkan Windarmaya (1987) menemukan
bahwa absorpsi maksimum dari toksoflavin yang diperoleh
adalah pada panjang gelombang 253.5 nm dan 205.5 nm.
KO (1985) telah melakukan ekstraksi toksoflavin dan
mendapatkan hasil maksimum sebesar 0.3 sampai 0.5 mg toksoflavin untuk setiap g ampas kelapa kering, yang dihasilkan
setelah 3 sampai 6 hari fermentasi.
Nilai pH awal pertum-
buhan 6.5 sampai 7.0 dan suhu pertumbuhannya antara 30°c
sampai 3 7 O ~ .
~ e n u r u tvan Veen (1967) dan Lijmbach et al.
titik cair toksoflavin adalah 171°c,
(1970)
sedangkan menurut
Hardjohutomo (1958) titik cair toksoflavin adalah 1 5 0 ~ ~ .
Toksoflavin tahan terhadap pemanasan sampai suhu 1 5 0 dan
~ ~
baru mulai rusak bila suhu pemanasan lebih besar dari 1 5 0 ~ ~
(Winarno, 1986)
.
Anggraeni (1990) telah melakukan pemurnian toksin bongkrek selain asam bongkrek, yang dihasilkan oleh bakteri
P. cocovenenans.
Berdasarkan penelitiannya diperoleh tiga
buah senyawa toksin.
Karakteristik dari ketiga senyawa
toksin tersebut adalah sebagai berikut : senyawa pertama
mempunyai faktor retensi (Rf) pada kromatograf i lapis tipis
dengan eluen kloroform dan metanol ( 11 , v/v) sebesar 0.75,
berfluoresensi putih dan membentuk kristal putih,
mempu-
nyai titik cair 216Oc dan mempunyai absorpsi maksimum pada
panjang gelombang 360 nm dan 268 nm.
Senyawa toksin yang
kedua mempunyai nilai Rf sebesar 0.65, berfluoresensi biru
hitam dan membentuk kristal kuning berbentuk jarum dengan
28
serta
~
mempunyai puncak absorpsi pada
t i t i k cair 2 0 5 ~
panjang gelombang 258 nm dan 2 0 2 nm.
Senyawa toksin yang
ketiga mempunyai nilai Rf sebesar 0 . 6 0 , berfluoresensi biru
hitam dan membentuk kristal krem dengan titik cair 181°c dan
mempunyai puncak absorpsi pada panjang gelombang 328 nm dan
202 nm.
2.
Asam Bongkrek
Asam bongkrek merupakan toksin yang tidak berwarna yang
diproduksi oleh bakteri P I cocovenenans.
kan asam lemak tidak jenuh tinggi.
Mertens (1933)
Toksin ini merupa-
Menurut van Veen dan
asam bongkrek mempunyai rumus e m p i r i s
C28H3807# dan menurut de Bruijn et al. (1973) asam bongkrek
mempunyai struktur kimia seperti
Gambar 2.
terlihat pada Gambar 2 .
Struktur Asam Bongkrek
(de Bruijn et al., 1973)
Asam bongkrek tidak larut dalam air tetapi larut dalam
petroleum eter dan alkohol.
Toksin ini dapat dipisahkan da-
ri toksoflavin karena larut dalam pelarut lemak, tetapi tidak larut dalam air, sedangkan toksoflavin larut dalam air
(van Veen, 1967).
Asam bongkrek sukar dibebaskan dari asam lemak yang
ada di
dalam
minyak
kelapa.
Di
dalam
ekstraksi
bongkrek akan terikut asam kaprat dan asam kaproat.
asam
Apabila
dicampur dengan larutan bikarbonat maka asam bongkrek akan
larut dengan mudah dalam fase cairnya (van Veen, 1967).
Asam bongkrek mudah larut dalam larutan lipofilik dan dapat
dipisahkan dari larutan dengan mengekstraknya memakai larutan alkali (Nugteren dan Berends, 1957).
Asam bongkrek yang murni sangat tidak stabil karena cepat
teroksidasi dan mempunyai kecenderungan terpolimerisasi
(Latuasan dan Berends, 1961).
Asam bongkrek yang tidak
murni sangat stabil dalam medium lemak dan lebih stabil lagi
dalam larutan alkali.
Asam bongkrek mudah sekali dioksidasi
dan inaktif pada suhu pemanasan yang lebih tinggi dard 1 0 0 ~ ~
(Hardjohutomo, 1958)
.
Stabilitasnya yang tinggi di dalam suatu emulsi minyak
menyebabkan asam bongkrek masih bersifat toksik pada tempe
bongkrek yang digoreng (van Veen, 1967).
Pemasakan dan
penggorengan tanpa minyak mempunyai sedikit atau tanpa nenpunyai efek terhadap toksisitas asam bongkrek.
Asam bongkrek mempunyai sifat-sifat yang penting.
Per-
tama, daya toksisitasnya tinggi terhadap semua hewan percobaan yang diuji, seperti tikus, burung dara, kera dan yang
lainnya.
Kedua, mempunyai aktivitas antibiotik terhadap be-
berapa bakteri, khamir dan kapang.
nya cukup kuat, yaitu aE2
=
-+
Ketiga, aktivitas optik-
165O dalam larutan natrium bi-
karbonat 2 persen dan ag2 = + 105O dalam etanol 96 persen.
Keempat, mempunyai absorpsi yang kuat pada daerah sinar ultra violet, maksimum pada panjang gelombang 239 nm dan 267nm
( ~ ~ ~ ~ ' 4000
1
dan ~
2
~ 000)
~ ~ dalam
4 5 etanol.
Kelima, sangat
tidak stabil dalam medium asam tetapi cukup stabil dalam
larutan garam pada suhu kamar (Nugteren dan Berends, 1957).
KO (1985) telah melakukan isolasi asam bongkrek dari
medium ampas kelapa yang ditumbuhi bakteri P. cocovenenans.
Produksi toksin maksimum adalah 4 mg per g ampas kelapa
kering, dan hasil produksi berkisar antara 2
ampas kelapa kering.
-
4 mg per g
Produksi maksimum dicapai setelah 3
sampai 6 hari fermentasi dan suhu inkubasi yang baik untuk
produksi asam bongkrek adalah suhu 30°c,
3.
Isolasi ban Pemurnian
Metode isolasi dan pemurnian toksin bongkrek sudah banyak dilakukan dan dikembangkan oleh beberapa peneliti.
Van
Veen dan Mertens (1933) dan van Damme et al. (1960) telah
melakukan isolasi toksoflavin dari ampas kelapa dengan mengqunakan kloroform.. Soedigdo (1975) dan Soedigdo (1977) juga
31
telah melakukan isolasi dengan menggunakan alkohol, kloroform dan air.
Toksoflavin yang murni dapat diperoleh dengan cara-cara
sebagai berikut : pertama-tama bahan diekstraksi menggunakan
kloroform, kemudian ekstrak kloroformnya diekstraksi dengan
air bebas ion.
Air bebas ion yang mengandung toksoflavin
dipekatkan, kemudian ditambah ammonium sulfat sampai jenuh.
Setelah itu ekstraksi diulangi kembali dengan kloroform, dan
kloroform kemudian diuapkan.
Toksoflavin yang tertinggal
dilarutkan dalam propanol pada suhu 5 5 O ~kemudian disimpan
di dalam lemari pembeku selama 48 jam sampai akhirnya
kris-
tal berbentuk jarum yang berwarna kuning terbentuk (van
D a m e et al., 1960; van Veen 1967).
Toksoflavin dalam suatu larutan dapat dideteksi dengan
menggunakan spektrofotometer, kromatografi lapis tipis, kromatografi kertas maupun kromatografi cairan tekanan tinggi.
Eluen yang digunakan pada kromatografi lapis tipis maupun
kromatografi kertas biasanya campuran metanol : etil asetat
(1:1, v/v), sedangkan pada kromatografi cairan tekanan
tinggi dapat digunakan campuran metanol : air : asam asetat
(5:94:1, v/v) (van D a m e et al., 1960; Soedigdo, 1977; KO,
1985).
Pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer dan
kromatografi cairan tekanan tinggi biasanya dilakukan pada
panjang gelombang 258 nm.
Metode isolasi asam bongkrek pertama kali dikembangkan
oleh van Veen (van Veen dan Mertens, 1933) yang berdasarkan
32
kenyataan asam bongkrek larut dalam larutan lipofilik dalam
suasana asam
kemudian dapat diisolasi dengan ekstraksi
menggunakan larutan alkali encer,
Sejak itu berbagai cara
isolasi dilakukan oleh peneliti lainnya (Nugteren dan
Berends, 1957; Lijmbach et al., 1970; Soedigdo, 1975).
Untuk mengetahui apakah asam bongkrek yang dihasilkan
murni atau belum dapat dilakukan pemisahan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis.
Asam bongkrek akan mudah di-
bedakan dari asam-asam lemak yang terikut, karena asam bongkrek mempunyai nilai Rf yang lebih rendah daripada asam lemak dan mempunyai
fluoresensi hitam apabila disinari dengan
sinar ultra violet (Nugteren dan Berends, 1957).
Apabila digunakan kromatografi lapis tipis untuk mendeteksi asam bongkrek, eluen yang digunakan adalah campuran
kloroforom:metanol:asam
atau
campuran
asetat (94:5:1, v/v)(Ko et a1.,1979)
etil asetat 15 persen:metanol 1 persen dalam
heptana (1 : 1, v/v) (Soedigdo, 1977).
Untuk kromatografi
kertas digunakan eluen campuran etanol : ammonia : air (20 :
1 : 4, v/v) (Soedigdo, 1977),
sedangkan
apabila
digunakan
kromatografi cairan tekanan tinggi digunakan eluen campuran
metanol : air : asam asetat (80 : 19 : 1, v/v )(KO, 1985).
4.
Mekanisme Keracunan
Telah banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui
bagaimana
mekanisme keracunan toksoflavin maupun asam bong-
krek terjadi. Selain toksik, menurut penelitian Arbianto
(1975) asam bongkrek dan toksoflavin merupakan kofaktor da-
lam metabolisme lemak pada bakteri P.cocovenenans. Penambahan toksoflavin dan asam bongkrek pada medium pertumbuhan
bakteri tersebut
akan mempengaruhi aktivitas pertumbuhan-
nya, yaitu meningkatkan pengambilan oksigen untuk respirasi
sel bakteri tersebut.
Toksin yang diproduksi oleh bakteri P. cocovenenans merupakan antibiotik bagi mikrobe lain sehingga apabila bakteri tersebut tumbuh pada tempe bongkrek mikrobe lainnya tidak
dapat tumbuh (van Veen, 1967).
Toksoflavin pada umumnya
berpengaruh terhadap bakteri Gram positif.
Toksoflavin
mempunyai sifat antibiotik yang lebih kuat dibandingkan
dengan ampisilin terhadap bakteri Gram negatif tetapi lebih
lemah daripada tetrasiklin (Slamet, 1985).
Pada kondisi
aerob toksoflavin mempunyai aktivitas yang tinggi dan dalam
keadaan anaerob tidak.
Latuasan dan Berends (1961')telah meneliti toksisitas
toksoflavin terhadap beberapa mikrobe, seperti Escherichia
coli, Shigella, Micrococcus pyogenes, Proteus vulgaris,
Bacillus subtilis dan khamir.
lihat pada Tabel 3.
Hasil penelitiannya dapat di-
Toksoflavin juga menghambat pertumbuhan
kapang Aspergillus niger (Nurmandali, 1979; Nugroho, 1980;
Anggraeni, 1990; Suryanti, 1990).
Toksoflavin bersifat toksik terutama pada mikrobe dan
bagian sel yang
tidak
banyak
mengandung
enzim katalase.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
van Damme et al. (1960) yang meneliti pengaruh toksoflavin
terhadap metabolisme khamir Saccharomyces cerevisiae, ternyata pertumbuhan khamir tersebut tidak dihambat oleh toksoflavin.
Menurut penelitian Latuasan dan Berends (1961) sam-
pai konsentrasi 100 pg/ml toksoflavin tidak mempengaruhi
pertumbuhan khamir S.cerevisiae.
Hasil penelitian mengenai
kadar toksoflavin yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa
mikrobe dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.
Kadar toksoflavin yang dapat menghambat
pertumbuhan beberapa mikrobe
Jenis mikrobe
Kadar toksoflavin
(pg/ml)
E. coli
Shigella
P. vulgaris
B. subtilis
M. pyogenes
Sumber : Latuasan dan Berends (1961)
Ketahanan khamir terhadap toksoflavin meskipun dalam
keadaan aerob, disebabkan karena khamir mempunyai enzim
katalase.
Enzim katalase akan mengkatalisis pemecahan
hidrogen peroksida (H202) yang terbentuk karena aktivitas
toksoflavin,
menjadi
oksigen
&an air,
dengan demikian
hidrogen peroksida tidak sernpat menyebabkan terjadinya
keracunan pada mikrobe tersebut.
35
Menurut penelitian Latuasan dan Berends (1961) toksoflavin berfungsi sebagai suatu pembawa elektron antara NADH
dan oksigen, yang memungkinkan kerja sitokrom dibuat pintas
(by pass) sehingga menghasilkan hidrogen peroksida yang bersifat toksik.
Reaksi pembentukan senyawa H20Z adalah seba-
gai berikut :
Jadi kematian karena keracunan toksoflavin disebabkan
karena terbentuknya H202 yang banyak, sedangkan tubuh tidak
cukup banyak menyediakan enzim katalase.
Toksoflavin mempunyai efek memusnahkan antimisin A dan
kalium sianida dalam sel khamir
1961).
(Latuasan dan Berends,
Toksoflavin menstimulasi pengambilan oksigen dari
sel-sel darah merah dan mengubah oksihemoglobin menjadi
methemoglobin (Baluel, 1978).
Menurut Zainuddin (1981) yang dikutip oleh Suklan
(1984) toksoflavin tidak stabil pada pH rendah seperti dalam
lambung, sehingga menjadi toksoflavin B yang tidak beracun.
Walaupun begitu apabila pH lambung meningkat kemungkinan
toksoflavin akan terserap ke dalam peredaran darah.
Toksoflavin dalam bentuk alami lebih toksik daripada
dalam bentuk kristalnya.
Pada keadaan awal toksoflavin
membentuk kompleks yang tidak erat dengan suatu protein.
Pemasakan dan pembakaran makanan yang beracun akan mendenaturasi senyawa kompleks tersebut dan menyebabkan toksoflavin
bersifat kurang toksik (van Veen dan Mertens,
1933;
Arbianto, 1971).
Toksoflavin lebih toksik apabila diberikan pada hewan
percobaan melalui injeksi ke dalam darah daripada diberikan
lewat mulut.
Dosis mematikan atau LDS0 untuk tikus bila di-
berikan lewat penyuntikan adalah sebesar 1.7 mg per kg berat
badan tikus dan apabila diberikan lewat mulut 8.4 mg per kg
berat badan tikus (Latuasan dan Berends, 1961; Lijmbach
Menurut percobaan Nugroho (1980), penyuntikan dengan dosis
1.3 mg sampai 1.5 mg toksoflavin per kg berat badan tikus,
sesudah 18 jam ternyata menyebabkan penurunan kandungan
glikogen hati secara nyata, sedangkan kandungan lemak dan
protein tidak dipengaruhi.
Apabila cara penyuntikan tokso-
flavin ke dalam tubuh hewan percobaan berbeda maka pengaruhnya juga berbeda.
Toksoflavin diperkirakan menghambat kerja ATP-ase yang
menghidrolisis ATP menjadi ADP
+
Pi + enersi.
Akibat kerja
toksoflavin maka produk ATP pada mitokondria juga terhalang.
Dalam sistem'pernafasan terjadi fosforilasi oksidatif dimana
sebagian enersi yang berasal dari hasil oksidasi disimpan
dalam bentuk ATP.
Setiap pasangan elektron yang dihasilkan
oleh fosforilasi substrat dapat membentuk tiga molekul ATP
melalui sistem sitokrom.
Akibat kerja toksoflavin yang
memintas sistem sitokrom tersebut maka akan mengakibatkan
dua molekul ATP hilang pada reaksi pernafasan (Suryanti,
1990).
Menurut penelitian Tantie (1985) toksoflavin dapat
menghambat transpor gula di dalam membran eritrosit dan juga
menyebabkan hemolisis darah.
Toksoflavin menghambat kerja
enzim glutamat transaminase dan alkali fosfatase yang ada di
dalam eritrosit.
Asam bongkrek lebih toksik daripada toksoflavin sehingga lebih berperanan pada peristiwa keracunan tempe bongkrek
yang terjadi pada manusia.
Van Veen dan Mertens (1934) men-
duga asam bongkrek mempunyai efek seperti narkotik dan tetanik.
Aktivitas fisiologisnya sebanding dengan aktivitas op-
tiknya (Nugteren dan Berends, 1957).
Asam bongkrek bersifat antibiotik terhadap khamir, kapang dan bakteri (Nugteren dan Berends, 1957).
Asam bong-
krek mempunyai nilai LDS0 sebesar 2 mg per 100 g berat badan
tikus bila diberikan lewat mulut dan menyebabkan kematian
dalam waktu 2 jam sampai 5 jam (Nugteren dan Berends, 1957;
Welling et al., 1960).
Sifat toksik asam bongkrek bersifat kumulatif (Nugteren
dan Berends, 1957).
Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Welling et a1.(1960).
Menurut penelitian
mereka apabila asam bongkrek sebesar 1 mg per 100 g berat
badan tikus masih dapat ditolerir, tetapi apabila diulangi
sesudah 48 jam dosis tersebut menjadi letal.
Welling et al. (1960) telah meneliti pula efek biokimiawi asam bongkrek dan menyatakan bahwa asam bongkrek adalah
inhibitor kuat bagi enzim mitokondria.
Proses oksidasi asam
piruvat, a-ketoglutarat dan malat dihambat oleh
asam
bongkrek, tetapi oksidasi suksinat dan 43-hidroksi butirat
distimulasi.
Asam bongkrek akan menutupi gugus -SH dari ATP-ase,
akibatnya produksi ATP pada mitokondria terhenti, sehingga
ATP diproduksi di luar mitokondria secara glikolisis dari
glikogen cadangan yang ada di dalam hati.
Proses fosforila-
si oksidatif, yaitu mekanisme pemecahan oksidatif dari karbohidrat dan lipida yang menghasilkan enersi akan dihambat
oleh asam bongkrek sehingga organ-organ tubuh kekurangan
enersi.
Apabila siklus Krebs dihambat maka satu-satunya
jalan untuk mem~eroleh enersi adalah melalui penggunaan ADP
dan 3-fosfogliseraldehida.
Hal ini akan menyebabkan terja-
dinya penguraian glikogen hati, jantung dan otot-otot sehingga kadar gula glukosa darah naik.
Setelah persediaan
glikogen habis, maka glukosa darah segera turun dan penderita keracunan bongkrek
akan mengalami asidosis (Nugteren dan
Berends, 1957; Welling et al., 1960; van Veen, 1967).
Pada orang yang keracunan tempe bongkrek, mula-mula
mengalami hiperglikemia, karena terjadi pengerahan glikogen
hati, jantung dan otot-otot, kemudian diikuti de