Eksistensi Pidana Tambahan Uang Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi Terkait Tujuan Pemidanaan

(1)

THE EXISTACE OF ADDITIONAL CRIMINAL RESTITUTION TO THE CORRUPTION RELATED TO THE PURPOSES OF SENTENCING

By

FENNY ANDRIANI

Corruption, based on law No. 31, 1999 about eradication of corruption as a kind of criminal offence that inflict of state financial loss and hamper of national development. One of the way how to restore the state losses is by giving additional pinalty such as compensation payment. The problems of this research are how the existence of additional criminal restitution of the corruption in relation to the purposes of sentencing why the need for criminal restitution in corruption case.

This research used yuridis normative approach, is done by analyzing the theories, concepts and law that related on eradication of corruption which is listed on law No. 31, 1999 that is amended on law No. 20, 2001 about eradication of corruption.

The existence of additional criminal restitution is to be preserved, but in terms of execution remains a bottleneck. That is because the execution process should be done within 1 (one) month still can not be carried out in accordance with conditions set by law, so the return of the losses suffered by the state become stagnant and eventually abandoned. Additional criminal sanctions for such compensation should be applied to the perpetrator can not enjoy the fruits of crime and public corruption so that the state does not become injured party.

Reform the legal basic is needed to eradicate corruption because the current regulations do not hold maximally. Moreover, the same coprehansion is needed to restore the state losses optimally.


(2)

EKSISTENSI PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT TUJUAN PEMIDANAAN

Oleh

FENNY ANDRIANI

Korupsi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional. Salah satu cara mengembalikan kerugian keuangan negara negara yang hilang tersebut adalah dengan memberi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah eksistensi pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana korupsi dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan dan mengapa perlu adanya pidana uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menganalisis teori-teori, konsep-konsep, serta perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Eksistensi pidana tambahan uang pengganti masih harus dipertahankan, namun dari segi eksekusinya masih mengalami hambatan. Hal tersebut dikarenakan dalam proses eksekusi yang seharusnya dilakukan dalam tempo 1 (satu) bulan masih tidak dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang, sehingga pengembalian kerugian yang diderita oleh negara menjadi tersendat dan akhirnya terabaikan. Sanksi pidana tambahan uang pengganti perlu diterapkan agar pelaku tidak dapat menikmati hasil dari kejahatan korupsinya sehingga negara dan masyarakat tidak menjadi pihak yang dirugikan.

Perlu adanya pembaharuan dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi karena peraturan yang ada saat ini belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Selain itu pula diperlukan kesatuan pemahaman bagi para penegak hukum agar tercipta optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara. Kata kunci : korupsi, pidana tambahan uang pengganti, tujuan pemidanaan


(3)

EKSISTENSI PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT TUJUAN PEMIDANAAN

Oleh

FENNY ANDRIANI 1222011017

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(4)

EKSISTENSI PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT TUJUAN PEMIDANAAN

(Tesis)

Oleh

FENNY ANDRIANI 1222011017

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Pengertian Eksistensi ... 14

B. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana... 17

C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 22

D. Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ... 26

1. Terhadap Orang yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi ... 26

2. Gugatan Perdata Kepada Ahli Waris ... 31

3. Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi ... 31

E. Pidana Tambahan Uang Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi .. 32

F. Dasar Hukum Pidana Tambahan Uang Pengganti ... 34


(6)

III. METODE PENELITIAN ... 46

A. Pendekatan Masalah ... 46

B. Sumber dan Jenis Data ... 47

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 49

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 50

E. Analisis Data ... 52

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53

A. Karakteristik Responden ... 53

B. Eksistensi Pidana Tambahan Uang Pengganti Terkait Tujuan Pemidanaan ... 54

C. Perlunya Pidana Tambahan Uang Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi ... 68

V. PENUTUP ... 81

A. Simpulan ... 81

B. Saran ... 82


(7)

1. Tim Penguji

KetuaTimPenguji :

Ilr.

Eddy Rifai, S.H., M.H.

Seketaris

: Dr. Erna Dewi, S.H., M.H.

Penguji

Utama

: Dr. Maroni, S.H.o M.H.

Anggota

: Dr. Nikmah Rosidah, S.H.o M.H.

Anggota

: Dr.

Ileni

Siswanto, S.If., M.H.

eryandi, S.H., M.H.

ll09

198703 1 003

Program Pascasarjana

rwo, M.S.

198103 I 002 i,

:1

.:iJ


(8)

Nama

Mahasiswa

-.

Nomor Pokok Mahasiswa :

Program Kekhususan Program

Studi

:

Fakultas

KORUPSI TNRKAIT TUJUAN PEMIDANAAN Fenny Andriani, S.H.

1222UW17 Hukum Pidana

Program Pascasarjana Magister Hukum

Magister Hukum

MEI{YETUJUI

Dosen Pembimbing

Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

,4,tu?

/ l'/

DriErna Dewi, S.H., M.H. NIP 19610715 198503 2 003

MElYGETAHUT

Ketua Program Pascasarjana

Program Studi Magister Hykym Fakultas Hukum

nlVersl pung

war, S.H., M.Hum. Eddy Rifai, S.H., M.H.

196t0912 198603 1 003

,rdf$$ltm.ry;6

b-ffiffiffi

,*dWqry,

h?#,o^-qEAW".t


(9)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenamya bahwa :

l.

Tesis dengan judul Eksistensi Pidana Tambahan uang pengganti pada Tindak Pidana Korupsi

rerkait

Tujuan pemidanaan adalah karya saya

sendiri dan tidak melahrkan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademika atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya ilmiah

ini

diseratrkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Atas

pernyataan

ini

apabila dikemudian

hari

ternyata ditemukan adarrya ketidakbenararl saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, 25 September2014

Fenny Andriani NPM 1222011017


(10)

MOTO

Sesungguhnya telah beruntung orang Ber-Islam, diberi rezeki yang

mencukupi dan diberi sifat Qanaah (kepuasan) dengan apa yang

dianugrahkan oleh Allah SWT

(HR. Muslim)

Wahai Orang Orang Yang Beriman

Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita,

maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak memcelakakan suatu

kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu

menyesali perbuatanmu itu.


(11)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kehadirat Allah SWT, kupersembahkan

karya tulisku ini kepada :

Kedua orang tua ku tercinta Ayahanda Drs. Hi. Fauzan, S.H. dan

Ibunda Dra. Hj. Maryani yang telah melahirkan, merawat,

membesarkanku, mendidik serta selalu mendoakan dan

membimbingku dengan tulus dan ikhlas demi keberhasilanku untuk

menjadi orang yang sukses.

Adik-adikku Ferdy Andrian, S.H.,M.H dan Ferayani Ulrica, S.Pd

yang telah memberikanku doa dan semangat demi keberhasilanku

Para pendidikku yang dengan tulus memberikan ilmu pengetahuan

yang sangat bermanfaat untuk masa depanku, serta


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Fenny Andriani, S.H. dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 18 Februari 1988, anak pertama dari pasangan Bapak Drs. Hi. Fauzan, S.H. dan Ibu Dra. Hj. Maryani.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Kartika II-5 Bandar Lampung tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Negeri 9 Bandar Lampung, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 5 Bandar Lampung pada tahun 2006 dan menyelesaikan Pendidikan Strata-1 di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2011.

Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan Strata-2 Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Lampung.


(13)

Segala

puji

bagi Allah SWT, berkat rahmat dan hudayat Nya, penulis dapat

menyelesaikan pascasarjana hingga Tesis dengan baik. Judul skripsi

ini

adalah "Eksistensi Pidana Tambahan Uang Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi Terkait Tuj uan Pemidanaan.

"

Penulis menyadari dalam penyajian Tesis

ini

masih banyak kekurangan dalam

penulisan maupun referensi data. Semoga tesis ini dapat menjadi rujukan untuk penelitian beikutnya agar lebih sempurna dan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan. Atas selesainya tesis ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada:

1

Ayahanda Drs. Hi. Fauzan, S.H., dan Ibunda Dra. Hj. Maryani yang tak pemah berhenti memberikan cinta kasih, do'a, semangat, dukungan baik

moril

serta materiil untukku. Yang tidak pernah lelah berharap dan

menunggu saat-saat indah ini.

2

Adik-adikku tercinta Ferdy Andrian S.H., M.H dan Ferayani Ulrica S.Pd

yang selalu mendo'akan untuk kelancaran kuliahku

3

Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H.,M.H sebagai pembimbing satu, yang telah


(14)

l0

ll

Bapak Dr. Maroni, S.H.,M.H, Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H.,M.H dan Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan untuk menyelesaikan tesis ini.

Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H.,M.H selaku Ketua Program Pascasarjana

Magister Hukum Universitas Lampung

Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung

Segenap Dosen dan Civitas Akademika Pascasarjana Magister Hukum

Universitas Lampung

Bapak dan Ibu guruku dari tingkat dasar sampai sekolah menegah atas, kesabaranmu mengajarkanku banyak hal. Semoga Allah SWT megampuni

segala salah dan Khilaf kita.

Hafis Martin, S.Si yang selalu membantu dan memberikan semangat

dalam menyelesaikan tesis ini.

Satrabat-sahabatku "Boelleth-com" Maya, Anggi,

Novi,

Rana, Feni,

Ferinda Devia, Melia, Ubay dan "Twenies" Bhar4 Rise, Amie, Ich4 Dit4 yang telah memberikan dukungan dan semangatnya.

Teman-teman PPS lvftl2012 Reg. A Bu eka, Mba Verq Mba Tat4 Mba Dina Mba Nana, Mba Tora Mba Rissa, Mba Ria, Pak Ihsan, Bang lndra t2


(15)

kebersamaan, persahabatan dan kekeluargaannya.

Serta seluruh pihak yang telah memberikanku bantuan dan dorongan. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat dan penulis menyambut baik kritik dan saran. Akhir

kata penulis memohon maaf bila ada kata-kata yang tidak berkenan. Terima kasih.

Bandar Lampung, 25 Septemb er 201 4

Penulis


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa korupsi sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional.Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa korupsi masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.

Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan bernegara sehingga dapat menghambat pembangunan suatu negara, baik dalam sektor politik maupun sektor ekonomi. Selain itu secara lebih umum, korupsi juga dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadap institusi negara yang telah memainkan kekuasaan secara ilegal.


(17)

Tindakan korupsi yang akhir-akhir ini makin marak dipublikasikan di media massa maupun media cetakmayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Berkembangnya korupsi hingga saat ini sangat merugikan berbagai pihak. Beriring berkembangnya waktu, korupsi juga ikut berkembang. Bahkan kurupsi sudah merajalela di negara-negara yang ada di dunia. Di Indonesia sendiri sudah banyak terjadi tindak pidana korupsi. Pelaku tindak pidana korupsi bahkan dilakukan oleh aparatur negara yang harusnya bertugas mengelola aset negara. Korupsi merupakan persoalan bangsa Indonesia yang dihadapi dari masa ke masa dalam waktu yang cukup lama, maka dari itu pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat membantu menyelesaikan setiap kegiatan korupsi yang ada sehingga dapat mengembalikan harta Negara yang hilang.

Bidang ekonomi korupsi juga berdampak luas, yaitu korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru.


(18)

Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Selain itu, dampak dari korupsi yang dirasakan sampai saat ini adalah berkurangnya kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Korupsi telah mengakibatkan kemiskinan dan kerugian terhadap keuangan negara sehingga pelaku korupsi harus dijatuhi suatu bentuk pidana yang dapat membuat pelaku jera serta dapat mengembalikan kerugian negara. Salah satu cara mengembalikan keuangan negara yang hilang tersebut adalah dengan memberi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Upaya ini diharapkan dapat memberikan hasil yaitu berupa pemasukan ke kas negara.

Uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara korupsi harus dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap mereka yang melakukan tindak pidana korupsi. Sehingga hasil akhir yang diperoleh bukan hanya terpulihkannya


(19)

keuangan negara tetapi juga timbulnya efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan dalam perkara korupsi. Pada hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin, hakim tidak diwajibkan selalu menjatuhkan pidana tambahan. Walaupun demikian, khusus untuk perkara korupsi hal tersebut perlu untuk diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena korupsi adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara. Dalam hal ini kerugian negara tersebut harus dipulihkan.

Salah satu cara yang dapat dipakai guna memulihkan kerugian negara tersebut adalah dengan mewajibkan terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kepada negara hasil korupsinya tersebut dalam wujud uang pengganti. Sehingga, meskipun uang pengganti hanyalah pidana tambahan, namun apabila membiarkan terdakwa tidak membayar uang pengganti, maka hukum yang ada tidak akan memberikan efek jera. Karena uang yang dikorupsi biasanya bernilai sangat tinggi.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus1 (ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht) dan ketentuan hukum positif (ius constitutum) Indonesia, yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2 Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu yang

1

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2008, hlm. 1.

2

Juniver Girsang, Abuse of Power, Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum Dalam


(20)

berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.

Tindak pidana korupsi merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir dengan baik, serta dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan dan peranan yang penting dalam tatanan sosial masyarakat. Oleh karena itu kejahatan ini sering disebut white collar crime atau kejahatan kerah putih.3

Dalam prakteknya, korupsi yang telah sedemikian rupa tertata dengan rapi modus kejahatan dan kualitasnya, menjadikan korupsi ini sulit diungkap. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi, maka pemberantasannya harus dengan cara yang luar biasa melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.4

UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah mengatur secara tegas tentang tindak pidana korupsi, dimana ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus5 yang diterapkan begitu tinggi serta ancaman pidana denda yang nilainya juga begitu besar ditambah lagi dengan ancaman pidana tambahan seperti yang tersebut dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, yang salah satu kekhususan dari Undang-Undang Korupsi ini adalah pidana pembayaran uang pengganti, yang bertujuan untuk

3

Gary S. Green, Occupational Crime, Chicago: Nelson-Hall, 1990.

4

Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, 2005.

5

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan


(21)

memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Bunyi dari isi pasal 18 ayat (1) huruf b UU Nomor 30 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut: “pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak

-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”.

Problematika yang muncul saat ini adalah masih saja terdapat penjatuhan pidana tambahan uang pengganti yang tidak sesuai dengan kerugian yang diderita oleh negara. Disisi lain masih ada pula terpidana yang lebih memilih melaksanakan pidana subsider (penjara) dibandingkan dengan membayar uang pengganti. Sehingga tujuan dari pemidanaan itu tidak dapat terealisasi dengan baik, karena tujuan dari adanya pemidanaan dan juga adanya penjatuhan pidana tambahan uang pengganti adalah untuk memidana seberat mungkin para koruptor agar mereka jera, menghindarkan pelaku dan masyarakat untuk melakukan tindak pidana korupsi dan mengulanginya lagi serta mengembalikan kerugian negara yang hilang akibat dari suatu perbuatan korupsi.

Salah satu contohnya yaitu kasus mantan Bupati Lampung Tengah Andi Ahmad Sampurna Jaya. Walaupun Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis kepada Andi Ahmad Sampurna Jaya dengan hukuman penjara 12 (duabelas) tahun dan denda sebesarRp. 500 juta, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp. 20,5 milyar, namun Kejaksaan Tinggi Lampung belum melaksanakan eksekusi terhadap putusan MA tersebut khususnya tentang pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara sebesar Rp. 20,5 milyar.


(22)

Atas dasar uraian dan latar belakang pemikiran di atas, penulis mencoba untuk mengkaji tentang hal tersebut dengan judul : “Eksistensi Pidana Tambahan Uang Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi Terkait Tujuan Pemidanaan”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimanakah eksistensi pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana korupsi terkait tujuan pemidanaan?

b. Mengapakah perlu adanya pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana korupsi?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan tesis ini meliputi kajian-kajian yang berhubungan dengan penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang No. 31Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta mengapa perlu adanya pidana tambahan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. Lokasi penelitian berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung


(23)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

a. Untuk menganalisa eksistensi pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana korupsi terkait tujuan pemidanaa.

b. Untuk menganalisa perlu adanya pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya bagi pengembangan teori ilmu hokum pidana terutama mengenai eksistensi pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana korupsi terkait tujuan pemidanaan.

2. Kegunaan Praktis

Sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dengan acuan yang disesuaikan dengan disiplin ilmu yang telah dipelajari dan juga untuk memperluas cakrawala bagi siapa saja yang ingin mengetahui tetang eksistensi pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana korupsi dalam kaitannya dengan tujuan penulisan tesis ini.


(24)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstrak dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.6 Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam kebijakan penegak hukum dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, kebijakan penegak hukum dalam penjatuhan pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana korupsi diharapkan dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, karena dapat mengembalikan aset dan kekayaan negara yang hal tersebut dapat dialokasikan untuk kesejahteraan umat. Selain untuk kesejahteraan masyarakat tujuan dari pidana tambahan uang pengganti juga dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa para koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera.

Dasar hukum penjatuhan pidana uang pengganti terdapat dalam Pasal 17 jo 18 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, ada 3 golongan utama teori tujuan pemidanaan, yaitu : 7

6


(25)

1. Teori absolut atau teori pembalasan

Teori ini mengatakan, bahwa di dalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Dasar pembenar dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johannes Andenaes sebagaimana yang dikutip oleh Muladi : tujuan utama atau primair dari pidana menurut teori absolut adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.

2. Teori relatif atau teori tujuan

Menurut teori relatif, maka dasar pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan ada 2 macam, yang pertama adalah prevensi umum seperti yang dikemukakan oleh Von Feuerbach, ialah jika seseorang terlebih dahulu mengetahui bahwa ia akan mendapatkan suatu pidana apabila ia melakukan suatu kejahatan, maka sudah tentu ia akan berhati-hati. Yang kedua ialah prevensi khusus, tujuan pemidanaan ialah menahan niat buruk calon pembuat kejahatan, pemidanaan bertujuan menahan pelanggar mengulangi perbuatannya atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.

3. Teori Gabungan

7

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1993, hlm.


(26)

Teori gabungan merupakan perpaduan teori absolut dengan teori relatif. Menurut teori gabungan, tujuan pemidanaan ialah selain untuk membalas kejahatan pelaku tindak pidana namun yang berat tindak pidananya harus adil sesuai dengan batas-batas pembalasan juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban masyarakat.

Pengembalian kerugian keuangan negara merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai dari proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Dibutuhkan suatu instrumen yang dapat membantu para penegak hukum untuk mengembalikan kerugian keuangan negara, salah satu intrumen tersebut adalah dengan penjatuhan pidana tambahan uang pengganti kepada pelaku tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan hal tersebut Bentham berpendapat bahwa “hukuman tanpa ada ganti rugi ternyata tidak efektif karena masyarakat masih tercekam oleh begitu banyaknya kekhawatiran yang timbul berkaitan dengan tidak terpulihkannya akibat atau kerugian yang diderita oleh korban kejahatan”.8 Selama ganti rugi gagal terpenuhi, maka kejahatan tetap berada pada tingkat yang sama tanpa ada pemulihan.9 Hal ini berarti pula bahwa apabila sanksi pidana untuk mengganti kerugian keuangan negara tidak berhasil ditegakkan, maka tindak pidana korupsi di Indonesia akan tetap tumbuh subur, dan pelakunya tetap mendapatkan kenikmatan dari hasil kejahatan korupsinya, sedangkan negara dan masyarakat tetap menjadi pihak yang dirugikan.

8

Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (N.M. Tripathi Private Limited, Bombay, 1979),

diterjemahkan oleh Nurhadi, Teori Perundang-undangan (Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum

Perdata dan Hukum Pidana), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung, 2006, hlm.

317-318.

9


(27)

Pentingnya pengembalian kerugian keuangan negara juga menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam pembentukan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertimbangan tersebut terlihat jelas dalam huruf a dan b UU No.31 tahun 1999, yaitu :

a. Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

b. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, jua menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

2. Konseptual

Konseptual merupakan gambaran hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.10

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pokok permasalahan dan pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis akan memberikan beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan istilah-istilah yang dapat dijadikan pegangan dalam penelitian ini. Adapun istilah-istilah yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Eksistensi adalah berada; keberadaan.

10


(28)

b. Pidana adalah segala sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah tundak kejahatan.11

c. Pidana Tambahan Uang Pengganti adalah pembayaran yang dilakukan oleh terpidana atas kerugian Negara sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

d. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainya, yang dilakukan dengan suatu maksud, terhadap perbuatan itu harus di lakukan oleh orang yang dapat di pertanggungjawabkan.12

e. Korupsi adalah suatu tindak pidana penyuapan dan perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat.13

f. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. g. Pelaku Tindak Pidana adalah orang yang melakukan perbuatan yang tidak

sesuai dengan kaidah-kaidahatau peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan mempunyai akibat hukum tertentu sehingga harus dikenai sanksi sesuai dengan perbuatannya.

11

http://id.m.wikipedia.org/wiki/pidana

12

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung : Bhineka Cita, 1985, hlm. 5

13

Eddy Rifai, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandar Lampung : Program Pascasarjana


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Eksistensi

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Eksistensi adalah keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Sedangkan menurut Abidin Zaenal (2007:16) eksistensi adalah :

“Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya”.

Menurut Nadia Juli Indrani, eksistensi bisa kita kenal juga dengan satu kata yaitu keberadaan. Dimana keberadaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh atas ada

atau tidak adanya kita. Istilah “ hukuman” merupakan istilah umum dan

konvensional yang mempunyai arti yang luas dan dapat berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari seperti di bidang moral, agama dan lain sebagainya.

Eksistensi dalam tulisan ini juga memiliki arti yang berbeda, eksistensi yang dimaksud adalah mengenai keberadaan aturan atau hukum yang mengakibatkan


(30)

perubahannya suatu hal. Hukum dan pidana kaitannya sangatlah erat, dimana ada hukum pasti ada pidana, namun keduanya memiliki makna yang berbeda.14

Ludwig Binswanger merupakan seorang psikiatri yang lahir pada tanggal 13 April 1881, di Kreuzlinge. Ia mendefinisikan analisis eksistensial sebagai analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia yang aktual. Tujuannya ialah rekonstruksi dunia pengalaman batin.15

Jean Paul Sartre sebagai seorang filosof dan penulis Prancis mendefinisikan,

“Eksistensi kita mendahului esensi kita”, kita memiliki pilihan bagaimana kita

ingin menjalani hidup kita dan membentuk serta menentukan siapa diri kita. Esensi manusia adalah kebebasan manusia. Di mana hal yang ada pada tiap diri manusia membedakan kita dari apapun yang ada di alam semesta ini. Kita sebagai manusia masing-masing telah memiliki “modal” yang beraneka ragam, namun tetap memiliki kesamaan tugas untuk membentuk diri kita sendiri.

Berbeda dengan Binswanger, lebih menekankan kepada sifat-sifat yang melekat pada eksistensi manusia itu sendiri. Selain itu hal lain yang dibicarakan oleh Boss adalah spasialitas eksistensi (keterbukaan dan kejelasan merupakan spasialitas (tidak diartikan dalam jarak) yang sejati dalam dunia manusia), temporalitas eksistensi (waktu (bukan jam) yang digunakan/dihabiskan, badan (ruang lingkup badaniah dalam pemenuhan eksistensi manusia), eksistensi dalam manusia milik bersama (manusia selalu berkoeksistensi atau tinggal bersama orang lain dalam dunia yang sama), dan suasana hati atau penyesuaian (apa yang diamati dan direspon seseorang tergantung pada suasana hati saat itu).

14

Nadia Juli Indrani, 29 Juli 2010: wordpress.com

15


(31)

Dalam filsafat eksistensi, istilah existensi di artikan sebagai gerak hidup manusia kongkrit. Kata eksistensi berasal dari bahasa latin ex-sistere ( ex berarti keluar dan tere berarti berdiri, tampil ) kata eksistensi diartikan manusia berdiri sendiri dengan keluar dari dirinya. Dalam pengertian inilah eksistensi mengandung corak yang dinamis. Dalam filsafat eksistensi, pengertian eksistensi digunakan untuk menunjukkan cara benda yang unik dan has dari manusia yang berbeda dengan benda-benda lainnya, karena hanya manusialah yang dapat berada dalam arti yang sebenarnya di banding mahluk-mahluk atau benda-benda lain di dunia ini lebih sepisik lagi eksistensi lebih merujuk atau menunjuk pada manusia secara

individual artinya “individu yang ini” atau “individu yang itu” dan bersifat

kongkrit, kongkrit dalam arti bahwa manusia tidak dipormulasikan berdasar rekayasa ide apstrak sfekulatif seseorang untuk menyatakan depenisi manusia secara umum.

Eksistensi bukanlah suatu yang sudah selesai, tapi suatu proses terus menerus melalui tiga tahap, yaitu : dari tahap eksistensi estetis kemudian ke tahap etis, dan selanjutnya melakukan lompatan ke tahap eksistensi religius sebagai tujuan akhir.16

Menurut Sukamto Satoto sampai saat kini tidak ada satupun tulisan ilmiah bidang hukum, baik berupa buku, disertasi maupun karya ilmiah lainnya yang membahas secara khusus pengertian eksistensi. Pengertian eksistensi selalu dihubungkan dengan kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu lembaga hukum tertentu. Sjachran Basah mengemukakan penegrtian eksistensi dihubungkan dengan

16


(32)

kedudukan, fungsi, kekuasaan atau wewenang pengadilan dalam lingkungan bada peradilan administrasi di Indonesia.

B. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana

Banyak kalangan lebih mengenal kata hukuman daripada pidana, yang walaupun mengandung pengertian yang sama, namun sebenarnya kedua istilah tersebut dapat dibedakan, yaitu :

a. Hukuman, merupakan istilah yang umum dan konvensional, mengandung istilah yang lebih luas dan berubah-ubah. Istilah tersebut tidak hanya dipakai dalam bidang hukum, tetapi juga sebagai bahasa sehari-hari di bidang pendidikan, agama, dan lain-lain.

b. Pidana, merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu dengan menunjukkan sanksi dalam hukum pidana.17

Dapat dijelaskan bahwa tidak semua hukuman merupakan pidana, akan tetapi setiap pidana merupakan hukuman. Terdapat sedikit kekeliruan yang selama ini menjadi pemahaman awam, bahwa untuk menyebut sanksi dalam ukuran pidana, orang biasanya lebih mengenal kata hukuman daripada pidana itu sendiri. Mengenai pidana itu sendiri Barda dan Muladi sampai pada kesimpulan bahwa pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat yang tidak menyenangkan, yang mana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang berwenang, dan pidana tersebut diberikan

17

Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1998,


(33)

kepada orang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang.

Sudarto18 mengemukakan bahwa penghukuman berasal dari kata hukum, yang berarti menetapkan hukum atau memutus tentang hukumnya. Pidana sebagai suatu penderitaan yang dengan sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Menetapkan hukum untuk satu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana, akan tetapi juga hukum perdata. Dalam perkara pidana seringkali disamakan dengan pemidanaan.

Dalam KUHP pada pengaturan sanksinya dianut double track system, yaitu di samping menggunakan sanksi pidana berupa pemidanaan, juga memasukkan sanksi berupa tindakan. Sistem tersebut nampaknya masih akan terus dipertahankan mengingat di dalam naskah RUU KUHP 2012, hal tersebut dicantumkan dalam Pasal 65, Pasal 66 dan Pasal 67 yang mengatur jenis-jenis pidana. Jenis-jenis tindakan diatur dalam Pasal 10, kemudian khusus untuk jenis-jenis pidana dan tindakan yang diperuntukkan bagi anak dirumuskan dalam Pasal 114 dan Pasal 126.

Jenis-jenis pidana, dalam KUHP diatur dalam Pasal 10 yang menentukan pidana itu terdiri dari :

1. Pidana pokok, yaitu : a. pidana mati; b. pidana penjara; c. pidana kurungan; d. pidana denda. 2. Pidana tambahan, yaitu :

a. pencabutan hak-hak tertentu;

18


(34)

b. perampasan barang-barang tertentu; c. pengumuman putusan hakim.

Perbedaan mengenai tindak pidana juga terjadi di kalangan ahli hukum pidana di Indonesia. Ada yang menyebut tindak pidana sebagai perbuatan pidana, peristiwa pidana dan delik. Dalam rumusan KUHP, istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit atau delict. Salah satu ahli hukum kita yaitu R. Tresna menyatakan bahwa peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau serangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.19 Perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum.

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana dan oleh karena itu memahami tindak pidana sangat penting. Untuk mengetahui hal ini maka akan diuraikan pendapat dari beberapa sarjana.20 Seperti di bawah ini :

1. Moeljatno

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan, larangan mana disertai ancaman (sanksi ) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Unsur-unsur tindak pidana:

a. Perbuatan manusia

b. Memenuhi rumusan undang – undang c. Bersifat melawan hukum

19

Roeslan Saleh, Beberapa Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Prespektif, Jakarta : Aksara Baru, 1981, hlm. 24

20

Tri Andrisman, Hukum Pidana : Asas-Asas dalam Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia,


(35)

2. Simons

Tindak pidana (Strafbaar Feit) adalah kelakuan (Hendeling) yang diancam oleh pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

Unsur-unsur tindak pidana:

a. Unsur subyektif yaitu orang yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan (Dolus atau Culpa). Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

b. Unsur obyektif yaitu perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.

3. Van Hamel

Tindak pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan oleh WET yang bersifat melawan hukum, yang patut pidana dan dilakukan oleh kesalahan. Unsur-unsur tindak pidana :

a. Perbuatan manusia

b. Yang dirumuskan dalam Undang – Undang c. Dilakukan dengan kesalahan

d. Patut dipidana

4. Pompe


(36)

Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

1. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

5. J.E.Jonkers

Mengenai tindak pidana ada 2 (dua) pengertian yaitu dalam arti pendek dan arti panjang. Arti pendek, tindak pidana adalah suatu kejadian (Feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang. Arti panjang, tindak pidana adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dilakukan dengan sengaja oleh alpa orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

6. VOS

Strafbaar Feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang ada pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana

7. Soedarto

Istilah tindak pidana dengan unsur-unsur, sebagai berikut:

a. Perbuatan yang memenui rumusan undang-undang b. Bersifat melawan hukum.

c. Dilakukan oleh yang mampu bertanggung jwab dengan kesalahan (schuld)

baik dalam bentuk kesengajaan (dulos) maupun kealpaan (culpa) dan tidak ada alasan pemaaf.


(37)

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui beberapa unsur yang terkandung dalam suatu tindak pidana. Unsur-unsur ini penting untuk dibuktikan melalui proses sistem peradilan pidana. Apabila unsur-unsur tersebut salah satunya tidak terbukti, maka perbuatan tersebut bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan dan tersangka harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Berdasarkan pendapat beberapa pendapat diatas, maka jelas bahwa tindak pidana harus memenuhi beberapa unsur yaitu :

1. Perbuatan itu adalah perbuatan manusia

2. Perbuatan itu harus dilakukan dengan suatu kemauan, maksud dan kesadaran Terhadap perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana harus lebih dahulu telah tercantum dalam undang-undang. Ini merupakan suatu asas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang sering pula disebut dengan asas legalitas. Pengertian undang-undang di sini bukan hanya dalam arti undang-undang-undang-undang yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif tetapi juga meliputi produk perundang-undangan lain seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden serta Peraturan Daerah.

C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Pemahaman korupsi mulai berkembang di Barat pada permulaan abad ke -19, yaitu setelah adanya revolusi Perancis, Inggris dan Amerika ketika prinsip


(38)

pemisahan keuangan umum/negara dan keuangan pribadi mulai diterapkan. Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio atau corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata

corruption/corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan corruptie.21

Pengertian korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain, sedangkan pengertian korup ialah busuk; buruk; suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).22 Di sisi lain, secara hukum pengertian korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi.

Pengertian korupsi juga didefinisikan oleh para pakar di bidang ilmunya masing-masing. Korupsi dari sisi pandang ekonomi, yaitu seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya aka diusahakan semaksimal mungkin. Korupsi dari sisi pandang pemerintahan merupakan suatu perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga,golongan, kawan, teman) demi mengejar status dan gengsi atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal itu mencakup tindakan seperti penyuapan (memberi hadiah dengan maksud hal-hal menyelewengkan seseorang dalam kedudukan pada jawatan dinasnya); nepotisme (kedudukan sanak saudaranya

21

Eddy Rifai, Op.cit, hlm. 2

22


(39)

sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan atau memberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal-usul dan bukan berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk kepentingan pribadi), sedangkan korupsi dari sisi pandang kepentingan umum dengan mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggungjawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak dibolehkan oleh undang-undang; membujuk atau mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.23

Menurut Bambang Poernomo, korupsi memuat perilaku mereka bekerja disektor publik dan swasta, baik politisi maupun Pegawai Negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri dan atau memperkaya mereka yang berdekatan dengannya, atau merangsang orang lain berbuat serupa dengan menyalahgunakan kedudukan yang mereka emban.

Pengertian korupsi disempurnakan Bank Pembangunan Asia dan konsep transparency Internasioanal, suatu lembaga swadaya masyarakat internasional yang mencakup 60 (enam puluh) negara dan menspesilisasikan diri pada usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. Pengertian kunci dalam pengertian korupsi ini adalah bahwa pertama, pelaku yang terlibat dalam korupsi terdapat kalangan pemerintah (Pegawai Negeri), Swasta (Pengusaha) maupun Politik (Politisi); kedua, mereka berprilaku memperkaya diri atau yang berdekatannya atau

23


(40)

merangsang orang lain memperkaya diri, pengertian memperkaya diri tidak saja dalam makna harta tetapi juga kekuasaan; ketiga, cara yang dipakai adalah tidak wajar dan tidak legal dengan menyalahgunakannya.

Berbagai perumusan lain dapat diungkapkan disini berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun secara umum opini popular yang melekat dibenak masyarakat memuat tiga pokok diatas. Sesuai dengan kedudukan pelaku korupsi maka nilai uang atau barang yang terlibat di dalamnya bisa kecil sekedar uang persenan yang bisa diberikan ikhlas sebagai tanda terima kasih tetapi bisa pula terpaksa diberikan sebagai prasyarat pelayanan. Disamping ada pelaku korupsi besar yang menerima imbalan besar atas perilakunya menyalahgunakan kedudukannya.

Pertimbangan menerima uang bisa berdalih untuk kepentingan umum, seperti partai, pemilihan umum, usaha sosial, proyek kemanusiaan, yayasan sosial dan yang serupa. Apapun pertimbangannya ini yang terjadi adalah kekuasaan yang melekat pada kedudukan untuk dipakai bagi kepentingan umum, disalahgunakan untuk hal-hal lain terletak diluar mandat dan dilaksanakan atas kesewenangan pemegang kekuasaan.

Besar atau kecil uang atau nilai barang yang diterima tidak mengurangi hakekat atau permasalahan bahwa kekuasaan yang terpaut pada kedudukan dan harus diabdikan bagi kepentingan umum disalahgunakan untuk maksdu-maksud lain menurut kesewenangan pribadi. Maka terlangkahilah garis pemisah antara


(41)

“kepentingan umum” dan “kepentingan pribadi” sehingga menumbuhkan konflik kepentingan (conflict of interest) dan disinilah tersimpul esensi korupsi.24

D. Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

1. Terhadap Orang yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

a) Pidana Mati

Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31tahun 1999 yang

dilakukan “keadaan tertentu”. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu

adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidan tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagi pengulangan tindak pidana korupsi atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).

24

Dadang Kosasih, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyelidikan dan


(42)

b. Pidana Penjara

1) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 1 ayat (1))

2) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

3) Pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 5)

4) Pidana Penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana


(43)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 6)

5) Pidana penjara paling singkat 2(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-UndangHukum Pidana. ( Pasal 7) 6) Pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas

tahun) dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-Undanh Hukum Pidana. (Pasal 8)

7) Pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 9)

8) Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 10)


(44)

9) Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 11)

10)Pidana penjara seumur hidup dan/atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 12)

11)Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)

12)Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,


(45)

Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. (Pasal 22)

13)Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) bagi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 dan Pasal 430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 23)

14)Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) bagi saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Undang-Undang No.31 Tahun 1999. (Pasal 24)

c. Pidana Tambahan

1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.


(46)

4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atausebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

5) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

6) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

2. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengancara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.

2. Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3(sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui prosedural


(47)

ketentuan Pasal 20 ayat (1-6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

1) Ayat (1) : Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

2) Ayat (2) : Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3) Ayat (3) dan (4) : Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. Kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain

4) Ayat (5) : Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

5) Ayat (6) : Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor

E. Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi

Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana


(48)

yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi.

Pada hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin, hakim tidak diwajibkan selalu menjatuhkan pidana tambahan. Walaupun demikian, khusus untuk perkara korupsi hal tersebut perlu untuk diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena korupsi adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara. Dalam hal ini kerugian negara tersebut harus dipulihkan.

Salah satu cara yang dapat dipakai guna memulihkan kerugian negara tersebut adalah dengan mewajibkan terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kepada negara hasil korupsinya tersebut dalam wujud uang pengganti. Sehingga, meskipun uang pengganti hanyalah pidana tambahan, namun adalah sangat tidak bijaksana apabila membiarkan terdakwa tidak membayar uang pengganti sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara.

Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terbebas dari kewajiban untuk membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat dikompensasikan dengan kekayaan terdakwa yang dinyatakan dirampas untuk negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati uang tersebut, atau telah ada terdakwa lain yang telah dihukum membayar uang pengganti, atau kerugian negara masih dapat ditagih dari pihak lain. Jumlah uang pengganti adalah kerugian negara yang secara nyata dinikmati atau memperkaya


(49)

terdakwa atau karena kausalitas tertentu, sehingga terdakwa bertanggung jawab atas seluruh kerugian negara.

F. Dasar Hukum Pidana Tambahan Uang Pengganti

Pasal 17 jo 18 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi :

Pasal 17

Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

Pasal 18

Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :

b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

Undang-Undang memberikan penekanan khusus mengenai besaran uang pengganti tersebut yakni sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Secara yuridis hal ini harus diartikan kerugian yang dapat dibebankan kepada terpidana adalah kerugian Negara yang besarnya nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja atau lalai yang dilakukan oleh terpidana.


(50)

G. Pengertian dan Tujuan Pemidanaan

Bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana adalah masalah pidana dan pemidanaan. Sifat pidana merupakan suatu penderitaan, pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang dianggap bersalah merupakan sifat derita yang harus dijalani, meskipun demikian sanksi pidana bukan semata-mata bertujuan untuk memberikan rasa jera.

Pemidanaan adalah suatu proses. Sebelum proses itu berjalan, peranan hakim penting sekali. Hakim mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu.25

Pasal 55 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2007 disebutkan pedoman pemidanaan yang wajib dipertimbangkan hakim, antara lain :

1. Kesalahan pembuat;

2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana; 3. Cara melakukan tindak pidana;

4. Sikap batin pembuat;

5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;

6. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana; 7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;

8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan; 9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; 10.Tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Pedoman pemidanaan ini akan sangatlah membantu bagi Hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan di jatuhkan, sehingga hal ini akan memudahkan Hakim dalam menerapkan takaran pemidanaan. Berlandaskan asas dasar dikatakan adanya perbuatan pidana, orang yang melakukan perbuatan pidana dan pemberian pidana, yaitu :

25


(51)

a Asas legalitas, yang menyatakan bahwa tiada pidana yanpa undang-undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang-undang, dan tiada penuntutan tanpa undang-undang;

b Asas kesalahan, yang berisikan bahwa orang hanya dapat dipidana intuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan; c Asas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler, berisi bahwa pidana secara

konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai suatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan.

Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan. Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).

Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking).

Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya, dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan


(52)

dijatuhkannya pidana tersebut. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan ( forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).

Tujuan pemidanaan sangatlah penting artinya sebagai pedoman bagi hakim dalam hal pemidanaan. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam 3 kelompok yang dapat digunakan untuk membahas tujuan pemidanaan, yaitu :26

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan; 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan; 3. Teori Gabungan

1. Teori Absolut

Teori ini mengandung makna pidana terutama hanyalah terletak pada pembalasan, dimana asas pembalasan ini telah dikenal di dalam berbagai stelsel kuno. Pidana menurut pandangan teori ini sama sekali tidak mengandung pertimbangan tujuan untuk memperoleh manfaat dari padanya, pidana hanyalah dimaksudkan untuk memberi nestapa guna memberi pembalasan bagi pelanggar ketertiban hukum. Karena dasar teori ini pada umumnya diterima pendapat bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menurut hukum dan yang membenarkan hukuman.

26

Erna Dewi, Sistem Minimum Khusus Dalam Hukum Pidana (Sebagai Salah Satu Usaha


(53)

Tokoh yang mengusung teori ini adalah antara lain Johanes Andenaes, menurutnya tujuan utama dalam teori ini adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan hanya merupakan tujuan sekunder. Tuntutan keadilan yang bersifat absolut ini dikemukakan oleh Emanuel Kant, yang memandang bahwa pidana sebagai kategorische imperatief, yang berarti seorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Dengan kata lain, pidana bukanlah merupakan alat yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, tetapi semata-mata mencerminkan keadilan. Tokoh lainnya yaitu Hegel, berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Teori yang dikemukakan Hegel ini dikenal dengan sebutan quasi mathematic, yang berbunyi wrong being (crime) is the negation of right; and punishment is the negation of that negation.

Perkembangannya teori ini dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu yang pertama beranggapan bahwa pidana harus cocok dan sepadan dengan kesalahan pembuat, sedangkan yang kedua beranggapan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang sepadan dengan kesalahan terdakwa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karakteristik dari teori absolut ini adalah sebagai berikut :

a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan,

b. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana, c. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat.

d. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki atau memasyarakatkan kembali sipelanggar,


(54)

Pembalasan merupakan tujuan utama tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat.

2. Teori Relatif

Dalam pandangan teori ini, dasar hukum dari hukuman adalah pertahanan dari tata tertib masyarakat, oleh karenanya tujuan dari hukuman tersebut adalah menghindari (prevensi) dilakukannya suatu penlanggaran hukum. Adapun sifat prevensi dari hukuman tersebut ada dua macam, yaitu :

a. Prevensi umum (general preventie), yang jika sarana penerapan pidana ditujukan untuk mempengaruhi perilaku seluruh penduduk atau setidaknya kelompok tertentu. Negara berusaha untuk memantapkan norma dan menghilangkan kekaburan norma, dan agar mengubah pelaku kejahatan potensial di antara warga untuk mentaati hukum menggunakan sarana ancaman pidana di dalam undang-undang dan pelaksanaan pidana. Dalam stelsel sosial kuno, teori prevensi umum yang bersifat menakut-nakuti menitikberatkan pada eksekusi hukuman yang telah diputuskan, paham ini beranggapan bahwa suatu eksekusi yang dipertunjukkan di muka umum sudah tentu akan menakuti semua anggota masyarakat.

b. Prevensi khusus (speciale preventie), yang beranggapan bahwa tujuan hukuman ialah menahan niat buruk pembuatnya (dader). Hukuman bertujuan menahan pelanggar mengulangi perbuatannya atau menahan bakal terjadinya pelanggaran yang telah direncanakan sebelumnya.

Selain bentuk prevensi yang disebutkan di atas, Van Bemelen memasukkan suatu

teori yang disebutnya dengan “daya untuk mengamankan”, dalam hal ini


(55)

masyarakat terhadap kejahatan selama penjahat tersebut berada dalam penjara. Dengan demikian dapat dikemukakan karakteristik dari teori tujuan ini, yaitu sebagai berikut :

a. Tujuan pidana adalah pencegahan,

b. Pencegahan bukanlah tujuan akhir, tetapi sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyatakat,

c. Hanya orang yang dapat dipersalahkan yang dapat dipidana,

d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan,

e. Pidana berorientasi ke depan, dan pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima jika tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

3. Teori Gabungan

Teori gabungan ini merupakan kombinasi antara teori absolut dan teori relatif, mengingat terdapat kelebihan dan kelemahan dari masing-masing teori tersebut. Teori gabungan ini dapat dibedakan dalam :

a. Teori-teori menggabungkan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi dalam hal ini tidak diperkenankan melalmpaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat,

b. Teori-teori menggabungkan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi hukuman tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan


(56)

yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh siterhukum.

c. Teori-teori menggabungkan yang menganggap kedua asas tersebut harus dititikberatkan sama antarapembalasan dan perlindungan kepentingan masyarakat

Umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat, maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidan yang adil, dengan ide pembalasan yang tidak mungkin diabaikan secara negatif maupun secara positif. Dengan demikian tujuan pidana pada teori ini adalahpencegahan umum yang ditujukan kepada masyarakat agar jangan sampai meniru perbuatan jahat yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut.27

Ketentuan yang mengatur pedoman pemberian pidana oleh hakim tidak dimuat dalam KUHP (WvS). Dalam rancangan KUHP nasional tahun 1997/1998 ketentuan pedoman pemberian pidana terdapat pada bab IV Pasal 54, yang berbunyi :

1. Pemidanaan dimaksudkan untuk :

a. Mencegah dilakukannyatindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat,

27


(57)

c. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi yang baik dan berguna,

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah :

a) Pencegahan umum dan khusus b) Perlindungan masyarakat

c) Memelihara solidaritas masyarakat d) Pengimbalan/pengimbangan28

H. Sistem Pemidanaan di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan sebagai susunan (pidana) dan cara pemidanan. M. Sholehuddin menyatakan , bahwa masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa. Artinya pidana maengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. 29

Sistem merupakan jalinan dari beberapa unsur yang menjadi satu fungsi. Sistem pemidanaan memegang posisi strategis dalam upaya untuk menanggulangi tindak

28

Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia,1985, hlm. 27

29

Ekaputra, Mohammad dan Abdul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya


(58)

pidana yang terjadi. Sistem pemidanaan adalah suatu aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian sistem pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana subtantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pemidanaan tidak dapat terlepas dari jenis-jenis pidana yang diatur dalam hukum positif suatu negara.

Zaman kerajaan majapahit dikenal sistem pemidanaan berupa; pidana pokok yang meliputi pidana mati, pidana potong anggota badan bagi yang bersalah, denda, ganti kerugian, atau pangligawa atau putukucawa. Dan juga dikenal pidana tambahan yang meliputi tebusan, penyitaan dan patibajambi (uang pembeli obat) . Dalam kitab perundang -undangan Majapahit sama sekali tidak mengenal pidana penjara dan pidana kurungan. Dengan demikian tiap-tiap orang yang bersalah harus menjalani salah satu dari empat pidana pokok di atas.30

Berbeda dengan keadaan Majapahit, untuk keadaan sekarang sistem pemidanaan telah mengalami banyak perubahan-perubahan yang berupa penyempurnaan dari sistem yang telah lalu. Tidak telepas pula dengan keadaan di Indonesia, sistem pemidanaan yang ada berlaku hingga sekarang masih mengacu pada Kitab

30

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, ,Jakarta : Akademik Pressindo, 1986, hal. 4.


(59)

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Namun, sistem yang tercantum dalam KUHP tersebut banyak menimbulkan permasalahan, diantaranya mengenai relevansinya sistem pemidanaan yang dipakai dewasa ini dengan keadaan dan aspirasi bangsa Indonesia.

Jenis-jenis pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tercantum dalam Pasal 10. Pasal ini sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pasal ini menyebutkan ada 2 (dua) jenis pidana yaitu :

a. jenis pidana pokok meliputi ; 1. Pidana mati

2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda

b. jenis pidana tambahan meliputi ; 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

Sampai saat ini pidana mati masih tercantum didalam KUHP. Pada setiap delik yang diancam dengan pidana mati selalu tercantum alternatif pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara dua puluh tahun, jadi hakim dapat memilih antara tiga kemungkinan tersebut melihat bentuk delik itu, maka pidana mati hanya dijatuhkan terhadap delik yang benar dianggap berat saja, dalam hal pidana mati yang dijatuhkan terpidana dapat mengajukan grasi kepada Presiden, apabila


(1)

81

V. PENUTUP

A.SIMPULAN

Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

1. Eksistensi pidana tambahan uang pengganti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 masih harus dipertahankan, namun dari segi eksekusinya masih mengalami hambatan. Hal tersebut dikarenakan dalam proses eksekusi yang seharusnya dilakukan dalam tempo 1 (satu) bulan masih tidak dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang, sehingga pengembalian kerugian yang diderita oleh negara menjadi tersendat dan akhirnya terabaikan. Penjatuhan pidana tambahan uang pengganti mempunyai kaitan yang sangat erat dengan tujuan pemidanaan, karena penjatuhan pidana tersebut bukan hanya bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara dan juga melakukan pembalasan tetapi juga memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi serta memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindakan serupa.


(2)

82

2. Perlunya pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana korupsi adalah untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang hilang akibat dari tindak pidana korupsi. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam kategori yang membahayakan. Korupsi telah mengakibatkan pelaku memperoleh keuntungan finansial dan sebaliknya negara sebagai korban menderita kerugian finansial. Sanksi pidana tambahan uang pengganti harus diterapkan agar pelaku tidak dapat menikmati hasil dari kejahatan korupsinya sehingga negara dan masyarakat tidak menjadi pihak yang dirugikan. Terpulihkannya kerugian negara dan masyarakat akibat tindak pidana korupsi merupakan wujud nyata terciptanya kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum.

B.SARAN

1. Perlu adanya pembaharuan dasar hukum yang dipakai dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, karena peraturan yang ada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih ada beberapa ketentuan yang belum dapat dilaksanankan, seperti halnya eksekusi pidana tambahan uang pengganti yang terlalu lama dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini dapat mengakibatkan hambatan atau kendala dimana dalam proses pengembalian kerugian negara ternyata harta benda hasil tindak pidana korupsi tersebut nilainya tidak sesuai dengan besarnya uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa, dan bahkan


(3)

83

sebagian besar harta benda milik terpidana sebagian sudah hilang maupun telah digunakan untuk kepentingan pribadi.

2. Jaksa selaku eksekutor sebaiknya lebih maksimal dalam melaksanakan tugas dengan dibekali pendidikan khusus yang berkaitan dengan bidang tugasnya tersebut untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan eksekusi pidana tambahan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi,. Pelaksanaan proses eksekusi pembayaran uang pengganti juga diharapkan dapat berjalan cepat untuk menghindari terpidana mengalihkan dan menyembunyikan harta bendanya. Selain itu diperlukan kesatuan koordinasi dan pemahaman terpadu bagi para aparat penegek hukum negara agar tercipta optimalisasi pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman Tri. 2009. Hukum Pidana : Asas-Asas dalam Aturan Umum Hukum

Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Alumni. Bandung.

Dewi, Erna. 2011. Sistem Minimum Khusus Dalam Hukum Pidana (Sebagai Salah Satu Usaha Pembaharuan Hukum Pidana). Pustaka Magister Semarang. Semarang.

Efendi, Marwan. 2010 Kejaksaan dan Penegakan Hukum, Timpani Publihing, Cet Pertama, Januari. Jakarta

Ekaputra, Mohammad dan Abdul Khair. 2010. Sistem Pidana Di Dalam KUHP

Dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru. USU Press. Medan.

Erisna, Harahap. 2006. Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Cet. I. PT. Grafiti. Bandung.

Gary S. Green. 1990. Occupational Crime. Nelson-Hall.

Chicago Girsang, Juniver. 2012, Abuse of Power, Penyalahgunaan Kekuasaan

Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi. J.G.

Publishing.

Hamzah, Andi. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta.

..., 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Pradnya Paramita. Jakarta.

Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. 1986. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia. Akademik Pressindo. Jakarta

Hartanti , Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (N.M. Tripathi Private Limited, Bombay, 1979), diterjemahkan oleh Nurhadi. 2006. Teori Perundang-undangan


(5)

(Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana). Nusamedia & Penerbit Nuansa. Bandung.

Kosasih, Dadang. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyelidikan dan Penyidikan). Sinar Grafika. Jakarta.

Laila Kholis,Eti. 2010 Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi. Solusi Publicsing. Jakarta

Moeljatno. 1985. Asas-Asas Hukum Pidana. Bhineka Cita. Bandung.

Nawawi Arief, Barda. 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,

Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group

... Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangi Kejahatan, Cet. 1. Kencana Prenada Media Group. Jakarta

Nawawi Arief, Barda dan Muladi. 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

Rifai, Eddy. 2007. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Purnomo, Bambang. 1985. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta Saleh, Roeslan. 1981. Beberapa Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Prespektif. Aksara Baru. Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Pres. Jakarta.

---. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Suparni, Niniek. 2007. Eksistensi Pidana Denda Di Indonesia. Sinar Baru. Jakarta.


(6)

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)

Undang-Undang Nomor.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989. http://id.m.wikipedia.org/wiki/pidana

Juli Indrani, Nadia. 29 Juli 2010: wordpress.com Masyah. 15 September 2007: wordpress.com Sinaga. 1 November 2011; blogspot.com