PENINGKATAN KESTABILAN ENZIM SELULASE DARI Aspergillus niger L-51 DENGAN MODIFIKASI KIMIA MENGGUNAKAN SITRAKONAT ANHIDRIDA

(1)

(2)

ABSTRAK

PENINGKATAN KESTABILAN ENZIM SELULASE DARI Aspergillus niger L-51 DENGAN MODIFIKASI KIMIA

MENGGUNAKAN SITRAKONAT ANHIDRIDA Oleh

Fatma Timur Iftiqoriyyah

Pada penelitian ini telah dilakukan modifikasi kimia enzim selulase dari Aspergillus niger L-51 menggunakan sitrakonat anhidrida untuk meningkatkan stabilitas enzim tersebut. Adapun tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi : produksi, isolasi, pemurnian, modifikasi kimia menggunakan sitrakonat anhidrida dan karakterisasi enzim selulase hasil pemurnian sebelum dan setelah modifikasi meliputi penentuan suhu dan pH optimum, nilai KM dan Vmaks serta uji

stabilitas termal dan pH enzim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas spesifik enzim selulase hasil pemurnian 40,6094 U/mg, meningkat 13 kali dibandingkan dengan ekstrak kasar enzim yang mempunyai aktivitas spesifik 3,1046 U/mg. Enzim selulase hasil pemurnian mempunyai pH optimum 4,5; suhu optimum 50oC; KM = 79,96 mg/mL substrat; Vmaks = 10,14 μmol/mL.menit; ki =

0,0277 menit-1; waktu paruh (t1/2) = 25,02 menit dan ΔGi = 99,96 kJ/mol. Enzim

hasil modifikasi menggunakan sitrakonat anhidrida dengan variasi volume 20, 30, 40, dan 50 µL mempunyai pH optimum 4,0; suhu optimum 50oC; KM

berturut-turut sebagai berikut: 37,5; 22,1; 36,27 dan 48,77 mg/mL; Vmaks berturut-turut

sebagai berikut: 2,22; 1,47; 2,54 dan 2,99 μmol/mL.menit; ki berturut-turut

sebagai berikut: 0,0202; 0,0163; 0,0207 dan 0,0248 menit-1; waktu paruh (t1/2)

berturut-turut sebagai berikut: 34,31; 42,52; 33,48 dan 27,94 menit; ΔGi

berturut-turut sebagai berikut: 100,81; 101,38; 100,74 dan 100,25 kJ/mol. Berdasarkan penurunan nilai ki, peningkatan waktu paruh (t1/2) dan nilai ΔGi, diketahui bahwa

modifikasi kimia menggunakan sitrakonat anhidrida dapat meningkatkan stabilitas enzim selulase dari Aspergillus niger L-51.

Kata kunci : Aspergillus niger L-51, selulase, modifikasi kimia, sitrakonat anhidrida


(3)

(4)

(5)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Enzim ... 5

Enzim Selulase. ... 12

Selulosa ... 14

Aspergilus niger ... 15

Isolasi dan Pemurnian Enzim Selulase ... 16

Pengujian Aktivitas Enzim Selulase dengan Metode Mandels ... 19

Penentuan Kadar Protein dengan Metode Lowry ... 20

Modifikasi Kimia ... 20

Kinetika Reaksi Enzim ... 23

Stabilitas Enzim ... 25

METODOLOGI PENELITIAN ... 28

Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

Alat dan Bahan ... 28

Prosedur Penelitian ... 29

Pembuatan Media Inokulum, Inokulasi Aspergillus niger L-51 Produksi Enzim Selulase, dan Pembuatan Larutan Pereaksi ... 29

Pembuatan media inokulum ... 29

Inokulasi Aspergillus niger L-51 ... 29


(6)

ii

Pembuatan pereaksi untuk pengukuran aktivitas enzim selulase

Metode mandels ... 30

Pembuatan pereaksi untuk pengukuran kadar protein enzim Selulase metode lowry 30

Isolasi dan Pemurnian Enzim Selulase ... 31

Isolasi enzim Selulase ... 31

Pemurnian enzim Selulase ... 31

Fraksinasi dengan ammonium sulfat [(NH4)2SO4] ... 31

Dialisis ... 33

Uji Aktivitas Enzim Selulase ... 34

Pembuatan standar glukosa metode mandels ... 34

Uji aktivitas enzim selulase metode mandels ... 34

Penentuan kadar protein metode lowry ... 35

Modifikasi Kimia Enzim Selulase dengan Sitrakonat Anhidrida ... 35

Karakterisasi Enzim Selulase Hasil Pemurnian dan Hasil Modifikasi ... 36

Penentuan pH dan Suhu Optimum ... 36

Penentuan pH Optimum ... 36

Penentuan suhu optimum ... 36

Penentuan data kinetika enzim (nilai KM dan Vmaks) ... 36

Uji Stabilitas Termal dan Stabilitas pH Enzim (Yang et al., 1996) ... 37

Penentuan waktu paruh (t1/2), konstanta laju inaktivasi (ki), dan perubahan energi akibat denaturasi (∆Gi) ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

Produksi dan Isolasi Enzim Selulase ... 40

Pemurnian Enzim Selulase ... 41

Fraksinasi menggunakan ammonium sulfat [(NH4)2SO4]... 41

Dialisis ... 43

Karakterisasi Enzim Selulase Hasil Pemurnian dan Hasil Modifikasi ... 44

Penentuan pH optimum enzim hasil pemurnian sebelum dan setelah Modifikasi ... 44

Penentuan suhu optimum enzim hasil pemurnian sebelum dan setelah modifikasi ... 47

Penentuan nilai KM dan Vmaks enzim hasil pemurnian sebelum dan setelah modifikasi ... 49

Stabilitas termal enzim hasil pemurnian sebelum dan setelah modifikasi dengan sitrakonat anhidrida ... 51

Perubahan Konstanta Laju Inaktivasi Termal (ki), Waktu Paruh(t1/2), Energi Akibat Denaturasi (ΔGi) Enzim Hasil Pemurnian Sebelum dan Setelah Modifikasi ... 53

Konstanta laju inaktivasi termal (ki) dan waktu paruh ... 54


(7)

iii

SIMPULAN DAN SARAN ... 57 Simpulan ... 57 Saran ... 58 DAFTAR PUSTAKA


(8)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berkembangnya teknologi pemanfaatan enzim khususnya sebagai biokatalisator dalam industri pangan dan nonpangan, secara nyata dapat memberikan manfaat dan keuntungan bagi manusia (Reed, 1975; Wyk et al., 2003). Salah satu enzim yang memiliki peranan penting adalah enzim selulase. Enzim selulase dapat menghidrolisis selulosa menjadi glukosa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan zat kimia lain seperti etanol, aseton, dan asam-asam organik sehingga memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi maupun sebagai sumber karbon dalam pertumbuhan bakteri untuk produksi antibiotik dan bermacam-macam enzim (Gunam et al., 2004). Enzim selulase dihasilkan secara

ekstraseluler oleh mikroba selulolitik dari golongan bakteri dan kapang (Duff and Murray, 1996). Menurut Purwadaria (2003), kemampuan kapang sebagai

mikroba pendegradasi selulosa dan hemiselulosa lebih efektif dibandingkan bakteri. Selain itu, lingkungan Indonesia yang beriklim tropis merupakan tempat yang cocok untuk pertumbuhan kapang. Aspergillus niger merupakan salah satu jenis kapang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menghasilkan berbagai enzim yang berperan penting dalam bidang pangan seperti selulase (Reed, 1975). Selain itu, Aspergillus niger memiliki kelebihan dibandingkan jenis kapang


(9)

2

lainnya yaitu mampu menghasilkan enzim selulase dengan komponen β -glukosidase dalam jumlah tinggi.

Enzim selulase mengandung tiga komponen yang saling bekerjasama untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa, yaitu enzim eksoglukanase,

endo-1,4-glukanase, dan β-glukosidase (Vrijc et al., 2002). Selulosa merupakan polimer lurus dari β-1,4-D-Glukosa (Fessenden, 1992). Hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tidak

sempurna akan menghasilkan disakarida dari selulosa yaitu selobiosa (Fan et al., 1982). Aplikasi nyata dari kerja enzim selulosa dapat dilihat pada berbagai industri diantaranya industri sakarifikasi bahan berselulosa, deterjen, industri makanan, dan pengolahan limbah pabrik kertas (Akiba et al., 1995). Penggunaan enzim dalam industri harus memenuhi beberapa kriteria khusus, antara lain

memiliki kestabilan pada kondisi suhu yang tinggi dan pH yang ekstrim (Goddette et al., 1993). Namun, secara umum enzim tidak tahan pada kondisi ekstrim, hanya dapat sekali pakai dan hanya bekerja pada kondisi fisiologis. Untuk

mengatasi permasalahan tersebut, dapat dilakukan dengan meningkatkan stabilitas enzim yaitu dengan amobilisasi, modifikasi kimia, dan mutagenesis terarah

(Mozhaev and Martinek, 1984). Modifikasi kimia merupakan suatu cara untuk meningkatkan kestabilan enzim yang dapat larut dalam air. Keunggulan modifikasi kimia dibandingkan dengan metode amobilisasi enzim adalah tidak terhalangnya interaksi antara enzim dengan substrat oleh adanya matriks yang tidak larut, sehingga penurunan aktivitas enzim dapat ditekan. Residu lisin yang terletak pada permukaan enzim merupakan salah satu penyebab ketidakstabilan enzim, karena ia dapat berinteraksi dengan molekul air di sekitarnya (Sebayang,


(10)

3

2005). Dengan adanya modifikasi kimia, struktur lisin akan terlindungi oleh gugus hidrofobik dari modifikator yang diharapkan dapat meminimalisir kontak enzim dengan air sehingga enzim lebih stabil.

Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan modifikasi kimia enzim α-amilase menggunakan beberapa senyawa kimia, diantaranya dimetiladipimidat (Apriyanti, 2010), sitrakonat anhidrida (Sundari, 2011), dan asam glioksilat (Anggraini, 2011). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa modifikasi kimia

dapat meningkatkan stabilitas enzim α-amilase. Pada penelitian ini akan dilakukan modifikasi kimia enzim selulase yang diisolasi dari Aspergillus niger L-51 menggunakan senyawa sitrakonat anhidrida dan diharapkan akan diperoleh peningkatan stabilitas enzim setelah dimodifikasi seperti pada penelitian

sebelumnya.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengisolasi ekstrak kasar enzim selulase dari Aspergillus niger L-51 pada kondisi optimum sehingga diperoleh enzim yang memiliki aktivitas unit terbaik.

2. Memurnikan ekstrak kasar enzim selulase dengan metode fraksinasi menggunakan ammonium sulfat dan metode dialisis sehingga diperoleh enzim selulase dengan tingkat kemurnian terbaik yang ditunjukkan oleh besarnya aktivitas spesifik enzim selulase yang diperoleh.


(11)

4

3. Meningkatkan stabilitas enzim selulase dengan modifikasi kmia

menggunakan sitrakonat anhidrida dengan variasi volume 20, 30, 40 dan 50 µL sehingga diperoleh enzim yang memiliki tingkat kestabilan terbaik yangdapat digunakan dalam bidang industri.

4. Melakukan karakterisasi enzim selulase hasil pemurnian dan hasil modifikasi meliputi penentuan pH dan suhu optimum, penentuan nilai kM dan Vmaks,

penentuan nilai ki, t1/2dan ΔGi. sehingga diperoleh informasi mengenai

pengaruh modifikasi dan pengaruh variasi penambahan volume sitrakonat anhidrida terhadap enzim selulase hasil pemurnian.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi mengenai cara untuk meningkatkan stabilitas enzim selulase dengan metode modifikasi kimia menggunkan sitrakonat anhidrida. 2. Memberikan informasi mengenai pengaruh penambahan volume sitrakonat

anhidrida terhadap kestabilitas enzim selulase hasil pemurnian dari Aspergillus niger L-51.

3. Enzim selulase hasil modifikasi dengan stabilitas yang tinggi dapat digunakan untuk berbagai keperluan, khususnya dalam bidang industri.


(12)

5

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Enzim

Enzim merupakan katalisator protein yang mempercepat reaksi kimia dalam makhluk hidup atau dalam sistem biologik (Suhartono, 1992). Suatu enzim dapat mempercepat laju reaksi kira-kira 108 sampai 1011 kali lebih cepat dibandingkan dengan reaksi yang tidak dikatalisisis (Poedjiadi, 1994). Molekul enzim biasanya berbentuk bulat (globular), sebagian terdiri atas satu rantai polipeptida dan

sebagian lain terdiri dari lebih dari satu polipeptida (Wirahadikusumah, 1997) dan umumnya mempunyai berat molekul yang beraneka ragam berkisar 104–107 kDa (Dryer, 1993).

Enzim bekerja sangat spesifik dalam kerja katalitiknya, sehingga enzim dikatakan mempunyai sifat sangat khas karena hanya bekerja pada substrat tertentu dan bentuk reaksi tertentu. Kespesifikan ini disebabkan oleh bentuknya yang unik dan adanya gugus-gugus polar atau nonpolar dalam struktur enzim (Fesssenden, 1992). Salah satu fungsi yang paling menonjol dari protein adalah aktivitas enzim. Enzim mempunyai fungsi khusus antara lain yaitu : (1) menurunkan energi aktivasi, (2) mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan tetap tanpa mengubah besarnya tetapan seimbangnya, dan (3) mengendalikan reaksi (Page, 1997).


(13)

6

Kelebihan enzim dibandingkan katalis biasa adalah enzim bersifat spesifik dibandingkan dengan katalis anorganik, bekerja pada pH yang relatif netral dan suhu yang relatif rendah, aman, mudah dikontrol, dapat menggantikan bahan kimia yang berbahaya, serta dapat didegradasi secara biologis (Page, 1997). Enzim telah banyak digunakan dalam bidang industri pangan, farmasi dan industri kimia lainnya. Dalam bidang pangan misalnya amilase, glukosa-isomerase, papain dan bromelin. Sedangkan dalam bidang kesehatan contohnya amilase, lipase dan protease. Dalam banyak aplikasi bioteknologi, selulase digunakan dalam proses sakarifikasi bahan berselulosa, deterjen, industri makanan, dan pengolahan limbah pabrik kertas (Busto et al., 1995; Akiba et al., 1995). Enzim dapat diisolasi dari hewan, tumbuhan dan mikroorganisme. Namun, secara umum enzim diisolasi dari mikroorganisme karena pertumbuhan mikroorganisme relatif lebih cepat sehingga enzim yang dihasilkan lebih banyak.

1. Klasifikasi enzim

Klasifikasi enzim dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Berdasarkan tempat bekerjanya enzim dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Endoenzim, disebut juga enzim intraseluler, yaitu enzim yang

bekerja di dalam sel.

2. Eksoenzim, disebut juga enzim ekstraseluler, yaitu enzim yang bekerja di luar sel.

b. Berdasarkan fungsinya enzim dapat dibedakan menjadi enam kelas dan tiap kelas mempunyai beberapa subkelas. Dalam tiap subkelas, nama resmi


(14)

7

dan nomor klasifikasi dari tiap enzim melukiskan reaksi yang dikatalisis berdasarkan IUPAC yaitu :

1. Oksidoreduktase, mengkatalisis reaksi oksidasi-reduksi, meliputi reaksi pemindahan elektron, hidrogen atau oksigen.

2. Transferase, mengkatalisis perpindahan gugus molekul dari suatu molekul ke molekul yang lain, seperti gugus amino, karbonil, metil, asil, glikosil atau fosforil.

3. Hidrolase, mengkatalisis pemutusan ikatan antara karbon dengan berbagai atom lain dengan adanya penambahan air.

4. Liase, mengkatalisis penambahan gugus fungsi dari suatu molekul tanpa melalui proses hidrolisis.

5. Isomerase, mengkatalisis reaksi isomerisasi.

6. Ligase, mengkatalisis reaksi penggabungan dua molekul dengan dibebaskannya molekul pirofosfat dari nukleosida trifosfat. c. Berdasarkan cara terbentuknya dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Enzim konstitutif, yaitu enzim yang jumlahnya dipengaruhi kadar substratnya, misalnya enzim amilase.

2. Enzim adaptif, yaitu enzim yang pembentukannya dirangsang oleh adanya substrat, contohnya enzim

3. β-galaktosidase yang dihasilkan oleh bakteri E.coli yang ditumbuhkan di dalam medium yang mengandung laktosa (Lehninger, 1982).


(15)

8

2. Sifat katalitik enzim

Sifat-sifat katalitik dari enzim sebagai berikut :

a. Enzim mampu meningkatkan laju reaksi pada kondisi biasa (fisiologik) dari tekanan, suhu dan pH.

b. Enzim berfungsi dengan selektivitas tinggi terhadap substrat (substansi yang mengalami perubahan kimia setelah bercampur dengan enzim) dan jenis reaksi yang dikatalisis.

c. Enzim memberikan peningkatan laju reaksi yang tinggi dibanding dengan katalis biasa (Page, 1997).

3. Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim

Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim sebagai berikut : a. Suhu

Enzim mempercepat terjadinya reaksi kimia pada suatu sel hidup. Dalam batas-batas suhu tertentu, kecepatan reaksi yang dikatalisis enzim akan naik bila suhunya naik. Reaksi yang paling cepat terjadi pada suhu optimum (Rodwell, 1988). Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan enzim terdenaturasi (Poedjiadi, 1994). Pada suhu 0oC enzim tidak aktif (tidak rusak) dan dapat kembali aktif pada suhu normal (Lay and Sugyo, 1992). Hubungan antara aktivitas enzim dengan suhu ditunjukkan dalam Gambar 1.


(16)

9

Gambar 1. Hubungan antara aktivitas enzim dengan suhu (Poedjiadi, 1994).

b. pH

Enzim pada umumnya bersifat amfolitik, yang berarti enzim mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya, terutama pada gugus residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya, diperkirakan perubahan kereaktifan enzim akibat perubahan pH lingkungan (Winarno, 1986). Hubungan kecepatan reaksi dengan pH ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan kecepatan reaksi dengan pH (Page, 1997). pH optimum

pH Aktivitas

Suhu Aktivitas


(17)

10

c. Konsentrasi enzim

Konsentrasi enzim secara langsung mempengaruhi kecepatan laju reaksi enzimatik dimana laju reaksi meningkat dengan bertambahnya konsentrasi enzim (Poedjiadi, 1994). Laju reaksi tersebut meningkat secara linier selama konsentrasi enzim jauh lebih sedikit daripada konsentrasi substrat. Hal ini biasanya terjadi pada kondisi fisiologis (Page, 1997). Hubungan antara laju reaksi enzim dengan konsentrasi enzim ditunjukkan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim (Page, 1997).

d. Konsentrasi substrat

Kecepatan reaksi enzimatis pada umumnya tergantung pada konsentrasi substrat. Kecepatan reaksi akan meningkat apabila konsentrasi substrat meningkat. Peningkatan kecepatan reaksi ini akan semakin kecil hingga tercapai suatu titik batas yang pada akhirnya penambahan konsentrasi subtrat hanya akan sedikit meningkatkan kecepatan reaksi (Lehninger, 1982).


(18)

11

e. Aktivator dan inhibitor

Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya.

Aktivator adalah senyawa atau ion yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis. Komponen kimia yang membentuk enzim disebut juga kofaktor. Kofaktor tersebut dapat berupa ion-ion anorganik seperti Zn, Fe, Ca, Mn, Cu atau Mg atau dapat pula sebagai molekul organik kompleks yang disebut koenzim (Martoharsono, 1984).

Menurut Wirahadikusumah (1997) inhibitor merupakan suatu zat kimia tertentu yang dapat menghambat aktivitas enzim. Pada umumnya cara kerja inhibitor adalah dengan menyerang sisi aktif enzim sehingga enzim tidak dapat berikatan dengan substrat dan fungsi katalitik enzim tersebut akan terganggu (Winarno, 1986).

4. Teori pembentukan enzim-substrat

Cara kerja enzim dapat dijelaskan dengan dua teori, yaitu teori kunci-gembok (lock and key theory) dan teori kecocokan yang terinduksi (induced fit


(19)

12

Gambar 4. Teori kunci-gembok dan teori kecocokan induksi (Page, 1997).

Menurut teori kunci-gembok, enzim dan substrat bergabung bersama membentuk kompleks, seperti kunci yang masuk dalam gembok. Hal ini dikarenakan adanya kesesuaian bentuk ruang antara substrat dengan sisi aktif enzim, sehingga sisi aktif enzim cenderung kaku. Di dalam kompleks, substrat dapat bereaksi dengan energi aktivasi yang rendah. Setelah bereaksi, kompleks lepas dan melepaskan produk serta membebaskan enzim.

Sedangkan menurut teori kecocokan yang terinduksi, sisi aktif enzim

merupakan bentuk yang fleksibel. Ketika substrat memasuki sisi aktif enzim, bentuk sisi aktif termodifikasi melingkupi substrat membentuk kompleks. Ketika produk dihasilkan, maka enzim akan dilepaskan dalam bentuk bebas dan dapat bereaksi kembali dengan substrat yang baru.

B. Enzim Selulase

Selulase adalah enzim terinduksi yang disintesis oleh mikroorganisme selama ditumbuhkan dalam medium selulosa (Lee dan Koo, 2001). Selulase termasuk


(20)

13

sistem multi-enzim yang terdiri dari tiga komponen. Untuk menghidrolisis selulosa yang tidak larut atau selulosa kristal diperlukan kerja sinergistik dari ketiga komponen enzim tersebut. Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase dapat dilihat dalam Gambar 5.

Gambar 5. Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase (Lee dan Koo, 2001).

Adapun ketiga komponen enzim tersebut yaitu :

1. Ekso-β-(1,4)-glukanase dikenal sebagai faktor C1. Faktor ini diperlukan

untuk menghidrolisis selulosa dalam bentuk kristal selulosa amorf. 2. Endo-β-(1,4)-glukanase dikenal sebagai faktor Cx. Faktor ini diperlukan

untuk menghidrolisis ikatan β-(1,4)-glukosida pada selulosa amorf menjadi selobiosa.


(21)

14

C. Selulosa

Selulosa merupakan senyawa organik yang paling melimpah di bumi,

diperkirakan sekitar 1011 ton selulosa dibiosintesis per tahun (Fessenden, 1992). Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan glukosa yang

terikat dengan ikatan β-1,4-glikosidik. Molekul selulosa merupakan mikrofibril dari glukosa yang terikat satu dengan lainnya membentuk rantai polimer yang sangat panjang (Fan et al., 1982).

Rumus empiris selulosa adalah (C6H10O5)n, dengan banyaknya satuan glukosa

yang disebut derajat polimerisasi (DP), dimana jumlahnya mencapai 1.200-10.000 dan panjang molekul sekurang-kurangnya 5.000 nm. Berat molekul selulosa rata-rata sekitar 400.000 (Sjostrom, 1995). Adapun struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 6.


(22)

15

Berdasarkan strukturnya, selulosa dapat saja diharapkan mempunyai kelarutan yang tinggi dalam air, akan tetapi dalam kenyataannya selulosa tidak larut dalam air, bahkan pelarut lainnya. Hal ini disebabkan oleh tingginya rigiditas rantai dan gaya rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus –OH pada rantai berdekatan. Faktor ini dipandang sebagai penyebab tingginya kekristalan dari serat selulosa (Cowd and Stark, 1991).

D. Aspergillus niger

Aspergillus niger merupakan fungi dari filum ascomycetes yang berfilamen, mempunyai hifa berseptat, dan dapat ditemukan melimpah di alam. Fungi ini biasanya diisolasi dari tanah, sisa tumbuhan dan udara di dalam ruangan.

Koloninya berwarna putih pada agar dekstrosa kentang (PDA) 25oC dan berubah menjadi hitam ketika konidia dibentuk. Kepala konidia dari Aspergillus niger berwarna hitam, bulat, cendrung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar seiring dengan bertambahnya umur (Rao, 1994). Gambar Aspergillus niger dapat dilihat pada Gambar 7.


(23)

16

Aspergillus niger dapat tumbuh optimum pada suhu 35-37oC, dengan suhu minimum 6-8oC, dan suhu maksimum 45-47oC. Selain itu, dalam proses pertumbuhannya fungi ini memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Dalam metabolismenya Aspergillus niger banyak digunakan sebagai model fermentasi karena fungi ini tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat, oleh karena itu banyak digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat, dan pembuatan enzim selulase (Dwidjoseputro, 2005).

E. Isolasi dan Pemurnian Enzim Selulase

Enzim selulase merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh mikroba selulolitik (Duff and Murray, 1996). Enzim ekstraseluler merupakan enzim yang diproduksi di dalam sel namun bekerja di luar sel, sehingga mudah diisolasi dan dipisahkan dari pengotor lain serta tidak banyak bercampur dengan bahan-bahan sel lain ( Pelczar and Chan, 1986 ).

1. Sentrifugasi

Sentrifugasi merupakan metode yang dapat digunakan untuk memisahkan enzim ekstraseluler dari sisa-sisa sel. Sentrifugasi akan menghasilkan enzim terlarut dalam bentuk filtrat yang jernih dan sisa - sisa sel lain serta pengotor dalam bentuk endapan yang terikat kuat pada dasar tabung. Sel-sel mikroba biasanya mengalami sedimentasi pada kecepatan 5000 rpm selama 15 menit (Scopes, 1982; Walsh and Headon, 1994).


(24)

17

Prinsip sentrifugasi berdasarkan pada kenyataan bahwa setiap partikel yang berputar pada laju sudut yang konstan akan memperoleh gaya keluar (F). Besar gaya ini bergantung pada laju sudut ω (radian/detik) dan radius pertukarannya (sentimeter).

F = ω2 r

Gaya F dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi, karena itu dinyatakan sebagai gaya sentrifugal relatif (RCF dengan satuan g (gravitasi).

RCF = 980

2 r

Dalam praktiknya, alat sentrifugasi dioperasikan dengan laju rpm. Oleh sebab itu, harga rpm dikonversikan kedalam bentuk radian menggunakan persamaan:

ω =

30 

rpm

RCF = (πrpm)2

r x 2 30 980

RCF = (1.119x10-5)(rpm)2r (Cooper, 1997 dalam Sariningsih, 2000).

2. Fraksinasi menggunakan ammonium sulfat [(NH4)2SO4]

Fraksinasi merupakan proses pengendapan protein atau enzim dengan penambahan senyawa elektrolit seperti garam ammonium sulfat, natrium klorida atau natrium sulfat. Menurut Suhartono (1989), penambahan senyawa elektrolit ke dalam larutan yang mengandung protein dapat menyebabkan terjadinya proses pengendapan protein. Proses pengendapan protein tersebut dipengaruhi oleh kekuatan ion dalam larutan. Dengan meningkatnya kekuatan


(25)

18

ion, kelarutan enzim akan semakin besar atau disebut dengan peristiwa salting in, setelah mencapai suatu titik tertentu, dimana kandungan garam semakin tinggi akan menyebabkan kelarutan protein semakin menurun dan terjadi proses pengendapan protein. Peristiwa pengendapan protein ini disebut salting out (Wirahadikusumah, 1989). Pada kekuatan ion rendah, protein akan terionisasi sehingga interaksi antar protein akan menurun dan kelarutan akan meningkat. Peningkatan kekuatan ion ini meningkatkan kadar air yang terikat pada ion, dan jika interaksi antar ion kuat, kelarutannya menurun akibatnya interaksi antar protein lebih kuat dan kelarutannya menurun (Agustien and Munir, 1997)

Senyawa elektrolit yang sering digunakan untuk mengendapkan protein ialah ammonium sulfat. Kelebihan ammonium sulfat dengan dibandingkan dengan senyawa-senyawa elektrolit lain ialah memiliki kelarutan yang tinggi, tidak mempengaruhi aktivitas enzim, mempunyai daya pengendap yang efektif, efek penstabil terhadap kebanyakan enzim, dapat digunakan pada berbagai pH dan harganya murah (Scopes, 1982).

3. Dialisis

Dialisis merupakan metode yang digunakan untuk memurnikan larutan protein atau enzim yang mengandung garam setelah proses fraksinasi berdasarkan pada sifat semipermeabel membran. Proses dialisis dilakukan dengan memasukkan larutan enzim ke dalam kantung dialisis yang terbuat dari membran semipermeabel (selofan). Selanjutnya, kantung yang berisi larutan protein atau enzim dimasukkan ke dalam larutan bufer sambil


(26)

diputar-19

putar. Selama proses tersebut, molekul kecil yang ada di dalam larutan protein atau enzim seperti garam anorganik akan keluar melewati pori-pori membran, sedangkan molekul protein atau enzim yang berukuran besar tetap tertahan dalam kantung dialisis. Keluarnya molekul menyebabkan distribusi ion-ion yang ada di dalam dan di luar kantung dialisis tidak seimbang. Untuk memperkecil pengaruh ini digunakan larutan bufer dengan konsentrasi rendah di luar kantung dialisis (Lehninger, 1982). Setelah tercapai keseimbangan, larutan di luar kantung dialisis diganti dengan larutan yang baru agar konsentrasi ion-ion di dalam kantung dialisis dapat dikurangi.

Proses ini dapat dilakukan secara terus menerus sampai ion-ion di dalam kantung dialisis dapat diabaikan (Mc Phie, 1971 dalam Boyer 1993). Difusi zat terlarut bergantung pada suhu dan viskositas larutan. Meskipun suhu tinggi dapat meningkatkan laju difusi, namun sebagian besar protein dan enzim stabil pada suhu 4-8°C sehingga dialisis harus dilakukan di dalam ruang dingin (Pohl, 1990).

F. Pengujian Aktivitas Selulase dengan Metode Mandels

Pengujian aktivitas selulase dilakukan dengan metode Mandels (Mandels et al.,1976), yaitu berdasarkan pembentukan glukosa dari substrat Carboxymethyl Cellulase (CMC) oleh enzim selulase yang dideteksi dengan penambahan pereaksi DNS (dinitrosalisilic acid) ke dalam larutan uji serta proses pemanasan, sehingga akan dihasilkan larutan berwarna kuning hingga merah pekat. Semakin pekat warna larutan sampel dibandingkan larutan kontrol, maka semakin tinggi aktivitasnya .


(27)

20

G. Penentuan Kadar Protein dengan Metode Lowry

Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan kadar protein adalah metode Lowry. Metode ini bekerja pada lingkungan alkali dan ion tembaga (II) bereaksi membentuk kompleks dengan protein. Selanjutnya reagen

folin-ciocelteau yang ditambahkan akan mengikat protein. Ikatan ini secara perlahan akan mereduksi reagen folin menjadi heteromolibdenum dan merubah warna larutan dari kuning menjadi biru keunguan.

Pada metode ini, pengujian kadar protein didasarkan pada pembentukan komplek Cu2+ dengan ikatan peptida yang akan tereduksi menjadi Cu+ pada kondisi basa. Cu+ dan rantai samping tirosin, triptofan, dan sistein akan bereaksi dengan reagen folin-ciocelteau. Reagen ini bereaksi menghasilkan produk yang tidak stabil yang tereduksi secara lambat menjadi molybdenum atau tungesteen blue. Protein akan menghasilkan intensitas warna yang berbeda tergantung pada kandungan triptofan dan tirosinnya.

Metode ini relatif sederhana dan dapat diandalkan serta biayanya relatif murah. Namun, kekurangan dari metode ini adalah sensitif terhadap perubahan pH dan konsentrasi protein yang rendah. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan volume sampel dalam jumlah kecil sehingga tidak

mempengaruhi reaksi (Lowry et al., 1951).

H. Modifikasi Kimia

Menurut Mozhaev dan Martinek (1984), ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan stabilitas enzim yaitu, amobilisasi, modifikasi kimia dan


(28)

21

mutagenesis terarah. Modifikasi kimia merupakan metode yang lebih disukai untuk mendapatkan enzim yang stabil. Hal ini dikarenakan dalam amobilisasi enzim, terjadi penghambatan transfer massa oleh matriks pengamobil sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas pengikatan maupun reaktivitas enzim. Sedangkan mutagenesis terarah memerlukan informasi yang lengkap mengenai struktur primer dan struktur tiga dimensi enzim tersebut.

Menurut Janecek (1993), modifikasi kimia merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan stabilitas enzim yang larut dalam air. Keunggulan dari metode modifikasi kimia dibandingkan dengan metode amobilisasi enzim adalah : (1) interaksi antara enzim dengan substrat tidak terhalangi oleh adanya matriks yang tidak larut, sehingga penurunan aktivitas enzim dapat ditekan. (2) Pada proses amobil, mekanisme kerja enzim yang digunakan dalam bidang klinik selama interaksi dengan reseptor atau komponen lain dari membran seluler, kemungkinan berubah karena keberadaan matriks pendukung (Nubarov et al., 1987).

Untuk mendapatkan enzim hasil modifikasi kimia dengan ikatan kovalen yang stabil menurut Mozhaev et al., (1990), adalah dengan melakukan : (1) modifikasi dengan menggunakan pereaksi bifungsional (pembentukan ikatan silang antara gugus-gugus fungsi pada permukaan protein), (2) modifikasi kimia dengan menggunakan pereaksi nonpolar (meningkatkan interaksi hidrofobik), (3)

penambahan gugus polar bermuatan atau polar baru (menambah ikatan ionik atau hidrogen), (4) hidrofilisasi permukaan protein (mencegah terjadinya kontak antara gugus hidrofobik dengan lingkungan berair yang tidak disukainya).


(29)

22

Menurut Nubarov et al., (1987), hidrofilisasi permukaan enzim dapat dilakukan dengan dua cara modifikasi langsung berbagai asam amino hidrofobik yang membentuk tapak-tapak hidrofobik pada permukaan enzim dengan pereaksi hidrofilik, atau hidrofilisasi terhadap asam amino yang berada dekat dengan tapak hidrofobik sehingga tapak tersebut terlindungi dari lingkungan berair.

Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Khajeh et al., (2004), dijelaskan bahwa senyawa sitrakonat anhidrida merupakan reagen spesifik yang digunakan untuk memblok gugus amino pada residu lisin. Modifikator ini menghasilkan dua produk ikatan peptida yang dibentuk dari kedua gugus karbonil pada struktur molekulnya yang ditunjukkan dalam Gambar 8.

Gambar 8. Reaksi sitrakonat anhidrida dan gugus amina (Sundari, 2011).

Reaksi modifikasi ini diawali dengan pembukaan cincin sitrakonat anhidrida dengan suasana basa pada pH 8 dan kemudian gugus karbonil dari sitrakonat anhidrida berikatan dengan gugus amino pada residu lisin. Gambar 9

menunjukkan reaksi yang terjadi antara sitrakonat dengan gugus amino suatu protein seperti yang telah dilaporkan oleh Khajeh et al., (2004).

Molekul dengan ikatan amina

Sitrakonat anhidrida

Cincin terbuka dan membentuk ikatan amida


(30)

23

Gambar 9. Modifikasi gugus amina suatu residu lisin dalam protein oleh sitrakonat anhidrida (Sundari, 2011).

I. Kinetika Reaksi Enzim

Parameter dalam kinetika reaksi enzim adalah konstanta Michaelis-Menten (KM) dan laju reaksi maksimum (Vmaks). Berdasarkan postulat Michaelis dan

Menten pada suatu reaksi enzimatis terdiri dari beberapa fase yaitu

pembentukan kompleks enzim substrat (ES), dimana E adalah enzim dan S adalah substrat, modifikasi dari substrat membentuk produk (P) yang masih terikat dengan enzim (EP), dan pelepasan produk dari molekul enzim (Shahib, 2005).

Setiap enzim memiliki sifat dan karakteristik yang spesifik seperti yang ditunjukkan pada sifat spesifisitas interaksi enzim terhadap substrat yang dinyatakan dengan nilai tetapan Michaelis-Menten (KM). Nilai KM

didefinisikan sebagai konsentrasi substrat tertentu pada saat enzim mencapai kecepatan setengah kecepatan maksimum. Setiap enzim memiliki nilai KM

dan Vmaks yang khas dengan substrat spesifik pada suhu dan pH tertentu

(Kamelia et al., 2005). Nilai KM yang kecil menunjukkan bahwa kompleks


(31)

24

sedangkan jika nilai KM suatu enzim besar maka enzim tersebut memiliki

afinitas rendah terhadap substrat (Page, 1997).

Nilai KM suatu enzim dapat dihitung dengan persamaan Lineweaver-Burk

yang diperoleh dari persamaan Michaelis-Menten yang kemudian dihasilkan suatu diagram Lineweaver-Burk yang ditunjukkan Gambar 9 (Page, 1997).

Gambar 10. Diagram Lineweaver-Burk ( Suhartono, 1989).

Persamaan Lineweaver-Burk [S] [S] K 1 M

0 Vmaks V

 

 

maks

maks M V S V K V 1 1 1 0   ma ks V 1 0 1 V M K 1

 

S

1 maks M V K Slope

 

[S] K S V M maks 0 


(32)

25

J. Stabilitas Enzim

Menurut Kazan et al., (1997), stabilitas enzim dapat diartikan sebagai kestabilan aktivitas enzim selama penyimpanan dan penggunaan enzim tersebut, serta kestabilan terhadap senyawa yang bersifat merusak seperti pelarut tertentu (asam atau basa), oleh pengaruh suhu dan kondisi – kondisi nonfisiologis lainnya.

Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan enzim yang

mempunyai stabilitas tinggi, yaitu menggunakan enzim yang memiliki stabilitas ekstrim alami dan mengusahakan peningkatan stabilitas enzim yang secara alami tidak atau kurang stabil, salah satunya adalah dengan cara memodifikasi enzim menggunakan zat kimia tertentu.

1. Stabilitas termal enzim

Pada suhu yang terlalu rendah stabilitas enzim tinggi, namun aktivitasnya rendah, sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi aktivitas enzim tinggi, tetapi kestabilannya rendah. Kenaikan suhu akan mempengaruhi kecepatan laju reaksi enzim, namun hanya sampai batas tertentu dan selanjutnya akan terjadi proses denaturasi protein. Daerah suhu saat stabilitas dan aktivitas enzim cukup besar disebut suhu optimum untuk enzim tersebut (Wirahadikusumah, 1997).

Dalam industri, umumnya reaksi-reaksi dilakukan pada suhu tinggi hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat kontaminasi dan masalah-masalah viskositas serta meningkatkan laju reaksi. Namun, suhu yang tinggi ini


(33)

26

merupakan masalah utama dalam stabilitas enzim, karena enzim umumnya tidak stabil pada suhu tinggi.

Proses inaktivasi enzim pada suhu tinggi berlangsung dalam dua tahap, yaitu: a. Adanya pembukaan partial (partial unfolding) struktur sekunder, tersier,

atau kuartener molekul enzim.

b. Perubahan struktur primer enzim karena adanya kerusakan asam amino - asam amino tertentu oleh panas (Ahern and Klibanov, 1987).

Air memegang peranan penting pada kedua tahap di atas. Oleh karena itu, dengan menggunakan air seperti pada kondisi mikroakuos, reaksi inaktivasi oleh panas dapat diperlambat dan stabilitas termal enzim akan meningkat.

Stabilitas termal enzim akan jauh lebih tinggi dalam kondisi kering dibandingkan dalam kondisi basah. Adanya air sebagai pelumas membuat konformasi suatu molekul enzim menjadi sangat fleksibel, sehingga bila air dihilangkan molekul enzim akan menjadi lebih kaku (Virdianingsih, 2002).

2. Stabilitas pH enzim

Stabilitas enzim dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu, pH, pelarut, kofaktor dan kehadiran surfaktan (Eijsink et al., 2005). Dari faktor-faktor tersebut pH memegang peranan penting. Diperkirakan perubahan keaktifan pH lingkungan disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau kompleks enzim-substrat. Enzim menunjukkan aktivitas maksimum pada kisaran pH optimum enzim dengan stabilitas yang tinggi (Winarno, 1989).


(34)

27

Pada reaksi enzimatik, sebagian besar enzim akan kehilangan aktivitas katalitiknya secara cepat dan irreversible pada pH yang jauh dari rentang pH optimum untuk reaksi enzimatik. Inaktivasi ini terjadi karena unfolding molekul protein sebagai hasil dari perubahan kesetimbangan elektrostatik dan ikatan hidrogen (Kazan et al., 1997).


(35)

28

III. METODELOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei-November 2013 di Laboraturium Biokimia Jurusan Kimia, Laboraturium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung serta

Laboraturium Biomassa terpadu Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas, pembakar spiritus, jarum ose, kertas pH universal, mikropipet Eppendroff, neraca analitik, termometer, magnetic stirrer, lemari pendingin, kantong selofan, batang pengaduk kaca, kompor gas, sentrifuga, autoclave model S-90N, oven, penangas, waterbath shaker incubator STUART SSL2, laminar air flow CRUMA model 9005-FL, waterbath incubator HAAKE dan spektrofotometer UV-VIS Cary Win UV 32.

Adapun bahan-bahan yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA), (NH4)2SO4, KH2PO4, CaCl2, MgSO4, urea, FeSO4.7H2O, ZnSO4.7H2O, CoCl2,

pepton, glukosa, NaOH, Na2CO3, CuSO4.5H2O, Carboxymethyl Cellulase (CMC),


(36)

29

asam sitrat, pereaksi DNS (dinitrosalisilic acid), fenol, Na2SO3, alkohol, Bovine

Serum Albumin (BSA), dan sitrakonat anhidrida (Merck kode produk:

8413210100). Adapun mikroorganisme yang digunakan adalah jamur Aspergillus niger L-51 penghasil enzim selulase yang diperoleh dari Laboraturium

Mikrobiologi dan Teknologi Bioproses Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung.

C. Prosedur Penelitian

1. Pembuatan Medium Inokulum, Inokulasi Aspergillus niger L-51, Produksi Enzim selulase dan Pembuatan Larutan Pereaksi

a. Pembuatan medium inokulum

Medium inokulum yang digunakan (gL-1) terdiri dari (NH4)2SO4 1,4;

KH2PO4 2,0; urea 0,3; CaCl2 0,3; MgSO4 0,3; FeSO4.7H2O 0,005;

ZnSO4.7H2O 0,0014; CoCl2 0,002; pepton 0,75; glukosa 7,5 yang

dilarutkan dalam bufer fosfat pH 5,5, kemudian disterilkan pada suhu 121oC, tekanan 1 atm, selama 15 menit dalam autoclave.

b. Inokulasi Aspergillus niger L-51

Sebanyak 5 ose Aspergillus niger L-51 dari media agar miring dipindahkan ke dalam 100 mL medium inokulum secara aseptis lalu dikocok dalam Waterbath shaker incubator dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 35oC selama 56 jam.


(37)

30

c. Produksi enzim selulase

Produksi enzim selulase dilakukan dengan memindakan secara aseptis 20 mL (2% dari total volume media fermentasi) ke dalam media fermentasi yang terdiri dari (g.L-1) (NH4)2SO4 1,4; KH2PO4 2,0; urea 0,3; CaCl2

0,3; MgSO4 0,3; FeSO4.7H2O 0,005; ZnSO4.7H2O 0,0014; CoCl2

0,002; pepton 0,75; CMC 7,5, dilarutkan dalam bufer fosfat pH 5. Selanjutnya media fermentasi yang telah berisi 2% medium inokulum dikocok dalam waterbath shaker incubator dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 32oC selama 64 jam.

d. Pembuatan pereaksi untuk pengukuran aktivitas enzim selulase metode Mandels (Mandels et al, 1976)

Ke dalam labu ukur 100 ml, dimasukkan 1% DNS (dinitrosalisilic acid), 1% NaOH, 1 mL Na(K) tartarat 40%, 0,2% fenol, dan 0,05% Na2SO3,

kemudian dilarutkan dalam 100 mL akuades hingga tanda batas.

e. Pembuatan pereaksi untuk penentuan kadar protein enzim selulase metode Lowry

Pereaksi A : 2 gram Na2CO3 dilarutkan dalam 100 mL NaOH

0,1 N.

Pereaksi B : 5 mL larutan CuSO4.5H2O 1% ditambahkan ke

dalam 5 mL larutan Na(K) tartarat 1%.

Pereaksi C : 2 mL pereksi B ditambahkan 100 mL pereaksi A Pereaksi D : reagen folin ciocelteau diencerkan dengan akuades


(38)

31

Larutan standar : larutan BSA (Bovine Serum Albumin) dengan kadar 0, 20, 40, 60, 80, 100, 120, dan 140 ppm.

2. Isolasi dan Pemurnian Enzim Selulase a. Isolasi enzim selulase

Isolasi enzim selulase dilakukan menggunakan metode sentrifugasi. Prinsip sentrifugasi berdasarkan kecepatan sedimentasi dengan cara pemusingan. Sentrifugasi digunakan untuk memisahkan enzim

ekstraseluler dari sisa-sisa sel. Sentrifugasi dilakukan pada suhu rendah (di bawah suhu kamar) untuk menjaga kehilangan aktivitas enzim (Suhartono, 1989). Setelah media fermentasi yang berisi Aspergillus niger L-51 dikocok menggunakan Waterbath shaker incubator pada suhu 32oC selama 64 jam, selanjutnya enzim dipisahkan dari komponen sel lainnya dengan sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm dan suhu 4oC selama 25 menit. Filtrat yang diperoleh merupakan ekstrak kasar enzim yang selanjutnya dilakukan uji aktivitas enzim selulase dengan metode Mandels serta pengukuran kadar protein dengan metode Lowry.

b. Pemurnian enzim selulase

Pemurnian enzim selulase dilakukan dengan 2 tahap, yaitu fraksinasi menggunakan ammonium sulfat dan dialisis.

1. Fraksinasi dengan ammonium sulfat [(NH4)2SO4]

Ekstrak kasar enzim yang diperoleh dimurnikan dengan metode fraksinasi menggunakan garam ammonium sulfat pada berbagai


(39)

32

derajat kejenuhan yaitu 0-15%; 15-30%; 30-45%; 45-60% dan 60-80%. Skema proses pengendapan protein enzim dengan penambahan ammonium sulfat ditunjukkan pada Gambar 11. Adapun proses pengerjaannya yaitu ekstrak kasar enzim yang diperoleh diukur voumenya, selanjutnya dilakukan penambahan garam ammonium sulfat yang telah dihaluskan secara perlahan sambil diaduk dengan magnetik stirer pada suhu 4oC. Endapan protein enzim yang didapatkan pada tiap fraksi kejenuhan amonium sulfat selanjutnya dipisahkan dari filtratnya dengan sentrifugasi dingin pada kecepatan 5000 rpm selama 20 menit. Kemudian endapan yang diperoleh dilarutkan dengan bufer fosfat 0,1 M pH 6,0 dan diuji aktivitasnya dengan metode Mandels, serta diukur kadar proteinnya dengan metode Lowry untuk mengetahui fraksi-fraksi yang mengandung enzim selulase dengan aktivitas spesifik yang tinggi. Filtrat yang didapat dari fraksi 0-15% digunakan untuk diendapkan kembali dengan fraksi kejenuhan 15-30% dengan prosedur yang sama dan seterusnya sampai fraksi 60-80%. Setelah diketahui fraksi-fraksi yang mengandung enzim selulase dengan aktivitas spesifik tertinggi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan fraksinasi ulang pada tingkat fraksi tersebut, sehingga enzim dapat terendapkan secara maksimal (Yandri et al., 2010).


(40)

33

Gambar 11. Skema pengendapan protein enzim dengan ammonium sulfat.

2. Dialisis

Endapan enzim yang telah dilarutkan dari tiap fraksi amonium sulfat dengan aktivitas spesifik tertinggi dimasukkan ke dalam kantong selofan dan didialisis dengan bufer fosfat 0,01 M pH 6 selama 24 jam pada suhu dingin (Pohl, 1990). Selama dialisis, dilakukan pergantian bufer setiap 6 jam agar konsentrasi ion-ion di dalam kantong dialisis dapat dikurangi. Proses ini dilakukan secara kontinyu sampai ion-ion di dalam kantong dialisis dapat diabaikan. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas dengan metode Mandels, serta diukur kadar proteinnya dengan metode Lowry.

+ (NH4)2SO4 (0-15%)

+ (NH4)2SO4 (15-30%)

Ekstrak Kasar Enzim

Endapan(F1) Filtrat

Endapan(F2) Filtrat

Endapan(F3) Filtrat

+ (NH4)2SO4 (30-45%)

Endapan(F4) Filtrat

+ (NH4)2SO4 (45-60%)

+ (NH4)2SO4 (60-80%)


(41)

34

3. Uji Aktivitas Enzim Selulase

a. Pembuatan standar glukosa metode Mandels

Standar glukosa dibuat dengan variasi konsentrasi 0-1,4 mg/mL. Sebanyak 0,25 mL akuades, 0,25 larutan glukosa konsentrasi 0-1,4 mg/mL dalam bufer fosfat pH 5,0 dicampur lalu diinkubasi selama 60 menit pada suhu 50oC. Kemudian ditambahkan 1 mL pereaksi DNS dan dididihkan selama 10 menit pada penangas air. Selanjutnya ditambahkan 1,5 mL akuades lalu

didinginkan. Setelah dingin, serapannya diukur menggunakan

spektrofotometer UV-VIS pada 510 nm. Selanjutnya, absorbansi masing-masing larutan diplotkan terhadap konsentrasinya sehingga diperoleh nilai slope, intercept, dan R2.

b. Uji aktivitas enzim selulase metode Mandels (Mandels et al., 1976)

Metode ini didasarkan pada glukosa yang terbentuk (Mandels et al., 1976). Sebanyak 0,25 mL enzim, 0,25 larutan CMC 0,5% dalam bufer fosfat pH 5,0 dicampur lalu diinkubasi selama 60 menit pada suhu 50oC. Kemudian ditambahkan 1 mL pereaksi DNS dan dididihkan selama 10 menit pada penangas air. Selanjutnya ditambahkan 1,5 mL akuades lalu didinginkan. Setelah dingin, serapannya diukur menggunakan spektrofotometer UV-VIS

pada 510 nm. Kadar glukosa yang terbentuk ditentukan dengan

mengunakan kurva standar glukosa. Penentuan aktivitas enzim selulase dengan menggunakan metode Mandels ini dilakukan pada tahap isolasi, pemurnian, penentuan KM dan Vmaks,dan karakterisasi enzim.


(42)

35

c. Penentuan kadar protein metode Lowry (Lowry et al., 1951)

Kadar protein enzim ditentukan dengan metode Lowry (Lowry et al., 1951). Sebanyak 0,1 mL enzim selulase ditambahkan 0,9 mL akuades lalu

direaksikan dengan 5 mL pereaksi C dan diaduk rata. Kemudian dibiarkan selama 10 menit pada suhu ruang. Setelah itu ditambahkan dengan cepat 0,5 mL pereaksi D dan diaduk dengan sempurna, didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Untuk kontrol, 0,1 mL enzim diganti dengan 0,1 mL akuades, selanjutnya perlakuannya sama seperti sampel. Serapannya diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 750 nm. Untuk menentukan konsentrasi protein enzim digunakan kurva standar BSA (Bovine Serum Albumin). Penentuan kadar protein enzim selulase dengan menggunakan metode Lowry ini dilakukan pada tahap isolasi dan pemurnian.

4. Modifikasi Kimia Enzim Selulase dengan Sitrakonat Anhidrida Residu lisin pada suatu enzim secara spesifik dapat dimodifikasi dengan sitrakonat anhidrida yang prosedurnya telah dilaporkan oleh Khajeh et al., (2001). Sebanyak 10 mL enzim hasil pemurnian dalam 10 mL larutan bufer fosfat pH 8 ditambahkan reagen sitrakonat anhidrida sebanyak 20 L secara bertahap. Setiap penambahan reagen, pH larutan dijaga konstan pada pH 8 dengan menambahkan larutan Na2HPO4. 7H2O lalu diaduk mengunakan

magnetic stirrer selama 60 menit. Penambahan reagen sitrakonat dilakukan dengan variasi volume sebagai berikut : 30 L, 40 L dan50 L dan dilakukan dengan prosedur yang sama.


(43)

36

5. Karakterisasi Enzim Selulase Hasil Pemurnian dan Hasil Modifikasi Karakterisasi enzim selulase hasil pemurnian dan hasil modifikasi yang dilakukan meliputi :

a. Penentuan pH dan suhu optimum 1) Penentuan pH optimum

Untuk mengetahui pH optimum enzim sebelum dan sesudah modifikasi digunakan bufer sitrat 0.1 M dan bufer fosfat 0,1 M dengan variasi pH sebagai berikut : 4; 4,5; 5; 5,5; 6; 6,5; 7; 7,5 dan 8. Suhunya dijaga tetap pada 50°C, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran aktivitas enzim dengan metode Mandels dan kadar proteinnya dengan metode Lowry.

2) Penentuan suhu optimum

Untuk mengetahui suhu optimum kerja enzim dilakukan dengan variasi suhu yaitu 45; 50; 55; 60; 65; 70, 75 dan 80°C, pH tetap dijaga pada pH optimum. Selanjutnya diukur aktivitas enzim dengan metode Mandels dan kadar proteinnya dengan metode Lowry.

b. Penentuan data kinetika enzim (nilai KM dan Vmaks)

Konstanta Michaelis-Menten (KM) dan laju reaksi maksimum (Vmaks)

enzim sebelum dan sesudah modifikasi ditentukan dari kurva Lineweaver-Burk. Kurva Lineweaver-Burk dibuat dengan menguji aktivitas enzim selulase dengan variasi konsentrasi substrat 0,2; 0,4;


(44)

37

0,6; 0,8 dan 1% dalam bufer fosfat pH 5 dan suhu 50oC selama 60 menit. Selanjutnya diukur aktivitas enzim dengan metode Mandels.

c. Uji stabilitas termal dan stabilitas pH enzim (Yang et al., 1996)

Penentuan stabilitas termal enzim dilakukan dengan mengukur aktivitas sisa enzim setelah diinkubasi selama periode waktu 100 menit pada pH dan suhu optimum hasil penentuan sebelumnya. Caranya adalah dengan mengukur aktivitas enzim menggunakan metode Mandels setelah proses pemanasan setiap interval waktu 10 menit. Aktivitas awal enzim (tanpa proses pemanasan) diberi nilai 100%.

Aktivitas sisa =

perlakuan) (tanpa

awal enzim Aktivitas

perlakuan setelah

enzim Aktivitas

x 100%

(Virdianingsih, 2002).

d. Penentuan waktu paruh (t1/2), konstanta laju inaktivasi (ki) dan

perubahan energi akibat denaturasi (∆Gi)

Penentuan nilai ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim selulase hasil

pemurnian dan hasil modifikasi kimia dilakukan dengan menggunakan persamaan kinetika inaktivasi orde 1 (Kazan et al., 1997) yaitu :

ln (Ei/E0) = - ki t

Sedangkan untuk perubahan energi akibat denaturasi (∆Gi) enzim hasil

pemurnian dan hasil modifikasi kimia dilakukan dengan menggunakan persamaan (Yandri et al., 2007) :


(45)

38

Keterangan :

R = konstanta gas (8,315 J K-1 mol-1) T = suhu absolut (K)

ki = konstanta laju inaktivasi termal

h = konstanta Planck (6,63 x 10-34 J det) kB = konstanta Boltzmann (1,381 x 10-23 JK-1)

Secara keseluruhan, penelitian ini terangkum dalam diagram alir penelitian yang ditunjukkan dalam Gambar 12.


(46)

39

Gambar 12. Diagram alir penelitian. Ekstrak kasar enzim selulase

Enzim hasil pemurnian

Enzim hasil pemurnian Modifikasi kimia

Enzim modifikasi

Karakterisasi enzim

Penentuan pH dan suhu optimum

Penentuan Km dan Vmaks

Penentuan stabilitas termal dan pH optimum

Uji aktivitas enzim metode Mandels

dan penentuan

kadar protein metode Lowry Pemurnian :

1. Fraksinasi 2. Dialisis Aspergillus niger L-51

Inokulum Fermentasi Sentrifugasi


(47)

58

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Ekstrak kasar enzim selulase yang digunakan dalam penelitian ini dihasilkan

setelah diinkubasi selama 64 jam pada pH 5 dan suhu 320C, memiliki aktivitas Unit sebesar 0,5189.

2. Aktivitas spesifik enzim selulase hasil pemurnian 40,6094 U/mg, meningkat 13 kali dibandingkan dengan ekstrak kasar enzim yang mempunyai aktivitas spesifik 3,1046 U/mg.

3. Enzim hasil pemurnian mempunyai pH optimum 4,5; suhu optimum 50oC ; KM

= 79,96 mg/mL substrat ; Vmaks = 10,14 μmol/mL.menit ; ki = 0,0277 menit-1;

t1/2 = 25,02 menit ; ΔGi = 99,96 kJ/mol.

4. Enzim hasil modifikasi dengan sitrakonat anhidrida 20 μL;30μL; 40μL dan

50μL mempunyai pH optimum 4; suhu optimum 50oC ; KM berturut-turut

sebagai berikut: 124,24 mg/mL; 22,11 mg/mL; 36,27 mg/mL dan 4877 mg/mL; Vmaks berturut-turut sebagai berikut: 7,22 μmol/mL.menit; 1,47

μmol/mL.menit; 2,54 μmol/mL.menit dan2,99 μmol/mL.menit; ki

berturut-turut sebagai berikut: 0,0202; 0,0163; 0,0207 dan 0,0248 menit-1 ; waktu paruh berturut-turut sebagai berikut : 34,31 menit; 42,52 menit, 33,48 menit dan


(48)

58

27,94; ΔGi berturut-turut sebagai berikut : 100,81 kJ/mol; 101,38 kJ/mol;

100,74 kJ/mol dan 100,25 kJ/mol.

5. Pada penelitian ini, berdasarkan nilai ki,t1/2 dan ΔGi enzim yang dimodifikasi

dengan sitrakonat anhidrida 30 µL memiliki tingkat kestabilan tertinggi.

6. Peningkatan stabilitas enzim selulase dari Aspergillus niger L-51, meliputi kestabilan terhadap pH, suhu dan uji stabilitas termal dapat dilakukan dengan cara modifikasi kimia menggunakan sitrakonat anhidrida sehingga dapat diperoleh enzim dengan stabilitas tinggi dan dapat digunakan dalam proses industri yang membutuhkan lingkungan ekstrim.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan untuk mencari kondisi optimum untuk memproduksi enzim selulase sehingga dihasilkan enzim dengan aktivitas yang lebih tinggi, mencari metode pemurnian lain untuk enzim selulase dari Aspergillus niger L-51 lain sehingga dapat dihasilkan enzim dengan tingkat kemurnian tinggi. Pada setiap proses yang melibatkan enzim, khususnya enzim selulase disarankan menggunakan frezeer, es atau dilakukan dalam ruangan dingin, karena enzim sangat rentan terhadap suhu.


(49)

59

DAFTAR PUSTAKA

Ahern, T.J. and A.M. Klibanov. 1987. Why do enzyme irreversibly inactive at high temperature. Biotec 1. Microbial Genetic Engineering and Enzyme Technology. Gustav Fischer. Stuttgart. New York.

Akiba, S., Y. Kiniura, K. Yamamoto, H. Kumagai. 1995. Purification and characterization of a protease.resistant cellulase from Aspergillus niger. Bioengineering. 79:125-130.

Anggraini, N. 2011. Peningkatan Kestabilitas Enzim α-amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148 Dengan Modifikasi Kimia Menggunakan Asam Glioksilat. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Apriyanti. 2010. Peningkatan Kestabilitas Enzim α-amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148 Dengan Modifikasi Kimia Menggunakan Dimetiladipimidat. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Boyer, R.F. 1993. Modern Experimental Biochemistry. Benjamin Cumming Publising Company. California.

Busto, M.D., N. Ortega, M. Perez-Mateos. 1995. Induction of β-glukosidase in fungal and soil bacterial cultures. Soil Biology and Biochemistry. 27: 949-954.

Duff, S.J.B and Murray, W.D. 1996. Bioconvertion of forest products industry waste cellulosics to fuel ethanol: a review. Bioresource Technology. 55. 1–33.

Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Malang Halaman 180-181.


(50)

60

Eijnsink, G.H., Sirgit, G. Torben, V. Bertus van de Burg. 2005. Directed Evolution of Enzyme Stability. Biomolecular Engineering. Elsevier Science Inc. New York. 23:21-30.

Fan, L.T., Y.H. Lee, M.M. Gharpuray. 1982. The nature of lignocellulosics and their pretreatment for enzymztic hydrolysis. Advances in Biochemical Engineering. 23: 158-187.

Fessenden,R.J. and Fessenden, J.S. 1992. Kimia Organik Jilid II. Erlangga. Jakarta. 395-396.

Francis, G.E., C. Delgado and D. Fisher. 1992. PEG-modified Proteins In Stability of Protein Pharmaceuticals Part B. Ahern, T.J. and M. C. Manning editor. Plenum Press. New York. 246-247.

Goddete, D.W, C. Terri, F.L. Beth, L. Maria, R.M. Jonathan, P.Christian, B.R. Robert, S.Y.Shiow, C.R. Wilson. 1993. Strategy and implementation of a system for protein engineering. Journal of Biotechnology. 28: 41-54.

Gunam, I.B.W, Hardiman, T. Utami, 2004. Chemical Pretreatments on Bagasse to Enhance Hydrolysis of Its Cellulose Enzymatically. The 3th Hokkaido Indonesian Student Association Scientific meeting (HISAS 3). Sapporo.

Janecek, S. 1993. Strategies for Obtaining Stable Enzymes. Process Biochemistry. 28. 435-445.

Junita. 2002. Mempelajari Stabilitas Termal Enzim Protease dari Bacillus stearothermophillus Dalam Pelarut Heksana, Toluena, dan Benzena. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kamelia,R, Muliawati S, Dessy N. 2005. Isolasi dan karakterisasi protease intraseluler termostabil dari Bakteri Bacillus stearothermophilus RP1. Seminar Nasional MIPA. Departemen Kimia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kazan, D, H. Ertan, A. Erarslan. 1997. Stabilization of Escherichia coli Penicillin G Acylase agains thermal Inactivation by cross-linking with dextran dialdehyde polymers. Applied. Microbiology and Biotechnology. 48: 191-197.


(51)

61

Khajeh, K, Naderi-Manesh, H., Ranjbar, B., Moosavi-Movahedi, A. A, Nemat-Gorgani, M. 2001. Chemical Modification of Lysine Residues in Bacillus Alpha-Amylases: Effect on Activity And Stability. Enzyme Microbiology Technology. 28: 543-549.

Khajeh, K., Azadeh E.H. and Mohsen N. G. 2004. Chemical Modification of Lysine Residue in Bacillus lincheniformis α-Amylase : Conversion of An Endo to Exo Type Enzyme. Journal Of Biochemistry and Molecular Biology. 37: 642-647.

Lay, B. W. and Sugyo,H. 1992. Mikrobiologi. Rajawali Pers. Jakarta. 107-112.

Lee, S.M., and Koo, Y.M. 2001. Pilot scale production of cellulose using

Trichoderma reesei Rut C-30 in fed-batch mode. Journal of Microbiology and. Biotechnology. 11: 229-233.

Lehninger, A.L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta.369 halaman.

Lowry, O. H., N. J., Rosebrough, A. L., Farr, R. J. Randall. 1951. Protein measurement with the folin phenol reagent. Journal of Biology and Chemistry. 193-265.

Mandels, M., A. Raymond, R. Charles. 1976. Measurement of saccharifying cellulose. Biotechnology and Bioengineering. John Wiley & Sons Inc.

Martoharsono, S. dkk.1984. Biokimia. UGM Press. Yogyakarta.91.

Mozhaev, V.V. and K. Martinek. 1984. Structur-Stability Relationship in Protein: New Approaches to Stabilizing Enzymes. Enzyme Microbial Technology. 50-59.

Mozhaev, V.V., N.S. Melik-Nubarov, V.A. Siksnis and K. Martinek. 1990. Strategy for Stabilizing Enzymes. Part Two: Increasing Enzyme Stability by Selective Chemical Modication. Biocatalysts. 173: 189-196.


(52)

62

Muchtadi, T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal

Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nubarov, N.S., V.V. Mozheav, V.A. Siksnis, K. Martinek. 1987. Enzyme

Stabilization of α-Chymotrypsin by Reductive Alkylation with Glyoxylic Acid. Biotechnology. 9: 725-730.

Page, D.S. 1997. Prinsip-Prinsip Biokimia. Erlangga. Jakarta. 465 halaman.

Pelczar, M.J. and E. C. S. Chan. 1986. Dasar- Dasar Mikrobiologi. UI Press. Jakarta.

Poedjiadi, A.1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta.UI-Press. 155, 158-160.

Pohl, T. 1990. Concentration of protein removal of salute dalam M.P. Deutscher, Methods of Enzymology: Guide to Protein Purification.Vol :182.

Academic Press. New York.

Purwadaria, T., P. A. Marbun, A. P. Sinurat, P. P. Ketaren. 2003. Perbandingan aktivitas enzim selulase dari bakteri dan kapang hasil isolasi dari rayap. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 8(4): 213-219.

Rao, Subba N.S. 1998. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan. UI Press. Jakarta. 228-229.

Reed, G. 1975. Enzymes in Food Processing. Academic Press. New York. 212.

Reese, E.T. 1976. History of cellulase program at U.S. Army Natick Development Center. Biotechnology and Bioengineering. Vol: 6. John Wiley & Sons Inc.

Rodwell, V.W. 1987. Harper’s Review of Biochemistry. EGC Kedokteran. Jakarta.


(53)

63

Sariningsih, R. 2000. Produksi Enzim Protease oleh Bacillus subtilis BAC-4. (Skripsi). Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Scopes, R.K. 1982. Protein Purification. Springer Verlag. New York.

Sebayang, F. 2005. Amobilisasi enzim penisilin asilase dari E.coli B1O4 dengan

poliakrilamida. Jurnal Komunikasi Penelitian .17 (3): 1-3.

Shahib, N. 2005. Biologi Molekular Medik I. Unpad Press. Bandung. 164-167

Soemitro, S. 2005. Pengaruh Modifikasi Kimiawi Selektif Terhadap Kestabilan

α-amilase dari Saccharomycopsis fibuligera. Journal of. Bionatura. 7(3): 259-273.

Stahl, S. 1999. Thermophilic Microorganism: The Biological Background for Thermophily and Thermoresistence of Enzyme in Thermostabilyty of Enzyme. Gupta M. N editor. Springer Verlag. New Delhi. 59-60.

Suhartono, M.T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. PAU IPB. Bogor.

Sundari, Eka Sulis. 2011. Peningkatan Kestabilitas Enzim α-amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148 Dengan Modifikasi Kimia Menggunakan Sitrakonat Anhidrida. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Virdianingsih, R. 2002. Mempelajari Stabilitas Termal dari Bacillus pumilus y1 dalam pelarut Heksana, Toluena, dan Benzena. (Skripsi). Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Vrijic de T, de Hass GG, Tan GB, Keijsers ERP, Claassen PAM. 2002.

Pretreatment of miscanthus for hydrogen production by Thermotoga elfii. Int J. Hydrogen Energy. 27. 1381-1390.

Walsh, G., and D.R. Headon. 1994. Protein Biotechnology. John Willey and Sons. New York.

Winarno, F.G. 1986. Enzim Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 155 halaman.


(54)

64

Wirahadikusumah, M. 1997. Biokimia: Protein, Enzim dan Asam Nukleat. ITB. Press. Bandung. 91 halaman.

Wiramargana, M. 1991. Pengaruh Penggunaan Aditif Terhadap Stabilitas Enzim Protease Bacillus subtilis Selama Penyimpanan. (Skripsi). FATETA-IPB, Bogor.

Wyk, J.P.H.V., M. Mohulatsi. 2003. Biodegradation of wastepaper by cellulase from Trichoderma viride. Bioresource Technology. 86: 21–23.

Yandri, A.S., Dian H. and Tati S. 2007. Isolasi, Pemurnian dan Karakterisasi Enzim Protease Termostabil Dari Bakteri Isolat Lokal Bacillus subtilis ITBCCB148. Jurnal Sains MIPA . 13(2): 100-106.

Yang, Z., D. Michael, A. Robert, X.Y. Fang and J.R. Alan . 1996. Polyethylene Glycol-Induced Stabilization of Subtilisin. Enzyme Microbial


(55)

65

Lampiran 1

Tabel 3. Hubungan antara berbagai tingkat kejenuhan ammonium sulfat (0-80%) dengan aktivitas spesifik enzim selulase

No Fraksi Aktivitas Unit (U/mL)

Kadar Protein (mL/mg)

Aktivitas Spesifik (U/mg)

1 0-15 % 0.0431 0.4868 0.0884

2 15-30 % 0.1014 0.4625 0.2193

3 30-45 % 0.1193 0.1900 0.6279

4 45-60 % 0.1534 0.1465 1.0471

5 60-80% 0.1674 0.0700 2.3914

Tabel 4. Hubungan antara berbagai tingkat kejenuhan ammonium sulfat (0-80%) dengan aktivitas spesifik enzim selulase

No Fraksi Aktivitas Unit (U/mL)

Kadar Protein (mL/mg)

Aktivitas Spesifik (U/mg)

1 0-35 % 0.1223 0.1146 1.0667


(56)

66

Lampiran 2

Tabel 5. Hubungan antara pH dengan aktivitas unit enzim hasil pemurnian dan hasil modifikasi

Aktivitas Unit (U/mL)

No pH

Enzim Sitrakonat Sitrakonat Sitrakonat Sitrakonat hasil pemurnian anhidrida 20 µL anhidrida 30 µL anhidrida 40 µL Anhidrida 50 µL

1 4 0.3634 0.4713 0.5585 1.0777 0.4019

2 4.5 0.6902 0.3781 0.5501 0.7243 0.3923

3 5 0.2675 0.3373 0.4289 0.5947 0.3907

4 5.5 0.1935 0.2558 0.2666 0.5771 0.2645

5 6 0.1333 0.1926 0.1873 0.4995 0.1697

6 6.5 0.1225 0.1340 0.1500 0.2185 0.0692

7 7 0.1115 0.0784 0.1418 0.1969 0.065

8 7.5 0.0474 0.0591 0.0870 0.1811 0.0598

9 8 0.0435 0.0405 0.0614 0.1777 0.0435

Tabel 6. Hubungan antara pH dengan aktivitas sisa enzim hasil pemurnian dan hasil modifikasi

Aktivitas Sisa (%)

No pH

Enzim Sitrakonat Sitrakonat Sitrakonat Sitrakonat hasil pemurnian anhidrat 20 µL anhidrat 30 µL anhidrat 40 µL anhidrat 50 µL

1 4 52.65 100 100 100 100

2 4.5 100 80.22 98.48 67.21 97.61

3 5 38.75 71.57 76.79 55.18 97.21

4 5.5 28.04 54.28 47.72 53.55 65.81

5 6 19.31 40.86 33.54 46.35 42.22

6 6.5 17.75 28.43 26.86 20.27 17.21

7 7 16.16 16.62 25.38 18.27 16.18

8 7.5 6.87 12.54 15.58 16.81 14.87


(57)

67

Lampiran 3

Tabel 7. Hubungan antara suhu dengan aktivitas unit enzim hasil pemurnian dan hasil modifikasi

Aktivitas Unit (U/mL)

No Suhu

Enzim Sitrakonat Sitrakonat Sitrakonat Sitrakonat hasil pemurnian anhidrat 20 µL Anhidrat 30 µL anhidrat 40 µL anhidrat 50 µL

1 45 0.6707 0.7866 1.3742 0.5842 0.5251

2 50 1.6007 0.9579 1.4264 1.1670 0.8143

3 55 1.1407 0.7488 1.1816 0.8803 0.7236

4 60 1.0630 0.5159 0.8471 0.5436 0.5835

5 65 0.6277 0.4926 0.4749 0.4701 0.5107

6 70 0.3875 0.4788 0.3073 0.4617 0.4798

7 75 0.1626 0.4356 0.2730 0.2480 0.3346

8 80 0.0689 0.158 0.2095 0.2105 0.2352

Tabel 8. Hubungan antara suhu dengan aktivitas sisa enzim hasil pemurnian dan hasil modifikasi

Aktivitas Sisa (%)

No Suhu

Enzim Sitrakonat Sitrakonat Sitrakonat Sitrakonat hasil pemurnian Anhidrat 20 µL anhidrat 30 µL anhidrat 40 µL anhidrat 50 µL

1 45 41.90 82.12 96.34 50.06 64.48

2 50 100 100 100 100 100

3 55 71.26 78.17 82.84 75.43 88.86

4 60 66.41 53.86 59.38 46.59 71.65

5 65 39.21 51.42 33.3 40.29 62.71

6 70 24.21 49.99 21.54 39.56 58.91

7 75 10.16 45.47 19.14 21.25 41.09


(58)

68

Lampiran 4

Tabel 9. Data untuk penentuan KM dan Vmax enzim selulase hasil pemurnian

berdasarkan persamaan Lineweaver-Burk

No Aktivitas Unit (U/mL) 1/[S] (mL/mg) 1/V (mL/U) (V)

1 0.2478 0.5 4.0355

2 0.4752 0.25 2.1044

3 0.7271 0.167 1.3753

4 0.9428 0.125 1.0607

5 1.0866 0.1 0.9203

Keterangan :

Persamaan regresi untuk data diatas adalah : Y = 7.8836 x + 0.0986

Tabel 10. Data untuk penentuan KM dan Vmax enzim selulase hasil modifikasi

menggunakan sitrakonat anhidrida berdasarkan persamaan Lineweaver-Burk No Sitrakonat anhidrida20µL Sitrakonat anhidrida30µL Sitrakonat anhidrida 40µL

Sitrakonat anhidrida 50µL

1/[S] 1/V 1/[S] 1/V 1/[S] 1/V 1/[S] 1/V

1

0.5 8.7687 0.5 7.9978 0.5 7.3888 0.5 8.3019 2

0.25 4.2980 0.25 4.8520 0.25 4.1748 0.25 4.8252 3

0.167 3.3617 0.167 3.4223 0.167 3.2735 0.167 3.2957 4

0.125 2.7191 0.125 2.6972 0.125 1.9169 0.125 2.4060 5

0.1 1.7363 0.1 1.6060 0.1 1.5237 0.1 1.4868 Keterangan :

Persamaan regresi linear untuk data di atas adalah sebagai berikut: Sitrakonat anhidrida 20 µL : Y = 16.9103 x + 0.4508

Sitrakonat anhidrida 30 µL : Y = 15.0386 x + 0.6802 Sitrakonat anhidrida 40 µL : Y = 14.2814 x + 0.3937 Sitrakonat anhidrida 50 µL : Y = 16.3240 x + 0.3347


(59)

69

Lampiran 5

Tabel 11. Hubungan antara aktivitas unit enzim hasil pemurnian dan hasil modifikasi selama inaktivasi termal pada 50oC

No

Waktu (Menit)

Aktivitas Unit (U/mL) Enzim

hasil pemurnian

Sitrakonat anhidrida

20 µL

Sitrakonat anhidrida

30 µL

Sitrakonat anhidrida

40 µL

Sitrakonat anhidrida

50 µL

1 0 0.9364 0.5352 0.5004 0.5519 0.5317

2 10 0.6792 0.5262 0.4965 0.5393 0.5315

3 20 0.3971 0.4259 0.4115 0.5313 0.3563

4 30 0.3614 0.4095 0.3579 0.4042 0.2828

5 40 0.3359 0.3279 0.3016 0.2956 0.2597

6 50 0.2718 0.2698 0.2526 0.2263 0.1843

7 60 0.1592 0.2256 0.2299 0.2189 0.1429

8 70 0.1314 0.1823 0.1685 0.1356 0.0852

9 80 0.1145 0.1145 0.1477 0.1209 0.0756

10 90 0.0591 0.1108 0.1301 0.0953 0.0641


(60)

70

Lampiran 6

Tabel 12. Hubungan antara aktivitas sisa enzim hasil pemurnian dan hasil modifikasi selama inaktivasi termal pada 50oC

No Waktu (Menit)

Aktivitas Sisa (%) Enzim hasil pemurnian Sitrakonat anhidrida 20 µL Sitrakonat anhidrida 30 µL Sitrakonat anhidrida 40 µL Sitrakonat anhidrida 50 µL

1 0 100 100 100 100 100

2 10 72.54 98.33 99.22 97.72 99.96

3 20 42.41 79.59 82.24 96.27 67.01

4 30 38.59 76.51 71.53 73.24 53.19

5 40 35.88 61.28 60.27 53.57 48.84

6 50 29.03 50.41 50.48 41.00 34.67

7 60 17.00 42.15 45.95 39.67 26.87

8 70 14.04 34.06 33.68 24.56 16.02

9 80 12.23 21.39 29.52 21.91 14.21

10 90 6.31 20.71 26.00 17.26 12.06

11 100 5.8 13.39 21.24 16.72 10.81

Tabel 13. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim hasil pemurnian

pada suhu 50oC

No Waktu (Menit) Aktivitas Sisa ( E ) ln (Ei/E0)

1 0 100 0.000

2 10 72.54 -0.321

3 20 42.41 -0.858

4 30 38.59 -0.952

5 40 35.88 -1.025

6 50 29.03 -1.237

7 60 17 -1.772

8 70 14.04 -1.963

9 80 12.23 -2.101

10 90 6.31 -2.763


(61)

71

Lampiran 7

Tabel 14. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim hasil modifikasi

dengan derajat modifikasi sitrakonat anhidrida 20 µL pada suhu 50oC No Waktu (Menit) Aktivitas Sisa ( E ) ln (Ei/E0)

1 0 100 0.000

2 10 98.33 -0.017

3 20 79.59 -0.228

4 30 76.51 -0.268

5 40 61.28 -0.490

6 50 50.41 -0.685

7 60 42.15 -0.864

8 70 34.06 -1.077

9 80 21.39 -1.542

10 90 20.71 -1.575

11 100 13.39 -2.011

Tabel 15. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim hasil modifikasi

dengan derajat modifikasi sitrakonat anhidrida 30 µL pada suhu 50oC No Waktu (Menit) Aktivitas Sisa ( E ) ln (Ei/E0)

1 0 100 0.000

2 10 99.22 -0.008

3 20 82.24 -0.196

4 30 71.53 -0.335

5 40 60.27 -0.506

6 50 50.48 -0.684

7 60 45.95 -0.778

8 70 33.68 -1.088

9 80 29.52 -1.220

10 90 26.00 -1.347


(62)

72

Lampiran 8

Tabel 16. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim hasil modifikasi

dengan derajat modifikasi sitrakonat anhidrida 40 µL pada suhu 50oC No Waktu (Menit) Aktivitas Sisa ( E ) ln (Ei/E0)

1 0 100 0.000

2 10 97.72 -0.023

3 20 96.27 -0.038

4 30 73.24 -0.311

5 40 53.57 -0.624

6 50 41.00 -0.892

7 60 39.67 -0.925

8 70 24.56 -1.404

9 80 21.91 -1.518

10 90 17.26 -1.757

11 100 16.72 -1.789

Tabel 17. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim hasil modifikasi

dengan derajat modifikasi sitrakonat anhidrida 50 µL pada suhu 50oC No Waktu (Menit) Aktivitas Sisa ( E ) ln (Ei/E0)

1 0 100 0.000

2 10 99.96 -0.0004

3 20 67.01 -0.400

4 30 53.19 -0.631

5 40 48.84 -0.717

6 50 34.67 -1.059

7 60 26.87 -1.314

8 70 16.02 -1.831

9 80 14.21 -1.951

10 90 12.06 -2.115

11 100 10.81 -2.225

* =(Ln (Ei/E0)) ; Ei = Aktivitas sisa pada waktu i menit


(63)

73

Lampiran 9

Contoh perhitungan ΔGi enzim hasil pemurnian

Dari perhitungan menggunakan persamaan diperoleh nilai ki enzim hasil

pemurnian adalah 0,0277 menit-1 pada T = 323 K

⁄ Dari persamaan waktu paruh reaksi orde satu ( t1/2 = 0,693/ki ), diperoleh waktu

paruh untuk enzim hasil pemurnian : t1/2 = 0,693/ki

= 0,693/0,0277 menit-1


(64)

74

Lampiran 10

Kurva standar glukosa

Kurva standar glukosa digunakan untuk uji aktivitas enzim.

Tabel 18. Absorbansi glukosa pada berbagai konsentrasi untuk penentuan kurva standar glukosa

Konsentrasi glukosa

(mg/mL) Absorbansi ( = 510 )

0,2 0,0825

0,4 0,1644

0,6 0,2392

0,8 0,3878

1 0,4736

1,2 0,5751

1,4 0,6588

Gambar 24. Kurva standar glukosa

y = 0.4852x - 0.0169 R² = 0.9947

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

Ab so rb an si λ= 5 nm [Glukosa] (mg/mL)


(65)

75

Lampiran 11

Kurva standar serum albumin sapi (BSA)

Kurva standar serum albumin sapi digunakan untuk penentuan kadar protein pada metode Lowry.

Tabel 19. Absorbansi serum albumin sapi (BSA) pada berbagai konsentrasi untuk penentuan kurva standar serum albumin sapi (BSA)

Konsentrasi BSA

( g mL-1

) Absorbansi ( = 750)

20 0,0542

40 0,0944

60 0,1834

80 0,2465

100 0,2932

120 0,3229

140 0,3775

Gambar 25. Kurva standar serum albumin sapi (BSA) y = 0.0028x + 0.0029

R² = 0.9878

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45

0 20 40 60 80 100 120 140

Ab so rb an si λ = 7 5 0 nm


(1)

70 Lampiran 6

Tabel 12. Hubungan antara aktivitas sisa enzim hasil pemurnian dan hasil modifikasi selama inaktivasi termal pada 50oC

No Waktu (Menit)

Aktivitas Sisa (%) Enzim hasil

pemurnian

Sitrakonat anhidrida

20 µL

Sitrakonat anhidrida

30 µL

Sitrakonat anhidrida

40 µL

Sitrakonat anhidrida

50 µL

1 0 100 100 100 100 100

2 10 72.54 98.33 99.22 97.72 99.96

3 20 42.41 79.59 82.24 96.27 67.01

4 30 38.59 76.51 71.53 73.24 53.19

5 40 35.88 61.28 60.27 53.57 48.84

6 50 29.03 50.41 50.48 41.00 34.67

7 60 17.00 42.15 45.95 39.67 26.87

8 70 14.04 34.06 33.68 24.56 16.02

9 80 12.23 21.39 29.52 21.91 14.21

10 90 6.31 20.71 26.00 17.26 12.06

11 100 5.8 13.39 21.24 16.72 10.81

Tabel 13. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim hasil pemurnian pada suhu 50oC

No Waktu (Menit) Aktivitas Sisa ( E ) ln (Ei/E0)

1 0 100 0.000

2 10 72.54 -0.321

3 20 42.41 -0.858

4 30 38.59 -0.952

5 40 35.88 -1.025

6 50 29.03 -1.237

7 60 17 -1.772

8 70 14.04 -1.963

9 80 12.23 -2.101

10 90 6.31 -2.763


(2)

71 Lampiran 7

Tabel 14. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim hasil modifikasi dengan derajat modifikasi sitrakonat anhidrida 20 µL pada suhu 50oC No Waktu (Menit) Aktivitas Sisa ( E ) ln (Ei/E0)

1 0 100 0.000

2 10 98.33 -0.017

3 20 79.59 -0.228

4 30 76.51 -0.268

5 40 61.28 -0.490

6 50 50.41 -0.685

7 60 42.15 -0.864

8 70 34.06 -1.077

9 80 21.39 -1.542

10 90 20.71 -1.575

11 100 13.39 -2.011

Tabel 15. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim hasil modifikasi dengan derajat modifikasi sitrakonat anhidrida 30 µL pada suhu 50oC No Waktu (Menit) Aktivitas Sisa ( E ) ln (Ei/E0)

1 0 100 0.000

2 10 99.22 -0.008

3 20 82.24 -0.196

4 30 71.53 -0.335

5 40 60.27 -0.506

6 50 50.48 -0.684

7 60 45.95 -0.778

8 70 33.68 -1.088

9 80 29.52 -1.220

10 90 26.00 -1.347


(3)

72 Lampiran 8

Tabel 16. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim hasil modifikasi dengan derajat modifikasi sitrakonat anhidrida 40 µL pada suhu 50oC No Waktu (Menit) Aktivitas Sisa ( E ) ln (Ei/E0)

1 0 100 0.000

2 10 97.72 -0.023

3 20 96.27 -0.038

4 30 73.24 -0.311

5 40 53.57 -0.624

6 50 41.00 -0.892

7 60 39.67 -0.925

8 70 24.56 -1.404

9 80 21.91 -1.518

10 90 17.26 -1.757

11 100 16.72 -1.789

Tabel 17. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim hasil modifikasi dengan derajat modifikasi sitrakonat anhidrida 50 µL pada suhu 50oC No Waktu (Menit) Aktivitas Sisa ( E ) ln (Ei/E0)

1 0 100 0.000

2 10 99.96 -0.0004

3 20 67.01 -0.400

4 30 53.19 -0.631

5 40 48.84 -0.717

6 50 34.67 -1.059

7 60 26.87 -1.314

8 70 16.02 -1.831

9 80 14.21 -1.951

10 90 12.06 -2.115

11 100 10.81 -2.225

* =(Ln (Ei/E0)) ; Ei = Aktivitas sisa pada waktu i menit E0 = Aktivitas sisa pada waktu 0 menit


(4)

73 Lampiran 9

Contoh perhitungan ΔGi enzim hasil pemurnian

Dari perhitungan menggunakan persamaan diperoleh nilai ki enzim hasil pemurnian adalah 0,0277 menit-1 pada T = 323 K

⁄ ⁄

Dari persamaan waktu paruh reaksi orde satu ( t1/2 = 0,693/ki ), diperoleh waktu paruh untuk enzim hasil pemurnian :

t1/2 = 0,693/ki

= 0,693/0,0277 menit-1 = 25.02 menit


(5)

74 Lampiran 10

Kurva standar glukosa

Kurva standar glukosa digunakan untuk uji aktivitas enzim.

Tabel 18. Absorbansi glukosa pada berbagai konsentrasi untuk penentuan kurva standar glukosa

Konsentrasi glukosa

(mg/mL) Absorbansi ( = 510 )

0,2 0,0825

0,4 0,1644

0,6 0,2392

0,8 0,3878

1 0,4736

1,2 0,5751

1,4 0,6588

Gambar 24. Kurva standar glukosa

y = 0.4852x - 0.0169 R² = 0.9947

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

Ab

so

rb

an

si

λ=

5

nm


(6)

75 Lampiran 11

Kurva standar serum albumin sapi (BSA)

Kurva standar serum albumin sapi digunakan untuk penentuan kadar protein pada metode Lowry.

Tabel 19. Absorbansi serum albumin sapi (BSA) pada berbagai konsentrasi untuk penentuan kurva standar serum albumin sapi (BSA)

Konsentrasi BSA

( g mL-1

) Absorbansi ( = 750)

20 0,0542

40 0,0944

60 0,1834

80 0,2465

100 0,2932

120 0,3229

140 0,3775

Gambar 25. Kurva standar serum albumin sapi (BSA)

y = 0.0028x + 0.0029 R² = 0.9878

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45

0 20 40 60 80 100 120 140

Ab

so

rb

an

si

λ

=

7

5

0

nm