Faktor-Faktor Penyebab Kekalahan Incumbent Edy Sutrisno Pada Pilwakot Bandar Lampung Tahun 2010

(1)

ABSTRACT

The Factors Causing Edy Sutrisno Incumbent Loss In Mayor Election In Bandar Lampung 2010

By

M. Dias Al Kaisya

Incumbent is a person holding a particular political occupation to join and compete in an election for the same occupation. A campaign is method of technique of communication to convey vision and mission to obtain supports in an election. The purpose is to influence public political attitudes to give their political choices rationally and objectively. In an election, a political campaign will be necessary for candidates to socialize their political programs to be able to influence public in determining their political choices.

The objective of this research is to find out factors causing Edy Sutrisno incumbent loss in Mayor Election in Bandar Lampung 2010. This was a descriptive research with quantitative approach. Data were collected using questionnaire distribution to 96 respondents of voters in Mayor Election in Bandar Lampung 2010.

The research results showed that factors causing of Edy Sutrisno incumbent candidate were (1) inaccurate message convey; (2) uninteresting message convey


(2)

messages did not give “clues” for public to be able to accept and implement accepted notions, and to take actions as necessary; (6) less candidate‟s image at public eyes; (7) less proper career and political experience of the candidate at public eyes; (8) less interesting physical appearance of the candidate; (9) age factor (boredom on older leader figures); and (10) less good attitudes and characters of candidate at public eyes.


(3)

ABSTRAK

Faktor-Faktor Penyebab Kekalahan Incumbent Edy Sutrisno Pada Pilwakot Bandar Lampung Tahun 2010

Oleh

M. Dias Al Kaisya

Pilkada yang juga merupakan sebuah pemilihan umum, sekarang berbeda dengan pemilihan umum sebelumnya, seperti pada pemilu 1955 dan pemilu pada masa orde baru, pemilihan umum sekarang merupakan pemilihan langsung, yang artinya rakyat langsung memilih calon pemimpin yang disukai sesuai dengan hati nuraninya. Dengan model pemilu langsung, pilkada menjadi sebuah lanjutan model dari pencarian sosok pemimpin rakyat pada tingkat lokal yang merupakan adopsi dari pencapaian pesta demokrasi yang telah dilalui dengan sukses pada pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung tahun 2004. Peserta pilkada adalah padangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik mengacu pada PP Nomor 06 Tahun 2005. Berkaitan dengan hal tersebut maka partai politik dijadikan “perahu” yang dijadikan sarana kandidat untuk membawa pasangan calon ke bursa pemilihan.

Salah satu syarat calon kepala daerah adalah belum pernah menjabat sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah selama 2 kali masa jabatan yang sama dan tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah, maka pejabat kepala daerah yang mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah disebut incumbent.


(4)

Tipe Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian survey, adapun definisi operasional dan konseptualnya adalah factor-faktor penyebab kekalahan calon kepala daerah partai Demokrat pada pemilihan walikota Bandar Lampung tahun 2010.

Adapun hasil dari penelitian ini adalah (1) Penyampaian Pesan yang tidak tepat sasaran (2) penyampaian pesan oleh tim kampanye yang tidak menarik (3) Kegagalan masyarakat dalam memahami pesan kampanye (4) Program-program kampanye yang tidak menetapkan khalayak sasarannya secara tepat (5) Pesan-pesan kampanye tidak memberikan „petunjuk‟ bagaimana khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima, serta mengambil tindakan yang diperlukan


(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Negara demokrasi, pemilu merupakan sarana untuk melakukan pergantian pemimpin pada tingkatan daerah sebagai syarat meneruskan estafet pemerintahan. Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. (Pasal I (1) UU Nomor 22 Tahun 2007)

Pilkada yang juga merupakan sebuah pemilihan umum, sekarang berbeda dengan pemilihan umum sebelumnya, seperti pada pemilu 1955 dan pemilu pada masa orde baru, pemilihan umum sekarang merupakan pemilihan langsung, yang artinya rakyat langsung memilih calon pemimpin yang disukai sesuai dengan hati nuraninya. Dengan model pemilu langsung, pilkada menjadi sebuah lanjutan model dari pencarian sosok pemimpin rakyat pada tingkat lokal yang merupakan adopsi dari pencapaian pesta demokrasi yang telah dilalui dengan sukses pada pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung tahun 2004.

Azas langsung umum, bebas, dan rahasia serta jujur adil (Luber Jurdil) dalam penyelenggaraannya memberikan peluang kepada masyarakat seluas-luasnya untuk menentukan pilihannya, Haris G. Werren mengungkapkan pemilu merupakan kesempatan bagi warga Negara untuk memilih pejabat-pejabat


(6)

pemerintah dan memutuskan apakah yang mereka inginkan untuk dikerjakan pemerintah dan dalam membuat keputusan itu para warga Negara menentukan apakah yang sebenarnya mereka inginkan untuk dimiliki. (Haryanto, 2004 : 81) Pada tahun 2005 bangsa Indonesia telah melaksanakan pilkada langsung yang dilaksanakan secara serentak hampir disebagian besar kabupaten/kota serta beberapa provinsi di Indonesia. One persen one vote sebagai landasan dalam pemungutan dan perhitungan suara pada pilkada langsung tersebut membutuhkan partisipasi setiap individu masyarakat yang tidak dibedakan oleh status maupun kedudukan, sehingga prinsip persamaan dan keadilan senyatanya telah dijujung tinggi demi terselenggaranya pilkada secara demokratis.

Sejumlah Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia telah menyelenggarakan Pilkada Langsung, termasuk juga Kota Bandar Lampung. Pesta demokrasi Kepala Daerah secara langsung di Kota Bandar Lampung tersebut untuk pertama kalinya telah diselenggarakan pada 30 Juni 2010 dengan jumlah total pemilih mencapai 370.031 (Sumber data : KPUD Bandar Lampung 2010).

Peserta pilkada adalah padangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik mengacu pada PP Nomor 06 Tahun 2005, partai politik atau gabungan partai politik tersebut dapat mengusulkan pasangan calonnya apabila telah memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan dan partai politik atau gabungan partai politik tersebut hanya dapat mengajukan satu pasangan calon yang kemudian diajukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu untuk proses lebih lanjut.


(7)

Berkaitan dengan hal tersebut maka partai politik dijadikan “perahu” yang dijadikan sarana kandidat untuk membawa pasangan calon ke bursa pemilihan. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat :

a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kepada Negara Republik Indonesia serta Pemerintah;

c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan atau sederajat.

d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun pada saat pendaftaran; e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan

menyeluruh dari tim dokter;

f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih; g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

h. Mengenal daeranya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk di umumkan; j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perorangan dan/atau secara

badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan Negara;


(8)

k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;

n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung,, suami atau istri;

o. Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama dan tidak dalam status sebagai Pejabat Kepala Daerah.

Penulis menekankan pada poin o yaitu salah satu syarat calon kepala daerah belum pernah menjabat sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah selama 2 kali masa jabatan yang sama dan tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah, dengan persyaratan yang ada pada poin 0, maka pejabat kepala daerah yang mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah disebut incumbent (Media Indonesia, edisi 1 Juli 2007)

Untuk memenangkan Pemilihan kepala Daerah langsung seperti yang sudah berlangsung pada Kota Bandar Lampung jelas akan menuntun persainngan partai politik yang sangat ketat, berbagai upaya dilaksanakan oleh partai politik untuk memenangkan pemilihan kepala daerah tersebut. Setiap upaya memperkenalkan calon, mengajak dan mempengaruhi masyarakat untuk ikut mendukung dan memilih calon yang diusung.

Kemenangan pasangan calon yang dinilai berbagai pihak diluar dugaaan karena pasangan yang cukup diunggulkan dan diusung partai-partai besar justru


(9)

mengalami kegagalan dalam memenangkan pilkada tersebut. Pasangan-pasangan yang memiliki popularitas yang sudah lama melekat dibenak masyarakat harus menerima kenyataan kekalahan dari kandidat lainnya. Kandidat-kandidat yang masih baru dan kurang diandalkan justru meraih kesuksesan dalam menarik dukungan dan suara dari masyarakat. (Lampung Post, 21/04/2008)

Selain di Lampung, daerah lain yang sudah melaksanakan pilkada juga tidak luput dari fenomena tentang kekalahan calon yang diusung oleh partai-partai besar. ini juga menjadi hal yang menarik pada pelaksanaan Pilkada Kota Bandar Lampung yang sudah berlangsung tahun 2010. Dalam pilwakot tersebut beberapa partai politik yang ikut dan bersaing diantaranya adalah Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai PKS dan partai kecil lainnya, juga partai pemenang pemilu 2004 di Kota Bandar Lampung. Adapun calon yang diusung partai-partai tersebut yang ikut dalam pilwakot Kota Bandar Lampung tanggal 30 Juni adalah sebagai berikut : Table 1. Daftar Pasangan Calon Pilkada Kota Bandar Lampung Tahun 2010.

No (1)

Pasangan Calon (2)

Partai Politik Yang Mencalonkan (3)

01 Ir. Hi. A. Sauki Shobier, SH dan

Syamsul Rizal, SH, MH

PERSEORANGAN

02 Drs. Hi. Herman HN, MM dan

Hi. Tobroni Harun, ST, MM

PDIP, PNBK, PBR, PKNU, PK, PBB, PNI MARHENISME, PIS, PIB, BARNAS, Republikan, PDP, Patriot, Merdeka, PPD, PAKARPANGAN, PKPI, PPNUI, PSI, Pelopor, Partai Buruh

03

Hi. KHerlani, SE, MM . Heru Sambodo, ST

GOLKAR, HANURA, PKB, PPRN, PMB, PKDI, PDS

04 Drs. Hi. Eddy Sutrisno, M.Pd dan

Ir. Hi. Hantoni Hasan, M.Si

DEMOKRAT, PKS, PPP, GERINDRA, PAN, PDK, PKPB, PPI


(10)

1 2 3 05 Dhomiril Hakim YHS, SH

dan

Sugiato, S.Pd

PERSEORANGAN

06 Drs. Hi. Nurdiono, SE, MM, Akt

dan

Ir. Hi. Dian Kurnia Laratte

PERSEORANGAN

Sumber data : KPUD Bandar lampung 2010.

Pilkada yang diikuti oleh beberapa partai besar seperti Golkar, Demokrat, PKS dan PDIP tersebut ternyata justru dimenangkan oleh pasangan Herman HN dan Tobroni Harun dari koalisi sejumlah partai dengan perolehan suara sebanyak 122.883 (34,35%). Disusul perolehan suara Hi. Kherlani, S.E., M.M. dan MW. Heru Sambodo, S.T. yang diusung Partai Golkar dan Partai koalisi lainnya dengan memeperoleh suara 107.133 (29,86%). Kemudian disusul pemenang Pilwakot 2004 Drs. Hi. Eddy Sutrisno, M.Pd yang mencalonkan kembali pada Pilkada 2010 yang berpasangan dengan Ir. Hi. Hantoni Hasan, M.Si yang diusung Partai Demokrat dan Partai Koalisi dengan memperoleh 104.227 suara (29,05%). Di posisi ke empat yaitu Drs. Hi. Nurdiono, SE, MM, Akt dan Ir. Hi. Dian Kurnia Laratte dengan perolehan 10.026 suara (2,79%). Kelima dimenangkan oleh Dhomiril Hakim YHS, SH dan Sugiato, S.Pd yang mencalonkan diri secara independent dengan memperoleh 7.904 suara (2,20%). Perolehan suara paling sedikit dengan memperoleh 6.618 suara (1,84%) yaitu pasangan Ir. Hi. A. Sauki Shobier, SH dan Syamsul Rizal, SH, MH yang mencalonkan secara independen.Total jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya berjumlah


(11)

356.708 suara, sedangkan yang tidak menggunakan hak pilihnya (Golput) berjumlah 271.246suara.

Dibawah ini akan dijelaskan tabel yang menggambarkan perolehan suara masing-masing calon pada pilkada kota Bandar lampung 2010.

Tabel 2. Perolehan Suara masing-masing pasangan Calon Walikota pada Pilkada Kota Bandar lampung tahun 2010.

No Pasangan Calon Perolehan Suara Prosentase 01 Ir. Hi. A. Sauki Shobier, SH

dan

Syamsul Rizal, SH, MH

6.618 1,83%

02 Drs. Hi. Herman HN, MM dan

Hi. Tobroni Harun, ST, MM

122.883 34,35%

03

Hi. Kherlani, SE, MM . Heru Sambodo, ST

107.133 29,86%

04 Drs. Hi. Eddy Sutrisno, M.Pd dan

Ir. Hi. Hantoni Hasan, M.Si

104.227 29,05%

05 Dhomiril Hakim YHS, SH dan

Sugiato, S.Pd

7.904 2,20%

06 Drs. Hi. Nurdiono, SE, MM, Akt dan

Ir. Hi. Dian Kurnia Laratte

10.026 2,79%

JUMLAH 358.791 100%


(12)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah Faktor-faktor Penyebab Kekalahan Incumbent Edy Sutrisno pada Pilwakot Bandar Lampung tahun 2010.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor-faktor Penyebab Kekalahan Incumbent Edy Sutrisno Pada Pilwakot Bandar Lampung tahun 2010.

D. Kegunaan Penelitian Kegunaan Penelitian adalah :

1. Dari hasil penelitian ini penulis mampu mengetahui faktor-faktor penyebab kekalahan Incumbent Edy Sutrisno pada Pilwakot Bandar Lampung tahun 2010 dan menjadi panduan dalam menganalisis fenomena politik kekalahan Incumbent pada Pilwakot di daerah lainnya.

2. Penelitian ini berguna sebagai bahan informasi dan masukan bagi pembaca untuk mengetahui tentang fenomena kekalahan seorang Incumbent dalam sebuah pemilihan, khususnya tentang kekalahan Incumbent pada Pilwakot Bandar Lampung tahun 2010.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep–konsep Dasar kampanye

Kampanye merupakan metode dan teknis komunikasi politik dalam rangka menyampaikan visi dan misi meraih dukungan dalam sebuah pilihan. Tujuannya untuk mempengaruhi sikap politik publik agar dapat menjatuhkan pilihan politiknya pada yang bersangkutan secara rasional dan obyektif. Dalam sebuah pemilihan sudah tentu bahwa kampanye adalah kebutuhan pasangan calon untuk mensosialisasikan program politiknya agar dapat mempengaruhi public dalam menentukan pilihan politiknya. Kampanye yang berhasil akan sukses menarik suara dari pemilih sebaliknya kampanye yang gagal jelas tidak akan mampu mencapai tujuan yaitu untuk menghasilkan suara yang maksimal dalam sebuah pemilihan.

Rogers dan storey (1987) yang dikutip oleh Antara Venus (2007:7) mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terancam dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”.

Merujuk pada defenisi ini maka setiap aktifitas kampanye komunikasi setidaknya harus mengandung empat hal yakni (1) tindakan kampanye yang ditunjukkan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu (2) jumlah khalayak sasaran yang


(14)

besar (3) biasanya dipusatkan dalam kurun waktu tertentu dan (4) melalui serangkaian tinadakan komunikasi yang terorganisir.

Disamping keempat ciri pokok diatas, kampanye juga memiliki karakteristik yang lain yaitu sumber yang jelas, yang menjadi penggagas, perancang, penyampaian sekaligus penanggung jawab suatu produk kampanye (campaign makers), sehingga setiap individu yang menerima pesan kampanye dapat mengidentifikasi bahkan mengevaluasi kredibilitas sumber pesan tersebut setiap saat.

Dalam tulisan kampanye yang dimaksud adalah jenis kampanye Candidate-oriented campaign atau kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis kampanye ini dapat pula disebut sebagai political campaign (kampanye politik). Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemilihan umum.

1. Kegagalan Kampanye

Dari analisis yang dilakukan Hyman dan Sheatsley (Antara Venus,2007:130) terhadap kegagalan kampanye tersebut disimpulakan bahwa :

a. Pada kenyataannya memang selalu ada sekelompok khalayak yang “tidak akan tahu” tentang pesan-pesan kampanye yang ditunjukkan pada mereka. Ketidak tahuan tersebut bisa disebabkan berbagai faktor, melalui dari ketidak seriusan memperhatikan pesan hingga ketidak mampuan memahami isi pesan. b. Kemungkinan individu memberikan tanggapan pada pesan-pesan kampanye akan meningkat bila ketertarikan dan keterlibatan mereka terhadap isu yang diangkat juga meningkat. Ini artinya jika sedikit orang yang tertarik maka


(15)

akan sedikit pula yang memberikan respons. Implikasinya, bila kontruksi pesan kampanye yang dibuat tidak cukup mampu menarik perhatian maka dapat diramalkan program tersebut akan gagal dalam mencapai tujuan pertama setiap kampanye yakni “mencuri” perhatian khalayak.

c. Orang akan membaca dan mempersepsi informasi yang mereka terima berdasarkan nilai-nilai dan kepercayaan yang dimiliki. Ini artinya orang akan memberikan respons yang berbeda terhadap pesan-pesan yang sama. Implikasinya, agar program kampanye terhindar dari kegagalan maka karakteristik khlayak harus diperhatikan sehingga pesan-pesan kampanye dapat dirancang sesuai segmen khalayak sasaran yang dituju.

d. Kemungkinan individu untuk menerima informasi atau gagasan baru akan meningkat bila informasi tersebut sejalan dengan sikap yang telah ada. Dengan kata lain orang akan cenderung menghindari informasi yang tidak sesuai dengan apa yang telah diyakini.

Disamping kedua tokoh tersebut diatas, Kotler dan Roberto (1989) juga memberikan pendapat mereka tentang faktor-faktor yang menyebabkan sebuah program kampanye mengalami kegagalan. Menurut mereka, ketidak berhasilan pada sebagian besar umumnya dikarenakan :

a. Program-program kampanye tersebut tidak menempatkan khalayak sasarannya secara tepat. Mereka menyelamatkan kampanye tersebut kepada semua orang. Hasil kampanye tersebut menjadi tidak terfokus dan tidak efektif karena pesan-pesan tidak dapat dikontruksi sesuai dengan karakteristik khalayak.


(16)

b. Pesan-pesan pada kampanye yang gagal umumnya juga tidak cukup mampu memotivasi khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima.

c. Lebih dari itu pesan-pesan tersebut juga tidak memberikan semacam „petunjuk‟ bagaimana khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima.

d. Lebih dari itu pesan-pesan tersebut juga tidak memberikan semacam „petunjuk‟ bagaimana khalayak harus mengambil tindakan yang diperlukan. e. Akhirnya dengan ringan Kotler dan Robert menyatakan bahwa sebuah

kampanye dapat gagal mungkin karena anggaran untuk membiayai program tersebut tidak memadai sehingga pelaku kampanye tidak bisa berbuat secara total.

2. Popularitas dan Ketokohan Calon dalam Kampanye

A Zaini Bisri (2006) menyebutkan bahwa fakta perilaku pemilih baik di Negara-negara demokrasi barat seperti di AS dan Eropa maupun di Indonesia menunjukkan, pada umumnya mereka sangat sensitif terhdap keperibadian kandidat. Referensi pemilih pada berbagai survei di AS, Eropa maupun Indonesia membuktikan bahwa faktor personality calon selalu menduduki urutan teratas dalam faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan pemilih.

Dalam kilas balik Pemilihan Presiden, Koirudin (2007;268) menyebutkan bahwa mendongkrak personal adalah salah satu cara yang dilakukan oleh para capres cawapres untuk menggaet simpati masa pemilih. Popularitas personal tersebut dapat diraih dengan mengefektifkan berita, isu dan opini mengenai figure yang bersangkutan. Di sinilah letak pentingnya media massa dalam membantu


(17)

kampanye pencitraan diri agar berita, isu dan opini yang telah terukur dapat dicerna baik oleh massa, yang selanjutnya akan mempengaruhi pilihan politik mereka.

Fenomena munculnya Partai Demokrat (PD) pada pemilu Legislatif 2004 memang mengesankan. Sebagai mana dikemukakan William Liddle pengamat politik dari Ohio University (Koirudin,2007:268) perolehan partai demokrat ini tidak terlepas dari popularitas yang dimiliki SBY sebagai sosok yang dinilai masyarakat sabar, kalem, berwibawa. Ia dipandang sebagai figur priyayi jawa. Yasrat Amir Pilliang (Koirudin, 2004:269) menambahkan bahwa meroketnya suara partai demokrat diakibatkan gelembung sabun (buble) politik. Artinya partai itu dipilih karena figur dan citra SBY yang mempertemukan kebutuhan publik akan sosok pemimpin dan kekecewaan rakyat terhadap partai lama, bukan karena program partai tersebut. (Kompas,10/04/2004)

Sejak sebelum gendering pilpres ditabuh, SBY telah menuai hasil dari politik pencitraan diri yakni ketika dirinya diopinikan sebagai “korban” ambisi politik Megawati untuk menjabat kembali sebagai presiden RI. Dalam kasus tersebut, opini yang muncul adalah “ketertindasan” yang dialami SBY dan “ketidakadilan” dan ketidakdewasaan” yang dilakukan oleh Megawati. (Koirudin,2004)

Selain itu SBY juga dengan sukses berhasil menceritakan dirinya sebagai sosok yang berwibawa, cerdas, tidak emosional dan karakter-karakter individu lainnya yang semakin membuat massa pemilihan tertarik padanya. Melalui siaran pers, wawancara di televisi, peliputan berita dan sebagainya, citra tersebut diproduksi dan diulang-ulang. Hasilnya dapat dilihat Pemilu Anggota Legislatif dan DPD, serta Pilpres putaran pertama. Partai Demokrat yang dirintis oleh SBY melejit


(18)

besar partai politik yang mendapatkan suara terbanyak di parlemen. Dalam Pilpres putaran pertama pun perolehan SBY tak terkejar keempat rival politiknya.

Lain halnya dengan Megawati, kemerosotan citra akibat kasusnya dengan SBY tidak membuatnya surut untuk berusaha meningkatkan popularitas dirinya. Seperti biasa, Megawati lantas membangkitkan kenangan bangsa Indonesia kepada sosok ayahnya, dengan jargon-jargon yang mengingatkan masyarakat terhadap Soekarno. Alhasil, meskipun mendapat penurunan perolehan suara yang signifikan, namun Megawati masi mampu menumpulkan suara yang cukup berpengaruh. Lain pula dengan Hamzah Haz, wakil presiden dalam pemerintahan Megawati ini tidak meniru sang atasan untuk mengklaim keberhasilan pemerintah untuk mendongkrak popularitasnya. Hamzah Haz justru ingin menceritakan dirinya sebagai sosok yang jujur dan relative sepi dari masalah. Hamza Haz menawarkan impian tentang masa depan. Namun tawaran tersebut tidak mampu mengumpulkan lebih banyak dukungan untuknya, bahkantidak mampu mengumpulkan kembali suara yang pernah diperolehnya dalam pemilu legislatife sebelumnya. Hamzah Haz kurang mampu menarik perhatian masyarakat jika dibandingkan dengan SBY dan Megawati, mereka lebih mempunyai popularitas yang lebih baik dimata masyarakat seperti halnya Megawati yang lebih condong mengangkat popularitas Soekarno yang sangat dikagumi masyarakat dalam menarik suara masyarakat. (Koirudin,2004:272)

Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa popularitas ketokohan dalam diri calon pada sebuah pemilihan umumnya sangat berpengaruh dalam menarik suara masyarakat. Tokoh yang sangat popular akan sangat berpeluang dalam menarik perhatian dan suara masyarakat dalam sebuah pemilihan,


(19)

sebaliknya tokoh yang kurang popular dan kurang sikenal masyarakat akan kecil kemungkinan mendapatkan suara yang maksimal dari masyarakat.

3. Strategi Perekrutan calon oleh partai politik

Dalam hubungannya dengan strategi partai dalam menjalin massa, popularitas calon atau menggunakan mekanisme pencalonan calon dengan menampilkan sosok populis menjadi strategi yang cukup menjanjikan. Namun disamping itu, jika kita mencermati fenomena kemenangan dan juga kekalahan beberapa parpol dalam pemilu legislative 2004, maka kita bisa melihatnya lebih dalam dari caleg dan capres yang diunggulkan. Pemunculan caleg ini sangat penting karena paling tidak kita bisa melihat kualitas dan solidaritas partai. Kemudian pemunculan wacana capres dalam pemilu legislatif juga bisa memberikan gambaran kepada kita tentang apa yang sebenarnya menjadi motif atau tujuan partai politik. Dari sanalah juga kita bisa mencermati kesungguhan partai politik dalam kerangka fungsi sebenarnya dan juga kita bisa mencermati fungsi partai yang hanya dipakai sebagai mesin politik orang untuk bisa berkuasa.

Dari persoalan tersebut, kita bisa membagi dua pengertian yang bisa dipakai sebagai pisau analisisnya. Yang pertama adalah apa yang disebut dengan „kader oportunis‟. Kader oportunis lebih mengarah kepersoalan pencalonan hanya karena kedekatan dengan salah seorang pengurus atau diperkirakan memiliki basis massa yang kuat dan bukan tempaan dari dalam. Kemudian yang kedua adalah „kader nominatif‟ yang lebih bermakna „positif‟ karena penentuan caleg capres atau calon Kepala Daerah.


(20)

Oportunis atau poligarkhi di dalam tubuh partai memiliki potensi yang signifikan terhadap perolehan suara. Sebab bagaimanapun juga, apa yang diperkirakan oleh elit (pengurus) tidaklah sama dengan apa yng dirasakan oleh kader atau massa. Jelas, kader yang kecewa akan bisa berubah menjadi swing voter atau undecided voters jika calon mereka tidak berada dalam posisi yang diharapkan. Dari situlah masyarakat akan menilai solidaritas partai. (Litbang Kompas:2004)

Sejalan dengan faktor-faktor yang sudah dijelaskan diatas, apabila kita melihat pemilihan presiden di AS ada beberapa faktor yang menyababkan pemilih memilih seorang kandidat dari pada kandidat yang lain. Michael S. Lewis Beck dan W. rice (1992:25) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi seorang pemilih memilih seorang kandidat dari pada kandidat lain. Why does a particulasi voters choose one presidential candidate over another? Political scientist have been, and continue to be, actively engaged in answering this question. Hundreds, not to say thousand, of studies have been published. Most of the work is based on academic surveys, which were first seriously presented in the classic “The American voters”, by Angurs Campbell, Philips Comverse, Warren Miller and Donal Stokes (1960). From all these efforts, we now have a firmer idea why a voter select one candidate over the other. One picture that emerges shows that three leading forces shape vote choise in American presidential elections: issues, party indentifications, and candidate attributes (see Fiorina(1988) and asher (1988) for good discussions of the vote choise research). Michael S. lewis-beck dan Tom W. Rice menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan pemilih memilih seorang kandidat presiden dalam sebuah pemilihan presiden, yaitu: issues, party indetifications and candidate attributes.


(21)

1. Issues

Faktor issue yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bagaimana seorang kandidat mengangkat issue yang tepat dalam menarik pilihan massa. Ketepatan dalam mengangkat issue pada golongan-golongan dan kelompok sasaran kampanye dari seorang kandidat sangat mempengaruhi kuantitas perolehan dukungan.

2. Party Indetifications

Loyalitas kepartaian seorang pemilih umum. Apabila seorang pemilihan sangat loyal terhadap partai yang didukungnya maka akan tetap memilih calon yang diangkat oleh partainya, namun banyak juga pemilih yang memilih calon lain dari pada calon usangan partainya. Pemilih seperti ini adalah pemilih yang tidak kuat akan loyalitasnya terhadap partainya.

3. Candidate Attributes

Faktor ini lebih menekankan tentang sejauh mana kandidat dikenal masyarakat hal ini sangat signifikan dalam mempengaruhi pilihan masyarakat. Kandidat yang sangat dikenal masyarakat lebih berpeluang memperoleh suara yang banyak dibandingkan dengan kandidat yang kurang populis. Kandiat sangat dikenal massa oleh berbagai faktor dari karier politik, citra, bahkan tentang profilnya.

Dari pemaparan diatas peneliti mengidentifikasikan bahwa penyebab kekalah seorang calon dalam sebuah pemilihan umum yang dalam penelitian ini adalah kekalahan calon Walikota dalam Pilkada dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a. Faktor Kegagalan Kampanye:

1. Penyampaian pesan (issue) yang tidak tepat sasaran.

2. Penyampaian pesan oleh tim kampanye yang tidak menarik. 3. Kegagalan masyarakat dalam memahami pesan kampanye.


(22)

4. Program-program kampanye tersebut tidak menetapkan khalayak sasarannya secara tepat.

5. Pesan-pesan pada kampanye yang gagal umumnya juga tidak cukup mampu memotivasi khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima.

6. Lebih dari itu pesan-pesan tersebut juga tidak memberikan semacam „petunjuk‟ bagaimana khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima, serta mengambil tindakan yang diperlukan. 7. Dan yang sangat menentukan bahwa sebuah kampanye dapat gagal

mungkin karena anggaran untuk membiayai program tersebut tidak memadai sehingga pelaku kampanye tidak bisa secara total.

b. Faktor Popularitas dan Ketokohan Calon: 1. Citra kandidat di mata masyarakat 2. Karir dan pengalaman politik kandidat.

3. Sifat dan karakter kandidat di mata masyarakat 4. Faktor penampilan fisik dari kandidat

c. Faktor Strategi Perekrutan calon oleh partai politik

Kader oportunis lebih mengarah ke persoalan pencalonan hanya karena kedekatan dengan salah seorang pengurus atau diperkirakan memiliki basis massa yang kuat, dan bukan tempaan dari dalam akan mengakibatkan kader akan kecewa dan bisa berubah menjadi swing voter atau undecided voters jika calon mereka tidak berada dalam posisi yang diharapkan.


(23)

B. Pilkada Langsung

1. Pengertian Pilkada Langsung

Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara pemilu dan pilkada, karena pilkada jelas merupakan bagian dari pemilu itu sendiri. Praktis hanya fungsinya saja yang membedakan. Karena pemilu dapat ditafsirkan secara umum sebagai suatu mekanisme untuk mendapatkan wakil-wakil rakyat baik itu dilegislatif ataupun dieksekutif. Sedangkan pilkada merupakan turunan dari pemilu, yang dilaksanakan atau diselenggarakan pada level daerah. Mengenai pemilu itu sendiri, M. Rusli Karim berpendapat bahwa :

"Esensi Pemilihan Umum adalah sarana demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari menurut kehendak rakyat, sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancarkan kebawaah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat, menurut siste permusyawaratan perwakilan".

Pendapat M. Rusli Karim di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya pemilu adalah alas bagi penegakan demokratisasi itu sendiri. Karena pada perinsipnya pemilu sangat mengedepankan partisipasi rakyat sebagai subjek politik. Sehingga partisipasi tidak terkesan hanya ikut-ikutan tetapi dimaknai lebih mendalam yakni keterlibatan yang dilandasi oleh kesadaran Berta kecerdasan dalam melakukan pilihan politik. Kemudian Rusli Karim menambahkan bahwa suatu pemilu dianggap demokratis bila memenuhi unsur-unsur :

1. Sebagai aktualisasi dari prinsip keterwakilan politik. 2. Aturan main yang fair.

3. Dihargainya nilai-nilai kebebasan.


(24)

berbagai kekuatan politik secara professional. 5. Tidak adanya intimidasi.

6. Adanya dasar hukum pemilu.

7. Mekanisme dan prosedur pelaporan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

Pilkada merupakan bagian terpenting dari pengembangan demokrasi yang ada di Indonesia disamping pemilu legislatif dan pemilu presiders. Pilkada merupakan tonggak dari cita-cita demokrasi yang ingin dicapai. Maka perubahan yang terjadi pada mekanisme pelaksanaan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru dalam pilkada langsung merupakan suatu hal yang mesti dikaji kembali akan prospek dan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam sistem pemilihan baru tersebut.

Seperti yang diungkapkan oleh Abdul A. Harahap, mengatakan bahwa :

"Pilkada langsung merupakan tonggak demokrasi terpenting di daerah, tidak hanya terbatas pada mekanisme pemilihanya yang lebih

demokratis dan berbeda dengan sebelumnya, tetapi merupakan ajang pembelajaran politik terbaik dan wujud dari kedaulatan rakyat. Melalui pilkada langsung rakyat semakin berdaulat, dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya dimana kepala daerah ditentukan oleh sejumlah anggota DPRD. Sekarang seluruh rakyat yang memiliki hak pilih dapat menggunakan hak suaranya secara langsung dan terbuka untuk memilih kepala daerah sendiri. Inilah esensi dari demokrasi dimana kedaulatan sepenuhnya ada ditangan rakyat, sehingga berbagai distorsi demokrasi dapat ditekan seminimal mungkin".

Dari pendapat yang dikemukakan diatas, maka pada hakikatnya Pilkada Langsung merupakan suatu moment yang tidaklah pantas untuk dianggap sebagai peristiwa politik yang biasa saja dalam menciptakan perubahan berarti di pemerintahan daerah. Karena itu, esensi dari demokrasi yang melekat pada


(25)

pilkada langsung hendaknya dipahami dengan baik oleh masyarakat daerah dalam menentukan pilihan politiknya. Karena bisa jadi, moment politik ini tidak lebih hanya merupakan suatu event ceremonial belaka yang tidak melahirkan perubahan apapun dari out put pelaksanaannya. Terutama bagaimana menciptakan pemimpin yang benar-benar diinginkan oleh rakyat, berdasarkan pada pilihan politik yang rasional tentunya. Cermat dan jeli untuk berhati-hati memberikan pilihan, hendaknya menjadi suatu bentuk kesadaran politik yang harus dimiliki oleh masyarakat daerah melalui pilkada langsung ini.

Demokrasi dalam pelaksanaannya itulah yang banyak dipersoalkan oleh banyak pihak, karena terjadinya berbagai penyimpangan dari tujuan dasarnya. Dilaksanakannya pilkada secara langsung tidak otomatis proses demokrasi akan berjalan lancar dan damai dengan melahirkan sosok kepala daerah yang mumpuni, jujur, dan berkualitas. Bisa jadi proses demokrasi yang berlangsung selama pilkada akan melahirkan pemimpin yang rendah kualitasnya, karena pengaruh politik uang dan terjadi dalam situasi yang penuh tekanan. Bentuk dari "Tekanan" bermacam-macam dan dilakukan dengan alasan-alasan yang beragam pula.

Pilkada langsung seperti yang diatur dalam Udang-Undang No. 32 Tahun 2004 pada pasal 56 di ayat-ayatnya berbunyi :

1. Kepala Daerah clan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, clan adil.


(26)

partai politik atau gabungan partai politik.

Proses pelaksanaannya pemilihan kepala daerah menjadi tanggungjawab KPUD (Komisi pemilihan Umum Daerah) dalam penyelenggaraannya dan bertanggungjawab kepada DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) yang diatur dalan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 57 ayat 1. Kemudian warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Disebut sebagai pemilihan, seperti yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 68, tetapi pemilih haruslah memenuhi ketentuan atau syarat, seperti yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 Pasal 69 yang ayat-ayatnya berbunyi

1. Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih

2. Untuk dapat didaftarkan sebagai pemilih, warga negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat :

a. Nyata-nyata tidak sedang terganggu j iwa atau ingatannya b. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan

keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Seseorang warga negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih ternyata tidak lagi menemui syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat menggunakan hak pilihnya.


(27)

2. Tujuan Pilkada Langsung

Salah satu tujuan terpenting dalam pilkada langsung adalah memilih pemimpin yang berkualitas, kualitas pemimpin itu dapat diukur oleh berbagai instrument seperti tingkat pendidikan dan kompetensi. Namun, sebagai pejabat politik kepala daerah terpilih haruslah orang yang dapat diterima secara umum sehingga dukungan yang lugs dapat diperoleh, tidak hanya dukungan secara horizontal, tetapi vertikal dari elit politik yang ada di tingkat nasional dan pemerintah pusat. Bila dalam pilkada langsung ini dapat berjalan baik, maka proses pemapan demokrasi di Indonesia semakin kuat dan sulit untuk digoyahkan lagi, tapi sabaliknya jika gagal, maka bangunan demokrasi yang sudah dibangun akan sangat rapuh dan mudah runtuh kembali ke sistem otoritarian. Kesuksesan pilkada ini tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan penyelenggaraannya tetapi jugs oleh makna hakikat demokrasi yang mengedepankan perinsip kejujuran dan keadilan. Tanga hal tersebut, maka pilkada tidak lebih dari sebuah event

ceremonial demokrasi semua yang dihadiahi kepada rakyat. Karena pada

akhirnya kegagalan pilkada sangatlah berpotensi atas bermunculnya para pemimpin yang tidak konsisten terhadap keinginan rakyat yang memilihnya, apabila aspek kejujuran dan keadilan telah dicederai oleh ambisi kekuasaan yang cenderung menghalalkan segala cara dalam pencapaiannya.

Seperti yang dikemukakan oleh Abdul Asri Harahap bahwa :

"Pilkada adalah pintu awal yang sangat penting bagi daerah untuk memilih sang pemimpin yang berkualitas, jujur, dan amanah dalam memenuhi dan melayani kepentingan publik terutama yang berkaitan dengan jasa dan pelayanan publik. Dalam konteks ini, pemilih tidak perlu berfikir sempit yang mengacu pada kriteria primordialisme dan SARA, karena akan mengaburkan tolak ukur yang objektif dan rasional dalam memilih


(28)

p e m i m p i n d i d a e r ah . P i l i h a n - pi l i h a n ya n g l e bi h m e nd a s ar k a n pertimbangan primordial dan SARA tidak hanya akan

menurunkan kualitas demokrasi, tetapi jugs rawan konflik kekerasan. Meskipun Preferensi pemilih berdasarkan aspek-aspek primordial dan SARA tidak bisa dihilangkan, namun hal itu hendaknya bersifat sekunder dari pada tolak ukur primer".

Tujuan pilkada langsung, seperti yang diungkapkan oleh Abdulllah A. Harahap diatas, tentunya menempatkan aspek-aspek primordial dan SARA dalam suatu bentuk opsi yang bersifat sekunder. Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa, walaupun sentiment ini akan selalu muncul dalam setiap moment pilkada, namun hendaknya pilihan-pilihan tersebut telah diolah dan dikaji sedemikian rupa. Sehingga kualitas pilkada yang diharapkan dapat benar-benar terwujud. Memilih secara objektif dan rasional adalah sebuah opsi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, Terutama diperuntukan bagi masyarakat yang dalam hal ini berposisi sebagai penentu perubahan. Karena kesalahan terbesar dalam perinsip demokrasi yang mengedepankan suara mayoritas pada akhirnya akan dapat menjadi bumerang pada kemudian hari, apabila suara mayoritas tersebut merupakan penjelmaan dari pilihan-pilihan politik yang tradisional serta jangka pendek. Setidaknya pilkada langsungpun masih menyisakan kekhawatiran banyak kalangan, dikarenakan kondisi yang mewarnai pilkada tidaklah ditunjang dengan kondusifitas serta mentalitas politik yang baik. Aspek budaya masyarakat, keluasan wilayah serta SDM (Sumber Daya Manusia) yang ada belum memungkinkan model pemilihan ini dilaksanakan, seperti yang dikatakan oleh M. Thalhah, berpendapat bahwa :

"Partisipasi rakyat secara langsung bukan jaminan dapat memilih seorang kepala daerah yang bersih dan accountable mengingat kelembagaan masyarakat kita masih sangat kental dengan warns paternalistik, nepotisne,


(29)

dan bersifat primordial. Bahkan ada kekhawatiran justru akan terjadi chaos dan anarki dibeberapa daerah yang belum siap.

Secara tidak langsung pendapat M. Thalhah di atas, mengingatkan kita bagaimana iklim pilkada sangatlah dipengaruhi oleh masyarakat yang kental akan warns paternalistik, nepotisme, dan bersifat primordial. Sehingga garansi akan output pilkada yang diharapkan tidak serta merta dapat terwujudkan. Pendapat M. Thalhah mungkin Baja bisa menjadi sebuah cermin pada pilkada hari ini, dimana perubahan yang dimulai dari kepemimpinan yang dilahirkan oleh pemilihan langsung akan menjadi permasalahan krusial dikemudian hari.

Apabila masyarakat masih sangat permisif dengan wacana money politics dalam pilkada, ditambah lagi dengan wacana sentiment primordial yang jelas sangat mempengaruhi akan kualitas dari pada pilkada itu sendiri. Mau tidak mau pada akhirnya sistem pemilihan langsung ini menimbulkan sisi yang dilematis pada pelansanaannya, dilihat dari aspek kesiapan penyelenggaraan maupun masyarakat yang menjadi objek pelaksanaannya.

C. Kepala Daerah

Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 BAB IV Penyelenggaraan Pemerintahan Bagian Keempat tentang Pemerintah Daerah Paragraf Kesatu, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 24 :

1) Setiap daerah dipimpin oleh Kepala Pemerintah daerah yang disebut Kepala Daerah

2) Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk provinsi disebut Gubernur, untuk Kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota


(30)

disebut Walikota

3) Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibantu oleh satu orang Wakil Kepala Daerah

4) Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 3 provinsi disebut Wakil Gubernur, untuk Kabupaten disebut Wakil Bupati, dan untuk kota disebut Wakil Walikota

5) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan 3 dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat didaerah yang bersangkutan.Perubahan

Pada ayat 5 pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 inilah yang menjadi sorotan tajam oleh berbagai kalangan dari demokrasi perwakilan, yaitu pemilihan kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD dan menjadi demokrasi langsung yaitu rakyak secara langsung ikut memilih dan menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah melalui pesta demokrasi tersebut. Kalau mengacu pada pengalaman berbagai negara, praktek penyelenggaraan pemerintahan lokal pada umumnya memang memilih 3 opsi yaitu dipilih secara langsung oleh masyarakat, dipilih oleh dewan/council, ataupun diangkat oleh pemerintah pusat. Sebenarnya dibanyak negara terutama negara yang sudah relatif maju seperti Hongaria, Norwegia, atau Amerika tiga model mekanisme tersebut tidak banyak menjadi sorotan perdebatan, karena bagi mereka apapun sistem yang dianut, sepanjang fungsi-fungsi pemerintah di daerah (protective, public service, and development) dapat dilaksanankan secara optimal dan dirasakan hasilnya oleh masyarakat, maka sistem apapun yang dipilih sama saja. Dengan singkat kata pengisian kepala daerah hanyalah masalah "Cara" bukan "Substansi", prinsipnya rakyat harus


(31)

menjadi subyek pemerataan keadilan dalam berbagai hal.

Pada pasal 25 UU 32 Tahun 2004 Tentang Tugas dan Wewenang Kepala Darah :

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD

b. Mengajukan rancangan Perda;

c. Menetapkan Perda yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPRD;

d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APED kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

f. Mewakili daerahnya didalam dan diluar pengadilan, dan dapat menunjukan kuasa hokum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Seiring dengan cepatnya perubahab sosial diberbagai aspek kehidupan, maka pemilihan langsungpun seperti Tinier mengiringi pemahaman kits tentang konstalasi politik, hukum dan globalisasi. Karena itu pemahaman ini dapat dianggap sebagai paradigms baru yang layak menjadi pegangan dalam perumusan otonomi daerah kedepan, seperti dikatakan Osborn dan Gebler :


(32)

"pemerintah dihadapkan pads bergesernya sistem pemerintah yang

digerakkan oleh misi, selain itu pemerintah dituntut untuk memahami dan memusatkan perhatian pads keluaran (output) yang efisien dan bukan pads masukan (semata-mata pads kenaikan anggaran per tahun) yang dapat mengarah kepada maksimalisasi masukan (input) dibanding maksimalisasi keluaran (output). Lebih lanjut Osborn dan Gebler berpendapat bahwa pemerinta hendaknya berprilaku seperti enterpreneyrship perusahaan yang melihat masyarakat sebagai pelanggan yang harus dilayani sebaik mungkin. Selama itu pemerintah lebih tepat berorientasi pads mekanisme kerja

partisipatif dari tim kerja daripada mekanisme kerja hirarkis. Paradigms baru pemerintah menuntut kegiatan nyata Kepala Daerah yang diarahkan pads kegiatan-kegiatan yang kreatif (creative), inovatif (innovetive), dan perintisan (avantgard), orientasi pelanggan/masyarakat (service and empowermwnt-oriented). Konsep yang dem Man itu menuntut kualitas Kepala Daerah sebagai pemimpin organisasi pemerintah daerah makin tinggi pula, dimana seorang pemimpin tidak cukup hanya mengandalkan intuisi atau dukungan politis partai semata, tetapi harus didukung oleh kemampuan intelektual dan kopetensi yang memadai, ketajaman visi serta kemampuan etika, moral yang beradab.”

Dari hasil pengamatan Seskoad (Bandung, 1993) di Kabupaten, Jawa Barat dan beberapa penelitian ditemukan bahwa kualitas kepemimpinan didaerah khususnya Kabupaten belum memuaskan, dan bahkan masih jauh dari harapan ideal, temuan tersebut antaralain adalah :

 Masih banyak kasus ditemukan Kepala Daerah cenderung bersikap sebagai penguasa dibanding sebagai pelayan masyarakat (abdi masyarakat) hal ini nampak pads sikapnya apabila berkunjung kewilayah (yang ingin diistimewakan) serta masih banyak keluhan yang ingin disampaikan oleh masyarakat tentang kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat pemerintah pada umumnya.

 Kepemimpinan yang kurang peka dan tidak tanggap terhadap aspirasi masyarakat bawah serta kurang kreasi dalam mencari terobosan untuk memajukan dan menyejahterakan daerahnya.


(33)

 Kepemimpinan yang dipengaruhi budaya sungkan dan ewuhpakewuh serta kemampuan manajerial yang tidak memadai, baik dalam perencanaan, menggerakkan dan menggugah semangat masyarakat maupun dalam pengawasan dan pengendalian.

 Masih ditemukan diberbagai daerah sentralisasi birokrasi serta lambannya pelayanan terhadap masyarakat yang sebetulnya sudah harus ditinggalkan.

Dari hasil temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak menutup kemungkinan hal seperti ini juga terjadi pada daerah atau kabupaten lainnya di Indonesia. Dalam hal penerapan kekuasaan, kepala daerah cenderung menggunakan kekusaan dan paksaan dalam memimpin organisasi administrasi pemerintah daerah. Bahkan kepemimpinan kepala daerah dianggap masih jauh dari harapan masyarakat terutama dalam melepaskan diri dari kungkungan birokrasi, kemiskinan, keterbelakangan pendidikan dan lain-lain. Padahal Kepala daerah yang dihasilkan dari pemilihan langsung sudah semestinya memiliki tanggung jawab yang besar untuk mensejahterakan konstituennya, pemilihan kepala daerah secara langsung ini untuk mencapai demokratisasi, transparansi, menghindari politik uang (money politic) dan agar terwujud

sense of public accountability (moral) dengan kata lain pemilihan langsung ini memberikan legitimasi kepemimpinan Kepala Daerah menjadi kuat karena yang

menentukan adalah rakyat secara langsung sehingga DPRD akan sulit

menggoyang mandat langsung (pilihan) rakyat itu, dari pemilihan langsung ini pula akan ter adi keseimbangan antara lembaga eksekutif (pemerintah) dan lembaga legislatif (DPRD) namun bukan berarti Kepala Daerah tidak bisa diturunkan, kepala daerah masih sangat mungkin dilengserkan


(34)

jika nyata-nyata berbuat kriminal atau melakukan hal-hal luar biasa yang bertentangan dengan hukum dan tidak aspiratif terhadap konstituennya .

Pasal 28 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu :

a. Membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lainnya;

b. Turut Berta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;

c. Melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;

d. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan dilakukannya;

e. Menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara dipengadilan selain yang dimaksud dalam pasal 25 huruf,

f. Menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya; g. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota


(35)

D. Incumbent dan Pilkada

"Kepala Daerah yang tengah memerintah (incumbent) masih mempunyai peluang lebih besar dalam memenangkan Pilkada. Dari pelaksanaan Pilkada hingga Desember 2006, sebanyak 62.2% kepala daerah incumbent yang maju dalam Pilkada berhasil menang." (Jurnal LSI Juni 2007)

Posisi incumbent, menguntungkan bagi kandidat. Besarnya peluang kepala daerah terpilih kembali ini tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang didapat oleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas. Kepala daerah kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemillih. Sementara keuntungan tidak langsung didapat oleh kepala daerah incumbent dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampaye untuk untuk mengenalkan diri kepada masyarakat. Upaya membuat Pilkada lebih fair dan calon yang bertarung bisa berkompetisi secara lebih berimbang, selama ini kurang menyentuh hal-hal yang substansil-seperti larangan berkampanye bagi pejabat pemerintah atau keharusan untuk cuti selama incumbent mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Upaya yang dilakukan seharusnya lebih substansial. Misalnya dengan memberi ruang sebesarbesarnya bagi setiap orang agar mempunyai kesempatan bertarung dalam Pilkada.


(36)

E. Kerangka Pikir

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada tahun 2010 yang dilaksanakan pemilihan secara langsung di kota Bandar Lampung. Pilkada langsung ini merupakan sarana untuk melakukan pergantian kekuasaan pada tingkat daerah sebagai syarat untuk meneruskan estafet pemerintahan. Dengan model pemilihan langsung, rakyat dapat lebih leluasa untuk memilih pemimpin yang disukai dengan hati nuraninya tanpa ada paksaan dari siapapun, sehingga ukuran demokratis akan menjadi lebih terlihat dengan model pemilihan tersebut.

Dalam suatu pilkada langsung masyarakat dihadapkan kepada pilihan-pilihan calon pemimpin yang disukainya, dengan demikian kompetensi diantara masing-masing calon pemimpin sangat kuat terjadi di pilkada. Selanjutnya upaya-upaya untuk memenangkan kompetisi tersebut menjadi hal yang sangat signifikan dalam penentuan kemenangan bagi kandidat yang bertarung dalam arena politik tersebut.

Keikutsertaan incumbent pada pemilihan secara langsung menjadi hal yang fenomenal, yang menghasilkan sebuah kemenangan atau kekalahan bagi incumbent tersebut. Untuk meraih simpati agar mendapatkan suara terbanyak maka diperlukan pemikiran cerdas dan acara yang elegan oleh incumbent. Kekalahan dapat terjadi karena berbagai faktor, apa yang menyebabkan kekalahan bagi incumbent tersebut, untuk memudahkan dalam menentukan variable dan menganalisis data dalam menunjukkan faktor-faktor kekalahan tersebut.


(37)

Dari pemaparan diatas peneliti meneliti faktor-faktor penyebab kekalahan petahanan Edy Sutrisno pada pilkada Bandar Lampung tahun 2010 dengan kerangka pikir seperti pada bagan sebagai berikut.

Gambar 1. Kerangka Pikir Pilkada

Faktor- Faktor Penyebab Kekalahan

Calon

Faktor Kegagalan Kampanye

Faktor Popularitas dan Ketokohan Calon

Faktor Loyalitas Pemilih Terhadap Partainya

Faktor Pengaruh Strategi Perekrutan Calon oleh partai

Politik

Kekalahan Calon Incumbent


(38)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor penyebab kekalahan incumbent Edy Sutrisno pada Pilwakot Kota Bandar Lampung tahun 2010 adalah sebagai berikut:

1. Penyampaian Pesan yang tidak tepat sasaran

Masyarakat menilai bahwa Edy sutrisno dinilai kurang memperhatikan nasib baik dan pekerjaan mereka. Sehingga penilaian mereka terhadap pasangan incumbent ini menurun

2. penyampaian pesan oleh tim kampanye yang tidak menarik

materi yang sulit dipahami dan penggunaan bahasa ilmiah yang banyak tidak dimengerti menjadikan penyampaian pesan oleh tim kampanye pasangan ini banyak tidak dimengerti oleh pemilih.

3. Kegagalan masyarakat dalam memahami pesan kampanye

Ketidak mampuan tim kampanye untuk memotivasi masyarakat pemilih untuk menerima dan menerapkan gagasan dari pasangan incumbent ini. 4. Program-program kampanye yang tidak menetapkan khalayak sasarannya

secara tepat

Program kampanye yang disampaikan oleh tim kampanye tidak fokus, sehingga pesan tidak sesuai dengan karakteristik pemilih


(39)

5. Pesan-pesan kampanye tidak memberikan „petunjuk‟ bagaimana khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima, serta mengambil tindakan yang diperlukan

Tim kampanye tidak dapat memberikan petunjuk kepada masyarakat untuk memilih pasangan yang mereka usung,

B. SARAN

Adapun saran pada penelitian ini adalah:

1. Seharusnya pasangan incumbent ini lebih memperhatikan tentang nasib baik dari masyarakat dan juga tentang pekerjaan yang mereka lakukan.

2. Tim kampanye seharusnya lebih dapat memilih kata-kata yang akan disampaikan pada tahap kampanye. Karena tidak semua masyarakat Kota Bandar lampung memiliki pendidikan tinggi yang dapat mengerti bahasa ilmiah.

3. Tim kampanye seharusnya telah mempelajari bagaimana cara agar dapat memotivasi masyarakat sehingga mereka mau menerima dan melaksanakan gagasan dari pasangan incumbent ini.

4. Pasangan incumbent ini sebaiknya benar-benar memfokuskan pada siapa mereka akan berkampanye. Jangan menyamakan antara berkampanye disatu tempat dengan tempat yang lain

5. Tim kampanye seharusnya dapat memberikan petunjuk yang benar-benar jelas bahwa para pemilih seharusnya memilih pasangan yang mereka usung, tidak sekedar berkampanye belaka.


(40)

Sebelum sampai pada tahap analisis data terlebih dahulu akan dideskripsikan klasifikasi responden yang berjumlah 96 orang yang mewakili populasi dari Kota Bandar Lampung yang semuanya merupakan masyarakat Kota Bandar Lampung yang terdaftar dan ikut menjadi pemilih pada Pilwakot Kota Bandar Lampung Tahun 2010.

A. Deskripsi Responden

1. Deskripsi responden menurut jenis kelamin

Berdasarkan hasil penelitian dari 96 orang responden, responden yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 74 orang (77%) dan responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 22 orang (23%). Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 16. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Presentase

1 Laki-laki 74 Orang 77 %

2 Perempuan 22 Orang 23 %

Jumlah 96 Orang 100%

Sumber : Hasil olah data 2011

2. Deskripsi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikannya responden didistribusikan dengan jumlah sebagai berikut : responden lulusan SMA sebanyak 20orang ( %), lulusan D1-D3 sebanyak33orang (%), lulusan Sarjana 43orang (%)


(41)

Pendidikan

1 SMA 20 Orang 21%

2 D1-D3 33 Orang 34%

3 Sarjana 43 Orang 45%

Jumlah 96 Orang 100%

Sumber : Hasil olah data 2011

3. Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Berdasarkan jenis pekerjaannya responden terdiri dari pelajar 13orang, Mahasiswa 18 orang, Buruh 10 orang.Karyawan Swasta 15 orang dan 40 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Tabel 18. Distribusi Responden Menurut Jenis Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Jumlah Presentase

1 Pelajar 13 Orang 14%

2 Mahasiswa 18 Orang 19%

3 Buruh 10 Orang 10%

4 Karyawan Swasta 15 Orang 16% 5 Pegawai Negri Sipil 40 Orang 42%

Jumlah 96 Orang 100%

Sumber : Hasil olah data 2011

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEKALAHAN

Pada bagian ini akan diuraikan hasil penelitian di lapangan yaitu menyajikan data yang telah diperoleh melalui penyebaran instrumen penelitian yaitu kuisoner yang dibagikan kepada 96 orang respoden. Kemudian jawaban-jawaban kuisoner dari responden tersebut akan diolah


(42)

kekalahan petahanan Eddy Sutrisno pada pilwakot Bandar Lampung tahun 2010 yang lalu atau sebaliknya bukan menjadi faktor penyebab kekalahan.

Sebelumnya di bawah ini akan diterangkan distribusi responden berdasarkan pilihan politiknya pada pilwakot Bandar Lampung tahun 2010 yang lalu. Pada penelitian di lapangan responden terdiri dari pemilih yang memilih dan yang tidak memilih pasangan calon Eddy Sutrisno-Hantoni Hasan dari Demokrat. Responden yang memilih pasangan calon Eddy Sutrisno-Hantoni Hasan adalah sebanyak 31 orang dan responden yang tidak memilih pasangan calon Eddy Sutrisno-Hantoni Hasan sebanyak 65 orang. Distribusi dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 19. Distribusi Responden Menurut Pilihan Politik.

No Pilihan Politik Frekuensi Persentase 1 Memilih calon Eddy

Sutrisno-Hantoni Hasan

31 orang 32 %

2 Tidak memilih calon Eddy Sutrsino-Hantoni Hasan

65 orang 68 %

Jumlah 96 orang 100 %

Sumber : Hasil olah data 2011

Dari tabel diatas ditunjukkan bahwa 65 % dari jumlah responden merupakan masyarakat yang tidak memilih pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hasan pada pilwakot Bnadar Lampung tahun 2010. Sedangkan responden yang memilih pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hasan hanya 31%. Dominanya jumlah responden yang tidak memilih pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hasan membantu peniliti untuk lebih menguatkan dalam analisis jawaban kuisioner karena semakin kuat peluang untuk mencari tahu tentang alasan masyarakat untuk tidak memilih Edy Sutrisno-Hantoni Hasan pada pilwakot Bandar Lampung tahun 2010. Dengan demikian


(43)

Selanjutnya berikut akan dianalisis hasil dari penelitian di lapangan tentang jawaban kuisoner yang dibagikan kepada responden. Pertanyaan yang diajukan dalam kuisoner kepada responden berjumlah 12 pertanyaan. Pertanyaan yang disesuaikan dengan Defenisi Operasional pada bab II akan diolah dan dianalisis kemudian dari 96 jawaban untuk setiap indikator akan disimpulkan apakah menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hasan pada pilwakot Bandar Lampung tahun 2010 atau tidak menjadi faktor yang menyebabakan kekalahan pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hasan.


(44)

Tabel 20.Penyampaian pesan (issue) yang tidak tepat sasaran.

No Pilihan Frekuensi Persentase

1 Sangat Setuju 29 30%

2 Setuju 39 41%

3 Ragu-ragu 22 23%

4 Tidak Setuju 6 6%

5 Sangat Tidak Setuju 0 0%

Sumber : Hasil olah data 2011

Dari hasil yang terdapat pada table diatas dari 96 orang responden, 29 orang (30%) menjawab sangat setuju materi kampanye pasangan Edy Sutrisno-Hantoni Hassan tidak memperhatikan tentang nasib atau pekerjaan mereka, 39 orang (41%) menjawab setuju dengan alasan sebagai kampanye pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hassan memperhatikan nasib dan pekerjaan mereka, sebagaian lagi kerena ada hubungan kekeluargaan responden dengan pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hassan. Kemudian sebanyak 22 orang (23%) ragu-ragu dengan alasan tidak pernah mengikuti kampanye pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hassan dan mereka tidak memberikan alasan, 6% menjawab tidak setuju karena responden menilai kepemipinan Edy pada saat itu memperhatikan kehidupan mereka.

Dengan demikian hasil yang diperoleh diatas 30% menjawab setuju bahwa materi kampanye calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan tidak memperhatikan nasib atau pekerjaan mereka. Hal ini jelas mempengaruhi perolehan suara oleh pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hassan, karena dari hasil diatas terlihat oleh faktor ini menjadi salah satu penyebab responden tidak memilih


(45)

kekalahan pasangan calon Edy Sutrisno dan Hantoni Hassan pada Pilwakot Bandar Lampung 2010.

b. penyampaian pesan oleh tim kampanye yang tidak menarik

Kegagalan kampanye juga disebabkan kerena pesan kampanye yang disampaikan oleh tim kampanye tidak menarik. Untuk mengetahui apakah pesan kampanye yang sampaikan oleh pasangan calon Eddy Sutrisno menarik atau tidak, maka peneliti mencari jawaban dari responden dengan mengajukan sebagai berikut : “ apakah anda setuju meteri kampanye pasangan calon Eddy Sutrisno tidak menarik?”

dari 96 responden maka peneliti memperleh hasil distribusi jawaban sebagai berikut : Tabel 21. Penyampaian pesan oleh tim kampanye yang tidak menarik.

No Klasifikasi Jawaban Frekwensi Prosentasi

1 Sangat setuju 30 31%

2 Setuju 35 37%

3 Ragu-ragu 25 26%

4 Tidak setuju 6 6%

5 Sangat tidak setuju 0 0%

Sumber : Hasil olah data 2011

Hasil yang terdapat pada tabel diatas memperlihatkan dari 96 orang responden,sebanyak 30 orang atau dengan persentase 31% menjawab sangat setuju bahwa pesan atau isu mengenai materi kampanye pasangan calon Edy Sutrisno- Hartoni Hassan tidak menarik. Responden beralasan bahwa materi yang di sampaikan pasangan calon Edy Sutrisno - Hartoni Hassan sulit


(46)

menganggap materi kampanye yang di sampaikan pasangan calon Edy Sutrisno - Hartoni Hassan tidak layak untuk diikuti dan diperhatikan. Program kerja yang ditawarkan pasangan calon Edy Sutrisno - Hartoni Hassan bukanlah program kerja yang kreatif dan solutif yang mampu menyelesaikan persoalan yang di hadapi masyarakat. Sebaliknya, program yang ditawarkan pasangan dan merupakan pesan kampanye merupakan program yang sulit untuk diwujudkan atau seperti yang diungkapkan oleh responden bahwa program tersebut ialah program khayalan karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.

Berikutnya hasil penelitian memperlihatkan dari 96 responden yang diwawancarai sebanyak 35 orang atau dengan persentase 37% menjawab setuju. Responden yang menjawab setuju beralasan pesan yang disampaikan pasangan calon tidak berkaitan dengan kepentingan masyarakat Kota Bandar Lampung secara umum. Program-program yang diusung oleh pasangan calon seperti(Program2 atau ateri kampanye)

dinilai reponden sangat tidak realistis dengan situasi dan kondisi masyarakat. Akibat tidak realistisnya program tersebut maka responden menganggap pesan (isu) yang disampaikan oleh pasangan calon tidak menarik. sedangkan 25 orang (26%) menjawab ragu-ragu 6 orang (6%) menjawab tidak setuju.

Dari hasil diatas penelitian mengasumsikan bahwa pemilih banyak yang tidak memilih pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hassan karena kampanye tidak menarik, terbukti dengan 37% dari responden menjawab setuju bahwa materi kampanye pasangan calon Edy Sutrisno Hartoni Hassan tidak menarik. Adapun 6% dari responden menjawab tidak setuju dengan pengamatan


(47)

Dengan demikian indikator “Penyampaian pesan oleh tim kampanye yang tidak menarik“ adalah yang menjadi salah satu indikator penyebab kekalahan pasangan calon Edy Sutrisno-Hantoni Hassan pada Pilwakot Bandar Lampung tahun 2010.

c. kagagalan masyarakat dalam memahami pesan kampanye

Salah satu indikator penyebab gagalnya kampanye adalah juga disebabkan gagalnya usaha tim kampanye untuk menyampaikan pesan-pesan pada kampanye yang memotivasi khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima. Untuk mengetahui pesan-pesan yang disampaikan oleh kampanye pasangan calon Eddy Sutrisno dapat atau tidak dipahami olehmasyarakat yang mengikuti jkampanye, maka penelitian mengajukan pertanyaan sebagai berikut : “ Apakah anda setuju pesan kampanye pasangan calon Eddy Sutrisno susah untuk dipahami?”


(48)

Tabel 22. Kegagalan masyarakat dalam memahami pesan kampanye

No Pilihan Frekuensi Persentase

1 Sangat Setuju 30 31%

2 Setuju 34 35%

3 Ragu-ragu 26 27%

4 Tidak Setuju 5 5%

5 Sangat Tidak Setuju 1 1%

Sumber : Hasil olah data 2011

Dari tabel jawaban responden diatas peneliti mengasumsikan bahwa banyak pilihan yang tidak memilih pasangan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan salah satu karena kegagalan pemilih dan memahami pesan kampanye, dapat diasumsikan dengan melihat hasil jawaban responden yang berjumlah 30 orang (31%) yang menjawab sangat setuju bahwa pesan kampanye pasangan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan susah untuk dipahami. Sedangkan yang setuju berjumlah 34 orang (35%) dengan alasan tidak pernah mengikuti kampanye pasangan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan.Kemudian 26 orang (27%) menjawab ragu-ragu dan yang menjawab tidak setuju hanya 5 orang (5%)

Dengan demikian dan hasil diatas peneliti mengasumsikan bahwa Kegagalan masyarakat dalam memahami pesan kampanye menjadi salah satu indikator penyebab kekalahan pasangan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan dalam Pilwakot Bandar Lampung tahun 2010.


(49)

mengalamatkan kampanye tersebut kepada semua orang. Hasil kampanye tersebut menjadi tidak terfokus dan tidak efektif karena pesan-pesan tidak dapat dikonstruksi sesuai dengan karaktenistik khalayak.

Untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang kampanye pasangan calon Eddy Sutrisno tepat atau tidak sasarannya maka peneliti mengajukan pertanyaan kepada responden sebagai berikut: “Apakah anda setuju kampanye pasangan calon Eddy Sutrisno tidak sesuai dengan harapan khalayak/sasaran kampanye?”

Dari 96 orang responden yang menjawab kuisioner maka diperoleh distribusi jawaban sebagai berikut :

Tabel 23. Program-program kampanye yang tidak menetapkan khalayak sebagai sasarannya secara tepat.

No Pilihan Frekuensi Persentase

1 Sangat Setuju 32 33%

2 Setuju 37 39%

3 Ragu-ragu 21 22%

4 Tidak Setuju 6 6%

5 Sangat Tidak Setuju 0 0%

Sumber : Hasil olah data 2011

Dari tabel jawaban responden di atas 32 orang (33%) responden menjawab sangat setuju dan yang menjawab setuju bahwa kampanye pasangan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan tidak sesuai dengan harapan khalayak yang menjadi sasaran kampanye sebanyak 37 orang (39%). Sedangkan 21 orang menjawab ragu-ragu dan 6 orang tidak setuju. Dengan demikian kampanye


(50)

Dan pemaparan hasil di atas responden yang menjawab setuju sangat dominan, maka dengan demikian peneliti mengasumsikan bahwa kekalahan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan juga disebabkan oleh program-program kampanye yang tidak menetapkan khalayak sasarannya secara tepat.

e. Pesan-pesan kampanye tidak memberikan ‘petunjuk’ bagaimana khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima, serta mengambil tindakan yang diperlukan.

Kegagalan kampanye dapat juga disebabkan oleh Pesan-pesan kampanye tidak memberikan „petunjuk‟ bagaimana khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima, serta mengambil tindakan yang diperlukan. Karena apabila kampanye tidak mampu memberi semacam „petunjuk‟ kepada masyarakat untuk menerapkan dan mengambil tindakan yang diperlukan dalam hal mi untuk memilih pasangan calon Eddy Sutrisno, maka kampanye tersebut jelas sudah gagal.

Oleh karena itu, untuk mengetahui jawaban dan masyarakat apakah pesan-pesan kampanye yang disampaikan pada kampanye pasangan calon Eddy Sutrisno tidak membuat masyarakat memilih pasangan calon Eddy Sutrisno atau tidak maka peneliti mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Apakah anda setuju kampanye pasangan calon Eddy Sutrisno tidak membuat anda memilihnya dalam Pilwakot?”.

Untuk mendapatkan jawaban, maka petanyaan ini hanya dijawab oleh responden yang tidak memilih pasangan calon Eddy Sutrisno.


(51)

menerima dan menerapkan gagasan yang diterima, serta mengambil tindakan yang diperlukan.

No Pilihan Frekuensi Persentase

1 Sangat Setuju 27 42%

2 Setuju 21 32%

3 Ragu-ragu 15 23%

4 Tidak Setuju 2 3%

5 Sangat Tidak Setuju 0 0%

Sumber: Hasil olah data 2011

Dari tabel jawaban responden diatas sebanyak 27 orang (42%) menjawab sangat setuju dan responden menjawab setuju 21 orang (32%) bahwa kampanye pasangan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan tidak menimbulkan niat pada responden untuk memilih pasangan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan pada Pilwakot tahun 2010. Sedangkan yang menjawab ragu-ragu 15 orang (23%) dan tidak setuju hanya 2 orang (3%). Adapun 18 orang (19%) dari seluruh responden tidak menjawab adalah karena mereka merupakan pemilih pasangan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan pada Pilwakot tahun 2010.

Dari hasil di atas dapat dilihat hampir seluruh dan responden yang tidak memilih pasangan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan setuju bahwa kampanye Edy Sutrisno - Hantoni Hassan tidak membuat mereka tertarik untuk memilihnya pada Pilwakot tahun 2010. Hanya 2 orang dan yang tidak memilih yang tidak setuju dengan pertanyaan tersebut.

Dengan demikian maka peneliti mengasumsikan bahwa kekalahan pasangan calon Edy Sutrisno - Hantoni Hassan juga disebabkan salah satu indikator kampanye yaitu tidak adanya semacam


(52)

f. Anggaran dana yang tidak memadai untuk membiayai program kampanye.

Yang terakhir tentang kegagalan sebuah kampanye juga disebabkan oleh tidak memadainya dana kampanye yang dimiliki oleh calon sehingga tidak dapat berbuat secara total. Untuk mengetahui jawaban masyarakat tentang dana kampanye yang dimiliki oleh pasangan calon Eddy Sutrisno dalam melakukan kampanye maka peneliti mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

“Apakah anda setuju pasangan calon Eddy Sutrisno tidak memiliki dana yang cu kup untuk melakukan kampanye secara maksimal?”.

Dan 96 orang responden yang ditanyakan maka distribusi jawaban yang diperoleh oleh peneliti adalah sebagai berikut:

Tabel 25. Anggaran dana yang tidak memadai untuk membiayai program kampanye.

No Pilihan Frekuensi Persentase

1 Sangat Setuju 8 8%

2 Setuju 14 15%

3 Ragu-ragu 9 9%

4 Tidak Setuju 29 30%

5 Sangat Tidak Setuju 36 38%


(53)

secara maksimal, dengan alasan bahwa masyarakat mengetahui bahwa pasangan calon Eddy Sutrisno tidak bermasalah dengan biaya, selain itu Eddy Sutrisno merupakan mantan Walikota Bandar Lampung, sehingga menurut masyarakat pasangan calon Eddy Sutrisno mempunyai dana dan biaya yang memadai. Masyarakat yang setuju bahwa pasangan calon Eddy Sutrisno tidak mempunyai dana yang memadai ada sejumlah 14 orang (15%), dengan alasan bahwa mereka tidak merasakan adanya kampanye yang maksimal di daerahnya, sehingga berpendapat bahwa pasangan calon Eddy Sutrisno kurang mempunyai dana yang memadai dalam melaksanakan kampanye secara maksimal. Dan masyarakat yang menjawab ragu-ragu 9 orang (9%)

Dari hasil di atas terlihat jumlah responden yang sangat tidak setuju bahwa pasangan calon Eddy Sutrisno tidak mempunyai dana yang memadai sangat dominan yaitu 38% dibandingkan responden yang setuju. Dengan demikian peneliti mengasumsikan bahwa “Anggaran dana yang tidak memadai untuk membiayai program kampanye” bukan merupakan faktor penyebab gagalnya kampanye yang dilakukan pasangan calon Eddy Sutrisno, sehingga untuk kekalahan pasangan calon Eddy Sutrisno faktor Anggaran dana yang tidak memadai bukan merupakan faktor penyebab kekalahan pasangan calon Eddy Sutrisno pada Pilwakot Kota Bandar Lampung tahun 2010.

2. Faktor Popularitas dan Ketokohan Calon

Sebelum membahas tanggapan masyarakat tentang popularitas calon Eddy Sutrisno, berikut secara singkat tentang profil dan identitas Edy Sutrisno.


(54)

lahir di Desa Bumisari Natar, Lampung Selatan, tanggal 8 Juli 1954. Ayahnya bernama H. Muhammad Isya seorang petani yang juga menjabat sebagai Lurah Bumisari pada saat itu sedangkan ibunya bernama Hj. Siti Warni. Eddy Sutrisno adalah anak ke empat dari tiga saudaranya yg antara lain bernama : Suryono, Suwondo dan Kustiah.

Meski ayahnya seorang Lurah, ia tidak mendidik Eddy Sutrisno dan saudara – saudaranya dengan kemewahan. Sebaliknya, sejak kecil mereka di didik untuk hidup sederhana, taat pada agama, saling mencintai dan menghargai antar sesama dan berbudi pekerti luhur. Bakat kepemimpinan Eddy Sutrisno memang sudah menonjol. Meski dia bukan putra pertama, tetapi sikap kepemimpinannya dalam keluarga sudah tampak sejak kecil.Hari – hari yg dijalani Eddy Sutrisno kecil sangat variasi dan menimbulkan kekaguman tersendiri bagi teman–temannya.

Sejak kecil, Eddy sudah terbiasa mendengarkan pidato–pidato Bung Karno yang pada saat itu menjadi Presiden Republik Indonesia. Jiwa nasionalis tertanam kuat di jiwanya. Sikap tegas Bung Karno dalam membela kebenaran dan sesuatu yang menjadi prinsip, benar – benar mengilhami Eddy Sutrisno.

Sekolah Rakyat ( SR ) Natar ( kini SDN I Natar ) tempat Eddy Sutrisno pertama mengenyam pendidikan. Beliau menamatkan sekolahnya di SR tahun 1967. Setelah itu atas saran ayahnya yang menghendaki Eddy menjadi guru agama, ia dimasukkan ke sekolah Pendidikan Guru Agama ( PGA ) di Pahoman. Selesai dari PGA tahun 1971, Eddy melanjutkan ke PGAA Negeri Pahoman hingga selesai tahun 1973.


(55)

tidak ada yang berubah. Rutinitas itu sering membuatnya bosan. Jiwannya sering juga berontak, karena merasa tidak puas dengan pendidikan dan pekerjaannya. Maka, secara diam – diam ia mengikuti tes masuk ke Unila dan akhirnya diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kejuruan Ilmu Pendidikan ( FKIP ).

Berbagai organisasi kampus diikutinya dengan sungguh – sungguh sehingga sejumlah jabatan pernah dipegangnya dalam sejumlah organisasi mahasiswa seperti Senat Fakultas, Senat Mahasiswa dan Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia ( GMNI ). Di luar dunia kampus juga Eddy aktif dalam kegiatan Karang Taruna dan Kepramukaan. Puncaknya, Eddy dipercaya untuk memegang jabatan Ketua AMPI Provinsi Lampung. Semasa itu, Eddy bekerja sebagai kuli panggul karung Pelabuhan Panjang. Pekerjaan itu dilakoni selepas jam kuliah biasanya sore sampai malam hari. Tetapi pekerjaan itu tak mengganggu kegiatan kualiahnya, ia malah mendapatkan beasiswa Supersemar.

Ketekunan dan semangat belajar Eddy Sutrisno yang tinggi berbuah manis. Predikat sebagai Mahasiswa Teladan Tingkat Nasional berhasil diraihnya pada tahub 1979. Berbekal gelar sebagai Mahasiswa Teladan itu pula Eddy Sutrisno langsung diterima sebagai dosen di Fakultas Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung. Di sela – sela kesibukannya sebagai dosen muda, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang Strata 2 di IKIP Jakarta yang diselesaikannya tahun 1988. Pengabdian sebagai dosen dilakoninya selama 17 tahun. Pada rentang masa itu juga, Eddy Sutrisno mulai membangun Yayasan Swadipa yang bergerak di


(56)

Perkawinan Eddy Sutrisno dan Nurpuri seorang gadis yang dikenalnya saat – saat masih duduk dibangku perkuliahan dilangsungkan tahun 1979, dilaksanakan secara sederhana namun meriah. Sayangnya, hingga setahun pasangan ini belum juga dikarunia anak. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk mengadopsi anak perempuan yang masih anak dari bibi Eddy yang diberi nama Romiyati.

Setelah setahun memiliki Romiyati, istrinya mulai hamil dan pada tanggal 22 Agustus 1982 lahirlah anak perempuan yang kemudian diberi nama Agustina Nursisca. Setelah itu menyusul Aprilena Amsari yang lahir tanggal 25 April 1985 dan yang terakhir Glaedy Tri Suliyanti yang lahir pada tanggal 16 Juli 1987.

Sepak terjang Eddy Sutrisno dalam kancah politik di Lampung memiliki rentang waktu yang sangat panjang dan menentukan. Bahkan, sejak awal akhir 1980-an, Eddy Sutrisno dijuluki sebagai king maker karena hampir semua keputusan politik di Lampung nyaris tidak ada yang luput dari peranannya. Bukan hanya di Golkar, dimana saat itu Eddy Sutrisno memegang dua jabatan strategis yakni Sekretaris Dewan Pembina sekaligus Sekretaris DPD I Golkar Lampung, tetapi juga bagi partai lain yang ada saat itu yakni PPP dan PDI.

Si ”5 Besar PON”. Begitulah julukan yang melekat pada diri Drs. H. Eddy Sutrisno, M.Pd. Julukan itu disandang setelah dirinya sukses mempertahankan posisi Lampung sebagai lima besar atau juara pertama di luar Jawa, pada PON 1996 di Jakarta. Prestasi yang tidak main –


(1)

yang setuju sangat yaitu 36 orang (37%) responden, dan hasil di atas dapat diketahui bahwa “Karir politik pasangan calon yang kurang baik” mempengaruhi pilihan politik responden atau menjadi faktor yang menyebabkan responden tidak memilih pasangan calon Eddy Sutrisno-Hantoni Hassan

9. Penampilan fisik dan kandidat yang kurang menanik.Dari tabel hasil jawaban pertanyaan di atas yang tidak sangat setuju bahwa “Banyak pemilih yang tidak memilih pasangan Eddy Sutrisno-Hantoni Hassan kanena penampilan yang kurang menarik” yaitu sebanyak 41 orang (43%) dan yang menjawab setuju 32 orang responden (33%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh faktor penampilan fisik menjadi penyebab masyarakat tidak memilih pasangan Eddy Sutrisno-Hantoni Hassan pada Pilwakot tahun 2010 di Kota Bandar Lampung.

10. Faktor usia (kejenuhan terhadap pemimpin dan golongan orang tua). Dan tabel di atas dapat dilihat bahwa 34 orang menjawab sangat setuju bahwa masyarakat jenuh dengan pasangan calon dan golongan usia tua termasuk pasangan Eddy Sutrisno-Hantoni Hassan sehingga mengharapkan pemimpin dan golongan muda.

Dari pemaparan hasil urutan sepuluh faktor penyebab kekalahan calon Eddy Sutrisno-Hantoni Hassan di atas, dapat dilihat bahwa yang paling tinggi persentase jawaban yang setuju adalah faktor populanitas kandidat, yang ditandai indikator tentang citra kandidat serta sifat dan karakter kandidat yang kurang baik di mata masyarakat, dan hasil diskusi dengan sebagian besar responden, responden menganggap. Sifat dan karakter kandidat kurang baik,karena sebagian besar masyarakat telah menganggap bahwa pasangan Eddy Sutrisno-Hantoni Hassan “hanya berjanji tetapi tidak menepati”. Hal ini menyebabkan citra kandidat dimata masyarakat kurang


(2)

baik dan dengan demikian masyarakat banyak yang tidak tertarik untuk memilih pasangan Eddy Sutrisno-Hantoni Hassan.

Hal ini sangat sesuai dengan pendapat Faucheux (2003) dalam tulisan Nursal (2004) yang dikutip oleh A Zaim Bisni (2006:1) menyebutkan bahwa fakta perilaku pemilih baik di negara-negara demokrasi Barat seperti di AS dan Eropa maupun di Indonesia menunjukkan, pada umumnya mereka sangat sensitif terhadap kepribadian kandidat. Preferensi pemilih pada berbagai survei di AS, Eropa maupun Indonesia membuktikan bahwa faktor personality calon selalu menduduki urutan teratas dalam faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan pemilih.

Dalam kilas balik Pemilihan Presiden, Koirudin (2010:268) juga menyebutkan bahwa mendongkrak personal adalah salah satu cara yang dilakukan oleh para capres-cawapres untuk menggaet simpati massa pemilih. Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) juga dengan sukses berhasil meraih kursi kepresidenan dengan mencitrakan dirinya sebagai sosok yang berwibawa, cerdas, tegas, tidak emosional dan karakter-karakter individu lainnya yang semakin membuat massa pemilih kesemsem padanya. Lain halnya dengan Megawati, kemerosotan citra akibat kasusnya dengan SBY mendapat penurunan perolehan suara yang signifikan.

Artinya citra kandidat yang baik sangat potensial dalam mengumpulkan simpati dan suara dan masyarakat. Namun citra kandidat yang kurang baik di mata masyarakat juga dapat menyebabkan penurunan suara yang signifikan pada sebuah pemilihan.

Selain sepuluh indikator di atas empat indikator lainnya yang tidak menjadi faktor penyebab kekalahan pasangan Eddy Sutrisno-Hantoni Hassan sangat berpengaruh dan menyebabkan


(3)

masyarakat tidak memilih pasangan calon Eddy Sutrisno-Hantoni Hassan, terlihat dan persentase jawaban respoden yang menjawab sangat setuju pada indikator ini sangat tinggi. Adapun indikator-indikator tersebut adalah:

1. Party indentification yaitu ketidak setiaan kader atau anggota terhadap partainya. Hal ini dapat diketahui yaitu dari 58 orang yang memilih berangkapan bahwa anggota partai yang mengusung harus memilih calon yang mereka usung.

2. Anggaran dana yang tidak memadai untuk membiayi program kampanye pasangan calon Edy Sutrisno – Hantoni Hassan merupakan bukan faktor penyebab kekalahan karena dari 96 responden 39 orang (41%) sangat setuju dan 36 orang (37%) menjawab tidak setuju.

C.FAKTOR PENYEBAB KEKALAHAN EDY SUTRISNO

1. Penyampaian Pesan yang tidak tepat sasaran

Penyampaian pesan (issue) yang tidak tepat sasaran dimana pasangan ini tidak memperhatikan tentang nasib baik maupun pekerjaan yang dilakukan masyarakat menjadi salah satu penyebab kekalahan pasangan calon Edy Sutrisno dan Hantoni Hassan. Hal ini dibuktikan dari banyak nya responden yang menjawab sangat setuju dan setuju pada kuisioner yang diberikan oleh peneliti.

2. penyampaian pesan oleh tim kampanye yang tidak menarik

Lebih dari 50% responden menyatakan bahwa pesan atau isu mengenai materi kampanye pasangan ini tidak menarik dengan alasan materi pasangan ini sulit dipahami dan menggunakan bahasa ilmiah yang tidak popular dikalangan masyarakat, dan substansi yang disampaikan tidak menyentuh persoalan yang dihadapi masyarakat. Sebaliknya, program yang ditawarkan pasangan dan merupakan pesan kampanye merupakan program yang sulit


(4)

untuk diwujudkan atau seperti yang diungkapkan oleh responden bahwa program tersebut ialah program khayalan karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. 3. Kegagalan masyarakat dalam memahami pesan kampanye

Salah satu indikator penyebab gagalnya kampanye adalah disebabkan gagalnya usaha tim kampanye untuk menyampaikan pesan-pesan pada kampanye yang memotivasi khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima. Hal ini lah yang tidak dapat dicapai oleh tim kampanye Edy Sutrisno, banyak masyarakat Kota Bandar Lampung yang tidak dapat memahami pesan dari kampanye mereka.

4. Program-program kampanye yang tidak menetapkan khalayak sasarannya secara tepat

kegagalan kampanye juga dapat disebabkan oleh karena program- program kampanye tidak menetapkan khalayak sasarannya secara tepat. Pelaksana kampanye mengalamatkan kampanye tersebut kepada semua orang. Hasil kampanye tersebut menjadi tidak terfokus dan tidak efektif karena pesan-pesan tidak dapat dikonstruksi sesuai dengan karaktenistik khalayak.

5. Pesan-pesan kampanye tidak memberikan ‘petunjuk’ bagaimana khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima, serta mengambil tindakan yang diperlukan

Kegagalan kampanye dapat juga disebabkan oleh Pesan-pesan kampanye tidak memberikan „petunjuk‟ bagaimana khalayak untuk menerima dan menerapkan gagasan yang diterima, serta mengambil tindakan yang diperlukan. Petunjuk yang dimaksudkan disini adalah jelas bahwa keputusan untuk memilih mereka di dalam pemilihan walikota. Tapi sekali lagi tim kampanye gagal untuk menyampaikan petunjuk itu, sehingga pemilih lebih cenderung memilih pasangan dari lawannya yang dinilai lebih mampu.


(5)

(6)