FAKTOR PENYEBAB KEKALAHAN PASANGAN ZAINAL ABIDIN (INCUMBENT) DAN ANSHORI DJAUSAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA TAHUN 2013

(1)

FAKTOR PENYEBAB KEKALAHAN PASANGAN ZAINAL ABIDIN (INCUMBENT) DAN ANSHORI DJAUSAL DALAM PEMILIHAN KEPALA

DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA TAHUN 2013

(Skripsi)

Oleh

MONICHA ANGRAINI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(2)

ABSTRACT

FACTORS CAUSING DEFEAT COUPLES ZAINAL ABIDIN (INCUMBENT) AND ANSHORI DJAUSAL IN THE REGIONAL

ELECTION DISTRICTS LAMPUNG NORTH 2013

By

MONICHA ANGRAINI

Elected a candidate in the regional election ideally have to meet the standards voters. Defeat in pairs Zainal Abidin and Anshori Djausal one was unexpected, because it is very rarely found that incumbent losing a battle. The percentage comparison victory incumbent and non incumbent range 60:40 percent. Supported previous pelelitan show that a defeat incumbent indicates voters more rational. Apathy attitude voters because of a candidate who reneging on its promises, and poor performance is yardstick community evaluation voters.

Type research that is used is descriptive qualitative research. Researchers in this case trying to find out factors causing defeat couples Zainal Abidin (incumbent) and Anshori Djausal in the regional election districts Lampung North 2013. Data collection techniques by interviews and documentation.


(3)

The results of research shows that refers to various reasons voters in districts Lampung North can be said that many of them a little rational behavior a voter who has shown. The community has valid assessment, they vote judgment by throwing his choice to another candidate at the sight of a candidate who they chose last time does not show a good performance. People want to a change Lampung North to be even better, there is disappointment and dissatisfaction element as a result of several factors that is a policy of not pro the people, the program did not communicated, and their performance is not accomplished.

The emergence of other factors of defeat Zainal Abidin and Anshori Djausal is that leadership and bad of an incumbent not based on government bureaucracy both in term of office Zainal Abidin because there are many position in the Lampung North district that is not right and not appropriate discipline, (nepotism) political dynasty. The public vote drop sound judgment and punishment with the hope of making Lampung North more advanced with the change in a new leader.


(4)

ABSTRAK

FAKTOR PENYEBAB KEKALAHAN PASANGAN ZAINAL ABIDIN (INCUMBENT) DAN ANSHORI DJAUSAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA TAHUN 2013

Oleh

MONICHA ANGRAINI

Terpilihnya seorang kandidat dalam pemilihan kepala daerah idealnya harus memenuhi standar pemilih. Kekalahan pada pasangan Zainal Abidin dan Anshori Djausal diluar dugaan, karena sangat jarang sekali ditemukan bahwa incumbent mengalami kekalahan. Persentase perbandingan kemenangan incumbent dan non incumbent berkisar 60:40 persen. Didukung penelitan terdahulu menunjukkan bahwa kekalahan incumbent mengindikasikan pemilih semakin rasional. Sikap apatisme pemilih dikarenakan calon yang ingkar janji, dan kinerja yang buruk merupakan tolak ukur penilaian masyarakat pemilih.

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Peneliti dalam hal ini berusaha untuk mengetahui faktor penyebab kekalahan Zainal

Abidin (incumbent) dan Anshori Djausal dalam pemilihan kepala daerah

Kabupaten Lampung Utara tahun 2013. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan dokumentasi.


(5)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa merujuk pada berbagai alasan pemilih di Kabupaten Lampung Utara dapat dikatakan bahwa mereka sedikit banyaknya telah menunjukkan perilaku pemilih yang rasional. Masyarakat mempunyai penilaian yang valid, mereka memberikan suara penghukuman dengan cara menjatuhkan pilihannya kepada calon lain karena melihat calon yang mereka pilih sebelumnya tidak menunjukkan kinerja yang baik. Masyarakat ingin suatu perubahan Lampung Utara untuk menjadi lebih baik lagi, terdapat unsur kekecewaan serta ketidakpuasan yang disebabkan dari beberapa faktor yaitu kebijakan tidak pro rakyat, program tidak dikomunikasikan, dan kinerja tidak terlaksana dengan baik.

Munculnya faktor lain penyebab kekalahan Zainal Abidin dan Anshori Djausal yaitu kepemimpinan yang buruk dari seorang incumbent berdasarkan birokrasi pemerintahan yang tidak baik di masa jabatan Zainal Abidin disebabkan karena terdapat banyak jabatan di Kabupaten Lampung Utara ditempatkan oleh orang yang tidak tepat dan tidak sesuai disiplin ilmu, dinasti politik (nepotisme). Maka masyarakat menjatuhkan suara penghukuman (punishment vote) dengan harapan dapat membuat Lampung Utara lebih maju dengan adanya perubahan seorang pemimpin yang baru.


(6)

FAKTOR PENYEBAB KEKALAHAN PASANGAN ZAINAL ABIDIN (INCUMBENT) DAN ANSHORI DJAUSAL DALAM PEMILIHAN KEPALA

DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA TAHUN 2013

Oleh

Monicha Angraini

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(7)

(8)

(9)

(10)

Penulis di lahirkan di Kotabumi pada tanggal 28 Februari 1993, merupakan anak pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Safri dan Ibu Feblinda. Penulis mengawali pendidikan formal di Taman Kanak-kanak (TK) Tunas Harapan Tahun 1997-1998, melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Xaverius Kotabumi Tahun 1998-2004, kemudian dilanjutkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Xaverius Kotabumi Tahun 2004-2007 dan dilanjutkan kembali di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Kotabumi Tahun 2007-2010.

Tahun 2010 adalah tahun pertama penulis diterima sebagai mahasiswi Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur Ujian Mandiri Lokal (UML). Tahun 2013, penulis melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Sumber Agung Kota Bandar Lampung.


(11)

PERSEMBAHAN

Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih

sayang-Mu telah memberiku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta

memperkenalkanku dengan cinta. Atas karunia serta kemudahan yang Engkau

berikan akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan. Serta tak lupa

shalawat serta salam selalu tercurah pada Rasullah Muhammad SAW.

Ku persembahkan karya kecil ini kepada:

Motivasi, semangat dan tujuan hidupku Ayahanda Safri dan Ibunda Feblinda,

terimakasih dari hati yang terdalam untuk segala-galanya yang tidak dapat aku

ungkapkan yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas

yang bertuliskan kata cinta dan persembahan.

Adikku Tersayang

Dilla Sefa Ledy, Ryo Hans Basten, Rama Benzema dan Safira Charoline.

Kekasihku Tersayang

Yulius Valefi


(12)

MOTO

“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka

menyerah." (Thomas Alva Edison)

“You don’t have to be great to start, but you have to start to be great." (Zig Zagler)

“ Life is hard, it’s harder if you’re stupid.” (John Wayno)

“Tidak ada kemenangan yang Allah berikan kepada kita yang lebih besar baginya daripada ikhlas dan sabar.”


(13)

SANWACANA

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul “Faktor Penyebab Kekalahan Pasangan Zainal Abidin (Incumbent) dan Anshori Djausal dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013” dapat diselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari banyak kesulitan yang dihadapi dari awal pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini, karena bantuan, bimbingan, dorongan dan saran dari berbagai pihak terutama dosen pembimbing yang sudah memberi banyak masukan, kritik dan saran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT atas segala yang Engkau berikan pada hamba, baik rezeki, kesehatan, kekuatan, kesabaran dan semangat yang tiada henti hingga hamba dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu


(14)

4. Bapak Maulana Muukhlis, S.Sos., M.IP selaku Pembimbing Akademik. Terima kasih telah menjadi pembimbing akademik saya.

5. Bapak Dr. Suwondo, M.A selaku Pembimbing Utama yang telah banyak

membantu, membimbing, mengarahkan, memberikan masukan, saran, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Sigit Krisbintoro, M.IP selaku penguji dan pembahas yang telah memberikan kritik dan saran kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

7.

Seluruh Dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Unila, terimakasih atas ilmu yang

diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Pemerintahan.

8. Staf Akademik, Staf Kemahasiswaan yang telah membantu kelancaran

administrasi dan skripsi.

9. Teristimewa kepada orang tuaku, Ayahanda Safri dan Ibunda Feblinda terimakasih telah menjadi orang tua yang Hebat, yang selalu memberikan motivasi, mendo’akan dan selalu bekerja keras mendidik untuk menjadikan Penulis menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain, Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan nikmat-Nya untuk kalian.

10.Nenek tersayang Atu Alina dan Nyai Darwati, trimakasih untuk semua doa dan dukungan kalian yang tiada henti, Semoga Allah SWT selalu memberi kesehatan dan umur yang panjang untuk kalian.


(15)

dalam lindungan Allah SWT.

12.Tante Enayati dan Om Farizal Fikri, trimakasih untuk selama ini telah membimbingku sekaligus menjadi orang tua selama aku menjalankan perkuliahan. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah kepada kalian.

13.Keluarga besarku yang luar biasa, trimakasih atas doa serta dukungan dari kalian semua. Semoga kita tetap dalam lindungan Allah SWT.

14.Spesial untuk Kekasih tersayang Yulius Valefi trimakasih atas doa, semangat serta dukungan yang tiada henti untukku. Semoga Allah SWT selalu memberi kemudahan dan kelancaran dalam perjalanan hidup kita.

15.Teman-teman seperjuangan Jurusan Ilmu Pemerintahan 2010, Aditia Arief, Aditya Darmawan, Ahlan Fahriadi, Angga Ferdiansyah, Alam Patria, Ali Wirawan, Andrialius.F, Antarizki, Anugerah Robbian Tori, Ardi Yuzka, Ayu Mira Asih, Cakra Gumelar, Dicky Rinaldy, Dimas Santoso, Dita Purnama, Dwi Haryanti, Deo Vita Effendi, Ekky Julian Ds, Eka Mala Sari, Gandi Afriandi, Harizon, Herowandi, Iin Tajudin, Ikhwan Efrizal, Indra Jaya Negara, Kevin Aditya Pratama, Komang Jaka F, Mirzan Triandana, Novrico Pradinan, Novandra Yudha, Novi Nurhana Putri, Oktia Nita, Okta Purnama, Putra Ramadhan, Pangky Saputra, Pebri Dwi Firnando, Prananda Genta, Raditiya Febrian C, Reddyah Renata Suharno, Resti Agustina, Ricky Ardhian, Ridho Jupanter, Riendi Ferdian, Rike Prisina, Robby Ruyudha, Ryan Maulana, Siska Fitria, Syinthia Dwi Utami, Tano Gupala, Tiffany Anandini P, Uli Kartika


(16)

memberikan nikmat sehat, rejeki yang berlimpah, rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

16.Almamaterku tercinta, UNIVERSITAS LAMPUNG.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan kita semua dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 6 Maret 2015 Penulis


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Kegunaan Penelitian... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Perilaku Pemilih ... 11

1. Pendekatan Sosiologis ... 11

2. Pendekatan Psikologis ... 12

3. Pendekatan Rasional ... 13

B. Konsep Reward Votes dan Punishment Votes ... 14

1. Reward Votes ... 17

2. Punishment Votes ... 17

C. Tinjauan tentang Kinerja ... 21

1. Pengertian Kinerja ... 21

2. Pengertian Kinerja Organisasi Publik ... 23

3. Pengukuran Kinerja ... 23

4. Indikator Kinerja ... 30

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ... 35

D. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung ... 40

1. Pilkada ... 40

2. Landasan Hukum Pilkada ... 42

E. Kerangka Pikir ... 43

III. METODE PENELITIAN ... 47

A. Tipe Penelitian ... 47

B. Fokus Penelitian ... 48

C. Lokasi Penelitian ... 49

D. Jenis Data Penelitian ... 49

E. Penentuan Responden ... 50


(18)

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN ... 55

A. Kabupaten Lampung Utara ... 55

1. Sejarah Kabupaten Lampung Utara ... 55

2. Lokasi dan Luas Wilayah ... 59

B. Kecamatan Kotabumi Kota ... 60

C. Kecamatan Abung Selatan ... 61

D. Gambaran Umum Kandidat Bupati ... 62

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 69

A.Perilaku Pemilih ... 69

B. Punishment Vote (Suara Penghukuman) ... 73

1. Penilaian Kebijakan ... 75

2. Komunikasi Program ... 78

3. Pelaksanaan Kinerja ... 82

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 86

A.Simpulan ... 86

B. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rekapitulasi daftar pemilih ... 6 2. Hasil perolehan suara ... 7 3. Jumlah responden yang diteliti ... 50


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pikir ... 46 2. Gambar Lambang Kabupaten Lampung Utara ... 57


(21)

I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum adalah suatu proses dari sistem demokrasi, hal ini juga sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan penuh untuk memilih siapa wakilnya yang layak menduduki parlemen dan struktur pemerintahan. Sistem politik di Indonesia sendiri telah menggunakan hak rakyat dalam pemilihan umum. Pilkada di mata masyarakat hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan oleh segelintir elite lokal untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan. Partai politik adalah organisasi warga negara yang memiliki tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan terhadap pemerintahan melalui proses pemilihan umum untuk mencapai tujuan bersama yang deal disepakati anggota partai.

Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah atau populer dikenal dengan istilah pilkada sejak tanggal 1 Juli tahun 2005, baik untuk memilih pasangan gubernur/wakil, pasangan bupati/wakil serta pasangan walikota/wakil walikota seluruh provinsi, kabupaten, dan kotamadya, Indonesia telah memilih para pemimpin mereka secara demokratis dan transparan. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang


(22)

Pemerintah daerah (UU 32/2004) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 (UU 22/2007) tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukan

kedalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama “Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.

Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta tahun 2007. Perubahan ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah itu merupakan tuntutan konsekuensi dari tuntutan demokratisasi yang tentunya akan berpengaruh pada kegiatan pemerintahan di tingkat lokal (local government). Rakyat telah lama sekali menghendaki pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung untuk mewujudkan tingkat kehidupan masyarakat yang makin baik akan meningkatkan apresiasinya terhadap politik sehingga membuatnya lebih kritis dalam menyikapi setiap fenomena kenegaraan.

Pilkada selama ini dirasakan memberi ruang partipasi politik bagi rakyat. Apakah pilkada mampu menjadi titik persinggungan rakyat dan Negara sebagai manifestasi partisipasi politik rakyat, Partisipasi politik rakyat tentu tak lepas dari kondisi atau sistem politik yang sedang berproses. Sistem kepolitikan bangsa Indonesia hingga dewasa ini telah berkali-kali mengalami perubahan, mulai dari Orde Baru sampai pada Reformasi. Politik di era reformasi terhadap penguatan demokrasi sebagai harapan dari akhir transisi demokrasi, semakin dapat dirasakan oleh masyarakat melalui pelaksanaan Pemilu sejak tahun 2004 dan Pilkada tahun 2005 secara langsung.


(23)

Konsekuensi logis dari perubahan atmosfer politik tersebut melahirkan dinamika dan intensitas artikulasi politik yang makin tampak di tengah ranah kehidupan sosial politik, setidaknya masyarakat diterpa wacana dan partisipasi politik tidak hanya lima tahun sekali saat Pemilu saja, tapi juga oleh Pilkada baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Makna pilkada selain merupakan bagian dari penataan struktur kekuasaan makro agar lebih menjamin berfungsinya mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga politik dari tingkat pusat sampai daerah, masyarakat mengharapkan pula agar pilkada dapat menghasilkan kepala daerah yang akuntabel, berkualitas, diakui, dan peka terhadap kepentingan masyarakat.

Dalam konteks ini negara memberikan kesempatan kepada masyarakat daerah untuk menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan yang menyangkut harkat dan martabat rakyat daerah. Masyarakat daerah yang selama ini hanya sebagai penonton proses politik pemilihan yang dipilih oleh DPRD, kini masyarakat menjadi pelaku atau voter (pemilih) yang akan menentukan terpilihnya Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.

Sistem pilkada secara langsung lebih menjanjikan dibandingkan sistem yang telah berlaku sebelumnya. Pilkada langsung diyakini memiliki kapasitas yang memadai untuk memperluas partisipasi politik masyarakat, sehingga masyarakat daerah memiliki kesempatan untuk memilih secara bebas pemimpin daerahnya tanpa suatu tekanan, atau intimidasi, floating mass (massa mengambang), kekerasan politik, maupun penekanan jalur birokrasi. Pilkada merupakan momentum yang cukup tepat munculnya berbagai varian


(24)

preferensi pemilih yang menjadi faktor dominan dalam melakukan tindakan atau perilaku politiknya.

Fenomena dan keadaan politik dalam Pilkada ini salah satunya adalah adu strategi yang di lakukan oleh masing-masing kandidat. Setiap kandidat memiliki strategi khusus dan tersendiri untuk meraih simpati dan dukungan dari para pemilih. Adu strategi yang dimaksud disini adalah suatu persaingan yang dilakukan para kandidat melalui berbagai macam cara.

Penetapan strategi merupakan langkah krusial yang memerlukan pemenangan secara hati-hati dalam kampanye, sebab jika penetapan strategi salah atau keliru maka hasil yang diperoleh akan berakibat fatal, terutama kerugian dari segi waktu, materi dan tenaga. Selain itu para kandidat juga harus bisa membaca perilaku pemilih di suatu daerah tertentu untuk bisa meraih kemenangan di suatu tempat yang menjadi sasaran utama lokasi kemenangan.

Perilaku Politik seseorang bisa berbeda-beda, partai politik merupakan sarana bagi warga Negara untuk turut berpartisipasi dalam proses pengelolaan Negara dan menjalankan kebijakan-kebijakan negara. Perilaku pemilih dalam pilkada itu sangat penting, dikarenakan apabila pelakasanaan pilakada itu berjalan sukses maka tentu saja perilaku pemilih itu sukses juga. Perilaku politik dan partisipasi politik pemilih merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perilaku politik pemilih merupakan aspek penting dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan suatu pemilihan umum.


(25)

Seorang kandidat idealnya harus memenuhi standar yang diinginkan pemilih, artinya pemilih akan menentukan pilihannya didasarkan atas seberapa besar kontribusi dan partisipasi kandidat terhadap pemilih atau kelompok pemilih. Perilaku memilih dalam pemilu adalah respon psikologis dan emosional yang diwujudkan dalam bentuk tindakan politik mendukung suatu partai politik atau kandidat dengan cara mencoblos surat suara. Pemberian suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan untuk membawa aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Kepercayaan yang diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah tempat memberikan suara. Nilai yang di maksud di sini adalah preferensi yang dimiliki organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu. Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan. Keterpilihan seorang kandidat idealnya harus memenuhi standar yang diinginkan pemilih, artinya pemilih akan menentukan pilihannya didasarkan atas seberapa besar kontribusi dan partisipasi kandidat terhadap pemilih atau kelompok pemilih.

Seorang calon yang berkuasa, merupakan tugas dan kewajiban mereka untuk memuaskan para pemilih dengan menunjukkan suatu kinerja yang baik. Peluang yang dimiliki seorang incumbent merupakan suatu faktor tertentu, dilihat dari siapa sosok sang incumbent. Punishment vote terlihat atas penilaian seorang pemilih yang dapat mengalihkan pilihannya ke calon lain


(26)

atau memberikan suara penghukuman terhadap calon tersebut apabila calon tersebut tidak mampu untuk menjaga kinerja pada periode sebelumnya.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah diadakan di kabupaten Lampung Utara, salah satunya adalah Pemilihan calon Bupati dan Wakil Bupati yang di laksanakan pada 19 September 2013, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati bertujuan dapat membawa masyarakat Kabupaten Lampung Utara ke arah yang lebih demokratis.

Tabel 1 : Rekapitulasi daftar pemilih pada pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013

No Nama Kecamatan Jumlah

Desa Jumlah TPS Pemilih LakiLaki Pemilih Perempuan Jumlah

1 Abung Barat 14 52 7.082 6.966 14.048

2 Abung Kunang 7 24 3.446 3.372 6.818

3 Abung Pekurun 9 27 4.384 4.281 8.665

4 Abung Selatan 16 86 17.828 17.501 35.329

5 Abung Semuli 7 44 8.735 8.387 17.122

6 Abung Surakarta 9 55 10.217 10.125 20.342

7 Abung Tengah 11 38 6.133 5.939 12.072

8 Abung Timur 12 81 13.178 12.875 26.053

9 Abung Tinggi 8 31 6.254 6.207 12.461

10 Belambangan Pagar 7 38 6.438 6.299 12.737

11 Bukit kemuning 8 77 14.797 14.297 29.094

12 Bunga Mayang 11 65 12.000 11.098 23.098

13 Hulu Sungkai 10 30 5.242 5.267 10.509

14 Kotabumi Kota 13 115 20.414 21.212 41.626

15 Kotabumi Selatan 14 137 22.934 23.127 46.061

16 Kotabumi Utara 8 64 10.782 10.391 21.173

17 Muara Sungkai 11 30 5.330 5.199 10.529

18 Sungkai Barat 10 30 4.445 4.373 8.818

19 Sungkai Jaya 9 20 3.577 3.572 7.149

20 Sungkai Selatan 11 50 8.452 8.458 16.910

21 Sungkai Tengah 8 32 5.783 5.472 11.255

22 Sungkai Utara 15 67 12.411 11.944 24.355

23 Tanjung Raja 14 73 11.846 11.048 22.894

Total 247 1.266 221.708 217.410 439.118


(27)

Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten lampung Utara di ikuti oleh 4 pasangan calon Bupati dan wakil Bupati. Keempat calon pasangan tersebut adalah: Pasangan nomor urut 1 (Agung-Paryadi) diusung PKS, Hanura, PKB, PPP, dan PKPI; pasangan nomor urut 2 (Yusrizal - Yoyot) diusung Partai Demokrat tanpa koalisi; pasangan nomor urut 3 (Kesuma Dewangsa - Supeno) diusung PPPI berkoalisi dengan gabungan 20 partai nonparlemen, dan pasangan nomor urut 4 (Zainal Abidin - Anshori Djausal) diusung oleh PDI Perjuangan, Gerindra, PAN, PBR, PKPB, dan PBB serta didukung Partai Golkar.

Tabel 2 : Hasil perolehan suara pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Lampung Utara tahun 2013

No Nama Pasangan Calon Perolehan Suara

1 Agung Ilmu Mangkunegara - Paryadi 162.427 (49,19%)

2 Yusrizal - Yoyot Sukarno 34.778 (10,53%)

3 Kesuma Dewangsa - Supeno 5.812 (1,76%)

4 Zainal Abidin – Anshori Djausal 127.163 (38,51%)

(Sumber : KPUD Lampung Utara)

Berdasarkan perhitungan suara yang dilakukan Komisi PemilihanUmum Daerah (KPUD) Lampung Utara hari Senin 23 September 2013, menetapkan pasangan Agung Ilmu Mangkunegara-Paryadi sebagai pemenang pilbup 2013. Abdi meraih dukungan 49,19% (162.427 suara). Agung telah menyingkirkan tiga pasang yang menjadi rival politiknya di Pilkada. Zainal Abidin-Anshori Djausal 38,51% (127,163 suara), M. Yusrizal-Yoyot Sukarno 10,53% (34.778 suara), dan Kesuma Dewangsa-Supeno 1,76% (5.812 suara).


(28)

Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut kekalahan pasangan Zainal Abidin dan Anshori Djausal yang diluar dugaan, karena sangat jarang sekali ditemukan bahwa incumbent mengalami kekalahan. Incumbent pada umumnya memiliki basis massa yang kuat dan mempunyai jaringan politik yang luas, dan dari segi pemerintahan biasanya incumbent memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mempengaruhi staf-staf atau satuan kerja dibawahnya untuk mendukung kembali dalam pemilihan calon bupati yang kedua kalinya. Pada kenyataannya pasangan Zainal Abidin dan Anshori Djausal justru menuai kekalahan.

Masyarakat mempunyai penilaian yang valid terhadap incumbent atas apa yang telah diberikan kepada masyarakat selama menjabat. Ketidakpuasan masyarakat atas apa yang telah diberikan Zainal Abidin kepada masyarakat Lampung Utara membuat masyarakat menjatuhkan suara penghukuman (punishment vote).

Melihat probability hasil Pilkada selama ini, perbandingan kemenangan incumbent dan non incumbent berkisar 60:40 persen. Didukung fakta sebelumnya seperti yang terjadi dalam pilkada kota Jambi. Fenomena ini menurut Pengamat Politik Jambi, Jafar Ahmad dikarenakan salah satunya oleh faktor kinerja. Menurutnya, orang tidak puas dengan kinerja incumbent bukan mutlak karena kinerjanya buruk. Tapi tidak puas karena tidak memperoleh informasi dengan kinerja incumbent. Penyebab lainnya juga sikap apatisme pemilih terhadap incumbent. Apatisme ini karena tidak


(29)

berhasil atau gagal mengkomunikasikan dirinya sebagai orang baik dan perduli dengan masyarakat.

Selama menjabat calon incumbent tidak mampu mewujudkan janji-janji politik yang telah terlanjur diumbar ketika masa kampanye dulu, seharusnya janji-janji politik itu harus diakui pernah mampu memikat para pemilih. Namun setelah menjabat sering kali calon incumbent mengingkari janji yang menjadikan masyarakat berusaha mencari calon alternatif yang menurut mereka mampu mendengarkan keinginan masyarakat. Pendatang baru yang dipilih masyarakat karena karakteristik pemilih yang ingin mencoba hal yang baru, sosok figur calon juga menjadi pertimbangan dan visi misinya saat kampanye.

Pemilihan Kepala Daerah partai hampir dipastikan tidak memiliki kontribusi besar untuk sang calon, yang memiliki kontribusi besar itu sang calon sendiri. Kekalahan yang dialami incumbent pada pilkada di Jambi menunjukkan bahwa kekalahan incumbent mengindikasikan pemilih semakin rasional. Sikap apatisme pemilih dikarenakan calon yang ingkar janji, dan kinerja yang buruk merupakan tolak ukur penilaian masyarakat pemilih.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah faktor penyebab kekalahan pasangan Zainal Abidin (incumbent) dan Anshori Djausal dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara 2013.


(30)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka peneliti ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab kekalahan pasangan Zainal Abidin (incumbent) dan Anshori Djausal dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara 2013.

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, dari penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dalam bidang Akademik mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan dan menambah pengetahuan politik, khususnya yang berkaitan dengan kekalahan Incumbent

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi kandidat Incumbent pada umumnya agar dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap pencalonan kepala daerah.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Perilaku Pemilih

Keikutsertaan warga Negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan memubuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Perilaku memilih atau voting behavior dalam pemilu adalah respons psikologis dan emosional yang diwujudkan dalam bentuk tindakan politik mendukung suatu partai politik atau kandidat dengan cara mencoblos surat suara. Menurut Kristiadi (1996:76), perilaku pemilih adalah keterikatan seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan faktor sosiologis, faktor psikologis, dan faktor rasional.

1. Pendekatan Sosiologis (Mashab Columbia)

Mengenai mashab sosiologis, Marbawi (Lubang media group), seperti yang dikutip oleh Mahendra (2005:75), menyatakan bahwa: Latar belakang pilihan atas partai, calon dan isu, ditentukan oleh karakteristiksosial pemilih. Misalnya agama etnik atau kedaerahan. Seseorang akan memilih partai atau figur tertentu, karna ada kesamaan karakteristik sosial antara si pemilih dan karakteristik sosial figur atau partai.


(32)

Sedangkan menurut Adman Nursal (2004:55), mengungkapkan bahwa, Pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial seperti umur (tua, muda), jenis kelamin, agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Latar belakang pilihan atas partai atau calon, menurut model sosiologis dikembangkan dari asumsi bahwa perilaku pemilih ditentukan oleh karakteristik sosial pemilih.

2. Pendekatan Psikologis (Mashab Michigan)

Mengenai pendekatan psikologis, Mahendra (2005:76), mengungkapkan bahwa: Faktor-faktor sosiologis seperti kesamaan agama atau etnik tidak fungsional mempengaruhi keputusan pemilih, jika sejak awal belum terbentuk persepsi dan sikap pribadi si pemilih terhadap faktor-faktor sosial, maupun terhadap faktor sosial yang dilekatkan pada partai, atau calon tertentu. Harus sudah terbentuk dalam diri pemilih bahwa dirinya termasuk dalam satu golongan atau segmen sosial tertentu, sekaligus terbentuk persepsi dari diri yang bersangkutan bahwa partai atau figur tertentu juga diidentikkan dengan kelompok atau segmen sosial yang sama dengan diri mereka.

Menurut Adam, (1999:34)model ini, masyarakat dalam menentukan pilihannya dalam suatu proses pemilu lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sendiri. Model psikologis menggunakan


(33)

keterikatan individu terhadap partai”, sekalipun ia bukan anggota. Perasaan itu tumbuh sejak kecil dipengaruhi oleh orang tua atau lingkungan keluarga. Bagi orang yang tidak peduli dengan program partai, figur seorang pemimpin sangat menentukan.

Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku politiknya, yang semuanya itu merupakan akibat dari hasil proses sosialisasi yang panjang. Melalui proses sosialisasi inilah, akan berkembang suatu ikatan yang kuat dengan partai politik atau organisasi masyarakat lainnya. Ikatan seperti inilah yang disebut sebagai indentifikasi partai sebuah variabel inti untuk menjelaskan pemilih berdasarkan Mashab Michigan.

3. Pendekatan Ekonomi (Rasional)

Menurut Kristiadi (1996:76) mengungkapkan bahwa : teori voting behavior dengan menggunakan pendekatan ekonomi atau rasional menekankan bahwa pemberian suara ditentukan berdasarkan perhitungan untung rugi atau rasional berfikir pemilih.

Pendekatan rasional berkaitan dengan pola perilaku pemilih masyarakat, yakni orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi dan politik tertentu yang kontekstuan dengan pemilu bersangkutan terutama peristiwa dramatis sementara itu pendekatan rasional terhadap kandidat bisa didasarkan pada kedudukan informasi, prestasi dan popularitas pribadi bersangkutan dalam berbagai bidang kehidupan seperti oraganisasi, kesenian, olahraga dan politik. Pendekatan rasional mengantarkan


(34)

pada kesimpulan bahwa pemilih benar-benar rasional, para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap tawaran partai.

Berdasarkan tindakan komunikasi, Nimmo dalam Adman Nursal (2004:66) menggolongkan pemilih ini sebagai pemberi suara yang rasional. Pemilih rasional itu memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan mendapat informasi yang cukup, tindakan mereka bukanlah bukanlan faktor kebetulan atau kebiasaan, bukan untuk diri sendiri melainkan untuk kepentingan umum menurut pikiran dan pertimbangan logis.

Perilaku pemilih dapat disimpulkan bahwa memilih atau tidaknya seseorang dari 3 pendekatan diatas dikarenakan beberapa faktor yang saling berkaitan yaitu faktor sosiologis, faktor psikologis, faktor rasional yang satu sama lain saling melengkapi. Perilaku pemilih seseorang dapat dipengaruhi oleh sikap seseorang yang terbentuk dari sosialisasi panjang yang terdiri dari latar belakang keluarga, ruang lingkup pekerjaan, agama atau kegiatan-kegiatan dalam kelompok formal dan informal. Sikap seseorang tersebut akan memberikan pemahaman terhadap isu kebijakan dan kandidat.

B.Konsep Reward Votes dan Punishment Votes

Kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan sangat bergantung pada aparatur negara yang menjalankannya baik itu dalam lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Secara historis, partai politik dibentuk sebagai sarana penyaluran partisipasi politik warganegara karena melalui partai politik warga negara dapat menyalurkan segala bentuk aspirasi politik mereka


(35)

sebagai wujud dari prinsip kedaulatan rakyat. Untuk melakukan aktivitas-aktivitasnya sehari-hari partai politik membentuk semacam birokrasi yang dipimpin oleh kaum elite partai.

Hal ini guna menjaga hubungan dengan masyarakat ditingkat basis, calon kepala daerah harus membangun komunikasi politik yang baik dengan para anggota, kader, simpatisan maupun publik secara luas. Komunikasi politik biasanya dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari rapat, seminar, konvensi, penyampaian informasi melalui media massa secara berkala hingga kampanye menjelang saat-saat pemilihan. Pesan yang disampaikan calon kepada publik pada umumnya menyangkut garis ideologi, kebijakan dan program yang akan dilakukan calon kepala daerah. Publik merespon komunikasi partai dengan cara berpartisipasi sebagai anggota, kader atau sekedar memberikan suara pada saat pemilihan umum.

Selama berabad-abad partai politik telah memainkan peran sebagai sarana partisipasi politik warga, terutama di negara-negara demokratis. Partai politik adalah juga sarana yang paling efektif dalam memberikan identitas ideologis kepada warganegara. Banyak di berbagai negara, pemimpin secara efektif mengintegrasikan warga ke dalam suatu wadah ideologis menggatikan loyalitas primordial seperti etnis, ras, agama, kedaerahan, dan kekerabatan. Di negara-negara yang pluralistik, pemimpin relatif berhasil mengintegrasikan rakyat kedalam suatu negara-bangsa (nation-state) guna memperkuat eksistensi dan kesatuan negara tersebut.


(36)

Perkembangan selanjutnya sejumlah pengamat menyatakan bahwa citra dan popularitas calon di hadapan publik cenderung semakin pudar. Di banyak negara maju dan berkembang, berbagai organisasi politik yang bergaya gerakan mulai menarik minat warganegara untuk melakukan partisipasi politik dalam bentuk advokasi, kampanye nilai atau norma tertentu (perlindungan hak asasi manusia, pelestarian lingkungan hidup, kerjasama antar agama dan sebagainya).

Berorganisasi misalnya, pemberlakuan metode Reward And Punishment

merupakan hal yang penting untuk membentuk pribadi dari warga organisasi tersebut. Jika Punishment menghasilkan efek jera, maka Reward akan menghasilkan efek sebaliknya yaitu ketauladanan, untuk membuat Reward dan Punishment dapat berjalan dengan baik diperlukan nya konsistensi yang dapat menjamin bahwa reward yang diberikan haruslah bersifat konkrit (bermanfaat), dan Punishment yang diberikan bersifat keras dan tidak pandang bulu.

Secara teori, penerapan reward dan punishment secara konsekuen dapat membawa pengaruh positif, antara lain:

- Mekanisme dan sistem kerja di suatu organisai menjadi lebih baik, karena adanya tolak ukur kinerja yang jelas.

- Kinerja individu dalam suatu organisasi semakin meningkat, karena adanya sistem pengawasan yang obyektif dan tepat sasaran.

- Adaya kepastian indikator kinerja yang menjadi ukuran kuantitatif maupun kualitatif tingkat pencapaian kinerja para individu organisasi.


(37)

1. Reward Votes (Suara Penghargaan)

Berbagai definisi reward dikemukakan oleh para ahli, seperti Nugroho (2006:5) mendefinisikan bahwa reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan yang bertujuan agar seseorang menjadi lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja yang dipakai. Sedangkan

menurut Simamora (2004:514) reward adalah insentif yang mengaitkan

bayaran atas dasar untuk dapat meningkatkan produktivitas guna mencapai keunggulan yang kompetetif. Dengan adanya pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa pemberian reward dimaksudkan sebagai dorongan agar seseorang mau bekerja dengan lebih baik sehingga dapat meningkatkan kinerja.

Ada tiga fungsi atau tujuan penting dari penghargaan yang berperan besar bagi pembentukan tingkah laku yang diharapkan:

1. Memperkuat motivasi untuk memacu diri agar mencapai prestasi

2. Memberikan tanda bagi seseorang yang memiliki kemampuan lebih.

3. Bersifat Universal

2. Punishment Votes (Suara Penghukuman)

Dalam menjalankan organisasi diperlukan sebuah aturan dan hukum yang berfungsi sebagai alat pengendali agar kinerja pada organisasi tersebut dapat berjalan dengan baik. Jika aturan dan hukum dalam suatu organisasi tidak berjalan baik maka akan terjadi konflik kepentingan baik antar individu maupun antar organisasi. Ware (1996 : 70) menyatakan bahwa insentif yang diberikan partai politik kepada para anggota, kader maupun simpatisannya,


(38)

bersifat “purposive” yakni menyangkut keyakinan seseorang untuk bergabung karena ideologi, platform maupun program yang dijalankan partai tersebut

memang sesuai dengan hati nuraninya. “Purposive incentives” yang

ditawarkan partai politik sangat bervariasi sesuai tingkat perkembangannya partai itu sendiri.

Bagi partai-partai “modern”, Purposive incentives yang paling atraktif bagi para pendukungnya adalah basis ideologi yang jelas serta berbagai kebijakan sosial, politik dan ekonomi yang mencerminkan dasar ideologi yang dianutnya. Sementara itu, bagi partai-partai yang bernuansa “tradisional”, Purposive incentives yang mereka andalkan untuk mengumpulkan pendukung adalah loyalitas primordial seperti etnis, ras dan agama. Di Indonesia, masih banyak partai politik yang mengandalkan loyalitas primordial ini sebagai Purposive incentives.

Faktor yang dapat mengubah pendirian seseorang terhadap Purposive

incentives yang ditawarkan partai sesungguhnya lebih besar dari sekedar ketidakpuasan terhadap unsur kepemimpinan tertentu. Konteks ini menjelaskan, sikap kritis para pemilih dalam menilai kinerja partai (yang diukur dari kinerja figur-figur penting mereka pada jabatan kenegaraan) tampaknya lebih mampu mendorong pemilih untuk memutuskan kemana suara akan diberikan. Negara-negara demokrasi yang sudah mapan, ketidakpuasan terhadap kinerja partai sering kali direflesikan kedalam apa yang lazim disebut


(39)

beramai-ramai memberikan suaranya kepada partai lain untuk menghukum partai tertentu yang dianggap tidak memiliki kinerja yang baik.

Menurut Matteson (2006:226) punishment didefinisikan sebagai tindakan menyajikan konsekuensi yang tidak menyenangkan atau diinginkan sebagai hasil dari dilakukannya perilaku tertentu.

Ada tiga fungsi atau tujuan penting dari hukuman yang berperan besar bagi pembentukan tingkah laku yang diharapkan:

1. Membatasi perilaku. Hukuman menghalangi terjadinya pengulangan

tingkah laku yang tidak diharapkan. 2. Bersifat mendidik.

3. Memperkuat motivasi untuk menghindarkan diri dari tingkah laku yang tidak diharapkan.

Menurut pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, dalam pemilihan umum yang demokratis, berhasil atau tidaknya calon kepala daerah mengisi jabatan-jabatan politik tertentu sangat ditentukan oleh suara kaum pemilih. Dengan demikian, pemilih berhak untuk mendapat jaminan kinerja calon kepala daerah melalui serangkaian rencana kebijakan dan program yang didasarkan pada basis ideologi yang jelas. Apabila calon kepala daerah tertentu mampu memberikan jaminan kepada publik bahwa jika terpilih sebagai pemenang pemilihan umum, mereka akan menjalankan sejumlah kebijakan, program maupun rencana tindakan (action plan) yang telah dirumuskan didalam rencana kerja mereka maka calon kepala daerah tersebut bisa mendapatkan suara penghargaan (reward votes).


(40)

Seorang calon yang berkuasa, adalah tugas dan kewajiban mereka untuk memuaskan para pemilih dengan menunjukkan kinerja yang baik. Ketidakmampuan untuk menjaga kinerja akan berakibat fatal karena pemilih akan beramai-ramai untuk melakukan hukuman dengan cara memberikan suaranya kepada calon kepala daerah lain atau mereka akan memberikan calon kepala daerah tersebut suara penghukuman (punishment votes). Negara-negara maju, indikator ekonomi (pertumbuhan, tingkat inflasi, angka pengangguran, dan sebagainya) dan kesejahteraan sosial (baik-buruknya jaminan kesehatan, biaya pendidikan, tunjangan sosial, dan lain-lain) seringkali dijadikan acuan untuk mengukur kinerja calon yang berkuasa.

Berkenaan dengan 3 pendekatan dalam perilaku pemilih peneliti memfokuskan pada perilaku pemilih dengan pendekatan rasional, yang berkaitan dengan punishment votes (suara penghukuman). Dijelaskan bahwa perilaku pemilih rasional menekankan bahwa pemberian suara ditentukan berdasarkan perhitungan untung rugi atau rasional berfikir pemilih, artinya perilaku pemilih rasional mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemilih benar-benar melakukan penilaian yang valid terhadap calon.

Kaitannya dengan punishment votes (suara penghukuman) yaitu penilaian seorang pemilih dapat mengalihkan pilihannya ke calon lain atau memberikan suara penghukuman terhadap calon tersebut apabila calon tersebut tidak mampu untuk menjaga kinerja pada periode sebelumnya, yang dinilai dari 3 aspek yaitu melalui serangkaian rencana kebijakan, program, proses pelaksaan kinerja berdasarkan basis ideologi yang jelas. Seperti yang telah dikemukakan


(41)

oleh Bob Sugeng Hadiwinata dalam jurnal Pragmatisme rasional Pemilih Kota Bandung dalam Pemilihan Umum 2004 (2004:270)

C. Tinjauan Tentang Kinerja

1. Pengertian Kinerja

Menurut Wibowo (2010:7), kinerja berasal dari pengertian performance, yaitu sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Selain itu, menurut Amstrong dan Baron dalam Wibowo (2010:7), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi.

Menurut Mahsun (2006:25), kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok individu. Kinerja bisa diketahui hanya jika individu atau kelompok individu mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai.

Menurut Tika (2006:212), kinerja merupakan hasil-hasil fungsi

pekerjaan/kegiatan sesorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode tertentu. Fungsi kegiatan atau pekerjaan yang disini adalah pelaksanaan


(42)

hasil pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok yang menjadi wewenang dan tanggungjawabnya dalam suatu organisasi.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam kinerja menurut Tika (2006:12) terdiri dari:

1. Hasil-hasil fungsi pekerjaan;

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan/pegawai, seperti: motivasi, kecakapan,presepsi peranan, dan sebagainya;

3. Pencapaian tujuan organisasi ; 4. Periode waktu tertentu.

Menurut Pasalong (2010:175), konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu kinerja pegawai (perindividu) dan kinerja organisasi. Kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi. Sedangkan kinerja organisasi adalah totalitas hasil kerja yang dicapai suatu organisasi. Kinerja pegawai dan kinerja oraganisasi keterkaitannya sangat erat. Tercapainya tujuan organisasi tidak bisa terlepas dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi yang digerakkan atau dijalankan pegawai yang berperan aktif sebagai pelaku dalam upaya mencapai tujuan organisasi tersebut.

Berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil kerja/tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam rangka mencapai tujuan tertentu dan dalam periode tertentu.


(43)

2. Pengertian Kinerja Organisasi Publik

Menurut Mahsun (2006:1), organisasi sering dipahami sebagai sekelompok orang yang berkumpul dan bekerjasama dengan cara yang telah terstruktur untuk mencapai tujuan atau sejumlah sasaran tertentu yang telah ditetapkan bersama. Sedangakan menurut Mahmudi (2010:33) oraganisasi publik merupakan organisaisi birokrasi pemerintahan yang menerapakan kewenangan dan kekuasaan yang legal (formal) dengan adanya kualitas keahlian dalam pola struktur yang hirarkris.

Pasalong (2010:175), kinerja organisasi adalah sebagai totalitas hasil kerja yang dicapai suatu organisasi, sedangkan menurut Wibawa dalam Pasalong (2010:176), mengemukakan bahwa kinerja organiasasi adalah sebagai efektifitas organisasi secara menyeluruh untuk keluhan yang ditetapkan dari kelompok yang berkenaan melalui usaha-usaha yang sistemik dan meningkatkan kemampuan organisasi secara terus menerus untuk mencapai kebutuhannya secara efektif.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa, kinerja adalah totalitas hasil kerja yang dicapai suatu individu atau organisasi sebagai efektifitas secara menyeluruh berkenaan melalui usaha-usaha yang sistemik dan meningkatkan kemampuan secara terus menerus untuk mencapai tujuan.

3. Pengukuran Kinerja

Kinerja organisasi publik butuh untuk diukur agar dapat dinilai kualitas layanan publik yang mereka berikan. Menurut Mahmudi (2010:12),


(44)

pengukuran kinerja merupakan alat untuk menilai kesuksesan suatu organisasi. Dalam konteks organisasi sektor publik, kesuksesan organisasi itu akan digunakan untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan publik. Masyarakat akan menilai kesuksesan organisasi sektor publik melalui kemampuan organisasi dalam memberikan pelayanan publik yang relatif murah dan berkualitas.

Selain itu Mahsun (2006:26) mengungkapkan bahwa, pengukuran kinerja merupakan suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi serta meningkatkan pengambilan

keputusan dan akuntabilitas. Dalam bukunya Mahsun (2006:34)

mengungapkan bahwa pengukuran kinerja bukanlah tujuan akhir melainkan merupakan alat agar dihasilkan manajemen yang lebih efesien dan terjadi peningkatan kinerja. Hasil dari pengukuran kinerja akan memberi tahu kita apa yang telah terjadi, bukan mengapa hal itu terjadi atau apa yang harus dilakukan.

Menurut Wibowo (2010:230) Pengukuran kinerja yang tepat dapat dilakukan dengan cara:

1. Memastikan bahwa persyaratan yang diinginkan pelanggan telah terpenuhi; 2. Mengusahakan standar kinerja untuk menciptakan perbandingan;

3. Mengusahakan jarak bagi orang untuk memonitor tingkat kinerja;

4. Menetapkan arti penting masalah kualitas dan menentukan apa yang perlu prioritas perhatian;


(45)

5. Menghindari konsekuensi dari rendahnya kualitas;

6. Mempertimbangkan pengguanaan sumber daya;

7. Mengusahakan umpan balik untuk mendorong usaha perbaikan.

Sedarmayanti (2007:195) menjelaskan bahwa, pengukuran kinerja digunakan untuk penilaian atas keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan atau program. Kebijakan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi organisasi. Jadi sudah merupakan suatu hal yang mendesak untuk menciptakan sistem yang mampu untuk mengukur kinerja dan keberhasilan organisasi. Untuk dapat menjawab tingkat keberhasilan organisasi, maka seluruh aktifitas organisasi tidak semata-mata kepada input dari program organisasi, tetapi lebih ditekankan kepada output, proses, manfaat, dan dampak program organisasi.

Terlepas dari besar, jenis, sektor atau spesialisnya, menurut Sedarmayanti (2007:195) setiap organisasi biasanya cenderung untuk tertarik pada pengukuran kinerja aspek berikut ini:

1. Aspek finansial

Meliputi anggaran suatu organisasi, karena aspek finansial dapat dianalogikan sebagai aliran darah dalam tubuh manusia, aspek finansial merupakan aspek yang penting yang perlu diperhatian dalam pengukuran kinerja.

2. Kepuasan pelanggan

Dalam globalisasi perdaganagan, peran dan posisi pelanggan sangat krusial dalam penentuan strategi perusahaan. Dengan semakin banyaknya tuntutan


(46)

masyarakat akan pelanggan yang berkualitas, maka organisasi dituntut untuk terus menerus memberi pelayanan yang berkualitas. Untuk itu, pengukuran kinerja perlu didesain sehingga pimpinan dapat memperoleh informasi relevan atas tingkat kepuasan konsumen.

3. Operasi bisnis internal

Informasi operasional bisnis internal diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan operasi sudah seirama untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi seperti tercantum dalam rencana strategis. Informasi operasional bisnis internal diperlukan untuk melakukan perbaikan terus menerus atau efesien dan efektifitas operasional organisasi.

4. Kepuasan karyawan

Karyawan merupakan aset yang harus dikelola dengan baik, apalagi dalam organisasi yang banyak melakukan inovasi, peran strategis karyawan sangat nyata. Apabila karyawan tidak terkelola dengan baik, maka kehancuran organisasi sulit dicegah.

5. Kepuasan komunitas dan shareholder/stakeholder

Kegiatan instansi pemerintah berinteraksi dengan berbagai pihak yang menruh kepentingan terhadap keberadannya. Untuk itu informasi dari pengukuran kinerja perlu didesain untuk mengakomodasi kepuasan dari para stakeholder.


(47)

6. Waktu

Ukuran waktu merupakan variabel yang perlu diperhatikan dalam desain pengukuran kinerja. Kita sering membutuhkan informasi untuk mengambil keputusan, namun informasi tersebut lambat diterima, terkadang sudah tidak relevan/kadaluarsa.

Menurut Wibowo (2010:246) ukuran kinerja dibagi menjadi tiga ukuran yaitu: 1. Ukuran individual

Ukuran kinerja bagi invidu berhubungan dengan akuntabilitas dalam kriteria kuantitas, kualitas, produktivitas, ketepatan waktu, dan efektifitas biaya.

2. Ukuran Tim

Ukuran kinerja tim dapat dihubungkan dengan output tim, proses tim, hubungan tim dengan pelanggan, standar kualitas, kecepatan responden atau waktu pengiriman, hasil keuanagan dan pengawasan biaya.

3. Ukuran Organisasional

Ukuran organisasi berhubungan dengan tingkat keberhasilan organiasasi dalam mencapai tujuannya. Setiap organisasi berkewajiban meningkatkan kualitas sumber daya manusianya baik berupa peningkatan pengetahuan, keterampilan, maupun pengembangan sifat dan prilaku produktifnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan organisasi.

Sedarmayanti (2009:51), menjelaskan bahwa terdapat lima aspek utama dalam penilaian kinerja yaitu:


(48)

1. Kualitas Kerja (quality of work)

Merupakuan jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan. Untuk menentukan suatu kualitas kerja karyawan maka dapat diukur dengan hasil yang diperoleh, kesesuaian hasil kerja dengan tujuan organisasi, dan manfaat hasil kerja tersebut.

2. Ketepatan waktu (Promptness)

Ketepatan waktu sangat di utamakan dalam menjalankan usaha karena ini menyangkut kepercayaan konsumen. Ketepatan waktu dapat diukur dengan penataan rencana kegiatan, ketepatan rencana kerja dengan hasil kerja, dan ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas.

3. Inisiatif (inisiative)

Inisiatif memiliki peran dalam menentukan aspek kinerja seseorang karyawan, dan karyawan yang memiliki inisiatif yang tinggi sangat dibutuhkan dan masuk sebagai aset sumber daya manusia perusahaan yang berharga. Inisiatif karyawan adalah memiliki ide atau gagasan dalam berorganisasi, inisiatif yang dilakukan karyawan untuk menyelesaikan masalah kerja yang dihadapi.

4. Kemampuan (capability)

Perusahaan dalam melakukan penerimaan karyawan tentunya mendalami terlebih dahulu hal lain yang dimiliki oleh karyawan seperti keterampilan, karena hal tersebut menunjang perusahaan dengan dibantu kemampuan karyawan. Keterampilan karyawan tersebut dapat diukur dengan kemampuan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki perusahaan seperti


(49)

menggunakan alat, membuat laporan, bernegoisasi dengan konsumen dan lain-lain.

5. Komunikasi (communication)

Komunikasi bertujuan memperlancar kerja dan juga hubungan antar individu, komunikasi yang baik akan membuat karyawan merasa bahwa orang-orang dalam perusahaan adalah keluarganya sehingga membuatnya semakin nyaman. Dalam penilaian kerja, indikator komunikasi karyawan adalah komunikasi kepada pemimpin, sesama rekan kerja dan kerjasama dalam pelaksanaan tugas.

Menurut Mahmudi (2010:14), pengukuran kinerja merupakan bagian penting dari proses pengendalian manajemen, baik organisasi publik maupun swasta. Namun karena sifat dan karakteristik organisasi sektor publik berbeda dengan sektor swasta, penekanan dan orientasi pengukuran kinerjanya pun terdapat perbedaan.

Tujuan dilakukannya penilaian kinerja disektor publik menurut Mahmudi (2010:14) adalah:

1. Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi;

2. Menyediakan sarana pembelajaran pegawai;

3. Memperbaikai kinerja periode berikutnya;

4. Memberikan pertimbangan dan sistematik dalam pembuatan keputusan

pemberian reward dan punishment;

5. Memotivasi pegawai;


(50)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu cara untuk mengetahui atau menilai sejauah mana tujuan, sasaran atau program dari suatu organisasi bisa tercapai. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan suatu kinerja oragnisasi.

4. Indikator Kinerja

Menurut Mahmudi (2010:155), indikator kinerja merupakan sarana atau alat (means) untuk mengukur hasil suatu aktifitas, kegiatan, atau proses, dan bukan hasil atau tujuan itu sendiri (ends). Peran indikator kinerja bagi organisasi sektor publik adalah memberikan tanda atau rambu-rambu bagi manajer atau pihak luar untuk menilai kinerja organisasi.

Secara umum, indikator kinerja memiliki peran antara lain:

a. Membantu memperbaiki praktik manajemen;

b. Meningkatkan akuntabilitas manajemen dengan memberikan

tanggungjawab secara eksplisit dan pemberian bukti atas suatu keberhasilan atau kegagalan;

c. Memberikan dasar untuk melakukan perencanaan kebijakan dan

pengendalian;

d. Memberikan informasi yang esensial kepada menajemen sehingga

memungkinkan bagi manajemen untuk melakukan pengendalian kinerja disemua level organisasi;


(51)

Menurut Sedarmayanti (2007:198), indikator kinerja adalah ukuran kuntitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari oraganisasi/unit kerja yang bersangkutan menunjukkan kemampuan dalam rangka dan/atau menuju tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Sementara itu, menurut Mahsun (2006:71), indikator kinerja (performance indicator) sering disamakan dengan ukuran kinerja (performance mensure). Namun sebenarnya, meskipun keduanya merupakan kriteria pengkuran kinerja, terdapat perbedaan makna. Indikator kinerja mengacu pada penilaia kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi kinerja sehingga bentuknya cenderung kualitatif. Sedangkan ukuran kinerja adalah kriteria kinerja yang mengacu pada penilaian kinerja secara langsung, sehingga bentuknya lebih bersifat kuantitatif.

Beberapa indikator yang perlu digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik menurut Dwiyanto dalam Pasalong (2010:178), antara lain yaitu: 1. Produktivitas

Produktifitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga mengukur efektifitas pelayanan. Produktifitas pada umumnya dipahami sebagai ratio antara input dan output. Konsep produktifitas dirasa terlalu sempit dan

kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan

satu ukuran produkvifitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan salah satu


(52)

indikator kinerja yang penting. Sedangkan yang dimaksud produktivitas menurut Dewan Produktivitas Nasional, adalah suatu sikap mental yang selalu berusaha dan mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini.

2. Kualitas Layanan

Kualitas layanan cenderung menjadi penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan publik terhadap kualitas. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja birokrasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah. Informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap terhadap kualitas pelayanan sering kali dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik. Kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja birokrasi publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat dapat menjadi indikator untuk menilai kinerja birokrasi publik.

3. Responsivitas

Responsivitas yaitu kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan

masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan

mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan


(53)

dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimaksudkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan birokrasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Organisasi yang memiliki responsivitas yang rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang tidak baik.

4. Responsibilitas

Responsibilitas yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan birokrasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar dengan kebijakan birokrasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

5. Akuntabilitas

Akuntabilitas menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu memprioritaskan kepentingan publik. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik itu konsisten dengan kehendak publik. Kinerja birokrasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh birokrasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dilihat dari


(54)

ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Suatu kegiatan birokrasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.

Menurut Pasalong (2010:180), beberapa indikator kinerja yang dapat dijadikan pedoman dalam menilai kinerja birokrasi publik, antara lain yaitu:

1. Efisiensi

Efisiensi yaitu menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapat laba, memanfaatkan fator-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis.

2. Efektifitas

Efektifitas yaitu apakah tujuan yang didirikan pelayanan pubik tersebut tercapai. Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan.

3. Keadilan

Keadilan yaitu mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan.


(55)

Daya tanggap yaitu berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan masyarakat yang mendesak.

5. Faktor–faktor yang mempengaruhi kinerja

Kinerja merupakan suatu kontrak multidimensional yang mencakup banayak faktor yang mempengaruhinya. Menurut Mahmudi (2010:20) faktor –faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain:

1. Faktor personal/individual

Faktor ini meliputi pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu;

2. Faktor kepemimpinan

Dalam faktor ini meliputi kualitas dalam memberikan doronga, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manajer atau team leader

3. Faktor tim

Faktor ini meliputi kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim;

4. Faktor sistem

Meliputi sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi;


(56)

5. Faktor konstektual (situasioanal)

Pada faktor ini meliputi tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal.

Pasalong (2010:186), mengemukakan pada faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja suatu oraganisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kemampuan

Pada dasarnya kemampuan dalam Pasalong (2010:186) adalah suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan tersebut dapat dilihat dari dua segi, antara lain yaitu:

a. Kemampuan intelektual, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk

melakukan kegiatan mental

b. Kemampuan fisik, yaitu kemampuan untuk diperlukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilam.

Kemampuan dalam suatu biadang hanya dapat dimiliki oleh seseorang yang memiliki bakat dan kecerdasan (intelegensi) yang mencukupi. Sedangkan

bakat biasanya dikembangkan dengan pemberian kesempatan

pengembangan pengetahuan melalui tiga hal yaitu pendidikan, pelatihan, dan pengalaman kerja.

2. Kemauan

Kemauan atau motivasi menurut Pasolong (2010:186) adalah kesedian untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi.


(57)

Kemauan atau memotivasi kerja seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

a. Pengaruh lingkungan fisik, yaitu setiap pegawai menghendaki

lingkungan fisik yang baik untuk bekerja, lampu yang terang, ventilasi udara yang nyaman, sejuk, bebas dari gangguan suara berisik dan sebaiknya ada musik.

b. Pengaruh lingkungan sosial, yaitu sebagai makhluk sosial dalam melaksanakan pekerjaan tidak semata-mata hanya mengejar penghasilan saja, tetapi juga mengaharapkan penghargaan oleh pegawai lain, pegawai lebih berbahagia apabila menerima dan membantu pegawai lain.

3. Energi

Energi menurut Pasalong (2010:186) adalah pemercik api yang menyalakan jiwa. Tanpa adanya energi psikis dan fisik yang mencukupi, maka perbuatan kretif pegawai tersebut terhamabat.

4. Teknologi

Teknologi dapat dikatakan sebagai “tindakan yang dikerjakan oleh individu atau suatu objek dengan atau tanpa bantuan alat mekaniakal, untuk membuat beberapa perubahan terhadap suatu objek. Teknologi menurut Pasalong

(2010:186-189), mengatakan bahwa teknologi adalah penerapan


(58)

5. Kompensasi

Kompensasi adalah sesuatu yang diterima oleh pegawai sebagai balas jasa kinerja dan bermanfaat baginya.

6. Kejelasan tujuan

Kejelasan tujuan merupakan salah satu faktor penentu dalam pencapaian kinerja, oleh karena itu pegawai tidak mengetahui dengan jelas tujuan pekerjaan yang hendak dicapai, maka tujuan yang tercapai tidak efisien dan atau kurang efektif.

7. Keamanan

Keamanan pekerjaan menurut Pasalong (2010:186) adalah sebuah kebutuhan manusia yang fundamental, karen apada umumnya orang menyatakan lebih penting keamanan pekerjaan dari pada gaji atau kenaikan pangkat.

Tangkilisan (2007:180), mengemukakan bahwa kinerja suatu organisasi birokrsi dimasa depan dipengaruhi oleh faktor-faktor antar lain:

a. Struktur organisasi, sebagi hubungan internasional yang berkaitan dengan fungsi menjalankan aktifitas organisasi.

b. Kebijakan peneglolan, berupa visi dan misi organisasi.

c. Sumber daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas karyawan untuk bekerja dan berkarya secara optimal.

d. Sistem informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan data


(59)

e. Sarana dan prasarana yang dimiliki, yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan oraganisasi.

Tangkilisan (2007:181), menjelaskan bahwa kinerja suatu organisasi suatu oraganisasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal, meliputi:

1. Faktor eksternal yang terdiri dari:

a. Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan kekuatan negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban yang akan mempengaruhi ketenangan organisasi berkarya secara maksimal.

b. Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang

berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang besar.

c. Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang ditengah masyarakat yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi.

2. Faktor internal yang terdiri dari:

a. Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin diproduksi oleh suatu organisasi.

b. Struktur organisasi, sebagai hasil disain antara fungsi yang akan dilaksanakan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada.


(60)

c. Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengelola anggota organisasi sebagai penggerak jalannya organisasi secara keseluruhan.

d. Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.

D.Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Penyelenggaraan pilkada dan seluruh elemen yang erat kaitannya terhadap momentum Pilkada seperti KPUD, Panwaslu, Papol, dan lain sebagainya, tidak hanya memposisikan masyarakat menjadi penonton utama dalam momentum Pilkada. Tetapi proaktif memberikan pentingnya voter education & politic bagi masyarakat yang menekankan pada ranah kesadaran kritis, kesadaran berpolitik rakyat dan lebih mendasar yakni pentingnya partisipasi. Pilkada langsung dapat disebut sebagai praktik politik demokratis apabila memenuhi beberapa prinsip, yakni menggunakan azas-azas yang berlaku dalam rekruitmen politik yang terbuka, seperti pemilu legislatif dan pemilihan Presiden dan wakil Presiden, yakni azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

1. Pilkada

Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, Pilkada langsung menjadi pilar yang memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Terlaksananya Pilkada langsung menunjukkan adanya peningkatan demokrasi karena rakyat secara individu dan kelompok terlibat dalam proses melahirkan pemerintah atau pejabat negara. Pilkada secara langsung merupakan disain kelembagaan untuk mempercepat proses pematangan demokrasi di daerah.


(61)

Kehidupan demokrasi di tingkat lokal menjadi lahan praktek bagi mewujudkan semangat multikulturalisme yang sangat dibutuhkan bagi terwujutnya harmonisasi dalam etnis pada pemerintahan demokratis.

Pilkada merupakan salah satu media pembelajaran demokrasi bagi masyarakat daerah dan sekaligus untuk terwujudnya hak-hak esensial individu seperti kesamaan hak politik dan kesempatan untuk menempatkan posisi individu dalam pemerintahan daerah. Pilkada telah menuntun pemimpin untuk secara konsisten menjalin hubungan dengan konstituen yang salah satunya diwujudkan melalui optimalisasi anggaran daerah bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Ada beberapa keunggulan pilkada dengan model demokratis secara langsung menurut Firmanzah (2008:160), Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas, sebagaimana diterapkan di Indonesia sejak 2004 melalui Pilpres I dan Pilkada 2005. Pertama, melibatkan partisipasi masyarakat konstituen secara luas, sehingga dapat akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuatterhadap arena dan aktor yang terlibat dalam proses pilkada. Kedua, terjadinya kontrak sosial antara kandidat, partai politik dan konstituen untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah lokal.

Ketiga, memberi ruang dan pilihan terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang hebat (memiliki kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dan legitimate di mata masyarakat. Mengingat besarnya manfaat pilkada langsung bagi pengembangan demokrasi, partisipasi publik dan percepatan mencapai kesejahteraan bagi masyarakat di tingkat lokal.


(62)

2. Landasan Hukum Pilkada

Indonesia pertama kali melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil-wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Pilkada merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat, awal bulan Juni 2005 telah diberlakukannya Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia:

1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.

2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.

Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal initelah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran


(63)

kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.

4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.

5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.

E. Kerangka Pikir

Pemilihan umum kepala daerah merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945. Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah yang merupakan perwujudan dari sistem demokrasi yang dianut Indonesia dengan asas


(64)

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pada hari pelaksanaan pemilihan agar pemilih menjatuhkan pilihan politiknya, maka dibutuhkan suatu strategi.

Dalam suatu pilkada langsung masyarakat dihadapkan kepada pilihan-pilihan calon pemimpin yang disukainya, dengan demikian kompetensi diantara masing-masing calon pemimpin sangat kuat terjadi di pilkada. Selanjutnya upaya-upaya untuk memenangkan kompetisi tersebut menjadi hal yang sangat signifikan dalam penentuan kemenangan bagi kandidat yang bertarung dalam arena politik tersebut.

Perilaku pemilih mempunyai peran yang penting dalam suatu pemilihan umum. Pemilih yang rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup, tindakan mereka bukanlah faktor kebetulan, bukan untuk diri sendiri melainkan untuk kepentingan umum menurut pikiran dan pertimbangan logis. Perilaku pemilih yang rasional menekankan bahwa pemberian suara berdasarkan perhitungan untung rugi atau rasional berfikir pemilih, artinya perilaku pemilih rasional mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemilih benar-benar melakukan penilaian yang valid.

Perilaku pemilih erat kaitannya dengan punishment vote (suara penghukuman) artinya penilaian seorang pemilih dapat mengalihkan pilihannya ke calon lain atau memberikan suara penghukuman terhadap calon tersebut apabila calon tersebut tidak mampu untuk menjaga kinerja pada periode sebelumnya.


(65)

Berhasil atau tidaknya calon kepala daerah mengisi jabatan-jabatan politik tertentukan ditentukan oleh suara kaum pemilih. Artinya pemilih berhak untuk mendapatkan jaminan kinerja seorang calon kepala daerah melalui serangkaian kebijakan dan program yang didasarkan pada basis ideologi yang jelas. Ketidakmampuan untuk menjaga kinerja akan berakibat fatal karena pemilih akan melakukan hukuman dengan cara memberikan suaranya kepada calon kepala daerah yang lain atau mereka akan memberikan suara penghukuman (punishment vote).

Keikutsertaan incumbent pada pemilihan secara langsung menjadi hal yang fenomenal, yang menghasilkan sebuah kemenangan atau kekalahan bagi incumbent tersebut. Untuk meraih simpati agar mendapatkan suara terbanyak maka diperlukan pemikiran cerdas dan cara yang elegan oleh incumbent . Bertitik tolak dari semua pemikiran tersebut, maka penulis ingin menggambarkan kerangka pikir sebagai berikut :


(66)

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir

Pilkada Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013 Hasil Perolehan Suara:

Zainal Abidin dan Anshori Djausal 38,51% Agung Ilmu Mangkunegara dan Paryadi 49,19%

Ketidakmampuaan menjaga kinerja Perilaku Pemilih


(1)

Dekan Fakultas Teknik Unila kemudian dalam beberapa tahun terakhir aktif menjadi staff ahli di Pemprov Lampung

Zainal Abidin - Anshori Djausal (ZA) diusung oleh PDI Perjuangan, Gerindra, PAN, PBR, PKPB, dan PBB serta didukung Partai Golkar. Kemudian dalam sosialisasinya ZA mempersiapkan pemekaran provinsi baru.

Mempunyai visi yaitu, pembanguan berkelanjutan menuju Lampung Utara yang pintar dan unggul. Pemaparan misi sebagai berikut :

1. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

2. Mengembangkan perekonomian daerah melalui peningkatan nilai tambah (Added Value) keunggulan lokal yang berbasis inovasi dan teknologi. 3. Meningkatkan kualiatas sumber daya manusia yang unggul

4. Memperkuat daya dukung infrastruktur guna meningkatkan aksesibilitas pelayanan publik dan pertumbuhan baru.

5. Mengelola sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi kesejahteraan rakyat.

6. Mewujudkan akselerasi pemberdayaan masyarakat dan penguatan kearifan budaya lokal secara proposional untuk meningkatkan partisipaasi masyarakat dalam pembanguan.

7. Mempersiapkan Kotabumi Green City sebagai kota yang berkembang untuk calon ibukota propinsi bersama dengan enam kabupaten lainnya.

Program pembangunan sebelumnya dan sedang berjalan, jelas menunjukkan manfaat yang baik bagi masyarakat daan tentu akan tetap dilanjutkan. Berbagai terobosan dan inovasi pembangunan diperlukan untuk dapat meraih peluang


(2)

68

perkembangan yang diharapkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pendekatan pembangunan berkelanjutan menjadi keniscayaan bagi kabupaten Lampung Utara dengan menciptakan kabupaten yang pintar dan unggul. Menjalanjakn pemerintahan dan meningkatkan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat bukanlah pekerjaan pemerintah sendiri, tetapi haus ada kebersamaan antara pemerintah, dari tingkat terbawah sampai pemerintah pusat. Kebersamaan dengan swasta, kebersamaan dengan masyarakat. Kesempatan kerjasama dan partisipasi masyarakat menjadi sebuah kekuatan bagi Kabupaten Lampung Utara. Lanjutkan!!


(3)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa kekalahan Pasangan Zainal Abidin dan Anshori Djausal pada pemilihan umum di Kabupaten Lampung Utara adalah sebagai berikut :

Perilaku pemilih masyarakat Lampung Utara mempunyai penilaian yang valid terhadap calon incumbent. Zainal Abidin tidak dapat memanfaatkan jabatannya sehingga tidak mendapatkan peluang kembali untuk kedua kalinya. Terdapat unsur kekecewaan serta ketidakpuasan dari masyarakat Lampung Utara yang membuat masyarakat pemilih menjatuhkan suara penghukuman (punishment vote) terhadap Zainal Abidin. Hal itu disebabkan dari beberapa faktor yaitu kebijakan tidak pro rakyat, program tidak dikomunikasikan dan kinerja tidak terlaksana dengan baik. Kemudian munculnya faktor lain yaitu kepemimpinan yang buruk karna adanya nepotisme termasuk salah satu faktor penyebab kekalahan Zainal Abidin.


(4)

87

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran swebagai berikut:

1. Dibutuhkan paradigma politik menuju pelayanan yang sungguh-sungguh berkomitmen mengabdi kepada rakyat. Memberikan yang terbaik untuk rakyat, jangan sampai keputusan-keputusan politik dibuat hanya untuk kepentingan pribadi tanpa memperdulikan masyarakat.

2. Untuk menghindarkan asumsi yang negatif, kecemburuan sosial dan rasa tidak simpatik dari masyarakat seorang pemimpin diharapkan mampu bersikap adil, memberikan jabatan sesuai dengan kualitas bukan hanya karna ada suatu hubungan tertentu.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Adam, Warman, Asvi. 1999. Dari Balik Suara Ke Masa Depan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Afifuddin. 2012. Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Faisal, Sparadley. l990, Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Perss. Firmanzah. 2008. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Kristiadi, J, 1996. Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih di Indonesia. Prisma 3 Maret 1996.

Matteson, Ivancevich, Konopaske. 2006. Perilaku Manajemen dan Organisasi. Alih Bahasa Gina Gania. Jakarta: Erlangga.

Mahendra, Oka, AA. 2005. Pilkada Di Tengah Konflik Horizontal. Jakarta: Millenium Publisher.

Mahmudi. 2010. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Mahsun, M. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE.

Miles, Matthew. Heberman, Michael, 1992. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia Pers. Jakarta.

Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: Remaja Rodaskarya.

Nawari, Hadari. 1992. Metode Penelitian Bidang Sosial. YogyakartaL: Gajah Mada University Press.

Nugroho, Bambang. 2006. Reward and Punishment. Bulletin Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum Edisi No 6/IV/Juni 2006.


(6)

Nursal, Adman. 2004. Political Marketing Strategi memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Pasalong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta. Sedarmayanti. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia, Reformasi Birokrasi,

dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung: PT Refika Aditama. Sedarmayanti. 2009. Sumber Daya Manusia dan Produktifitas Kerja. Bandung:

PT Mandar Maju.

Simmamora, Henry. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: STIE YKPN.

Sukandarrumidi, 2004. Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk Pemula. Yogyakarta: Gajah Mada University.

Surbakti Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik Jakarta: PT. Gramedia Widisuasarana.

Tangkilisan, H.N. 2007. Manajemen Publik. Jakarta: PT Grasindo.

Tika, Pabundu. 2006. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta: Bumi Aksara.

Ware, Alan. 1996. Political Parties and Party Systems. Oxford University Press. Wibowo. 2010. Manajemen Kinerja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Jurnal :

Hadiwinata, Sugeng, Bob. Suara Penghukuman: Pragmatisme Rasional Pemilih Kota Bandung dalam Pemilihan Umum 2004

Dokumen :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum