Hubungan Morfologi Vertikal Wajah Terhadap Tinggi Dentoalveolar Regio Molar dan Lebar Lengkung Gigi pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU

(1)

HUBUNGAN MORFOLOGI VERTIKAL WAJAH TERHADAP

TINGGI DENTOALVEOLAR REGIO MOLAR DAN LEBAR

LENGKUNG GIGI PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS

ORTODONTI FKG USU

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: SURYA WIJAYA

NIM: 080600041

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ortodonsia Tahun 2012

Surya Wijaya

Hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU.

xi + 49 halaman.

Banyak literatur dalam ilmu ortodonti membahas mengenai morfologi wajah yang abnormal. Pada tipe wajah vertikal yang ekstrem dijumpai adanya pertumbuhan vertikal yang berlebih pada dentoalveolar regio posterior dan individu yang berwajah panjang cenderung memiliki dimensi tranversal lengkung gigi yang sempit dan individu berwajah pendek memiliki dimensi tranversal lengkung gigi yang lebar. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini menggunakan 30 sefalogram lateral dan model studi gigi yang diperoleh dari pasien Klas I skeletal di klinik PPDGS ortodonti FKG USU yang telah diseleksi terlebih dahulu.

Hasil penelitian yang diperoleh disimpulkan bahwa korelasi positif hanya terdapat pada hubungan antara tinggi wajah anterior bawah dengan tinggi dentoalveolar regio molar, tetapi tinggi wajah anterior bawah tidak menunjukkan


(3)

korelasi yang signifikan terhadap lebar lengkung gigi. Pada analisis hubungan antara sudut MP-SN dengan tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi juga tidak memperlihatkan adanya korelasi yang signifikan.


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, Mei 2012

Pembimbing : Tanda Tangan

1. Erliera, drg., Sp.Ort ... NIP : 197210151999032001


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 22 Mei 2012

TIM PENGUJI

KETUA : Erliera, drg., Sp.Ort

ANGGOTA : Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort (K) Siti Bahirrah, drg., Sp.Ort


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2.Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort (K)., selaku Ketua Departemen Ortodonsia dan penguji skripsi atas waktu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

3. Erliera, drg., Sp.Ort., sebagai pembimbing yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Siti Bahirrah, drg., Sp.Ort., selaku dosen penguji skripsi yang telah menyediakan waktu dan memberikan masukan kepada penulis.

5.Seluruh staf pengajar FKG USU terutama staf dan pegawai di departemen Ortodonsia FKG USU atas bantuan yang diberikan kepada penulis.

6.Drs. Abdul Jalil selaku Pembantu Dekan III Fakultas Kesehatan Masyarakat atas bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis.


(7)

7. Rasa terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda Sendianto dan Ibunda yang tercinta Yenny Fransiska yang selalu memberikan dorongan, semangat dan doa kepada penulis serta bantuan baik berupa moral ataupun materi yang tidak akan terbalas oleh penulis sampai kapan pun.

8.Selanjutnya, penulis menyampaikan terima kasih kepada Fensuny, Jesica, Monika, Steffi, Merry, Dewi, dan teman-teman seangkatan stambuk 2008 yang telah membantu.

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan bimbingan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Ortodonti.

Medan, 24 April 2012 Penulis,

(Surya Wijaya) NIM:080600041


(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Fotografi ... 5

2.2 Radiografi Sefalometri ... 8

2.3 Analisis Sefalometri... 9

2.4 Pertumbuhan Wajah dalam Arah Vertikal ... 12

2.4.1 Tinggi Wajah pada Jaringan Lunak dengan Sefalometri 13 2.4.2 Tinggi Wajah pada Jaringan Keras (Kraniofasial) ... 14

2.5 Morfologi Vertikal Wajah ... 15

2.5.1 Analisis Down ... 15

2.5.2 Analisis Steiner ... 17

2.5.3 Analisis Jarabak ... 18

2.6 Pengukuran Dentoalveolar ... 18


(9)

2.7.1 Lebar Lengkung Gigi ... 20

2.8 Hubungan Morfologi Vertikal Wajah terhadap Tinggi Dentoalveolar dan Lebar Lengkung Gigi ... 21

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 23

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.3 Populasi Penelitian ... 23

3.4 Sampel Penelitian ... 23

3.4.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 24

3.5 Variabel Penelitian ... 25

3.6 Definisi Operasional Penelitian ... 25

3.7 Alat dan Bahan Penelitian ... 27

3.8 Cara Penelitian ... 28

3.9 Pengolahan Data dan Analisis Data ... 30

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 32

BAB 5 PEMBAHASAN ... 38

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 42

6.2 Saran ... 44

DAFTAR RUJUKAN... 45 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Proporsi wajah secara fotografi ... 6

2. Simetri wajah ... 6

3. Bentuk wajah ... 7

4. Konveksitas wajah ... 7

5. Profil wajah ... 8

6. Sefalogram frontal dan lateral ... 9

7. Titik-titik jaringan keras ... 11

8. Titik-titik jaringan lunak ... 12

9. Proporsi wajah pada sefalometri lateral ... 13

10. Tinggi wajah menurut Jarabak ... 14

11.Sudut MP-FH dan Y-axis menurut Down ... 16

12.Sudut MP-SN menurut Steiner ... 17

13.Pengukuran dentoalveolar ... 19

14.Pengukuran lebar intermolar ... 21

15.Alat yang digunakan ... 28


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rerata Lebar Lengkung Gigi pada Mahasiswa Suku Batak

Universitas Sumatera Utara ... 21 2. Nilai Rerata Sudut MP-SN dan Tinggi Wajah Anterior Bawah pada

Pasien Di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU ... 32 3. Nilai Rerata Tinggi Dentoalveolar Regio Molar pada Pasien Di Klinik

PPDGS Ortodonti FKG-USU ... 32 4. Nilai Rerata Lebar Lengkung Gigi pada Pasien Di Klinik PPDGS

Ortodonti FKG-USU ... 33 5. Hubungan antara Sudut MP-SN dengan Tinggi Dentoalveolar Regio

Molar pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU ... 34 6. Hubungan antara Tinggi Wajah Anterior Bawah dengan Tinggi

Dentoalveolar Regio Molar pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti

FKG-USU ... 35 7. Hubungan antara Sudut MP-SN dengan Lebar Lengkung Gigi pada

Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU ... 36 8. Hubungan antara Tinggi Wajah Anterior Bawah dengan Lebar


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Kerangka teori 2. Kerangka konsep

3. Hasil pengukuran sudut MP-SN, tinggi wajah anterior bawah, tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU

4. Hasil perhitungan statistik sudut MP-SN, tinggi wajah anterior bawah, tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak literatur dalam ilmu ortodonti membahas mengenai morfologi wajah yang abnormal.1-5 Ditemukan variasi yang begitu besar pada beberapa populasi dan telah banyak studi yang membahas mengenai variasi morfologi wajah manusia. Beberapa peneliti menemukan metode dalam mengidentifikasi berbagai tipe wajah menjadi beberapa klasifikasi. Klasifikasi tipe wajah memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosa dan merencanakan perawatan pada struktur kraniofasial dan diskrepansi rahang.6

Morfologi vertikal wajah berhubungan dengan bidang mandibula (MP). Schudy (1964) menggunakan basis kranii anterior (SN) sebagai garis referensi dalam menentukan kemiringan bidang mandibula (MP).7,8 Subjek yang memiliki sudut MP-SN tinggi cenderung berwajah panjang, dan sebaliknya subjek dengan sudut MP-MP-SN rendah sering memiliki wajah yang lebih pendek.9 Tsunori dkk. (1998), melaporkan bahwa tipe wajah (wajah pendek, normal atau panjang) memberikan karakteristik morfologis yang berbeda-beda. Hal ini menjadi faktor penting dalam merencanakan perawatan ortodonti, karena tipe wajah selain dapat mempengaruhi pertumbuhan sistem maksilofasial juga dapat mempengaruhi pemilihan sistem penjangkaran yang akan digunakan pada perawatan ortodonti.10

Pada tipe wajah vertikal yang ekstrem sering ditemukan adanya pertumbuhan vertikal yang abnormal pada dentoalveolar regio posterior.11-17 Pertumbuhan


(14)

abnormal yang berlebihan pada dentoalveolar regio posterior ini merupakan salah satu karakteristik long-face syndrome.13-16 Sebaliknya, dijumpai defisiensi pertumbuhan dentoalveolar pada subjek short-face syndrome.11 Namun, menurut Martina dkk. (2005), menyatakan bahwa tidak ditemukan pengaruh pertumbuhan vertikal abnormal dengan tinggi dentoalveolar regio molar sehingga temuannya tidak mendukung pernyataan di atas.18 Betzenberger dkk. (1999), juga berpendapat sama, bahwa terjadi pengurangan tinggi dentoalveolar regio posterior pada maksila dan mandibula dengan subjek yang memiliki sudut MP-SN besar pada periode gigi permanen.17

Besarnya pertumbuhan vertikal kompleks dentokraniofasial dikendalikan oleh faktor genetik dan lingkungan.19,20 Dentoalveolar dianggap lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan faktor keturunan atau genetik.21 Pendapat ini didukung oleh temuan Enlow dkk. (1971), yang menyatakan bahwa selama pertumbuhan, gigi geligi erupsi dengan beradaptasi terhadap pertumbuhan lengkung rahang atas dan rahang bawah.22 Modifikasi pertumbuhan dari tinggi dentolaveolar dapat dilakukan melalui perawatan ortodonti.18

Morfologi vertikal wajah sering dihubungkan dengan lebar lengkung gigi. Menurut Enlow dan Hans (1996), Wagner dan Chung (2005), individu yang berwajah panjang cenderung memiliki dimensi tranversal yang lebih sempit dan individu berwajah pendek memiliki dimensi tranversal yang lebih lebar.9,23

Beberapa penelitian telah dilakukan dalam menunjukkan bahwa ada hubungan antara morfologi vertikal wajah dan lebar lengkung gigi. Howes (1957) menemukan bahwa individu dengan kemiringan bidang mandibula yang curam umumnya


(15)

memiliki gigi lebih besar, lengkung yang sempit dan pendek daripada individu dengan bidang mandibula datar.24 Isaacson dkk. (1971),juga melaporkan bahwa pada subjek dengan wajah panjang cenderung memiliki penurunan lebar intermolar pada maksila.11

Nasby dkk. (1972), mencatat bahwa rerata panjang lengkung maksila dan mandibula serta lebar intermolar mandibula lebih besar pada subjek dengan sudut MP-SN yang kecil bila dibandingkan dengan subjek sudut MP-SN yang besar.25 Forster dkk. (2008), mengungkapkan bahwa peningkatan sudut MP-SN cenderung diikuti dengan penurunan lebar lengkung gigi, walaupun korelasi yang ditemukan tidak terlalu kuat.26

Dimensi vertikal merupakan dimensi yang penting dianalisis secara klinis di bidang ortodonti. Diskrepansi vertikal dapat digambarkan sebagai gigitan terbuka dan gigitan dalam.27 Mengetahui normal atau tidaknya suatu maloklusi dalam arah vertikal dan anteroposterior akan membantu dalam penegakan diagnosa yang lebih akurat dan akan menghasilkan rencana perawatan yang lebih spesifik dan hasil optimal.28

Pada saat ini, masih terdapat pertentangan di antara peneliti yang membahas mengenai hubungan antara morfologi vertikal wajah yang diwakilkan oleh sudut MP-SN dengan tinggi dentoalveolar regio molar. Beberapa peneliti berpendapat bahwa terdapat hubungan antara morfologi vertikal wajah dengan tinggi dentoalveolar regio molar, sementara peneliti lain berpendapat bahwa tidak ada hubungan di antara keduanya. Begitu juga hasil penelitian mengenai hubungan morfologi vertikal wajah dengan lebar lengkung gigi, tidak ditemukan korelasi yang bermakna dan signifikan


(16)

di antara keduanya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan apakah ada hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat adanya hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU.

1.4 Hipotesa Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Membantu dalam penentuan rencana perawatan ortodonti dan prognosa perawatan. 2. Hasilnya dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Kasus maloklusi yang disertai diskrepansi vertikal cenderung sulit dalam perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi vertikal dapat bermanifestasi pada regio anterior yang mempengaruhi overbite, wajah yang pendek cenderung memiliki gigitan yang dalam sedangkan wajah yang panjang cenderung memiliki gigitan terbuka pada regio anterior.14,29,30

Dimensi vertikal wajah dapat diukur melalui analisis fotografi atau sefalometri baik dalam arah frontal maupun lateral. Karakteristik pertumbuhan vertikal wajah yang abnormal cenderung diikuti dengan diskrepansi dalam arah transversal.9,23 Diskrepansi dalam arah transversal dapat ditinjau dari analisis model pada rahang atas dan bawah, salah satunya melalui pengukuran lebar lengkung gigi.31

2.1 Analisis Fotografi

Metode fotografi sering digunakan dalam bidang ilmu ortodonti untuk mengevaluasi konfigurasi fasial baik dalam arah frontal maupun arah lateral. Analisis fotografi sering digunakan untuk menganalisis proporsi wajah, simetri wajah, bentuk wajah, dan konveksitas jaringan lunak wajah.31,32

Proporsi wajah secara frontal dan lateral dianalisis dalam arah vertikal. Proporsi wajah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga atas (trichion - glabella), sepertiga tengah (glabella - subnasal) dan sepertiga bawah (subnasal – menton’) (Gambar 1).16,27,32,33


(18)

Gambar 1. (A) Proporsi wajah secara frontal, (B) Proporsi wajah secara lateral.32

Simetri wajah dapat dianalisis dari arah frontal dengan cara, wajah dibagi menjadi dua bagian dengan menggunakan garis simetri wajah yang melalui titik glabella, puncak hidung, titik tengah bibir atas dan dagu (Gambar 2).31,32,33


(19)

Bentuk wajah dalam arah frontal dapat dievaluasi berdasarkan indeks morfologi wajah. Bentuk morfologi wajah mempunyai hubungan terhadap lengkung gigi geligi. Titik yang menjadi pedoman adalah nasion, zygoma, dan gnathion (Gambar 3).31

Gambar 3. Pengukuran bentuk wajah.31

Analisis konveksitas wajah secara lateral pada analisis fotografi menggunakan dua garis penuntun, yaitu garis yang menghubungkan antara dahi dan batas terluar bibir atas kemudian garis yang menghubungkan batas terluar dari bibir atas dengan titik pogonion jaringan lunak (Gambar 4).16,27,31


(20)

Profil wajah dibagi menjadi tiga berdasarkan hubungan antara kedua garis penuntun tersebut, yaitu profil lurus (kedua garis cenderung membentuk garis lurus), profil konveks (kedua garis membentuk sudut yang cembung, yaitu posisi dagu cenderung ke posterior wajah yang disebut divergen posterior) dan profil konkaf (kedua garis membentuk sudut yang cekung, yaitu posisi dagu cenderung ke anterior wajah yang disebut divergen anterior), ketiga profil tersebut dapat dilihat pada gambar 5.16,27,31,33

Gambar 5. Profil wajah.31

2.2 Radiografi Sefalometri

Radiografi sefalometri merupakan sarana penunjang yang penting di dalam bidang ortodonti untuk menganalisis kelainan dentokraniofasial, menegakkan diagnosa, mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial serta menentukan rencana perawatan.27,31,33,34,35,38 Analisis pada radiografi sefalometri dilakukan dengan menetapkan lokasi titik-titik referensi pada bagian-bagian skeletal dan jaringan lunak kraniofasial yang akan menghasilkan garis, bidang dan sudut.31,33,34 Jenis sefalometri dibagi menjadi dua, yaitu (Gambar 6) :


(21)

1. Sefalometri frontal yaitu gambaran frontal atau antero-posterior tengkorak kepala (Gambar 6 A).

2. Sefalometri lateral yaitu gambaran lateral tengkorak kepala (Gambar 6 B).

Gambar 6. (A) Sefalogram frontal, (B) Sefalogram lateral.33

Sefalometri mempunyai beberapa kegunaan yakni : 1. Mempelajari pertumbuhan struktur kraniofasial.

2. Menegakkan diagnosa atau analisis kelainan kraniofasial. 3. Mempelajari berbagai tipe wajah.

4. Merencanakan perawatan ortodonti.

5. Mengevaluasi kasus-kasus yang telah dirawat (progress reports). 6. Menganalisis secara fungsional.

7. Kepentingan riset.27

2.3 Analisis Sefalometri

Analisis terhadap jaringan keras dan lunak wajah dapat dilakukan pada sefalogram lateral. Titik-titik yang digunakan dalam analisis jaringan keras adalah (Gambar 7) :27,31,33,34,36,38


(22)

a. Sella (S) : titik ditengah-tengah fossa pituitary (sella turcica). b. Nasion (N/Na) : titik perpotongan sutura frontonasalis.

c. Orbitale (Or) : titik paling rendah pada tepi bawah tulang orbita.

d. Sub-spina (A) : titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion.

e. Supra-mental (B) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion. f. Pogonion (Pog) : titik paling depan pada tulang dagu.

g. Gnathion (Gn) : titik di antara pogonion dan menton.

h. Menton (Me) : titik paling bawah atau inferior pada tulang dagu.

i. Articulare (Ar) : titik perpotongan antara tepi bawah basis kranium dan permukaan posterior kondilus mandibula.

j. Gonion (Go) : titik bagi yang dibentuk oleh garis dari sudut yang dibentuk oleh bidang mandibula dan ramus mandibula.

k. Porion (Po) : titik paling superior dari porus accusticus externus.

l. Pterygomaxilary Fissure (PTM) : bayangan radiolusen yang menyerupai tetes air mata, bagian anterior dari bayangan tersebut adalah permukaan poterior tuber maksilaris.


(23)

Gambar 7. Titik-titik dalam analisis jaringan keras.36

Titik-titik yang digunakan dalam analisis jaringan lunak (Gambar 8) : 27,31,33,34,36,38

a. Glabella (G) : titik paling anterior dahi pada dataran midsagital.

b. Nasion kulit (N’) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung. c. Pronasale (P) : titik paling anterior dari hidung.

d. Subnasale (Sn) : titik dimana septum nasal berbatasan dengan bibir atas. e. Labrale superius (Ls) : titik perbatasan mukokutaneus bibir atas.

f. Superior labial sulkus (SLS) : titik tercekung di antara Sn dan Ls. g. Stomion superius (Stms) : titik paling bawah pada vermilion bibir atas. h. Stomion inferius (Stmi) : titik paling atas pada vermilion bibir bawah. i. Labrale inferius (Li) : titik perbatasan pada membran bibir bawah. j. Inferior labial sulkus (ILS) : titik paling cekung di antara Li dan Pog’.


(24)

k. Pogonion kulit (Pog’) : titik paling anterior jaringan lunak dagu. l. Menton kulit (Me’) : titik paling inferior pada jaringan lunak dagu.

Dengan menggunakan titik-titik diatas, berbagai analisis terhadap jaringan keras dan jaringan lunak wajah dapat dilakukan.27,31,33,34,36,38

Gambar 8. Titik-titik dalam analisis jaringan lunak.33

2.4 Pertumbuhan Wajah dalam Arah Vertikal

Basis kranii anterior (SN) sering digunakan sebagai garis acuan untuk menentukan kemiringan bidang mandibula (MP). Individu dengan sudut MP–SN yang lebih besar akan cenderung memiliki wajah yang panjang. Hal ini disebabkan selama perkembangan rahang bawah berputar menjauhi rahang atas sehingga menyebabkan penambahan panjang vertikal wajah. Sebaliknya, individu dengan sudut MP–SN yang lebih kecil cenderung mempunyai wajah yang lebih pendek karena rahang bawah rotasi mendekati rahang atas.11

Tinggi wajah bagian bawah dipengaruhi oleh tinggi erupsi gigi – geligi dan pertumbuhan rahang. Tinggi wajah juga dipengaruhi oleh besar sudut gonion mandibula. Individu dengan sudut gonion yang besar cenderung memiliki wajah yang


(25)

panjang, sedangkan individu dengan sudut gonion yang lebih kecil cenderung memiliki wajah yang pendek. Keadaan ini tercermin pada hubungan oklusal. Wajah yang pendek cenderung memiliki overbite yang dalam sedangkan wajah yang panjang cenderung memiliki gigitan terbuka anterior.3,5,11,14,16,29

2.4.1 Tinggi Wajah pada Jaringan Lunak dengan Sefalometri

Dimensi vertikal wajah juga dapat diukur berdasarkan penilaian proporsi wajah pada jaringan lunak dengan foto sefalometri. Penilaian proporsi wajah dikelompokkan menjadi tinggi wajah anterior bagian atas dan tinggi wajah anterior bagian bawah (Gambar 9). Tinggi wajah anterior atas dapat diukur dari titik glabella ke subnasal dan tinggi wajah anterior bawah diukur dari titik subnasal ke menton kulit. Proporsi tinggi wajah ideal apabila wajah atas dan wajah bawah memiliki tinggi yang sama besar (Proporsi ideal 1:1). Pada wajah bawah, proporsi bibir yang ideal adalah bibir atas tingginya sepertiga dari tinggi wajah bawah dan untuk bibir bawah tingginya dua pertiga dari wajah bawah.33,38

Gambar 9. Proporsi wajah dari jaringan lunak. A. Wajah atas (G-Sn), B. Wajah bawah (Sn-Me’).33


(26)

2.4.2 Tinggi Wajah pada Jaringan Keras (Kraniofasial)

Dimensi vertikal pada jaringan keras dapat diukur dari sefalometri lateral. Terdapat beberapa pengukuran dimensi vertikal terhadap jaringan keras. Menurut Jarabak, pengukuran linier pada tinggi wajah dibagi menjadi dua, yaitu tinggi wajah anterior dan tinggi wajah posterior. Tinggi wajah anterior (AFH) adalah jarak dari nasion (N) ke menton (Me), sedangkan tinggi wajah posterior (PFH) diperoleh dari pengukuran titik sella (S) ke gonion (Go) (Gambar 10). Pengukuran ini harus dilakukan pada gigi dalam keadaan oklusi habitual.27,31,33,38

Gambar 10. Pengukuran tinggi wajah menurut Jarabak.37

Tinggi wajah anterior dapat dibagi lagi menjadi dua, yakni tinggi wajah anterior atas (UAFH) dan tinggi wajah anterior bawah (LAFH). Tinggi wajah anterior atas diperoleh dari jarak nasion ke spina nasalis anterior dan tinggi wajah anterior bawah adalah jarak dari spina nasalis anterior ke menton.33,38


(27)

Menurut analisis Tweed dan Merrifield, tinggi wajah posterior (PFH) adalah pengukuran tinggi ramus mandibula, yaitu jarak dari articulare ke bidang mandibula. Nilai vertikal ini penting dalam analisis kranial. Nilai ini mempengaruhi bentuk wajah baik secara vertikal atau horizontal. Peningkatan tinggi wajah posterior menyebabkan pertumbuhan mandibula berotasi ke arah yang berlawanan dengan jarum jam dan juga mempengaruhi penutupan mandibula. Selanjutnya besar tinggi wajah anterior (AFH) adalah pengukuran yang dilakukan dari bidang palatal ke menton. Peningkatan tinggi wajah posterior dapat dikontrol dengan modifikasi pertumbuhan dentoalveolar regio molar yakni dengan mengekstrusi atau mengintrusi gigi maksila atau mandibula.27,33

2.5 Morfologi Vertikal Wajah

Ada beberapa pengukuran morfologi vertikal pada skeletal wajah, seperti sudut Y-axis, bidang mandibula ke dataran frankfurt (MP-FH), bidang mandibula ke sella tursika (MP-SN), rasio tinggi wajah anterior dan tinggi wajah posterior (S:Go/N:Me), serta NSGn.31,36,38

2.5.1 Analisis Down

a. Sudut Bidang Mandibula

Menurut Down, bidang mandibula adalah garis yang menghubungkan titik gonion dan menton, serta menyinggung bagian paling bawah dari simfisis mandibula. Sudut MP-FH diperoleh dari perpotongan bidang mandibula (MP) dan dataran frankfurt (FH) (Gambar 11). Jika sudut MP-FH meningkat, pola pertumbuhan wajah cenderung ke arah vertikal atau hyperdivergent. Sudut MP-FH yang tinggi dapat


(28)

ditemukan baik pada wajah retrusif dan protrusif, pertumbuhan vertikal dapat mempersulit perawatan dan memiliki prognosis yang buruk. Rentangan nilai ideal dari sudut ini berkisar antara 17o sampai 28o dengan nilai rata-rata 21,9o.27,33

b. Sumbu Y-axis

Y-axis diperoleh dari sudut yang terbentuk oleh perpotongan garis antara sella tursika ke gnathion dengan bidang frankfurt (FH) (Gambar 11). Pada kasus skeletal Klas II biasanya diperoleh sudut yang lebih besar daripada skeletal klas III. Y-axis menggambarkan posisi dagu terhadap skeletal wajah. Nilai rata-rata dari Y-axis adalah 59o dengan kisaran 53o-66o.27,33

Gambar 11. Sudut MP-FH dan Y-axis menurut Down.33

Sudut Y-axis yang kecil dapat diinterpretasikan memiliki pola pertumbuhan mandibula arah horizontal yang lebih besar dibandingkan dalam arah vertikal.


(29)

Sebaliknya, peningkatan sudut Y-axis menunjukkan kelebihan pertumbuhan dalam arah vertikal pada mandibula.27,33

2.5.2 Analisis Steiner

Menurut Steiner, bidang mandibula adalah garis yang ditarik dari titik gonion dan gnathion. MP-SN adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan bidang mandibula ke basis kranii anterior (SN) (Gambar 12). Nilai rata-rata dari sudut ini adalah 32o. Sudut MP-SN yang kecil mengindikasikan pola pertumbuhan wajah yang lebih cenderung ke arah horizontal sedangkan sudut MP-SN yang besar menunjukkan pola pertumbuhan wajah ke arah vertikal. Sudut MP-SN yang berlebih atau kurang menunjukkan pola pertumbuhan yang tidak menguntungkan dalam menentukan rencana perawatan dan dapat mempengaruhi hasil akhir perawatan.27,33


(30)

2.5.3 Analisis Jarabak

Pengukuran sudut NSGn ditemukan oleh Jarabak, yaitu sudut yang dibentuk oleh basis kranii anterior (SN) dengan garis yang ditarik dari sella tursika ke gnation. Sudut ini disebut juga dengan Y-axis. Rasio PFH/AFH (S:Go/N:Me) diperkenalkan oleh Jarabak pada tahun 1972 yang dikenal sebagai rasio Jarabak. Rasio ini digunakan sebagai penentu arah pertumbuhan wajah pasien. Nilai rata-rata dari rasio ini adalah 62-65%. Jika rasio yang diperoleh lebih kecil dari 62% mengindikasikan pola pertumbuhan cenderung ke arah vertikal dan memiliki nilai tinggi wajah posterior yang kecil. Sebaliknya, jika rasio lebih besar dari 65% maka mengindikasikan pola pertumbuhan lebih ke arah horizontal dan memiliki nilai tinggi wajah posterior yang besar. Arah pertumbuhan kraniofasial ini sangat berperan penting dalam merencanakan perawatan ortodonti terutama penggunaan piranti fungsional.37,38

Rasio Jarabak = PFH

AFH x 100

2.6 Pengukuran Dentoalveolar

Buschang dkk. (2008), melakukan pengukuran linier dentoalveolar, antara lain pengukuran U6-PP yaitu jarak perpendikular dari cusp mesial gigi molar pertama maksila ke dataran palatal, L6-MP yaitu jarak perpendikular dari cusp mesial gigi molar pertama mandibula ke bidang mandibula (Gambar 13).39


(31)

Gambar 13. Pengukuran linier dentoalveolar dengan sefalometri. (A) Dataran palatal (PNS-ANS) atau palatal plane (PP); (B) Bidang mandibula (Go-Me) atau mandibular plane (MP) ; (C) Tinggi vertikal molar pertama maksila (U6-PP); (D) Tinggi vertikal molar pertama mandibula (L6-MP).39

2.7 Dimensi Lengkung Gigi

Lengkung gigi merupakan suatu garis lengkung imajiner yang menghubungkan sederetan gigi pada rahang atas dan rahang bawah.40 Moyers menyatakan bahwa dimensi lengkung gigi adalah lebar interkaninus, lebar intermolar, panjang dan perimeter lengkung gigi.41 Demikian pula, Phan, Antoniazzi & Short berpendapat bahwa dimensi lengkung gigi terdiri dari lebar interkaninus, lebar intermolar, panjang dan perimeter lengkung gigi.42


(32)

2.7.1 Lebar Lengkung Gigi

Titik referensi untuk mengukur lebar lengkung gigi sangat bervariasi. Raberin menggunakan puncak tonjol kaninus, tonjol mesio-bukal molar pertama permanen dan tonjol disto-bukal molar kedua permanen sebagai titik referensi.43 Rakosi membagi lebar lengkung gigi menjadi dua bagian yaitu lebar anterior dan posterior. Lebar lengkung anterior adalah jarak yang diukur dari titik kontak premolar pertama dan kedua kiri dan kanan. Sementara, lebar lengkung posterior adalah jarak yang diukur dari tonjol distobukal molar pertama kiri dan kanan.31 Mills berpendapat lebar lengkung gigi terdiri dari lebar intermolar permanen pertama dan lebar intermolar permanen kedua.44 Sementara Poosti dan Jalali berpendapat bahwa lebar lengkung gigi dibagi menjadi lebar interkaninus dan lebar intermolar.45

Pengukuran lebar interkaninus dilakukan pada sisi bukal dan palatal. Pada sisi bukal, lebar interkaninus diukur pada pertengahan gigi kaninus setentang dengan 5 mm servikal gigi tersebut pada satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan. Pada sisi lingual, lebar interkaninus diukur pada pertengahan servikal gigi kaninus pada satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan. Kedua prosedur tersebut sama untuk mengukur lebar intermolar.45 Titik referensi pengukuran lebar lengkung gigi dapat dilihat pada gambar 14.

Pada tabel 1 terlihat ukuran lebar interkaninus dan intermolar pada orang dewasa dengan oklusi normal pada Mahasiswa Suku Batak Universitas Sumatera Utara menurut Simanjuntak H.46


(33)

Gambar 14. Titik referensi pengukuran lebar intermolar pada sisi bukal dan lingual.45

Tabel 1. Rerata Lebar Lengkung Gigi pada Mahasiswa Suku Batak Universitas Sumatera Utara12

Pengukuran Rerata

(mm) Standard deviasi Batas bawah (mm) Batas atas (mm) Rahang Atas Lebar Antarkaninus

Bukal 39,0330 2,63163 32,90 45,00

Palatal 26,5620 1,97579 22,25 30,75 Lebar

AntarMolar

Bukal 64,5570 3,48470 56,25 72,85

Palatal 38,5420 2,86266 33,25 45,60 Rahang Bawah

Lebar

Antarkaninus

Bukal 29,3760 2,49670 21,85 36,75

Lingual 20,7330 1,78350 16,80 23,65 Lebar

AntarMolar

Bukal 57,6094 2,89653 51,95 63,90

Lingual 34,3660 2,73265 29,45 41,60

2.8 Hubungan Morfologi Vertikal Wajah Terhadap Tinggi Dentoalveolar dan Lebar Lengkung Gigi

Pasien dengan open bite skeletal biasanya memiliki maloklusi gigitan terbuka pada regio anterior yang dikarakteristikkan dengan erupsi gigi posterior yang berlebih, rotasi maksila dan mandibula ke arah bawah, serta erupsi gigi anterior yang normal atau berlebihan. Pola wajah dan dental seperti ini sering disebut dengan long


(34)

face snydrome. Hal ini juga berlaku sebaliknya pada individu berwajah pendek yang memiliki deep bite skeletal serta memiliki pertumbuhan dengan arah yang berlawanan. Pasien dengan kasus deep bite atau open bite anterior sering diikuti dengan gigi posterior yang infra atau supra-erupsi. Etiologi short face dan long face syndrome salah satunya mungkin saja dapat disebabkan dengan perbedaan kekuatan otot kunyah dan kekuatan gigitan.16.47

Jika sudut antara bidang mandibula dan palatal plane kecil cenderung dapat terjadi deep bite skeletal. Begitu juga sebaliknya dengan sudut mandibular plane dan palatal plane yang besar dapat menyebabkan kecenderungan open bite skeletal. Bila sudut bidang mandibula curam atau datar, koreksi deep bite atau open bite akan membutuhkan modifikasi pertumbuhan dalam arah vertikal terutama pada posisi gigi posterior sehingga mandibula dapat kembali ke posisi inklinasi yang lebih normal. Analisis sefalometri dalam arah vertikal dibutuhkan dalam diagnosis suatu kasus sehingga hubungan skeletal dan dental yang harmonis dapat tercapai.16,47

Otot-otot juga dapat mempengaruhi hubungan antara lebar lengkung gigi dan morfologi vertikal wajah. Otot pengunyahan yang kuat sering dihubungkan dengan bentuk wajah yang brachyfasial atau yang lebih dikenal dengan wajah pendek. Hiperfungsi otot ini disebabkan oleh terjadinya suatu peningkatan beban mekanis pada rahang. Hal ini dapat menginduksi perkembangan sutura dan aposisi tulang yang kemudian menyebabkan peningkatan pertumbuhan transversal rahang dan basis tulang pada lengkung gigi.26


(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat : Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU Waktu : November - Mei 2012

3.3 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU dengan usia minimal 18 tahun.

3.4 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah sefalogram lateral dan model studi gigi (sebelum perawatan) yang diperoleh dari data rekam medik pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode

purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel ditentukan


(36)

keterangan :

n = jumlah minimum sampel

Zα = Standar error tipe 1; α = 5% →Zα = 1,96

Zβ = Standar error tipe 2; untuk β = 15% →Zβ = 1,036

r = Koefisien korelasi = 0,58 (penelitian terdahulu) Sehingga jumlah sampel minimum adalah :

� = � 1,96 + 1,036

0,5��[(1 + 0,58)/(1−0,58)]�

2

+ 3 = 23,453 ≈ 23 Jumlah sampel minimum yang dibutuhkan adalah 23.

Jumlah sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah 30 sampel, dan pemilihan sampel disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi kelompok sampel :

• Sefalogram dan model studi gigi pasien sebelum perawatan ortodonti. • Klas I skeletal (diketahui dari kartu status pasien).

• Seluruh gigi permanen lengkap sampai molar kedua. • Usia minimal 18 tahun (fase pertumbuhan mulai berhenti). • Kualitas sefalogram lateral dan model studi gigi yang baik.

• Tidak ada gigitan terbalik (crossbite) posterior yang unilateral atau bilateral. • Tidak ada kelainan ukuran gigi (makrodonsia dan mikrodonsia), bentuk serta jumlah gigi.


(37)

• Tidak ada riwayat penyakit periodontal.

• Tidak ada karies atau tambalan pada bagian proksimal gigi. • Tidak ada Crowded atau diastema parah yang lebih dari 9 mm. • Tidak ada asimetris mandibula.

• Tidak ada riwayat trauma kepala. Kriteria eksklusi kelompok sampel : • Data rekam medik yang tidak lengkap.

• Kualitas sefalogram lateral dan model studi gigi yang tidak baik.

3.5 Variabel Penelitian • Variabel bebas

- Morfologi vertikal wajah (Sudut MP-SN dan tinggi wajah anterior bawah). • Variabel tergantung

- Tinggi dentoalveolar regio molar. - Lebar lengkung gigi :

o Lebar interkaninus pada sisi bukal dan palatal/lingual. o Lebar intermolar pada sisi bukal dan palatal/lingual.

3.6 Defenisi Operasional Penelitian

a. Klas I skeletal : sampel yang memiliki besar sudut ANB 2-4º (dilihat dari kartu status pasien).

b. Morfologi vertikal wajah adalah tinggi wajah yang diukur berdasarkan sudut MP-SN dan proporsi tinggi wajah anterior bawah (ANS-Me).


(38)

c. Sella (S) adalah titik ditengah-tengah fossa pituitary. d. Nasion (N) adalah titik perpotongan sutura frontonasalis. e. Menton (Me) adalah titik terendah dari simfisis mandibula. f. Mandibular Plane (MP) adalah kecuraman dataran mandibula. h. SN adalah basis kranii anterior.

i. MP-SN adalah kecuraman mandibula terhadap basis kranii anterior (Gambar 12).

j. Tinggi wajah anterior bawah adalah jarak dari titik ANS ke menton. k. Titik ANS adalah ujung spina nasalis anterior.

l. Titik PNS adalah ujung spina nasalis posterior.

m. Palatal plane (PP) adalah garis yang ditarik dari ANS ke PNS. n. Titik U6 : cusp mesial gigi molar pertama maksila.

o. Titik L6 : cusp mesial gigi molar pertama mandibula.

p. Tinggi dentoalveolar regio molar maksila (U6-PP) adalah jarak perpendikular dari cusp mesial gigi molar pertama maksila ke dataran palatal. Tinggi dentoalveolar regio molar mandibula (L6-MP) yaitu jarak perpendikular dari cusp mesial gigi molar pertama mandibula ke dataran mandibula (Gambar 13).

q. Lebar interkaninus pada sisi bukal adalah jarak yang diukur 5 mm apikal dari pertengahan mesio-distal margin gingiva gigi kaninus di satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan. Pada sisi palatal/lingual, diukur dari titik tengah servikal gigi kaninus pada satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan.

r. Lebar intermolar sisi bukal adalah jarak yang diukur 5 mm apikal dari garis groove bukal gigi molar di satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan. Pada


(39)

sisi palatal/lingual, diukur dari garis groove palatal/lingual gigi molar di satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan.

s. Pasien klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU yang dijadikan subjek penelitian adalah pasien dari dokter gigi yang mengikuti pendidikan spesialisasi ortodonti di Fakultas Kedokteran Gigi USU.

3.7 Alat dan Bahan Penelitian

Alat penelitian yang digunakan adalah (Gambar 15) : a. Tracing box

b. Pensil 4H

c. Busur dan penggaris d. Pulpen

e. Kalkulator f. Penghapus

g. Kaliper merk Trickle Brand dengan ketepatan 0,05 mm untuk pengukuran lebar interkaninus dan lebar intermolar.

Bahan yang digunakan dalam penelitian (Gambar 16) : a. Sefalogram lateral (8x10 inci)

b. Kertas asetat (8x10 inci; tebal 0,003) c. Lem perekat


(40)

(b) (c)

Gambar 15. Alat yang digunakan. (a) Tracing box, (b) Pensil, pulpen, busur, penghapus, penggaris, dan kalkulator, (c) Kaliper merk Trickle Brand.

Gambar 16. Bahan yang digunakan. (a) Sefalogram, (b) Kertas asetat, (c) Model studi gigi.

3.8 Cara Penelitian

Adapun prosedur pengumpulan dan pengambilan data yang dilakukan, yaitu : a. Pengumpulan data

Sefalogram lateral dan model studi gigi diperoleh dari data rekam medik pasien klinik PPDGS Ortodonti FKG USU, kemudian dikumpulkan dan diambil sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah jumlah sampel yang dibutuhkan sesuai kriteria inklusi dan eksklusi terpenuhi, maka pengukuran data baik pada sefalogram lateral maupun model studi gigi pada sampel dapat dilakukan.


(41)

b. Pengukuran data • Sefalogram

Sefalogram di-tracing dengan kertas asetat dan pensil 4H di atas pencahayaan tracing box. Penentuan titik-titik referensi pada sefalogram lateral, antara lain nasion (N), sella (S), menton (Me), spina nasalis anterior (ANS), spina nasalis posterior (PNS), cusp mesiobukal molar pertama maksila dan mandibula (U6 & L6).

Titik S dan N dihubungkan, kemudian Garis S-N diproyeksikan tegak lurus sehingga garis S-N berpotongan dengan garis MP dan membentuk sudut. Ukur sudut tersebut dengan menggunakan busur sehingga diperoleh sudut MP-SN (Gambar 12). Tinggi wajah anterior bawah diperoleh dengan menghubungkan titik ANS ke menton kemudian diukur menggunakan penggaris (Gambar 10).

Pengukuran tinggi dentoalveolar regio molar maksila (U6-PP), dengan menghubungkan garis palatal plane (PP) yang diperoleh dari titik ANS-PNS kemudian ditarik garis dari titik U6 (cusp mesiobukal molar pertama maksila) perpendikular ke garis palatal plane (PP). Tinggi dari puncak cusp mesiobukal perpendikular ke garis PP adalah tinggi dentoalveolar regio molar maksila. Untuk tinggi dentoalveolar regio molar mandibula (L6-MP), ditarik garis dari titik L6 yang perpendikular (cusp mesiobukal molar pertama mandibula) ke mandibular plane (MP) sehingga diperoleh tinggi dentoalveolar regio molar untuk rahang bawah (Gambar 13).


(42)

• Model studi gigi

Pengumpulan data untuk model studi gigi dilakukan dengan beberapa

pengukuran yaitu lebar interkaninus dan lebar intermolar. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kaliper merk Trickle Brand dengan ketepatan 0,05 mm. Metode pengukuran yang dipakai dalam penelitian ini didasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Poosti M dan Jalali T. Jalali pada tahun 2007.45

c. Dalam satu hari, tracing sefalogram dan pengukuran model studi gigi hanya dilakukan pada 5 sampel yaitu 5 sefalogram dan 5 pasang model studi gigi (10 rahang) untuk menghindari kelelahan mata peneliti sewaktu pengambilan data baik yang terdapat pada kertas tracing maupun model studi gigi sehingga data yang didapatkan lebih akurat.

d. Setelah pengambilan data selesai dilakukan, diambil 5 sampel yang mencakup sefalogram lateral dan model studi gigi secara acak untuk diukur ulang dan dibandingkan hasilnya dengan pengukuran pertama. Ini bertujuan untuk mengetahui keakuratan pengukuran yang telah dilakukan oleh operator. Pada uji intraoperator ini diperoleh hasil bahwa nilai pengukuran pertama dan kedua tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Oleh karena itu, pengukuran hanya dilakukan sebanyak satu kali, baik pada sefalogram lateral maupun model rahang atas dan rahang bawah.

e. Hasil pengukuran yang diperoleh dicatat kemudian datanya diolah dan dianalisis.


(43)

3.9 Pengolahan Data dan Analisis Data

Hasil yang diperoleh diolah secara statistik dengan program SPSS 17.0 (software pengolahan data statistik). Analisis Pearson digunakan jika distribusi kedua kelompok data subjek penelitian normal. Sebaliknya, jika distribusi data tidak normal pada salah satu kelompok data atau kedua kelompok data, kita gunakan analisis Spearman.

Adapun analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu :

a) Dihitung rerata dan standard deviasi sudut MP-SN dan tinggi dentoalveolar regio molar.

b) Dihitung rerata dan standard deviasi lebar lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah seluruh sampel yaitu, lebar interkaninus dan lebar intermolar.

c) Analisis Pearson dilakukan terhadap hubungan morfologi vertikal wajah dengan tinggi dentoalveolar regio molar jika distribusi kedua kelompok data subjek penelitian normal. Sebaliknya, jika distribusi data tidak normal pada salah satu kelompok data atau kedua kelompok data, kita gunakan analisis Spearman.

d) Analisis Pearson dilakukan terhadap hubungan morfologi vertikal wajah dengan lebar lengkung gigi jika distribusi kedua kelompok data subjek penelitian normal. Sebaliknya, jika distribusi data tidak normal pada salah satu kelompok data, atau kedua kelompok data, kita gunakan analisis Spearman.


(44)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan 30 sampel sefalogram lateral dan model studi gigi pasien dengan usia minimal 18 tahun di klinik PPDGS ortodonti FKG USU. Pada penelitian ini digunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medik pasien PPDGS berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan terhadap sampel, dapat dilihat gambaran rerata sudut MP-SN, tinggi wajah anterior bawah (LAFH), tinggi dentoalveolar regio molar maksila dan mandibula serta lebar lengkung gigi pada pasien klas I skeletal di klinik PPDGS ortodonti FKG USU (Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4).

Tabel 2. Nilai Rerata Sudut MP-SN dan Tinggi Wajah Anterior Bawah pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU

Tinggi Vertikal Wajah N Rata-rata Simpangan Baku

Sudut MP-SN 30 33,25 o 6,905 o

LAFH 30 72,59 mm 7,493 mm

Tabel 2 menunjukkan nilai rerata sudut MP-SN dan tinggi wajah anterior bawah pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG-USU. Nilai rerata sudut MP-SN adalah 33,250 dan LAFH adalah 72,59 mm.

Tabel 3. Nilai Rerata Tinggi Dentoalveolar Regio Molar pada Pasien Di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU

Tinggi Dentoalveolar Regio Molar N Rata-rata Simpangan Baku

Maksila 30 28,283 mm 5,996 mm


(45)

Tabel 3 menunjukkan nilai rerata tinggi dentoalveolar regio molar maksila dan mandibula pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG-USU. Nilai rerata tinggi dentoalveolar regio molar maksila adalah 28,2830 dan mandibula adalah 33,567.

Tabel 4. Nilai Rerata Lebar Lengkung Gigi pada Pasien Di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU

Pengukuran Rerata

(mm) Standard deviasi Batas bawah (mm) Batas atas (mm) Maksila Lebar Interkaninus

Bukal 37,05 2,938 31,10 44,10

Palatal 26,27 1,955 21,50 29,80

Lebar Intermolar

Bukal 62,36 2,744 57,00 71,20

Palatal 37,10 2,765 31,60 44,50

Mandibula Lebar Interkaninus

Bukal 28,823 2,577 23,40 35,00

Lingual 20,800 2,446 16,70 27,60

Lebar Intermolar

Bukal 56,916 2,935 52,00 64,70

Lingual 33,276 2,915 28,00 39,00

.

Tabel 4 menunjukkan bahwa lebar lengkung gigi yang paling besar adalah lebar lengkung intermolar bagian bukal sebesar 71,20 mm pada maksila dan 64,70 mm pada mandibula, kemudian lebar lengkung gigi yang paling kecil adalah lebar interkaninus palatal sebesar 21,50 mm pada maksila dan lebar interkaninus lingual sebesar 16,70 mm pada mandibula.

Data terdistribusi normal atau tidak dapat diketahui melalui uji normalitas. Karena jumlah sampel ≤ 50 maka uji normalitas yang dipakai adalah Uji Kolmogorov-Smirnov. Jika p > 0,05 maka variabel terdistribusi normal. Pengujian Kolmogorov-Smirnov menunjukkan keduabelas variabel terdistribusi normal maka hubungan antara morfologi vertikal wajah yaitu sudut MP-SN dan tinggi wajah


(46)

anterior bawah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi dapat diperoleh dengan menggunakan uji korelasi Pearson’s. (Tabel 5, Tabel 6, Tabel 7 dan Tabel 8).

Tabel 5. Hubungan antara Sudut MP-SN dengan Tinggi Dentoalveolar Regio Molar pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU (Uji Korelasi Pearson’s)

Tinggi Dentoalveolar Regio Molar Sudut MP-SN

p r (Pearson’s)

Maksila 0,286 0,201

Mandibula 0,869 -0,31

**. Korelasi bermakna adalah signifikan pada taraf uji p ≤ 0.05 ( r ) = 0,21 – 0,40 → lemah

( r ) = 0,41 – 0,60 → sedang ( r ) = 0,61 – 0,80 → cukup kuat

Tanda negatif menyatakan arah korelasi variabel.

Pada tabel 5, hasil uji korelasi Pearson’s antara sudut MP-SN dengan tinggi dentoalveolar regio molar maksila diketahui sebesar 0,201 dengan signifikansi (p) sebesar 0,286 dan mandibula sebesar -0,31 dengan signifikansi (p) sebesar 0,869. Dengan nilai r ≤ 0,21 dan p ≥ 0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak diperoleh adanya kekuatan korelasi dan signifikansi sehingga korelasi dan signifikansi dinyatakan tidak bermakna.


(47)

Tabel 6. Hubungan antara Tinggi Wajah Anterior Bawah dengan Tinggi Dentoalveolar Regio Molar pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU (Uji Korelasi Pearson’s)

Tinggi Dentoalveolar Regio Molar Tinggi Wajah Anterior Bawah

p r (Pearson’s)

Maksila 0,041 0,376

Mandibula 0,000 0,637

**. Korelasi bermakna adalah signifikan pada taraf uji p ≤ 0.05 ( r ) = 0,21 – 0,40 → lemah

( r ) = 0,41 – 0,60 → sedang ( r ) = 0,61 – 0,80 → cukup kuat

Tanda negatif menyatakan arah korelasi variabel.

Dari tabel 6 terlihat bahwa hasil uji korelasi Pearson’s antara tinggi wajah anterior bawah dengan tinggi dentoalveolar regio molar pada maksila diperoleh sebesar 0,376 dan mandibula sebesar 0,637. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasi untuk tinggi dentoalveolar regio molar pada maksila adalah lemah dengan signifikansi (p) sebesar 0,041 dimana p ≤ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan memiliki signifikansi yang bermakna. Sedangkan kekuatan korelasi untuk tinggi dentoalveolar regio molar pada mandibula adalah cukup kuat dengan signifikansi (p) sebesar 0,000 dimana p ≤ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan memiliki signifikansi yang bermakna.


(48)

Tabel 7. Hubungan antara Sudut MP-SN dengan Lebar Lengkung Gigi pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU ( Uji Korelasi Pearson’s)

Sudut MP-SN

Lebar Lengkung Gigi p r (Pearson’s)

Lebar Lengkung Gigi RA

Interkaninus bukal 0,328 -0,185

Interkaninus palatal 0,544 -0,115

Intermolar bukal 0,996 0,001

Intermolar palatal 0,775 -0,055

Lebar Lengkung Gigi RB

Interkaninus bukal 0,381 0,166

Interkaninus lingual 0,283 -0,203

Intermolar bukal 0,179 -0,252

Intermolar lingual 0,892 0,026

**. Korelasi bermakna adalah signifikan pada taraf uji p ≤ 0.05 ( r ) = 0,21 – 0,40 → lemah

( r ) = 0,41 – 0,60 → sedang ( r ) = 0,61 – 0,80 → cukup kuat

Tanda negatif menyatakan arah korelasi variabel.

Pada tabel 7, hasil uji korelasi Pearson’s antara sudut MP-SN dengan lebar

lengkung gigi pada regio intermolar bukal untuk rahang bawah diketahui sebesar -0,252. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasinya lemah dengan signifikansi

(p) sebesar 0,179 dimana p ≥ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan tidak memiliki signifikansi yang bermakna.

Pada tabel 7 terlihat bahwa hasil korelasi dalam arah negatif. Tanda negatif tidak menunjukkan besarnya nilai korelasi, tetapi menunjukkan arah korelasi variabel penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar sudut MP-SN, maka lebar lengkung gigi regio intermolar bukal pada rahang bawah cenderung menjadi lebih sempit.


(49)

Tabel 8. Hubungan antara Tinggi Wajah Anterior Bawah dengan Lebar Lengkung Gigi pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU ( Uji Korelasi Pearson’s)

Tinggi Wajah Anterior Bawah

Lebar Lengkung Gigi p r (Pearson’s)

Lebar Lengkung Gigi RA

Interkaninus bukal 0,385 0,164

Interkaninus palatal 0,686 0,077

Intermolar bukal 0,055 0,354

Intermolar palatal 0,460 0,140

Lebar Lengkung Gigi RB

Interkaninus bukal 0,169 0,258

Interkaninus lingual 0,783 -0,052

Intermolar bukal 0,736 -0,064

Intermolar lingual 0,946 0,013

**. Korelasi bermakna adalah signifikan pada taraf uji p ≤ 0.05 ( r ) = 0,21 – 0,40 → lemah

( r ) = 0,41 – 0,60 → sedang ( r ) = 0,61 – 0,80 → cukup kuat

Tanda negatif menyatakan arah korelasi variabel.

Pada tabel 8, hasil uji korelasi Pearson’s antara tinggi wajah anterior bawah dengan lebar lengkung gigi pada regio intermolar bukal untuk maksila diketahui sebesar 0,354 dan pada regio interkaninus bukal untuk mandibula sebesar 0,258. Hal ini menunjukkan keduanya memiliki kekuatan korelasi lemah dengan signifikansi (p) sebesar 0,055 untuk intermolar bukal pada maksila dan (p) sebesar 0,169 untuk interkaninus bukal pada mandibula dimana kedua nilai p ≤ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan tidak memiliki signifikansi yang bermakna.


(50)

BAB 5 PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi. Sampel penelitian ini adalah pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU. Subjek dalam penelitian ini memiliki kriteria yaitu skeletal Klas I tanpa crossbite posterior unilateral ataupun bilateral. Dalam penelitian ini umur yang digunakan yaitu minimal 18 tahun karena pada umur tersebut merupakan usia maturasi dimana pada usia ini telah melewati masa pubertas dan fase tumbuh kembangnya telah stabil.

Tabel 5 menunjukkan hasil uji korelasi Pearson’s antara sudut MP-SN dengan tinggi dentoalveolar regio molar maksila sebesar 0,201 dengan signifikansi (p) sebesar 0,286 dan mandibula sebesar -0,31 dengan signifikansi (p) sebesar 0,869. Pada nilai r ≤ 0,21 dan p ≥ 0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak diperoleh adanya kekuatan korelasi dan signifikansi sehingga korelasi dan signifikansi dinyatakan tidak bermakna. Hasil ini didukung oleh Martina dkk. (2005), yang menyatakan bahwa tinggi dentoalveolar regio molar tidak dipengaruhi oleh kemiringan bidang mandibula (sudut MP-SN).18

Namun hasil ini berbeda dengan hasil yang ditemukan oleh Yousif (2010), dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa sudut MP-SN memiliki korelasi positif terhadap tinggi dentoalveolar regio molar maksila ataupun mandibula pada subjek laki-laki tetapi tidak ada korelasi positif untuk subjek perempuan.48 Perbedaan hasil


(51)

penelitian ini dengan Yousif (2010) dapat dijelaskan karena adanya perbedaan ras, besar sampel, dan kriteria inklusi dan eksklusi yang dipakai dalam penelitian ini. Hal lainnya mungkin disebabkan oleh besarnya proporsi sampel perempuan yang terdapat dalam penelitian ini.

Pada Tabel 6 terlihat bahwa hasil uji korelasi Pearson’s antara tinggi wajah anterior bawah dengan tinggi dentoalveolar regio molar masing-masing diperoleh sebesar 0,376 pada maksila dan sebesar 0,637 untuk mandibula. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasi untuk tinggi dentoalveolar regio molar maksila adalah lemah dengan signifikansi (p) sebesar 0,041 dimana p ≤ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan memiliki signifikansi yang bermakna. Sedangkan kekuatan korelasi untuk tinggi dentoalveolar regio molar mandibula adalah cukup kuat dengan signifikansi (p) sebesar 0,000 dimana p ≤ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan memiliki signifikansi yang bermakna. Hasil ini sesuai dengan hasil yang diperoleh oleh Martina dkk. (2005), bahwa tinggi wajah anterior bawah memiliki pengaruh positif terhadap tinggi dentoalveolar regio molar, sehingga hasil ini turut mendukung anggapan tentang adanya hubungan positif antara dentoalveolar dengan dimensi vertikal kraniofasial.

Hasil ini juga didukung oleh Enoki dkk. (2004), yang menemukan adanya korelasi positif antara tinggi dentoalveolar posterior dengan proporsi sepertiga wajah bawah atau dapat disebut juga tinggi wajah anterior bawah.49 Begitu pula dengan Yousif (2010) yang juga menemukan hasil korelasi positif antara tinggi wajah anterior bawah dengan tinggi dentoalveolar regio molar yang sangat bermakna dan signifikan baik pada perempuan ataupun laki-laki sehingga temuan ini juga mendukung bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara dentoalveolar dengan


(52)

dimensi vertikal kraniofasial.48 Disamping itu, Mestrovic dkk. (2000), juga melaporkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tinggi alveolar dengan tinggi wajah tetapi tidak menemukan hasil yang signifikan antara tinggi alveolar dengan bidang mandibula.50

Pada tabel 7, hasil uji korelasi Pearson’s antara sudut MP-SN dengan lebar

lengkung gigi pada regio intermolar bukal untuk rahang bawah diketahui sebesar -0,252. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasinya lemah dengan signifikansi

(p) sebesar 0,179 dimana p ≥ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan tidak memiliki signifikansi yang bermakna.

Pada tabel 7 terlihat bahwa hasil korelasi dalam arah negatif. Tanda negatif tidak menunjukkan besarnya nilai korelasi, tetapi menunjukkan arah korelasi variabel penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar sudut MP-SN, maka lebar lengkung gigi regio intermolar bukal pada rahang bawah cenderung menjadi lebih sempit. Hasil ini sependapat dengan Nasby dkk. (1972), yang juga menemukan adanya korelasi negatif antara bidang mandibula (sudut MP-SN) dengan lebar intermolar mandibula. Pada penelitiannya ditemukan bahwa lebar intermolar mandibula lebih besar untuk subjek dengan sudut MP-SN rendah daripada subjek dengan sudut MP-SN tinggi. Hasil tersebut menunjukkan adanya penurunan lebar intermolar mandibula untuk setiap peningkatan sudut MP-SN.25

Bentuk vertikal wajah sejak lama telah dihubungkan dengan lebar lengkung gigi. Hasil berbeda diperoleh Foster dkk. (2008),mengenai hubungan bentuk vertikal wajah dengan lebar lengkung gigi dimana terlihat bahwa ada hubungan antara sudut bidang mandibula dengan lebar lengkung gigi maksila pada regio kaninus, premolar


(53)

pertama, premolar kedua dan molar pertama pada laki-laki. Sedangkan pada perempuan hanya pada regio premolar kedua maksila. Pada lengkung mandibula, terlihat bahwa pada laki-laki terdapat hubungan yang signifikan antara sudut dataran mandibula dengan lebar interkaninus dan interpremolar pertama mandibula.26 Kemudian, Isaacson dkk., juga melaporkan bahwa lebar intermolar maksila lebih kecil pada individu yang memiliki wajah panjang daripada individu yang berwajah pendek.11 Adanya perbedaan hasil yang diperoleh dapat disebabkan oleh perbedaan metode pengukuran, besar sampel, kriteria inklusi dan eksklusi sampel, analisis statistik yang dipakai maupun perbedaan populasi ras yang diteliti.

Pada tabel 8, hasil uji korelasi Pearson’s antara tinggi wajah anterior bawah dengan lebar lengkung gigi pada regio intermolar bukal untuk maksila diketahui sebesar 0,354 dan pada regio interkaninus bukal untuk mandibula sebesar 0,258. Hal ini menunjukkan keduanya memiliki kekuatan korelasi lemah dengan signifikansi (p) sebesar 0,055 untuk intermolar bukal pada maksila dan (p) sebesar 0,169 untuk interkaninus bukal pada mandibula dimana kedua nilai p ≤ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan tidak memiliki signifikansi yang bermakna. Hasil ini dapat diabaikan karena tidak ditemukan adanya hubungan bermakna yang signifikan antara tinggi wajah anterior bawah dan lebar lengkung gigi.


(54)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU, dapat disimpulkan bahwa :

1. Rerata sudut MP-SN adalah 33,250. Nilai rerata tinggi wajah anterior bawah (LAFH) adalah 72,59 mm. Nilai rerata tinggi dentoalveolar regio molar maksila (U6-PP) adalah 28,28 mm dan rerata tinggi dentoalveolar regio molar mandibula adalah 33,56 mm.

2. Aspek lebar lengkung gigi rahang atas, rerata lebar interkaninus sisi bukal sebesar 37,05 mm, lebar interkaninus sisi palatal 26,27 mm, lebar intermolar sisi bukal 62,36 mm dan lebar intermolar bagian palatal 37,10 sedangkan lebar lengkung gigi rahang bawah, rerata lebar interkaninus sisi bukal 28,82 mm, lebar interkaninus sisi lingual 20,80 mm, lebar intermolar sisi bukal 56,91 mm dan lebar intermolar bagian lingual 33,27 mm.

3. Tidak terdapat korelasi antara sudut MP-SN dengan tinggi dentoalveolar regio molar maksila ataupun mandibula karena keduanya memiliki nilai korelasi sebesar 0,201 dan -0,031 dimana r ≤ 0,21. Hal ini menunjukkan bahwa tidak diperoleh adanya kekuatan korelasi dan signifikansi (p) yang bermakna yaitu sebesar 0.286 dan 0,869 (p ≥ 0.05).


(55)

4. Terdapat korelasi antara tinggi wajah anterior bawah (LAFH) dengan tinggi dentoalveolar regio molar maksila sebesar 0,376 dan mandibula sebesar 0,637. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasi untuk tinggi dentoalveolar regio molar pada maksila adalah lemah dengan signifikansi (p) sebesar 0,041. Sedangkan kekuatan korelasi untuk tinggi dentoalveolar regio molar pada mandibula adalah cukup kuat dengan signifikansi (p) sebesar 0,000. Keduanya dinyatakan memiliki signifikansi yang bermakna karena nilai p ≤ 0,05.

5. Terdapat korelasi antara sudut MP-SN dengan lebar lengkung gigi pada regio intermolar bukal untuk rahang bawah diketahui sebesar -0,252. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasi lemah dengan signifikansi (p) yang tidak bermakna yaitu sebesar 0,179 (p ≥ 0,05). Hubungan korelasi dalam arah negatif menunjukkan bahwa semakin besarnya sudut MP-SN, maka lebar lengkung gigi regio intermolar bukal pada rahang bawah cenderung menjadi lebih sempit.

6. Terdapat korelasi antara tinggi wajah anterior bawah dengan lebar lengkung gigi pada regio intermolar bukal untuk maksila diketahui sebesar 0,354 dan pada regio interkaninus bukal untuk mandibula sebesar 0,258. Hal ini menunjukkan keduanya memiliki kekuatan korelasi lemah dengan signifikansi (p) sebesar 0,055 untuk intermolar bukal pada maksila dan (p) sebesar 0,169 untuk interkaninus bukal pada mandibula dimana kedua nilai p ≤ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan tidak memiliki signifikansi yang bermakna.


(56)

6.2Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengelompokan subjek berdasarkan jenis kelamin dan suku.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk mendapatkan validitas yang lebih tinggi.

3. Meningkatkan kualitas gambaran radiografi sefalometri sehingga terhindar dari kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penapakan sefalometri.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

1. Wylie WL, Johnson EL. Rapid evaluation of facial dysplasia in the vertical plane. Angle Orthod 1952; 22 : 165-82.

2. Scheidman GB, Bell WH, Legan HL, Finn RA, Reisch JS. Cephalometric analysis of dentofacial normals. Am J Orthod 1980; 78 : 404-20.

3. Schendel SA, Eisenfeld J, Bell WH, Epker BN, Mishelevich DJ. The long face syndrome—vertical maxillary excess. Am J Orthod 1976; 70 : 398–408.

4. Fields HW, Proffit WR, Nixon WL, Phillips C, Stanek E. Facial pattern differences in long-face children and adults. Am J Orthod 1984; 85 : 217–23. 5. Opdebeeck H, Bell WH. The short face syndrome. Am J Orthod 1978; 73 : 499–

511.

6. Bishara SE, Jakobsen MA. Longitudinal changes in three normal facial types. Am J Orthod 1985; 88 : 466-502.

7. Schudy FF. Vertical growth versus anteroposterior growth as related to function and treatment. Angle Orthod 1964; 34 : 75 – 93.

8. Schudy FF. The rotation of the mandible resulting from growth : its implications in orthodontic treatment. Angle Orthod 1965; 35 : 36 – 50.

9. Enlow D, Hans MG. Essentials of facial growth. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1996: 166-7, 169-72.


(58)

10. Tsunori M, Mashita M, Kasai K. Relationship between facial types and tooth and bone characteristics of the mandible obtained by CT scanning. Angle Orthod 1998; 68 : 557-62.

11. Isaacson JR, Speidel TM, Worms FW. Extreme variation in vertical facial growth and associated variation in skeletal and dental relations. Angle Orthod 1971; 41 : 219–29.

12. Björk A, Skieller V. Facial development and tooth eruption : An implant study at the age of puberty. Am J Orthod 1972; 62 : 339–83.

13. Bishara SE, Augspurger EF. The role of the mandibular plane inclination in orthodontic diagnosis. Angle Orthod 1975; 45 : 273–81.

14. Cangialosi TJ. Skeletal morphologic features of anterior open-bite. Am J Orthod 1984; 85 : 28–36.

15. Tsang WM, Cheung LK, Samman N. Cephalometric parameters affecting severity of anterior open-bite. J Oral Maxillofac Surg 1997; 26 : 321–6.

16. Proffit WR, Field HW. Contemporary orthodontic. 4th ed. Canada: Mosby Elsevier, 2007: 151, 180-3, 227.

17. Betzenberger DO, Ruf SA, Pancherz HA. The compensatory mechanism in high-angle malocclusion: a comparison of subjects in mixed and permanent dentition. Angle Orthod 1999; 69 : 27–32.

18. Martina R, Farella M, Tagliaferri R, Michelotti A, Quaremba G, van Eijden T. The relationship between molar dentoalveolar and craniofacial heights. Angle Orthod 2005; 75 (6) : 974-9.


(59)

19. Moss ML, Salentijn L. The primary role of functional matrices in facial growth. Am J Orthod 1969; 55 (6) : 566–77.

20. Thilander B. Basic mechanisms in craniofacial growth. Acta Odontol Scand 1995; 53 (3) : 144-51.

21. Harris EF, Johnson MG. Heritability of craniometric and occlusal variables : a longitudinal sib analysis. Am J Orthod 1991; 99 (3) : 258–68.

22. Enlow DH, Kuroda T, Lewis AB. The morphological and morphogenetic basis for craniofacial form and pattern. Angle Orthod 1971; 41 (3) : 161–88.

23. Wagner DC, Chung CH. Transverse growth of the maxilla and mandible in untreated girls with low, average, and high MP-SN angles : a longitudinal study. Am J Orthod Dentofac 2005; 128 : 716 – 23.

24. Howes A. Arch width in the premolar region — still the major problem in orthodontics. Am J Orthod Dentofac 1957; 43 : 5 – 31.

25. Nasby JA, Isaacson RJ, Worms FW, Speidel TM. Orthodontic extractions and facial skeletal pattern. Angle Orthodontist 1972; 42 : 116 – 22.

26. Forster CM, Sunga E, Chung CH. Relationship between dental arch width and vertical facial morphology in untreated adults. Eur J Orthod 2008; 30 : 288-94. 27. Bhalajhi SI. Orthodontics : The art and science. 1st ed. New Delhi: Arya

publishing house, 1998: 1-15, 145-60.

28. Kim JY, Lee SJ, Kim TW, Nahm DS, Chang Y. Classification of the Skeletal Variation in Normal Occlusion. Angle Orthod 2005; 75 (3) : 311–9.

29. Foster TD. A Textbook of Orthodontics. 3rd Ed. London : Blackwell Scientific Publications, 1990: 311.


(60)

30. Harry DR, Sandy J. Orthodontic Part 2 : Patient assessment and examination I. British Dental Journal 2003; 195 (9) : 489-92.

31. Rakosi, Jonas I, Graber TM. Orthodontics Diagnosis. New York: Thieme Medical Publisher Inc., 1993: 110-13, 173-203, 207-10, 228-30.

32. Stevens R. Facial Analysis. 1 Oct 1997.

33. Jacobson A, Jacobson RL. Radiographic Cephalometry : From Basics to 3-D Imaging. Birmingham: Quintessence Publishing Co, Inc, 2006: 49-51, 65-6, 74, 131-2, 139-40, 206-9.

34. Athanasiou AE. Orthodontic Cephalometry. London: Mosby-Wolfe, 1995: 21, 36, 50-51.

35. Susanto FA. Analisa hubungan kranio-dento-fasial kelompok etnik Proto Melayu usia 12-19 tahun di Medan pada tahun 1989 secara sefalometri radiografi. Majalah Ortodonti Indonesia 1993; 4: 58-78.

36. Bishara SE. Textbook of Orthodontics. Toronto: WB Saunders Co, 2001: 114-7, 131-2.

37. Singh G. Textbook of Orthodontics. 2nd ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers, 2007: 511-512.

38. Rakosi T. An atlas and manual of cephalometric radiography. London: Wolfe Medical Publications Ltd, 1982: 7-8, 34-45, 65, 78-89.

39. Buschang PH, Carillo R, Liu SS, Demirjian A. Maxillary And Mandibular Dentoalveolar Heights of French-Canadians 10 to 15 Years Of Age. Angle Orthod 2008; 78 (1) : 70-6.


(61)

40. Febrina RS, Soemantri ESS, Mardiati E. Ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang bawah pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD. Jurnal Kedokteran Gigi 1997; 9 (1) : 22-7.

41. Raberin M, Laumon B, Martin JL, Brunner F. Dimension and form of dental arches in with normal occlusions. Am J Orthod Dentofac 1993; 104 : 67-72. 42. Moyers RE. Handbook of orthodontics. 4th ed. London: Year Book Medical

Publisher, INC 1998: 119-24.

43. Phan X, Antoniazzi A, Short L. Palatal expansion in mixed dentition versus early permanent dentition. Virtual Journal of Orthodontics 2007; 7 (3) : 1-9.

44. Mills LF. Changes in dimension of the dental arches with age. J Dent Res 1966; 45(3) : 890-4.

45. Poosti M, Jalali T. Tooth size and arch dimension in uncrowded versus crowded class I malocclusion. J Contemp Dent Pract 2007; 8 (3) : 1-8.

46. Simanjuntak H. Ukuran lebar mesiodistal dan dimensi lengkung gigi pada mahasiswa suku Batak Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Medan; Universitas Sumatera Utara: 2009.

47. Proffit WR. Contemporary orthodontics. In: Proffit WR, White RP, eds. Late stages of development. 3rd ed. St Louis, Mo: CV Mosby, 2000 : 104–5.

48. Yousif HA. Molar dentoalveolar height’s association with some vertical craniofacial measurements in class I skeletal pattern. J Bagh College Dentistry 2010; 22 (4) : 96-101.


(62)

49. Enoki C, Telles CS, Matsumoto MAN. Dental-skeletal dimensions in growing individuals with variations in the lower facial height. Braz Dent J 2004; 15 (1) : 68-74.

50. Mestrovic SR, Lapter M, Muretic Z, Kern J. Dentoalveolar characteristics in subject with anterior open bite. Acta Stomatol Croat 2000; 34(2) : 169-172.


(63)

(64)

(65)

HASIL PENGUKURAN SUDUT MP-SN, TINGGI WAJAH ANTERIOR BAWAH, TINGGI DENTOALVEOLAR REGIO MOLAR DAN LEBAR LENGKUNG GIGI

PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

No MP-SN LAFH U6-PP L6MP CBA CPA MBA MPA CBB CLB MBB MLB

1 26 56,50 22 26,5 33,6 25,1 61,1 36,5 26,2 21,4 56,8 32,8

2 41,5 76,50 28,5 32,5 36,1 27 61,7 38 30,8 27,6 57,6 35,8

3 37 73,00 28,5 34,5 38,7 26,6 61,7 41 31,2 21,6 57,3 36,2

4 26,5 67,75 24,5 35 31,1 22,3 63,3 37 26,5 18 57,4 32,8

5 32,5 65,50 24 30,5 39,3 27 61 36 27,7 20,7 55,8 32

6 40 69,50 50 20,5 32,5 27,1 63 37,1 28,5 21 59,5 36,7

7 37 68,00 21,5 31 35,6 24,1 60,8 38 29,5 18,4 55 34,6

8 24,5 59,75 20,5 30 38,8 26,3 61,2 37,2 28 20 61,5 35,2

9 38 83,50 33,5 36 38,2 26,9 66,3 40,3 30,2 19,7 56,2 34,5

10 31,5 87,25 32,5 43,5 38 24,6 61,1 34 23,4 16,7 53,8 28,1

11 43,5 71,00 25,5 34 33,6 25,4 58,7 34,4 26,5 18,7 54,4 30,6

12 38 76,25 31 33 39,4 26,1 65,3 41,4 28 20,9 59,8 36,9

13 40 74,25 35,5 27 35,1 25,9 62,8 38,7 26 19 53,1 33,5

14 39 74,50 23,5 34,5 38,3 26,4 63,3 38,6 29,5 20,6 59,4 35,7

15 30 74,50 29,5 35 40 27,3 62,9 35,3 32,2 19,4 64,7 31,4

16 40 70,75 26 34,5 39,6 25,5 63,2 35,8 31,3 19,1 56 33,5

17 24 85,00 32,5 45 44,1 29,8 71,2 44,5 32,5 23,1 62 39

18 33,5 82,00 30,5 40 37,9 23,1 61,6 33,3 27,2 19,6 54 30,1

19 40 73,00 24 37 34,8 28,1 64,3 37,5 31,6 20,1 54,2 32,3

20 25 61,25 22,5 30,5 37,3 25,5 61,2 37,5 27,1 21,9 57,5 32,3

21 27 72,50 30 34,5 32,6 27,1 62,5 35,2 25,6 21,8 55,1 28,6

22 37 78,50 26 34,5 37,2 24,4 61,8 35,7 30,2 19,3 55,5 32,3

23 38 71,75 27,5 32 39,1 26,9 62,1 36,1 27,1 21,8 57,3 33,6

24 35 73,50 27 35,5 40,8 28,8 66,4 35,5 33 22 57 31

25 19 63,00 24,5 34,5 35,6 25,6 57 34,8 27,5 20,8 54,7 31,4

26 36 76,50 27,5 39 39,1 21,5 61,4 35,2 27,1 21,2 54,9 31,4

27 20 65,50 23,5 35,5 36,7 29,1 60,5 35,3 27,7 26,6 54,5 32

28 33 82,50 29,5 37 33,7 29,1 61,1 40,4 35 25,5 59,7 38,4

29 25 66,75 39,5 19,5 40,3 28,2 65 41,1 29,6 20 60,8 37,6


(66)

UJI NORMALITAS DATA

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

MPSN LAFH U6PP L6MP CBA CPA MBA MPA CBB CLB MBB MLB

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Normal Parametersa,,b

Mean 33.250 72.5917 28.283 33.567 37.053 26.270 62.360 37.100 28.823 20.800 56.917 33.277 Std. Deviation 6.9055 7.49381 5.9967 5.4183 2.9387 1.9557 2.7445 2.7651 2.5773 2.4470 2.9352 2.9159 Most Extreme Differences Absolute .173 .070 .125 .168 .113 .099 .166 .109 .159 .179 .141 .098 Positive .117 .068 .125 .130 .073 .099 .166 .109 .159 .179 .141 .098 Negative -.173 -.070 -.097 -.168 -.113 -.095 -.152 -.079 -.072 -.073 -.077 -.064 Kolmogorov-Smirnov Z .948 .381 .686 .922 .621 .543 .909 .598 .869 .978 .774 .538 Asymp. Sig. (2-tailed) .330 .999 .734 .363 .835 .929 .380 .867 .437 .294 .587 .934 a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

UJI KORELASI PEARSON’S ANTARA SUDUT MP-SN TERHADAP TINGGI DENTOALVEOLAR REGIO MOLAR DAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

Correlations

MPSN U6PP L6MP CBA CPA MBA MPA CBB CLB MBB MLB

MPSN Pearson Correlation 1 .201 -.031 -.099 -.115 .001 -.055 .166 -.203 -.252 .026

Sig. (2-tailed) .286 .869 .603 .544 .996 .775 .381 .283 .179 .892

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


(67)

UJI KORELASI PEARSON’S ANTARA TINGGI WAJAH ANTERIOR BAWAH TERHADAP TINGGI DENTOALVEOLAR REGIO MOLAR DAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

Correlations

LAFH U6PP L6MP CBA CPA MBA MPA CBB CLB MBB MLB

LAFH Pearson Correlation 1 .376*

.637**

.248 .077 .354 .140 .258 -.052 -.064 .013

Sig. (2-tailed) .041 .000 .186 .686 .055 .460 .169 .783 .736 .946

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


(1)

49. Enoki C, Telles CS, Matsumoto MAN.

Dental-skeletal dimensions in growing

individuals with variations in the lower facial height.

Braz Dent J 2004; 15 (1) :

68-74.

50. Mestrovic SR, Lapter M, Muretic Z, Kern J.

Dentoalveolar characteristics in


(2)

(3)

(4)

HASIL PENGUKURAN SUDUT MP-SN, TINGGI WAJAH ANTERIOR BAWAH,

TINGGI DENTOALVEOLAR REGIO MOLAR DAN LEBAR LENGKUNG GIGI

PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

No MP-SN LAFH U6-PP L6MP CBA CPA MBA MPA CBB CLB MBB MLB 1 26 56,50 22 26,5 33,6 25,1 61,1 36,5 26,2 21,4 56,8 32,8 2 41,5 76,50 28,5 32,5 36,1 27 61,7 38 30,8 27,6 57,6 35,8 3 37 73,00 28,5 34,5 38,7 26,6 61,7 41 31,2 21,6 57,3 36,2 4 26,5 67,75 24,5 35 31,1 22,3 63,3 37 26,5 18 57,4 32,8 5 32,5 65,50 24 30,5 39,3 27 61 36 27,7 20,7 55,8 32 6 40 69,50 50 20,5 32,5 27,1 63 37,1 28,5 21 59,5 36,7 7 37 68,00 21,5 31 35,6 24,1 60,8 38 29,5 18,4 55 34,6 8 24,5 59,75 20,5 30 38,8 26,3 61,2 37,2 28 20 61,5 35,2 9 38 83,50 33,5 36 38,2 26,9 66,3 40,3 30,2 19,7 56,2 34,5 10 31,5 87,25 32,5 43,5 38 24,6 61,1 34 23,4 16,7 53,8 28,1 11 43,5 71,00 25,5 34 33,6 25,4 58,7 34,4 26,5 18,7 54,4 30,6 12 38 76,25 31 33 39,4 26,1 65,3 41,4 28 20,9 59,8 36,9 13 40 74,25 35,5 27 35,1 25,9 62,8 38,7 26 19 53,1 33,5 14 39 74,50 23,5 34,5 38,3 26,4 63,3 38,6 29,5 20,6 59,4 35,7 15 30 74,50 29,5 35 40 27,3 62,9 35,3 32,2 19,4 64,7 31,4 16 40 70,75 26 34,5 39,6 25,5 63,2 35,8 31,3 19,1 56 33,5 17 24 85,00 32,5 45 44,1 29,8 71,2 44,5 32,5 23,1 62 39 18 33,5 82,00 30,5 40 37,9 23,1 61,6 33,3 27,2 19,6 54 30,1 19 40 73,00 24 37 34,8 28,1 64,3 37,5 31,6 20,1 54,2 32,3 20 25 61,25 22,5 30,5 37,3 25,5 61,2 37,5 27,1 21,9 57,5 32,3 21 27 72,50 30 34,5 32,6 27,1 62,5 35,2 25,6 21,8 55,1 28,6 22 37 78,50 26 34,5 37,2 24,4 61,8 35,7 30,2 19,3 55,5 32,3 23 38 71,75 27,5 32 39,1 26,9 62,1 36,1 27,1 21,8 57,3 33,6 24 35 73,50 27 35,5 40,8 28,8 66,4 35,5 33 22 57 31 25 19 63,00 24,5 34,5 35,6 25,6 57 34,8 27,5 20,8 54,7 31,4 26 36 76,50 27,5 39 39,1 21,5 61,4 35,2 27,1 21,2 54,9 31,4 27 20 65,50 23,5 35,5 36,7 29,1 60,5 35,3 27,7 26,6 54,5 32 28 33 82,50 29,5 37 33,7 29,1 61,1 40,4 35 25,5 59,7 38,4 29 25 66,75 39,5 19,5 40,3 28,2 65 41,1 29,6 20 60,8 37,6 30 40 77,50 27,5 34,5 34,5 27,3 57,3 31,6 28 17,5 52 28


(5)

UJI NORMALITAS DATA

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

MPSN LAFH U6PP L6MP CBA CPA MBA MPA CBB CLB MBB MLB

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Normal Parametersa,,b

Mean 33.250 72.5917 28.283 33.567 37.053 26.270 62.360 37.100 28.823 20.800 56.917 33.277

Std. Deviation 6.9055 7.49381 5.9967 5.4183 2.9387 1.9557 2.7445 2.7651 2.5773 2.4470 2.9352 2.9159

Most Extreme Differences Absolute .173 .070 .125 .168 .113 .099 .166 .109 .159 .179 .141 .098

Positive .117 .068 .125 .130 .073 .099 .166 .109 .159 .179 .141 .098

Negative -.173 -.070 -.097 -.168 -.113 -.095 -.152 -.079 -.072 -.073 -.077 -.064

Kolmogorov-Smirnov Z .948 .381 .686 .922 .621 .543 .909 .598 .869 .978 .774 .538

Asymp. Sig. (2-tailed) .330 .999 .734 .363 .835 .929 .380 .867 .437 .294 .587 .934

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

UJI KORELASI PEARSON’S ANTARA SUDUT MP-SN TERHADAP TINGGI DENTOALVEOLAR REGIO MOLAR DAN

LEBAR LENGKUNG GIGI PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

Correlations

MPSN U6PP L6MP CBA CPA MBA MPA CBB CLB MBB MLB

MPSN Pearson Correlation 1 .201 -.031 -.099 -.115 .001 -.055 .166 -.203 -.252 .026

Sig. (2-tailed) .286 .869 .603 .544 .996 .775 .381 .283 .179 .892

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


(6)

UJI KORELASI PEARSON’S ANTARA TINGGI WAJAH ANTERIOR BAWAH TERHADAP TINGGI DENTOALVEOLAR

REGIO MOLAR DAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

Correlations

LAFH U6PP L6MP CBA CPA MBA MPA CBB CLB MBB MLB

LAFH Pearson Correlation 1 .376*

.637**

.248 .077 .354 .140 .258 -.052 -.064 .013

Sig. (2-tailed) .041 .000 .186 .686 .055 .460 .169 .783 .736 .946

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).