1
Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kunci utama bagi bangsa yang ingin maju dan unggul dalam persaingan global. Pendidikan adalah tugas negara yang paling
penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang lebih baik dan sebaliknya,
sumber manusia yang buruk akan menghasilkan peradaban yang buruk. http:edukasi.kompasiana.com20120614
Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia Kemdiknas. Di
Indonesia, semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun, yaitu enam tahun di sekolah dasarmadrasah
ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah pertamamadrasah tsanawiyah. Saat ini, pendidikan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan dibagi ke dalam empat jenjang, yaitu anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi. Sekolah menengah atas
adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama atau sederajat. Sekolah menengah atas
ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 10 sampai kelas 12. Sekolah sebagai ruang lingkup pendidikan perlu menjamin
terselenggaranya proses pendidikan yang baik. Kondisi yang baik bagi proses
Universitas Kristen Maranatha
tersebut adalah kondisi aman, tenang, tertib dan teratur, saling menghargai, dan hubungan pergaulan yang baik, hal itu dicapai dengan merancang peraturan
sekolah, yakni peraturan bagi guru-guru, dan bagi para siswa, serta peraturan- peraturan lain yang dianggap perlu. Untuk sekolah, disiplin itu sangat perlu dalam
proses belajar mengajar, alasannya yaitu: disiplin dapat membantu kegiatan belajar, dapat menimbulkan rasa senang untuk belajar Tu’u, 2004: 38.
Kedisiplinan sebagai alat pendidikan yang dimaksud adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja diterapkan untuk kepentingan pendidikan di
sekolah. Tindakan atau perbuatan tersebut dapat berupa perintah, nasehat, larangan, harapan, dan hukuman atau sanksi. Kedisiplinan sebagai alat pendidikan
diterapkan dalam rangka proses pembentukan, pembinaan dan pengembangan sikap dan tingkah laku yang baik. Sikap dan tingkah laku yang baik tersebut dapat
berupa rajin, berbudi pekerti luhur, patuh, hormat, tenggang rasa dan berdisiplin. Di samping sebagai alat pendidikan, kedisiplinan juga berfungsi sebagai alat
menyesuaikan diri dalam lingkungan yang ada. Dalam hal ini kedisiplinan dapat mengarahkan seseorang untuk menyesuaikan diri terutama dalam menaati
peraturan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan itu. Tu’u 2004: 38.
SMA “X” Bandung merupakan salah satu SMA yang mengutamakan disiplin dalam program belajar-mengajar siswa. SMA “X” Bandung berdiri pada
tahun 1996, dengan status terakreditasi A. Tujuan penyelenggaraan pendidikan SMA “X” Bandung senantiasa mengacu pada tujuan pendidikan menengah, yaitu
meningkatkan pengetahuan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan mengembangkan diri sejalan
Universitas Kristen Maranatha
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian serta meningkatkan kemampuan peserta didik sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan
hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya. SMA “X” Bandung sebagai sekolah berasrama penuh dan mempunyai slogan
Mendidikan anak untuk disiplin, bebas rokok, narkotika dan tawuran. SMA “X” Bandung ini memiliki visi Menjadi sekolah berasrama
terkemuka dalam bidang pengembangan potensi peserta didik dibidang akademik, keagamaan, dan keterampilan dengan disiplin sebagai landasan serta mampu
bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Kemudian, salah satu misi dari SMA “X” Bandung ini adalah menghasilkan lulusan dengan keunggulan
kompetitif di bidang akademik, keagamaan, dan keterampilan dengan disiplin sebagai landasan.
SMA “X” Bandung menerapkan sistem boarding school berasrama penuh, dimana siswa SMA harus tinggal di sekolah. Hal ini termasuk upaya
pihak sekolah untuk menekan angka siswa yang bolos sekolah. Untuk tiga bulan pertama siswa dikarantina dan dilarang untuk bertemu dengan keluarga mereka.
Setelah masa 3 bulan pertama siswa baru berhak mendapat izin keluar area sekolah pada saat-saat yang sudah ditentukan, misalkan izin bermalam pada hari
sabtu dan kembali ke area sekolah pada hari minggu. Setiap harinya siswa menghabiskan waktu di lingkungan sekolah, bersama dengan teman dan guru-
guru yang juga berperan sebagai penanggung jawab mereka bila berada di asrama. Semua kegiatan siswa sehari-hari hanya berada disekitar asrama dan sekolah.
Siswa tidak diperkenankan untuk meninggalkan area sekolah dan asrama tanpa
Universitas Kristen Maranatha
seizin pihak sekolah. Setiap harinya siswa di SMA “X” Bandung ini melakukan kegiatan sehari-hari berdasarkan aturan aturan yang ditetapkan pihak sekolah.
Dimulai dari ketentuan jam bangun pagi, sarapan, berangkat sekolah, hingga saat siswa akan beristirahat di malam hari. Untuk setiap kegiatan-kegiatan siswa.
SMA “X” Bandung ini juga merupakan sekolah yang unggul dalam bidang teknologi informasi, sehingga siswa-siswi SMA “X” Bandung ini dapat
mengunduh bahan pelajaran dari website sekolah mereka. Sistem pembelajaran seperti ini termasuk Sistem pembelajaran elektronik atau Electronic learning
disingkat E-learning. Di sekolah SMA “X” Bandung ini juga dilengkapi dengan wi-fi dan siswa juga diperbolehkan membawa laptop ke sekolah. Berdasarkan
hasil wawancara, wakil kepala sekolah bagian humas SMA “X” Bandung mengatakan bahwa siswa diberikan fasilitas wi-fi di sekolah dengan tujuan untuk
memudahkan siswa dalam mencari sendiri materi pelajaran yang bisa mendukung proses pembelajaran siswa di sekolah.
Disamping itu, pendidikan di SMA “X” Bandung ini berjalan dengan mengedepankan disiplin. Disiplin sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap
siswa. Disiplin menjadi prasyarat bagi pembentukan sikap, perilaku dan tata tertib kehidupan berdisiplin, yang akan mengantar seorang siswa sukses dalam belajar.
Berdasarkan hasil wawancara, wakil kepala sekolah bagian humas menuturkan bahwa disiplin yang dimiliki oleh siswa akan membantu siswa itu sendiri dalam
tingkah laku sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah. Siswa akan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapinya. Aturan yang terdapat di
Universitas Kristen Maranatha
sekolah akan bisa dilaksanakan dengan baik jika siswa sudah memiliki disiplin yang ada dalam dirinya.
Berdasarkan buku panduan SMA “X” Bandung dijelaskan bahwa dalam rangka membina siswa-siswi untuk disiplin, SMA “X” Bandung menetapkan
beberapa aturan yang harus ditaati, antara lain : dalam pembelajaran di kelas siswa diharuskan berperan aktif mengikuti pelajaran di kelas, siswa harus menjaga
dan memelihara ketenangan, ketertiban, dan kedisiplinan sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. Siswa mengajukan pertanyaan di kelas dengan
mengambil sikap duduk siap sambil mengangkat tangan kanan, setelah diberikan kesempatan kemudian bertanya. Demikian juga bila dalam menjawab pertanyaan
di dalam kelas, siswa menjawab pertanyaan dengan mengambil sikap duduk siap, kemudian menjawab pertanyaan. Selain peraturan didalam kelas, SMA “X”
Bandung juga menetapkan aturan dalam berbagai hal yang lain seperti dalam kegiatan ekstrakurikuler. Siswa kelas X harus mengikuti ekstrakurikuler wajib.
Setiap siswa harus mengikuti setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler pilihan. Setiap siswa harus menghadiri minimal 80 jumlah total kegiatan
ekstrakurikuler. Dengan adanya aturan-aturan diharapkan siswa akan lebih disiplin, semakin terlibat dan aktif di sekolah baik dalam kegiatan di dalam
maupun diluar proses belajar-mengajar. Aturan-aturan yang telah ditetapkan harus ditaati oleh para siswa SMA
“X” Bandung, apabila melanggar aturan maka siswa akan dikenakan sanksi. Sanksi –sanksi yang ada di SMA “X” Bandung ada yang pertama sanksi
administratif, yaitu berupa pencatatan pada kartu catatan peserta didik dan kartu
Universitas Kristen Maranatha
catatan wali asuh, surat pencabutan pesiar atau pencabutan izin bermalam, dan surat peringatan tertulis. Kedua sanksi akademis, yaitu berupa pemberian tugas,
pengulangan tes, pengurangan nilai, dan pemberhentian studi. Ketiga, sanksi penggantian barang yaitu mengganti inventaris sekolah dan atau yayasan yang
dirusak atau dihilangkan dengan jenis barang yang sama. Keempat, sanksi pembinaan fisik yaitu: berupa push up, squat thrust, jumping jack, lompat katak,
lari, dan tindakan lain. Kelima, sanksi mental yaitu berupa teguran, ceramah atau tampil di depan
umum, melaksanakan kebersihan, membuat kreativitas seni dan keterampilan, dan tindakan lain yang bermanfaat. Keenam, yaitu sanksi penyitaan yang dilakukan
terhadap barang-barang yang sudah ditentukan dilarang dibawa ke lingkungan sekolah SMA “X” Bandung.
Pada masa SMA dapat ditemui siswa yang berpartisipasi aktif dan juga ada siswa yang tidak berpartisipasi terhadap kegiatan-kegiatan disekolah.
Keterlibatan anak disekolah meliputi akademik, olahraga, band, organisasi siswa dan kegiatan ekstrakurikuler. Secara lebih umumnya, engagement mengacu pada
keterlibatan anak disekolah sebagai institusi prososial sama seperti institusi lainnya seperti gereja atau komunitas masyarakat. Keterlibatan – keterlibatan anak
disekolah inilah yang disebut dengan school engagement. Berdasarkan hasil wawancara dengan wakil kepala sekolah SMA “X” Bandung, diketahui bahwa
penerapan disiplin di SMA “X” Bandung ini dilaksanakan agar dapat mengarahkan anak menjadi mandiri, baik dalam hal akademik juga dalam
kehidupan sehari-hari. Beliau juga menuturkan bahwa dengan disiplin yang
Universitas Kristen Maranatha
diterapkan SMA “X” Bandung, siswa-siswi di SMA “X” Bandung tersebut secara keseluruhan terlibat dalam kegiatan di sekolah, baik akademis maupun non
akademis. School engagement adalah usaha dan waktu yang diarahkan dalam proses
pembelajaran pada kegiatan akademik dan nonakademik. School engagement muncul sebagai cara untuk memahami keterlibatan siswa yang berkaitan dengan
usaha yang diarahkan dalam proses pembelajaran baik pada kegiatan akademik maupun nonakademik. School Engagement ini mendukung penyelesaian,
kelulusan siswa dari sekolah, menghindari ketidakhadiran dan dropout. Sehubungan dengan hal tersebut gagasan engagement dapat dipakai untuk
memperbaiki keadaan siswa yang mengalami kegagalan di sekolah. keterlibatan akan membentuk pengalaman siswa setiap hari di sekolah baik secara psikis
maupun secara sosial. Siswa yang disengage tidak terlibat dengan proses belajar, tidak akan menumbuhkan rasa keterikatan dengan sekolah dan menunjukkan
perilaku yang tidak tepat. Hal-hal seperti itu yang membuat siswa menjadi semakin jauh dari kesuksesan di sekolah Fredricks, 2004.
Tingginya kualitas engagement dan hasil pembelajaran menghantarkan siswa untuk merasa kompeten secara akademik dan merasakan interaksi yang
lebih positif dengan guru. Siswa yang engaged pada umumnya dapat membina persahabatan dan berkelompok dengan teman sebayanya. Siswa yang disengage
sulit mengembangkan keterlibatan di sekolah dan gagal mengembangkan sikap positif terhadap belajar sehingga mengalami kesulitan dalam proses belajar di
sekolah, siswa biasanya memiliki interaksi yang buruk dengan guru atau dengan
Universitas Kristen Maranatha
siswa lain, hal-hal seperti ini yang bisa mengarah pada dropping out Rumberger,1987 dalam Fredricks, 2004.
School engagement memiliki 3 komponen, yaitu behavioral engagement, cognitive engagement, dan emotional engagement. Appleton et al., 2008;
Fredericks, Blumenfeld, Paris, 2004 dalam Fredericks, 2004. Behavioral engagement mengacu pada tingkah laku positif, seperti mengikuti peraturan dan
mengikuti norma kelas, juga tidak adanya perilaku disruptif seperti bolos sekolah ,
behavioral engagement juga mengacu pada keterlibatan dalam belajar dan tugas akademik mencakup perilaku seperti usaha siswa SMA untuk mengikuti proses
belajar di kelas, mendengar, mau bertanya kepada guru apabila ada materi pelajaran yang kurang dimengerti, dan kontribusi pada diskusi kelas seperti turut
serta memberi saran atau ide dalam diskusi kelas. Emotional engagement merujuk pada reaksi afektif murid didalam kelas,
seperti ketertarikan, kebosanan, kesenangan, kesedihan dan kecemasan Connell wellborn, 1991 ; skinnerbellmont, 1993 dalam Fredricks, 2004. Bentuk
perilaku awal sikap, dimana menilai perasaan kepada sekolah dan termasuk survey mengenai suka atau tidak suka sekolah, guru atau pekerjaan ; merasa
senang atau sedih disekolah, atau merasa bosan atau tertarik dalam pekerjaan Epstein mcpartland, 1976 ; yamamoto et al, 1969 dalam Fredricks, 2004.
Bagaimana perasaan siswa disaat mengikuti proses belajar di kelas, perasaan terhadap tugas-tugas yang diberikan kepada siswa,
Cognitive engagement mengacu pada keterikatan atau self regulasi, menggunakan strategi metakognitif untuk merencanakan, memonitor dan
Universitas Kristen Maranatha
mengevaluasi kognitif mereka ketika menyelesaikan tugas pintrich de groot 1990. Zimmerman 1990 dalam Fredricks, 2004. Siswa menggunakan strategi
belajar seperti latihan, merangkum, dan elaborasi untuk mengingat, mengorganisasi dan mengerti materi corno madinach, 1983; Weinstein
mayer 1986 dalam Fredricks, 2004. Siswa mengatur dan mengontrol usaha pada tugas, sebagai contoh, dengan menahan atau menekan distraksigangguan untuk
mempertahankan cognitive engagement mereka.. Siswa mau berusaha mengerjakan tugas dan menyelesaikannya.
Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan kepada 30 orang siswa, menunjukkan 23 siswa yang rajin mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di
sekolah, bertanya pada guru mengenai materi yang kurang dipahami, membaca ulang materi yang telah dipelajari disekolah, rajin datang ke sekolah tepat waktu,
mengumpulkan tugas tepat waktu, dan lain-lain. Sementara itu 77 siswa yang mengerjakan tugas seadanya, menunda mengerjakan tugas, pasif dalam diskusi,
melanggar peraturan sekolah dan mendapat hukuman. Hal ini menunjukkan behavioral engagement pada siswa SMA “X” Bandung.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa 37 siswa yang mengatakan senang berada di sekolah, merasa nyaman mengikuti proses belajar mengajar di
kelas, semangat mengikuti pelajaran, dan antusias dalam diskusi di kelas. sementara itu 63 siswa yang mengatakan bahwa mereka merasa bosan di
sekolah, terkadang mengantuk di kelas dan kurang tertarik saat diskusi kelas. Siswa merasa peraturan disekolah terlalu ketat sehingga membuat siswa merasa
Universitas Kristen Maranatha
terbebani. Hal-hal tersebut menunjukkan emotional engagement pada siswa SMA “X” Bandung.
Kemudian 23 siswa yang berkonsentrasi saat guru menjelaskan di kelas. Berkonsentrasi mengerjakan tugas, dan berusaha memahami materi, sementara itu
77 siswa yang kurang mencoba untuk memahami lebih dalam materi yang diajarkan guru, dan hal-hal ini menunjukkan cognitive engagement pada siswa
SMA “X” Bandung. Berdasarkan survei awal terhadap 30 siswa, masih banyak siswa yang
menunjukkan perilaku kurang terlibat dalam kegiatan akademik maupun non akademik, sedangkan dengan adanya sistem boarding school di SMA “X”
Bandung ini diharapkan agar siswa secara keseluruhan terlibat dalam kegiatan akademik maupun non akademik di sekolah. Oleh karena itu peneliti ingin
meneliti dan melihat secara lebih menyeluruh mengenai school engagement di SMA “X” Bandung ini.
1.2 Identifikasi Masalah