Proses Pembuktian Tindak Pidana Korupsi ( Studi Dalam Lembaga Terkait Di Medan )

(1)

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Amiruddin, 2003, Penghantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung.

Chazawi, Adami, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT. Alumni, Bandung.

..., 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil di Indonesia, Penerbit Bayu Media, Jawa Timur

Gultom, Binsar, 2006, Pandangan Seorang Hakim Penegakan Hukum di Indonesia, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan.

Hamzah, Andi, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

..., 1991, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Harahap, Yahya, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Hartanti, Evi, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Semarang. Mulyadi, Lilik, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis,

Praktik dan Masalahnya, Penerbit PT. Alumni, Bandung.

..., 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Persfektif Teoritis dan Praktik, Penerbit PT. Alumni, Bandung.

..., 2007, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Penerbit PT.Alumni, Bandung.

Nasional, Dapertemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( edisi ketiga), Penerbit PT. Balai Pustaka, Jakarta.

Prodjohamidjojo, Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Prakoso, Djoko, 1986, Peranan Pengawasan Dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Aksara Persada Indonesia, Jakarta

Prinst, Darwan, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1986, Penghantar Penelitian Hukum, Penerbit UII Press, Jakarta.

..., dkk, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.


(2)

Sujata, Antonius, 2000, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Sabuan, Ansorie,dkk, 1990, Hukum Acara Pidana, Penerbit Angkasa, Bandung. Simanjuntak, Osman, 1997, Teknik Perumusan Perbuatan Pidana Dan Azas-Azas

Umum, Jakarta.

Sasangka, Hari dan Lili Rosita, 2003, Hukum Pembuktian dalam Perkara pidana,

Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Yunara, Edi, 2005, Korupsi dan Pertanggung jawaban Pidana Korporasi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

II. UNDANG-UNDANG YANG TERKAIT, MAKALAH, INTERNET a. Undang- undang yang Terkait

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Makalah

T.Zakaria,SH.MH, 2007, Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya ( Makalah disampaikan pada Diklat Prajabatan Golongan III di Badan Diklat Propinsi Sumatera Utara, Medan, Agustus 2007).

c. Internet

http:

http: // klikhukum.blogspot.com/ 2008/ 04/ pembuktian-terbalik-solusi.html. http://nusantaranews.wordpress.com/2010/03/09/prestasi-terus-indonesia-negara-terkorup-asia-2010/


(3)

BAB III

KENDALA DALAM PENYIDIKAN DAN

PENUNTUTAN PERKARA KORUPSI

A. Hambatan yang Dihadapi dalam Proses Pembuktian.

Sebagaimana telah disinggung dalam Bab I bahwa korupsi sangat erat hubungannya dengan penyalahgunaan wewenang atau pengaruh yang ada pada kedudukan seseorang sebagai pejabat yang menyimpang dari ketentuan hukum sehingga tindakan tersebut merugikan perekonomian dan keuangan negara.

Selain itu perbuatan korupsi sangatlah majemuk sebagai bentuk kejahatan yang rumit diungkap dengan semakin canggihnya modus operandi yang digunakan serta kelihaian pelaku menghilangkan jejak. Keadaan ini membuat pengungkapan kasus-kasus tindak pidana korupsi semakin sulit dijangkau sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan cara yang cukup sulit untuk melakukan pembuktian yang memadai secara yuridis.

Selain itu, sulitnya mengungkap atau menjerat pelaku tindak pidana korupsi juga diakibatkan kesulitan jaksa penuntut umum dalam memberikan alat bukti yang dapat meyakinkan hakim, terlebih lagi pengungkapan tindak pidana korupsi memang ruwet yang penanganannya memerlukan konsentrasi dan kecermatan disamping pemahaman yang benar- benar terhadap Undang-Undang118

118

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), halaman 69.


(4)

Kendala dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi tidak terlepas dari karateristik tindak pidana korupsi tersebut, antara lain : 119

1. Pelaku tindak pidana korupsi pada umumnya tingkat pendidikan relatif tinggi dan mempunyai keahlian dibidangnya, sehingga secara dini mampu menyembunyikan atau menutupi perbuatannya serta menghilangkan barang bukti yang berkaitan dengan perbuatannya sehingga mempersulit penyidikan. 2. Umumnya dilakukan oleh sekelompok orang atau beberapa orang yang saling

menikmati keuntungan dari hasil perbuatannya, sehingga saling menutup diri/ melindungi, karena takut terlibat sebagai tersangka apabila terungkap.

3. Perkara korupsi terungkap setelah berselang waktu yang relatif lama, akibatnya sulit mendapatkan alat bukti dan barang bukti yang sah menurut hukum.

4. Pelaku menggunakan sarana dan prasarana serta teknologi canggih yang dilakukan secara sistematis dan terencana, misalnya melalui sarana multimedia seperti komputer, internet dan lain-lain.

5. Umumnya pelaku tindak pidana korupsi adalah atasan/pimpinan (pejabat) sehingga pelaku dilindungi korp/instansi, disamping itu saksi adalah bawahan/ staf sedangkan pelaku adalah atasan sehingga terkadang dalam persidangan saksi enggan memberikan kesaksian yang sebenarnya, dan mengatakan lupa atau tidak ingat lagi, bahkan mencabut keterangan yang pernah diberikan pada tahap penyidikan, apakah karena sudah dipengaruhi atau mendapat sesuatu

119


(5)

imbalan atau tekanan/ancaman, sehingga mengaburkan alat bukti dan melemahkan pembuktian. Disamping itu, pada saat persidangan saksi berhadapan langsung dengan atasannya, sehingga menimbulkan beban psikologis bagi saksi untuk berterus terang dalam memberikan keterangan. 6. Sulitnya memperoleh alat bukti dan barang bukti yang sah menurut hukum

dalam mengungkap kasus korupsi merupakan salah satu kendala pihak penyidik untuk mengajukan pelaku korupsi ke depan pengadilan. Pelaku korupsi dan saksi maupun mereka yang terlibat didalamnya sengaja menutupi sehingga pihak penyidik/penuntut umum mengalami kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti dan saksi-saksi berikut data yang akurat serta konkrit sebagai dasar untuk melakukan penuntutan.

7. Tidak ada yang melaporkan sebagai saksi korban langsung. Berbeda dengan tindak pidana umum, yang dirugikan adalah person ( individu) sebagai korban langsung sehingga cepat melaporkan kasusnya kepada yang berwenang, sedangkan korban Tindak Pidana Korupsi atau pihak yang dirugikan bukan perseorangan, tetapi adalah institusi atau lembaga pemerintah/negara.

8. Hal-hal tersebut menyebabkan tindak pidana korupsi sulit dibuktikan didalam persidangan, dan bahkan lebih sulit lagi apabila pelakunya adalah pejabat tinggi atau tokoh partai politik/elit politik yang mempunyai kekuasaan dan banyak massa. Disamping itu, adanya intervensi dari pejabat pemerintah/ negara yang ingin membebaskan terdakwa dari tanggung jawab pidana, baik


(6)

dengan cara menggunakan kewenangan jabatan maupun dengan cara kekeluargaan120

Hambatan dalam proses pembuktian ini adalah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan karena melihat keadaan perekonomiannya yang jauh diatas penghasilan resminya, tali temali korupsi yang begitu ruwet, pintarnya terdakwa menghilangkan jejak, dan penuntut umum tidak berhasil meyakinkan hakim atas dakwaannya

.

121

Pelaku tindak pidana korupsi mempunyai kualitas tertentu baik kemampuan maupun kedudukan sosialnya, pelaku tindak pidana korupsi pada umumnya memiliki kualitas sebagai orang yang pintar, orang yang mempunyai wewenang dan kesempatan, modus operandi yang rumit dan dilakukan dengan teknik yang canggih, oleh karena korupsi dilakukan oleh orang pintar/berpendidikan dan mempunyai wewenang, maka perbuatan korupsi dapat ditutupi dalam jangka waktu yang panjang sehingga sulit untuk ditaksir, terutama untuk mencari alat bukti yang diperlukan dan upaya mengembalikan uang kerugian negara, saksi-saksi dan saksi-saksi ahli sering kali kurang kooperatif, dan pelaku tindak pidana korupsi dengan sengaja mempersulit penyidikan

.

122

Hal senada juga bahwa hambatan-hambatan dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi adalah berhubungan dengan waktu terjadinya tindak pidana korupsi itu relatif lama, saksinya, alat bukti yang tercecer/tidak berada pada tempatnya, pelaku tindak pidana korupsi meninggal dunia/ pindah tugas. Selain

.

120

T.Zakaria, op.cit.,halaman 12. 121

Leden Marpaung, dalam Edi Yunara, op.cit., halaman 70. 122


(7)

itu sulitnya pengadaan personal yang memiliki kualitas sebagai penyidik dalam tindak pidana khusus (pidana korupsi). Masalah yang timbul adalah pengadaan personal tenaga jaksa sebagai penyidik dalam perkara tindak pidana khusus pada umumnya sangat terbatas dalam hal mengetahui secara dini tentang suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana korupsi . Sehingga dengan demikian mengakibatkan seorang tersangka dapat mengalihkan hartanya pada orang lain123

Hambatan lain yaitu bahwa tindak pidana korupsi dilakukan secara bersama- sama yang mana korupsi tidak pernah dilakukan sendiri sehingga pihak terkait yang dijadikan saksi berupaya untuk menyelamatkan dirinya, yang mana fakta-fakta yang sebenarnya terjadi berbeda dengan yang ada dipersidangan. dan mengenai barang bukti atau dalam hal menghadapkan tersangka, karena dalam tindak pidana korupsi pembuktian itu sangat sulit didapatkan. Karena kebanyakan hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya karena hal itu sifatnya rahasia, sikap tertutup dari orang-orang sekelilingnya menyebabkan kurang mendukung pengungkapannya

.

124

Hal senada juga dikemukakan bahwa hambatan dalam proses pembuktian Tindak Pidana Korupsi adalah mengenai alat bukti, Adanya ketentuan prosedur yang harus dipenuhi dalam hal pemanggilan atau pemeriksaan terhadap pejabat negara atau kepala daerah tingkat I maupun tingkat II

.

125

123

Hasil wawancara langsung dengan Ibu S.0.Vera Tambun, yang menjabat sebagai Jaksa Muda di Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 7 Mei 2010.

124

Hasil wawancara langsung dengan Bapak I Ketut Sudira, yang menjabat sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 17 Mei 2010.

125

Hasil wawancara langsung dengan Bapak Endri Prastiono, yang menjabat sebagai KASAT III/TIPIKOR POLDASU pada tanggal 26 Mei 2010.


(8)

Menurut Dachmer Munthe, dalam laporan yang dibuat oleh Ratih Anbarini bahwa sulitnya proses pembuktian ini diantaranya karena korupsi tersebut dilakukan secara terencana dan terselubungi beberapa perjanjian dan kesepakatan lainnya yang berada dalam wilayah perdata126

Dalam praktek adakalanya suatu tindak pidana sulit pembuktiannya misalnya mengenai tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan, industri, komoditi berjangka, atau dibidang moneter dan keuangan yang bersifat sektoral, dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih, atau dilaksanakan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara negara

.

127

Hal lain yang dapat dikemukakan adalah mengenai kompleksitas kasus korupsi yang dilakukan melalui proses yang cukup panjang. Berbagai prosedur yang ada telah disimpangi oleh pelaku yang semestinya melakukan prosedur tersebut. Selain itu, untuk menghitung kerugian yang timbul, diperlukan seorang petugas khusus yang memiliki keahlian, sehingga akibat yang ditimbulkannya sering tidak dirasakan atau baru terasa beberapa lama setelah terjadi. Mengenai waktu terungkapnya tidaklah bersifat seketika, karena itu menyulitkan pengumpulan bukti dan pelacakan tersangka atau saksi, karena sudah pindah/ pensiun. Mengenai keterbatasan intensitas pengawasan fungsional, bahwa alasan klasik yang sering muncul adalah volume serta intensitas pengawasan baik oleh satuan pengawasan intern tingkat II maupun tingkat I, institusi pengawasan

.

126

Artikel berita : Hukum Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi tidak Efektif, diakses Tanggal Senin 14 Juni 2010 jam 10.00 , www.unpad.ac.id.

127


(9)

eksternal tidak mampu melakukan tugas secara menyeluruh di semua wilayah terhadap seluruh obyek pengawasan. Pada umumnya, masalah ini disebabkan karena faktor anggaran128

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kendala yang dihadapi dalam penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi terdiri dari :

.

129

1. Kendala Yuridis, meliputi :

.

a) Masalah pembuktian dipersidangan, tidak jarang saksi-saksi yang diajukan di depan persidangan mencabut kembali keterangannya yang telah diberikan sebelumnya dalam berita acara penyidikan, dengan alasan bahwa saksi sewaktu memberikan keterangan dalam berita acara penyidikan tersebut berada di bawah tekanan. Diperiksa berkali-kali sampai kelelahan, selain itu pada umumnya saksi-saksi yang diajukan ke persidangan ternyata mempunyai hubungan kerja dengan terdakwa sebagai atasannya, sehingga keterangan yang diberikan cenderung memberi pembelaan/meringankan bagi terdakwa dan sebaliknya melemahkan pembuktian kesalahan terdakwa misalnya untuk hal-hal keterlibatan/peranan terdakwa saksi mengatakan lupa atau tidak tahu. b) Adanya ketentuan prosedur yang harus dipenuhi dalam hal pemanggilan atau

pemeriksaan terhadap pejabat negara atau kepala daerah tingkat I maupun tingkat II yang tersangkut kasus tindak pidana korupsi baik sebagai saksi atau tersangka harus memerlukan ijin terlebih dahulu dari dari pejabat yang berwenang sehingga harus menunggu waktu beberapa bulan. Sebagai contoh :

128

Antonius Sujata,op.cit., halaman 161. 129


(10)

1) Pasal 36 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan : “Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.” Dan apabila persetujuan tertulis tidak diberikan dalam waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Di samping itu tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis.

2) Pasal 53 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 menetapkan sebagai berikut: “ Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Mentri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRD Provinsi dan dari Gubernur atas nama Mendagri bagi anggota DPRD kabupaten/ kota. Dan apabila persetujuan tertulis tidak diberikan dalam waktu 60 ( enam puluh) hari semenjak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.”

3) Dalam hal pemeriksaan rekening/keadaan keuangan tersangka harus mendapat izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang, dalam hal ini Gubernur Bank Indonesia.

c) Adakalanya terdapat perbedaan persepsi antara penuntut umum dengan pihak penasihat hukum misalnya menyangkut tentang unsur kerugian keuangan negara. Dalam hal uang hasil korupsi telah dikembalikan oleh terdakwa,


(11)

pekerjaan proyek telah diselesaikan, dan dikatakan terdakwa tidak dapat untung serta kepentingan umum dilayani dengan selesainya proyek tersebut sehingga menganggap tidak ada lagi kerugian keuangan negara, akibatnya tidak sedikit perkara korupsi yang dijatuhi putusan lepas dari tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) oleh majelis hakim dengan mengacu pada Yurisprudensi berdasarkan putusan Mahkamah Agung No.42K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang menetapkan. Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifat melawan hukumnya bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum yang dalam hal ini terdapat 3( tiga) faktor yaitu negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, terdakwa tidak mendapat untung.

d) Adakalanya terdapat perbedaan persepsi antara jaksa penuntut umum dan majelis hakim maupun dengan penasihat hukum dalam hal penerapan ketentuan Undang-Undang yang didakwakan kepada terdakwa maupun dalam menilai fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, Perbedaan ini akan menonjol apabila salah satu pihak telah dipengaruhi oleh kepentingan terdakwa untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pidana sehingga penilaiannya tidak objektif lagi.

e) Kerugian negara sebagai unsur dalam tindak pidana korupsi telah dikembalikan oleh terdakwa sehingga dalam hal ini terdakwa tidak lagi bisa dituntut melakukan tindak pidana merugikan keuangan negara. Hal ini


(12)

membawa konsekuensi hukum bahwa terdakwa tidak bisa dijerat/terlepas dari ketentuan Undang-Undang korupsi130

f) Dalam hal ini biasanya kasus adanya dugaan korupsi tersebut baru terungkap dan mencuat setelah terdakwa menjalani masa pensiun dari kerja, sedangkan adanya indikasi terjadinya korupsi tersebut sewaktu terdakwa masih aktif bekerja dalam memegang jabatan tertentu

.

131

g) Diberlakukan asas oportunitas, dalam hal ini misalnya di keluarkan Surat Penghentian Penyidikan dari Kejaksaan Agung sehingga penuntutan perkara korupsi tersebut tidak dapat diteruskan

.

132

2. Kendala Non Yuridis, meliputi :

.

a) Bahwa indikasi/dugaan Tindak Pidana Korupsi baru mencuat/dilaporkan setelah berselang waktu yang relatif lama, sehingga menyulitkan untuk mendapatkan dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti yang sah menurut hukum. Bukti-bukti berupa surat atau dokumen yang berkaitan mungkin sudah hilang dan sengaja dimusnahkan. Surat-surat atau dokumen yang diperoleh hanya foto copy, tidak dokumen asli, tidak dapat dibaca lagi secara utuh, tulisannya sudah kabur. Hal ini dapat melemahkan nilai pembuktian dan juga tergantung keyakinan hakim.

b) Adakalanya pejabat terkait atau saksi-saksi yang diperlukan sudah pindah tugas ke daerah lain, saksi-saksi yang dipanggil tidak dapat hadir pada jadwal yang ditentukan dengan berbagai alasan.

130

Edi Yunara, op.cit., halaman 71. 131

Edi Yunara, loc.cit. 132


(13)

c) Modus operandinya canggih dengan menggunakan media komputer atau internet.

d) Adakalanya intervensi dari pihak- pihak tertentu dalam berbagai bentuk baik dengan cara pendekatan kekeluargaan, menggunakan kewenangan jabatan bahkan dengan ancaman kekerasan berupa intimidasi, teror, dan lain- lain dengan maksud untuk menghambat/menghalang-halangi penyidikan atau terungkapnya kasus tersebut. Lebih-lebih lagi apabila kasus tersebut bernuansa politis karena melibatkan pejabat negara yang sedang berkuasa atau tokoh masyarakat atau elit politik yang mempunyai banyak massa, maka penanganan perkaranya bisa semakin sulit, bahkan bisa diputus bebas, sebab tidak ada lagi yang benar, kecuali hanya kepentingan.

e) Keterbatasan sumber daya manusia (SDM), kurangnya tenaga jaksa yang profesional di bidang spesialisasi tindak pidana korupsi.

f) Sarana dan prasarana kurang memadai.

g) Kejaksaan termasuk dalam salah satu unsur Musyawarah Pimpinan Daerah ( MUSPIDA), hal ini sesuai dengan pasal 4 Keppres Nomor: 10 Tahun 1986 tanggal 17 Februari 1986 tentang musyawarah pimpinan daerah yang menyatakan :

1) Muspida di Provinsi/Daerah Tk.I terdiri dari Gubernur Kepala Daerah Tk.I, Panglima Daerah Militer atau pejabat yang ditunjuk oleh Panglima ABRI, Kepala Kepolisian Daerah, dan Jaksa Tinggi.


(14)

2) Muspida di Kabupaten/Kotamadya/Daerah Tk.II terdiri dari Bupati, Walikota Kepala Daerah Tk.II, Komandan Distrik Militer, Kepala Kepolisian Resort, dan Kepala Kejaksaan Negeri.

Pada kasus tindak pidana korupsi, pembuktian terhadap surat memang agak sulit untuk didapat. Kemungkinan bukti itu sudah dimusnahkan oleh si tertuduh atau tersangka lagi pula dokumen surat-surat tersebut hanya diketahui oleh sebahagian orang saja dalam suatu organisasi, karena sifatnya yang amat rahasia. B. Upaya dalam Mengatasi Hambatan-Hambatan Dalam Perkara Korupsi.

Penanggulangan tindak pidana korupsi selama ini sudah dilakukan dengan pendekatan juridis dalam berbagai ketentuan perundang-undangan sejak tahun 1957. Namun dirasakan penanggulangan yang bersifat juridis formal tersebut kurang memadai. Oleh sebab itu dalam rangka penanggulangan maupun pencegahan tindak pidana korupsi harus dihapuskan sebab-sebab dan kondisi- kondisi yang menimbulkan tindak pidana korupsi serta menghapuskan hambatan-hambatan dalam penegakan supremasi hukum133

Upaya/kebijakan yang serius dan komprehensif harus dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Reformasi administrasi secara menyeluruh dalam bentuk privatisasi, derugulasi, dan desentralisasi merupakan langkah- langkah yang mendesak yang harus dilakukan. Untuk itu perlu adanya komitmen dan nilai-nilai masyarakat yang menganggap korupsi sebagai tindakan yang amat

.

133


(15)

tercela. Oleh karenanya program penyadaran masyarakat akan bahaya korupsi sudah seharusnya dilakukan di Indonesia134

Seperti langkah derugulatif yang tidak kalah pentingnya adalah langkah represif. Mengingat bahwa perilaku korupsi pada hakekatnya bersumber dari moral jahat yang ada pada para pelaku, maka untuk menghadapinya harus pula dengan moral aparat yang tangguh. Justru karena itu, pada era reformasi ini aparat penegak hukum terlebih dahulu perlu mengubah ataupun memiliki moral reformasi dalam menghadapi kejahatan korupsi. Apabila semua petugas penegak hukum mengaplikasikannya dengan baik moral reformasi itu, maka pemberantasan korupsi di seluruh tanah air akan menjadi gerakan moral. Sehingga akan memberi dampak untuk membendung praktek-praktek korupsi baik yang bersifat nasional, struktural, maupun kultural

.

135

Hambatan-hambatan yang dialami dalam mengungkap perbuatan korupsi tersebut di atas haruslah segera diatasi dan dicari solusinya, seperti melakukan pembinaan dan mewajibkan setiap penuntut umum untuk mengikuti pendidikan Strata-2 Ilmu Hukum maupun pendidikan lain diluar ilmu hukum, seperti Akuntan Publik dan management. Karena jika tidak, akan sangat sulit untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia dengan optimal. Selain itu, dalam melakukan penempatan tugas hendaknya dilandasi dengan pengalaman dan senioritas sehingga dengan banyaknya pengalaman maka akan terampil dalam menangani perkara- perkara korupsi

.

136

134

Ibid., halaman 24. 135

Ibid., halaman 25. 136

Edi Yunara, op.cit., halaman 73.


(16)

Memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi tidak hanya ditinjau dari fakta yuridisnya tetapi dari fakta manajemennya. yang mana para penegak hukum perlu diberdayakan keahliannya, sehingga putusan-putusan pidana korupsi menjadi solid yang dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya137

Dalam mengatasi hambatan-hambatan itu maka upaya yang dilakukan yaitu mencari keberadaan saksi tersebut dan memanggilnya untuk memberikan keterangan tentang tindak pidana yang ia dengar, ia lihat, dan ketahui dengan sebenar-benarnya, dan pengadaan personal yang memiliki kualitas sebagai jaksa dalam bidang pidana khusus (pidana korupsi). yang mana dalam hal ini Kejaksaan mendidik personalnya, agar benar-benar menguasai bidang tindak pidana khusus dengan mengadakan semacam pendidikan khusus bagi para jaksa yang ditugaskan, guna penguasaan teknis penyidikan tindak pidana khusus, sehingga diharapkan akan memiliki personal yang memiliki personal yang berkualitas tinggi

.

138

Hal lain yang dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan tersebut apabila ditemui adanya saksi yang memberikan keterangan yang tidak sebenarnya biasanya hakim mengingatkan kepada saksi bahwa jika ia memberikan keterangan yang tidak sebenarnya/palsu maka ia dapat dikenakan ancaman pidana dalam pasal 244 KUHP dengan ancaman 9 (Sembilan) tahun. Dan apabila tetap

.

137

Binsar Gultom, Pandangan Seorang Hakim Penegakan Hukum di Indonesia, ( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006), halaman 118.

138

Hasil wawancara langsung dengan Ibu S.0.Vera Tambun, yang menjabat sebagai Jaksa Muda di Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 7 Mei 2010.


(17)

memberikan keterangan secara tidak benar dan ditemukan adanya perbedaan dengan saksi lain secara mencolok maka akan diproses sumpah palsunya139

Selain itu juga dapat dilakukan upaya-upaya dalam rangka pemberantasan korupsi yaitu :

. Korupsi walau bagaimana pun kecilnya harus di berantas karena dengan dalih apapun korupsi tidak dapat dibenarkan, untuk itu kita wajib mengambil tindakan tegas kepada siapapun yang melakukan tindakan penyelewengan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Tindakan korupsi dan tindakan penyelewengan dibidang ekonomi umumnya, bukan saja melanggar hukum dan keadilan, dan bagaimanapun kecilnya perbuatan korupsi tetap menghambat pelaksanaan program-program pemerintah serta akan merosotnya kewibawaan aparat pemerintah.

140

1. Adanya komitmen semua komponen bangsa, baik masyarakat maupun

pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan tindak pidana korupsi, dan komitmen tersebut dimulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan dimana kita berada.

.

2. Perlunya sosialisasi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa korupsi tidak saja melanggar hukum, tetapi juga ajaran agama serta nilai-nilai moral bangsa, apabila hal tersebut dilakukan akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh keluarga karena malu. Disamping itu perbuatan korupsi diancam dengan

139

Hasil wawancara langsung dengan Bapak I Ketut Sudira, yang menjabat sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 17 Mei 2010.

140


(18)

penjara 20 ( dua puluh) tahun atau seumur hidup, bahkan dengan hukuman mati.

3. Tempat-tempat atau area yang rawan terjadinya tindak pidana korupsi, terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik perlu adanya aturan yang jelas (prosedur, persyaratan, biaya dan batas waktu penyelesaiannya). 4. Tempat-tempat atau area yang rawan terjadinya tindak pidana korupsi

tersebut ditempatkan orang-orang yang memiliki integritas kepribadian yang baik dengan jaminan hidup yang memadai.

5. Memperkuat sistem pengawasan, baik pengawasan melekat, pengawasan fungsional maupun pengawasan masyarakat termasuk peranan LSM.

6. Terhadap mereka yang secara nyata melakukan pelanggaran didalam pelayanan publik, diberi sanksi yang tegas baik sanksi administratif maupun sanksi pidana.

7. Terhadap mereka yang terkena sanksi agar diumumkan secara luas, yang berfungsi menimbulkan efek jera, dan bagi anggota masyarakat lainnya takut melakukan perbuatan yang serupa.

8. Terhadap mereka yang telah melaksanakan tugas dengan baik, agar diberi penghargaan berupa promosi jabatan dan kenaikan pangkat istimewa, sehingga orang lain juga dapat termotivasi untuk melakukan hal yang sama.

Mengingat Tindak Pidana Korupsi sudah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (Extra ordinary crime) sehingga dalam upaya penangulangan maupun pemberantasannya tidak dapat lagi dilakukan secara biasa, tetapi dengan cara-


(19)

cara yang luar biasa ( Extra ordinary Counter Measures) sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 dan Undang- Undang Nomor: 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Oleh karenanya diperlukan dukungan semua komponen bangsa sehingga aparat penegak hukum tidak perlu ragu-ragu untuk melakukan penindakan terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi karena tanggungjawab pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada pundak penegak hukum saja, tetapi juga tanggung jawab seluruh komponen bangsa141

141

T.Zakaria, op.cit., halaman 29.

.

Untuk itulah sekecil apapun korupsi harus segera diberantas, sebab korupsi merupakan penyebab utama menurunnya efisiensi pembangunan yang sedang berjalan dalam mewujudkan masyarakat indonesia yang adil dan makmur berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


(20)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah di kemukakan sebelumnya maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kegiatan Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, disamping tetap menggunakan hukum pembuktian umum dalam KUHAP, tetapi dalam hal-hal tertentu berlaku hukum pembuktian khusus sebagai perkecualiannya. Adapun penyimpangan pembuktian yang ada dalam hukum pidana korupsi, terdapat pada dua hal pokok yaitu mengenai bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk membentuk alat bukti dan mengenai sistem pembebanan pembuktian. Bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk membentuk alat bukti ini yaitu mengenai perluasan alat bukti petunjuk dengan adanya pasal 26A Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001. Sistem pembebanan pembuktian dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi adalah melalui sistem pembebanan pembuktian biasa, sistem pembebanan pembuktian terbalik, dan sistem pembebanan pembuktian semi terbalik.

2. Hambatan-hambatan yang dihadapi penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi secara garis besar dapat dikelompokkan kedalam 2 (dua) bagian, yaitu kendala yuridis dan non yuridis. Kendala yuridis ini menyangkut ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan dianggap tidak jelas dan kurang mendukung dalam upaya mempercepat proses pembuktian tindak


(21)

pidana korupsi, sehingga dalam proses mengalami berbagai hambatan. Hambatan-hambatan yang membuat pengungkapan kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi semakin sulit diatasi, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan caranya yang cukup sulit untuk melakukan pembuktian yang memadai secara yuridis. Hambatan yang dialami dalam mengungkap tindak pidana Korupsi haruslah segera diatasi dan dicari solusinya karena tindakan korupsi dan tindakan penyelewengan dibidang ekonomi umumnya, bukan saja melanggar hukum dan keadilan, dan bagaimanapun kecilnya perbuatan korupsi tetap menghambat pelaksanaan program pemerintah.

B. Saran

1. Sistem pembuktian perlu dipakai asas pembebanan pembuktian terbalik dengan diimbangi jaminan adanya perehabilitasi dari pemerintah bila terdakwa dapat membuktikan ketidaksalahannya dan untuk meneliti kebenaran pembuktian terdakwa pada penegak hukum perlu didampingi oleh para saksi ahli seperti akuntan dan lain- lain.

2. Pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi dapat diterapkan kepada tindak pidana memperkaya diri sendiri dengan merugikan keuangan negara, dengan kata lain pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi dapat digunakan untuk mengetahui apakah harta benda yang dimiliki berasal dari sumber yang halal atau tidak.

3. Negara kita adalah negara hukum rechtstaat bukan machtstaat, sehingga seyogyanya norma hukum menjadi landasan dalam memecahkan segala permasalahan negara dan masyarakat . Para penegak hukum perlu ditingkatkan


(22)

kewibawaannya dan dipompa keberaniannya untuk menindak pelaku-pelaku korupsi tanpa pandang bulu.

4. Para penegak hukum perlu untuk berbenah diri guna lebih memantapkan diri, adapun penataan dan usaha penyempurnaan itu meliputi re-organisasi, penyempurnaan tata kerja, ketegasan bidang tugas dan wewenang. Sehingga dapat menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan, serta menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara dan melindungi kepentingan rakyat melalui penegakan hukum.

5. Untuk mencegah terjadinya korupsi, maka bagi pejabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyarakat, pendapatan negara, penegak hukum harus didaftar kekayaannya sebelum menjabat jabatannya sehingga mudah diperiksa pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang resmi.


(23)

BAB II

HUKUM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA

KORUPSI

A.Beberapa Ketentuan Khusus dalam Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi

Pekerjaan pembuktian adalah pekerjaan yang paling utama di antara proses panjang penegakan hukum pidana. Pada pekerjaan inilah dipertaruhkan nasib terdakwa dan pada pembuktian inilah titik sentral pertanggungjawaban hakim dalam segala bidang, yakni segi intelektual, moral, ketetapan hukum, dan yang tidak kalah penting ialah segi pertanggungjawabannya kepada Tuhan Yang Maha Esa mengenai amar putusan yang akan diambilnya. Bagaimana amar yang ditetapkan oleh hakim, seluruhnya bergantung pada hasil pekerjaan pembuktian didalam sidang pengadilan43

Kegiatan pembuktian yang dijalankan dalam peradilan, pada dasarnya adalah suatu upaya untuk merekonstruksi atau melukiskan kembali suatu peristiwa yang sudah berlalu. Hasil kegiatan peradilan akan diperoleh suatu konstruksi peristiwa yang terjadi, bentuk sempurna tidaknya atau benar tidaknya rekonstruksi itu sepenuhnya bergantung pada pekerjaan pembuktian. Dalam hal merekonstruksi peristiwa itu diperlukan alat bukti dan cara penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang ada tentang pembuktian sesuatu. Atas dasar apa yang diperoleh

.

43

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil, ( Malang : Bayu Media, 2005), halaman 398.


(24)

dari kegiatan itu, maka dibentuklah konstruksi peristiwa yang sudah berlalu yang sebisanya sama persis dengan peristiwa yang sebenarnya44

Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha membuktikan sesuatu (objek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh dipergunakan dengan cara- cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu sebagai terbukti ataukah tidak menurut Undang-Undang. Sebagaimana diketahui bahwa proses kegiatan pembuktian yang dilaksanakan bersama oleh tiga pihak: hakim, jaksa dan terdakwa yang (dapat) didampingi penasihat hukum, segala seginya telah ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur segala segi tentang pembuktian itulah yang disebut dengan hukum pembuktian. Apabila dilihat dari visi letaknya dalam kerangka yuridis aspek pembuktian terbilang unik karena dapat diklasifikasikan dalam kelompok hukum acara pidana/hukum pidana formal maupun hukum pidana materiil.Apabila dikaji lebih mendalam ada polarisasi pemikiran aspek pembuktian dikatagorisasikan ke dalam hukum pidana materiil karena dipengaruhi oleh adanya pendekatan dari hukum perdata sehingga aspek pembuktian ini masuk dalam katagori hukum perdata materiil dan hukum perdata formal ( hukum acara perdata). Akan tetapi setelah berlakunya KUHAP aspek pembuktian tampak diatur dalam ketentuan Hukum Pidana Formal

.

45

Hakikat dan dimensi mengenai pembuktian ini selain beriorientasi kepada pengadilan juga dapat berguna dan penting bagi kehidupan sehari-hari maupun

.

44

Ibid., halaman 399. 45

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis dan Praktik, ( Bandung : Alumni, 2008), halaman 91.


(25)

kepentingan lembaga penelitian, dimana kekhususan peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai ciri-ciri ialah berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti dibidang hukum pidana, antara lain apakah kelakuan dan hal ikhwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi perbuatan pidana atau tidak, berkaitan dengan kenyataan yang dapat menjadi perkara pidana, antara lain apakah korban yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh manusia atau bukan alam, diselenggarakan melalui peraturan hukum pidana, antara lain ditentukan yang berwenang memeriksa fakta harus dilakukan oleh Jaksa, Hakim, Polisi dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam Undang-Undang46

Sebagai kodifikasi hukum acara pidana, hukum pembuktian umum terdapat di dalam KUHAP. Disamping itu, untuk melengkapi atau untuk menyimpangi atau sebagai perkecualian dari hukum pembuktian umum, dimungkinkan pula dalam hukum pembuktian mengenai tindak pidana khusus/tertentu yang dibentuk di luar kodifikasi, seperti tindak pidana korupsi

.

47

Segi-segi hukum pembuktian umum dalam KUHAP, terutama .

48

1. Mengenai alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan. objek yang harus dibuktikan bersumber pada tindak pidana yang didakwakan. Oleh karena itu, tindak pidana yang didakwakan adalah objek pokok apa yang harus dibuktikan. Tindak pidana terdiri dari unsur-unsur.Unsur-unsur ini, baik perbuatan dan unsur-unsur yang melekat pada perbuatan, unsur mengenai diri

:

46

Bambang Purnomo dalam Lilik Mulyadi, op.cit., halaman 93. 47

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, ( Bandung : Alumni, 2008), halaman 101.

48


(26)

si pembuat itulah yang harus dibuktikan untuk menyatakan terbukti tidaknya tindak pidana.

2.Mengenai kedudukan, fungsi pihak Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan Hakim yang terlibat dalam kegiatan pembuktian. Dari sudut pihak mana yang berkewajiban membuktikan, maka disini terdapat sistem pembebanan pembuktian.

3.Mengenai nilai atau kekuatan alat-alat bukti dalam pembuktian dan cara menilainya.

4.Mengenai cara bagaimana membuktikan dengan menggunakan alat-alat bukti tersebut. Dengan kata lain bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan dalam kegiatan pembuktian.

5.Mengenai standar minimal pembuktian sebagai kriteria yang harus dipenuhi untuk menarik kesimpulan pembuktian tentang terbukti ataukah tidak dan hal apa yang dibuktikan.

6.Mengenai syarat subyektif ( keyakinan) hakim dalam hubungannya dengan standar minimal pembuktian dalam hal hakim menarik amar putusan akhir . Bidang-bidang yang diatur dalam hukum pembuktian tersebut tersusun dan teratur saling berkaitan dan berhubungan sehingga membentuk suatu kebulatan. Sehingga membentuk suatu sistem, yang disebut dengan sistem pembuktian. Inilah pengertian sistem pembuktian dalam arti luas. Namun, Sistem pembuktian dalam arti sempit, sebagaimana juga bisa disebut dengan teori pembuktian yang dalam doktrin hukum , seperti :


(27)

a) Teori tradisionil, teori ini dikemukakan oleh B.Bosch- Kemper yang meliputi Teori Negatif, Teori Positif dan Teori Bebas49

Teori Negatif mengatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Teori ini dianut oleh HIR, dalam pasal 294 HIR ayat 1 tentang keharusan adanya keyakinan hakim dan alat bukti yang sah.

Teori Positif mengatakan bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh Undang-Undang. Dan jika bukti minimal itu kedapatan, bahkan hakim diwajibkan menyatakan bahwa kesalahan terdakwa. Titik berat dari ajaran ini ialah positivitas. Tidak ada bukti, tidak dihukum; ada bukti meskipun sedikit harus dihukum. Teori ini dianut dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Seperti sistem negatif menurut Undang-Undang (negatief wettelijk) secara terbatas yang menentukan standar bukti dalam membuktikan sesuatu in casu kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan.

.

49

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, ( Bandung : Mandar Maju, 2001), halaman 100.


(28)

Teori bebas ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum. Yang dijadikan pokok, asal saja ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman. Teori ini tidak dianut dalam sistem HIR maupun sistem KUHAP50

b) Teori modern terdiri dari sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (Conviction Intime/Conviction Raisonce), Sistem keyakinan dengan alasan logis (Laconviction in Rainsonne), Sistem pembuktian menurut Undang- Undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie), Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie).

.

Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh satu peraturan. Dalam perkembangan lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk polarisasi, yaitu “Conviction Intime

dan Conviction Rainsonne”. Melalui sistem pembuktian “Conviction Intime” kesalahan terdakwa bergantung kepada keyakinan belaka, sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan. Dengan demikian, putusan hakim di sini tampak timbul nuansa subyektifnya51

50

Ibid., halaman 100. 51

Lilik Mulyadi, op.cit., halaman 245.

. Bias subyektifnya yaitu apabila pembuktian

conviction intime menentukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil


(29)

dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem ini sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang paling dominan/yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini52

Sistem keyakinan dengan alasan logis ini lebih maju sedikit daripada sistem yang keyakinan belaka, walaupun kedua sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Sistem keyakinan dengan alasan logis ini lebih maju, karena dalam sistem ini dalam hal membentuk dan

.

52


(30)

menggunakan keyakinan hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis . Walaupun alasan-alasan itu dengan menggunakan alat-alat bukti yang baik yang ada disebutkan dalam Undang-Undang maupun di luar Undang-Undang. Dalam sistem ini, walaupun Undang–Undang menyebut dan menyediakan alat-alat bukti, tetapi dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat-alat-alat bukti tersebut terserah pada pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya, alasan yang digunakannnya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya. Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan bebas ( vrije bewijstheorie), karena dalam hal membentuk keyakinan hakim bebas menggunakan alat-alat bukti dan menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut53

Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif berkembang sejak abad pertengahan. Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung kepada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam Undang-Undang. Singkatnya, Undang-Undang telah menentukan tentang adanya alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini, hakim terikat kepada adagium kalau alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan

Undang-.

53


(31)

Undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah, walaupun hakim berkeyakinan bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah. Begitupun sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat bukti sebagaimana ditetapkan Undang-Undang, hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut keyakinannya sebenarnya terdakwa bersalah54. Sistem pembuktian positif mempunyai segi negatif dan segi positif, berdasarkan asumsi M.Yahya Harahap menyatakan bahwa pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata bergantung kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah . Pokoknya, apabila sudah dipenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa55

54

Lilik Mulyadi, op.cit. ,halaman 243. 55

M. Yahya Harahap dalam Lilik Mulyadi, op.cit., halaman 244.

. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana Undang-Undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim, suatu


(32)

kewajiban mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengenyampingkan jauh-jauh faktor keyakinan. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subyektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang obyektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, mereka tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya56. Kemudian dalam perkembangannya dengan titik tolak aspek negatif dan positif mana baik secara teoritis dan praktik sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) sudah tidak pernah diterapkan lagi57

Sistem pembuktian menurut Undang-Undang negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh Undang-Undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis ternyata sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, hakikatnya merupakan peramuan antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dan sistem berdasarkan keyakinan hakim. Dengan ini, substansi sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif tentulah melekat adanya unsur prosedural

.

56

Lilik Mulyadi, op.cit., halaman 244. 57


(33)

dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan Undang-Undang dan terhadap alat bukti tersebut hakim baik secara materiil maupun secara prosedural58

a. Mengenai bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk membentuk alat bukti.( Pasal 26A Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001).

.

Kegiatan pembuktian tindak pidana korupsi , disamping tetap menggunakan hukum pembuktian umum dalam KUHAP, tetapi dalam bidang tertentu berlaku hukum pembuktian khusus sebagai perkecualiannya. Adapun hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam hukum pidana korupsi, terdapat pada 2 hal pokok:

b. Mengenai sistem pembebanan pembuktian.( Pasal 37 Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001).

B. Bahan untuk Membentuk Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa59

Pada dasarnya, perihal alat-alat bukti secara limitatif diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Walaupun alat bukti petunjuk disebutkan pada urutan keempat, tidak berarti bahwa alat bukti ini ada pengaruhnya untuk merekonstruksi peristiwanya lebih rendah daripada alat-alat bukti pada urutan

.

58

Ibid., halaman 247. 59


(34)

diatasnya. Dalam sistem pembuktian tidak mengenal kekuatan pembuktian yang didasarkan pada urutannya. Daya pengaruh atau kekuatan alat bukti pada pasal 184 ayat (1) itu sama, yang satu tidak lebih kuat daripada yang lain. Hal ini juga tercermin pada ketentuan tentang minimal pembuktian dalam pasal 183. Khususnya pada anak kalimat “ sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah” menunjukkan pada kita bahwa nilai atau kekuatan daya pengaruh masing-masing alat bukti adalah sama. Dua alat bukti itu salah satunya bisa berupa petunjuk dan yang satunya berupa jenis lain. Misalnya, keterangan terdakwa atau keterangan saksi sudah cukup memenuhi syarat untuk dapat membentuk keyakinan hakim bahwa tindak pidana memang telah terjadi dan terdakwalah pembuatnya. Ketentuan minimal pembuktian memerlukan keyakinan ini tidak dikenal dalam sistem pembuktian menurut hukum formil perdata. Itulah perbedaan sistem pembuktian dalam hukum formil pidana dengan hukum formil perdata. Keyakinan hakim tidak diperlukan dalam hukum acara perdata60

60

Adami Chazawi, op.cit., halaman 400.

.

Walaupun pada dasarnya daya pengaruh atau kekuatan dari masing-masing alat bukti adalah sama, namun bisa jadi penilaian hakim dalam menggunakan haknya yang berbeda. Hal ini disebabkan karena dalam menggunakan haknya untuk menilai alat-alat bukti, hakim bisa saja berada diantara sekian banyak alat bukti, baik dalam jenis yang berlainan maupun dalam jenis yang sama. Hal ini menyebabkan daya pengaruhnya dalam membentuk keyakinan hakim berbeda. Padahal, keyakinan itu sangat penting dalam usaha merekonstruksi peristiwa yang sedang ditangani.


(35)

Undang-Undang telah mendefinisikan bukti petunjuk ini sebagai “ perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” ( pasal 188 ayat 1). Oleh karena itu jika dirinci pengertian bukti petunjuk itu dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Ada perbuatan, kejadian, atau keadaan. 2. Ada persesuaian antara:

a. Perbuatan, kejadian, atau keadaan yang satu dengan perbuatan, kejadian, atau keadaan yang lainya.

b. Perbuatan, kejadian, atau keadaan itu dengan tindak pidana itu sendiri. 3. Dari persesuaian itu menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan

siapa pembuatnya.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sifat bukti petunjuk ini berbeda dengan alat bukti lain yang berdiri sendiri. Akan tetapi, bukti petunjuk tindak, perbuatan, keadaan, dan atau kejadian itu tidak berdiri sendiri, tetapi suatu bentukan atau konstruksi hakim yang didasarkan pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan dalam memeriksa perkara itu. Oleh karena itu, alat bukti petunjuk ini tidak mungkin diperoleh dan digunakan sebelum menggunakan alat- alat bukti lain. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi bergantung pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh jaksa penuntut umum dan oleh penasihat hukum.

Alat-alat bukti lain yang dapat dipergunakan untuk membangun alat bukti petunjuk ialah keterangan saksi, surat- surat, dan keterangan terdakwa( pasal 188


(36)

ayat2). Undang-Undang ini tidak menyebut alat bukti keterangan ahli, menganggap bahwa apabila alat bukti dianggap sebagai petunjuk hanya bisa diperoleh dari alat-alat bukti yang membuktikan tentang kejadian senyatanya, seperti saksi mengenai apa yang dilihat, apa yang didengar, dan apa yang dialaminya. Sedangkan keterangan ahli menerangkan segala sesuatu mengenai pendapat berdasarkan keahlian saja. Sesungguhnya alat bukti petunjuk ini dapat juga diperoleh dari penggunaan salah satu diantara alat-alat bukti yakni keterangan ahli, namun karena Undang-Undang hanya menentukan tiga alat bukti, maka dalam membangun bukti petunjuk hakim tidak dibenarkan menggunakan keterangan ahli dalam membangun alat bukti petunjuk. Oleh karena petunjuk ini dibangun oleh hakim, artinya sifat subyektifnya lebih menonjol, maka sebaiknya alat bukti tersebut tidak perlu digunakan apabila alat-alat bukti lain dianggap telah cukup, setidaknya telah memenuhi syarat minimal pembuktian61

Dengan demikian, proses pada hakikatnya untuk mendapat kebenaran materil ( materieele waarheid) dalam perkara pidana alat-alat bukti memegang peranan sentral dan bersifat menentukan. Oleh karena itu, baik secara teoritis dan praktik suatu alat bukti haruslah dipergunakan dan diberi penilaian secara cermat, agar tercapai kebenaran sejati sekaligus tanpa mengabaikan hak asasi terdakwa

.

62

Menurut hukum pembuktian tindak pidana korupsi , bahan itu dapat diperluas lagi. Pasal 26A Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 menentukan bahwa alat bukti petunjuk juga dapat dibentuk dari 2 alat bukti lain dari pasal 188 ayat(2) KUHAP, yakni:

.

61

Ibid., halaman 402. 62


(37)

a. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Dengan adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk dalam pasal 26A, secara formal tidak diragukan lagi bahwa informasi dan dokumen yang dimaksud pasal ini adalah sebagai alat bukti yang kedudukannya sejajar atau sama dengan 3 (tiga) alat bukti ; keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa (pasal 188 ayat 2). Dalam rumusan pasal 26A huruf a disebut secara tegas “ alat bukti lain”. Artinya, kedudukan informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah sama dengan alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Dengan alasan itu, maka alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi sudah dapat dibentuk berdasarkan informasi dan dokumen saja, tanpa menggunakan alat bukti lain.

Tentu saja, berdasarkan pasal 183 alat bukti petunjuk tidak boleh berdiri sendiri, artinya hanya satu-satunya alat bukti. Karena informasi dan dokumen yang dimaksud pasal 26A tidak dapat digunakan untuk membentuk keyakinan hakim sebagaimana yang dimaksud pasal 183 KUHAP tersebut, fungsi dokumen dan informasi sebagai alat bukti hanya bernilai sebagai alat bukti untuk


(38)

membentuk alat bukti petunjuk saja, tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain selain membentuk alat bukti petunjuk. Oleh karena itu, apabila telah diperoleh alat bukti petunjuk berdasarkan alat bukti informasi dan dokumen, tetap masih diperlukan satu alat bukti lain lagi yang isinya sama dan bersesuaian, misalnya keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, tetapi tidak dari keterangan ahli. Keterangan ahli dapat dipergunakan sebagai bahan/bukti tambahan membentuk alat bukti petunjuk63

Dalam hal membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat bukti keterangan ahli adalah sama dengan alat bukti lain. Artinya, keyakinan boleh dibentuk atas dasar keterangan ahli dan bukti petunjuk saja, karena telah memenuhi minimum bukti yang dimaksud pasal 183. Keyakinan hakim sesungguhnya harus berpijak pada keadaan (objektif) dari isi setidak-tidaknya dua alat bukti yang dapat membuktikan terjadinya tindak pidana in casu korupsi. Untuk terbuktinya tindak pidana korupsi, maka unsur-unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan harus terbukti semuanya. Untuk membuktikan terjadinya, peran dan kedudukan alat bukti petunjuk yang dibentuk melalui alat bukti informasi dan alat bukti dokumen tadi perlu ditambah dengan setidak-tidaknya satu alat bukti lain yang sah. Jika secara objektif telah terpenuhi syarat minimal bukti tersebut, barulah hakim dapat membentuk keyakinannya

.

64

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa sistem pembuktian negatif berdasarkan Undang-Undang yang terbatas ( negatief wettelijk) yang tercermin dalam pasal

.

63

Adami Chazawi, op.cit., halaman 105. 64


(39)

183 KUHAP, dalam hukum acara pidana korupsi telah diperluas sedemikian rupa, yang penerapannya telah memberi peluang yang amat besar pada subyektifitas hakim. Memasukkan ketentuan perluasan alat bukti untuk membentuk alat bukti petunjuk dalam pasal 26A dapatlah dimaklumi berdasarkan pertimbangan , yaitu: 1) Bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah digolongkan pada tindak

pidana yang luar biasa. Kriteria kejahatan luar biasa adalah meluas dan sukar pemberantasannya, persis korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, harus dihadapi dengan upaya yang luar biasa pula. Perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk ini adalah salah satu upaya yang luar biasa tersebut.

2) Pembuktian kasus tindak pidana korupsi tergolong sukar, berhubung dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan terutama birokrat dan pengusaha yang amat kuat secara politis dan ekonomi, yang dapat mempengaruhi jalannya proses peradilan. Untuk mengatasi kesulitan itu, selain dengan sistem beban pembuktian terbalik. Juga dengan upaya memperluas bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk65

Sesuai gradasinya, alat-alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, sebagai berikut:

.

1. Alat bukti keterangan saksi.

Saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

65


(40)

pengetahuannya itu ( Pasal 1 angka 26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ( Pasal 1 angka 27).

Dari batasan UU tentang saksi dan keterangan saksi tersebut dapatlah ditarik 3 kesimpulan, yakni:

a. Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung pengertian saksi diperlukan dan memberikan keterangannya dalam 2 tingkat yakni tingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan di sidang pengadilan. b. Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri,

ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang sumbernya diluar sumber tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian dengan menggunakan alat bukti keterangan saksi.

c. Bahwa keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan. Artinya, isi keterangan baru berharga dan bernilai pembuktian apabila setelah memberikan keterangan ia kemudian menerangkan tentang sebab-sebab dari pengetahuannya tersebut. Hal ini pun merupakan prinsip umum alat bukti keterangan saksi dalam hal pembuktian66 Syarat keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal seperti hal kualitas

.

66


(41)

pribadi saksi, hal apa yang diterangkan saksi, hal sebab apa saksi mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan, syarat sumpah atau janji, dan syarat mengenai adanya hubungan antara isi keterangan saksi dan isi keterangan saksi lain atau isi alat bukti lain.

Syarat-syarat ini merupakan keterangan saksi yang diberikan di muka sidang pengadilan, bukan saat memberikan keterangan pada tahap penyidikan. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah juga terletak pada keterangan tersebut diberikan di muka persidangan. Namun, bagi penyidik syarat-syarat mengenai beberapa hal tersebut di atas, terutama syarat yang relevan, misalnya syarat mengenai kualitas pribadi saksi haruslah diperhatikan, agar menetapkan seorang saksi dan pekerjaan memberkasnya dalam berkas perkara pidana tidak menjadi sia-sia kelak di sidang pengadilan67

67

Ibid., halaman 40.

.

Apabila seseorang dipanggil menjadi saksi tetapi menolak/tidak mau hadir di depan persidangan, saksi tersebut supaya dihadapkan di persidangan ( pasal 159 ayat(2) KUHAP. Dengan demikian, asasnya setiap orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang didengar sebagai saksi ( pasal 1 angka 26), tetapi dalam hal eksepsional sifatnya seseorang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Hal ini ditegaskan Pasal 168 KUHAP yang berbunyi “ kecuali ketentuan lain dalam Undang-Undang ini, tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi :


(42)

1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak- anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Orang-orang yang berkualitas disebutkan dalam Pasal 168 itulah yang tidak diperbolehkan menjadi saksi dan memberikan keterangannya di atas sumpah. Ada perkecualian dari orang yang tidak boleh didengar keterangannya dalam sidang sebagaimana ditentukan dalam pasal 168 tersebut, sebagaimana ditentukan dalam pasal 169. Menurut pasal 169, orang-orang yang berkualitas dalam hubungan kekeluargaan sebagaimana disebutkan pasal 168 dapat memberikan keterangannya apabila mereka yang berkedudukan dalam hubungan keluarga itu menghendaki untuk memberikan keterangan yang mana jaksa penuntut umum dan terdakwa secara tegas menyetujuinya.

Biasanya dalam praktik saksi yang demikian diajukan oleh penasihat hukum, Kemudian hakim akan menanyakan relevansinya dengan pokok perkara yang sedang diperiksa. Apabila menurut pertimbangan hakim cukup alasannya untuk dapat didengar keterangannya, maka hakim meminta kepastian kepada jaksa penuntut umum dan terdakwa apakah mereka menyetujuinya. Keterangan saksi keluarga ini harus tidak di atas sumpah. Karena tidak di atas sumpah maka keterangan demikian nilai pembuktiannya sepenuhnya bergantung kepada


(43)

pertimbangan hakim. Artinya, hakim boleh menggunakannya dan boleh juga tidak68

Apabila keterangan seorang saksi tanpa sumpah meskipun sesuai satu sama lain bukanlah merupakan alat bukti. Akan tetapi, jikalau keterangan tersebut selaras dengan saksi atas sumpah, keterangannya dapat dipergunakan sebagai alat bukti sah yang lain ( Pasal 185 ayat (7) KUHAP. Selain itu, berdasarkan ketentuan pasal 171, anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin dan orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya balik kembali diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah. Sebab adanya pengecualian ini disebutkan bahwa “mengingat anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut

.

Selanjutnya, dalam praktik bahwa nilai pembuktian harus memenuhi syarat formal dan syarat materil yang mana syarat formalnya adalah bahwa keterangan saksi harus terlebih dahulu dengan mengucapkan sumpah atau mengucapkan janji ( a solemn affirmation) menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberi keterangan sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya ( Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Akan tetapi, berdasarkan ketentuan pasal 160 ayat (4) sumpah atau janji dapat dilakukan setelah saksi atau ahli selesai memberi keterangan apabila dianggap perlu demikian oleh pengadilan. Pada asasnya, lafaz/ janji saksi adalah “ saya bersumpah/berjanji akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain daripada yang sebenarnya”.

68


(44)

psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja”69

a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain. .

Syarat materilnya adalah menurut pasal 185 ayat (6), dikatakan dalam menilai keterangan saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni :

b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

c) Alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi memberikan keterangan tertentu.

d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat atau tidaknya keterangan saksi itu dipercaya. Jika hakim harus berpegang pada ketentuan tersebut, maka setiap saksi harus dinilai mengenai cara hidup serta sesuatu yang pada umumnya dapat berpengaruh pada cara hidup dan kesusilaan. Seperti adat istiadat, martabat, kebiasaan, pergaulan dan lain-lain. Dapatlah dibayangkan hal itu tidak mudah dilaksanakan. Oleh karena itu dalam hal ini diberikan kebebasan kepada hakim untuk memberi penilaiannya70

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara

. 2. Keterangan Ahli

69

Lilik Mulyadi, op.cit., halaman 222. 70


(45)

pidana guna kepentingan pemeriksaan (pasal 1 angka 28). Berdasarkan pasal ini bahwa ada 2 syarat dari keterangan ahli, ialah :

a. Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya.

b. Bahwa yang diterangkan mengenai keahlian itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang diperiksa.

Seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau dibidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana keterangan saksi.

Syarat umum dari kekuatan alat bukti termasuk keterangan saksi dan keterangan ahli yaitu:

1) Harus didukung dan bersesuaian dengan fakta-fakta yang didapat dari alat bukti lain. Sesuai dengan ketentuan pasal 183 jo pasal 185 ayat 2, maka satu- satunya alat bukti keterangan ahli tidaklah dapat digunakan sebagai dasar untuk membentuk keyakinan hakim. Kekuatan bukti keterangan ahli bukanlah sebagai tambahan bukti seperti saksi yang tidak disumpah sebagaimana saksi keluarga menurut pasal 185 ayat 7 atau saksi anak dan saksi yang sakit ingatan.

2) Keterangan ahli harus di atas sumpah sama dengan alat bukti keterangan saksi (pasal 160 ayat 4 jo 179 ayat 2). Keterangan ahli yang diberikan dimuka sidang tetap wajib disumpah, walaupun seorang ahli telah disumpah ketika


(46)

ahli akan memberikan keterangan di tingkat penyidikan berdasarkan pasal 120 ayat 2.

Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi yang mana keterangan ahli secara lisan di muka sidang maupun keterangan ahli secara tertulis di luar sidang. Keterangan ahli yang tertulis ini dituangkan dalam surat yang menjadi alat bukti surat, seperti apa yang disebut visum et repertum (VER) yang diberikan pada tingkat penyidikan atas permintaan penyidik (pasal 187 huruf c).

Dari sudut sifat isi keterangan yang diberikan ahli, maka ahli dapat dibedakan menjadi ahli yang menerangkan tentang apa yang telah dilakukannya berdasarkan keahlian khusus untuk itu. Misalnya, seorang dokter ahli forensik yang memberikan keterangan ahli di sidang pengadilan tentang penyebab kematian setelah dokter tersebut melakukan bedah mayat ( otopsi). Atau seorang akuntan memberikan keterangan di sidang pengadilan tentang hasil audit yang dilakukannya atas keuangan suatu instansi pemerintah. Dan ahli yang menerangkan semata-mata tentang keahlian khusus mengenai sesuatu hal yang berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Misalnya, ahli di bidang perakit bom yang menerangkan dalam sidang pengadilan tentang cara merakit bom. Bahkan dalam praktik, seorang ahli hukum bidang keahlian khusus sering kali digunakan dan mereka juga disebut seorang ahli71

Dasar hukum pemanggilan seorang ahli adalah sama dengan dasar hukum pemanggilan seorang saksi, yakni pasal 146 ayat (2) dan pasal 227 KUHAP.

.

71


(47)

Seorang ahli tidak selalu ditentukan oleh adanya pendidikan formal khusus untuk bidang keahliannya seperti ahli kedokteran forensik, tetapi pada pengalaman dan atau bidang pekerjaan tertentu yang ditekuninya selama waktu yang panjang, yang menurut akal sangat wajar menjadi ahli dalam bidang khusus tersebut. Misalnya, keahlian dibidang kunci, pertukangan dll. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya72

Janganlah kita berpendapat bahwa orang yang disebut ahli haruslah seseorang yang telah memperoleh pendidikan khusus atau orang yang telah memiliki ijazah tertentu. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat dianggap sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai sesuatu hal, atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang soal itu

.

73

a) Saksi memberi keterangan sebenarnya mengenai peristiwa yang ia alami, ia dengar, ia lihat, ia rasakan dengan alat panca indranya, sedangkan ahli memberi keterangan mengenai penghargaan dari hal-hal yang sudah ada dan mengambil kesimpulan mengenai sebab akibat dalam suatu perbuatan terdakwa;

.

Apabila dibandingkan keterangan saksi dan keterangan ahli, maka ada perbedaan antara kedudukan saksi dan kedudukan ahli, antara lain sebagi berikut :

b) Pada saksi dikenal adanya asas unus testis nullus testis yang tidak dikenal pada ahli, sehingga dengan keterangan seorang ahli saja, hakim membangun keyakinannya dengan alat-alat bukti yang lain;

72

Ibid., halaman 67. 73


(48)

c) Saksi dapat memberikan keterangan dengan lisan dan ahli dapat memberi keterangan lisan maupun tulisan;

d) Hakim bebas menilai keterangan saksi dan hakim tidak wajib turut pada pendapat, kesimpulan dan saksi bilamana bertentangan dengan keyakinan hakim;

e) Kedua alat bukti ialah saksi dan saksi ahli digunakan hakim dalam mengejar dan mencari kebenaran sejati74

Dalam Tindak Pidana Korupsi, keterangan ahli yang digunakan adalah pihak BPKP yang mana akan melakukan audit investigasi mengenai kerugian keuangan dan perekonomian negara sehingga pihak BPKP dapat memperkirakan kerugian keuangan dan perekonomian negara itu

.

75

. Keterangan ahli dapat berupa BPKP, BPK, INSPEKTORAT, INSTANSI/ATASAN76

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat

. 3. Surat

77

74

Martiman Prodjohamidjojo, op.cit., halaman 122. 75

Hasil wawancara langsung dengan Bapak Endri Prastiono, yang menjabat sebagai Kasat III/TIPIKOR POLDASU pada tanggal 26 Mei 2010.

76

Hasil wawancara langsung dengan Bapak Arnold Sinambela, yang menjabat sebagai Penyidik di Sat III Reskrim POLDASU pada tanggal 27 Mei 2010.

77

Sudikno Mertokusumo dalam Hari Sasangka dan Lili Rosita, op.cit., halaman 62.


(49)

KUHAP sedikit sekali mengatur tentang alat bukti surat. Hanya dua pasal, yakni pasal 184 dan secara khusus pasal 187. HIR juga demikian, secara khusus diatur dalam tiga pasal saja, yakni pasal 304,305,306. Walaupun hanya tiga pasal yang isinya hampir sama dengan pasal 187 KUHAP, dalam pasal 304 HIR, disebutkan bahwa aturan tentang nilai kekuatan dari alat bukti surat pada umumnya dan surat-surat resmi dalam hukum acara perdata harus diturut dalam hukum acara pidana. Dengan demikian, mengenai surat-surat pada umumnya ( maksudnya dibawah tangan) dan surat- surat resmi ( akta otentik) mengenai nilai pembuktiannya dalam perkara pidana harus menurut hukum acara perdata.

Aspek fundamental surat sebagai alat bukti diatur pada pasal 184 ayat 1 huruf c KUHAP. Kemudian secara substansial tentang bukti surat ini ditentukan oleh pasal 187 KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang semua keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan; Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; Surat lain


(50)

yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain78

Prinsip hukum pembuktian dalam hukum acara pidana berbeda dengan pembuktian hukum acara perdata, mengingat dalam hukum pembuktian perkara pidana diperlukan keyakinan hakim atas dasar minimal alat bukti, sedangkan dalam hukum pembuktian perkara perdata tidak diperlukan keyakinan hakim. Karena apa yang dicari dari pembuktian dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materil, sedangkan dalam hukum acara perdata kebenaran formil sudahlah cukup, seperti halnya nilai alat bukti akta otentik sebagai alat bukti yang sah, dapat lebih terjaminnya kebenaran dan tepatnya bentukan keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa, sebagai syarat menjatuhkan pidana

.

79

a. Adanya syarat minimal pembuktian. Satu alat bukti saja tidaklah cukup dalam perkara pidana, melainkan harus minimal 2 alat bukti ( pasal 184 jo 185 ayat 2);

.

Berdasarkan sistem pembuktian yang berbeda, apapun alat buktinya seperti akta otentik yang menurut hukum acara perdata adalah alat bukti sempurna, tetapi dalam hukum pembuktian perkara pidana satu akta otentik saja akan lumpuh kekuatan buktinya apabila tidak ditunjang oleh alat bukti lain, walaupun hakim yakin kebenaran dari akta otentik tersebut, karena dalam hukum pembuktian perkara pidana diikat lagi dengan beberapa ketentuan yakni:

78

Lilik Mulyadi, op.cit., halaman 237. 79


(51)

b. Diperlukan adanya keyakinan hakim. Dari minimal dua alat bukti terbentuklah keyakinan tentang 3 hal ( terjadi tindak pidana, terdakwa melakukannya,dan ia dapat dipersalahkan atas perbuatannya itu ( pasal 183)80

Menurut pasal 187 surat yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti . Tiga surat yang harus dibuat di atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah ( Pasal 187 huruf a,b,dan c), sedangkan surat yang keempat adalah surat di bawah tangan ( pasal 187 huruf d). Tiga jenis surat yang dibuat di atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah tersebut adalah :

.

1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan;

3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain81

80

Adami Chazawi, op.cit., halaman 69. 81

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, Praktik, ( Bandung: Alumni, 2008), halaman 91.


(52)

Adapun surat yang dimaksud huruf a adalah surat mengandung unsur-unsur yaitu dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah pejabat yang membuatnya, dibuat oleh pejabat umum atau dibuat dihadapannya, surat dalam bentuk resmi, isi suratnya adalah keterangan mengenai kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, yang disertai alasan yang jelas dan tegas dari keterangan dalam surat itu82

Apabila ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi (otentik) yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaannya pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri. Bagaimanapun sifat kesempurnaan formal yang melekat pada dirinya, alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Ia harus tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lain. Berarti sifat kesempurnaan formilnya, harus tunduk pada asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam pasal 183 KUHAP

.

83

a. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

. 4. Petunjuk

Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP, petunjuk merupakan gradasi keempat sebagai alat bukti. Esensi alat bukti petunjuk ini diatur ketentuan pasal 188 KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

82

Adami Chazawi, op.cit., halaman 70. 83


(53)

b. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diperoleh dari : keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

c. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesamaan berdasarkan hati nuraninya.

Karena alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektifitasnya hakim lebih dominan. Apabila kita membaca dengan teliti mengenai rumusan tentang pengertian alat bukti petunjuk dalam pasal 188 ayat (1) dan ayat (2), maka unsur atau syarat alat bukti petunjuk adalah :

1) Unsur pertama, adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian;

2) Unsur kedua, ada dua persesuaian, ialah bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu dengan yang lain, maupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, dan atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan.

3) Unsur ketiga, dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan ( menjadi suatu tanda) dan menunjukkan adanya 2 ( dua) hal in casu kejadian, ialah menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan menunjukkkan siapa pembuatnya.


(1)

ABSTRAKSI

* SELLY NOVITA SIREGAR ** SYAFRUDDIN KALO *** EDI YUNARA

Masalah pembuktian memang sangat penting dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana sehingga pembuktian ini benar-benar harus dilakukan secara cermat dan perlu diperhatikan. Karena korupsi mempunyai implikasi yang luas dan mengganggu pembangunan serta menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.

Permasalahan yang diuraikan dalam tulisan ini adalah mengenai bagaimana proses pembuktian dalam tindak pidana korupsi, hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam proses pembuktian dan upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Secara yuridis normatif yakni dengan melakukan pengumpulan data melalui bahan kepustakaan hukum maupun peraturan perundang-undangan. Secara yuridis empiris yang penulis lakukan di Kejaksaan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Medan, dan Kepolisian Sumatera Utara dengan melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara.

Berdasarkan temuan data, proses pembuktian tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh jaksa, hakim, dan polisi terdapat kendala-kendala dalam proses pembuktian tersebut, yang mengakibatkan proses pembuktian kurang optimal di dalam penyelesaiannya. Hal ini menjadi tugas serius oleh jaksa, hakim, dan polisi dalam mengupayakan proses pembuktian tindak pidana korupsi di Indonesia.Oleh karena itu, para penegak hukum senantiasa berupaya meningkatkan kualitas yang diberikan kepadanya, terutama dalam upaya proses pembuktian tindak pidana korupsi yang menjadi hal serius dalam penegakan hukum di Indonesia.

Proses pembebanan pembuktian terbalik ini maksudnya bahwa beban pembuktian sepenuhnya berada di pihak terdakwa, untuk membuktikan dirinya tidak melakukan korupsi. Dalam perkara suap/gratifikasi (Pasal 12B) yang nilainya Rp.10 juta atau lebih, terdakwa dianggap bersalah. Sistem terbalik ini adalah kebalikan dari asas presumption of innocence. Sistem terbalik ini hanya berlaku pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp.10 juta atau lebih ( Pasal 12B ayat 1 huruf a), dan terhadap harta benda yang belum didakwakan, tetapi diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B).

* Mahasiswi Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Pembimbing I; Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara . *** Dosen Pembimbing II; Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena dengan berkat dan rahmat-Nya masih diberikan kesehatan, kesempatan dan kemampuan untuk menjalani perkuliahan sampai pada menyelesaikan skripsi pada Departemen Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh

gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “ Proses Pembuktian Tindak Pidana Korupsi ( Studi dalam Lembaga Terkait di

Medan)“ dapat terselesaikan. Sejalan dengan penyelesaian skripsi ini begitu banyak hikmah yang penulis terima terutama dalam hal kesabaran, ketekunan, disiplin dan kesabaran untuk memahami orang lain, kemampuan berfikir dan daya nalar, khususnya dalam penyelesaian skripsi ini merupakan pengalaman berharga yang tidak terlupakan.

Penulis menyadari akan keterbatasan yang dimiliki selama penulis menyelesaikan skripsi dan selama melakukan penelitian sehingga proses penyelesaian skripsi ini telah melibatkan banyak pihak yang memberi bantuan moril dan materiil serta berbagai kemudahan fasilitas bahkan doa yang tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Runtung,S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Abul Khair,SH.,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

3. Ibu Nurmalawaty,SH.,M.Hum, selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Erna Herlinda, selaku dosen wali yang telah membimbing penulis dalam akademik dari semester awal sampai dengan semester akhir.

5. Bapak Prof.Dr.Syafruddin Kalo,SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam membimbing, memberi waktu, sumbangan pikiran, tenaga dalam memberikan saran dan kritik serta mengevaluasi sehingga penulisan skripsi ini berjalan dengan baik.

6. Bapak Edi Yunara,SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam membimbing, memberi waktu, sumbangan pikiran, tenaga dalam memberikan saran dan kritik serta mengevaluasi sehingga penulisan skripsi ini berjalan dengan baik.

7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan mengajar penulis selama perkuliahan.

8. Kejaksaan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Medan, serta Kepolisian Sumatera Utara yang menyediakan waktu dan tempat buat penulis dalam melakukan riset dan juga semua staf khususnya bagian pembinaan dan bagian pidana khusus yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Kedua orang tua Ayahanda dan Ibunda yang telah sabar dan mencurahkan

segenap kasih sayangnya dan segala pengorbanan serta doanya, dan adikku yang telah memberikan dukungan dan semangat sehingga skripsi ini dapat selesai.


(4)

Penulis menyadari sebagai manusia biasa pasti terdapat kekurangan di sana sini yang mungkin sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang berguna dalam penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan penulis khususnya.

Medan, Agustus 2010 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian ... 9

2. Manfaat Penelitian ... 9

D. Keaslian Tulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Korupsi ... 10

2. Pengertian Pembuktian ... 15

3. Pengertian Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus ... 16

4. Pengertian Hukum Pembuktian Umum dan Hukum Pembuktian Khusus ... 17

5. Pengertian Hukum Pembuktian Khusus Tindak Pidana Korupsi ... 20

F. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian ... 21

2. Sumber dan Pengumpulan Data a. Sumber Data ... 22

b. Pengumpulan Data ... 23

3. Analisis Data ... 23

G. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II HUKUM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Beberapa Ketentuan Khusus dalam Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi ... 25

B. Bahan Untuk Membentuk Alat Bukti ... 35

1. Alat Bukti Keterangan Saksi ... 41

2. Keterangan Ahli ... 47

3. Surat ... 50

4. Petunjuk ... 55

5. Keterangan Terdakwa ... 57

C. Sistem Pembebanan Pembuktian Perkara Korupsi ... 60

1. Sistem Pembebanan Pembuktian Biasa ... 62

2. Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik ... 66

BAB III KENDALA DALAM PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN PERKARA KORUPSI A. Hambatan yang Dihadapi dalam Proses Pembuktian ... 80

B. Upaya dalam Mengatasi Hambatan- Hambatan dalam perkara korupsi ... 91


(6)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 97 B. Saran ... 98 DAFTAR PUSTAKA