Analisa Lendutan Profil Baja Non Prismatis Perletakan Sendi-Rol Dengan Metode Plastis.

(1)

ANALISA LENDUTAN PROFIL BAJA NON PRISMATIS

PERLETAKAN SENDI – ROL DENGAN METODE PLASTIS

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh ujian sarjana teknik sipil

OLEH :

CITRA UTAMI

060404101

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSIITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

ANALISA LENDUTAN PROFIL BAJA NON PRISMATIS

PERLETAKAN SENDI – ROL DENGAN METODE PLASTIS

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh ujian sarjana teknik sipil

Disusun Oleh :

CITRA UTAMI

06 0404 101

Dosen Pembimbing :

Ir. Besman Surbakti, MT NIP. 195410121980031004

Diketahui :

Ketua Departemen Teknik Sipil

Prof. Dr.Ing. Johannes Tarigan NIP : 19591224191031002

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSIITAS SUMATERA UTARA

2010


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISA LENDUTAN PROFIL BAJA NON PRISMATIS

PERLETAKAN SENDI – ROL DENGAN METODE PLASTIS

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh ujian sarjana teknik sipil

Disusun Oleh :

CITRA UTAMI

06 0404 101

Dosen Pembimbing :

Ir. Besman Surbakti, MT NIP. 195410121980031004

         

Mengesahkan :

Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr.Ing. Johannes Tarigan NIP : 19591224191031002

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSIITAS SUMATERA UTARA

Penguji I

Ir. Sanci Barus, MT NIP :195209011981121001  

Penguji II

Ir. Daniel R Teruna, MT NIP : 195907071987101001 

Penguji III

Rahmi Karolina, ST. MT NIP : 198203182008122001 


(4)

ABSTRAK

Pada perencanaan suatu konstruksi, seorang perencana dituntut untuk mendesain suatu bangunan yang kuat, mudah dalam pelaksanaan, aman ketika dilakukan pembebanan maksimum dan memenuhi fungsi serta kebutuhan bangunan. Salah satunya adalah dengan menggunakan baja dalam perencanaan konstruksi. Penggunana baja prismatis dalam konstruksi telah sering dijumpai, namun pada kondisi-kondisi tertentu penggunaan profil baja non prismatis lebih disukai penggunaannya.

Perencanaan secara plastis merupakan bentuk penyelesaian yang dianggap menguntungkan untuk mendesain suatu struktur dibandingkan dengan desain secara elastis, karena selain menggunakan persamaan matematis yang lebih mudah, metode plastis juga dapat meramalkan beban runtuh sehingga pendimensian pada material lebih ekonomis.

Dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa lendutan plastis profil IWF non

prismatis lebih besar bila dibandingkan dengan lendutan plastis profil IWF prismatis

pada volume yang sama. Lendutan plastis profil IWF non prismatis beban terpusat

adalah 0,19833 cm sedangkan lendutan plastis profil IWF prismatis adalah 0,29589

cm. Dan Lendutan plastis profil IWF non prismati beban terbagi rata adalah 0,14324

cm sedangkan lendutan plastis profil IWF prismatis adalah 0,2455 cm.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada saya, sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.

Tugas akhir ini merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana Teknik Sipil bidang struktur Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera

Utara, dengan judul “Analisa Lendutan Profil Baja Non Prismatis Perletakan

Sendi-Rol Dengan Metode Plastis .”

Saya menyadari bahwa dalam menyelesaikan tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan, bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beberapa pihak yang berperan penting yaitu :

1. Bapak Ir.Besman Surbakti selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan

dukungan, masukan, bimbingan serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membantu saya menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan selaku Ketua Departemen Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak/Ibu seluruh staff pengajar Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik


(6)

5. Seluruh pegawai administrasi Departemen Teknik Sipil Fakultas teknik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama ini kepada saya.

6. Buat keluargaku, terutama kepada kedua orang tuaku, Ayahanda Asrizal dan

ibunda Yenni yang telah memberikan motivasi,semangat dan nasehat kepada saya, adik-adikku Thariq Tarzi, Tri Wita Sari dan Wina Asrini, kakakku Astri Yayanti dan abangku Zefrizal yang telah banyak membantu saya.

7. Buat Fahim Ahmad, yang banyak memberikan motivasi, nasehat dan membantu

saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

8. Buat saudara/i seperjuangan Wynda, Didik, Diana, Any, Irin, Yovanka, Nurul,

Marni, dina, Tami, Alfi, Budi, Ucup, Rivan, rahmat, Radi, Hanif, Agung, Herry, Ajir, Farqi, Hardiansyah, Haikal, Untung, Anton, Biondi, Helen, Alex, Subroto, abang-abang dan kakak senior, bg Nova, bg Juri, bg budi, bg Afrizal, bg Baga kak Nova, Kak Dian, kak Rhini, kak Vika, kak Emma, kak Dini, kak Tanti, kak Henny, kak Wida, kak icha,adik-adik pondasi dan adik-adik 07,08,09 ,serta teman-teman mahasiswa/i angkatan 2006 yang tidak dapat disebutkan seluruhnya terima kasih atas semangat dan bantuannya selama ini.

9. Buat mas subandi dan ibu kantin beton.

10. Seluruh rekan-rekan yang tidak mungkin saya tuliskan satu-persatu atas

dukungannya yang sangat baik.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini masih jauh dari kata sempurna. Yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pemahamahan saya dalam hal ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang


(7)

Akhir kata saya mengucapkan terima kasih dan semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Desember 2010

Penulis

( CITRA UTAMI )

                           


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR NOTASI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 PERUMUSAN MASALAH ... 4

1.3 MAKSUD DAN TUJUAN ... 4

1.4 PEMBATASAN MASALAH ... 4

1.5 METODOLOGI PENULISAN ... 5

BAB II STUDI PUSTAKA ... 11

2.1 PENGENALAN STRUKTUR BAJA ... 11

2.1.1 Bentuk Profil baja ... 14

2.2 HUBUNGAN TEGANGAN REGANGAN ... 15

2.3 HUBUNGAN MOMEN KELENGKUNGAN ... 20

2.4 ANALISA STRUKTUR SECARA PLASTIS ... 26

2.4.1 Pengertian Sendi Plastis ... 26

2.4.2 Bentuk Sendi Plastis ... 29

2.4.3 Perhitungan Struktur berdasarkan kekuatan batas ... 30

2.4 METODE NUMERIK ... 33


(9)

3.1.1 Perletakan Sendi-rol Pembebanan Terpusat ... 36

3.1.2 Perletakan Sendi-rol Pembebanan Terbagi rata ... 39

3.2 Analisa Kelengkungan Pada Gelagar Non Prismatis ... 42

3.2.1 Perletakan Sendi-rol Pembebanan Terpusat ... 42

3.2.2 Perletakan Sendi-rol Pembebanan Terbagi rata ... 46

BAB IV ANALISA LENDUTAN GELAGAR NON PRISMATIS ... 50

4.1 METODE ANALISA ... 50

4.1.1 Metode Integrasi ... 50

4.1.2 Metode Numerik ... 52

4.1.2.1 Struktur non prismatis perletakan sendi-rol ... 54

4.1.2.1 Struktur prismatis perletakan sendi-rol ... 83

BAB V APLIKASI ... 85

5.1 Perletakan Sendi-rol beban Terpusat ... 85

5.2 Perletakan Sendi-rol beban Terbagi rata ... 90

5.3 Hubungan lendutan dengan jarak x ... 94

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

6.1 Kesimpulan ... 97

6.2 Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Daerah perubahan momen

Gambar 1.2 Distribusi tegangan pada profil IWF

Gambar 1.3 Perletakan sendi- rol prismatis beban terpusat

Gambar 1.4 Perletakan sendi-rol non prismatis beban terpusat

Gambar 1.5 Penampang non prismatis

Gambar 1.6 Perletakan sendi rol prismatis beban terbagi rata

Gambar 1.7 Perletakan sendi rol non prismatis beban terbagi rat

Gambar 1.8 Penampang non prismatis

Gambar 2.1a Bentuk profil baja (hot rolled shapes)

Gambar 2.1b Bentuk profil baja (Cold formed shapes)

Gambar 2.2 Hubungan antara tegangan regangan baja lunak

Gambar 2.3 Efek Bauschinger

Gambar 2.4 Hubungan plastis ideal

Gambar 2.5 Kelengkungan balok

Gambar 2.6 Distribusi tegangan pada penampang I

Gambar 2.7 Hubungan momen-kelengkungan penampang I

Gambar 2.8a Mekanisme keruntuhan balok

Gambar 2.8b Mekanisme keruntuhan balok

Gambar 2.8c Mekanisme keruntuhan balok

Gambar 2.8d Mekanisme keruntuhan balok


(11)

Gambar 2.10 Grafik aproksimasi diferensiasi maju, mundur, dan tengah

Gambar 3.1 Perletakan sendi-rol beban terpusat

Gambar 3.2 Keadaan elastoplastis

Gambar 3.3 Keadaan plastis

Gambar 3.4 Perletakan sendi-rol beban terbagi rata

Gambar 3.5 Perletakan sendi-rol beban terpusat

Gambar 3.6 Penampang profil I

Gambar 3.7 Penampang non prismatis

Gambar 3.8 Keadaan elastoplastis

Gambar 3.9 Keadaan plastis

Gambar 3.10 Perletakan sendi-rol beban terbagi rata

Gambar 4.1 Penampang profil I pada jarak x

Gambar 4.2 distribusi tegangan keadaan elastoplastis

Gambar 4.3 kurva f (x)

Gambar 4.4 Kurva lendutan perletakan sendi- rol

Gambar 4.5 Profil I

Gambar 5.1 Perletakan sendi rol non prismatis beban terpusat

Gambar 5.2 (a) Potongan 1-1 profil I, (b) Potongan 2-2 profil I

Gambar 5.3 Profil IWF 400x300


(12)

DAFTAR NOTASI

q beban merata

L panjang bentang

Lp panjang plastis pada balok

P beban terpusat

n Jumlah sendi plastis untuk runtuh

r derajat statis tak tentu

y tinggi serat

α faktor daerah elastis pada penampang

φ sudut kelengkungan balok

M momen lentur

RA reaksi di titik A

RB reaksi di titik B

ε regangan (strain)

εy regangan (strain) pada keadaan leleh

εs regangan (strain) pada keadaan strain hardening

lo panjang awal

k Kelengkungan

ky Kelengkungan pada keadaan leleh

E modulus elastis baja

Es modulus elastis baja pada keadaan strain hardening

σ tegangan normal

σy tegangan leleh


(13)

σyu tegangan leleh atas

FK faktor keamanan

Mp momen plastis

My momen leleh

Mx momen pada saat elastis sejauh x

f faktor bentuk (shape factor)

S section modulus

Z plastic modulus

x jarak bentang sejauh x satuan

D tinggi profil

d tinggi profil

Dx tinggi profil pada jarak x

b lebar profil

t tebal badan

T tebal flens

I momen inertia

Ix momen inersia pada jarak x

Δp lendutan plastis


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hubungan persentase karbon (C) terhadap tegangan

Tabel 5.1 Hubungan jarak dengan lendutan plastis perletakan sendi- rol

non prismatis beban terpusat dan terbagi rata


(15)

ABSTRAK

Pada perencanaan suatu konstruksi, seorang perencana dituntut untuk mendesain suatu bangunan yang kuat, mudah dalam pelaksanaan, aman ketika dilakukan pembebanan maksimum dan memenuhi fungsi serta kebutuhan bangunan. Salah satunya adalah dengan menggunakan baja dalam perencanaan konstruksi. Penggunana baja prismatis dalam konstruksi telah sering dijumpai, namun pada kondisi-kondisi tertentu penggunaan profil baja non prismatis lebih disukai penggunaannya.

Perencanaan secara plastis merupakan bentuk penyelesaian yang dianggap menguntungkan untuk mendesain suatu struktur dibandingkan dengan desain secara elastis, karena selain menggunakan persamaan matematis yang lebih mudah, metode plastis juga dapat meramalkan beban runtuh sehingga pendimensian pada material lebih ekonomis.

Dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa lendutan plastis profil IWF non

prismatis lebih besar bila dibandingkan dengan lendutan plastis profil IWF prismatis

pada volume yang sama. Lendutan plastis profil IWF non prismatis beban terpusat

adalah 0,19833 cm sedangkan lendutan plastis profil IWF prismatis adalah 0,29589

cm. Dan Lendutan plastis profil IWF non prismati beban terbagi rata adalah 0,14324

cm sedangkan lendutan plastis profil IWF prismatis adalah 0,2455 cm.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penggunaan batang prismatis pada gelagar baja telah sering dijumpai pada konstruksi-kon1wstruksi yang menggunakan baja sebagai komponen strukturnya, tetapi sekarang ini pada kondisi-kondisi tertentu batang non prismatis lebih disukai penggunaanya daripada batang prismatis. Banyak sekali keuntungan-keuntungan penting yang terdapat dalam penerapan penggunaan batang non prismatis. Perubahan penebalan pada batang non prismatis akan menyebabkan kekakuan yang tidak sama di setiap titiknya. Besarnya momen inersia di setiap titik ini akan memberikan pengaruh pada besarnya momen-momen dan gaya-gaya geser di titik tersebut. Perbedaan besar momen-momen dan inersia di setiap titik pada penampang gelagar baja non prismatis ini mempengaruhi lendutan yang akan terjadi pada konstruksi tersebut. Selain itu suatu keuntungan yang tidak kalah penting, dari segi konstruksinya balok non-prismatis memiliki nilai keindahan (estetika).

Salah satu kriteria kenyamanan adalah lendutan. Selain direncanakan untuk menahan beban yang bekerja padanya, suatu struktur juga harus menghasilkan defleksi (lendutan) yang berada dalam batas-batas tertentu agar struktur tersebut dapat memberikan pelayanan yang aman. Lendutan ini tidak boleh terlalu besar sampai melebihi peraturan atau spesifikasi defleksi.


(17)

EI M dx

y d R  2 

2

1

Untungnya, telah terdapat beberapa metode untuk menyelesaikan persamaan ini baik secara elastis maupun plastis. Metode-metode penyelesaian tersebut biasanya hanya berbeda dalam menyatakan kelengkungan dan syarat batasnya saja.

Metode plastis merupakan metode desain struktur yang memperhitungkan keruntuhan suatu struktur dikarenakan terjadinya sejumlah sendi plastis. Lendutan pada kondisi plastis akan terus bertambah tanpa memerlukan penambahan beban lagi. Keadaan ini menunjukkan bahwa struktur telah mencapai makanisme runtuhnya. Semakin besar penambahan beban yang dilakukan secara bertahap maka daerah serat dari penampang akan mengalami tegangan leleh yang semakin besar pula. Hingga pada suatu beban plastis, maka seluruh serat akan mengalami leleh, yang akibatnya konstruksi akan runtuh. Metode ini berdasar prinsip kerja virtual yaitu kerja luar sama dengan kerja dalam.


(18)

Keterangan gambar di atas, yaitu :

a. Titik 1 = Momen Elastis Leleh b.Titik 2 = Momen Leleh

c. Titik 3 = Momen elastoplastis d.Titik 4 = Momen Plastis Penuh

Gambar 1.2 Distribusi tegangan pada profil IWF

Keterangan gambar 1.2 di atas, yaitu :

1.2.a Daerah 1 disebut daerah elastis

1.2.b dan 1.2.c Daerah 2-3 disebut Daerah Elasto-Plastis

1.2.d Daerah 4 disebut derah momen plastis penuh

Dimana :

M1 = Momen Elastis

My = Momen Yield (Leleh)

My’= Momen peralihan (ElastoPlastis) Mp = Momen Plastis

Desain plastis merupakan bentuk penyelesaian yang dianggap menguntungkan untuk mendesain suatu struktur statis tak tentu dibandingkan dengan desain secara elastis, karena selain menggunakan persamaan


(19)

matematis yang lebih mudah, metode plastis juga dapat meramalkan beban runtuh sehingga pendimensian pada material lebih ekonomis.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Perbedaan kekakuan disetiap titik pada batang non prismatis memberikan pengaruh terhadap momen inersia dan lendutan yang terjadi. Hal ini berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan dan segi ekonomisnya. Hal ini dibandingkan dengan batang prismatis yang lebih sering digunakan. Sehingga penulis merasa analisis lendutan pada gelagar baja non prismatic dianggap penting untuk di bahas dalam tugas akhir ini.

1.3 MAKSUD DAN TUJUAN

Mengetahui persamaan lendutan plastis profil IWF non prismatis yang

terjadi pada perletakan sendi-rol beban terpusat simetris dan beban terbagi rata.

1.4 PEMBATASAN MASALAH

Adapun pembatasan masalah yang diambil untuk mempermudah penyelesaian adalah :

a. Perencanaan suatu gelagar statis tertentu dengan menggunakan profil baja IWF (Wide Flange), dimana untuk profil IWF, D > b.


(20)

d. Metode penyelesaian persamaan menggunakan metode numerik. e. Tegangan geser, gaya normal dan regangan tidak ditinjau.

f. Pengaruh komposisi bahan, temperature, kecepatan regang bahan dan

residual stress tidak ditinjau.

g. Penggunaan profil IWF diambil dari tabel profil konstruksi baja.

h. Aplikasi dalam perletakan sendi-rol dengan beban terpusat dan terbagi

rata.

1.5 METODOLOGI PENULISAN

Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah kajian

literatur berdasarkan metode plastis untuk menghitung lendutan serta masukan-masukan dari dosen pembimbing.

Dalam menghitung lendutan digunakan integral dari persamaan kelengkungan yaitu :

EI M dx

y d R  2 

2

1

Pada penampang prismatis, hanya nilai dari momen yang bervariasi terhadap x disepanjang bentang gelagar (L) sedangkan nilai inersia dari penampang adalah konstan. Namun pada penampang non prismatis nilai

momen dan inersia bervariasi terhadap x disepanjang bentang gelagar (L)

yaitu Mxdan  EIx, sehingga persamaan kelengkungan tersebut pada

penampang non prismatis menjadi :

x EI M dx

y d

R  2 

2


(21)

Nilai momen pada penampang non prismatis dijabarkan dengan rumus : a. Balok yang dibebani oleh beban terpusat (P) , nilai momen di x adalah

:

       

l x M

Mx p

2 1

b. Balok yang dibebani oleh beban terbagi rata (q) yang terletak di

sepanjang bentang, nilai momen di x adalah :

  

   1 422

l x M

Mx p

Misalnya perhitungan defleksi (lendutan) pada dua perletakan sendi-rol :

1. Perletakan sendi-rol dengan beban terpusat

a. Pada penampang prismatis

Gambar 1.3 Perletakan sendi-rol prismatis beban terpusat x dimulai dari titik terjadinya sendi plastis.

l x PL

factor load PL

M l

x M

Mx p p

1

2 1 4 1

4 1 ; 2

1        

 

       

 

 


(22)

x x

x x

d x L EI

P EI

x L P dx

dy

EI M dx

y d

prismatis penampang

inersia I

 

 

   

0 0 2 2

2 4

2 4

1

 

L x

dx

EI P

y 



2

4 

 

b. Pada penampang non prismatis

 

Gambar 1.4 Perletakan sendi-rol non prismatis beban terpusat   

 


(23)

 

3 3 2 2 1 2 12 1 12 1 2 2 4 1 2 1 4 1 4 1 ; 2 1 T D t b bD I D D D L x D x L P l x Pl Pl M l x M M x x x x p p x                             

 

 

x

x x x x x x x x d T D t b bD x L E P y d T D t b bD x L E P dx dy EI M dx y d



                3 3

0 3 3

2 2 2 12 1 2 4 2 12 1 12 1 2 4    

2. Perletakan sendi-rol dengan beban terbagi rata

a. Pada penampang prismatis

Gambar 1.6 Perletakan sendi-rol prismatis beban terbagi rata

2 2

2 2 2 2 2 2 4 1 4 1 8 1 8 1 ; 4 1 x L q l x ql ql M l x M

Mx p p

                   


(24)

EI M dx

y d

prismatis penampang

inersia I

x

  

2 2

x

x x

x

d x L EI

q y

d x L EI

q

EI x L q dx

dy



 

 

 

2 2 0

2 2 0

2 2

4 8

4 8

4 8

1

 

b. Pada penampang non prismatis

Gambar 1.7 Perletakan sendi-rol non prismatis beban terbagi rata 

 


(25)

 

3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 12 1 12 1 4 8 1 4 1 8 1 8 1 ; 4 1 T D t b bD I x L q l x ql ql M l x M M x x x p p x                      

 

 

 

x

x x x x x x x x x x x x d T D t b bD x L E q y d T D t b bD x L E q d T D t b bD E x L q dx dy EI M dx y d



                       3 3 2 2

0 3 3

2 2

0 3 3

2 2 2 2 2 12 1 4 8 2 12 1 4 8 2 12 1 12 1 4 8 1     


(26)

BAB II STUDI PUSTAKA

2.1 PENGENALAN STRUKTUR BAJA

Sebagaimana yang telah diketahui, bahan baja merupakan kreasi manusia modern. Sebelum manusia menggunakan baja pada konstruksi utama yang berkembang dengan pesat pada saat sekarang ini, besi cetak ( cast iron, ditemukan di cina pada abad ke IV sebelum masehi) dan besi tempa (wrougt iron) telah banyak digunakan pada banyak gedung dan jembatan sejak pertengahan abad kedelapan belas sampai pertengahan abad kesembilan belas . Penggunaan baja pertama kali adalah sebagai konstruksi utama jembatan Eads di St. Louis, Missouri, yang dimulai pembangunannya pada tahun 1868 dan selesai pada tahun 1874. Kemudian pada tahun 1884 diikuti dengan pembangunan gedung bertingkat sepuluh berstruktur baja, yaitu Home Insurance Company Building di Chicago. Seabad setelah ditemukannya, bahan baja telah banyak dikembangkan, baik dalam sifat materialnya maupun dalam metode dan jenis penggunaannya. Perkembangan ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa baja merupakan jawaban untuk semua masalah struktural. Bahan bangunan lainnya, seperti beton, bata, dan kayu, mempunyai peran sendiri-sendiri, dan dalam banyak situasi dapat merupakan alternative yang ekonomis.

Adapun beberapa keunggulan baja sebagai material konstruksi antara lain :


(27)

1. Mempunyai kekuatan yang tinggi, sehingga dapat mengurangi ukuran struktur serta mengurangi pula berat sendiri dari struktur. Hal ini cukup menguntungkan bagi struktur-struktur jembatan yang panjang, gedung yang tinggi atau juga bangunan-bangunan yang berada pada kondisi tanah yang buruk.

2. Keseragaman dan keawetan yang tinggi, tidak seperti halnya material

beton bertulang yeng terdiri dari berbagai macam bahan penyusun, material baja jauh lebih seragam/homogeny serta mempunyai tingkat keawetan yang jauh lebih tinggi jika prosedur perawatan dilakukan secara semestinya.

3. Sifat elastis, baja mempunyai perilaku yang cukup dekat dengan

asumsi-asumsi yang digunakan untuk melakukan analisa, sebab baja dapat berperilaku elastis hingga tegangan yang cukup tinggi mengikuti hokum hooke. Momen inersia dari suatu profil baja juga dapat dihitung dengan pasti sehingga memudahkan dalam melakukan proses analisa struktur.

4. Daktalitas baja cukup tinggi, karena suatu batang baja yang menerima

tegangan tarik yang tinggi akan mengalami regangan tarik cukup besar sebelum terjadi keruntuhan.

5. Beberapa keuntungan lain pemakaian baja sebagai material konstruksi

adalah kemudahan penyambungan antar elemen yang satu dengan lainnya menggunakan alat sambung las atau baut. Pembuatan baja melalui proses gilas panas mengakibatkan baja menjadi mudah dibentuk


(28)

pelaksanaan konstruksi baja juga menjadi keunggulan suatu material baja.

Namun disamping keuntungan-keuntungan yang dimiliki oleh bahan baja terdapat pula kekurangannya, terutama dari sisi pemeliharaan.

Konstruksi baja yang berhubungan langsung dengan udara atau air, secara

periodik harus dicat karena mudahnya bahan ini mengalami korosi (kebanyakan baja, tidak semua jenis baja). Perlindungan terhadap bahaya kebakaran juga harus menjadi perhatian yang serius, sebab material baja akan mengalami penurunan kekuatan secara drastis akibat kenaikan temperature yang cukup tinggi disamping itu baja juga merupakan konduktor panas yang baik, sehingga nyala api dalam suatu bangunan justru dapat menyebar dengan lebih cepat. Kelemahan lain dari struktur baja adalah masalah tekuk yang merupakan fungsi dari kelangsingan suatu penampang. Baja tidak mudah terbakar, tetapi harus anti api.

Baja yang dipergunakan untuk konstruksi ini adalah baja paduan (alloy steel) terdiri atas 98 % besi, 1 % karbon, silicon, mangan, sulfur,

phosphor, tembaga, chromium dan nikel. Karbon dan mangan adalah bahan pokok untuk meningkatkan tegangan atau strength dari baja murni. Baja tidak

merupakan sumber yang dapat diperbaharui (renewable), tetapi mempunyai

daur ulang (recycled) dan komponen utamanya yaitu besi sangat banyak.

Baja berdasarkan jumlah karbon yang dikandungnya dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu :


(29)

b. Mild carbon : Mengandung karbon kurang dari 0,15 % -

0,29 %

c. Medium carbon : Mengandung karbon 0,3 % - 0,59 %

d. High carbon : Mengandung karbon 0,6 % - 1,7 %

Penambahan persentase karbon akan meningkatkan tegangan ijin baja, tetapi akan mengurangi daktilitas baja tersebut. Idealnya adalah kadar karbon pada baja adalah tidak lebih dari 0,3 %.

2.1.1 Bentuk Profil Baja

Ada dua macam bentuk profil baja yang didasarkan pada pembuatannya, yaitu :

a. Hot rolled shapes : profil baja dibentuk dengan cara blok-blok baja

yang panas, diproses melalui rol-rol dalam pabrik. Hot rolled

shapes ini mengandung tegangan residu. Jadi sebelum batang

dibebanipun sudah terdapat residual yang berasal dari pabrik. Gambar :


(30)

b. Cold formed shapes : profil semacam ini dibentuk dari plat-plat

yang sudah jadi, menjadi profil baja dalam temperature atmosfer (dalam keadaan dingin). Tebal plat yang dibentuk menjadi profil ini tebalnya kurang darti 3/16 inch.

Gambar :

Gambar 2.1b Bentuk profil baja (Cold formed shapes) Sifat mekanis yang sangat penting pada baja dapat diperoleh dari uji tarik, yaitu Modulus Elastisitas (E) yang merupakan perbandingan antara tegangan dengan regangan. Uji ini melibatkan pembebanan tarik sampel baja dan bersamaan dengan itu dilakukan pengukuran beban dan perpanjangan sehingga akan diperoleh tegangan dan regangan.

2.2 HUBUNGAN TEGANGAN-REGANGAN

Ada hubungan umum antara tegangan dan regangan untuk material elastis yang pertama kali dinyatakan oleh Robert Hooke (1635-1703) dan

dikenal sebagai hukum Hooke. Dalam hukum Hooke dijelaskan hubungan


(31)

keadaan yang terjadi pada batang baja lunak yang ditarik gaya aksial tertentu pada kondisi temperatur ruang. Dari hubungan ini diperoleh bahwa nilai

regangan yang terjadi berbanding lurus dengan tegangan atau beban aksial

yang diberikan pada batang tersebut. Kondisi ini yang kemudian disebut sebagai kondisi elastis. Biasanya, regangan (strain) yang menyatakan besarnya perubahan panjang, dilambangkan oleh ε dan tegangan (stress) yang

dilambangkan oleh σ, yang menyatakan gaya per luas satuan yang bekerja

pada penampang tersebut.

Dimana ;

lo = panjang awal

l = panjang batang setelah mendapat beban

Hubungan antara tegangan dan regangan diperlihatkan pada gambar 2.2 berikut.


(32)

Titik-titik penting ini membagi gambar menjadi beberapa daerah sebagai berikut:

1. Daerah pertama, yaitu OA, merupakan garis lurus, pada daerah ini

jika beban dihilangkan maka benda uji akan kembali kebentuk semula, dan daerah ini dinyatakan daerah linier elastis.. Kemiringan garis ini menyatakan besarnya modulus elastis atau disebut juga modulus Young (E).

2. Diagram tegangan-regangan untuk baja lunak umumnya memiliki titik

leleh atas (upper yield point), σyu , dan daerah leleh datar. Secara

praktis, letak titik leleh atas ini, A’, tidaklah terlalu berarti sehingga pengaruhnya sering diabaikan. Tegangan pada titik A disebut sebagai

tegangan leleh, dimana regangan pada kondisi ini berkisar 0,0012.

3. Dalam daerah AB, dapat dilihat bahwa bila regangannya terus

bertambah hingga melampaui titik A’, ternyata tegangannya dapat dikatakan tidak bertambah. Sifat dalam daerah AB inilah yang disebut sebagai plastis. Daerah ini dapat menunjukkan pula tingkat daktilitas

dari material baja. Lokasi titik B, yaitu titik akhir sebelum tegangan mengalami sedikit kenaikan, tidaklah tertentu. Tetapi, sebagai perkiraan dapat ditentukan terletak pada regangan 0,014 atau secara praktis dapat ditetapkan sebesar sepuluh kali besarnya regangan leleh.

4. Daerah BC merupakan daerah strain hardening, dimana pertambahan


(33)

Kemiringan garis setelah titik B ini didefenisikan sebagai Es. Di titik

M, yaitu pada regangan berkisar 20 % dari panjang bahan, tegangannya mencapai nilai maksimum yang disebut sebagai tegangan tarik ultimit (ultimate tensile strenght). Kemudian, pada titik

C material putus.

Dari gambar 2.2, diperoleh besaran-besaran yang bergantung pada

komposisi baja, proses pembuatan baja tersebut (hot rolling process),

pengerjaan baja tersebut selanjutnya, serta temperatur saat percobaan. Tetapi faktor-faktor tersebut tidak berpengaruh besar terhadap nilai modulus Young

(E).

Dari hasil percobaan lentur yang dilakukan oleh Roderick dan Heyman (1951) terhadap empat jenis baja yang memiliki kadar karbon berbeda, diperoleh data-data seperti pada tabel 2.1 berikut.

%C σy (N/mm 2

) σya / σy εs / εy Es / Es

0,28 340 1,33 9,2 0,037 0,49 386 1,28 3,7 0,058 0,74 448 1,19 1,9 0,07 0,89 525 1,04 1,5 0,098

Tabel 2.1 Hubungan persentase karbon (C) terhadap tegangan

Dari tabel tersebut, diperoleh hubungan antara tegangan leleh dan kadar karbon. Semakin besar tegangan lelehnya (σy), semakin tinggi pula


(34)

mengakibatkan duktilitas dari baja tersebut berkurang. Duktilitas merupakan perbandingan antara εs   dengan  εy ,  dimana  εs   adalah regangan strain

hardening dan εy regangan leleh.

Apabila suatu material logam mengalami keadaan tekan dan tarik secara berulang, diagram tegangan-regangannya dapat terbentuk seperti gambar 2.3

Gambar 2.3 Efek Bauschinger

lintasan tekan dan tarik adalah sama. Hal ini menunjukkan suatu keadaan yang disebut sebagai efek Bauschinger, yang diperkenalkan oleh J.

Bauschinger dalam makalahnya yang dipublikasikan tehun 1886.

Hubungan tegangan-regangan untuk keperluan analisis ini diedealisasikan dengan mengabaikan pengaruh tegangan leleh atas, strain

hardening, dan efek Bauschinger, sehingga hubungan tersebut menjadi


(35)

Gambar 2.4 Hubungan Plastis Ideal

2.3 HUBUNGAN MOMEN-KELENGKUNGAN

Suatu struktur akan berotasi secara tidak terbatas pada saat terjadi sendi plastis. Momen menyebabkan terjadinya lenturan pada struktur. Semakin besar momen yang terjadi, akan semakin besar pula lenturan yang diakibatkannya. Sebelum gaya luar bekerja pada balok, maka balok masih dalam keadaan lurus. Namun setelah gaya luar bekerja pada balok tersebut, maka balok akan melentur. Biasanya diasumsikan bahwa material balok bersifat homogen, dan balok hanya mengalami lentur murni, yaitu dengan mengabaikan pengaruh gaya lintang dan gaya aksial yang bekerja pada balok tersebut. Adapun perubaan kelengkungan akibat lentur murni ditunjukkan oleh gambar 2.5 berikut :


(36)

Gambar 2.5 Kelengkungan Balok

Titik A, B dan C akan tertekan, sedangkan titik A1, B1 dan C1 akan

meregang. Perpanjangan garis A1-A, B1-B, atau C1-C akan bertemu disuatu

titik, misalkan titik O. Kita mengasumsikan bahwa bidang rata akan tetap rata, dan selalu tegak lurus serat memanjang. Sudut yang terbentuk akibat terjadinya perubahan kelengkungan di titik A dan B atau B dan C , kita nyatakan dengan ΔØ. Kalau ΔØ ini cukup kecil, maka :

ab = (ρ - y) ΔØ,

a1b1=ρΔØ………..2.1


(37)

Dengan demikian, regangan memanjang di suatu serat sejauh y dari sumbu netral dinyatakan sebagai :

2 . 2 .... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

1 1

1 1

  

y b a

b a ab

 

 

Dimana 1/ ρ menunjukkan kelengkungan. Tanda negatif

menunjukkan bahwa bagian di atas garis netral berada pada kondisi tekan sedangkan bagian di bawah garis pada kondisi tarik.

Dengan ε = σ / E, maka :

3 . 2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 1

Ey R

R y E

 

 

Tegangan tarik pada serat bawah dan tegangan tekan pada serat atas adalah :

S M

Dimana : S=Modulus penampang

y = D/2


(38)

4 . 2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 1

2 / 2

/ 1

2 2

dx y d EI M R

SD I ESD

M R

 

  

Dari persamaan (2.2), untuk harga ε =  εy dan y = z diperoleh harga kelengkungan:

K=εy/z……….2.5 

Dengan εy merupakan regangan leleh.

Pada saat penampang I seperti pada gambar 2.6 mengalami lenturan,

bagian sayap (flange) atas akan memendek dan bagian sayap bawah akan

memanjang. Distribusi tegangan pada penampang I diperlihatkan pada gambar 2.6 berikut.

Gambar 2.6 Distribusi Tegangan pada Penampang I


(39)

Keadaan ini menunjukkan tegangan leleh hanya terjadi pada bagian serat terluar saja. Keadaan ini disebut keadaan elastis.

2. Gambar 2.6.b

Pada saat tegangan lelehnya masih berada di dalam bagian sayap.

3. Gambar 2.6.c

Saat tegangan leleh telah melampaui bagian sayap, yaitu berada di pelat badan(web).

4. Gambar 2.6.d

Saat seluruh serat telah mencapai tegangan leleh. keadaan dikatakan bahwa telah tercapai kondisi plastis penuh.

5. Gambar 2.6.e

Tegangan leleh baru terjadi pada serat terluar saja.

6. Gambar 2.6.f

Distribudi tegangan leleh baru berada pada bagian sayap(flange) .

7. Gambar 2.6.g

Distribusi tegangan leleh telah melampaui bagian sayap dan berada pada bagian badan (web).


(40)

Persamaan kelengkungan untuk penampang I yaitu :

a. Untuk tegangan yang masih berada di dalam sayap :

6 . 2 ... ... ... ... ... 3

1 1 4 6

1

2 2

2

  

  

    

  

 

y f

f

y

y K

K Z

d b Z d b K

K M

M

b. Untuk tegangan yang berada di pelat badan :

7 . 2 ... ... ... ... ... ... ... 12

2 2

    

K K Z d b f M

M w y

y

Dimana f adalah faktor bentuk, f = Z/S

Kurva momen-kelengkungan yang diperoleh dari persamaan (2.6) dan (2.7) diperlihatkan pada gambar 2.7 berikut:

Gambar 2.7 Hubungan Momen-Kelengkungan Penampang I


(41)

1. Titik a merupakan keadaan elastis.

2. Titik b dan c merupakan keadaan peralihan dari elastis ke plastis.

Keadaan ini disebut elastoplastis.

3. Titik d merupakan keadaan plastis penuh.

Perbandingan antara momen plastis Mp dengan momen leleh My

menyatakan peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau dari kondisi plastis. Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampangnya, f (shape

factor). Maka :

8 . 2 ... ... ... ... ... ... ... ... S Z M M f

y p

 

Dimana : f = faktor bentuk (shape factor)

Mp = momen plastis penampang

My = momen leleh

S = modulus penampang

Z = modulus plastis

2.4 ANALISA STRUKTUR SECARA PLASTIS

2.4.1 Pengertian Sendi Plastis


(42)

plastis. Keruntuhan dapat bersifat menyeluruh atau parsial. Penambahan beban lagi pada suatu struktur setelah serat terluar telah mencapai kondisi leleh, akan mengakibatkan tegangan lelehnya menjalar ke serat sebelah dalam. Dengan penambahan beban sedikit lagi maka seluruh serat pada penampang tersebut akan mengalami tegangan leleh. Dan momen maksimum yang terjadi pada penampang tersebut menjadi momen plastis. Pada saat keadaan ini, penampang akan mengalami rotasi yang cukup besar tanpa terjadi perubahan momen. Dapat dikatakan bahwa pada struktur tersebut yang terjadi momen maksimum telah terbentuk sendi plastis (plastic hinge).

Titik-titik tertentu pada penampang yang memiliki momen terbesar akan lebih cepat terbentuk sendi plastis dibandingkan titik-titik lain pada penampang tersebut.

Dari keadaan di atas dapat dikatakan bahwa sendi plastis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perputaran (rotasi) pada suatu struktur yang berlangsung secara terus menerus sebelum pada akhirnya mencapai keruntuhan yang diakibatkan oleh pembebanan eksternal. Jumlah sendi plastis yang diperlukan untuk mengubah suatu struktur ke dalam kondisi mekanisme keruntuhannya, sangat berkaitan dengan derajat statis tak tentu yang ada dalam struktur tersebut. Pada struktur statis tak tentu, pembentukan satu sendi plastis belum langsung menyebabkan terjadinya keruntuhan struktur. Sejumlah tertentu sendi plastis harus terbentuk dulu agar struktur mencapai


(43)

 

kondisi mekanisme keruntuhannya. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

n = r +1

dimana : n = jumlah sendi plastis untuk runtuh

r = derajat statis tak tentu atau redundan

Adapun mekanisme keruntuhan pada berbagai perletakan yaitu :

1. Struktur dua perletakan sendi - rol (balok statis tertentu)

Struktur pembebanan mekanisme runtuh

Gambar 2.8 a Mekanisme Keruntuhan Balok

Struktur dengan beban terpusat di tengah bentang ini hanya memerlukan sebuah sendi plastis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis akan terbentuk di tengah bentangan struktur tersebut karena momen maksimum terjadi pada titik ini. Sehingga titik inilah yang mencapai kapasitas momen plastis penampangnya lebih dahulu dari pada titik lain pada bentang tersebut.


(44)

Struktur ini memerlukan dua buah sendi plastis agar tercapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis akan terbentuk pada titik momen maksimum dan tumpuan jepit.

3. Struktur dua perletakan jepit – jepit (balok statis tak tentu)

Struktur pembebanan mekanisme runtuh

Gambar 2.8 c Mekanisme Keruntuhan Balok

Struktur ini memerlukan tiga buah sendi plastis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis terbentuk pada kedua tumpuan jepit dan titik momen maksimum.

4. Struktur jepit – bebas (balok kantilever)

Struktur pembebanan mekanisme runtuh

Gambar 2.8 d Mekanisme Keruntuhan Balok

Struktur ini hanya memerlukan sebuah sendi plastis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis terbentuk pada tumpuan jepit struktur tersebut.

2.4.2 Bentuk Sendi Plastis

Panjang sendi plastis (Lp) tergantung pada geometri struktur


(45)

a. Bentuk sendi plastis pada balok pembebanan terpusat

Gambar 2.9 a Bentuk sendi plastis beban terpusat

a l

x M

MR P 1 2 ...2.9

  

   

b. Bentuk sendi plastis pada balok pembebanan terbagi rata

Gambar 2.9 b Bentuk sendi plastis beban terbagi rata

b l

x M

MR P 1 4 ...2.9

2 2

  

  

2.4.3 Perhitungan Struktur berdasarkan Kekuatan Batas

Perhitungan struktur ketika mencapai kondisi runtuh didasarkan atas tiga kondisi berikut, yaitu :


(46)

Kondisi leleh merupakan keadaan pada saat runtuh, dimana momen lentur dari suatu struktur tidak ada yang melampaui kapasitas momen plastisnya, yaitu Mp > Melastis.

2. Kondisi Keseimbangan (equilibrium condition)

Kondisi keseimbangan merupakan kondisi dimana jumlah gaya-gaya dan momen-momen dalam keadaan seimbang adalah nol.

3. Kondisi Mekanisme (mechanism condition)

Kondisi mekanisme merupakan suatu kondisi dimana sejumlah sendi plastis telah terbentuk dan cukup untuk mengubah sebagian ataupun seluruh struktur ke dalam kondisi mekanisme keruntuhannya.

Kondisi – kondisi di atas merupakan dasar dari teorema – teorema berikut :

1. Teorema Batas Bawah (lower bound theorem)

Teorema ini menetapkan atau menghitung distribusi momen dalam struktur berdasarkan kondisi keseimbangan dan leleh. Beban (factor beban λ) yang dihasilkan akan lebih kecil atau sama dengan harga yang sebenarnya λc.

λ≤λc

2. Teorema Batas Atas (upper bound theorem)


(47)

Maka beban (factor beban λ) yang dihasilkan akan lebih besar atau sama dengan beban yang sebenarnya λc.

λ≥λc

Analisa struktur berdasarkan kekuatan batas, secara umum ada tiga cara yaitu ;

1. Cara Grafostatis

Cara ini meliputi penentuan secara grafostatis suatu bidangmomen dalam keadaan batas sedemikian rupa, sehingga dengan momen di setiap penampang tidak melampaui momen batas ( M < Mp), tercapai

suatu mekanisme keruntuhan.

2. Cara Mekanisme

Cara mekanisme merupakan cara yang lebih cepat untuk mendapatkan hasil dibandingkan dengan cara grafostatis, terutama pada struktur yang derajat kehiperstatisannya lebih banyak. Cara mekanisme mempergunakan prinsip kerja virtual.

Prinsip kerja virtual adalah suatu cara yang meninjau keseimbangan energi dari struktur ketika mengalami mekanisme keruntuhannya. Dapat dikatakan bahwa energi dalam = energi luar.

Persamaan prinsip kerja virtual dijelaskan berdasarkan persamaan berikut :


(48)

Dimana : Mp = Momen platis tampang

θ = Sudut Rotasi Sendi Plastis

PV = Gaya Vertikal

PH = Gaya Horizontal

ΔV = Displacement Vertikal

ΔH = Displacement Horizontal

3. Cara Distribusi Momen (moment balancing method)

Cara distribusi momen mirip dengan metode distribusi cara cross, sehingga cara ini sering juga disebut metode distribusi momen plastis.

2.5 METODE NUMERIK

Metode numerik adalah suatu teknik penyelesaian yang diformulasikan secara matematis dengan cara operasi hitungan/aritmatik dan dilakukan secara berulang-ulang dengan bantuan computer atau secara manual (hand calculation).

Dalam menganalisis suatu permasalahan yang didekati dengan menggunakan metode numerik, umumnya melibatkan angka-angka dalam jumlah banyak dan melewati proses perhitungan matematika yang cukup rumit.


(49)

Gambar 2.10 Grafik aproksimasi diferensiasi maju, mundur, dan tengah

Deret Taylor akan memberikan nilai hampiran bagi suatu fungsi pada suatu titik, berdasarkan nilai fungsi dan derivatifnya pada titik yang lain. Persamaan Deret Taylor yaitu :

  . ...2.10

! ) ( ...

. ! 2

) ( " ).

( ' ) ( )

( 1 1 2 i n n

n i

i i i i

i h R

n x f h

x f x x x f x f x

f       

Dalam metode numerik, persamaan diferensi hingga (finite difference)

secara umum yaitu :

12 . 2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... )

( '

11 . 2 ... ... ... ... ... 0

) ( ) ( ) (

' 1

1 1

h f x f atau

x x x

x

x f x f x f

i i

i i i

i

i i

i

 

 

 

 

 

Persamaan 2.11 dan 2.12 disebut sebagai persamaan diferensi hingga maju dari turunan pertama. Selanjutnya deret taylor dapat diperluas mundur


(50)

a h x f h x f x f x f i i i

i . ...2.13

! 2 ) ( " ). ( ' ) ( )

( 1    2

Dan bila dipotong setelah suku turunan pertama, maka akan diperoleh : b h h x f x f x

f i i

i 0. ...2.13

) ( ) ( ) (

'   1 

Persamaan 2.13b ini disebut diferensi hingga mundur dari turunan pertama. Bila persamaan 2.13a dan 2.11 dikurangkan maka akan didapat :

14 . 2 ... ... ... ... ... ... ... . 0 2 ) ( ) ( ) (

' 1 1 h2

h x f x f x

f i i

i

  

Persamaan 2.14 disebut diferensi hingga tengah dari turunan pertama.

Sedangkan persamaan diferensi hingga maju turunan kedua yaitu :

 

...2.15 0 ) ( ) ( . 2 ) ( ) ( " 2 1 2 h h x f x f x f x

f i i i i

 

  

Selanjutnya dapat diturunkan diferensi mundur turunan kedua yaitu :

 

...2.16 0 ) ( ) ( . 2 ) ( ) ( " 2 2 1 h h x f x f x f x

f i i i

i

 

  

Dan diferensi tengahnya adalah :

 

...2.17 0 ) ( ) ( . 2 ) ( ) ( " 2 1 1 h h x f x f x f x

f i i i

i

 


(51)

BAB III

ANALISA KELENGKUNGAN STRUKTUR

3.1 Analisa Kelengkungan Pada Gelagar Prismatis

3.1.1 Perletakan Sendi – Rol Pembebanan terpusat a. Kelengkungan pada keadaan Elastis

       

Gambar 3.1 perletakan sendi-rol beban terpusat Dari gambar 3.1 di atas di peroleh :

Reaksi di A :

P RA

2 1

 

Reaksi di B :

P RB

2 1

 

Momen di x ( 0 < x < L ) :

1 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 2

1 Px Mx


(52)

 

Dari persamaan 2.4 :

EI M dx

y d R  2 

2

1

Sehingga persamaan kelengkungan menjadi :

2 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 2

1 1

EI Px R

b. Kelengkungan pada keadaan Elastoplastis

   

Gambar 3.2 Keadaan elastoplastis

Berdasarkan persamaan (2.3), maka persamaan kelengkungan pada keadaan elastoplastis :

3 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... 2 / 1 1

ED R

y

 

c. Kelengkungan pada keadaan Plastis


(53)

Berdasarkan persamaan (2.3), maka persamaan kelengkungan pada keadaan plastis :

2 / 1 1

ED R

y

 

Pada kondisi plastis α= 0

4 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 1

 


(54)

3.1.2 Perletakan Sendi – Rol Pembebanan terbagi rata a. Kelengkungan pada keadaan Elastis

Gambar 3.4 perletakan sendi-rol beban terbagi rata

Dari gambar 3.4 di atas di peroleh :

Reaksi di A :

qL RA

2 1

 

Reaksi di B :

qL RB

2 1

 

Momen di x ( 0 < x < L ) :

5 . 3 .... ... ... ... ... ... ... ... ... 2

1 qLx Mx

Dari persamaan 2.4 :

EI M dx

y d R  2 

2


(55)

 

6 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 2

1 1

EI qLx R

b. Kelengkungan pada keadaan Elastoplastis

 

Gambar 3.2 Keadaan elastoplastis Berdasarkan persamaan (2.3), maka persamaan kelengkungan pada keadaan elastoplastis : 

3 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... 2 / 1 1

ED R

y

 

c. Kelengkungan pada keadaan Plastis

Gambar 3.3 Keadaan Plastis

Berdasarkan persamaan (2.3), maka persamaan kelengkungan pada keadaan plastis :

2 / 1 1

ED R

y

 


(56)

Pada kondisi plastis α= 0

4 . 3 .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... 1

 


(57)

3.2 Analisa Kelengkungan Pada Gelagar Non Prismatis

3.2.1 Perletakan Sendi – Rol Pembebanan terpusat a. Kelengkungan pada keadaan Elastis

Gambar 3.5 perletakan sendi-rol beban terpusat

Adapun potongan gelagar non prismatis gambar di atas di perlihatkan pada gambar berikut :

Gambar 3.6 penampang profil I

Pada gambar 3.5 di atas, ditentukan nilai y :

Gambar 3.7 penampang non prismatis penampang profil

di titik A

penampang profil di titik x

penampang profil di titik C


(58)

7 . 3 ... ... ... ... ... ... ... )... (

2 2 1

2 1

2 1

D D L

x y

L D D x y

 

 

Nilai Dx = D2 + y

Maka ;

) (

2

2 1

2 D D

L x D

Dx   

8 . 3 .. ... ... ... ... ... ... )

2 1 ( ) ( 2

2

1 D

L x D

L x

Dx   

Dari gambar 3.5 di peroleh :

Reaksi di A :

P RA

2 1

 

Reaksi di B :

P RB

2 1

 

Momen di x ( 0 < x < L ) :

1 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 2

1 Px Mx

Dari persamaan 2.4 :

EI M dx

y d R  2 

2


(59)

Sehingga persamaan kelengkungan menjadi :

9 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 2

1 1

x EI

Px R

b. Kelengkungan pada keadaan Elastoplastis

Gambar 3.8 Keadaan elastoplastis

Berdasarkan persamaan (2.3), maka persamaan kelengkungan pada keadaan elastoplastis :

10 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... 2 / 1 1

x y ED R

 

Dimana;

2

1 )

2 1 ( ) ( 2

D L

x D

L x

Dx   

Maka :

11 . 3 ... ... ... ... ... ... ) (

2 1

1

2 ) 2 1 ( ) 1 ( 2

D L

x D

L x

y

E

R   

 

c. Kelengkungan pada keadaan Plastis


(60)

Berdasarkan persamaan (2.3), maka persamaan kelengkungan pada keadaan plastis :

2 / 1 1

x y ED R

 

Pada kondisi plastis α= 0

12 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 1

 


(61)

penampang profil di titik A

penampang profil di titik x

penampang profil di titik C

3.2.2 Perletakan Sendi – Rol Pembebanan terbagi rata a. Kelengkungan pada keadaan Elastis

Gambar 3.10 perletakan sendi-rol beban terbagi rata

Adapun potongan gelagar non prismatis gambar di atas di perlihatkan pada gambar berikut :

Gambar 3.6 penampang profil I


(62)

7 . 3 ... ... ... ... ... ... ... )... (

2 2 1

2 1

2 1

D D L

x y

L D D x y

 

 

Nilai Dx = D2 + y

Maka ;

) (

2

2 1

2 D D

L x D

Dx   

8 . 3 .. ... ... ... ... ... ... )

2 1 ( ) ( 2

2

1 D

L x D

L x

Dx   

Dari gambar 3.10 di atas di peroleh :

Reaksi di A :

qL RA

2 1

 

Reaksi di B :

qL RB

2 1

 

Momen di x ( 0 < x < L ) :

5 . 3 .... ... ... ... ... ... ... ... ... 2

1 qLx Mx

Dari persamaan 2.4 :

M y d

 2


(63)

Sehingga persamaan kelengkungan menjadi :

13 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 2

1 1

x EI qLx R

b. Kelengkungan pada keadaan Elastoplastis

Gambar 3.8 Keadaan elastoplastis

Berdasarkan persamaan (2.3), maka persamaan kelengkungan pada keadaan elastoplastis :

10 . 3 ... ... ... ... ... ... ... ... 2 / 1 1

x y ED R

 

Dimana;

2

1 )

2 1 ( ) ( 2

D L

x D

L x

Dx   

Maka :

11 . 3 ... ... ... ... ... ... ) (

2 1

1

2 ) 2 1 ( ) 1 ( 2

D L

x D

L x

y

E

R   

 

c. Kelengkungan pada keadaan Plastis


(64)

Berdasarkan persamaan (2.3), maka persamaan kelengkungan pada keadaan plastis :

2 / 1 1

x y ED R

 

Pada kondisi plastis α= 0

12 . 3 .... ... ... ... ... ... ... ... ... 1

 


(65)

BAB IV

ANALISA LENDUTAN GELAGAR NON PRISMATIS

4.1 METODE ANALISA

Dalam menghitung lendutan yang terjadi pada suatu struktur dapat digunakan beberapa metode, yaitu :

1. Metode integrasi

2. Metode numerik

4.1.1 Metode Integrasi

Perhitungan lendutan dengan metode integrasi dilakukan dengan cara mengintegralkan persamaan kelengkungan, yaitu :

EI M dx

y d

k  x

2 2

Sehingga persamaan lendutan tersebut menjadi :

x x

d EI M y



Sedangkan pada struktur non prismatis persamaan lendutan tersebut adalah sebagai berikut :

x x d

EI M y




(66)

Gambar 4.1 Penampang profil I pada jarak x

Berdasarkan gambar 4.1 di atas dapat ditentukan persamaan Inersia profil I tersebut, yaitu :

 

b t D T

a

D b

Ix x x 2 ...4.1 12

1 .

12

1 3 3

 

 

Sehingga persamaan lendutan non prismatis menjadi

 

b t D T

d b

D b E

M

y x

x x

x

1 . 4 ... ... ... ... 2

12 1 .

12

1 3 3



   

Berdasarkan persamaan pada bab sebelumnya :


(67)

 

Z D E

M R

k

k persamaan sehingga

Z M

D y plastis kondisi

pada Ey R k

p p y

y

2 / 1

:

2 / ,

1

 

 

 

 

 

Dimana : Z = Modulus Penampang Plastis

αD/2.Z = I (Momen Inertia)

Sehingga persamaan lendutan pada saat kondisi plastis, yaitu :

 

b t D T

d d

D b E

M y

c EI

M dx

y d k

x

x x

p p

1 . 4 ... ... ... 2

12 1 .

12 1

1 . 4 . ... ... ... ... ... ... ... ...

3 3

2 2



   

  

Dalam perhitungan lendutan pada struktur non prismatis seperti persamaan di atas akan sulit diselesaikan dengan menggunakan metode integrasi, sehingga dalam penyelesaiaan persamaan tersebut dapat digunakan metode numerik.

4.1.2 Metode Numerik


(68)

Gambar 4.3 kurva f(x)

Berdasarkan gambar 4.3 di atas, maka persamaan turunan yaitu :

x y y tg  ii1

dx dy x f x

y

tg 0    '( )

lim 

Dimana : f’(x) = laju rata-rata selisih nilai(Δy) per selang (x)

f’(x) = turunan pertama

maka persamaan turunan pertama berdasarkan gambar 4.3 di atas, yaitu :

x y y dx

dyii1


(69)

2 . 4 ... ... ... ... ... ... ... 2

: 2 2

2 1 1

2 2

2 0 1 2

2 0 1 2 2 2

x y y y

dx y d k maka

x y y y k

x y y y dx

y d

i i i   

 

  

  

Dimana : 2

2

dx y d

adalah kelengkungan (K)

4.1.2.1Struktur non prismatis perletakan sendi – rol

Berdasarkan teori Finite Difference, penyelesaian struktur non

prismatis perletakan sendi – rol berdasarkan syarat batas adalah sebagai berikut :

Gambar 4.4 Kurva lendutan perletakan sendi rol

Bentang dibagi dalam 32 diskrit, maka : X = L/32

Lendutan = yA = yB = 0

sudut = θA = θB0


(70)

y. A = K . x2

Berdasarkan persamaan 4.2 maka : 1. Titik 1 :

a x

k y y

y x k y y

yA A

3 . 4 ... ... ... ... ... .

2

0 ; . 2

2 1 2 1

2 1 2 1

  

 

 

2. Titik 2 :

b x

k y y

y 2 . 2...4.3

2 3 2 1  

3. Titik 3 :

c x

k y y

y 2 c. ...4.3

2 4

3 2  

4. Titik 4 :

d x

k y y

y32 454. 2...4.3

5. Titik 5 :

e x

k y y

y42 565. 2...4.3

6. Titik 6 :

f x

k y y

y52 676. 2...4.3

7. Titik 7 :

g x

k y y

y62 787. 2...4.3

8. Titik 8 :

h x

k y y


(71)

9. Titik 9 :

i x

k y y

y82 9 10  9. 2...4.3

10.Titik 10 :

j x

k y y

y92 10  11  10. 2...4.3

11.Titik 11 :

k x

k y y

y10 2 11 12  11. 2...4.3

12.Titik 12 :

l x

k y y

y 2 . 2...4.3

12 13 12

11  

13.Titik 13 :

m x

k y y

y122 13 14  13. 2...4.3

14.Titik 14 :

n x

k y y

y132 14  15  14. 2...4.3

15.Titik 15 :

o x

k y y

y142 15  16  15. 2...4.3

16.Titik C :

p x

k y y

y y x

k y y y

c c

c c

3 . 4 .... ... ... ... ... .

2 2

; . 2

2 15

15 16 2

16 15

 

 

 


(72)

18.Titik 17 = Titik 14 19.Titik 18 = Titik 13 20.Titik 19 = Titik 12 21.Titik 20 = Titik 11 22.Titik 21 = Titik 10 23.Titik 22 = Titik 9 24.Titik 23 = Titik 8 25.Titik 24 = Titik 7 26.Titik 25 = Titik 6 27.Titik 26 = Titik 5 28.Titik 27 = Titik 4 29.Titik 28 = Titik 3 30.Titik 29 = Titik 2 31.Titik 30 = Titik 1


(73)

Persamaan 4.3a hingga 4.3p disusun dalam bentuk matriks sebagai berikut :

Untuk menyelesaikan persamaan 4.4 digunakan perhitungan excel 2007, dimana :

y = A-1. K . x2

y1 ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  k1

y2  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  k2

y3  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  k3

y4  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  k4

y5  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  k5

y6  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  k6

y7  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  k7

y8  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  =  k8 x

2…..4.4 

y9  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  k9

y10  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  k10

y11  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  k11

y12  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  k12

y13  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  k13

y14  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  k14

y15  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  k15

yC  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  kC


(74)

 

‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0 

A =  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0 

0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  1  ‐2  1  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  0  2  ‐2 

   

‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐0,5 

‐1  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐1 

‐1  ‐2  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐1,5 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐2 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐2,5 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐3 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐3,5  A‐1 =  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐8  ‐8  ‐8  ‐8  ‐8  ‐8  ‐8  ‐4 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐9  ‐9  ‐9  ‐9  ‐9  ‐9  ‐4,5 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐10  ‐10  ‐10  ‐10  ‐10  ‐5 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐11  ‐11  ‐11  ‐11  ‐5,5 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐12  ‐12  ‐12  ‐12  ‐6 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐12  ‐13  ‐13  ‐13  ‐6,5 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐12  ‐13  ‐14  ‐14  ‐7 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐12  ‐13  ‐14  ‐15  ‐7,5 

‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐12  ‐13  ‐14  ‐15  ‐8 

         


(75)

Berdasarkam matriks di atas diperoleh persamaan lendutan yaitu : 1. y1 = -x2

2. y2 = -x2

3. y3 = -x2

4. y4 = -x2

5. y5 = -x2

6. y6 = -x2

2

( k1+k2+k3+k4+k5+k6+k7+k8+k9+k10+k11+k12+k13+k14+k15+0,5kc )

( k1+2k2+2k3+2k4+2k5+2k6+2k7+2k8+2k9+2k10+2k11+2k12+2k13+

2k14+2k15+kc )  

( k1+2k2+3k3+3k4+3k5+3k6+3k7+3k8+3k9+3k10+3k11+3k12+3k13+

3k14+3k15+1,5kc )  

( k1+2k2+3k3+4k4+4k5+4k6+4k7+4k8+4k9+4k10+4k11+4k12+4k13+

4k14+4k15+2kc )

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+5k6+5k7+5k8+5k9+5k10+5k11+5k12+5k13+

5k14+5k15+2,5kc )  

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+6k6+6k7+6k8+6k9+6k10+6k11+6k12+6k13+

6k14+6k15+3kc )  

y1 ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐1  ‐0,5  k1

y2  ‐1  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐2  ‐1  k2

y3  ‐1  ‐2  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐3  ‐1,5  k3

y4  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐4  ‐2  k4

y5  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐5  ‐2,5  k5

y6  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐6  ‐3  k6

y7  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐7  ‐3,5  k7

y8  =  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐8  ‐8  ‐8  ‐8  ‐8  ‐8  ‐8  ‐4  k8 .x

2 

y9  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐9  ‐9  ‐9  ‐9  ‐9  ‐9  ‐4,5  k9

y10  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐10  ‐10  ‐10  ‐10  ‐10  ‐5  k10

y11  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐11  ‐11  ‐11  ‐11  ‐5,5  k11

y12  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐12  ‐12  ‐12  ‐12  ‐6  k12

y13  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐12  ‐13  ‐13  ‐13  ‐6,5  k13

y14  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐12  ‐13  ‐14  ‐14  ‐7  k14

y15  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐12  ‐13  ‐14  ‐15  ‐7,5  k15

yC  ‐1  ‐2  ‐3  ‐4  ‐5  ‐6  ‐7  ‐8  ‐9  ‐10  ‐11  ‐12  ‐13  ‐14  ‐15  ‐8  kC


(76)

8. y8 = -x2

9. y9 = -x2

10.y10 = -x2

11.y11 = -x2

12.y12 = -x2

13.y13 = -x2

14.y14 = -x2

15.y15 = -x2

16.yc = -x2

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+6k6+7k7+8k8+8k9+8k10+8k11+8k12+8k13+

8k14+8k15+4kc )  

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+6k6+7k7+8k8+9k9+9k10+9k11+9k12+9k13+

9k14+9k15+4,5kc )  

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+6k6+7k7+8k8+9k9+10k10+10k11+10k12+

10k13+ 10k14+10k15+5kc )

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+6k6+7k7+8k8+9k9+10k10+11k11+11k12+

11k13+11k14+11k15+5,5kc )

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+6k6+7k7+8k8+9k9+10k10+11k11+12k12+

12k13+12k14+12k15+6kc )

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+6k6+7k7+8k8+9k9+10k10+11k11+12k12+

13k13+14k14+14k15+7kc )

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+6k6+7k7+8k8+9k9+10k10+11k11+12k12+

13k13+13k14+13k15+6,5kc )

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+6k6+7k7+8k8+9k9+10k10+11k11+12k12+

13k13+14k14+15k15+8kc ) ……… ……4.5

( k1+2k2+3k3+4k4+5k5+6k6+7k7+8k8+9k9+10k10+11k11+12k12+


(77)

Berdasarkan persamaan 4.5 di atas, maka penyelesaian persamaan lendutan plastis pada perletakan sendi-rol pada keadaan plastis penuh adalah sebagai berikut :

1. Perletakan sendi – rol beban terpusat

Rumus kelengkungan pada keadaan plastis adalah sebagai berikut :

EI M dx

y d

k2p

2

Dimana :

 

 

 

   

 

   

1 :

1 1 . :

1 1

y p

y y p

y p

M M

sehingga M

f M M maka

f M M f

Berdasarkan persamaan 3.1 :

 

 

     

   

  

1 2 1 1

2 1 ,

2 1

2 2

p p

y

EI Px EI

M dx

y d k

Px M

maka Px M


(78)

1. Titik 1

   

   

 

   

 

                                                           1 1 2 30 2 32 1 30 2 32 1 12 1 015625 , 0 1 015625 , 0 1 64 1 1 2 1 2 12 1 30 2 32 1 32 3 3 1 1 1 3 1 3 1 1 1 1 T d D t b d D b E PL k EI M k PL PL Px M T D t b D b I d D D L x p p  

2. Titik 2

   

   

 

   

 

                                                           1 1 2 28 4 32 1 28 4 32 1 12 1 03125 , 0 1 03125 , 0 1 64 2 1 2 1 2 12 1 28 4 32 1 32 2 3 3 2 2 2 3 2 3 2 2 2 2 T d D t b d D b E PL k EI M k PL PL Px M T D t b D b I d D D L x p p


(79)

3. Titik 3

   

   

 

   

 

                                                           1 1 2 26 6 32 1 26 6 32 1 12 1 046875 , 0 1 046875 , 0 1 64 3 1 2 1 2 12 1 26 6 32 1 32 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 T d D t b d D b E PL k EI M k PL PL Px M T D t b D b I d D D L x p p

4. Titik 4

   

     

   

 

                                                           1 1 2 24 8 32 1 24 8 32 1 12 1 0625 , 0 1 0625 , 0 1 64 4 1 2 1 2 12 1 24 8 32 1 32 4 3 3 4 4 4 3 4 3 4 4 4 4 T d D t b d D b E PL k EI M k PL PL Px M T D t b D b I d D D L x p p


(80)

5. Titik 5

   

   

 

   

 

                                                           1 1 2 22 10 32 1 22 10 32 1 12 1 078125 , 0 1 078125 , 0 1 64 5 1 2 1 2 12 1 22 10 32 1 32 5 3 3 5 5 5 3 5 3 5 5 5 5 T d D t b d D b E PL k EI M k PL PL Px M T D t b D b I d D D L x p p

6. Titik 6 

   

   

 

   

 

                                                           1 1 2 20 12 32 1 20 12 32 1 12 1 09375 , 0 1 09375 , 0 1 64 6 1 2 1 2 12 1 20 12 32 1 32 6 3 3 6 6 6 3 6 3 6 6 6 6 T d D t b d D b E PL k EI M k PL PL Px M T D t b D b I d D D L x p p


(1)

d. Lebar Penampang (b) = 20 cm

e. Tinggi Penampang (d) = 40 cm

f. Tebal sayap (T) = 1,3 cm

g. Tebal Badan (t) = 0,8 cm

h. luas area (A) = 136,0 cm2 i. Inersia (I) = 38700 cm4 j. Faktor Bentuk (f) = 1,15-1,18

k. 0,1525

18 , 1 1 1 1

1    

 

f

Dengan memasukkan data-data profil IWF di atas pada

persamaan 4.8, maka diperoleh lendutan plastis profil prismatis

perletakan sendi-rol yaitu :

 

 

cm 0.2455 0018 , 1 1525 , 0 1 38700 10 . 1 , 2 600 . 10 384 5 0018 , 1 1 384 5 6 4 4         EI qL yc

Berdasarkan perhitungan di atas, besarnya lendutan plastis


(2)

5.3 Hubungan lendutan dengan jarak (x)

Hubungan lendutan dengan jarak (x) dapat dilihat dengan

memasukkan data-data profil IWF dari perhitungan aplikasi di atas.

titik x (m) lendutan plastis (Δp) perletakan sendi-rol (cm) Beban Terpusat Beban terbagi rata

A 0 0 0

1 0.1875 0.02014 0.01569

2 0.375 0.04001 0.03107

3 0.5625 0.05936 0.04592

4 0.75 0.07799 0.06003

5 0.9375 0.09573 0.07325

6 1.125 0.11240 0.08548

7 1.3125 0.12789 0.09661

8 1.5 0.14206 0.10659

9 1.6875 0.15481 0.11537

10 1.875 0.16607 0.12294

11 2.0625 0.17574 0.12929

12 2.25 0.18376 0.13441

13 2.4375 0.19007 0.13834

14 2.625 0.19463 0.14110

15 2.8125 0.19740 0.14272

C 3 0.19833 0.14324

Tabel 5.1. Hubungan jarak dengan lendutan plastis perletakan sendi- rol non


(3)

(4)

(5)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

Berdasarkan perhitungan persamaan lendutan pada perletakan sendi –

rol dengan metode numerik pada bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut :

1. Dengan volume yang sama pada profil prismatis dan profil non

prismatis, lendutan plastis perletakan sendi-rol profil non

prismatis beban terpusat adalah 0,19833 cm, dan lendutan plastis

perletakan sendi-rol profil prismatis beban terpusat adalah

0,29589 cm.

2. Dengan volume yang sama pada profil prismatis dan profil non

prismatis, lendutan plastis perletakan sendi-rol profil non

prismatis beban terbagi rata adalah 0,14324 cm, dan lendutan

plastis perletakan sendi-rol prismatis beban terbagi rata adalah

0,2455 cm.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Baker, Lord dan Jacques Heyman. 1980. Plastic Design of Frames (Fundamentals). Cambridge University Press.

Chakrabarty, J. 1988. Theory of plasticity. Editor : Anne Duffy. Singapore: McGraw-Hill, Inc.

Daryanto, Drs. 1996. Mekanika Bangunan. Jakarta: Bumi aksara.

Gunawan, Rudy. 1987. Tabel Profil Konstruksi Baja. Yogyakarta: Kanisius.

Kh, Sunggono. 1995. Buku Teknik Sipil. Bandung: Nova.

Schodek, Daniel L.1998. Struktur. Bandung: Rafika Aditama.

Setiawan, Agus. 2006. Metode Numerik. Yogyakarta: Andi.

Sitompul, Dian Novita. 2008. Lendutan Balok profil IWF Pada Struktur Dua Perletakan dengan Beban Asimetris Menggunakan Analisa Plastis (Tugas Akhir). Medan: Fakultas Teknik USU.

Surbakti, Besman. “Catatan Kuliah Plastisitas Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik USU”. Unpublished.

T, Gunawan dan Margaret S. 2007. Diktat Teori Soal dan Penyelesaian Konstruksi Baja II Jilid 1. Jakarta: Delta Teknik Group.

Wahyudi, Laurentius dan Sjahrir A.Rahim. Metode Plastis Analisa dan Desain. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.