commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya yang dimilikinya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Apabila
sumber daya manusia memiliki kualitas yang unggul, maka sumber daya alam yang ada dapat diolah sehingga menyumbangkan manfaat dan kontribusi besar
bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Sumber daya manusia yang berkualitas pada umumnya lahir dari institusi pendidikan yang bermutu dan
melalui proses pendidikan yang baik. Salah satu proses pendidikan yang baik adalah melalui proses pembelajaran di sekolah.
Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar, yaitu sekolah.
Setiap sekolah memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum tingkat satuan
pendidikan KTSP di sekolahnya masing-masing dan untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya, antara lain kualitas pembelajaran matematika.
Matematika merupakan mata pelajaran yang menempati posisi penting, sebab selain diujikan dalam Ujian Nasional dan menentukan kelulusan siswa,
matematika merupakan mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai jenjang pendidikan menengah atas.
Selain itu, matematika timbul karena olah pikir manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran yang disusun secara konsisten
dengan mempergunakan logika deduktif. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan matematika di sekolah, yaitu untuk mempersiapkan siswa agar sanggup
menghadapi perubahan-perubahan keadaan dalam kehidupan dunia nyata yang senantiasa berubah, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional,
kritis, cermat, kreatif, dan efisien serta bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan lainnya. 1
commit to user 2
Data prestasi Indonesia dalam ajang
International Mathematics Olympiad
IMO ke-52 yang berlangsung di Belanda pada tahun 2011 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada rangking ke-29 bersama dengan
Selandia Baru dari 101 negara dengan total nilai 114. Hasil perolehan ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu tahun 2010 rangking ke-30 dari 96
negara dan tahun 2009 rangking ke-43 dari 104 negara. Namun, kondisi tersebut belum bisa menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan di Indonesia secara
menyeluruh. Hal ini dikarenakan kondisinya berbeda dengan dua data survey internasional lainnya, yaitu
Programme for International Student Assessment
PISA dan
Trends in International Mathematics and Science Study
TIMSS. Data TIMSS tahun 2007 menunjukkan bahwa kemampuan atau prestasi
matematika Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 49 negara yang disurvei, dengan nilai rata-rata 397. Nilai rata-rata Indonesia masih di bawah nilai rata-rata
Internasional 500 dan jauh di bawah nilai rata-rata tertinggi 598, yaitu negara Taiwan. Indonesia juga jauh berada di bawah negara tetangga, yaitu Singapura
dengan nilai rata-rata 594 dan Malaysia dengan nilai rata-rata 474. Berdasarkan data PISA tahun
2009 menunjukkan bahwa prestasi literasi matematika di Indonesia berada pada peringkat ke-61 dari 65 negara, dengan nilai rata-rata 371.
Nilai rata-rata Indonesia ini juga di bawah nilai rata-rata Internasional 500 dan jauh di bawah nilai rata-rata tertinggi 600, yaitu negara China. Selain data itu, data
nasional juga menunjukkan bahwa matematika menjadi salah satu penyebab banyak siswa yang tidak lulus pada saat Ujian Nasional. Berbagai data tersebut
memberikan gambaran bahwa kualitas pembelajaran matematika di Indonesia memang masih perlu ditingkatkan.
Secara khusus, permasalahan pembelajaran matematika juga terjadi di Kabupaten Ponorogo. Permasalahan tersebut salah satunya adalah mata pelajaran
matematika masih menjadi beban bagi sebagian siswa di Kabupaten Ponorogo pada saat Ujian Nasional tahun pelajaran 20092010 dibandingkan dengan mata
pelajaran lainnya perhatikan Tabel 1.1.
commit to user 3
Tabel 1.1 Nilai Rata-rata Ujian Nasional SMP di Kabupaten Ponorogo tahun 2010 Nilai Ujian
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Matematika IPA
Rata-rata 7,85
6,94 7,64
7,70 Terendah
1,80 2,20
1,50 2,00
Tertinggi 10,00
10,00 10,00
10,00 Berdasarkan tabel tersebut diperoleh bahwa nilai rata-rata matematika di
bawah nilai rata-rata IPA dan Bahasa Indonesia serta nilai terendah matematika 1,50 merupakan nilai paling rendah dibandingkan dengan nilai terendah mata
pelajaran lainnya. Demikian juga nilai matematika hasil Ujian Nasional di Kabupaten
Ponorogo tahun pelajaran 20092010 dan 20102011 berdasarkan Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP atau Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan Nasional diperoleh rekapan sebagai berikut. Tabel 1.2 Nilai Rata-rata Matematika Ujian Nasional Tingkat SMP di Kabupaten
Ponorogo Tahun 2010 dan Tahun 2011
Berdasarkan tabel tersebut diperoleh bahwa ada penurunan nilai rata-rata matematika Ujian Nasional tingkat SMP Negeri maupun Swasta di Kabupaten
Ponorogo tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2010, meskipun ada kenaikan nilai terendah yang diperoleh siswa.
Permasalahan pembelajaran matematika ini juga terjadi pada kelas VIII di beberapa SMP Negeri di Kabupaten Ponorogo. Berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa guru matematika yang tergabung dalam forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran MGMP Matematika dan observasi oleh peneliti di
beberapa SMP Negeri di Kabupaten Ponorogo diperoleh bahwa belum semua siswa aktif dalam mengikuti proses pembelajaran matematika di kelas.
Nilai Ujian Tahun 2010
Tahun 2011 Nilai rata-rata
7,64 6,67
Nilai terendah 1,50
1,75 Nilai tertinggi
10,00 10,00
commit to user 4
Beberapa siswa cukup antusias dan bersikap aktif dalam proses pembelajaran, namun masih banyak juga siswa yang besikap pasif dalam
mengikuti pelajaran. Hal ini mungkin disebabkan siswa merasa kurang percaya diri dan kurang mampu dalam menguasai materi mata pelajaran. Indikator
masalah ini antara lain: hanya sedikit siswa yang berani bertanya, kebanyakan siswa masih ragu-ragu jika menjawab pertanyaan yang diajukan guru, sebagian
siswa yang duduk di belakang bicara sendiri dan sebagian siswa diam saja ketika diskusi kelompok maupun presentasi serta masih ada siswa yang tengok kanan-
kiri ketika ulangan. Selain kenyataan di atas, berdasarkan analisis hasil evaluasi belajar di
SMPN 1 Jetis Ponorogo pada tahun pelajaran 20092010 sampai dengan 20112012 diperoleh data bahwa tingkat ketuntasan setiap ulangan matematika
dengan nilai kriteria ketuntasan minimal 73 masih sangat rendah dibandingkan mata pelajaran lainnya. Banyaknya siswa yang tuntas pada setiap ulangan harian
hanya berkisar 8 sampai 15 siswa saja dari 28 siswa per kelas, akibatnya siswa yang mengikuti program remidi rata-rata lebih dari 50 dari jumlah siswa di
kelas tersebut untuk setiap ulangannya. Nilai rata-rata ketercapaian ketuntasan yang tergolong rendah untuk setiap tahunnya adalah pada kompetensi dasar atau
indikator tertentu. Salah satunya adalah pada kompetensi dasar “menentukan
gradien, persamaan garis lurus dan grafiknya”.
Berdasarkan Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP atau Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional juga, diperoleh
bahwa persentase penguasaan materi mata pelajaran matematika hasil Ujian Nasional tahun 2010 di rayon Ponorogo pada indikator
“menentukan gradien, persamaan garis lurus, dan grafiknya” adalah 56,01 dan mengalami penurunan di
tahun berikutnya, yaitu Ujian Nasional tahun 2011 adalah 52,95. Selain itu, hasil Ujian Nasional tahun 2011 di Kabupaten Ponorogo diperoleh nilai matematika
terendah adalah 1,75 dan daya serapnya pada kompetensi dasar tersebut 52,95 juga lebih rendah dari daya serap Tingkat Nasional 60,72. Hasil ini meliputi
sekolah tingkat SMP Negeri maupun Swasta di Kabupaten Ponorogo. Oleh karena itu, perlu sekali dilakukan penelitian pada materi pokok persamaan garis lurus.`
commit to user 5
Berdasarkan hasil observasi di beberapa SMP Negeri di Kabupaten Ponorogo pada tahun ajaran 20102011, fakta di lapangan juga menunjukkan
bahwa ketika pembelajaran pokok bahasan persamaan garis lurus masih banyak guru yang menggunakan model pembelajaran konvensional dan hanya sebagian
kecil saja guru yang menggunakan model pembelajaran kooperatif. Interaksi yang terjadi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru sudah nampak, namun
masih sangat rendah. Hal itu diduga menjadi salah satu penyebab sebagian siswa belum memahami konsep persamaan garis lurus secara mendalam. Selain itu,
penyebab rendahnya hasil belajar matematika diduga karena siswa kurang memiliki jiwa kompetisi yang baik, siswa kurang fokus dalam mengikuti
pembelajaran, siswa tidak pernah diberi kesempatan gurunya untuk tampil atau siswa mengalami kesulitan dalam menerapkan rumus, memahami definisi dan
menyelesaikan soal pemecahan masalah. Kesulitan yang dialami siswa pada matematika tidak hanya bersumber dari kemampuan siswa, tetapi ada beberapa
faktor lain yang turut menentukan keberhasilan siswa dalam belajar, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa misalnya keadaan sosial ekonomi keluarga siswa,
keadaan lingkungan keluarga siswa, model pembelajaran yang diterapkan guru, dan sarana belajar atau fasilitas yang digunakan di sekolah.
Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan membantu siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga prestasi belajar siswa
dapat meningkat. Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika di kelas khususnya pada materi persamaan garis lurus masih diperlukan model
pembelajaran yang dapat lebih mengaktifkan siswa untuk bekerjasama atau berinteraksi di dalam kelompok, lebih menjadikan siswa berani bertanya kepada
gurunya dan tidak ragu-ragu lagi jika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru serta siswa yang duduk di belakang tetap memperhatikan penjelasan guru,
sehingga siswa menjadi lebih percaya diri dan tidak lagi tengok kanan-kiri ketika ulangan. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang mungkin tepat dan sesuai
dengan harapan tersebut adalah model pembelajaran kooperatif, khususnya tipe
Numbered Head Together
NHT.
commit to user 6
Sintaks pembelajaran dengan tipe NHT menurut Spencer Kagan dalam Sardjoko, 2011 adalah pengarahan, dibuat kelompok
heterogen
dan setiap siswa diberi nomor tertentu, guru memberikan persoalan materi bahan ajar untuk setiap
siswa siswa yang mendapat nomor sama, mendapat tugas yang sama, bekerja dalam kelompok, presentasi kelompok, kuis individual, dan
reward.
Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Haydon
et al
2010 dapat simpulkan bahwa tipe NHT adalah salah satu strategi pembelajaran kooperatif yang lebih baik
daripada pembelajaran tradisional dalam wilayah akademik. Penelitian oleh Sardjoko 2011 diperoleh hasil bahwa pembelajaran
matematika dengan model kooperatif tipe NHT memberikan hasil belajar lebih baik daripada
Group Investigation
GI. Demikian juga, penelitian yang dilakukan oleh Ibad 2011 diperoleh hasil bahwa pembelajaran matematika dengan model
kooperatif tipe NHT memberikan efek lebih baik daripada tipe
Students Teams Achievement Divisions
STAD dan Urip 2012 diperoleh hasil bahwa model kooperatif tipe NHT memberikan prestasi belajar lebih baik dibanding tipe
Think Pair Share
TPS dan model pembelajaran konvensional. Meskipun tipe NHT lebih baik daripada tipe-tipe yang lain, namun pada
pelaksanaannya tipe NHT ini masih ada beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya adalah siswa kurang aktif pada saat langkah presentasi karena tidak
semua siswa mendapat persoalan yang sama dan siswa biasanya cenderung mengerjakan persoalan yang menjadi tugasnya saja serta hanya beberapa siswa
saja yang mendapat giliran untuk presentasi. Oleh sebab itu, peneliti berusaha memodifikasi beberapa langkah pembelajaran tipe NHT tanpa mengurangi makna
pada langkah aslinya dengan tujuan mengatasi kelemahannya. Pembelajaran matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe
NHT yang dimodifikasi harapannya dapat menjadikan siswa lebih aktif dan lebih meningkat prestasi akademiknya. Peneliti memodifikasi pada langkah pengajuan
soal dan pemberian jawaban, yaitu persoalan kelompok dan persoalan individu, sedangkan pada saat pemberian jawaban terdiri dari presentasi kelompok dan
presentasi individu. Selain itu, modifikasi yang dilakukan adalah dengan memberikan tugas membaca terstruktur di rumah.
commit to user 7
Penggunaan tipe NHT yang dimodifikasi ini dapat memungkinkan terjadinya pertukaran informasi baru pada saat diskusi kelompok dan diskusi
kelas. Siswa dimungkinkan dapat belajar dengan sesama siswa maupun dengan gurunya dalam suasana kooperatif, menyenangkan dan mempunyai banyak
kesempatan mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Tahap presentasi kelompok mengakibatkan semua siswa mendapat giliran untuk
tampil presentasi di depan kelas, sehingga diduga dapat mengatasi kelemahan yang ada pada tipe NHT asli. Selain itu, dengan modifikasi ini diduga juga
mampu mangaktifkan siswa dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan siswa menjadi lebih percaya diri dan bertanggungjawab
dalam penguasaan materi. Selain hal tersebut di atas, yang perlu diperhatikan lainnya agar siswa
berhasil dalam belajar matematika adalah gaya belajar siswa. Pernyataan yang dikemukakan oleh Pashler
et al
2009 dapat diartikan bahwa gaya belajar
learning-style
dipandang memiliki pengaruh besar terhadap dunia pendidikan dan sering ditemukan pada setiap jenjang sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak
sampai dengan Perguruan Tinggi. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugiyanto 2011 disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa
dengan gaya belajar visual lebih baik daripada auditorial maupun kinestetik, serta gaya auditorial sama baiknya dengan gaya kinestetik. Hal ini membuktikan bahwa
ada pengaruhnya gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika. Ada beberapa siswa yang kurang antusias dalam mengikuti pelajaran
matematika mungkin dikarenakan model pembelajarannya tidak sesuai dengan gaya belajar mereka. Gaya belajar yang dimiliki siswa berbeda-beda, sehingga
dimungkinkan berbeda pula model pembelajaran yang tepat untuk masing-masing gaya belajar. Padahal selama ini secara umum hampir semua sekolah menerapkan
kelas untuk siswa tanpa membedakan apa gaya belajar mereka, sehingga terkadang siswa menjadi pasif, takut dan malu bertanya kepada guru. Mereka
mungkin lebih senang bertanya kepada temannya daripada bertanya kepada guru saat pelajaran berlangsung. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang
prestasi belajar matematika yang ditinjau dari gaya belajar siswa.
commit to user 8
B. Pembatasan Masalah