Perlindungan Secara Langsung Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

72

b. Perlindungan Secara Langsung

Menurut ketentuan pasal 38 ayat 1 Undang-undang nomor 21 Tahun 2008: “Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.” Manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan oleh perbankan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. Prinsip mengenal nasabah know your customer principle merupakan prinsip yang harus diterapkan oleh perbankan yang sekurang-kurangnya mencakup kegiatan penerimaan dan identifikasi nasabah serta pemantauan kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. Perlindungan nasabah dilakukan anatara lain dengan cara adanya mekanisme pengaduan nasabah, meningkatkan transparansi produk dan edukasi terhadap nasabah. Pasal 38 ayat 2 “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia”. Selain itu, terdapat juga perlindungan secara langsung menurut ketentuan Pasal 39 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008. Pasal 39 Universitas Sumatera Utara 73 “Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskanm kepada nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah danatau UUS” Penjelasan yang diberikan kepada nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah dimaksudkan untuk menjamin transparansi produk dan jasa bank. G.P. Hoefnagels menyatakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: a. Penerapan hukum pidana criminal law application b. Pencegahan tanpa pidana prevention without punishment dan c. Memenuhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa influencing views of society on crime and punishmentmass media. 43 Upaya penanggulangan kejahatan tersebut secara garis besar dapa dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” hukum pidana dan jalur “non penal” bukandi luar pidana. Dalam pembagian G.P. Hoefnagels diatas, upaya-upaya yang disebut dalam butir b dan c dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal”. Secara kasar dapat dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat repressive penindasanpemberantasanpenumpasan sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan 43 Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Penerbit Alumni, 1992 Hal 8 Universitas Sumatera Utara 74 jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” pencegahanpenangkalanpengendalian sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar dikarenakan tindakan represif pada hakekatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. 44 Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor- faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi- kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Oleh karena demikian, maka di dalam merumuskan politik kriminalnya secara konseptual adalah melalui sarana-sarana:

A. Upaya Preventif

Kebijakan awal dan mendasar untuk menanggulangi tindak pidana perbankan khususnya dalam hal bank sebagai pelakunya adalah tanpa menggunakan sarana penal prevention without punishment. Kebijakan ini pada dasarnya bermuara dari ajaran hukum fungsional, ajaran hukum sosiologis, dan teori tujuan pemidanaan yang integratif. Implementasi dari kebijakan sedemikian itu dapat kita lihat pada peranan Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas moneter yang memiliki tugas dan 44 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung. 1981Hal 118 Universitas Sumatera Utara