Pemanfaatan Pati Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Dekstrin

(1)

PEMANFAATAN PATI KELAPA SAWIT SEBAGAI

BAHAN BAKU DEKSTRIN

RIDWANSYAH

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

RIDWANSYAH. F325010011. Pemanfaatan Pati Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Dekstrin. Di bawah bimbingan M. Zein Nasution, Titi Candra Sunarti dan Anas M. Fauzi.

ABSTRAK

Batang kelapa sawit merupakan limbah dari peremajaan perkebunan kelapa sawit. Ekstraksi batang kelapa sawit menghasilkan ± 4,7% pati. Pati yang dihasilkan dikarakterisasi sifat fisik dan kimianya dibandingkan dengan pati komersil yaitu sagu dan tapioka. Pati tersebut dimodifikasi menjadi dekstrin dengan hidrolisis enzimatis dan asam dan dikarakterisasi mutu dekstrin yang dihasilkan.

Pati kelapa sawit memiliki kadar lemak (0,37%), abu (0,68%), serat (1,78%) lebih tinggi dari pati sagu dan tapioka, tetapi memiliki kandungan amilosa (28,76%) yang lebih rendah. Suhu gelatinisasi pati kelapa sawit (770C) sama dengan sagu tetapi lebih besar dari tapioka, sedangkan derajat putih pati (83,02%) dan kejernihan pasta (15,4%T) lebih kecil dari sagu dan tapioka.

Penerimaan pati kelapa sawit terhadap α-amilase lebih rendah dibandingkan dengan sagu dan tapioka sedangkan penerimaan pati kelapa sawit terhadap asam adalah hampir sama dengan sagu dan tapioka. Mutu dekstrin pati kelapa sawit baik hidrolisis secara enzimatis dan asam lebih rendah dari tapioka tetapi hampir sama dengan sagu berdasarkan kadar abu, viskositas dan kelarutan dalam air dingin dari dekstrin yang dihasilkan.


(3)

RIDWANSYAH. F325010011. Utilization of Oil Palm Starch for Dextrin Production. Supervised by M. Zein Nasution, Titi Candra Sunarti dan Anas M. Fauzi.

ABSTRACT

The oil palm trunks become waste from the rejuvenation of the oil palm plantation. The extraction of the oil palm trunk yielded 4,7% of starch. The starch was extracted and characterized its physical and chemical properties and compared it to the commercial starches (sago and tapioca). The extracted starch was modified to be dextrin by enzymatic and acid hydrolysis.

The oil palm starch contained lipid (0,37%), ash (0,68%), fiber (1,78%) which were higher than that of sago and tapioca. However, the amylosa content (28,67%) of the oil palm starch was lower. The gelatinization temperature of oil palm starch (770C) was similar with that of sago, but was higher than of tapioca. The whiteness degree of starch (83,02%) and the paste clarity (15,4%T) of the oil palm starch were lower than sago and tapioca.

The α-amilase susceptibility of oil palm starch was lower than that tapioca and sago; however, the susceptibility of the oil palm starch on acid was almost similar with sago and tapioca. The dextrin quality of the oil palm starch, either from enzymatic or acid hydrolysis was lower than the tapioca; however, it was almost similar with the sago based on ash content, viscosity an solubility in cold water.


(4)

@ Hak cipta milik Fransiskus Anggawen, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mik rofilm, dan sebagainya


(5)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Pati Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Dekstrin adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pebimbing dan belum diajukan dalam bentuk apaun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2006

Ridwansyah NRP F325010011


(6)

PEMANFAATAN PATI KELAPA SAWIT SEBAGAI

BAHAN BAKU DEKSTRIN

RIDWANSYAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Adapun judul dari tesis ini adalah Pemanfaatan Pati Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Dekstrin.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak M. Zein Nasution, Ibu Titi Candra Sunarti dan Bapak Anas M. Fauzi sebagai pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada staff laboran dan rekan-rekan TIP atas kerjasamanya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak, ibu dan adik-adik serta keluarga atas kasih sayang, doa dan segala pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studinya.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2006


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 13 Desember 1972 dari Bapak M. Hasan dan Ibu Hanifah. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar pada SD Negeri 060908 Medan pada tahun 1985, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 4 Medan pada tahun 1988, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 13 Medan pada tahun 1991. Pada tahun 1991 penulis diterima menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 1996.

Penulis diterima menjadi staff Pengajar Fakultas Pertanian USU tahun 1999, pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan Magister (S2) di Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) dengan biaya BPPS.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN ... Latar Belakang ... Tujuan Penelitian... Ruang Lingkup Penelitian ... TINJAUAN PUSTAKA ... Potensi Batang Kelapa Sawit ... Pati ... Alfa Amilase ... Liquifikasi Pati ... Liquifikasi Pati dengan Enzim Alfa Amilase... Liquifikasi Pati dengan Asam Klorida ... Dekstrin ... Pengetian dan Klasifikasi Dekstrin ... Proses Dekstrinisasi... Kimia Konversi ... Penggunaan Dekstrin...

BAHAN DAN METODELOGI PENILITIAN ... Tempat Dan Waktu Penelitian... Bahan Dan Alat ... Metode Penelitian... Ekstraksi Pati Kelapa Sawit... Karakterisasi Pati ... Pengaruh Waktu Proses Terhadap Laju Dekstrinisasi ... Proses Pembuatan Dekstrin... Karakterisasi Dekstrin ... HASIL DAN PEMBAHASAN ... Ekstraksi Pati Kelapa Sawit... Karakterisasi Pati ... Produksi Dekstrin ... Karakterisasi Mutu Dekstrin ... Potensi Pemanfaatan Limbah Batang Kelapa Sawit ... KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan... Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... vi vii ix 1 1 3 3 4 4 5 9 11 11 12 13 13 14 19 21 23 23 23 24 24 24 24 26 29 30 30 34 40 44 62 67 67 67 68 74


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Volume impor dekstrin Indonesia ... 2 Potensi batang kelapa sawit dari kegiatan peremajaan ... 3 Kandungan amilosa dan amilopektin dari beberapa sumber pati... 4 Komposisi pati kelapa sawit, tapioka dan sagu ... 5 Karakteristik dan sifat pirodekstrin ... 6 Komposisi kimia kandungan jaringan vaskular dan parenkim batang

kelapa sawit ... 7 Komposisi pati kelapa sawit, sagu dan tapioka ... 8 Sifat-sifat fisik pati kelapa sawit, sagu dan tapioka ... 9 Sifat amilografi kelapa sawit, sagu dan tapioka... 10 pH suspensi pati sebelum dan sesudah penambahan HCl... 11 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis enzimatis dan asam... 12 Hubungan panjang rantai degan warna dalam lugol ... 13 Asumsi dasar produksi pati kelapa sawit... 14 Biaya tetap produksi pati kelapa sawit ... 15 Biaya tidak tetap produksi pati kelapa sawit... 16 Biaya pengolahan kayu sawit terkompregnasi ...

3 4 7 9 17

30 34 35 38 42 45 46 64 65 65 66


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Struktur rantai linier dari molekul amilosa... 2 Struktur molekul amilopektin ... 3 Pengaruh dari aktivitas enzim amilase pada amilopektin... 4 Proses dekstrinisasi pati dengan enzim α-amilase ... 5 Mekanisme reaksi transglukosidasi... 6 Mekanisme reaksi hidrolisis dan repolimerisasi ... 7 Tahapan proses ekstraksi pati kelapa sawit... 8 Proses dekstrinisasi secara enzimatis... 9 Proses dekstrinisasi secara hidrolisis asam ... 10 Proses peremajaan tanaman kelapa sawit PTPN 2 Langkat ... 11 Bagian batang yang akan diekstraksi... 12 Serbuk kayu hasil penyerutan dari batang kelapa sawit ... 13 Neraca masa pembuatan pati kelapa sawit... 14 Bentuk granula pati tapioka, sagu dan kelapa sawit tanpa polarisasi

cahaya... 15 Bentuk granula pati tapioka, sagu dan kelapa sawit dengan polarisasi

cahaya... 16 Pati tapioka, sagu dan kelapa sawit ... 17 Pola amilografi pati tapioka, sagu dan kelapa sawit... 18 Bagian yang tidak dapat diserang α-amilase ... 19 Hidrolisis enzimatis pati tapioka, sagu dan kelapa sawit... 20 Hidrolisis asam terhadap pati tapioka, sagu dan kelapa sawit ... 21 Warna dekstrin yang ditetesin larutan lugol... 22 Kadar abu dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis . 23 Kadar abu dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam ... 24 Kadar serat dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis 25 Kadar serat dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam ... 26 Kelarutan air dingin dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis

enzimatis ... 27 Kelarutan air dingin dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis

asam ... 28 Viskositas dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis ..

6 6 10 15 20 21 25 27 28 31 31 32 33 36 36 37 38 41 41 43 46 48 49 50 51 52 53 54


(12)

29 Viskositas dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 30 Derajat putih dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis

enzimatis ... 31 Dekstrin komersial, tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis. 32 Derajat putih dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 33 Dekstrin komersial, tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam ... 34 Kejernihan pasta dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis

enzimatis ... 35 Kejernihan pasta dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 36 Derajat asam dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam.... 37 Pemanfaatan limbah batang kelapa sawit... 38 Diagram alir peralatan ekstraksi pati kelapa sawit ...

55

56 56 57 58

59

60 61 63 64


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Analisa sifat fisik-kimia pati... 2 Karakterisiasi dekstrin ... 3 Hasil pengamatan nilai DE dan DP terhadap hidrolisis enzimatis pati

kelapa sawit, sagu dan tapioka ... 4 Hasil pengamatan nilai DE dan DP terhadap hidrolisis asam pati kelapa

sawit, sagu dan tapioka ... 5 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis enzimatis ... 6 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis asam ... 7 Sidik ragam mutu dekstrin hidrolisis enzimatis... 8 Sidik ragam mutu dekstrin hidrolisis asam ...

74 79

82

83 84 85 86 89


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pati merupakan zat yang penting dalam dunia perdagangan dan industri terutama pada negara berkembang di seluruh dunia. Pati tersebut dimanfaatkan dalam industri tekstil, pengolahan pangan, produk-produk farmasi, kertas, dan industri polimer sintetik (Lawal dan Adebowale 2005). Pati dapat diperoleh dengan cara mengekstrak dari bagian beberapa tanaman seperti akar dan umbi, batang dan biji-bijian.

Indonesia merupakan daerah yang cukup potensial sebagai penghasil pati seperti ubi kayu, sagu, jagung, ubi jalar dan lain sebagainya karena tanaman tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Disamping itu ada upaya baru untuk menghasilkan pati dari batang kelapa sawit.

Areal perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh dengan laju sekitar 11% per tahun, dari 1 126 juta ha pada tahun 1991 mencapai sekitar 3 584 juta ha pada tahun 2001(Susila 2003). Kelapa sawit yang pertama kali ditanam dalam skala besar di Indonesia pada tahun 1978, akan segera mengakhiri masa produktifnya (Guritno dan Darnoko 2003).

Rata-rata luas areal peremajaan selama kurun waktu tahun 2001 – 2005 diperkirakan mencapai 32 155 ha/tahun. Limbah padat berupa batang atau kayu sawit dan pelepah kelapa sawit akan dihasilkan masing-masing sebesar 2 257 281 ton dan 514 480 ton per tahun, sedangkan pada kurun waktu tahun 2006 – 2010 ada kenaikan di dalam areal tanaman kelapa sawit yang diremajakan yaitu rata-rata setiap tahunnya seluas 89 965 ha. Pada kurun waktu tersebut batang dan pelepah hasil peremajaan akan mencapai berturut-turut 6 315 543 ton dan 1 439 440 ton per tahun. Sebagai limbah lignoselulosa, pemanfaatan kedua limbah padat tersebut perlu mendapatkan perhatian. Hal ini mengingat bahwa cara-cara yang telah dilakukan sekarang ini yaitu dengan cara bakar akan mencemari udara dan juga adanya pelarangan sesuai dengan aturan yang tertuang di dalam Rencana Undang-Undang Perkebunan. Membiarkan batang dan pelepah hasil peremajaan dapat menimbulkan masalah bagi tanaman kelapa sawit baru yaitu dijadikan sebagai sarang serangga dan tikus. Hasil evaluasi sifat fisik dan kimia batang dan pelepah kelapa sawit menunjukkan bahwa kedua limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri berbasis serat seperti industri


(15)

pulp dan kertas, industri pati, serta industri perkayuan. Pemanfaatan limbah-limbah padat ini tentunya akan memberikan keuntungan tambahan bagi perkebunan kelapa sawit (Guritno dan Darnoko 2003).

Sampai saat ini pemanfaatan batang kelapa sawit untuk keperluan industri masih terbatas. Ginting (1995) memanfaatkan batang kelapa sawit menjadi pati dengan cara mengekstrak 2 meter dari pucuk batang kelapa sawit dengan rendemen pati dari batang kelapa sawit adalah 7,15%. Selanjutnya pati tersebut dapat dijadikan bahan pangan maupun bahan baku untuk fermentasi alkohol (Tomimura 1992). Dari hasil penelitian pendahuluan Azemi et al. (1999)

menyatakan pati kelapa sawit memiliki potensi untuk menggantikan pati komersial baik dalam bidang pangan dan non pangan.

Untuk beberapa keperluan industri, pati yang digunakan merupakan pati hasil modifikasi atau turunannya. Modifikasi pati bertujuan untuk memperbaiki atau menambah sifat-sifat fungsional tertentu, yang tidak terdapat pada pati asli sehingga aplikasinya dalam industri menjadi lebih luas. Sifat-sifat fungsional tersebut antara lain memperbaiki kelarutan dalam air dingin dan sifat-sifat gelatinisasi, pembentukan gel, pembentukan film dan sebagainya. Salah satu produk pati termodifikasi diantaranya adalah dekstrin.

Dekstrin adalah suatu produk hidrolisat parsial dari pati, berbentuk tepung halus, bewarna putih sampai agak kekuningan. Dalam pembuatan dekstrin rantai panjang pati dipotong oleh enzim atau katalis asam menjadi molekul rantai pendek dengan jumlah unit glukosa antara 6 sampai 10 unit. Proses ini mengakibatkan terjadinya perubahan sifat-sifat diantaranya menjadi larut pada air dingin, kurang menyerap air, tekstur menjadi lembut dan daya rekat meningkat (Soekarto et al. 1991).

Dekstrin sangat dibutuhkan dalam industri, baik industri pangan dan industri non pangan. Kebutuhan dekstrin dan pati termodifikasi dari tahun ke tahun terus meningkat, dan kebutuhan tersebut masih diimpor dari luar negeri. Volume impor dekstrin dan pati termodifikasi Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Bahan baku untuk pembuatan dekstrin umumnya dibuat dari pati komersial seperti tapioka, jagung, sagu dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini akan dimanfaatkan batang kelapa sawit yang merupakan limbah dari perkebunan menjadi pati dan dikonversi menjadi dekstrin. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi impor dekstrin Indonesia. Selain itu juga untuk meningkatkan nilai tambah dari industri perkebunan kelapa sawit. Sebagai


(16)

pembanding dalam penelitian ini juga dibuat dekstrin dari jenis pati komersial yaitu pati sagu dan tapioka.

Tabel 1 Volume impor dekstrin dan pati termodifikasi Indonesia Tahun Berat bersih (kg) Nilai (US $)

2001 87 927 717 50 184 576

2002 80 319 465 41 875 152

2003 78 752 720 34 064 818

2004 77 720 843 35 328 984

2005 93 070 990 44 020 497

Sumber : BPS (2001 - 2005)

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari proses ekstraksi pati kelapa sawit dan mengkarakterisasi pati kelapa sawit yang dihasilkan, dibandingkan dengan sagu dan tapioka.

2. Mempelajari proses dekstrinisasi dari pati kelapa sawit, sagu dan tapioka secara enzimatis dan asam

3. Membandingkan mutu dekstrin dari pati kelapa sawit, sagu dan tapioka.

Ruang Lingkup Penelitian

1. Kelapa sawit yang digunakan berasal dari limbah batang peremajaan PTPN 2, Gohor Lama, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, berumur 25 tahun dan varietas Tenera.

2. Pati komersial sebagai pembanding sagu dan tapioka berasal dari industri kecil di Bogor daerah Kedung Halang dan Pabrik Budi yang selanjutnya dikeringkan dan disaring dengan saringan 80 mesh.

3. Proses dekstrinisasi secara enzimatis menggunakan α-amilase thermofil dan secara asam dengan HCl.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA Potensi Batang Kelapa Sawit

Kegiatan replanting atau peremajaan tanaman kelapa sawit di Indonesia mulai berjalan secara besar-besaran pada awal tahun 1990-an karena pada umumnya penanaman kelapa sawit secara komersial dilakukan pada awal tahun 1960. Diperkirakan rata-rata luas areal peremajaan pada kurun waktu tahun 2001-2005 mencapai 32 155 ha/tahun. Dari luas areal tersebut akan dihasilkan batang hasil peremajaan 2 257 281 ton. Pada kurun waktu tahun 2006 – 2010, rata-rata luas areal yang akan diremajakan seluas 89 965 ha. Dengan perkataan lain, ada kenaikan lebih kurang sebesar 2,5 kali luas areal yang diremajakan pada kurun waktu tahun 2001 – 2005. Pada kurun waktu tersebut batang hasil peremajaan akan mencapai 6 315 543 ton. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Limbah kelapa sawit berupa batang hasil kegiatan peremajaan akan bertambah pada kurun waktu berikut, karena penanaman kelapa sawit meningkat pesat pada tahun 1990 (Guritno dan Darnoko 2003).

Tabel 2 Potensi batang kelapa sawit dari kegiatan peremajaan Tahun Total luas areal

peremajaan (ha)1

Batang hasil peremajaan (ton)2

2001 16 068 1 127 974

2002 33 141 2 326 498

2003 21 803 1 530 571

2004 14 018 984 064

2005 75 745 5 317 299

2006 98 549 6 918 140

2007 90 657 6 364 121

2008 11 919 836 714

2009 115 114 8 081 003

2010 133 584 9 377 597

1

Dihitung berdasarkan penambahan luas areal pada 25 tahun yang lalu

2

Dihitung berdasarkan 70,2 ton/ ha dari luas areal yang diremajakan Sumber : (Guritno dan Darnoko 2003)


(18)

Pohon kelapa sawit yang diremajakan umurnya sudah lebih dari 25 tahun, mempunyai tinggi 10-15 m dengan diameter batang berkisar antara 45 – 65 cm yang diukur dari ketinggian 1,5 meter dari tanah. Bagian kulitnya mempunyai ketebalan 3 – 3,5 cm (Susila 2003 ; Guritno dan Darnoko 2003).

Pati

Pati adalah cadangan karbohidrat dari tanaman, pati ini disimpan dalam butiran granula yang ukuran diameter selnya berkisar 1 – 100 µm (Wurzburg, 1989). Pati secara alami terdapat dalam senyawa–senyawa organik yang tersebar luas seperti di dalam biji-bijian, akar, batang dari tanaman yang berdaun hijau yang disimpan sebagai energi selama dormansi dan perkecambahan (Smith 1982).

Secara histologis, pati disimpan dalam bentuk plastid yang dinamakan amiloplast atau kloroplast di dalam sel, Pati terdapat dalam bentuk ikatan dengan air, lemak, silikat, serta senyawa-senyawa lainnya terutama fosfat. Dilihat dari susunan kimianya, pati adalah polimer dari glukosa atau maltosa. Unit terkecil di dalam rantai pati adalah glukosa yang merupakan hasil proses fotosintesa di dalam bagian tubuh tumbuh-tumbuhan yang mengandung klorofil. Pembentukan polimer yang lebih panjang dilakukan dengan bantuan D-enzim untuk amilosa dan Q-enzim untuk amilopektin (Tjokroadikoesoemo 1986).

Pati adalah polimer yang seluruhnya terdiri dari unit D-glukosa, dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya (Wilbraham dan Matta 1992; Winarno 1997).

Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glikosidik, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glikosidik sebanyak 4 – 5% dari berat total (Winarno 1997).

Amilosa merupakan homopolimer berantai lurus dengan ikatan α (1,4)-glikosidik. Panjang rantainya bervariasi tergantung dengan jenis tanaman, secara umum panjang rantai amilosa 500-2000 unit glukosa. Sedangkan amilopektin terdiri dari molekul D-glukosa yang berikatan α-(1,4) dan juga mengandung ikatan silang α-(1,6). Ikatan ini menyebabkan penampilan molekul amilopektin yang bercabang–cabang seperti semak. Biasanya 24 sampai 30 glukopiranosa


(19)

O

O

H

CH2OH

H

H OH

H OH

O

O

H H H

O

OH H

H

OH H OH

H OH

CH2OH

H OH CH2OH

H H

HO

H

n

berada di titik percabangan amilopektin. Setiap percabangan terdiri atas 25 sampai 30 unit D-glukosa. Rumus bangun dari amilosa dan amilopektin disajikan pada Gambar 2 dan 3 berikut ini (Wilbraham dan Matta 1992; Smith 1982).

Gambar 1 Struktur rantai linier dari molekul amilosa

Gambar 2 Struktur molekul amilopektin.

Perbandingan antara amilosa dan amilopektin di dalam pati sangat bervariasi, tergantung jenis tanaman asalnya. Pati yang kecil kandungan amilosanya semakin lengket pati tersebut sedangkan pati yang kandungan amilosanya tinggi berperan dalam pembentukan gel dan menghasilkan film yang

O O H

C H 2 OH H

H OH

H O H

O O

H H H

O OH

H

H

OH H O H

H O H C H 2 O H

H

H H

H

O O

H H H

O O H

H

H

O H H

H OH CH2OH

H O C H 2 O H

H H

CH2 O

O O

Ikatana-1,6 glikosidik


(20)

baik (Winarno 1997; Smith 1982). Perbandingan kandungan antara amilosa dan amilopektin dari beberapa sumber pati disajikan pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3 Kandungan amilosa dan amilopektin dari beberapa sumber pati

Sumber pati Amilosa (%, bb) Amilopektin (%, bb)

Jagung 28 72

Kentang 21 79

Gandum 28 72

Tapioka 17 83

Jagung waxy 0 100

Sorgum 28 72

Beras 17 83

Sagu 27 73

Garut 20 80

Amilomaize 50-80 20-50

Pati batang kelapa sawit mempunyai bentuk butiran (granula) agak bulat dan bersifat memadat ( truncated ). Ukurannya hampir sama dengan pati jagung dan waxymaize, tetapi bentuknya seperti pati tapioka. Komposisi pati kelapa sawit, tapioka dan sagu disajikan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4 Komposisi pati kelapa sawit, tapioka dan sagu Jumlah (%) Komponen

Kelapa sawita Tapiokab Sagub

Air 12,07 12,04 17,6

Pati 84,98 87,98 73,08

Protein 0,41 0,90 0,65

Lemak 0,003 - -

Abu 0,6 0,34 0,32

Serat 0,675 1,44 1,42

Amilosa 37,28 29,82 34,13


(21)

Ukuran granula pati sangat bervariasi (2 – 100 µm) tergantung dari sumber patinya. Sifat yang penting dari pengaruh ukuran granula pati adalah perbedaan derajat gelatinisasi. Bila pati mentah dimasukan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Peningkatan volume granula pati yang terjadi didalam air pada suhu 55 - 650C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya dan bersifat dapat kembali kebentuk pati semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa dan tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno 1997).

Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi melalui tiga tahapan yaitu : (1) Penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula,(2) Pengembangan granula secara lambat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefringence, dan (3) Jika suhu terus naik molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels 1985).

Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadi gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antarmolekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati.

Suhu gelatinisasi tergantung juga pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut makin lambat tercapai. Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati dan merupakan suatu kisaran. Dengan viskosimeter suhu gelatinisasi dapat ditentukan, misalnya jagung 62 – 720C, beras 68 – 780C, gandum 54,5 - 640C dan tapioka 52 – 640C. Granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam-putih. Sifat ini disebut birefregence. Pada waktu granula pati mulai pecah, sifat birefregence ini akan menghilang (Winarno 1997).

Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Visco-amylograph, dan Diffrential Scanning Calorimetry (DSC) (BeMiller dan Whistler 1996). Selain itu, suhu gelatinisasi juga dapat ditentukan dengan pengamatan mikrokopis baik


(22)

dengan mikroskop elektron maupun mikroskop terpolarisasi yang didasari oleh hilangnya sifat birefregence.

Alfa Amilase

Amilase merupakan enzim yang mempunyai aktivitas memecah molekul pati, glikogen dan turunan polisakarida. Amilase menghidrolisis ikatan α-(1,4) dan atau α-(1,6) glikosidik. Amilase yang dapat memecah ikatan α-(1,4) dibagi dua yaitu (1) endo-enzim yang memecah ikatan α-(1,4) yang berada ditengah rantai polimer, dan (2) ekso-enzim yang memecah ikatan α-(1,4)dari ujung polimer (Judoamidjodjo 1989 ; Whitaker 1994).

Alfa amilase adalah endo-enzim yang bekerja memutuskan ikatan α-(1,4) secara acak di bagian dalam molekul baik pada amilosa dan amilopektin. Karena pengaruh aktivitasnya, pati terputus-putus menjadi dekstrin dengan rantai sepanjang 6 – 10 unit glukosa. Jika waktu reaksi diperpanjang, dekstrin tersebut dapat dipotong-potong menjadi campuran antara glukosa, maltosa, maltotriosa, dan ikatan lain yang lebih panjang.

Secara umum α-amilase stabil pada pH 5,5 – 8,0; aktivitas optimum α -amilase secara normal berada pada pH 4,8 – 6,5; tetapi bentuk kurva aktivitas pH berbeda untuk enzim yang dihasilkan dari sumber berbeda. Amilase dari

Bacillus subtilis mempunyai aktivitas optimum pada kisaran pH 5 – 7, sedangkan amilase dari Bacillus stearothermophilus pada pH 3. Aktivitas α-amilase menurun secara cepat pada suhu diatas 500C, tetapi dengan adanya ion Ca2+ penurunan aktivitas α-amilase pada suhu tersebut dapat diperlambat

Baciilus licheniformis menunjukkan spektrum pH yang luas diantara pH 5 dan 9. Enzim ini dapat dikatakan tidak bergantung kepada kalsium. Stabilitasnya yang tinggi menyebabkan enzim ini dapat dimanfaatkan pada suhu sampai 1050C.

Alfa amilase mempunyai rantai peptida tunggal pada gugusan proteinnya dan setiap molekul mengandung satu g atom Ca. Adanya kalsium yang berikatan dengan molekul protein enzim, membuat enzim α-amilase bersifat relatif tahan terhadap suhu, pH, dan senyawa seperti urea atau enzim-enzim protease. Karena peranannya didalam industri, α-amilase dari berbagai sumber telah dipelajari secara rinci. Genus Bacillus merupakan sumber yang paling penting.


(23)

Bacillus amyloliquefaciens dan Baciilus licheniformis dikenal menghasilkan enzim yang bersifat termostabil (Suhartono 1989).

Aktivitas kerja enzim amilase terhadap ikatan yang terdapat pada amilopektin disajikan pada Gambar 3 berikut (Pomeranz 1991).

Gambar 3 Pengaruh dari aktivitas enzim amilase pada amilopektin. Hidrolisis amilopektin oleh α-amilase menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin, yaitu oligisakarida yang teridiri dari empat atau lebih residu glukosa yang mengandung ikatan α-1,6-glikosidik. Hidrolisis amilosa oleh α-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degeredasi ini terjadi sangat cepat diikuti pula dengan penurunan viskositas dengan cepat. Tahapan kedua relatif lambat dengan pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir.

β - amilase Amiloglukosidase

R-enzim

α-1.6 glukosidase

α - amilase


(24)

Likuifikasi Pati

Likuifikasi adalah proses dispersi granula pati yang tidak larut di dalam air dan diikuti dengan hidrolisis parsial dengan menggunakan amilase termostabil. Selain enzim dapat juga digunakan asam sebagai katalis. Likuifikasi merupakan proses yang penting dan mendasar dalam menghidrolisis pati. Jika proses ini tidak berlangsung dengan baik maka berbagai masalah akan muncul sepeti sulitnya proses filtrasi larutan yang diproses. Proses likuifikasi yang baik penting untuk keberhasilan proses sakarifikasi dan isomerisasi (Fogarty 1983; Taji 1988; Olsen 1995).

Likuifikasi Pati dengan α-Amilase

Likuifikasi adalah tahap awal dari proses hidrolisis pati, misalnya pada pembuatan dekstrin, glukosa dan sirup fruktosa. Dalam proses likuifikasi dengan

α- amilase akan terjadi pemutusan ikatan α-1,4 glikosidik. Kesempurnaan dan lama proses likuifikasi akan menentukan komposisi akhir produk likuifikasi (Dziedzic dan Kearsley 1984).

Menurut Bigelis (1993) proses likuifikasi yang diawali dengan proses gelatinisasi, dimana larutan pati yang sudah digelatinisasi mengandung 30 – 40 % bahan padatan ditambahkan α-amilase termostabil yang dihasilkan Bacillus licheniformis dapat bekerja pada pH 6,5 dan suhu 103 – 1070C selama 5 – 10 menit. Setelah itu suhu diturunkan menjadi 950C selama satu sampai dua jam yang memungkinkan hidrolisis pati ini menjadi sirup dengan DE 0,5 – 1,5. Hidrolisis dibiarkan terus berlangsung sampai mencapai DE 10 – 15. Proses likuifikasi baik pada suhu lebih tinggi maupun lebih rendah tergantung pada efisensi kerja dari heat-stable bacterial α- amilase.

Likuifikasi merupakan proses yang penting dan mendasar dalam proses pengolahan pati dan bilamana proses ini tidak berlangsung dengan baik, berbagai masalah seperti sulitnya filtrasi, turbilitas larutan yang diproses dan lain-lain terjadi. Faktor yang paling penting untuk likuifikasi pati yang ideal yaitu larutan pati yang mengandung α-amilase dipanaskan pada suhu 105 – 1070C secepat mungkin (Taji 1988). Menurut Pomeranz (1991) pada proses likuifikasi dengan α-amilase pati harus terlebih dahulu digelatinisasi, hal ini disebabkan α -amilase mempunyai aktivitas yang rendah terhadap pati yang belum digelatinisasi.


(25)

Likuifikasi dengan α-amilase menyebabkan komponen amilosa terhidrolisis menjadi produk glukosa, maltosa, maltotriosa, maltopentaosa dan maltoheksosa. Pemecahan maltoheptosa menghasilkan maltoheksosa dan glukosa, sedangkan maltooktaosa menjadi maltoheksosa dan maltosa. Likuifikasi dengan α-amilase tidak dapat memutuskan ikatan α-1,4-glikosidik yang berdekatan dengan ikatan α-1,6-glikosidik pada pati dan glikogen (Yamamoto 1988). Hidrolisis amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan α- limit dekstrin. Produk α- limit dekstrin dengan minimal empat residu glukosa masih mempunyai ikatan glikosidik α-1,6 (Pomeranz 1991).

Likuifikasi Pati dengan Asam Klorida

Hidrolisis asam adalah suatu metode yang digunakan untuk menghasilkan thin boiling starch. Perlakuan dengan asam lemah dari granula pati cenderung memotong ikatan α-D-glikosidik dari fraksi amilosa pati jagung, menurunkan ukuran molekul dan viskositas pasta panas. Asam yang digunakan biasanya HCl dan H2SO4 di dalam kondisi terkontrol. Sifat-sifat birefregence tidak

terpengaruh, hal ini mengindikasikan bahwa proses hidrolisis cenderung berlangsung di dalam daerah amorf daripada daerah kristalin dari granula. Perlakuan hidrolisis asam memungkinkan pati untuk dimasak didalam sistem padatan gula yang tinggi, karena retrogradible amylose ada dalam konsentrasi yang tinggi sehingga dapat diperoleh gel yang kuat (Smith 1982). Modifikasi asam lebih lanjut akan menghasilkan dekstrin yang memiliki viskositas yang rendah (Fleche 1985).

Pada likuifikasi ini, asam akan menghidrolisis ikatan glikosidik, memendekkan rantai. Ikatan α-1,4 lebih mudah terhidrolisis daripada ikatan α -1,6. Hidrolisis asam lebih mudah menyerang daerah amorf dibandingkan dengan daerah kristalin. Pada daerah kristalin, struktur linier dengan ikatan α-1,4 lebih tahan terhadap asam. Hal ini disebabkan bahwa daerah tersebut tersusun sangat rapat sehingga sukar dimasuki air atau asam. Bagian daerah amorf walaupun tersusun dari ikatan α-1,6 tetapi merupakan daerah yang kurang padat, sehingga dapat ditembus oleh air dan selanjutnya memudahkan penetrasi asam untuk menghidrolis pati (Wurzburg 1986).

Dalam proses likuifikasi asam, akan terjadi pemutusan ikatan –C-O-C- dengan menghasilkan gula dan beberapa polimernya. Bila diteruskan proses tersebut akan meningkatkan gula dengan bobot molekul rendah, kemudian


(26)

polimer-polimer tersebut dihidrolisa menjadi glukosa. Asam memecah pati secara acak dan gula yang terbentuk sebagian besar merupakan gula pereduksi (Wurzburg 1986).

Penggunaan asam pekat pada proses hidrolisis membutuhkan biaya yang lebih mahal dan peralatan yang tahan korosi dibanding dengan penggunaan asam encer. Di samping itu hidrolisis dengan asam pekat dapat mempercepat proses hidrolisis akan tetapi menurunkan hasil hidrolisis karena glukosa lebih mudah diuraikan oleh asam pekat. Penggunaan asam encer memperlambat proses hidrolisis karena adanya daya tahan dari kristal pati, akan tetapi mengurangi proses penguraian glukosa oleh asam encer. Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa penggunaan HCl dengan konsentrasi 0,1 % dalam proses likuifikasi menunjukkan hasil yang optimal (Ega 2002).

Hidrolisis asam mempunyai kelemahan antara lain yaitu diperlukan peralatan yang tahan korosi, menghasilkan sakarida dengan spektra-spektra tertentu saja karena katalis asam menghidrolisis secara acak. Kelemahan lain, jika nilai dekstrosa ekuivalen ditingkatkan, disamping terjadi degradasi karbohidrat juga terjadi rekombinasi produk degradasi yang yang dapat mempengaruhi warna, rasa, bahkan menimbulkan masalah teknis (Judoamidjojo 1989).

Dekstrin

Pengertian dan Klasifikasi Dekstrin

Dekstrin adalah suatu produk yang merupakan hasil modifikasi pati melalui proses hidrolisa asam, enzimatis dan pemanasan kering (Wurzburg 1986). Menurut Somaatmadja (1984) dekstrin adalah oligosakarida (beberapa monosakarida) yang dapat diperoleh dengan menghidrolisis pati (polisakarida). Dekstrin murni berupa serbuk (bubuk), bewarna putih atau hampir putih, tidak mempunyai rasa, tidak berbau dan dapat larut dalam air dingin. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (1992) dekstrin didefinisikan sebagai salah satu produk hidrolisis pati, berbentuk serbuk amorf, bewarna putih sampai kekuning-kuningan.

Pengertian dekstrin sangat luas mencakup setiap produk degradasi pati yang diperoleh secara kimia maupun enzimatis, tetapi secara praktis kata dekstrin dipakai untuk produk yang mengacu yang dihasilkan dari proses


(27)

pirokonversi pati. Pirokonversi adalah proses pemanasan kering pati, produknya terdiri dari tiga kelompok yaitu dekstrin putih, dekstrin kuning dan British gum

(Fleche, 1985).

Berdasarkan tahapan pembentukan dalam proses hidrolisis pati, dikenal tiga jenis dekstrin yaitu amilodekstrin, eritrodekstrin dan akrodekstrin. Pada tahap awal konversi akan dihasilkan amilodekstrin yang memiliki sifat larut dalam air. Amilodekstrin akan memberikan warna biru apabila direaksikan dengan larutan iodium. Konversi berikutnya dihasilkan jenis dekstrin yang kedua yaitu eritrodekstrin yang akan memberikan warna merah kecoklatan bila direaksikan dengan larutan iodium. Tahap terakhir dari konversi dihasilkan adalah eritrodekstrin yang apabila ditetesi dengan iodium tidak akan memberikan warna (Garard 1977).

Proses Dekstrinisasi

Proses dekstrinisasi pati dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu (a) hidrolisis dengan α-amilase, (b) hidrolisis dengan asam klorida, (c) pemanasan kering (Satterwaite dan Iwinski 1973 ; Fleche 1985 ; Wurzburg 1986).

1. Hidrolisis dengan α-amilase

Secara umum produksi dekstrin dilakukan proses likuifikasi dengan α -amilase dari bakteri, kemudian inkubasi dengan suhu 95 – 970C. Lamanya inkubasi tergantung dari jenis produk yang diinginkan, selanjutnya diikuti dengan proses penjernihan larutan pati terlikuifikasi, dan dikeringkan dengan spray drying. Proses Dekstrinisasi pati secara hidrolisis dengan α-amilase disajikan pada Gambar 5.

Produksi dekstrin dengan hidrolisis α-amilase berlangsung dalam dua tahap, pemanasan bubur pati pada suhu 1000C atau lebih tinggi untuk mengembangkan dan menggelatinisasi pati diikuti dengan hidrolisis enzimatis pada suhu 80–950C. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan dekstrin antara 2 – 4 jam (Pithcer 1980).

Alfa amilase komersial yang berasal dari Bacillus licheniformis tahan terhadap suhu tinggi. Enzim ini aktif dan stabil pada proses likuifikasi larutan pati sampai suhu 1100C, dikenal dengan nama dagang Termamyl (Novo Enzyme) (Judoammidjojo 1989). Reaksi hidrolisis α-amilase termostabil tersebut disajikan sebagai berikut.


(28)

α-amilase

Pati + n (H2O) G1 + G2 + G3 + G4 + G5 + …..

Termostabil + Oligosakarida bercabang Tahapan hidrolisis α-amilase termostabil yang berasal dari Bacillus licheniformis terhadap pati adalah sebagai berikut ; pada tahap pertama amilosa dihidrolisis menjadi G5 – G9 dalam jumlah yang lebih banyak dari pada G2 dan G3. pada tahap berikutnya terbentuk G1 dan G5 dalam jumlah yang meningkat, sementara pembentukan G6 dan G9 menurun. Cara hidrolisis α-amilase pada amilopektin hampir sama dengan amilosa (Endo 1988).

Gambar 4 Proses dekstrinisasi pati dengan α-amilase (Taji, 1988).

Turunan pati yang diperoleh melalui proses likuifikasi mempunyai nilai komersial sebagai bahan pangan. Produk mempunyai nilai DE sekitar 10 dan dijual sebagai maltodekstrin, yang akan membentuk karbohidrat dengan

Larutan pati

PH 6 – 6,5 Pati 1000 kg

α-amilase 0,5 – 2 kg

Pembubukan Pemanasan Inaktivasi Enzim

Inkubasi 95 – 970C

Penjernihan Larutan Likuifikasi

Likuifikasi Pati

Pemanasan 105 –1070C, 3 – 5 menit Air 200 l


(29)

komposisi 3 % maltosa, 4 % maltotriosa dan 93 % tetraosa atau polisakarida berukuran besar (Bigelis 1993).

Maltodekstrin dapat dihasilkan dengan hidrolisis dispersi pati secara enzimatis maupun asam, biasanya dijelaskan dengan nila dekstrosa ekuivalen (DE). Nilai DE ini terkait dengan derajat polimerisasi (DP) dengan formula DE = 100/DP. Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk dengan nilai DE kurang dari 20, maltodekstrin dengan nilai DE terendah bersifat tidak higroskopis sedangkan dengan nilai DE tertinggi cenderung menyerap air. Maltodekstrin bersifat lunak dan tidak berasa manis dan sangat baik sumbangannya terhadap sistem pangan (BeMiller dan Whistler 1996).

2. Hidrolisis dengan Asam Klorida

Pembuatan dekstrin dengan hidrolisis asam dilakukan dengan memanaskan bubur pati didalam larutan asam secara perlahan-lahan sampai pada derajat konversi yang diinginkan. Selanjutnya larutan dinetralisasi kemudian didinginkan dan selanjutnya dikeringkan pada roll panas atau spray dryer

(Satterwaite dan Iwinski 1973). Somaatmadja (1984) membuat dekstrinisasi basah dengan katalis asam yaitu dengan merendam pati dalam larutan asam klorida encer (10%) selama 24 jam. Dan setelah asam dipisahkan, pati dikeringkan sampai sisa-sisa asam menguap dan selanjutnya digiling.

Proses dekstrinisasi pati dengan hidrolisis katalis HCl, terlebih dahulu dilakukan proses likuifikasi. Proses likuifikasi asam dilakukan dengan sistem curah, pada pH 1,8 sampai 2,0 dengan HCl. Pati yang telah diasamkan dipanaskan pada suhu 900C selama 30 menit kemudian dimasak pada pressure cooker pada suhu 120 – 1400C sampai pemecahan pati menjadi sempurna. Tingkat degradasi pati dapat diukur dari nilai DE dari Produk yang dilikuifikasi, dikontrol dengan mengatur waktu di pressure cooking. Nilai DE diatas 3 diperoleh dengan mengontrol laju alir didalam alat pengkonpersi. Tujuannya untuk mendapat produk dengan nilai DE sedang, nilai DE yang rendah akan menghasilkan produk yang akan mengalami retrogradasi. Nilai DE yang tinggi akan menurunkan produk akhir glukosa (Fullbrook 1984).

Katalis asam yang sering digunakan dalam proses pembuatan dekstrin adalah asam klorida. Hal ini disebabkan karena aktivitas HCl yang tinggi, biayanya murah, bersifat volatil. Pada saat proses dekstrinisasi berlangsung asam diuapkan pada tingkat tertentu dan netralisasi produk kadang diabaikan


(30)

(Kennedy dan Fischer 1984). Konsentrasi HCl yang digunakan tergantung pada derajat konversi yang diinginkan, untuk praktisnya dapat digunakan 0,1 – 1% (Fleche 1985).

3. Pemanasan Kering

Dekstrin yang dihasilkan dengan cara hidrolisis asam atau pemanasan kering (roasting) disebut pirodekstrin (Satterwaite dan Iwinski 1973). Prosesnya disebut dengan pirodekstrin, yaitu perlakuan pati yang diasamkan kering dengan menggunakan panas (Fleche 1985). Prosesnya dilakukan dengan pemanasan pati kering sambil diaduk, kemudian disemprot dengan asam klorida dan sulfat. Derajat hidrolisisnya tergantung dari waktu, suhu, dan pH dari proses konversi (Smith 1982).

Secara umum berdasarkan sifat dan kondisi pembuatannya pirodekstrin dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu dekstrin putih, dekstrin kuning dan

British gum. Kondisi dan sifat dekstrin disajikan pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Karakteristik dan sifat pirodekstrin

Karakteristik Dekstrin Putih Dekstrin Kuning Britihs Gum

Suhu Pemanasan (0C)

110 – 130 135 – 160 150 – 180

Waktu pemanasan (jam)

3 s/d 7 8 s/d 14 10 s/d 24

Jumlah Katalis Tinggi Medium Rendah

Kelarutan Rendah – tinggi Tinggi Rendah-tinggi

Viskositas Rendah – tinggi Rendah Rendah-tinggi

Warna Putih – krem

Kekuning-kuningan-gelap

Terang – gelap

Sumber : Ruterlberg dan Solarek (1984)

Jenis pirodekstrin ini berbeda dalam cara perlakuan pati sebelum dipanaskan, cara dan tingkat pemanasan, dan sifaf-sifat produk yang dihasilkan. Secara umum dekstrin putih dibuat dengan konversi pada suhu rendah dan pH yang tergantung kecepatan proses konversi tanpa pembentukan warna yang berlebihan. Dekstrin kuning merupakan produk yang terkonversi lebih tinggi yang dibuat dengan kombinasi pH rendah dan suhu yang tinggi. British gum disisi yang


(31)

lain dikonversi pada pH yang tinggi dan suhu yang tinggi untuk konversinya, sehingga warna British gum lebih gelap daripada dekstrin putih (Wurzburg 1986).

Prinsip pembuatan dekstrin adalah menghidrolisis molekul-molekul pati yang besar menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Pemanasan dan penggunaan asam akan menggunting ikatan-ikatan α-D-glikosidic pada pati sehingga didapatkan monomer-monomer glukosa (Smith, 1982). Proses pirokonversi, pengunaan panas selain untuk pemotongan ikatan α-D-glikosidik juga untuk mengurangi kadar air pati. Pengurangan air ini akan mencegah proses konversi dekstrin lebih lanjut, dekstrin yang dihasilkan harus segera dikeringkan.

Proses pembuatan dekstrin dengan pemanasan kering dilakukan empat tahap meliputi persiapan bahan, pemanasan pendahuluan, pirokonversi atau pemanasan lanjut, dan pendinginan.

Persiapan bahan

Pada tahap persiapan, pati diberi katalis asam. Jumlah asam yang diberikan tergantung dari sifat pirodekstrin yang diinginkan, kandungan air pati, jenis pati dan peralatan yang digunakan untuk pengeringan awal dan pemanasan. Biasanya larutan asam disemprotkan ke pati dengan pengadukan secara horizontal dan vertikal. Pengadukan ini bertujuan untuk mendistribusikan asam ke seluruh bagian pati hingga homogen (Wurzburg 1986; Somaatmadja 1970).

Pemanasan pendahuluan

Pemanasan pendahuluan dapat dilakukan atau tidak, tergantung dari jenis pirodekstrin yang akan dihasilkan atau peralatan yang digunakan. Tujuan dari pemanasan pendahuluan untuk mengurangi kandungan air yang terdapat di dalam pati sehingga proses reaksi hidrolisis berkurang. Hal ini penting untuk pembuatan dekstrin kuning. Berbeda halnya dalam pembuatan dekstrin putih dan

British gum, reaksi hidrolisis diperlukan untuk menentukan sifat-sifat produk yang diinginkan. Pemanasan pendahuluan dapat digabungkan dengan proses pirokonversi yang dilakukan dengan pemanasan pati asam dilakukan secara lambat, pengadukan yang kuat dan dialirkan udara yang maximum untuk menghilangkan air. Pemanasan pendahuluan juga dapat dilakukan terpisah dari proses pirokonversi.

Pirokonversi

Pirokonversi dilakukan dengan alat pemasakan yang dapat bergerak secara vertikal dan horizontal yang dilengkapi dengan mixer dan alat-alat


(32)

pengaduk. Panas yang digunakan berupa pemanasan langsung (direct heat) maupun dengan sistem jacket pemanas.

Suhu dan waktu konversi bervariasi tergantung kepada jenis pirodekstrin yang dihasilkan dan bentuk alat yang digunakan. Suhu pemanasan bervariasi dari 100 sampai lebih dari 2000C, waktu pemanasan bervariasi dari beberapa menit sampai beberapa jam. Secara umum dekstrin putih cenderung dibuat pada suhu rendah dan waktu yang singkat sedangkan dekstrin kuning dan British gum

memerlukan waktu reaksi yang lama dan suhu yang tinggi. Kadar air dekstrin dari proses konversi dapat dicapai 0 – 5 % (Wurzburg 1986).

Pendinginan

Dekstrin yang dihasilkan dari proses pirokonversi harus segera didinginkan dengan cara memasukkan dekstrin panas kedalam mixer pendingin atau konveyor yang dilengkapi dengan jaket pendingin. Tujuan proses pendinginan adalah untuk mencegah konversi lebih lanjut dari dekstrin.

Apabila pH konversi sangat rendah maka dilakukan penetralan asam untuk mencegah konversi lebih lanjut. Netralisasi dilakukan dengan pencampuran kering yang menggunakan reagen alakali amonium karbonat dan garam fosfat. Kelembaban dekstrin pada akhir konversi berkisar 0,5 sampai 2 –3 %. Dekstrin dilembabkan dengan membiarkannya di udara terbuka sampai tingkat kelembaban 5 – 12 % sebelum pengemasan (Fleche 1985; Wurzburg 1986).

Kimia Konversi

Perubahan - perubahan kimia yang terjadi pada pati selama proses dekstrinisasi adalah kompleks dan belum sepenuhnya dipahami. Terdapat tiga reaksi kimia yang terjadi yaitu hidrolisis, transglukosidasi dan repolimerisasi (Wurzburg 1986).

Reaksi hidrolisis akan mengakibatkan pemotongan ikatan α-D-(1,4) dan

α-D-(1,6) dalam pati selama tahap pemanasan pendahuluan dan tahap awal proses dekstrinisasi. Dalam reaksi ini akan terjadi penurunan berat molekul pati, viskositas dan peningkatan gugus reduksi yang disebakan oleh hidrolisis ikatan glikosidik. Mekanisme hidrolisis pati oleh enzim telah dijelaskan dalam proses likuifikasi dengan α-amilase. Mekanisme hidrolisis dengan asam disajikan pada Gambar 6.


(33)

O

O CH2OH

O

OH OH

O CH2OH

OH OH

O

O CH2OH

O

OH OH

O CH2OH

OH OH

O CH2OH

O OH OH O O O CH2 O OH OH O CH2OH

OH OH HO

O CH2OH

OH OH

Transglukosidasi adalah reaksi yang mengakibatkan hilangnya ikatan glukosida α-D- (1,4) dari proses hidrolisis yang diikuti dengan penggabungan fragmen-fragmen yang dekat dengan gugus bebas yang menghasilkan struktur bercabang (Wurzburg 1986).

Transglukosidasi merupakan reaksi yang penting dalam pirodekstrinisasi. Hal ini mungkin karena reaksi tersebut merupakan reaksi perubahan intermolekul pada beberapa ikatan α-D-(1,4)-glikosidik pati asli yang diubah ke ikatan α -D-(1,6). Mekanisme reaksinya disajikan pada Gambar 6 berikut ini.

Gambar 5 Mekanisme reaksi transglukosidasi (Satterwaite dan Iwinski 1973).

Glukosa dapat mengalami proses polimerisasi pada suhu tinggi dengan adanya katalis asam. Pembuatan dekstrin kuning membuktikan terjadinya repolimerisasi glukosa. Hal ini diduga dari penurunan kadar gula pereduksi, kecilnya peningkatan viskositas serta penurunan jumlah dekstrin yang larut dalam campuran 90% etanol dan 10% air. Walaupun proses repolimerisasi ini belum sepenuhnya diyakini, namun proses ini terjadi dalam pembuatan dekstrin kuning (Wurzburg 1986).

Dekstrin kuning dihasilkan dengan pemanasan pati kering yang diasamkan sampai mencapai suhu yang lebih tinggi dari suhu dekstrin putih. Bila kandungan air turun dibawah 3 %, proses hidrolisis tidak lagi berlangsung. sebaliknya molekul-molekul yang terfragmentasi oleh reaksi hidrolisis kembali membentuk struktur yang bercabang. Pengabungan kembali fragment tersebut bersifat acak. Mekanisme reaksi hidrolisis asam dan repolimerisasi disajikan pada Gambar 7.

Beberapa bukti memperlihatkan bahwa produk dekstrin kuning memiliki berat molekul yang lebih tinggi dari pati asalnya, tetapi sebagian molekulnya kecil dan kompak membuat dekstrin ini mempunyai viskositas yang sangat rendah.


(34)

Hidrolisis

Asam Polimerisasi

Panas + Air +

Panas + Asam

Dekstrin Fragment

terhidrolisis Pati

Karena panjang cabang sangat pendek, dekstrin kuning memperlihatkan tidak adanya sifat retrogradasi dalam larutan yang konsentrasinya tinggi (Pomeranz 1991). Pada pembuatan British gum, reaksi yang terjadi adalah reaksi hidrolisis pada tahap awal dekstrinisasi. Hidrolisis disebabkan oleh adannya residu air yang terdapat didalam pati dan sejumlah asam yang terbentuk selama pemanasan, sebagian besar proses transglukosidasi (Satterwaite dan Iwinski 1973).

Gambar 6 Mekanisme reaksi hidrolisis asam dan repolimerisasi. (Pomeranz 1991)

Penggunaan Dekstrin

Dekstrin dapat digunakan dalam industri pangan dan non pangan. Dalam bidang pangan dekstrin digunakan sebagai pembentuk film dan edible adhesive

untuk menggantikan gum arab pada produk-produk tertentu seperti pelapis kacang dan candy. Dekstrin juga digunakan sebagai bahan pengisi dan pembawa aroma yang disemprot kering (Smith 1982). Dekstrin dapat juga digunakan sebagai bahan enkapsulasi (BeMiller dan whistler 1996).


(35)

Maltodeksrin dalam industri pangan dimanfaatkan untuk meningkatkan penerimaan konsumen terhadap produk pangan cair, sebagai bahan pembantu dalam proses pengeringan dengan pengeringan semprot, dan maltodekstrin DE rendah dapat digunakan sebagai bahan pengisi dan aditif dalam proses pengeringan bahan makananan yang besifat higroskopis (Bigelis 1993).

Penggunaan dekstrin dalam bidang non pangan meliputi industri bahan perekat, industri kertas dan tekstil dan farmasi (Satterwaite dan Iwinski 1973; Somaatmadja 1984).

Dekstrin mempunyai daya rekat yang sangat baik sehingga banyak digunakan dalam pembuatan berbagai perekat seperti glokul, glotun dan sebagainya. Perekat (lem) yang dihasilkan dari dekstrin dapat dicampurkan dengan berbagai resin sintetik pada pH netral utnuk menghasikan perekat karton yang dilapisi berbagai bahan seperti alumminium foil. Dekstrin ini juga dapat digunakan untuk perekat rokok (BAT) dan Faroka (Somaatmadja 1984). Selain itu dekstrin kuning dapat dijadikan sebagai perekat yang lembab pada prangko, label dan amplop (Pomeranz 1991). Dalam industri kertas desktrin digunakan sebagai bahan pelapis dan membentuk permukaan yang halus.

Dalam industri farmasi, dekstrin digunakan sebagai carrier atau pembawa. Hal ini disebabkan karena dekstrin mudah larut dalam air dingin, sehingga tablet yang menggunakan dekstrin mudah larut dalam air ludah bila tablet tersebut dimakan (Somaatmadja 1984).

Dalam industri tekstil, dekstrin digunakan dalam finishing kain mori (kain putih) dimana apabila hendak dicetak harus dihilangkan kanjinya terlebih dahulu. Penghilangan dekstrin dalam kain putih lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan penggunaan pati (polisakarida). Dekstrin dapat dihilangkan dengan air dingin, sedangkan pati dihilangkan dengan air panas dan sedikit asam klorida (Somaatmadja 1984).


(36)

BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Teknik Kimia, Bioindustri, LDIT Departemen Teknologi Industri Pertanian dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan 24 bulan sejak Februari 2004.

Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang kelapa sawit yang berasal dari peremajaan PTPN 2 Gohor Lama Kabupaten Langkat Universitas Sumatera Utara, berumur 25 tahun dan varitas Tenera. Selain itu digunakan juga pati sagu industri kecil (Kedung Halang) Bogor dan tapioka komersial (Pabrik Budi Bogor) sebagai pembanding. Enzim yang digunakan adalah α-amilase dengan merek dagang Termamyl (Novo) dan HCl (katalis proses hidrolisis).

Bahan kimia analisa yang digunakan untuk penelitian ini adalah H2SO4, H2BO3, NaOH, Pereaksi KI (Kadar amilosa), pereaksi Somoygi (kadar pati), larutan lugol, larutan iod, larutan kanji, DNS, kertas saring Whatman No. 41, alkohol dan akuades.

Peralatan dan instrumentasi yang digunakan adalah pemarut, ember, kain saring dan plastik, blender (alat ekstraksi). Peralatan proses desktrinisasi adalah water bath shaker, ruang asam, pengaduk kaca dan sarung tangan. Peralatan analisa yang digunakan antara lain labu Kjeldahl, Soxhlet, Oven, Biuret, desikator, spektrofotometer UV 200 S, penangas air, pH meter, mixer, mikropipet, pengaduk magnetik, saringan 80 mesh, timbangan kasar, timbangan analitis, Brookfield viscometer, tanur, pinggan datar, Kett whitenessmeter, Brabender viscoamilograf, cawan porselin, dan peralatan gelas lainya.


(37)

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri lima tahap, yaitu ekstraksi pati kelapa sawit, karakterisasi pati kelapa sawit, sagu dan tapioka. Selanjutnya dekstrinisasi pati kelapa sawit, sagu dan tapioka dilakukan melalui hidrolisis enzimatis dan asam. Pada proses dekstrinisasi dilakukan pengamatan waktu dekstrinisasi. Waktu proses tersebut digunakan dalam pembuatan dekstrin dan selanjutnya karakterisasi produk dekstrin.

Ekstraksi Pati Kelapa Sawit.

Pembuatan pati kelapa sawit dilakukan dengan membelah batang kelapa sawit kemudian memisahkan kulit keras dan empelurnya. Empelur tersebut diserut hingga jadi serbuk kayu. Serbuk kayu ditambah air, selanjutnya diperas kemudian disaring dengan kain saring. Ampasnya dibuang sedangkan air yang mengandung pati diendapkan selama 3 jam, kemudian dihasilkan pati basah. Pati basah tersebut dicuci dengan menambahkan air dan diendapkan selama 3 jam kemudian pati basah tersebut dikeringkan dengan oven pada suhu 500C sampai kadar air pati menjadi ±10 %. Proses pembuatan pati kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 7. Pohon kelapa sawit yang dipotong serbuk gergajiannya diuji dulu kandungan patinya yaitu dengan penambahan air dan diremas dan disaring selanjutnya diendapkan pada erlenmeyer 250 ml. Jika mengandung pati proses ekstraksi dilanjutkan.

Karakterisasi Pati

Pati kelapa sawit yang diperoleh dari ekstraksi batang kelapa sawit, dikarakterisasi meliputi komposisi kimia (kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar protein, kadar lemak, kadar amilosa dan kadar pati), sifat fisik (derajat putih, bentuk dan ukuran granula pati dan sifat amilografi) demikian juga dilakukan terhadap pati sagu dan tapioka. Tata cara analisa dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pengaruh waktu Proses Terhadap Laju Dekstrinisasi

Penentuan waktu proses dekstrinisasi hidrolisis pati secara enzimatis dan asam disajikan pada Gambar 8 dan 9. Untuk masing-masing proses dekstrinisasi pengamatan waktunya dilakukan setiap 15 menit sekali selama tiga jam kemudian dianalisa kadar gula pereduksi dan total gulanya kemudian dihitung


(38)

nilai DE dan DP. Pengamatan ini dilakukan pada saat kondisi substrat dalam bentuk hidrolisat pati.

Inaktivasi untuk desktrin enzimatis dilakukan dengan penambahan NaOH 0,1 N kemudian dinetralkan dengan penambahan HCl 0,1 N, sedangkan dalam proses hidrolisis asam, penghentian proses hidrolisis dilakukan dengan penambahan NaOH 0,1N sampai pH hampir mendekati netral.

Gambar 7 Tahapan proses ekstraksi pati kelapa sawit ( Modifikasi Ginting 1995)

Penghancuran/penyerutan Batang Kelapa Sawit

Pembelahan

air

Pemerasan dan penyaringan Ampas kasar

Filtrat (pati terlarut)

Pengendapan selama 3 jam

Pati Basah

Pencucian

Pengendapan selama 3 jam

Pati

Pengeringan 24 jam suhu 500C

Pati Kering air

Kulit kayu

air

Pembuangan air


(39)

Proses Pembuatan Dekstrin

Pada penelitian ini akan dikaji pengaruh proses dekstrinisasi pati kelapa sawit (hidrolisis enzim dan asam) terhadap produk dekstrin yang dihasilkan, sebagai pembanding digunakan pati sagu dan tapioka.

1. Dekstrinisasi dengan Hidrolisis enzimatis

Pada proses ini masing-masing pati (substrat) dibuat dengan konsentrasi 30 % (b/b) substrat kering, sedangkan untuk dosis α-amilase yang digunakan 0,7 U/g dari pati kering. Enzim yang digunakan pada penelitian ini optimal pada suhu 950C, pH 5,2 dan memiliki aktivitas 1478,12 U/ml enzim (Gunawan 2004). Proses pembuatan dekstrin, dilakukan dengan mensuspensikan jenis pati sesuai dengan perlakuan diatas, lalu diaduk sampai merata. Keasaman suspensi diatur pada kisaran pH 5,2 dengan penambahan NaOH 0,1 N melalui bantuan pH meter. Kemudian ditambahkan α-amilase, suspensi dilikuifikasi pada suhu 950C sambil terus diaduk dan waktunya sesuai dengan proses dekstrinisasi. Pengadukan dilakukan secara manual, setelah lewat gelatinisasi water bathnya ditutup dan lamanya sesuai dengan proses likuifikasi. Proses likuifikasi dihitung menit ke nol pada saat suspensi pati dihidrolisis dalam water bath shaker yang sudah mencapai suhu 950C. Proses ini merupakan modifikasi dari penelitian Griffin dan Brooks (1989).

Proses inaktivasi enzim dilakukan dengan pendinginan pada suhu -40C selama 60 menit. Dekstrin cair yang diperoleh dituang setebal lima mm kedalam loyang aluminum yang sudah dilapisi dengan plastik, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 500C selama dua hari. Setelah kering dekstrin tersebut dihaluskan dengan blender kemudian saring dengan ayakan 80 mesh. Proses pembuatan dekstrin hidrolisis secara enzimatis dapat dilihat pada Gambar 8.

2. Dekstrinisasi dengan Hidrolisis HCl

Proses dekstrinisasi ini dilakukan dengan pembuatan suspensi pati dengan konsentrasi 30% (b/b) substrat kering, konsentrasi HCl yang digunakan 0,5 % dari pati kering. Suspensi pati kemudian dilikuifikasi pada 950C dengan pengadukan manual dan lamanya sesuai dengan waktu dari pengamatan pendahuluan. Setelah proses likufikasi pHnya dinetralkan, dekstrin cair yang diperoleh dituang setebal 5 mm kedalam loyang aluminum yang sudah dilapisi dengan plastik, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 500C selama dua


(40)

hari. Setelah kering dekstrin tersebut dihaluskan dengan blender kemudian disaring dengan ayakan 80 mesh. Proses dekstrinisasi secara hidrolisis dengan katalis asam klorida dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 8 Proses dekstrinisasi secara enzimatis. (Modifikasi Griffin dan Brooks 1989)

α-amilase 0,7 U/ g pati Kering

Inaktivasi enzim suhu –4oC

Likuifikasi Pada suhu 95oC, pH 5,2 dan waktu sesuai dengan

Penelitian Pendahuluan Air

Penggilingan Pengeringan Oven suhu 50 selama 48 jam

Pengaturan pH pH 5,2

Pembuatan Suspensi (30% pati)

Dekstrin Pengayakan

80 mesh Jenis Pati


(41)

Gambar 9 Proses dekstrinisasi secara hidrolisis asam. (Modifikasi Ega 2002).

Dalam proses hidrolisis asam dilakukan penambahan HCl dengan cara mencoba berbagai konsentrasi HCl 0,25-0,75 % dengan konsentrasi suspensi pati 30% (b/b) berat kering pati. Kemudian ditetapkan konsentrasi HCl 0,5 % pati kering kemudian dilakukan hidrolisis terhadap ketiga jenis pati. Penambahan HCl ini dilakukan pada saat sebelum proses likuifikasi. Proses likuifikasi dihitung

Penambahan NaOH 0,1 N Untuk Penghentian Hidrolisis Likuifikasi pada suhu 95oC Waktu sesuai dengan Penelitian

Pendahuluan Air

Penggilingan Pengeringan Oven suhu

50oC selama 48 jam Penambahan HCl 0,5%

dari berat Pati Kering Pembuatan Suspensi (30% pati)

Dekstrin Pengayakan

80 mesh Jenis Pati


(42)

menit ke-nol pada saat suspensi pati dihidrolisis dalam water bath shaker yang sudah mencapai suhu 950C. Proses ini merupakan modifikasi dari penelitian Ega (2002).

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal. Faktor yang diamati yaitu jenis pati meliputi pati kelapa sawit, sagu dan tapioka. Penelitian dilakukan pada pembuatan dekstrin enzimatis dan asam yang dilakukan secara terpisah dan dibandingkan sesuai dengan nilai DE dan DP yang terbentuk. Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali, model rancangan percobaan adalah sebagai berikut.

Y(ijk) = µ + i + εij

Dengan : i=1, 2, 3…,t dan j = 1,2…,r

Y(ijk) = Respon hasil pengaruh dari jenis pati ke-i dan ulangan ke-j. µ = Rataan umum.

i = Pengaruh jenis pati taraf ke-i.

εij = Galat percobaan dari jenis pati ke-ipada ulangan ke-j. (Montgomery 1991).

Karakterisasi Dekstrin.

Dekstrin yang dihasilkan dikarakterisasi dan dibandingkan dengan SNI dekstrin untuk industri pangan (SNI 01-2593-1992) dan non pangan (SNI 06-1451-1989). Sifat-sifat dekstrin yang dianalisa meliputi : warna dalam larutan lugol, kadar air, kadar abu, serat kasar, bagian yang larut dalam air dingin, kekentalan, derajat putih dan derajat asam dan kejernihan pasta. Tata cara analisa dapat dilihat pada Lampiran 2.


(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi Pati Kelapa Sawit

Kelapa sawit adalah tanaman monokotil dan batangnya mengandung jaringan vaskular dan parenkim. Batang kelapa sawit memiliki karakter yang spesial. Kandungan airnya tinggi 1,5 sampai 2,5 kali dari bobot keringnya, serta memiliki kandungan selulosa dan lignin yang rendah dan kandungan yang larut dalam air dan NaOH yang tinggi dibanding kayu karet dan ampas tebu (Husin et al. 1985 diacu dalam Tomimura 1992). Batang kelapa sawit ini mengandung jaringan vaskular sekitar 71-76 % dan jaringan parenkim 24-26 %. Tabel 6 berikut ini menyajikan hasil analisa kimia jaringan vaskular dan parenkim (Tomimura, 1992).

Tabel 6 Komposisi kimia kandungan jaringan vaskular dan parenkim batang kelapa sawit (%).

Jaringan Kandungan

Vaskular Parenkim

Abu 2,2 2,4

Pati 2,4 55,5

Lignin 15,7 20,0

Larut asam 3,9 4,5

Komposisi Gula

Mannosa 2,0 1,3

Arabinosa - 6,5

Galaktosa - 3,9

xilosa 34,8 34,8

Glukosa 63,2 55,5

(Tomimura 1992)

Batang kelapa sawit yang diekstraksi berasal dari PTPN 2 kebun Gohor Lama Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara hasil peremajan kebun. Proses penebangan di kebun PTPN 2 ini dapat dilihat pada Gambar 10. Proses ekstraksi pati dilakukan dengan cara memotong 2 m batang kelapa sawit dari pucuk batang. Hal ini disebabkan batang sawit bagian atas mempunyai struktur serat kurang padat dibandingkan dengan bagian bawah batang sawit. Semakin


(44)

ke atas arah meninggi batang sawit dan semakin ke dalam arah diameter lingkar batang sawit kadar air dan kadar parenkim semakin tinggi, sedangkan kerapatannya menurun (Guritno dan Darnoko, 2003).

Gambar 10 Proses peremajaan tanaman kelapa sawit PTPN 2 Langkat. Batang kelapa sawit 2 m dari pucuk batang ini dibelah, kemudian diserut dan dipisahkan kulit kayunya. Serbuk kayu ditambahkan air selanjut diremas-remas untuk mengekstrak patinya. Gambar 11 berikut ini menunjukkan bagian batang yang akan diekstraksi. Gambar 12 merupakan serbuk kayu hasil penyerutan.


(45)

Gambar 12 Serbuk kayu hasil penyerutan dari batang kelapa sawit.

Pati batang kelapa sawit tersimpan dalam sel-sel parenkim dari jaringan vaskular kasar yang mengandung persentasi lignin yang tinggi. Ekstraksi pati dari sel ini tergolong sulit karena struktur dan kandungan komposisi selnya menghalangi proses penghancuran jaringan vaskular dan sel parenkim (Azemi et al. 1999).

Proses ekstraksi ini akan menghasilkan kulit kayu 27,42%, serbuk kayu 72,57%, ampas berupa serat bebas pati 61,01% dan pati 4,7% (kadar air 10,65%) dari total berat 2 m batang kelapa sawit (200 kg). Neraca masa proses ekstraksi pati disajikan pada Gambar 13. Menurut penelitian Azemi et al. (1999) dari berbagai cara untuk mengekstraksi pati kelapa sawit maksimum diperoleh rendemen 7,15 % (kadar air 11,8%) dari basis 300 g potongan batang kelapa sawit segar berbentuk kubus dengan ketebalan 1-2 cm. Proses ekstraksi yang sama terhadap singkong dan batang sagu dapat menghasilkan rendemen pati 50 %.

Jika dibandingkan dengan rendemen hasil ekstraksi yang dilakukan tidak jauh berbeda, Azemi et al. (1999) tidak memperhitungan berat batang segar kelapa sawit yang dapat diekstraksi secara keseluruhan. Namun jika dibandingkan dengan rendemen pati sagu dan singkong yang diuji dengan metode ekstraksi yang sama maka rendemen pati kelapa sawit adalah sangat kecil.

Ekstraksi pati kelapa sawit tidak hanya memberi kontribusi ekonomis saja tapi juga dapat memperluas aplikasi penggunaan serat bebas pati, sehingga dapat menambah keanekaragaman pemanfaatan limbah batang kelapa sawit


(46)

(Azemi et al. 1999). Menurut Guritno dan Darnoko (2003) kandungan pati yang tinggi pada batang kelapa sawit bagian atas jika seratnya dimanfaatkan menjadi pulp akan mengunakan bahan kimia yang cukup banyak, sehingga biaya prosesnya menjadi mahal.

Gambar 13 Neraca masa pembuatan pati kelapa sawit. Batang Kelapa Sawit

Berat 1000 Kg

Dibelah

Kulit Kayu 274,2 Kg (27,42%) Penyerutan

Serbuk Kayu 725,57 Kg (72,57%) Air 60 m3

Peremasan dan Penyaringan Serat Bebas Pati 610 Kg (61,0 %)

Filtrat

Pengendapan

Pati Basah 115,6 Kg (11,56%) Kadar Air 63,38 %

Pengeringan (T= 500C, 30 jam)

Air 60 m3

Air 81,96 Kg 6,83%

Pati Kelapa Sawit Kering 47,3 Kg (4,73%) Kadar Air 10,65%


(47)

Karakterisasi Pati

Karakterisasi pati meliputi komposisi kimia pati yang diamati diantaranya kadar air, abu, protein, lemak, pati, serat dan amilosa. Sifat fisik diantaranya bentuk, ukuran granula, derajat putih, kejernihan pasta, pola amilografi

Sifat Kimia Pati

Komposisi kimia pati kelapa sawit, sagu dan tapioka disajikan pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7 Komposisi kimia pati kelapa sawit, sagu dan tapioka Jenis Pati

Komponen

Kelapa Sawit Sagu Tapioka

Air (%) 10,65 12,15 12,15

Protein (%bk) 0,96 0,75 1,21

Lemak (%bk) 0,37 0,23 0,33

Abu (%bk) 0,68 0,1 0,18

Karbohidrat by difference (%bk) ● Serat (%bk)

● Pati (%bk)

● Amilosa (% total pati) ● Amilopektin (% total pati)

88,02 1,78 96,00 28,76 71,24 86,87 0,55 97,85 36,14 63,86 86,31 0,43 96,99 30,74 69,26

Dari Tabel 7 diatas dapat dilihat bahwa kandungan protein pati tapioka lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit dan sagu. Kadar abu pati kelapa sawit lebih tinggi dibanding tapioka dan sagu. Hasil penelitian Azemi et al. (1999) memperoleh kadar abu untuk pati kelapa sawit sebesar 1,03%. Tingginya kadar abu pati kelapa sawit ini disebabkan karena tingginya kandungan silika pada batang kelapa sawit. Selain itu bisa juga disebabkan masuk melalui alat mesin serut dan air ketika proses ekstraksi berlangsung.

Kandungan amilosa pati kelapa sawit lebih kecil jika dibanding dengan pati sagu dan tapioka. Kandungan amilosa pati kelapa sawit ini masih lebih besar dibanding hasil penelitian Azemi et al. (1999) yaitu sebesar 19,5% hal ini mungkin disebabkan bahan baku yang berbeda terutama perbedaan galur dan lokasi tanaman serta kualitas air untuk produksi patinya. Hasil Penelitian


(48)

Chilmijati (1999) kandungan amilosa pati tapioka 29,82% dan sagu sebesar 34,13%, nilainya hampir sama dengan hasil penelitian.

Kadar serat pati kelapa sawit lebih tinggi dibanding pati sagu dan tapioka hal ini disebabkan masih terikutnya serat-serat halus dari batang kelapa sawit ketika proses ekstraksi berlangsung. Kadar pati untuk ketiga jenis pati diatas adalah sangat tinggi diatas 95%. Hal ini sangat baik sebagai bahan baku untuk produk pati-pati termodifikasi.

Sifat Fisik Pati

1. Bentuk dan Ukuran Granula Pati

Pati adalah polisakarida terbesar kedua dalam tanaman setelah selulosa, dibuat di dalam kloroplast dan disimpan sebagai cadangan energi di dalam umbi, biji dan akar sebagai partikel kecil yang dikenal sebagai granula. Bentuk dan ukuran granula tergantung dari jenis tanaman penghasil pati.

Penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap bentuk, ukuran granula dan derajat putih pati sawit kemudian dibandingkan dengan pati sagu dan tapioka. Hasil pengamatannya disajikan pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8 Sifat-sifat fisik pati kelapa sawit, sagu dan tapioka Sifat Fisik Kelapa Sawit Sagu Tapioka Bentuk Granula Bulat Oval Bulat

Ukuran Granula (µm) 8,9-29,3(19,47) 54,1-98,8 (74,83) 17,4-35,9 (25,6) Derajat Puti (% terhadap

BaSO4)

83,02 84,86 93,53

Kejernihan pasta (%T) 15,4 76,55 43,9

Tabel 8 ini memperlihatkan kisaran ukuran granula pati kelapa sawit lebih kecil dari ukuran granula pati sagu dan hampir sama dengan tapioka. Sesuai dengan hasil penelitian Azemi et al. (1999) menyatakan ukuran granula pati kelapa sawit adalah kisaran 3 – 37 µm dan ukuran rata-ratanya 14,6 µm dengan distribusi volume ukuran granula pati kelapa sawit terbanyak terdapat pada kisaran 3 – 25 µm. Bentuk granula pati tapioka dan sawit adalah bulat sedangkan sagu berbentuk oval. Gambar 14 dan 15 memperlihatkan bentuk granula patinya.


(49)

Gambar 14 Bentuk granula pati kelapa sawit, sagu dan tapioka dengan mikroskop cahaya (pembesaran 400 kali).

Gambar 15 Bentuk granula pati kelapa sawit, sagu dan tapioka mikroskop cahaya terpolarisasi (pembesaran 400 kali).

2. Derajat Putih dan Kejernihan pasta pati

Tabel 8 memperlihatkan derajat putih pati kelapa sawit lebih rendah dari pati tapioka dan tidak jauh berbeda dengan pati sagu dapat dilihat pada Gambar 16. Perbedaan derajat putih ini disebabkan karena sumber atau jenis asal dari patinya, dimana tapioka berasal dari akar sedangkan sawit dan sagu berasal dari batang. Derajat putih pati kelapa sawit ini lebih rendah dari tapioka diduga karena batang kelapa sawit mengandung senyawa polifenol demikian juga pati sagu. Hasil penelitian Pei-Lang et al. (2006) menyatakan pencoklatan pati sagu disebabkan oleh senyawa fenol dan polifenol oksidase di dalam batang. Menurut Ozawa dan Arai (1986) diacu dalam Pei-Lang et al. (2006) senyawa fenol yang berperan dalam reaksi pencoklatannya adalah DL-epikatekin dan D-katekin.

Kelapa sawit Sagu Tapioka


(50)

Gambar 16 Pati tapioka, sagu dan kelapa sawit.

Kejenihan pasta pati kelapa sawit lebih rendah dari pati sagu dan tapioka (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pati kelapa sawit bersifat lebih opaque

dibanding sagu dan tapioka. Menurut Radley (1977) kejernihan dipengaruhi oleh persentase kandungan bahan selain pati seperti sisa serat, partikel protein dan lemak. Bahan-bahan tersebut meningkatkan keburaman, seperti yang telah diketahui kandungan serat dan lemak pati kelapa sawit lebih tinggi dari sagu dan tapioka (Tabel 7) sehingga mengakibatkan %T menjadi rendah.

3. Sifat Amilografi Pati

Salah satu cara untuk mengikuti perubahan granula pati dalam sistem air selama pengolahan panas adalah dengan menggunakan alat Brabender Viscoamilograf. Dengan alat ini perubahan viskositas (kekentalan) suspensi pati tapioka, sagu dan sawit dapat dideteksi.

Pengujian ini dilakukan dengan membuat konsentrasi masing-masing suspensi pati sebesar 6% (b/b) berat kering pati. Pola amilografi pati tapioka, sagu dan sawit dengan menggunakan Brabender Viscomilograf sifat pasta pati mempunyai pola yang sama namun berbeda pada suhu gelatinisasi, viskositas puncak dan viskositas dingin. Pola amilografi pati tapioka sagu dan sawit dapat dilihat pada Gambar 17 berikut ini.


(51)

0 100 200 300 400 500 600

0 20 40 60 80 100

Waktu (menit)

Viskositas (BU)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Suhu (

o C)

Suhu Tapioka Sagu Kelapa sawit Gambar 17 Pola amilografi pati tapioka, sagu dan kelapa sawit.

Dari Gambar 17 tersebut dapat diketahui sifat-sifat pasta pati tapioka, sagu dan kelapa sawit yang akan disajikan pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9 Sifat amilografi pati tapioka, sagu dan kelapa sawit Sifat Pasta Kelapa Sawit Sagu Tapioka

Suhu Gelatinisasi (0C) 72 72 66

Suhu Viskositas Puncak (0C) 87 78 84 Viskositas Puncak (BU) 484 406 568

Stabiltas Pasta (BU) 154 206 280 Viskositas Balik (BU) 226 170 132 Viskositas akhir (BU) 556 370 417

Dari Gambar 17 dapat dilihat suhu saat dimulainya pembentukan pasta dengan titik awal nilai viskositas ditetapkan sebagai suhu gelatinisasi. Granula pati dipanaskan dan akan tercapai pada suhu dimana pada saat itu akan terjadi hilangnya sifat polarisasi cahaya pada hilum, mengembangnya granula pati yang bersifat tidak dapat kembali disebut dengan gelatinisasi ( Swinkels, 1985).

Menurut Olku dan Rha (1978) diacu dalam Pomeranz (1991) gelatinisasi granula pati mencakup hal-hal sebagai berikut.

1. Hidrasi dan mengembangnya beberapa kali dari ukuran semula. 2. Hilangnya sifat birefregence.


(52)

3. Peningkatan kejernihan pasta.

4. Peningkatan di dalam konsistensi dan pencapaian puncak secara cepat dan jelas.

5. Ketidaklarutan molekul-molekul linier dan pendifusian dari granula-granula yang pecah.

6. Retrogradasi dari campuran sampai membentuk gel

Tabel 9 memperlihatkan suhu gelatinisasi pati kelapa sawit adalah sama dangan pati sagu, sedangkan tapioka memiliki suhu gelatinisasi yang lebih rendah dari kedua pati tersebut. Menurut Jane et al. (1992) perbedaan ukuran granula, kandungan amilosa dan panjang rantai percabangan amilopektin akan mengakibatkan perbedaan sifat pasta dan suhu gelatinisasi.

Pada penelitian ini rendahnya suhu gelatinisasi tapioka karena ukuran pati yang lebih kecil dari sagu sedangkan suhu gelatinisasi pati sawit lebih tinggi dari pati tapioka diduga karena tingginya kadar serat kasar di dalam pati dapat dilihat pada Tabel 7. Semakin rendah suhu gelatinisasi, waktu gelatinisasi juga semakin pendek. Waktu gelatinisasi pati tapioka adalah 24 menit sedangkan pati sagu dan sawit adalah 28 menit. Sifat ini berkaitan dengan energi dan biaya yang dibutuhkan dalam produksi dekstrin. Pati akan terhidrolisis sempurna apabila melewati suhu gelatinisasinya. Proses likuifikasi dilakukan pada suhu 950C yang melewati suhu gelatinisasinya. Apabila di bawah suhu gelatinisasi pati tidak akan terhidrolisis dengan sempurna karena masih tahan terhadap kerja enzim dan asam.

Dari Tabel 9 di atas, viskositas puncak pati tapioka sebesar 568 BU lebih tinggi dari pati sawit 484 BU dan sagu 408 BU. Dari nilai ini dapat dikatakan tapioka lebih kental dari sawit dan sagu pada konsentrasi yang sama. Hal ini diduga karena tingginya kandungan protein pada tapioka. Kandungan protein yang tinggi didalam pati dapat meningkatkan viskositas puncak dan suhu gelatinisasi (Jane et al. 1992). Menurut Hoover (1996) dan Rasper (1982) diacu dalam Ratnayake et al. (2001) sifat pasta pati dipengaruhi oleh granula yang mengembang, pergesekan diantara granula yang mengembang, peluruhan amilosa, kristalinitas pati dan panjang rantai komponen pati.

Stabilitas pasta pati didefinisikan sebagai selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pada suhu 950C yang dipertahankan selama 30 menit (Muhammad et al. 2000). Tabel 9 menunjukan pati kelapa sawit memiliki nilai stabilitas pasta 154 (BU) lebih kecil dari sagu dan tapioka hal ini diduga kecilnya


(53)

amilosa yang luruh akibat pemanasan dan pengadukan. Selain itu viskositas akhir pasta pati kelapa sawit 556 (BU) lebih besar dari sagu dan tapioka. Hal ini mengindikasikan pati kelapa sawit lebih mudah mengalami retrogradasi dibanding tapioka dan sagu.

Produksi Dekstrin

Penentuan Waktu Pembuatan Dekstrin

Penentuan waktu proses dekstrinisasi dilakukan terhadap proses dekstrinisasi enzimatis dan asam terhadap pati tapioka, sagu dan kelapa sawit. Untuk masing-masing proses dekstrinisasi dilakukan pengamatan setiap15 menit sekali selama 3 jam kemudian dianalisa nilai DE dan DP.

1. Hidrolisis Enzimatis

Enzim adalah katalis yang positif, dapat meningkatkan laju reaksi 103 - 1012 jika dibandingkan dengan reaksi katalis bukan enzim. Enzim memiliki

beberapa kelebihan seperti reaksi lebih spesifik, lebih efisien, kemurnian produk yang dihasilkan lebih baik dan sesuai yang diinginkan, menggunakan pH yang hampir mendekati netral, suhu dan tekanan yang rendah, menghasilkan produk samping sedikit yang dapat mempengaruhi rasa dan warna (Whitaker 1994; Olsen 1995; Yankov 1986).

Pada proses hidrolisis enzimatis ini, digunakan α-amilase (Bakterial) terhadap tapioka, sagu dan kelapa sawit. Hasil pengamatan nilai DE dan DP hasil hidrolisis disajikan pada Gambar 18. Nilai DE hidrolisat pati tapioka, sagu dan kelapa sawit meningkat seiring dengan waktu likuifikasi. pada awal proses liquiifikasi terjadi peningkatan Nilai DE secara tajam. Nilai DE pada menit ke 15 untuk tapioka, Sagu dan kelapa sawit berkisar 1,8 – 3,89. Pada menit ke 60 nilai DE meningkat, untuk tapioka, sagu dan kelapa sawit berkisar 6,60 – 8,02. Hal ini menunjukkan banyaknya polimer - polimer pati yang telah terkonversi menjadi molekul-molekul yang lebih pendek. Glukosa memiliki nilai DE 100, maltosa nilai DE 53, maltotriosa nilai DE 36 dan pati sendiri memiliki nilai DE hampir nol. Semakin tinggi nilai DP maka semakin rendah nilai DE (Van der Maarel et al.


(54)

0 10 20 30 40 50 60

15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180

Waktu Hidrolisis (menit)

DP

0 10 20 30 40 50 60

DE

Gambar 18 Hidrolisis enzimatis pati tapioka, sagu dan kelapa sawit.

Derajat polimerisasi (DP) menunjukkan jumlah rata-rata monosakarida unit didalam molekul, sedangkan dekstrosa ekuivalen (DE) adalah jumlah gula pereduksi sebagai persen dari dekstrosa murni yang dihitung dalam basis kering. DE ini terkait dengan derajat polimerisasi dengan mengikuti persamaan DE = 100/DP (Wurzburg 1989; BeMiller dan Whistler 1996).

Alfa amilase (bacterial) adalah enzim dasar yang bersifat endohidrolase. Enzim ini bekerja secara acak memutus ikatan α 1,4-glikosidik di dalam molekul amilosa dan amilopektin tetapi tidak dapat memutuskan ikatan α 1,6-glikosidik dan ikatan α 1,4 disebelah ikatan α 1,6-glikosidik seperti yang disajikan pada Gambar 19 (Biotol 1991).

Gambar 19 Bagian yang tidak dapat diserang α-amilase (Biotol, 1991).

α-1,4 α-1,4 α-1,4 α-1,4

α-1,4 α-1,4 α-1,4 α-1,4 α-1,4 α-1,4 α-1,4

α-1,6

bagian yang tidak dapat dihidrolisis

α - amilase glu glu glu glu

glu glu glu glu glu glu

...

... ... DP Kelapa Sawit DP Sagu

DE Sagu DE Tapioka DP Tapioka DE Kelapa Sawit


(1)

Sidik ragam analisa kejernihan pasta

Sumber

Keragamam

db JK

KT

F-hitung F-tabel

(0,05)

Jenis Pati

2

3087,68

1543,84

3432,88*

4,46

Galat

6

2,70

0,45

Total 8

3090,38

* = Berbeda Nyata

Uji lanjut Duncan terhadap kejernihan pasta

Dekstrin Rata-rata

Notasi

Huruf

Tapioka

88,53

A

Sagu

75,78

B

Sawit

44,45

C

Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05

Sidik ragam analisa derajat putih

Sumber

Keragamam

db JK

KT

F-hitung F-tabel

(0,05)

Jenis Pati

2

809,89

404,95

158,37*

4,46

Galat

6

15,34

2,56

Total 8

825,24

* = Berbeda Nyata

Uji lanjut Duncan terhadap derajat putih

Dekstrin Rata-rata

Notasi

Huruf

Tapioka

85,59

A

Sagu

67,79

B

Sawit

63,76

C


(2)

Lampiran 8 sidik ragam mutu dekstrin hidrolisis asam

Sidik ragam analisa kadar abu

Sumber

Keragamam

db JK

KT

F-hitung F-tabel

(0,05)

Jenis Pati

2

0,3156

0,1578

286,10*

4,46

Galat

6

0,0033

0,0006

Total 8

0,3189

* = Berbeda Nyata

Uji lanjut Duncan terhadap kadar abu

Dekstrin Rata-rata

Notasi

Huruf

Sawit

1,1532

A

Tapioka

0,7755

B

Sagu

0,7389

B

Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05

Sidik ragam analisa viskositas

Sumber

Keragamam

db JK

KT

F-hitung F-tabel

(0,05)

Jenis Pati

2

148,88

74,44

822,06*

4,46

Galat

6

0,54

0,09

Total 8

149,43

* = Berbeda Nyata

Uji lanjut Duncan terhadap viskositas

Dekstrin Rata-rata

Notasi

Huruf

Sagu

15,42

A


(3)

Keragamam (0,05)

Jenis Pati

2

122,3967

61,1983

19,88*

4,46

Galat

6

18,4680

3,0780

Total 8

140,8647

* = Berbeda Nyata

Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan dalam air dingin

Dekstrin Rata-rata

Notasi

Huruf

Tapioka

69,343

A

Sagu

64,475

B

Sawit

60,319

C

Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05

Sidik ragam analisa kadar serat

Sumber

Keragamam

db JK

KT

F-hitung F-tabel

(0,05)

Jenis Pati

2

1,3637

0,6819

1790,98*

4,46

Galat

6

0,0023

0,0004

Total 8

1,3660

* = Berbeda Nyata

Uji lanjut Duncan terhadap kadar serat

Dekstrin Rata-rata

Notasi

Huruf

Sawit

1,0972

A

Sagu

0,3795

B

Tapioka

0,1947

C


(4)

Sidik ragam analisa kejernihan pasta

Sumber

Keragamam

db JK

KT

F-hitung F-tabel

(0,05)

Jenis Pati

2

3691,66

1845,83

485,57*

4,46

Galat

6

22,81

3,80

Total 8

3714,47

* = Berbeda Nyata

Uji lanjut Duncan terhadap kejernihan pasta

Dekstrin Rata-rata

Notasi

Huruf

Tapioka

78,42

A

Sagu

44,90

B

Sawit

29,98

C

Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05

Sidik ragam analisa derajat putih

Sumber

Keragamam

db JK

KT

F-hitung F-tabel

(0,05)

Jenis Pati

2

1023,42

511,71

943,33*

4,46

Galat

6

3,25

0,54

Total 8

1026,68

* = Berbeda Nyata

Uji lanjut Duncan terhadap derajat putih

Dekstrin Rata-rata

Notasi

Huruf

Tapioka

87,48

A

Sawit

66,53

B

Sagu

63,50

C


(5)

Sidik ragam analisa derajat asam

Sumber

Keragamam

db JK

KT

F-hitung F-tabel

(0,05)

Jenis Pati

2

3,0425

1,5212

432,84*

4,46

Galat

6

0,0211

0,0035

Total 8

3,0636

* = Berbeda Nyata

Uji lanjut Duncan terhadap derajat asam

Dekstrin Rata-rata

Notasi

Huruf

Sawit

1,8425

A

Tapioka

1,1667

B

Sagu

0,4189

C


(6)

Dekstrin Hidrolisis Enzim Dekstrin hidrolisis asam SNI Dekstrin Variabel Mutu Kelapa sawit Sagu Tapioka Kelapa sawit Sagu Tapioka Pangan Non Pangan

Warna Visual

P P

P

P

P

P P-K

P-K

Warna

ditetesi larutan lugol

C C C

C C C U-K

U-K

DE

17,12±1,33 21,09±0,25

18,73±1,73

8,17±0,39 14,05±0,21

9,09±0,69

-

-

DP

5,87±0,47 4,75±0,06

5,38±0,52

12,28±0,61 7,13±0,12 11,07±0,88

-

-

Kadar air (%bb)

7,62±0,39

6,91±0,39

7,83±0,99

7,35±0.29

6,92±0,39

7,85±0,56

Maks. 11

Maks. 11

Kadar abu (%bb)*

0,70±0,02a

0,12±0,02c

0,23±0,03b

1,15±0,01a

0,74±0,02b

0,78±0,03b

Maks. 0,5

maks. 0,5

Kadar Serat (%bb)*

1,16±0,07a

0,45±0,04b

0.,36±0,04b

1,10±0,12a

0,38±0,01b

0.,20±0,02c

Maks. 0,6

Maks. 0,6

Kelarutan (%bb)*

55,95±8,39b 51,11±5,15b

92,63±3,55a 60,32±0,3c 64,47±0,9b

69,34±2,9a

Min. 97

Min. 80

Derajat Putih

(% terhadap BaSO4)*

63,76±1,75c 67,79±0,71b

85,59±2,02a 66,53±1,06b 63,50±0,20c 87,48±0,53a

_

_

Derajat asam

(ml NaOH 0,1N/100g)*

1,65±0,07 0,63±0,03

0,82±0,07

1,84±0,04a

0,42±0,05c 1,17±0,09b

Maks.

5 Maks.6

Viskositas (cP)*

4,97±0,45a 4,90±0,26a

3,82±0,26b

9,50±0,5b 15,42±0,14a

5,52±0,03c

3-4

0

E 3-4

0

E

Kejernihan Pasta (%T)*

44,45±0,43c 75,78±1,08b

85,59±0,10a 29,98±1,24c 44,90±1,41b 78,42±2,85a

-

-

Keterangan : * : jenis pati berbeda nyata pada

α

= 5% baik secara enzimatis dan asam.

a,b,c : Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada

α

= 5% (DMRT).