Gambaran Karakteristik Keluarga Pasien Fraktur yang Memilih Pengobatan Tradisional Dukun Patah Sepadan Tarigan di T.Morawa

(1)

Gambaran Karakteristik Keluarga Pasien Fraktur yang Memilih

Pengobatan Tradisional Patah Tulang Sepadan Tarigan di

Tanjung Morawa

Lamtiur Ritonga

081101039

Skripsi

Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur diucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hadiat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Gambaran Karakteristik Keluarga Pasien Fraktur yang Memilih Pengobatan Tradisional Dukun Patah Sepadan Tarigan di T.Morawa.

Selama proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak mendapat banyak bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak, yaitu :

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Siti Zahara Nasution, S,Kp, MNS selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan yang sangat berharga dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Rosina Tarigan, S.Kp, M.Kep, Sp.KMB, CWCC dan Ibu Rika Endah Nurhidayah,S.Kp, M.Pd selaku dosen penguji yang dengan teliti memberikan masukan yang berharga dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Pengajar S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak mendidik penulis selama proses perkuliahan dan staf yang membantu memfasilitasi secara administratif.


(4)

5. Pimpinan Pengobatan Tradisional Patah Tulang Sepadan Tarigan yang telah memberi izin penelitian dan informasi bagi penulis.

6. Seluruh keluarga responden yang telah bersedia berpartispasi selama proses penelitian berlangsung.

7. Terimakasih juga kepada Ibunda tercinta P br Purba yang selalu mendoakan dan menyayangi penulis, memberikan dukungan baik moril maupun materil dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk penulis. Terkhusus untuk Almarhum Ayahanda yang selalu penulis sayangi, penulis akan selalu semangat untuk terus berjuang pantang menyerah, meskipun engkau telah tiada namun ayah akan tetap penulis ingat.

8. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada saudara-saudariku Imelda Ritonga, AmKeb, Ririn Ritonga, S.Psi, Norma Christiani Ritonga, SE dan Goksen Saragih, S.Pd yang selalu mendukung dalam doa dan memberikan semangat kepada penulis.

9. Kepada sahabat-sahabat terbaikku Desri, sophie, efitri, Astiny, fransiska, tamy dan sry yang selalu membantu dan mendukung dalam perkuliahan, terimakasih atas kritik, saran, dan segala canda tawa kalian semua.

10. Dan seluruh teman-teman Fakultas Keperawatan stambuk 2008 yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terimakasih buat kebersamaan selama empat tahun ini.

11. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu yang telah mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa dan penuh kasih melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan penulis skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Juli 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... ii

Ktaa Pengantar... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Skema ... ... viii

Daftar Tabel ... ix

Abstrak ... x

Abstract ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Pertanyaan Penelitian ... 5

3. Tujuan Penelitian ... 5

4. Manfaat Penelitian ... 6

4.1 Pelayanan Kesehatan ... 6

4.2 Penelitian Keperawatan ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

1 Pengobatan Tradisional... .. 7

1.1. Defenisi ... 7

1.2. Jenis Pengobatan Tradisi.……….. .. 8

1.3. Tujuan Pengobatan…...….……… .. 9

1.4. Standarisasi Pengobatan ... 10

1.5. Pengobatan Patah Tulang ... 12

1.5. Peminat Pengobatan Tradisional ... 13

2. Fraktur...………. 15

2.1. Defenisi………... . 15

2.2.Klasifikasi...……….. .. 16

2.3.Manifestasi Klinis...………... . 17

2.4.Prinsip Penangan Fraktur... 17

2.5.Proses Penyembuhan Tulang... ... 20

2.6. Komplikasi... .. 21

3. Keluarga... 23

3.1 Defenisi …... ... 23

3.2. Karakteristik Keluarga ... 24

3.3 Peran Keluarga... .. 28

3.4 Fungsi Pokok Kelurga ... .. 29

3.5 Struktur Keluarga ... 31

3.6 Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Keluarga... ... 33

3.7 Tugas Keluarga Dalam Bidang kesehatan ... 35


(7)

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN ... 41

1. Kerangka Konseptual Penelitian... 41

2. Defenisi operasional ... 42

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN ... 43

1. Desain Penelitian ... 43

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan ... 43

2.1 Populasi ... 43

2.2 Sampel ... 44

2.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 44

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

4. Pertimbangan Etik ... 45

5. Instrumen Penelitian ... 45

7. Prosedur Pengumpulan Data ... 46

8. Analisa Data ... 46

BAB 5. PEMBAHASAN ... 48

5.1 Hasil Penelitian …... ... 48

5.1.1 Karakteristik Responden... 48

5.2 Pembahasan ... ... 50

5.2.1 Karakteristik Responden ... 50

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

6.1 Kesimpulan... 58

6.2 Saran …... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60

Lampiran-Lampiran 1. Informed Consent... 63

2. Instrumen Penelitian... 64

3. Surat Izin Pengambilan Data Penelitian dari Fakultas Keperawatan... 66

4. Surat Izin Pengambilan Data Penelitian dari Pengobatan... 67

5. Jadwal Tentatif Penelitian... 68

6. Taksasi Dana... 69

7. Tabel Analisa Data... 70


(8)

DAFTAR SKEMA


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik


(10)

Judul : Gambaran Karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan Tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di T.Morawa

Nama : Lamtiur Ritonga NIM : 081101039 Fakultas : Keperawatan Tahun : 2012

Abstrak

Pelayanan kesehatan modern telah berkembang di Indonesia, namun jumlah masyarakat yang memilih pengobatan tradisional tetap tinggi. Salah satu jenis pengobatan tradisional yang diminati oleh masyarakat saat ini adalah pengobatan tradisional patah tulang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di T.Morawa. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi dengan sampel sebanyak 42 responden dan dilakukan dengan teknik sampling jenuh dengan mengunakan kuesioner berupa data demografi dan beberapa pertanyaan tentang alasan responden memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan. Hasil penelitian menunjukkan dari 42 responden, 52,38% berusia 40-59 tahun, 71,43% berjenis kelamin Laki-laki, 40,48% suku Batak Toba, 50% beragama Kristen Protestan, 45,24% berpendidikan SMA/SMK/MTS, 69,05% wiraswasta, 100% responden tidak bekerja dibidang kesehatan, 64,28% berpenghasilan sebulan > 1.035.500, 90,48% adalah fraktur tertutup, dan 50% mendapatkan informasi dari sanak keluarga (family). Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan bagi pelayanan kesehatan khususnya perawat komunitas agar bekerja sama dengan lintas sektoral dalam kegiatan pembinaan, pengawasan dan evaluasi terhadap praktik pengobatan tradisional yang ada di masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.


(11)

Title : The Description of Fracture Patients' Families Who Chose The Traditional Treatment of Fractures at Sepadan Tarigan in T.Morawa.

Name : Lamtiur Ritonga NIM : 081101039 Faculty : Nursing Year : 2012

Abstract

In the spite of modern health service has grown in Indonesia, but the number of people who chose tradisional treatment is high consisten. One of the traditional treatment which interested in our society is traditional treatment of fractures.The purpose of this reseach is to know the description of fracture patients’ families who chose the traditional treatment of fractures at Sepadan Tarigan in T.Morawa. In this study, design used descriptive with sample as much as 42 peoples and using sampling saturated technique by using a demographic quetioner and some quetions about why respondent chose traditional treatment at Sepadan Tarigan in T.Morawa. The results showed that from 42 respondents, 52,38% age 40-59 years old, 71,43% male, 40,48% Toba Batak tribe, 50% religion Protestant, 45,24% education in the SMA/SMK/MTS , 69,05% Self-employed, 100% not working in the field of health, 64,28% had a monthly income > 1.035 million, and 90.48% is a closed fracture. From this results, researcher suggest to community health workers especially nursing community in order to cooperate with cross-sectoral in development activities, monitoring and evaluation of practice of traditional treatment in our society in order that realize deegre of optimum health society.


(12)

Judul : Gambaran Karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan Tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di T.Morawa

Nama : Lamtiur Ritonga NIM : 081101039 Fakultas : Keperawatan Tahun : 2012

Abstrak

Pelayanan kesehatan modern telah berkembang di Indonesia, namun jumlah masyarakat yang memilih pengobatan tradisional tetap tinggi. Salah satu jenis pengobatan tradisional yang diminati oleh masyarakat saat ini adalah pengobatan tradisional patah tulang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di T.Morawa. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi dengan sampel sebanyak 42 responden dan dilakukan dengan teknik sampling jenuh dengan mengunakan kuesioner berupa data demografi dan beberapa pertanyaan tentang alasan responden memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan. Hasil penelitian menunjukkan dari 42 responden, 52,38% berusia 40-59 tahun, 71,43% berjenis kelamin Laki-laki, 40,48% suku Batak Toba, 50% beragama Kristen Protestan, 45,24% berpendidikan SMA/SMK/MTS, 69,05% wiraswasta, 100% responden tidak bekerja dibidang kesehatan, 64,28% berpenghasilan sebulan > 1.035.500, 90,48% adalah fraktur tertutup, dan 50% mendapatkan informasi dari sanak keluarga (family). Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan bagi pelayanan kesehatan khususnya perawat komunitas agar bekerja sama dengan lintas sektoral dalam kegiatan pembinaan, pengawasan dan evaluasi terhadap praktik pengobatan tradisional yang ada di masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.


(13)

Title : The Description of Fracture Patients' Families Who Chose The Traditional Treatment of Fractures at Sepadan Tarigan in T.Morawa.

Name : Lamtiur Ritonga NIM : 081101039 Faculty : Nursing Year : 2012

Abstract

In the spite of modern health service has grown in Indonesia, but the number of people who chose tradisional treatment is high consisten. One of the traditional treatment which interested in our society is traditional treatment of fractures.The purpose of this reseach is to know the description of fracture patients’ families who chose the traditional treatment of fractures at Sepadan Tarigan in T.Morawa. In this study, design used descriptive with sample as much as 42 peoples and using sampling saturated technique by using a demographic quetioner and some quetions about why respondent chose traditional treatment at Sepadan Tarigan in T.Morawa. The results showed that from 42 respondents, 52,38% age 40-59 years old, 71,43% male, 40,48% Toba Batak tribe, 50% religion Protestant, 45,24% education in the SMA/SMK/MTS , 69,05% Self-employed, 100% not working in the field of health, 64,28% had a monthly income > 1.035 million, and 90.48% is a closed fracture. From this results, researcher suggest to community health workers especially nursing community in order to cooperate with cross-sectoral in development activities, monitoring and evaluation of practice of traditional treatment in our society in order that realize deegre of optimum health society.


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia disamping kebutuhan akan sandang, pangan, papan dan pendidikan. Karena hanya dengan kondisi kesehatan yang baik serta tubuh yang prima manusia dapat melaksanakan proses kehidupan untuk tumbuh dan berkembang menjalankan segala aktivitas hidupnya. Adapun yang menjadi tujuan pembangunan kesehatan yang tertera dalam GBHN adalah meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat dan mampu mengatasi masalah kesehatan sederhana terutama melalui upaya pencegahan dan peningkatan upaya pemerataan pelayanan kesehatan agar terjangkau sampai kepelosok pedesaan, maka upaya pengobatan tradisional adalah salah satu alternatif yang tepat sebagai pendamping pengobatan modern ( Zulkifli, 2004 ).

Pengobatan tradisional adalah ilmu dan seni pengobatan berdasarkan himpunan dari pengetahuan dan pengalaman praktek, baik yang dapat diterangkan secara ilmiah ataupun tidak, dalam melakukan diagnosis, prevensi dan pengobatan terhadap ketidakseimbangan fisik, mental, dan sosial (WHO, 1978). Data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, menunjukkan angka kesakitan penduduk secara nasional sekitar 33,24%. Dari jumlah tersebut sekitar 65,59% memilih berobat sendiri (termasuk berobat ke klinik tradisional), sisanya sekitar 34,41% memilih berobat ke pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan sekalipun pelayanan kesehatan modern telah berkembang di Indonesia, namun jumlah masyarakat yang


(15)

memilih pengobatan tradisional cukup tinggi (Depkes RI, 2009). Untuk itu, menurut UU Kesehatan RI no 23 Tahun 1992 pasal 47 menyatakan perlu adanya pembinaan, pengawasan dan pengembangan terhadap pengobatan alternatif sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Pengembangan obat tradisional dilakukan sebagi upaya mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional. Untuk itu, sejumlah kerangka regulasi telah diterbitkan seperti Keputusan Menteri Kesehatan No. 1076/Menkes/SK/2003 tentang pengobatan tradisional dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1109/Menkes/PER/IX/2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer – alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan, jenis pengobatan, tenaga pelaksana termasuk tenaga asing (Dirjen BUK, 2011).

Secara garis besar jenis pengobatan tradisional ada empat yaitu (1) pengobatan tradisional dengan ramuan, (2) pengobatan tradisional spiritual/kebatinan, (3) pengobatan tradisional dengan memakai peralatan, dan (4) pengobatan tradisional yang telah mendapat pengarahan & pengaturan dari pemerintah. Berdasarkan jenis pembagian tersebut, pengobatan tradisional patah tulang termasuk pengobatan tradisional dengan memakai peralatan/perangsangan (Ratna, 2010).

Pengobatan tradisional patah tulang adalah salah satu jenis pengobatan tradisional yang diminati oleh masyarakat saat ini. Hal ini dapat dilihat dari data selama periode Januari 2005 sampai Maret 2007 didapatkan kasus patah tulang di RSUP HAM Medan sejumlah 864 kasus, dimana 463 (53,6%) kasus merupakan


(16)

kasus baru, 401 (46,4%) kasus lagi datang ke rumah sakit lebih dari satu minggu setelah kecelakaan. Dari 463 kasus baru hanya 211 (45,5% ) kasus yang bersedia dilakukan pengobatan di RSUP HAM Medan, sedangkan 252 (54,5 % ) lagi menolak melakukan pengobatan, hanya dilakukan pertolongan pertama dan foto rontgen saja dari tungkai yang patah. Jadi masih banyak masyarakat kita yang menderita patah tulang tidak mencari pertolongan ke rumah sakit, melainkan pergi ke dukun patah atau sinshe/pengobatan tradisional (Moesbar, 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh pakpahan (2010), menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi seseorang memilih pengobatan tradisional yaitu faktor sosial, faktor budaya , faktor ekonomi, faktor persepsi tentang sakit penyakit, faktor kejenuhan terhadap pelayanan medis, faktor manfaat dan keberhasilan, dan faktor pengetahuan juga mempengaruhi seseorang memilih pengobatan tradisional.

Adapun fenomena pada pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan yaitu tingginya minat masyarakat pada pengobatan tradisional tersebut dibanding dengan pengobatan tradisional patah tulang lain seperti Pargendangan yang juga berada di T.Morawa. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah kunjungan pasien yang berobat sekitar 80 pasien per bulannya yang rata-rata berasal dari dalam dan luar kota. Sedangkan jumlah pasien pengobatan tradisional patah tulang pergendangan di T.Morawa hanya sekitar 4 pasien setiap bulannya. Hal ini terlihat perbedaan yang cukup jauh pada kedua pengobatan tradisional yang sama-sama berada di T.Morawa. Pengobatan tradisional patah Tulang Sepadan Tarigan


(17)

menjadi pengobatan tradsional yang diminati oleh masyarakat di T.Morawa. Pengobatan tradisional ini sudah memiliki izin dari Kejaksaan Tinggi dan Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang. Tidak hanya itu, pengobatan tradisional Sepadan Tarigan ini juga melakukan kerja sama dengan RSU. Dermaga berupa pemberian anastesi, pemeriksaan kesehatan, obat-obatan dan foto rontgen.

Adapun Prinsip yang digunakan pada pengobatan patah tulang Sepadan Tarigan pada dasarnya hampir sama dengan prinsip pengobatan modern yaitu , (1) prinsip reduksi yaitu penarikan bagian tubuh yang patah untuk mengembalikan posisi tulang seperti semula, (2) pemberian bidai, prinsipnya sebagai fiksasi tulang yang patah setelah dikembalikan pada posisi semula, (3) adanya pemijatan/urut-urut dengan menggunakan minyak karo yang bertujuan sebagai fisioterapi disertai minyak yang menghangatkan bagian tubuh yang patah sehingga memperlancar aliran darah, (4) pemberian obat – obatan oleh petugas medis jika terjadi masalah kesehatan selama pengobatan, (5) ditambah lagi dengan minuman yang telah diberi ramuan dan bacaan doa-doa.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan peneliti melalui wawancara singkat dengan beberapa kepala keluarga pasien diperoleh data sebagai berikut, 1) pada umunya mereka berobat ke pengobatan tradisional karena lebih percaya pada teknik pengobatan secara tradisional, 2) takut dioperasi jika berobat ke rumah sakit, 3) pernah berobat ke rumah sakit namun tidak kunjung sembuh, 4) adanya trauma dari keluarga pasien atau kerabat ketika berobat ke rumah sakit, 5) biaya pengobatan lebih murah dan dilakukan diakhir pengobatan setelah pasien sembuh, dan 6) adanya pihak keluarga lain yang menyarankan


(18)

untuk berobat ke pengobatan tradisional patah tulang, hal ini menunjukkan keluarga sangat berperan penting dalam mentukan pilihan pengobatan.

Keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain (Mubarak, 2008). Dalam mengatasi masalah kesehatan, peran keluarga sangat dibutuhkan dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga termasuk dalam pemilihan pengobatan. Dengan demikian, keluarga sangat berperan penting dalam menentukan pilihan pengobatan termasuk dalam pemilihan pengobatan tradisional (Setiadi, 2008).

Berdasarkan uraian dan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di T.morawa.

2. Pertanyaan Penelitian

Adapun yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah gambaran karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di T.Morawa.

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah: Mengetahui gambaran karakteristik keluarga berdasarkan karakteristik demografi yang meliputi usia, suku, agama,


(19)

pendidikan, pekerjaan, penghasilan, sumber informasi, alasan memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan.

4. Manfaat penelitian

4.1 Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi sistem pelayanan kesehatan dalam membina dan mengawasai pengobatan tradisional sebagai pengobatan komplementer yang saling melengkapi agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.

4.2 Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dimanfaakan sebagai sumber data/refrensi bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan fraktur dan pengobatan tradisional.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengobatan Tradisional

1.1 Defenisi

Pengobatan Tradisional adalah suatu upaya kesehatan dengan cara lain dari ilmu kedokteran dan berdasarkan pengetahuan yang diturunkan secara lisan maupun tulisan yang berasal dari Indonesia atau luar Indonesia. Dalam 30 tahun terakhir pelbagai istilah telah digunakan untuk cara-cara pengobatan yang berkembang di masyarakat. WHO menyebutnya traditional medicine, sedangkan ilmuan yang lainnya menyebut “folk medicine”, “alternatif medicine,”

ethnomedicine,” dan indigenous medicine (Ratna, 2010)

Badan kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pengobatan tradisional adalah ilmu dan seni pengobatan berdasarkan himpunan pengetahuan dan pengalaman praktek, baik yang dapat diterangkan secara ilmiah ataupun tidak dalam melakukan diagnosis, prevensi dan pengobatan terhadap ketidakseimbangan fisik, mental ataupun sosial. Pedoman utama adalah pengalaman praktek, yaitu hasil pengamatan yang diteruskan dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun tulisan (Ratna, 2010).

Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional menyatakan bahwa, pengobatan tradisional adalah pengobatan


(21)

dan/atau perawatan dengan cara, obat, dan pengobatnya yang mengacu pada pengalaman, ketrampilan turun temurun atau pendidikan/pelatihan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (Menkes RI, 2003).

Sesuai dengan keputusan seminar pelayanan pengobatan altematif Departemen Kesehatan RI (1978), terdapat dua defenisi untuk pengobatan tradisional Indonesia (PETRIN), yaitu: a) llmu dan seni pengobatan yang dilakukan oleh pengobatan tradisional Indonesia dengan cara yang tidak bertentangan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai upaya penyembuhan, pencegahan penyakit, pemulihan dan peningkatan kesehatan jasmani, rohani dan sosial masyarakat. b) Usaha yang dilakukan untuk mencapai kesembuhan, pemeliharaan dan peningkatan taraf kesehatan masyarakat yang berlandaskan cara berpikir, kaidah-kaidah atau ilmu diluar pengobatan ilmu kedokteran modern, diwariskan secara turun temurun atau diperoleh secara pribadi dan dilakukan dengan cara-cara yang tidak lazim dipergunakan dalam ilmu kedokteran, yang antara lain meliputi akupuntur, dukun/ahli kebatinan, sinshe, tabib, jamu, pijat dan lain lain (Ratna, 2010).

1.2 Jenis Pengobatan Tradisional di Indonesia

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 Pasal 3, pengobat tradisional diklasifikasikan dalam jenis keterampilan, ramuan, pendekatan agama dan supranatural.


(22)

a. Pengobat tradisional mempunyai keterampilan yang terdiri dari : Pijat urut, patah tulang, sunat, dukun bayi, refleksi, akupresuris, akupunturis dan chiroprator.

b. Pengobat tradisional ramuan yaitu pengobat tradisional dengan ramuan indonesia : jamu, gurah, tabib shinse, homeopathy dan aromatherapist.

c. Pengobat tradisional dengan pendekatan agama : Agama Islam, Kristen, Katolik dan Budha.

d. Pengobatan tradisional supranatural terdiri dari pengobat tradisional : tenaga dalam (Prana), paranormal, reiky master, qigong dan dukun kebatinan.

1.3 Tujuan Pengobatan

Menurut Zulkifli (2004) ada dua yang menjadi tujuan pengobatan tradisional yaitu:

a. Tujuan Umum

Yaitu meningkatnya pendayagunaan pengobatan tradisional baik secara tersendiri atau terpadu pada sistem pelayanan kesehatan paripurna, dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Dengan demikian pengobatan tradisional adalah merupakan salah satu alternatif yang relatif lebih disenangi masyarakat. Oleh karenanya kalangan kesehatan berupaya mengenal dan jika dapat mengikut sertakan pengobatan tradisional tersebut.

b. Tujuan Khusus


(23)

1. Meningkatnya mutu pelayanan pengobatan tradisional, sehingga masyarakat terhindar dari dampak negatif karena pengobatan tradisional.

2. Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan dengan upaya pengobatan tradisional.

3. Terbinanya berbagai tenaga pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan. 4. Terintegrasinya upaya pengobatan tradisional dalam program pelayanan kesehatan paripurna, mulai dari tingkat rumah tangga, puskesmas sampai pada tingkat rujukannya (Zulkifli, 2004).

1.4 Standarisasi Pengobatan Tradisional

Untuk dapat dimanfaatkannya pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan, banyak yang harus diperhatikan. Salah satu diantaranya yang dinilai mempunyai peranan yang sangat penting adalah upaya standarisasi. Diharapkan, dengan adanya standarisasi ini bukan saja mutu pengobatan tradisional akan dapat ditingkatkan, tapi yang penting lagi munculnya berbagai efek samping yang secara medis tidak dapat dipertanggung jawabkan, akan dapat dihindari (Zulkifli, 2004).

Pengertian standarisasi adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna, yang dipakai sebagai batas penerimaan minimal ( Clinical Practice Guideline, 1990 ). Standar menunjukkan pada tingkat ideal tercapai, tetapi masih dalam batas-batas yang dibenarkan (toleransi) (Zulkifli, 2004).

Syarat suatu standar yang baik adalah (1) bersifat jelas artinya dapat diukur dengan baik, termasuk ukuran terhadap penyimpangan- penyimpangan yang mungkin terjadi, (2) masuk akal, suatu standar yang tidak masuk akal, bukan


(24)

saja akan sulit dimanfaatkan tetapi juga akan menimbulkan frustasi para profesional, (3) mudah dimengerti, suatu standar yang tidak mudah dimengerti juga akan menyulitkan tenaga pelaksana sehingga sulit terpenuhi, (4) dapat dipercaya, (5) absah artinya ada hubungan yang kuat dan dapat didefenisikan antara standar dengan sesuatu (misalnya mutu pelayanan) yang diwakilinya, (6) meyakinkan, artinya mewakili persyaratan yang ditetapkan. Apabila terlalu rendah akan menyebabkan persyaratan menjadi tidak berarti, (7) mantap, spesifik, eksplisit artinya tidak terpengaruh oleh waktu, bersifat khas dan terbuka (zulkifli, 2004).

Standarisasi diharapkan mampu mengatasi berbagai efek samping yang secara medis tidak dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu dalam Undang – undang Kesehatan RI no 23 Tahun 1992 pasal 47 menyatakan perlu adanya pembinaan, pengawasan dan pengembangan terhadap pengobatan alternatif sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

KepMenkes No.1076/Menkes/SK/VII/2003 pasal empat disebutkan bahwa semua pengobat tradisional wajib mendaftarkan diri kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat untuk memperoleh Surat Terdaftar Pengobat Tradisional (STPP). Pengobat tradisional yang metodenya telah memenuhi persyaratan, pengkajian, penelitian, dan pengujian serta terbukti aman dan bermanfaat bagi kesehatan dapat diberikan SPTT oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Hal ini dimasukkan agar Dinas Kesehatan dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengobatan tradisional tersebut. Misalnya di wilayah kecamatan, Puskesmas itu melakukan pengawasan dan


(25)

memberi pembekalan terhadap kebersihan bahan-bahan yang dijadikan obat dan sehat dikonsumsi.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1076/Menkes/SK/VII/2003 telah mengatur dalam penyelenggaraan pengobatan tradisional mempunyai prinsip sebagai berikut : (1) tidak membahayakan jiwa atau melanggar susila dan kaidah agama serta kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diakui di Indonesia, (2) aman dan bermanfaat bagi kesehatan, (3) tidak bertentangan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat, (4) tidak bertentangan dengan norma dan nilai yang hidup dalam masyarakat (Menkes RI, 2003).

1.5 Pengobatan patah tulang

Pengobat patah tulang adalah pengobat tradisional yang cara pengobatannya dengan cara mengurut untuk mereposisi tulang atau otot yang mengalami patah atau terkilir, memfiksasi, reposisi dengan bidai atau kayu yang dikenal dengan antai (rantai) dan memberi kompres dengan ramuan daun-daun atau akar-akaran (Subandi, 1998).

Menurut Saleh (1998) penanggulangan dan pengobatan patah tulang secara tradisional ada beberapa prinsip yang sama dengan pengobatan mutakhir yang dapat diterima secara logika antara lain :

1. Prinsip penarikan traksi bagian tubuh yang patah untuk mengembalikan posisi tulang seperti semula

2. Pemberian bidai dari anyaman kelapa, anyaman alang-alang, baluran daun sereh. Prinsipnya sebagai fiksasi tulang yang patah setelah dikembalikan pada


(26)

posisi semula. Di sini ada beberapa kekurangan dalam fiksasi secara tradisional karena mempergunakan bahan yang lunak dan fiksasinya tidak melewati dua atau tiga persendian sehingga tulang yang patah dapat bergerak dari posisi yang diharapkan.

3. Adanya kompres dengan daun-daun segar yang diharapkan dapat memperlancar aliran darah sehingga dapat mengurangi pembengkakan.

4. Adanya pemijatan/urut-urut yang dilakukan dalam penanggulangan patah tulang disertai dengan olesan berupa minyak-minyak kelapa yang mungkin bertujuan sebagai fisioterapi disertai minyak yang menghangatkan bagian tubuh yang patah sehingga memperlancar aliran darah, akhirnya mempercepat penyembuhan.

1.6 Peminat Pengobatan Tradisional

Peminat pengobatan tradisional dipengaruhi oleh beberapa faktor : (Zulkifli, 2005)

1. Faktor Sosial

Alasan masyarakat memilih pengobatan alternatif adalah selama mengalami pengobatan alternatif keluarganya dapat menjenguk dan menunggui setiap saat. Hal tersebut sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu ingin berinteraksi langsung dengan keluarganya atau kerabatnya dalam keadaan sakit. Selama perawatan yang dialaminya mereka dapat berkomunikasi dengan akrab dengan keluarganya. Namun ada juga informasi yang mengemukakan bahwa masyarakat lebih senang dirawat atau diobati di rumah sakit daripada dirawat atau diobati di tempat-tempat pengobatan alternatif. Mereka dibawa ke


(27)

pengobatan alternatif bukan atas kemauan sendiri tetapi atas desakan biaya pengobatan. Biasanya mereka belum pernah ke rumah sakit sehingga tidak bisa dibandingkan pengobatan alternatif dengan pengobatan di rumah sakit. Disini tampak adanya faktor pasrah akibat dari keterbatasan pengalaman-pengalaman dalam interaksi sosial.

2. Faktor Budaya

Salah satu alasan mengapa para penderita memilih tempat pengobatan alternatif karena pengobatan di tempat ini memiliki seorang ahli yang mempunyai kekuatan supranatural yang mampu mempercepat kesembuhan penyakit. Disamping itu hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Foster dan Anderson bahwa sistem medis adalah bagian integral dari kebudayaan. Salah satu faktor lain yang menyebabkan pengobatan alternatif ini masih diminati masyarakat adalah kategori penyembuhan yaitu siapa yang berhak atau yang tepat dalam menyembuhkan, misalnya untuk penyakit C hanya D yang berhak, penyakit A hanya B yang tepat menyembuhkan. Dalam persepsi masyarakat juga menganggap penyakit yang tidak parah tidak perlu dibawa ke rumah sakit, karena penyakit yang diderita dianggap tidak mengancam jiwanya, tidak menggangu nafsu makan serta masih mampu melakukan kegiatan sehari-hari walaupun agak terganggu.

3. Kemudahan

Pasien dapat segera ditangani tanpa harus menunggu hasil rontgen dan hasil laboratorium lainnya


(28)

Masyarakat memilih pengobatan alternatif karena biayanya lebih murah dari pada rumah sakit, cara pembayarannya juga tidak memberatkan karena pasien tidak ditarik uang muka. Selain itu bagi yang tidak mampu membayar sekaligus dapat dicicil setelah pulang. Jika ditinjau dari klasifikasi pasien yang datang ke tempat pengobatan alternatif ini sebagian besar pekerjaannya adalah buruh kasar, sopir, tukang parkir, sehingga wajar faktor ekonomi mentukan dalam hal memilih tempat pengobatan.

1.2 Klasifikasi

Klasifikasi patah tulang menurut bentuk patah tulang adalah

1. Fraktur complet, pemisahan komplit dari tulang menjadi dua fragmen, 2. Fraktur incomplet, patah sebagian dari tulang tanpa pemisahan, 3. Simple atau closed fraktura, tulang patah, kulit utuh.

4. Fraktur komplikata, tulang yang menusuk kulit, tulang terlihat,

5. Fraktur tanpa perubahan posisi yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang normal,

6. Fraktur dengan perubahan posisi, ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat yang patah,

7. Communited fraktura, tulang patah menjadi beberapa fragmen dan

8. Impacted fraktura, salah satu ujung tulang yang patah menancap pada yang lain (long barbara,1996).


(29)

Klasifikasi menurut garis patah tulang ada

1. Greenstick, fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok,

2. Transverse, fraktur sepanjang garis tengah 3. Obligue, garis patah miring,

4. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang ( Brunner & suddarth, 2002).

1.3 Manifestasi klinis

Adapun Manifestasi klinis fraktur adalah

1. Nyeri yang terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung

bergerak secara tidak alamiah ( gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan

deformitas ( terlihat maupun teraba ) ekstremitas yang hanya diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ektremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.


(30)

3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. fragmen sering saling melingkupi satu sama lain 2,5 sampai 5 cm.

4. Saat ektremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan

krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. 5. Pembekakan atau perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma

dan perdarahan yang mengikuti fraktur.Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera ( Brunner & suddarth, 2002 ).

1.4 Prinsip penanganan Fraktur

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.

1) Reduksi Fraktur. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Adapun untuk mereduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka yang dipilih bergantung sifat fraktur dan dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.

a) Reduksi tertutup,

Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen ke posisinya ( ujung-ujung saling berhubungan ) dengan manipulasi atau


(31)

traksi manual. Ektremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai, atau alat lain dipasang oleh dokter.

b) Traksi.

Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan immobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat, dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan immobilisasi.

a) Reduksi terbuka.

Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, skrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau dipasang melalui fragmen tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang. Alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.

2) Imobilisasi Fraktur. Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi atau kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna. Mempertahankan dan mengembalikan Fungsi. Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atropi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk


(32)

Adapun Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur adalah Immobilisasi fragmen tulang, Kontak fragmen tulang maksimal, asupan darah yang memadai, nutrisi yang baik, latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang, hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vit D, steroid anabolik dan Potensial listrik pada patahan tulang panjang. Sedangkan Faktor yang menghambat penyembuhan tulang adalah Trauma lokal ekstensif, kehilangan tulang, immobilisasi tak memadai, infeksi, keganasan lokal, penyakit tulang metabolik, radiasi tulang (nekrosis radiasi), nekrosis avaskuler, usia ( lansia sembuh lebih lama) dan kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan) (Brunner & suddarth, 2002 ).

1.5 Proses Penyembuhan Tulang

Proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap patah tulang. Adapun proses yang terjadi adalah

a. Cedera Apabila tulang pasien patah maka cedera jaringan lunak akan mengelilinginya dan merobek periosteum sekurang-kurangnya satu fragmen. Hal ini mengakibatkan gangguan suplai darah pada tulang yang berdekatan dengan fraktur dan mengakibatkan iskemik.

b. Pembentukan kalus selama beberapa minggu periosteum dan endosteum menghasilkan kalus lunak yang penuh dengan sel kumparan yang aktif. Pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan kalus pada fraktur tulang panjang. Kurangnya pergerakan komplit dapat menekan pembentukannya. Setelah dua minggu kalus yang telah mengalami kalsifikasi


(33)

secara lambat diubah menjadi anyaman tulang longgar terbuka yang membuat ujung tulang menjadi melekat.

c. Penyatuan Tulang. Makin lama anyaman tulang yang mengelilingi fraktur menjadi lebih keras, dan terfiksasi dengan kuat pada fragmen sehingga dapat bergerak sebagai satu kesatuan. Ini adalah penyatuan klinis dan merupakan hal yang sangat penting dalam penyembuhan tulang yang patah. Biasanya keadaan ini terjadi pada 4-8 minggu setelah cedera, tetapi pada tibia memerlukan waktu lebih lama. Apabila fraktur pasien telah menyatu secara klinis, pembidaian dapat dikurangi tetapi harus melindunginya dari stres secara kontinu, terutama stres yang dapat menyebabkan patah.

d. Konsolidasi dan remodeling. Fragmen yang patah tetap dipertahankan oleh kalus, sedangkan tulang mati pada ujung dari masing-masing fragmen dihilangkan secara perlahan, dan ujungnya mendapat lebih banyak kalus dan akhirnya menjadi tulang padat. Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya, semakin kuat tulang baru ini. Konsolidasi memerlukan waktu yang sama dengan penyatuan secara klinis, karena itu jika penyatuan memerlukan waktu delapan minggu, konsolidasi memerlukan waktu 16 minggu. Jangan membiarkannya melakukan latihan keras hingga konsolidasi telah sempurna ( King & Bewes, 2001) .

1.6 Komplikasi

Menurut Brunner & suddarth (2002), ada 2 jenis komplikasi yang terjadi pada pasien fraktur yaitu komplikasi awal dan komplikasi lambat. 1) Komplikasi


(34)

Awal terjadi setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera, Emboli lemak yang terjadi dalam 48 jam atau lebih dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera. a) Syok. Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun yang tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak. Karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah yang sangat besar sebagai akibat dari trauma. Khususnya pada fraktur femur dan pelvis. b)

Sindrom emboli lemak. Pada saat terjadi fraktur , globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak,paru,ginjal,dan organ lain. c) Sindrom kompartemen Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan.ini bisa disebabkan karena 1) penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang terlalu menjerat, atau 2) peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah. d) Komplikasi awal lainnya berupa tromboemboli, infeksi dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID) merupakan kemungkinan komplikasi akibat fraktur. 2)


(35)

Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi fragmen tulang. Tidak adanya penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patah tulang.faktor yang ikut berperan dalam masalah penyatuan meliputi infeksi pada tempat fraktur, interposisi jaringan diantara ujung-ujung tulang, imobilisasi dan manipulasi yang tidak memadai yang menghentikan pembentukan kalus, jarak yang terlalu jauh antara fragmen tulang, kontak tulang yang terlalu terbatas, dan gangguan asupan darah yang mengakibatkan nekrosis avaskuler.

2. Keluarga

3.1Defenisi keluarga

Menurut Bergess (1962), keluarga adalah kelompok orang yang mempunyai ikatan perkawinan, keturunan/hubungan sedarah atau hasil adopsi, anggota tinggal bersama dalam satu rumah, anggota berinteraksi dan berkomunikasi dalam peran sosial, serta mempunyai kebiasaan/kebudayaan yang berasal dari masyarakat, tetapi mempunyai keunikan tersendiri. Sedangkan Menurut depkes RI (1998), keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Mubarak, 2009).

Menurut Setiadi (2008), dari beberapa pengertian keluarga maka dapat disimpulkan secara umum bahwa keluarga itu terjadi jikalau ada:


(36)

1. Ikatan atau persekutuan (perkawinan/kesepakatan) 2. Hubungan (darah / adopsi / kesepakatan )

3. Tinggal bersama dalam satu atap (serumah) 4. Ada peran masing-masing anggota keluarga 5. Ikatan emosional

Keluarga merupakan bagian dari masyarakat yang peranannya sangat penting dalam membentuk kebudayaan yang sehat. Keluarga dijadikan sebagai unit pelayanan karena masalah kesehatan keluarga saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara sesama anggota keluarga dan akan saling mempengaruhi pula keluarga-keluarga yang ada disekitarnya atau dalam konteks yang luas berpengaruh terhadap negara (Setiadi, 2008).

2.2 Karakteristik KeluargaKarakteristik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka (1996) adalah sesuatu yang mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu (Dalimunte, 2011). Berbagai teori pemikiran dari karakteristik tumbuh untuk menjelaskan berbagai kunci karakteristik manusia (Boere, 2008). Menurut Diningrum dalam Daulay (2010) bahwa karakrteristik adalah ciri-ciri dari individu yang terdiri dari data demografi seperti umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya. Jadi karakteristik keluarga adalah sifat khas yang dimiliki oleh suatu keluarga berdasarkan ciri keluarga yang terdapat dalam data demografi.. Adapun karakteristik keluarga yang dimaksud adalah :


(37)

1. Usia

Umur adalah variable yang selalu diperhatikan dalam studi epidemiologi. Angka kesakitan maupun angka kematian hampir semua menunjukkan hubungan ke umur. Umur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau ada sejak dilahirkan. Umur adalah usia individu terhitung sejak saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Menurut Organisasi kesehatan dunia ( WHO) umur di golongkan menjadi beberapa kelompok yaitu usia dewasa awal 18-39 tahun, usia pertengahan (Middle age) 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) 60-70 tahun, usia lanjut tua (old) antara 70-90 tahun, usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (erna, 2003). Adapun ciri dari dewasa awal adalah Usia banyak masalah yang berkaitan dengan rumah tangga baru, hubungan sosial, keluarga, pekerjaan dan faktor kesempatan. Dewasa pertengahan adalah meningkatnya minat terhadap aktivitas sosial, sebagai warga negara atau minat yang berkaitan dengan hobi, penyesuaian jabatan atau pekerjaan, penyesuaian yang berhubungan dengan kehidupan keluarga. Masa Usia lanjut (60-70 tahun) yaitu masa dimana kemampuan fisik cepat menurun. Pada usia lanjut kemampuan penerimaan dan mengingat (intelegensia) mengalami penurunan. Menurut Lukman (2011) dalam Daulay (2010) bahwa Usia yang semakin tinggi dapat menimbulkan kemampuan seseorang mengambil keputusan semakin bijaksana. Dalam hal ini usia yang dewasa pertengahanlah dianggap usia yang paling baik dalam mengambil keputusan yang bijaksana.

Umur yang banyak terjadi pada fraktur femur ini pada usia dewasa muda yaitu dibawah umur 45 tahun yang sering berhubungan dengan olahraga,


(38)

kecelakaan, atau pekerjaan. Sedangkan pada usia tua banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang ada kaitannya dengan perubahan hormon (Brunner & Suddarth, 2002). Adapun jenis Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola, hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley, pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari kaki karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lainnya, dan terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. Sedangkan pekerjaan yang berisiko mengalami fraktur adalah tukang besi, supir, bangunan, pembalap mobil, orang dengan penyakit degenarif dan neoplasma. Dan kecelakaan yang paling sering menjadi penyebab fraktur adalah kecelakaan sepeda motor.

2. suku

Suku merupakan bagian integral dari budaya. Di provinsi Sumatera Utara ini hampir seluruh masyarakat didominasi oleh suku Batak. Demikian pula budaya yang berkembang di Sumatera Utara di dominasi oleh Kebudayaan Batak. Orang-orang Batak ini mendiami dataran tinggi Karo, langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Dairi, Toba, Humbang hasundutan , dll. Kontak budaya dengan suku bangsa lain tidak banyak terjadi, kalaupun ada tidak terlalu mempengaruhi pola kehidupan asli mereka (Damanik, 2009). Sebagai bagian integral dari budaya, suku dapat mempengaruhi pandangan klien tentang penyebab penyakit, persepsi keparahannya, dan pilihan terhadap penyembuhan termasuk dalam pilihan pengobatan. Menurut Maramis (2006), budaya


(39)

dipengaruhi oleh suku bangsa yang dianut pasien, jika aspek suku bangsa sangat mendominasi maka pertimbangan untuk menerima atau menolak didasari pada kecocokan suku bangsa yang dianut.

3. Agama

Tidak hanya suku, Agama dan sistem kepercayaan lainnya sering kali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris religion, yang berasal dari bahasa Latin religare, yang berarti “menabatkan”), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy

and Religion (kamus Filosopi dan Agama) mendefenisikan agama sebagai

berikut, “...sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul untuk beribadah, serta menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapat kebahagiaan sejati”. Agama biasa memiliki prinsip, seperti ” 10 firman” dalam agama Kristen atau “ 5 rukun Islam “ dalam agama Islam. Agama berperan penting dalam membentuk persepsi klien tentang sehat sakit. Sebagai komponen integral dari budaya, agama dapat mempengaruhi penjelasan klien tentang penyebab penyakit, persepsi keparahannya, dan pilihan terhadap penyembuhan ( pilihan pengobatan) ( Mubarak, 2009).

3. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, baik, dan matang pada diri individu, kelompok, atau masyarakat.


(40)

Sedangkan Menurut Notoadmojo (1997) pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Dan melalui pendidikan seseorang akan memperoleh pengetahuan, apabila semakin tinggi tingkat pendidikan maka hidup akan semakin berkualitas dimana seseorang akan berfikir logis dan memahami informasi yang diperolehnya.. Menurut wield Herry A (1996) dalam Daulay (2010) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula menetukan mudah tidaknya seseorang menyerap atau memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya.

4. Pekerjaan dan Penghasilan

Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Faktor sosial ekonomi ini meliputi pekerjaan dan penghasilan (Syafrudi, 2009). Dalam penelitiannya, Varghese (2004) dalam Daulay (2010) menyebutkan bahwa 13,04% responden menyatakan pengobatan alternatif dipilih karena alasan murah. Mahalnya obat-obatan modern dan tingginya biaya fasilitas kedokteran canggih menjadi alasan masyarakat mencari jenis pengobatan alternatif, pengobatan modern mengisyaratkan adanya kemampuan ekonomi yang memadai. Faktor ekonomi mempunyai peranan besar dalam penerimaan atau penolakan suatu pengobatan. Faktor ini diperkuat dengan persepsi masyarakat bahwa pengobatan alternatif sedikit membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu (Sudarma, 2008). Kedokteran konvensional sangat tergantung


(41)

dari teknologi yang mahal untuk memecahkan masalah kesehatan, meskipun kadang hal tersebut tidak efektif (Turana, 2003).

Kedokteran modern menjadi identik dengan unpersonal dan high cost

medicine yang hanya terjangkau oleh sekelompok kecil masyarakat dan

kedokteran modern tersebut belum mampu secara meyakinkan menangani masalah penyakit degeneratif seperti masalah penuaan, kanker, diabetes, hipertensi. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat dan minat pencari pertolongan terhadap pengobatan konvensional (Turana, 2003).

3.3 Peran keluarga

Peran adalah sesuatu yang diharapkan secara normatif dari seorang dalam situasi sosial tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan. Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga. Jadi peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat (Setiadi, 2008).

Dalam UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal 5 menyebutkan “ setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungan. Dari pasal ini jelas bahwa keluarga berkewajiban menciptakan dan memelihara kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan optimal (Setiadi, 2008).


(42)

Setiap anggota keluarga memiliki perannya masing-masing seperti Ayah

sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung/pengayom dan pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu. Peran Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung keluarga, pencari nafka tambahan keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu. Peran Anak, anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangannya fisik, mental, sosial dan spiritual (Setiadi, 2008)

3.4 Fungsi pokok keluarga

Menurut Friedman (1988), secara umum fungsi pokok keluarga adalah sebagai berikut :

1) Fungsi Afektif, fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan fungsi afektif terlihat dalam keluarga yang gembira dan bahagia.

2) Fungsi sosialisasi, sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup, dimana individu secara kontinu mengubah perilaku mereka sebagai hasil dari interaksi sosial dan pembelajaran peran-peran sosial yang mereka alami. Anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya, serta perilaku melalui hubungan dan interaki dalam keluarga, sehingga individu mampu berperan di masyarakat.

3) Fungsi Reproduksi, adalah fungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.


(43)

4) Fungsi Ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti : makan, pakaian, dan perumahan, maka keluarga memerlukan sumber keuangan. Fungsi ini sulit dipenuhi pada keluarga yang berada dibawah garis kemiskinan. Perawat bertanggung jawab untuk mencari sumber-sumber di masyarakat yang dapat digunakan oleh keluarga dalam meningkatkan status kesehatan.

5) Fungsi Perawatan Keluarga/Pemeliharaan Kesehatan, fungsi perawatan kesehatan merupakan pertimbangan vital dalam pengkajian keluarga. Guna menempatkan dalam sebuah perspektif, fungsi ini merupakan salah satu fungsi keluarga yang memerlukan penyediaan kebutuhan-kebutuhan fisik, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan. Jika dilihat dari perspektif masyarakat, keluarga merupakan sistem dasar, dimana perilaku sehat dan perawatan kesehatan diatur, dilaksanakan, dan diamankan (Mubarak, chayatin, santoso, 2009)

3.5 Struktur keluarga

Menurut Setiadi (2008) Struktur keluarga menggambarkan bagaimana keluarga melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat. Struktur keluarga terdiri dari bermacam-macam, diantaranya

1) Patrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, diman hubungan ini disusun melalui jalur garis ayah. 2) Matrilineal yaitu beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur


(44)

3) Matriloka Adalah pasangan suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri.

4) Patriloka adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami.

5) Keluarga Kawin adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami atau istri.

Sedangkan menurut Friedman (1998) struktur keluarga terdiri atas

1) Pola dan proses komunikasi yaitu Komunikasi dalam keluarga dikatakan berfungsi apabila dilakukan secara jujur, terbuka, melibatkan emosi, konflik selesai, dan ada hierarki kekuatan. Komunikasi dalam keluarga dikatakan tidak berfungsi apabila tertutup, adanya isu atau berita negatif, tidak berfokus pada satu hal, dan selalu mengulang isu dan pendapat sendiri.

2) Struktur peran yaitu serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan. Jadi, pada struktur peran bisa bersifat formal atau informal.

3) Struktur kekuatan adalah kemampuan dari individu untuk mengontrol, mempengaruhi atau mengubah perilaku orang lain.

4) Struktur Nilai dan Norma. Nilai adalah sistem ide-ide, sikap, keyakinan yang mengikat anggota keluarga dalam budaya tertentu. Sedangkan norma adalah


(45)

pola perilaku yang diterima pada lingkungan sosial tertentu, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat sekitar keluarga.

Adapun yang menjadi ciri-ciri struktur keluarga adalah: Terorganisasi, yaitu saling berhubungan, saling ketergantungan antara anggota keluarga. Adanya keterbatasan, dimana setiap anggota memiliki kebebasan tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing.

Adanya perbedaan dan kekhususan, yaitu setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing.

3.6 Faktor-faktor yang memepengaruhi kesehatan keluarga

Keluarga sebagai sistem sosial didalamnya berlangsung interaksi secara terus-menerus antara anggota keluarga dan lingkungan internal dan eksternal, maka dengan sendirinya keluarga akan melakukan kompensasi sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut sehingga fungsi kesehatannya dapat terjaga.

Kesehatan keluarga dipengaruhi oleh anggota keluarga dalam menjalankan fungsinya dengan baik.

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan keluarga adalah : 1) Faktor Fisik

Ross, mirowsaky dan Goldstein (1990) memberikan gambaran bahwa hubungan positif antara perkawinan dengan kesehatan fisik. Contoh dari hubungan positif tersebut antara lain : seorang suami sebelum menikah terlihat kurus maka beberapa bulan kemudian setelah menikah akan terlihat


(46)

lebih gemuk, beberapa alasan dikemukakan bahwa dengan menikah suami ada yang memperhatikan dan pola makan lebih teratur begitu sebaliknya terjadi pada istri.

2) Faktor Psikis

Terbentuknya keluarga akan menimbulkan dampak psikologi yang besar, perasaan nyaman karena saling memperhatikan, saling menberikan penguatan atau dukungan. Suami akan merasa tentram dan tararah setelah beristri begitupun sebaliknya.

3) Faktor Sosial

Status sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap fungsi kesehatan sebuah keluarga. Dalam sebuah keluarga ada kencederungan semakin tinggi tingkat pendapatan yang diterima semakin baik taraf kehidupannya. Tingginya pendapatan yang diterima akan berdampak pada pemahaman tentang pentingnya kesehatan, jenis pelayanan kesehatan yang dipilih, dan bagaiman berespon terhadap masalah kesehatan yang ditemukan dalam keluarga. Sedangkan status sosial ekonomi yang rendah memaksa keluarga untuk memarginalkan fungsi kesehatan keluarganya, dengan alasan keluarganya akan mendahulukan kebutuhan dasarnya.

4) Faktor Budaya


(47)

Setiap suku atau bahkan bangsa memiliki keyakinan dan penilaian yang berbeda-beda terhadap fungsi kesehatan. Keyakinan keluarga terhadap fungsi kesehatan sangat dipengaruhi oleh nilai dan keyakinan yang dibawa sebelumnya.

b) Nilai-nilai Keluarga

Nilai-nilai yang dimiliki oleh keluarga mempengaruhi kesehatan keluarga yang bersangkutan. Misalnya sebuah keluarga yang kurang memperhatikan kesehatan akan merasa bahwa tanpa melakukan upaya apapun kesehatan keluarganya terjaga, tetapi keluarga tersebut akan mengalami kesulitan jika waktu nilai yang diyakini ternyata salah dan terbukti bahwa kesehatan keluarganya terganggu.

c) Peran dan Pola Komunikasi Keluarga

Dampak budaya terhadap peran, kekuatan dan komunikasi keluarga berbeda-beda pada tiap keluarga. Jika terjadi perubahan terhadap budaya dengan semestinya terjadi pergeseran peran, aturan-aturan, kekuatan dan pola komunikasi.

d) Koping Keluarga

Koping keluarga dipengaruhi oleh budaya, keluarga akan berusaha beradaptasi dengan perubahan budaya. Koping diartikan sebagai respon positif baik kognitif, afektif, maupun psikomotor bagi kehidupan keluarga dalam menyelesaikan masalah yang terjadi pada keluarga.


(48)

3.7 Tugas keluarga dalam bidang kesehatan

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Menurut Friedman, (1998) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan, yaitu :

1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya. Perubahan kecil apapun yang dialami anggota secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar perubahannya. 2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi.

3) Memberikan perawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama atau kepelayanan kesehatan untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. 4) Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan


(49)

berteduh, berlindung, dan bersosialisasi bagi anggota keluarga. Sehingga anggota keluarga akan memiliki waktu lebih banyak berhubungan dengan lingkungan tempat tinggal. Oleh karena itu, kondisi rumah haruslah dapat menjadikan lambang ketenangan, keindahan, ketentraman, dan dapat menunjang derajat kesehatan bagi anggota keluarga.

5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan). Apabila mengalami gangguan atau masalah yang berkaitan dengan kesehatan keluarga atau anggota keluarga harus dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada disekitarnya. Keluarga dapat berkonsultasi atau meminta bantuan tenaga keperawatan untuk memecahkan masalah yang dialami anggota keluarganya, sehingga keluarga dapat terbebas dari segala macam penyakit.

3.8 Proses pengambilan keputusan

Menuru Webber dalam Adriati (2010), suatu tindakan adalah perilaku manusia, yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya (Sunarto, 2005). Inti dari pengambilan keputusan adalah terletak dalam perumusan berbagai alternatif tindakan sesuai dengan yang dalam perhatian dan dalam pemiliha alternatif yang tepat setelah suatu evaluasi (penilaian) mengenai keefektivitasanya dalam mencapai tujuan yang dikehendaki pengambil keputusan (Daulay, 2010)

Salah satu komponen terpenting dari proses pembuatan keputusan adalah kegiatan pengumpulan informasi dari mana sutu apresiasi mengenai sutu keputusan dapat dibuat. Yang dimaksud dengan keputusan ialah hasil pemecahan


(50)

masalah yang dihadapinya. Pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih. Apabila informasi yang cukup dapat dikumpulakan guna memperoleh suatu spesifikasi yang lengkap dari semua alternatif dan tingkat keefktifannya dalam situasi yang sedang menjadi perhatian. Proses pembuatan atau pengambilan keputusan relatif sangatlah mudah. Akan tetapi dalam prakteknya sangatlah tidak mungkin untuk mengumpulkan informasi secara lengkap, mengingat terbatasnya dana, waktu, (Supranto,1991 dalam Purba 2006).pada umumnya pasien memperoleh pengalaman positif tentang keberhasilan pengobatan melalui informasi langsung dari orang yang telah mengalami pengobatan atau melihat langsung keberhasilan pengobatan (Daulay, 2010)

Lebih lanjut Foster dan Anderson (1986) menjelaskan, bahwa pengetahuan masyarakat tentang kesehatan berpengaruh terhadap tindakan yang dilakukannya. Terbukti bahwa ada masyarakat yang menggunakan jasa sistem medis moderen dan ada juga yang menggunakan sistem medis tradisional. Atas pengetahuan yang dimiliki itulah yang mendasari mengapa mereka memilih pengobatan moderen atau tradisional.

Berdasarkan model Fabrega dalam Purba (2006), seseorang yang melakukan pertimbangan yang menyangkut rencana pengobatan:

1) Melalui rencana pengobatan, yaitu memperkirakan kemungkinan bahwa setiap tindakan yang diambil akan mengurangi ancaman yang mungkin timbul akibat penyait


(51)

2) Memperhitungkan segala keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan, yakni seberapa jauh setiap rencana pengobatan akan mengurangi keluhan penyakit yang dirasakan.

3) Memperhitungkan segala kerugian meliputi biaya, waktu dan tenaga yang diperlukan untuk melaksanakan setiap tindakan.

4) Menetapkan manfaat dari setiap alternatif rencana pengobatan dengan melihat selisih kerugian dan keuntungan dari setiap tindakan yang diambil.

Hal terpenting dalam memilih “Rencana pengobatan” dalam proses pemilihan tindakan yang dilaksanakan orang akan menerapkan aturan-aturan dalam pengambilan keputusan (misalnya memilih yang termurah, manfaatnya besar dan sebagainya) (Purba, 2006)


(52)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di Tanjung Morawa.

Skema 3.1 Kerangka Penelitian

2. Variabel Penelitian

Karakteristik Keluarga

Defenisi Konseptual

karakteristik keluarga adalah sifat khas yang dimiliki oleh suatu keluarga.

Karakteristik Keluarga yang memilih pengobatan Tradisional Patah Tulang

− Usia Kepala keluarga

− Suku Kepala Keluarga

− Agama Kepala Keluarga

− Pendidikan Kepala Keluarga

− Pekerjaan Kepala Keluarga


(53)

Defenisi Operasional

Karakterisitik keluarga adalah sifat khas yang dimiliki suatu keluarga yang meliputi usia, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan.


(54)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan (Nursalam, 2008). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi yang bertujuan untuk menggambarkan karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan Tradisional Patah Tulang Sepadan Tarigan di Tanjung Morawa.

2. Populasi dan Sampel

2.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah kepala keluarga dari pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di Tanjung Morawa. Berdasarkan pernyataan pimpinan pengobatan tradisional pada survey awal didapatkan data yaitu populasi di pengobatan tradisional tersebut sekitar 80 pasien setiap bulannya. Namun kenyataannya pada saat penelitian berlangsung selama sebulan, ternyata populasi pada pengobatan tradisional tersebut hanya 42 pasien. Hal ini dikarenakan tidak adanya catatan yang dibuat pada setiap pasien yang datang untuk berobat.


(55)

2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2011). Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua kepala keluarga pasien fraktur yang berobat ke praktek dukun patah Sepadan Tarigan selama satu bulan. Jumlah responden sebanyak 42 orang yang merupakan kepala keluarga dari pasien, baik pasien baru, pasien rawat inap, maupun pasien rawat jalan.

2.3 Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel atau teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik nonprobabilitysampling dengan teknik sampling jenuh yaitu teknik penentuan sample bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini dilakukan bila jumlah populasi relatif kecil atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil (Sugiyono, 2011). 3. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan oleh peneliti selama bulan Februari 2012. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa praktek pengobatan tradisional ini mudah dijangkau oleh peneliti, merupakan salah satu praktek pelayanan pengobatan tradisional yang cukup diminati oleh masyarakat khususnya di T.Morawa. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kunjungan pasien setiap bulannya sekitar 42 pasien dibanding dengan pengobatan tradisional Pargendangan di T.Morawa yang hanya memiliki sekitar 4 pasien setiap bulannya. Tidak hanya itu,


(56)

dalam pemberian anastesi, obat-obatan dan foto rontgen. Pengobatan tradisional ini juga memiliki izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang dan Kejaksaan Tinggi, serta penelitian tentang karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang belum pernah dilakukan di tempat ini.

4. Pertimbangan Etik

Peneliti ini terlebih dahulu memberikan lembar persetujuan (informed consent) dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden. Jika responden bersedia, maka responden diminta untuk menandatangani informed consent. Jika responden tidak bersedia maka responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri selama proses pengumpulan data berlangsung. Untuk menjamin kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden.

5.Instrumen Penelitian

Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner data demografi yang mencakup data mengenai usia, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, penghasilan Kepala Keluarga, bekerja dibidang kesehatan, jenis fraktur, sumber informasi dan beberapa alasan memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di T.Morawa.

5. Uji Validitas dan Reliabilitas


(57)

6. Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang dilakukan peneliti pada tahap awal adalah mengirimkan izin pelaksanaan penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara ke Pengobatan Tradisional Patah Tulang Sepadan Tarigan di jalan Kebun Sayur Tanjung Morawa. Setelah mendapat izin penelitian, peneliti melaksanakan pengumpulan data awal. Setelah itu, memilih responden sesuai dengan teknik sampling jenuh yaitu teknik penentuan sample bila semua anggota populasi digunakan sebagai sample.

Setelah mendapatkan responden, selanjutnya peneliti menjelaskan pada responden tersebut tentang tujuan, manfaat, dan proses pengisian kuesioner, kemudian responden yang bersedia diminta untuk menandatangani surat persetujuan (informed consent), kemudian kuesioner diisi langsung oleh responden selama 15 menit. Selama pengisian kuesioner responden diberi kesempatan untuk bertanya kepada peneliti bila ada pernyataan yang tidak diketahui atau dipahami. Setelah semua kuesioner diisi, data dikumpulkan untuk diolah.

7. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul kemudian dilakukan analisa data melalui beberapa tahap, pertama editing yaitu memeriksa kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada lembar kuesioner untuk mempermudah mengadakan tabulasi dan analisa data, tahap ketiga


(58)

komputer, tahap keempat cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah dimasukkan untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak, tahap kelima tabulating

yaitu menganalisa data secara deskriptif untuk setiap faktor untuk memperoleh frekuensi dan persentase.

Hasil yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase dengan menggunakan teknik komputerisasi. Setelah diperoleh data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase kemudian data tersebut dianalisa dan diinterpretasikan dalam bentuk narasi sehingga dapat memberikan gambaran karakteristik yang dibutuhkan.


(59)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1Hasil Penelitian

Pada bab ini menguraikan tentang hasil penelitian mengenai gambaran karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di T.Morawa. Penelitian ini dilakukan selama satu bulan dengan Jumlah responden sebanyak 42 orang yang merupakan kepala keluarga dari pasien, baik pasien baru, pasien rawat inap, maupun pasien rawat jalan.

5.1.1 Karakteristik Responden

Hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden yang dipaparkan mencakup usia, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan terakhir, pekerjaan, penghasilan kepala keluarga, ada tidaknya keluarga dekat yang bekerja di bidang kesehatan, penghasilan perbulan dan jenis fraktur yang dialami. Dari 42 responden didapatkan hasil yaitu : 52,38% berusia 40-59 tahun, 71,43% berjenis kelamin Laki-laki, 40,48% suku Batak Toba, 50% beragama Kristen Protestan, 45,24% berpendidikan SMA/SMK/MTS, 69,05% wiraswasta, 100% responden tidak bekerja dibidang kesehatan, 64,28% berpenghasilan sebulan > 1.035.500, 90,48% adalah fraktur tertutup, dan 50% mendapatkan informasi dari sanak keluarga (family).


(60)

Tabel 5.1.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Data Demografi Responden (n=42) Data Demografi Responden Frekuensi Persentase (%) Usia

20-39 tahun 16 38.1

40-59ahun 22 52.4

>60 tahun 4 09.5

Mean : 34,88

JenisKelamin

Laki-Laki 30 71.4

Perempuan 12 28.6

Suku

Batak Toba 17 40.5

Batak Karo 12 28.6

Simalungun 1 02.4

Mandailing 7 16.7

Pakpak 1 02.4

Jawa 4 09.5

Agama

Islam 14 33.3

Protestan 21 50.0

Khatolik 7 16.7

Pendidikan terakhir

Perguruan Tinggi 5 11.9

SMA 19 45.2

SMP 9 21.4

SD 8 19.1

Tak Sekolah 1 02.4

Pekerjaan

PNS/TNI/POLRI 3 07.1

Karyawan Swasta 4 09.5

Wiraswasta 29 69.1

Bertani/Buruh 6 14.3

Bekerja di Bidang Kesehatan

Ya 0 0

Tidak 42 100.0

Penghasilan Perbulan

<Rp 1.035.500 15 35.7

>Rp 1.035.500 27 64.3

Jenis Fraktur

Fraktur Terbuka 4 09.5


(61)

5.2Pembahasan

Dalam pembahasan ini, peneliti mencoba menjawab pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di tanjung morawa.

5.2.1 Karakteristik responden

Hasil penelitian tentang gambaran karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang menunjukkan bahwa dari 42 responden, sebagian besar usia kepala keluarga pada kelompok umur 40-59 tahun yaitu sebanyak 22 responden (52.4% ). Sesuai dengan klasifikasi WHO, rentang usia tersebut berada pada rentang usia dewasa pertengahan (Middleage). Adapun ciri dari dewasa pertengahan adalah adanya aktivitas sosial yang tinggi. Aktivitas sosial yang tinggi akan memudahkan keluarga untuk mendapatkan informasi yang penting mengenai pemilihan pengobatan yang tepat melalui informasi pengalam dari teman, keluarga ataupun orang lain yang pernah merasakan efektivitas pengobatan tersebut. Informasi tersebut akan menjadi pertimbangan keluarga dalam memilih pengobatan tradiisonl. Untuk itu Lukman (2011) dalam Daulay (2010) menyatakan bahwa Usia yang semakin tinggi dapat menimbulkan kemampuan seseorang mengambil keputusan semakin bijaksana. Dalam hal ini rentang usia dewasa pertengahan dianggap usia yang paling baik dalam mengambil keputusan yang bijaksana. Termasuk dalam keputusan terhadap pemilihan pengobatan tradisional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien fraktur yang datang berjenis kelamin Laki-laki yaitu sebanyak 30 orang (71.4% ). Sesuai


(62)

dengan penelitian Purba (2009) yang berjudul “Persepsi penderita patah tulang terhadap pengobatan pada dukun patah tawar kem-kem di Kec Medan Sunggal kota Medan” , didapatkan hasil yaitu pasien fraktur didominasi oleh laki-laki (63,3%). Hal ini sesuai dengan teori pada buku Brunner & suddart (2002) yang menyatakan fraktur terjadi lebih sering pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau kecelakaan. Adapun olah raga yang dapat menyebabkan fraktur adalah sepak bola, ski, senam, volley, basket dan sepak bola, dan berdansa diatas lantai yang licin. Sedangkan pekerjaan yang berisiko mengalami fraktur adalah tukang besi, supir, bangunan, pembalap mobil, orang dengan penyakit degenarif dan neoplasma. Dan kecelakaan yang paling sering menjadi penyebab fraktur adalah kecelakaan sepeda motor. Dalam penelitiannya Moesbar (2007) menyatakan bahwa pengendara dan penumpang sepeda motorlah terbanyak mendapatkan patah tulang pada kecelakaan lalu lintas. Sedangkan pada perempuan lebih sering terjadi pada usia lanjut behubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon.

Suku merupakan bagian integral dari budaya. Di provinsi Sumatera Utara ini hampir seluruh masyarakat didominasi oleh suku Batak. Sebagai bagian integral dari budaya, suku dapat mempengaruhi pandangan klien tentang penyebab penyakit, persepsi keparahannya, dan pilihan terhadap penyembuhan termasuk dalam pilihan pengobatan. Maramis (2006) menyatakan budaya dipengaruhi oleh suku bangsa yang dianut pasien, jika aspek suku bangsa sangat mendominasi maka pertimbangan untuk menerima atau menolak pengobatan


(63)

didasari pada kecocokan suku bangsa yang dianut oleh pengobat tradisional.. Berbeda dengan pernyataan tersebut, pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa suku keluarga yang memilih pengobatan tradisional tersebut justru beraneka ragam dan sebagian besar adalah suku Batak Toba yaitu sebanyak 17 responden (40.5%). Hal ini menunjukkan bahwa budaya-budaya luhur masih tetap terpelihara dalam diri masyarakat (Turana, 2003).

Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian sebelumnya oleh oleh Pakpahan (2011) yang berjudul “faktor-faktor yang mempengaruhi penderita fraktur memilih pengobatan tradisional patah tulang P.Gurusinga kec Medan Tuntungan” dan Purba (2006) yang berjudul “Persepsi penderita patah tulang terhadap pengobatan pada dukun patah tawar kem-kem di Kec Medan Sunggal kota Medan” didapatkan hasil yaitu suku masyarakat yang memilih pengobatan tradisional itu beraneka ragam dan sebagian besar adalah suku batak Toba. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kesamaan latar belakang budaya dengan dukun patah tidak mempengaruhi pemilihan terhadap pengobatan tradisional.

Hasil penelitian menunjukkan agama yang dianut responden mayoritas adalah Kristen Protestan, yaitu sebanyak 21 responden (50%), sedangkan agama Islam sebanyak 14 responden (33.33%), dan Kristen Khatolik sebanyak 7 responden (16.7%). Agama berperan penting dalam membentuk persepsi klien tentang sehat sakit. Sebagai komponen integral dari budaya, agama dapat mempengaruhi penjelasan klien tentang penyebab penyakit, persepsi keparahannya, dan pilihan terhadap penyembuhan (pilihan pengobatan) (Mubarak, 2009). Hal ini berkaitan dengan suku sebagian besar responden yaitu suku Batak


(64)

Toba. Menurut Setianto (2011), bahwa Agama Kristen Protestan menjadi agama yang dominan pada suku batak Toba, sehingga agama kristen protestanlah yang menjadi mayoritas pemilih pengobatan tradisional Sepadan Tarigan.

Gambaran umum pendidikan responden berdasarkan tingkat pendidikan formal adalah mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu Perguruan Tinggi 11.90%, SMA/SMK/MAN 45.24%, SMP 21.43%, SD 19.05% dan tidak sekolah sebanyak 2.4%. Menurut wield Herry A (1996) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap atau memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya. Dan tingkat pendidikan yang berbeda mempunyai kecenderungan yang tidak sama dalam mengerti dan bereaksi terhadap kesehatan mereka, hal ini yang juga dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan terhadap pengobatan (Notoatmodjo, 2003).

Foster & Anderson (1986) menyatakan bahwa pemilihan pengobatan alternatif biasanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah serta kurangnya informasi tentang kesehatan yang diterima. Namun pernyataan terbaru yang dikemukakan oleh Kasnodiharjo (2005) dalam bukunya menyatakan bahwa nilai-nilai tradisional saat ini tidak hanya melanda masyarakat pedesaan saja namun masyarakat perkotaan juga. Tidak hanya pada masyarakat pendidikan rendah saja tetapi masyarakat pendidikan atas bahkan sarjana yang memiliki tingkat rasional yang cukup tinggi mengambil jalan pintas ke arah pengobatan tradisional. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Pakpahan (2011) dan Purba (2006) yaitu ternyata pendidikan masyarakat yang


(65)

memilih pengobatan tradisional patah tulang mayoritas adalah SMA dan Perguruan tinggi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang memilih pengobatan tradisional adalah baik.

Pekerjaan responden mayoritas wiraswasta 69.1% dan mayoritas penghasilan responden perbulan > Rp 1.035.000 sebanyak 64.3% , hal ini sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) SUMUT tahun 2011 yaitu sebesar Rp 1.035.500. Ini menunjukkan tingkat kesejahteraan responden cukup baik. Varghese (2004) dalam Pakpahan (2011), menyatakan bahwa pengobatan alternatif dipilih karena alasan murah. Mahalnya obat-obatan modern dan tingginya biaya fasilitas kedokteran canggih menjadi alasan masyarakat mencari jenis pengobatan alternatif, pengobatan modern mengisyaratkan adanya kemampuan ekonomi yang memadai. Namun dalam surat kabar Analisa (2011) menyatakan bahwa maraknya masyarakat berobat ke pengobatan alternatif tidak selamanya karena biaya yang tinggi berobat ke dokter. Sekarang ini pemerintah telah memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat berupa jamkesmas, jamkesda dan lain sebagainya. Program kesehatan masyarakat yang diberikan pemerintah dapat dimanfaatkan masyarakat untuk berobat ke rumah sakit. Jadi, tidak ada alasan lagi karena persoalan biaya.

Berdasarkan uraian responden terhadap alasan memilih pengobatan tradisional didapatkan data bahwa mayoritas responden menyatakan alasan memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan karena faktor kepercayaan akan manfaat dan keberhasilan pengobatan tradisional dibanding dengan pengobatan medis. Jadi bukan karena faktor ekonomi yang mendominasi


(1)

(2)

Lampiran 6

TAKSASI DANA

PROPOSAL

Biaya tinta, kertas print proposal dan jilid

Rp. 150.000

Fotocopy sumber-sumber tinjauan pustaka

Rp. 20.000

Fotocopy penggandaan proposal

Rp. 80.000

Konsumsi Sidang Proposal

Rp. 60.000

Biaya internet

Rp. 50.000

PENGUMPULAN DATA

Transportasi

Rp. 20.000

Fotocopy kuesioner dan persetujuan penelitian

Rp. 60.000

Reward

Rp 60.000

ANALISA DATA DAN PENYUSUNAN LAPORAN

Biaya kertas dan print

Rp. 100.000

Penjilidan laporan penelitian

Rp. 100.000

Penggandaan laporan penelitian

Rp. 100.000

Biaya sidang skipsi

Rp. 300.000

BIAYA TAK TERDUGA

Rp. 100.000


(3)

Lampiran 7

Frequency Table

usia kepala keluarga

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 20-39 16 38.1 38.1 38.1

40-59 22 52.4 52.4 90.5

>60 4 9.5 9.5 100.0

Total 42 100.0 100.0

jeniskelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid laki-laki 30 71.4 71.4 71.4

perempuan 12 28.6 28.6 100.0

Total 42 100.0 100.0

suku responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid batak toba 17 40.5 40.5 40.5

batak karo 12 28.6 28.6 69.0

batak simalungun 1 2.4 2.4 71.4

mandailing 7 16.7 16.7 88.1

pakpak 1 2.4 2.4 90.5

jawa 4 9.5 9.5 100.0

Total 42 100.0 100.0

agama responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Islam 14 33.3 33.3 33.3


(4)

Kristen khatolik 7 16.7 16.7 100.0

Total 42 100.0 100.0

pendidikan kepala keluarga

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak sekolah 1 2.4 2.4 2.4

SD/SR 8 19.0 19.0 21.4

SMP/MTS 9 21.4 21.4 42.9

SMA/SMK/MAN 19 45.2 45.2 88.1

Diploma/perguruan tingi 5 11.9 11.9 100.0

Total 42 100.0 100.0

Pekerjaan kepala keluarga

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid PNS 3 7.1 7.1 7.1

Pegawai swata 4 9.5 9.5 16.7

wiraswasta 29 69.0 69.0 85.7

Bertani/buruh 6 14.3 14.3 100.0

Total 42 100.0 100.0

apakahbekerja di bid kesehatan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tidak 42 100.0 100.0 100.0

penghasilan kepala keluarga

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <1.035.000 15 35.7 35.7 35.7

>1.035.000 27 64.3 64.3 100.0


(5)

jenis fraktur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tertutup 42 100.0 100.0 100.0

sumber informasi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid teman 6 14.3 14.3 14.3

banyak orang 15 35.7 35.7 50.0

keluarga 21 50.0 50.0 100.0


(6)

Lampiran 6

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Lamtiur Ritonga

Tempat Tanggal Lahir

: Tg.Morawa, 18 April 1990

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Kristen Protestan

Alamat

: Jl. Bandar Labuhan Gg.Peston Tg.Morawa

Riwayat Pendidikan

:

1.

1996-2002 : SD N 1 No.101897 T.Morawa, Deli Serdang

2.

2002-2005 : SLTP N 1 T.Morawa, Deli Serdang

3.

2005-2008 : SMA N 1 T.Morawa, Deli Serdang

4.

2008-2012 : Fakultas Keperawatan USU