EFEKTIFITAS KEBIJAKAN

(1)

ANALISIS EFFEKTIFITAS KEBIJAKAN PENGALIHAN

PBB-P2 KEPADA PEMERINTAH KAB/KOTA


(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.

Otonomi daerah merupakan kesempatan yang baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.

Selanjutnya ciri utama yang menunjukkan daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah. Daerah otonom memiliki


(3)

kewenangan dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan yang terbesar, yang didukung oleh kebijaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara (Koswara, 2000).

Salah satu jenis PAD yang jenis kewenangan pengelolaannya dipungut oleh daerah adalah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB-P2). PBB-P2 memang termasuk dalam jenis local tax (pajak daerah) terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Secara konseptual PBB-P2 dipungut oleh daerah karena lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut. Pengalihan PBB-P2 kepada kabupaten/kota diharapkan dapat meningkatkan PAD dan memperbaiki struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengalihan PBB-P2 ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan memperbaiki aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.

Hartono (2012) menemukan bahwa pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan menjadi pajak daerah berpengaruh postif terhadap Pendapatan Asli Daerah dengan menggunakan metode deskriptif yang membandingkan antara Peraturan Bupati No 48 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bumi dan


(4)

Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Sukoharjo dengan penelitian langsung di lapangan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Adelina (2013) mengemukakan bahwa penerimaan PBB-P2 di Kota Gresik telah melampaui target yang ditetapkan sejak pengalihan. Meskipun dilihat dari hasil kedua penelitian terdahulu menunjukkan pencapaian yang positif terhadap penerimaan PBB-P2, namun hal ini mencerminkan bahwa hasil dari penerimaan PBB-P2 tersebut sama dengan daerah lain, hal ini dikarenakan potensi dan keadaan dari setiap wilayah berbeda-beda.

Penelitian yang dilakukan Wigi dan Yudea (2016), bahwa analisis laju pertumbuhan terhadap PAD Kota Balikpapan mengalami pertumbuhan yang tidak stabil. Penerimaan yang tidak stabil sangat berpengaruh sangat berpengaruh terhadap PAD karena PBB-P2 merupakan salah satu sumber pedapatan daerah yang cukup besar. Hasil penelitian ini juga didukung dari Sumena (…) juga dimana laju pertumbuhan PBB-P2 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengalihan pengelolaan PBB-P2 ke seluruh pemerintahan kabupaten/kota telah dimulai 1 Januari 2014. Pengalihan pengelolaan ini suatu bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan pengalihan ini maka PROSES kegiatan : pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan PBB-P2 diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).


(5)

Adapun tujuan pengalihan pengelolaan PBB-P2 berdasarkan Undng-undang Nomor 28 Tahun 2009 untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru (menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah), memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan memperluas basis pajak daerah, memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah. Penyerahan pengelola fungsi pajak ini dilakukan sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah. Dengan pengalihan ini, penerimaan PBB-P2 akan sepenuhnya masuk ke kas daerah sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah PAD.

Pada saat PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%. Setelah pengalihan ini, semua pendapatan dari sektor PBB-P2 masuk ke dalam kas daerah.


(6)

Gambar 1. Penerimaan PBB-P2 Setelah Pengalihan.

Di provinsi Lampung kabupaten/kota yang sudah mendapatkan tugas pengalihan pengelolaan PBB-P2 baru yaitu Kota Bandar Lampung, kabupaten Way Kanan, Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Kota Metro.


(7)

Di Kota Metro sendiri, Pemerintah Kota Metro mengambil alih kewenangan untuk mengelola PBB-P2 tersebut pada awal tahun 2013. Dinas Pendapatan Kota Metro menjalankan tugas dan fungsinya sesuai keputusan yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jendral Pajak. Berikut ini terdapat data penerimaan PBB-P2 sebelum dan sesudah pengalihan di Kota Metro.

Tabel 1. Penerimaan PBB-P2 Sebelum dan Setelah Pengalihan

Tahun PenerimaanPBB-P2(Rp)

2009 1.598.652.412

2010 1.543.688.988

2011 2.300.121.960

2012 2.457.866.636

2013 2.176.474.957

2014 2.357.971.982

2015 2.501.532.489

2016 2.427.848.443

Dari tabel di atas bisa dikatakan bahwa setelah adanya pengalihan penerimaan tersebut meningkat. Pada tahun 2013 menurun dikarenakan pemula untuk pengalihan tersebut.

Efektivitas merupakan suatu ukuran untuk mengetahui berhasil atau tidaknya suatu organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mardiasmo (..) , apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan berjalan dengan efektif. Tingkat efektivitas penerimaan PBB-P2 yang dicapai semakin tinggi penerimaannya berarti semakin efektif pengalihan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah penerimaan yang dicapai maka semakin kurang efektif pengalihan itu. Efektivitas penerimaan PBB-P2 adalah mengukur hubungan antara hasil pungutan PBB-P2 dengan potensi atau target penerimaannya.


(8)

Menurut Abdul Halim (2007), efektivitas pajak daerah menujukkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengumpulkan pajak daerah sesuai dengan jumlah penerimaan pajak yang ditargetkan. Dalam mengukur tingkat efektivitas ini terdapat tiga indikator pengukurannya yaitu dengan melihat efektivitas, kontribusi dan laju pertumbuhannya. Efektivitas dengan membagi realisasi penerimaan PBB dengan target PBB. Kontribusi PBB ini dengan menggunakan realisasi penerimaan PBB dan penerimaan pajak daerah. Laju pertumbuhan penerimaan pajak untuk melihat peningkatan atau tidaknya setiap tahun. Indikator yang digunakan dalam laju pertumbuhan ini realisasi penerimaan tahun sekarang dan realisasi tahun sebelumnya. Dengan demikian menggabungkan efektivitas dari Mardiasmo dan Halim, untuk mengukur efektivitas tersebut.

Nasucha (1997) mengungkapkan bahwa PBB merupakan pajak objektif, di mana pengenaan pajak didasarkan pada objek dari PBB, yaitu bumi dan / atau bangunan, sehingga yang menjadi objek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Penerimaan PBB dipengaruhi luas lahan dan bangunan yang terkena pajak.

Terkait dengan Penerimaan PBB-P2 dipengaruhi oleh luas lahan dan bangunan yang dikenakan pajak. Penelitian Hadi (2005) dan Afriansyah (2015) menunjukkan bahwa jumlah bangunan berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB. Banyak jumlah bangunan makin tinggi penerimaan PBB yang diperoleh. Jumlah bangunan dapat diukur dengan jumlah bangunan yang menjadi objek PBB dalam satuan meter persegi (m2).

Lahan atau tanah merupakan sumber daya yang dapat menyediakan ruangan yang dapat mendukung semua kebutuhan makhluk hidup. Luas lahan adalah jumlah


(9)

atau banyaknya lahan yang digunakan untuk berbagai kegiatan yang ada dalam suatu wilayah. Pada dasarnya ruangan yang disediakan sangat terbatas, sementara itu kebutuhan akan tanah mempunyai kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, baik untuk kebutuhan perumahan, pertanian, industri dan lain sebagainya. Jika pertumbuhan penduduk meningkat maka permintaan akan tanah semakin meningkat. Dengan banyaknya luas lahan yang menjadi objek PBB dan dimiliki oleh wajib pajak serta tingginya nilai jual tanah yang menyebabkan NJOP dari PBB menjadi lebih besar, maka semakin besar pula PBB yang harus dibayarkan oleh wajib pajak, sehingga pada akhirnya meningkatkan penerimaan daerah yang berasal dari PBB. Jumlah luas lahan berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB (Afriyanah,2015).

NJOP merupakan dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), baik PBB-P2 maupun PBB sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB P3). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), PBB-P2 menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemda Kota atau Kabupaten. Kewenangan dalam pengelolaan PBB-P2 meliputi pengenaan dan penagihan pajaknya.

NJOP merupakan dasar pengenaan PBB-P2. Hal ini diatur dalam pasal 79 ayat (1) UU PDRD. NJOP terdiri dari NJOP tanah dan NJOP bangunan. NJOP ditetapkan untuk menghitung besarnya pajak terutang sesuai keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari tahun pajak. Artinya besarnya NJOP harus sudah ditetapkan sebelum tangggal 1 Januari tahun pajak, sehingga fiskus dapat menetapkan besaran PBB terutang atas setiap objek pajak yang ada diwilayahnya. Penentuan


(10)

besarnya NJOP tanah maupun bangunan untuk kondisi tanggal 1 Januari tahun pajak dilakukan melalui proses penilaian tanah dan atau bangunan. Penilaian dilakukan dengan tujuan untuk menentukan NJOP tanah maupun bangunan per Meter persegi sebagai dasar pengenaan PBB.

Penentuan NJOP tanah per m2, sejak dilakukan pengalihan setiap tahun oleh

kabupaten/kota setempat. NJOP yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan bupati/walikota. Besarnya NJOP tanah per m2 ditetapkan berdasarkan hasil

penilaian yang dilakukan dengan metode perbandingan data pasar (market data approach) dan dilaksanakan secara masal. Penilaian tanah dilakukan dengan tujuan untuk menentukan besarnya NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2 dan tanggal penilaian ditetapkan untuk keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari tahun pajak.

Berdasakan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti seberapa efektif kah pengalihan pengelolaan PBB-P2 ke pemerintah kabupaten/kota mengambil judul penelitian mengenai “Analisis Efektivitas Kebijakan Pengalihan Pengelolaan PBB-P2 Kepada Kabupaten/Kota”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam penulisan penelitian ini adalah : Seberapa Efektif kebijakan pengalihan pengelolaan penerimaan PBB-P2 Kota Metro dsri sisi Proses, Dampak dan Kinerja


(11)

Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka dapat diketahui bahwa penelitian ini bertujuan untuk : Mengetahui efektivitas pengalihan pengelolaan PBB-P2 Kota Metro dari sisi Proses, Dampak dan Kinerja .

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberi gambaran mengenai efektivitas Pengalihan pengelolaan (PBB-P2) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kota Metro


(12)

Efektivitas

Efektivitas menurut Mardiasmo (2004), efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif. Efektivitas adalah mengukur hubungan antara hasil pungutan suatu pajak dengan potensi atau target penerimaan pajak itu sendiri.

Rumus yang digunakan dalam menghitung tingkat efektivitas penerimaan pajak adalah:

Efektivitas Pajak = Realisasi Penerimaan PBBP2

Target PBBP2 × 100% Tabel 6. Nilai Interpretasi Efektivitas

Presentase (%) Kriteria

¿ 100 Sangat Efektif

90-100 Efektif

80-90 Cukup Efektif

60-80 Kurang Efektif

¿ 60 Tidak Efektif

Sumber: Munir, dkk, 2004.

Selain itu untuk melihat efektivitas juga akan digunakan analisis kontribusi dan laju pertumbuhan dengan manual dan uji beda rata-rata.

f. Kontribusi

Dalam mengetahui kontribusi dilakukan dengan membandingkan pernerimaan pajak daerah (khusus PBB-P2) periode tertentu dengan penerimaan pajak periode tertentu pula. Semakin besar hasilnya berarti semakin besar pula penerimaan pajak daerah, begitu pula sebaliknya jika hasil perbandingannya terlalu kecil berarti peranan pajak daerah juga kecil. Rumus pengukuran kontribusi PBB-P2 terhadap pajak daerah sebagai berikut :


(13)

Kontribusi PBB = Realisasi Penerimaan PBB

Realisasi Penerimaan Pajak Daerah × 100% Tabel 7. Nilai Interpretasi Kontribusi

Presentase (%) Kriteria 0.00 – 10 Sangat Kurang

10.10 – 20 Kurang

20.10 – 30 Sedang

30.10 – 40 Cukup Baik

40.10 – 50 Baik

¿ 50 Sangat Baik

Sumber: Munir, dkk, 2004.

g. Laju Pertumbuhan

Halim dan Polii (2015), diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi-potensi yang perlu mendapat perhatian. Mengukur laju pertumbuhan Pajak Bumi dan Banguna Perdesaan Perkotaan (PBB-P2) digunakan rumus sebagai berikut:

GX = XtX(t−1)

X(t−1) × 100%

Sumber: Abdul Halim, dalam Polii 2015 Keterangan :

Gx = Laju pertumbuhan

Xt = Realisasi penerimaan X(t-1) = Realisasi penerimaan

Menurut Halim (2015), efektivitas juga dapat dilakukan dengan menujukkan kemampuan mengumpulkan pajak daerah dengan jumlah target pajak dan realisasi penerimaanya. Ini sama saja untuk melihat kinerja pengalihan dengan aturan penyimpangan ¿ ± 10 %.


(14)

h. Kinerja Pengelolaan PBB-P2

Menurut Abdul Halim (2007), efektivitas pajak daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengumpulkan pajak daerah sesuai dengan jumlah penerimaan pajak yang ditargetkan. Ini sama saja untuk melihat kinerja pengalihan dengan aturan penyimpangan ¿± 10%. Kinerja Pengelolaan PBB-P2 dapat dilakukan dengan melalukan perbandingan antara realisasi penerimaan PBB-P2 dengan target PBB-P2.

Menurut Mardiasmo (2002a:127), value for money merupakan inti pengukuran kinerja pada organisasi pemerintah. Halim (2007:335) memberikan pengertian Value for money sebagai konsep pencarian dan penggunaan dana pemerintah daerah yang menerapkan prinsip 3E (ekonomis, efisien, dan efektif). Artinya, Pemerintah Daerah harus selalu memperhatikan tiap sen/rupiah dana (uang) yang diperoleh dan digunakan. Lebih lanjut, menurut Kumorotomo (2005:10), tolok ukur keberhasilan dari pelaksanaan anggaran kinerja adalah prestasi yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan dengan penggunaan dana yang efektif dan efisien.

Kinerja anggaranpun terkadang dikaitkan dengan target dan realisasinya. Menurut Mardiasmo (2002b:124), kinerja manajer publik dapat dinilai berdasarkan berapa yang berhasil ia capai dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan. Senada dengan Mardiasmo, Mahmudi (2005:112) menyatakan bahwa pengukuran kinerja hanya bermanfaat jika organisasi mampu membandingkan kenyataan atau realisasi dengan target yang hendak dicapai atau yang ditentukan sebelumnya.


(15)

Kepuasan pelanggan menempati posisi penting dalam pengukuran kinerja instansi pemerintah dari perspektif pelayanan. Menurut (Kumorotomo, 2005:106), kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi sektor publik. Lebih lanjut, menurut Mahmudi (2005:101),

kepuasan pelanggan dapat dikategorikan sebagai tujuan tingkat tinggi dalam suatu sistem pengukuran kinerja.

j. PBB-P2

Pajak Bumi dan Bangunan Persedaan Perkotaan (PBB-P2) adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak berupa bumi dan/ atau bangunan. Dalam hal ini yang dipentingkan adalah objeknya dan oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan sebagai subjek pajak tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak. oleh karena itu pajak ini disebut pajak objektif. Sebagai pajak objektif mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak mempengaruhi besarnya pajak (Agus Santosa,1992).

Asas Pajak Bumi dan Bangunan ada 4 yaitu : a. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan; b. Mudah dimengerti dan adil;

c. Adanya kepastian dalam hukum; d. Menghindari pajak berganda

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan merupakan jenis Pajak Pusat yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota yang


(16)

selanjutnya disebut Pajak Daerah sebagaimana diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang PDRD yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Pelaksanaan pelimpahan PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah tersebut dilakukan secara bertahap, yang diatur oleh Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lama 4(empat) tahun sejak diberlakuknya UU PDRD atau sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai waktu paling lama tanggal 31 Desember 2013, artinya pada tanggal 1 Januari 2014 Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan sudah diterapkan secara menyeluruh di seluruh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia.

Dalam masa transisi tahapan pelimpahan tersebut, ketentuan tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang telah diatur dalam Undang-undang 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 termasuk peraturan pelaksanaannya masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, sepanjang dalam kurun waktu tersebut belum ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang hal tersebut. Sejak berlakunya UU PDRD pada tanggal 1 Januari 2010 ada daerah yang sejak 1 Januari 2011 sudah menerapkan.

Berdasarkan ketentuan didalam UU PDRD Pasal 77 ayat (1), objek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.


(17)

PBB-P2 dikenakan rutin atau terus menerus setiap tahun pajak terhadap objek pajak PBB yakni bumi atau bangunan. PBB di luar sektor perdesaan perkotaan termasuk jenis pajak yang dikelola dan diadministrasi oleh DJP, kementrian Keuangan.

Objek pajak sektor Perdesaan dan Perkotaan

1. Klasifikasi dan besarnya NJOP Bumi untuk objek pajak sektor ini adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II huruf A Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010. Jika nilai jual Bumi lebih besar dari pada nilai jual tertinggi klasifikasi NJOP bumi yang tercantum dalam Lampiran II huruf A Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 maka nilai jual Bumi tersebut ditetapkan sebagai NJOP Bumi.

2. Klasifikasi NJOP Bangunan untuk objek pajak sektor ini adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II huruf B Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010. Jika nilai jual Bangunan lebih besar dari pada nilai jual tertinggi klasifikasi NJOP bumi yang tercantum dalam Lampiran II huruf B Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 maka nilai jual Bangunan tersebut ditetapkan sebagai NJOP Bangunan.

Dasar Pengenaan PBB-P2

Pasal 1 UU PBB menyebutkan dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.


(18)

Apabila tidak terdapat transaksi jual beli maka NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti.

Terdapat 3 (tiga) pendekatan penilaian untuk menentukan besarnya NJOP yaitu 1. Pendekatan Perbandingan Harga atau Data Pasar yaitu menentukan nilai

suatu objek dengan membandingkan objek yang dinilai dengan objek lain sejenis yang telah diketahui nilai jualnya.

2. Pendekatan Biaya yaitu menentukan nilai suatu objek dengan menghitung biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya bangunan baru kemudian dikurangi dengan jumlah penyusutannya.

3. Pendekatan Pendapatan yaitu menentukan nilai suatu objek dengan menghitung jumlah pendapatan bersih dari objek tersebt dengan tingkat kapitalisasi tertentu.

Dasar Perhitungan PBB-P2

Dasar Perhitungan PBB-P2 adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu suatu persentase tertentu dari Nilai jual Objek Pajak (NJOP). Pasal 6 UU PBB menyebutkan NKJP ditentukan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% dari NJOP.

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 menetapkan NJKP sebagai berikut: 1. objek pajak dengan nilai jual sebesar Rp 1.000.000.000,-(satu miliar) atau

lebih sebesar 40% dari NJOP.

2. sektor perkebunan,perhutanan dan pertambangan sebesar 40% dari NJOP. 3. objek pajak lainnya sebesar 20% dari NJOP.


(19)

B. Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Judul penelitian Metode analisis Hasil penelitian Hadi Sasana (2005) Analisi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas)

OLS Penerimaan PBB dipengaruhi oleh PDRB per kapita, jumlah wajib pajak, inflasi, jumlah luas lahan, jumlah bangunan, dan krisis moneter. Makmur (2010) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Kutai Barat

OLS penerimaan PBB di Kabupaten Kutai Barat dipengaruhi secara signifikan jumlah wajib pajak sektor perkotaan. Dania Novtarisa, Ansofino, Yola Malinda (2013) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Pasaman Barat

deskriptif analisis

PDRB perkapita, Jumlah wajib pajak bumi dan bangunan, dan Investasi berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB. Syarifah Nadhia, Siti Khairani, Ratna Juwita (2013) Efektivitas Prosedur Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah Pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang deskriptif kualitatif dan atau model strategi analisis verifikatif kual itatif.

Setelah dialihkan dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah sudah berjalan cukup efektif. Di lihat dari segi pelayanan yang semakin meningkat. Sedangkan jika dilihat dari segi penerimaannya, meningkat dari tahun 2011 ke tahun 2012, disebabkan oleh tarif PBB yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

Rizka Novianti Pertiwi, Devi Farah Azizah , dan Bondan Catur Kurniawan (2014)

Analisis Efektivitas Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (Studi Pada Dinas Pendapatan,

Pengelolaan Keuangan dan Aset Kota

Probolinggo)

deskriptif Secara keseluruhan kurang efektif, karena selama 6 tahun dari tahun 2008-2013 belum pernah mencapai target penerimaan yang telah ditentukan. Penerimaan terendah pada tahun 2010 sedangkan penerimaan tertinggi pada tahun 2013 dengan kriteria cukup efektif.


(20)

Witiya Tri Handayani, Sigit Santoso, dan Sohidin (2014) Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Pada Kecamatan Jebres Kota Surakarta

deskriptif kualitatif

SPPT tidak

tersampaikan kepada wajib pajak, wajib pajak lupa membayar PBB, isu pajak, tingkat

pengetahuan, kesadaran rendah dalam membayar PBB, topografi wilayah, data belum dientry dan tingkat pendapatan wajib pajak memiliki

pengaruh terhadap realisasi penerimaan PBB, tetapi setiap wilayah memiliki faktor-faktor dominan yang berbeda dari satu kelurahan dengan kelurahan yang lain menyebabkan

penerimaan Kecamatan Jebres rendah.

Afriyanah, Waluyo (2015)

Pengaruh Jumlah Wajib Pajak, Luas Lahan, Jumlah Bangunan, dan Laju Inflasi Terhadap Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Studi empiris pada

Kecamatan-Kecamatan di Kota Tangerang

Periode 2010 s.d. 2013

Casual Study Wajib pajak, jumlah luas lahan, jumlah bangunan memiliki pengaruh signifikan terhadap penerimaan PBB, sedangkan laju inflasi tidak memiliki pengaruh.

Vita Amaliah Hakim

Analisis Efektivitas Dan Efisiensi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Tasikmalaya (Studi Kasus Pada Dinas Pendapatan Kota Tasikmalaya)

deskriftip Pajak daerah dan retribusi daerah efektif dan efisien terhadap pendapatan asli daerah.

Nur Riza

Utiarahman, Een N. Walewangko, Hanly F. Dj. Siwu

(2016)

Analisis Efektivitas dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan(PBB-P2) Terhadap Pendapatan

Kualitatif Tingkat Efektivitas tahun 2011-2012 pajak bumi dan bangunan belum efektif, pada tahun 2013 sudah efektif, Kontribusi dari tahun 2011-2015 selalu


(21)

Asli Daerah (PAD) Kota Tomohon. (Studi Kasus Dinas

Pendapatan

Pengelolaan Keuangan dan Barang Milik Daerah Kota Tomohon).

mengalami penurunan dan hanya mengalami kenaikkan pada tahun 2013. Pada tahun 2014-2015 terus mengalami penurunan kontribusi.

C. Kerangka Pemikiran

Gambar 2. Kerangka pikir

Efektivitas Pengalihan Pengelolaan PBB-P2

Kontribusi

Efektivitas Laju

Pertumbuhan

Kinerja Pengelolaan

PBB-P2 Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah UU Nomor 28 Tahun 2009


(22)

PBB-P2 adalah pajak bumi dan bangunan setelah adanya pengalihan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 yaitu tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Sesuai dengan PBB-P2 yang mempengaruhi yaitu tarif, jumlah luas lahan, jumlah bangunan dan NJOP. Kerangka Pemikiran ini untuk melihat efektivitas penerimaan PBB-P2 sebelum dan sesudah adanya pengalihan. Efektivitas ini dilihat dari sisi efektivitas, kontribusi, laju pertumbuhan dan kinerja pengelolaan PBB-P2.

D. Hipotesis

Dalam penelitian ini penulis membuat hipotesis yaitu :

1. Pengalihan pengelolaan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB-P2) signifikan efektif.


(23)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian efektivitas ini adalah data sekunder dengan kurun waktu 2009 – 2016. Data yang digunakan yaitu data tarif, luas lahan, jumlah luas bangunan, NJOP, penerimaan PBB-P2 dan pajak daerah. Data ini bersumber dari Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Metro.

B. Definisi Oprasional

1. Efektivitas

Tingkat efektivitas penerimaan PBB-P2 Kota Metro tahun 2009-2016. Adapun langkah yang dilakukan sebagai berikut: melakukan analisis perbandingan sebelum dan sesudah adanya PBB-P2 melalui analisis efektivitas penerimaan PBB Kota Metro tahun 2009-2016. Rumus yang digunakan sebagai berikut:

Efektivitas PBB = Realisasi Penerimaan PBBP2

Target PBBP2 × 100%

2. Kontribusi

Menghitung dan menyusun tabel analisis kontribusi penerimaan PBB terhadap pajak daerah Kota Metro tahun 2009-2016. Rumus yang digunakan sebagai berikut:

Kontribusi PBB = Realisasi Penerimaan PBBP2


(24)

Pendapatan Asli Daerah digunakan untuk mengitung Kontribusi PBB Kota Metro tahun 2009-2013 sebagai pembanding penerimaan PBB.

3. Laju Pertumbuhan

Menghitung dan menyusun Laju Pertumbuhan PBB-P2 Kota Metro tahun 2009-2016. Rumus yang digunakan sebagai berikut:

GX = XtX(t−1)

X(t−1) × 100%

Sumber: Abdul Halim, dalam Polii 2015 Keterangan :

Gx = Laju pertumbuhan PBB-P2 pertahun Xt = Realisasi penerimaan PBB-P2 pada tahun

X(t-1) = Realisasi penerimaan PBB-P2 pada tahun sebelumnya

4. Kinerja Pengelolaan PBB-P2

Menurut Abdul Halim (2007), efektivitas pajak daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengumpulkan pajak daerah sesuai dengan jumlah penerimaan pajak yang ditargetkan. Ini sama saja untuk melihat kinerja pengalihan dengan aturan penyimpangan ¿± 10%. Kinerja Pengelolaan PBB-P2 dapat dilakukan dengan melalukan perbandingan antara realisasi penerimaan PBB-P2 dengan target PBB-P2.

C. Sampel Penelitian

Pengelolaan PBB-P2 untuk Provinsi Lampung telah dialihkan di lima kabupaten/kota yaitu Kota Bandar Lampung, Kab. Lampung Tengah, Kab. Way


(25)

Kanan, Kab. Tulang Bawang Barat dan Kota Metro. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kota Metro. Pemilihan Kota Metro ini dilatar belakangi karena wilayah yang sudah termasuk ke arah kota dan masih terdapat perdesaan juga. Kota Metro mengambil alih kewenangan itu sendiri mulai 1 Januari 2013. Kota Metro merupakan kota nomor dua yang ada di provinsi Lampung dan masih terdapat wilayah perdesaannya.

D. Model Analisis

Uji 2 Beda Rata-rata (Uji T untuk Sampel Berpasangan)

Uji t untuk sampel berpasangan atau Paired Sample T Test digunakan untuk menguji perbedaan rata-rata antara dua sampel yang berpasangan. Sampel yang berpasangan adalah sebuah kelompok sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda, misalnya perlakuan sebelum dan sesudah. Interpretasi dari output sebagai berikut :

- Output Paired Samples Statistics

Output ini menjelaskan tentang statistik data dari responden. - Output Paired Samples Correlations

Output ini menjelaskan tentang korelasi atau besar hubungan antara variabel sebelum dengan setelah.

- Output Paired Samples Test

Output ini menjelaskan tentang hasil uji t sampel berpasangan. Pengujian menggunakan tinkat signifikansi 0.05 dan uji 2 sisi.


(26)

Hipotesis

- H0 : Tidak ada perbedaan efektivitas antara sebelum dan setelah pengalihan

PBB-P2.

Ha : Ada perbedaan efektivitas antara sebelum dan setelah pengalihan

PBB-P2.

- H0 : Tidak ada perbedaan kontribusi antara sebelum dan setelah pengalihan

PBB-P2.

Ha : Ada perbedaan kontribusi antara sebelum dan setelah pengalihan

PBB-P2.

- H0 : Tidak ada perbedaan laju pertumbuhan antara sebelum dan setelah

pengalihan PBB-P2.

Ha : Ada perbedaan laju pertumbuhan antara sebelum dan setelah pengalihan

PBB-P2.

Kriteria pengujian :

Jika –t tabel t hitung t tabel maka H0 diterima

Jika –t hitung < -t tabel atau t hitung > t tabel maka H0 ditolak.

Hipotesis pengujian adalah :

H0 : tidak ada perbedaan antara sebelum dengan setelah

Ha : ada perbedaan antara sebelum dengan setelah

Kriteria pengujian berdasarkan signifikansi : Jika signifikan > 0.05 maka H0 diterima


(27)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil dan Pembahasan

4.1 Analisis Deskriptif

Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengalihan PBB-P2 ke seluruh Pemerintah kabupaten/kota telah dimulai 1 Januari 2014. Pengalihan penerimaan PBB-P2 kepada daerah membuat PAD Kota Metro meningkat. Peningkatan penerimaan pajak ini selain karena pengalihan ini juga dipengaruhi oleh tarif, luas lahan, jumlah luas bangunan dan NJOP. Untuk melihat kondisi tersebut maka akan diuraikan sebagai berikut:

1. Tarif

Tarif PBB-P2 sebelum dialihkan didasarkan pada Undang-Undang Pasal 88 Ayat 1, yaitu sebesar 0,5%, setelah dialihkan ke Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) pasal 80 tarif pajak daerah paling tinggi sebesar 0,3% dan ditetapkan dengan peraturan daerah Undang-Undang 28 Tahun 2009 Pasal 79 Ayat 3. Kota Metro menetapkan besarnya tarif sebesar 0,3 % dan ini merupakan kebijakan dari Kota Metro itu sendiri. Penentuan tarif setiap daerah berbeda sebagaimana sesuai dengan acuan masing-masing setiap daerah.


(28)

Luas tanah ditentukan dengan membedakan klasifikasi tanah menurut nilai jualnya. Kota Metro memiliki 5 kecamatan yaitu Metro Barat, Metro Selatan, Metro Utara, Metro Pusat dan Metro Timur. Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 UU Pajak Bumi dan Bangunan, yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi, (perairan) dan tubuh bumi yang berada di bawahnya. Permukaan bumi itu sebetulnya tidak lain daripada tanah. Jadi yang menjadi objek PBB-P2 itu adalah tanah (perairan) dan tubuh bumi. Untuk memudahkan penghitungan PBB-P2 yang terutang, tanah perlu diklasifikasikin (Soemitro, 1989). Klasifikasi tanah adalah pengelompokkan tanah menurut nilai jualnya, dan memperhatikan faktor-faktornya.

Tabel 8. Luas Lahan Sebelum dan Setelah Pengalihan PBB-P2 di Kota Metro

Kecamatan

Sebelum Pengalihan(m2)

Setelah

Pengalihan(m2) Perubahan (%)

Metro Barat 36.512.830 36.743.794 0,632

Metro Utara 56.056.853 72.166.439 28,737

Metro Selatan 46.599.278 46.884.144 0,611

Metro Timur 30.785.662 38.044.580 23,578

Metro Pusat 38.526.432 37.026.250 -3,893

Jumlah 208.481.055 230.865.207 10,736

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kota Metro.

Tabel di atas menjelaskan bahwa lahan seluas di Kota Metro dari 5 kecamatan. Baik sebelum dan setelah pengalihan adalah Kecamatan Metro Utara yang memiliki luas lahan yang lebih dari kecamatan lainnya, sedangkan lahan yang relatif lebih sempit yaitu pada Kecamatan Metro Timur sebesar 38.044.580 m2.

Sejak pengalihan pengelolaan PBB-P2 luas lahan di Kota Metro menjadi lebih luas. Pada Kecamatan Metro Utara dengan adanya pengalihan luas lahan


(29)

meningkat drastis sebesar 28,737% diikuti oleh Kecamatan Metro Timur sebesar 23,578%, ini dapat dikatakan bahwa dengan adanya pengalihan kewenangan yang dikelola Kota Metro berarti wilayah menjadi lebih berkembang dan luas.

Perubahan dengan rata-rata sebesar 10,736 % tersebut terjadi karena semakin tertibnya aparatur mendata luas lahan warga karena kewenangan pengukuran sudah ditetapkan Kota Metro makin luas lahan yang dimiliki, makin tinggi pula penerimaan pajak yang diperoleh pemerintah kota, dan pada akhirnya akan menambah penerimaan PBB-P2. Setiap penambahan luas lahan yang dimanfaatkan masyarakat, akan menambah jumlah wajib pajak baru, sehingga akan meningkatkan penerimaan PBB-P2.

Penelitian ini juga didukung oleh Sasana (2005) bahwa adanya pengaruh atau hubungan positif antara jumlah luas lahan dengan penerimaan PBB di Kabupaten Banyumas. Peningkatan jumlah luas lahan yang menjadi objek PBB di Kabupaten Banyumas sebesar 1%, akan meningkatkan penerimaan PBB-P2. Penelitian lainnya didukung oleh Afriansyah (2015), bahwa jumlah luas lahan memiliki pengaruh signifikan terhadap penerimaan PBB-P2 di Kota Tangerang periode 2010-2013.

3. Jumlah Luas Bangunan

Jumlah luas bangunan diukur dengan banyaknya bangunan yang menjadi objek PBB-P2 di setiap Kecamatan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dalam satuan meter persegi (m2). Bangunan yang juga dijadikan objek

PBB adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah (dan / atau perairan), yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau


(30)

tempat berusaha atau tempat yang dapat diusahakan. Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor (Soemitro, 1989): a) bahan yang digunakan, b) rekayasa, c) letak, d) kondisi lingkungan dan lain-lain. Sedangkan bangunan dapat dikategorikan dalam :

a. Bangunan beton, bangunan bertingkat / susun b. Bangunan terbuat dari batu

c. Bangunan terbuat dari kayu

d. Bangunan semi permanen, dan sebagainya.

Tabel 9. Jumlah Luas Bangunan Sebelum dan Setelah Pengalihan PBB-P2 di Kota Metro

Kecamatan

Sebelum Pengalihan(m2)

Setelah

Pengalihan(m2) Perubahan (%)

Metro Barat 1.487.401 1.588.622.5 6,805

Metro Utara 1.100.185 1.140.285 3,644

Metro Selatan 634.537 716.324,49 12,889

Metro Timur 2.021.316 1.934.847 -4,277

Metro Pusat 3.400.822 2.945.513 -13,388

Jumlah 8.644.261 8.325.591,99 -3,686

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kota Metro

Dilihat dari tabel di atas bahwa total jumlah bangunan di Kota Metro setelah pengalihan mengalami penurunan jumlah luas bangunan sebesar (3,686%). Penurunan ini terjadi karena ada 2 kecamatan yang jumlah luas bangunannya menurun pada Kecamatan Metro Timur menjadi sebesar -4,277% dan Metro Pusat menjadi sebesar -13,388%. Sebelum adanya pengalihan yang paling kecil di antara lainnya adalah Kecamatan Metro Selatan. Ini adalah wilayah yang belum banyak bangunan yang berdiri maka dengan itu kecamatan ini jumlah bangunannya lebih kecil. Tetapi setelah adanya pengalihan PBB-P2 Metro


(31)

Selatan yang meningkat drastis jumlah bangunannya dari pada kecamatan lainnya. Jumlah luas bangunan sebelum pengalihan sebesar 8.644.261 m2

kemudian mengalami penurunan setelah adanya pengalihan sebesar 8.325.591,99 m2.

Perubahan jumlah luas bangunan tersebut mengalami fluktuatif dan yang berbeda pada kecamatan Metro Selatan. Pada kecamaatan ini peningkatan perubahan terjadi sebesar 12,889 %. Sedangkan perubahan yang turun sangat jauh pada kecamatan Metro Pusat sebesar -13,388 %, penurunan ini terjadi karena masyarakat lebih memilih membangun di tempat lain yang lebih strategis dan lebih kecil dalam pengenaan NJOPnya dengan rata-rata perubahan sebelum dan setelah pengalihan yaitu sebesar -3,686 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara jumlah luas bangunan dengan penerimaan PBP-P2 di Kota Metro mempunyai sifat yang elastis, karena peningkatan jumlah luas bangunan yang kecil mampu menyebabkan peningkatan yang lebih besar pada penerimaan PBB-P2 di Kota Metro. Jumlah luas bangunan juga merupakan variabel yang dominan dalam mempengaruhi penerimaan PBB-P2 di Kota Metro.

Penelitian ini didukung oleh Sasana (2005) bahwa adanya pengaruh atau hubungan positif antara jumlah bangunan dengan penerimaan PBB di Kabupaten Banyumas. Angka elastisitas menunjukkan bahwa peningkatan jumlah bangunan yang menjadi objek PBB di Kabupaten Banyumas sebesar 1 %, dengan asumsi variabel yang lain konstan, akan meningkatkan penerimaan PBB. Penelitian lainnya didukung oleh Afriansyah (2015) bahwa wajib pajak, jumlah luas lahan,


(32)

jumlah bangunan memiliki pengaruh signifikan terhadap penerimaan PBB di Kota Tangerang periode 2010-2013.

4. NJOP

Penentuan besarnya NJOP tanah maupun bangunan untuk kondisi tanggal 1 Januari tahun pajak dilakukan melalui proses penilaian tanah dan atau bangunan. Penilaian dilakukan dengan tujuan untuk menentukan NJOP tanah maupun bangunan per m2 sebagai dasar pengenaan PBB. Penentuan NJOP tanah per

meter persegi, dilakukan setiap tahun oleh Pemda. NJOP ditetapkan berdasarkan surat keputusan bupati/walikota. Besarnya NJOP ditetapkan berdasarkan penilaian yang dilakukan dengan metode perbandingan data pasar dan dilaksanakan secara masal. Penilaian tanah dilakukan dengan tujuan untuk menentukan besarnya NJOP sebagai dasar pengenaan PBB-P2 dan tanggal penilaian ditetapkan untuk keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari tahun pajak. Nilai NJOP sebelum pengalihan dimulai dari Rp. 7.150/m2 sampai Rp.

702.000/m2 sesuai dengan zona nilai tanah. Sumber data pasar tanah diperoleh

melalui penjualan dan pembelian, notaris PPAT, broker, aparat daerah atau sumber lainnya yang dipercaya. Untuk Kota Metro sendiri semenjak pengalihan belum melakukan penyesuaian khususnya NJOP bumi. Rencana estimasi penyesuaian NJOP akan menggunakan dua kelas dari harga nilai jual tanah pasar. Penyesuaian NJOP ini berdasarkan aksesibilitas dan status jalan. Perubahan NJOP mengacu pada Perda Kota Metro Nomor 1 Tahun 2017 tentang pajak daerah. Pelaksaanan perubahan ini baru akan diterapkan pada tahun 2018.


(33)

Pertumbuhan nilai tanah maupun bangunan yang semakin meningkat diiringi dengan kegiatan perekonomian yang ada, sehingga menyebabkan penerimaan dari sektor pajak khususnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga meningkat. Dalam hal ini nilai jual objek pajak (NJOP) yang menjadi dasar perhitungan PBB sangat berpengaruh penting dalam penerimaan PBB. Penetapan NJOP yang tinggi menyebabkan penerimaan PBB juga mengalami peningkatan (Ovelia V. Imbing, 2013:484).

Penjelasan ini didukung oleh Purnamasari (2015) NJOP berbengaruh signifikan terhadap Penerimaan Pajak dan dapat dikatakan bahwa NJOP searah dengan

Penerimaan Pajak yang dilaporkan. Yang dimana jika NJOP meningkat maka Penerimaan Pajak juga meningkat. Pengaruh langsung NJOP Pajak terhadap

Penerimaan Pajak lebih besar, sedangkan Pengaruh tidak langsung Nilai Jual Objek

Pajak terhadap Penerimaan lebih kecil dari pengaruh langsung. Total Pengaruh Nilai

Jual Objek Pajak searah positif, artinya Pendapatan Daerah dipengaruhi oleh Nilai Jual Objek Pajak ke Penerimaan Pajak.

5. Penerimaan PBB-P2 Sebelum dan Setelah Pengalihan

PBB-P2 merupakan pajak objektif, di mana pengenaan pajak didasarkan pada objek dari PBB, yaitu bumi dan / atau bangunan, sehingga otomatis yang menjadi objek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Undang – undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah bahwa penerimaan PBB-P2 dialihkan ke pemerintah kabupaten/kota.

Tabel 10. Penerimaan PBB-P2 Sebelum dan Setelah Pengalihan di Kota Metro

Kecamatan

Sebelum Pengalihan (Rp)

Setelah Pengalihan (Rp)


(34)

Metro Barat 1.778.662.436 1.535.487.796 -13,671 Metro Utara 1.158.309.644 1.560.946.225 34,760

Metro Selatan 776.493.313 877.321.014 12,985

Metro Timur 2.577.435.105 2.250.346.603 -12,690 Metro Pusat 1.600.448.249 3.211.667.373 100,672

Jumlah 7.891.348.747 9.435.769.008 19,571

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kota Metro

Penerimaan PBB-P2 di Kota Metro dapat dilihat di tabel atas setelah pengalihan meningkat sebesar 19,571% dari Rp. 7.891.348.747 menjadi Rp. 9.435.769.008. PBB-P2 sebelum pengalihan terbesarnya di kecamatan Metro Timur sebesar Rp.2.577.435.105. Sementara penerima PBB-P2 yang paling kecil diantaranya yaitu Metro Selatan sebesar Rp.776.493.313. Dengan adanya pengalihan kewenangan penerimaan PBB-P2 di Kota Metro penerimaannya meningkat drastis. Bisa dilihat pada kecamatan Metro Pusat penerimaanya sebesar Rp.3.211.667.373. Penerimaan sebelum adanya pengalihan sebesar Rp. 7.891.348.747 sedangkan setelah adanya pengalihan meningkat menjadi sebesar Rp. 9.435.769.008. Ini membuktikan bahwa pengalihan pengelolaan PBB-P2 dapat meningkatkan penerimaan pajak daerah di kota tersebut. Dari 5 kecamatan tersebut yang meningkat penerimaan PBB-P2 yaitu pada Kecamatan Metro Utara, Metro Selatan dan Metro Pusat. Peningkatan penerimaan setelah pengalihan ini karena ketaatan wajib pajak untuk membayar dan NJOP yang dikenakan sesuai dengan zona nilai tanah masing-masing kecamatan. Selanjutnya ada 2 kecamatan yang mengalami penurunan penerimaan PBB-P2 yaitu pada Kecamatan Metro Barat dan Metro Timur. Penurunan yang terjadi ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman kegunaan


(35)

dari membayar pajak tersebut dan NJOP yang dikenakan lebih kecil dari 3 kecamatan lainnya.

Perubahan sebelum dan setelah pengalihan yang penerimaan paling tinggi pada kecamatan Metro Pusat melebihi 100%. Peningkatan penerimaan ini terjadi setelah adanya pengalihan ke pemerintah kabupaten/kota. Hal ini secara langsung memperlihatkan bahwa pengalihan penerimaan ini seluruhnya dikelolah oleh daerah dan bukan bagi hasil dari pemerintah pusat.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Rahman (2011) bahwa pemungutan PBB berjalan dengan cukup efektif karena setiap tahun mengalami peningkatan pembayaran oleh wajib pajak. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan penerimaan pajak pada KPP Pratama Parepare setiap tahunnya.

Penelitian ini didukung oleh Saputro (2014) bahwa potensi penerimaan PBB di Kabupaten Gianyar dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dengan beralih fungsinya lahan pertanian/tanah sawah menjadi tanah kering mengakibatkan nilai tanah berubah, di mana NJOP naik sehingga otomatis penerimaan PBB juga naik.

4.2 Analisis Efektivitas Pengalihan Pengelolaan PBB-P2

1. Efektivitas

Menurut Indra Bastian (2006), efektivitas merupakan hubungan antara output dan tujuan, dimana efektivitas diukur berdasarkan seberapa jauh tingkat output, kebijakan, dan prosedur organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengertian tersebut, output yang dimaksud adalah hasil atau


(36)

realisasi dari kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Dalam penelitian ni output tersebut merupakan hasil dari penerimaan PBB-P2.

Efektivitas adalah mengukur hubungan antara hasil pungutan suatu pajak dengan potensi atau target penerimaan pajak itu sendiri. Rumus yang digunakan dalam menghitung tingkat efektivitas penerimaan pajak adalah:

Efektivitas Pajak = Realisasi Penerimaan PBBP2

Target PBBP2 × 100% Sumber: Munir, dkk, 2004.

Besarnya tingkat efektivitas penerimaan PBB-P2 Kota Metro dari tahun 2009 -2016.

Tabel 11. Tingkat Efektivitas Pengalihan Pengelolaan PBB-P2.

Tahun Efektivitas(%)

2009 61.81

2010 57.23

2011 70.79

2012 73.03

Rata-rata 65.71

2013 69.16

2014 74.65

2015 77.92

2016 74.7

Rata-rata 74.11

Setelah hasil olah data di atas dapat diketahui dari segi penerimaan PBB-P2 sebelum dan sesudah pengalihan mengalami perubahan yang cukup besar dengan jumlah rata-rata penerimaan sebelum pengalihan sebesar 65.71% sedangkan setelah adanya pengalihan rata-rata menjadi 74.11%. Hal ini terlihat efektif dari rata-rata penerimaan setelah pengalihan terhadap penerimaan PBB-P2 bergerak naik pada tahun 2013. Pada tahun 2009-2012 penerimaan PBB-PBB-P2 tingkat efektivitas nilai tertinggi yaitu 73.03% pada tahun 2012 dengan


(37)

interpretasi kurang efektif. Pada tahun 2010 merupakan tingkat efektivitas terendah selama tahun 2009-2012 yaitu sebesar 57.23%. Sedangkan rata-rata sebelum pengalihan yaitu sebesar 65.71%.

Tingkat efektivitas PBB-P2 saat ini dikelola Dinas Pendapatan Kota Metro mengalami peningkatan penerimaan PBB-P2 pada tahun 2013-2016. Tahun 2015 merupakan tingkat efektivitas tertinggi yaitu sebesar 77.92% dengan interpretasi kurang efektif dan tingkat efektivitas terendah yaitu sebesar 69.16% pada tahun 2013. Pada Tahun 2016 mengalami penurunan efektivitas karena penerimaan PBB-P2 tidak sesuai target yang ditetapkan. Rata-rata penerimaan setelah pengalihan sebesar 74.11%.

Jumlah rata-rata sebelum dan setelah pengalihan mengalami peningkatan. Ini membuktikan bahwa dengan adanya pengalihan luas lahan, luas bangunanan dan NJOP juga berpengaruh dalam efektivitas penerimaan PBB-P2.

Penelitian ini didukung oleh Rima Adelina (2012) menyimpulkan bahwa tingkat efektivitas penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 dikatakan sangat efektif dengan persentase lebih dari 100%. Penelitian lainnya dilakukan oleh Saputro (2014) bahwa tingkat efektivitas penerimaan PBB Perkotaan Surabaya saat dikelola DJP (2009-2010) dengan rata-rata sebesar 86.54% menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan saat dikelola Kota Surabaya DPPK (2011-2013) dengan rata-rata sebesar 76.38%. Penelitian ini didukung oleh Rizka (2014) bahwa penerimaan PBB Kota Probolinggo kurang efektif karena selama 6 tahun dari 2008-2013 belum mencapai target penerimaan yang ditentukan.


(38)

Penelitian lainnya oleh Nur Riza Utiarahman (2016) bahwa tingkat efektivitas tahun 2011-2012 PBB Kota Tomohon belum efektif pada tahun 2013 sudah efektif. Penelitian ini didukung oleh Sumena O. Polli (2014) bahwa tingkat efektivitas PBB kota Manado cukup efektif karena hampir seluruh tahun dari tahun 2008-2012 tingkat efektivitasnya mencapai kriteria yang ditetapkan.

Secara statistik tingkat efektivitas juga dapat dihitung dengan menggunakan uji 2 beda rata-rata sebagai berikut:

Tabel 12. Uji Sampel Berpasangan Tingkat Efektivitas Pengalihan PBB-P2

Grup Mean Correlations T

Efektivitas 65.7188 0.473 -2.556

sig 0.527 sig 0.083 efektivitas 1 74.1127

Tabel di atas menunjukkan tingkat efektivitas dengan menggunakan uji t sampel berpasangan penerimaan PBB-P2 sebelum dan sesudah pengalihan tahun 2009-2016, berdasarkan sig 0.083 berarti bahwa ada perbedaan tingkat efektivitas antara sebelum pengalihan PBB-P2 dengan setelah adanya pegalihan PBB-P2. Selain dapat melihat dari t hitung bisa juga dilihat dari signifikansinya.

2. Kontribusi

Kontribusi penerimaan PBB-P2 dilakukan dengan membandingkan penerimaan total pajak daerah. Semakin besar rasio kontribusi ini berarti semakin efektif pengalihan penerimaan pajak daerah, begitu pula sebaliknya jika kontribusinya makin menurun berarti peranan pajak daerah juga kecil. Rumus pengukuran kontribusi PBB-P2 terhadap pajak daerah sebagai berikut :


(39)

Kontribusi PBB = Realisasi Penerimaan PBB

Realisasi Penerimaan Pajak Daerah × 100% sumber: Munir, dkk, 2004.

Kontribusi sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 terhadap total Pajak Daerah Kota Metro Tahun 2009-2016.

Tabel 13. Tingkat Kontribusi Sebelum dan Setelah Pengalihan PBB-P2 Tahun Kontribusi (%)

2009 43.67

2010 47.34

2011 37.37

2012 36.1

Rata-rata 41.1

2013 19.27

2014 18.63

2015 17.48

2016 16.99

Rata-rata 18.09

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa rata-rata kontribusi penerimaan PBB-P2 sebelum pada tahun 2009-2012 sebesar 41.12% dan setelah adanya pengalihan rata-rata kontribusi turun yaitu sebesar 18.09% menurun sebesar 23% dari sebelum adanya pengalihan penerimaan PBB-P2. Pada tahun 2009-2012 mengalami fluktuasi, Pada tahun 2009-2012 merupakan kontribusi yang sangat baik yaitu sebesar 47.34%, sedangkan pada tahun 2012 mengalami penurunan dengan nilai kontribusi yaitu 36.1%.

Setelah adanya pengalihan PBB-P2 tahun 2013-2016 yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Kota Metro kontribusi mengalami penururan dari sebelum adanya pengalihan. Pada tahun 2016 merupakan kontribusi terendah setelah adanya pengalihan yaitu sebesar 16.99%, sedangkan kontribusi tertingginya pada tahun


(40)

2013 sebesar 19.27% dengan interpretasi kurang. Rata- rata setelah adanya pengalihan sebesar 18.09. Penurunan kontribusi penerimaan PBB-P2 dikarenakan dengan masuknya PBB-P2 ke daerah maka pajak daerah meningkat dan dalam perhitungan kontribusi pajak daerah menjadi lebih besar dan adanya kendala dalam rangka optimalisasi penerimaan PBB-P2 Kota Metro. Kendala tersebut berupa kurangnya kesadaran warga untuk membayar pajak. Penurunan ini juga dikarenakan PBB-P2 sudah termasuk pajak daerah sehingga penerimaan pajak daerah menigkat dan ini mengakibatkan pembagian penerimaan PBB terhadap pajak daerah semakin menurun.

Tabel 14. Realisasi Penerimaan PBB-P2 dan Pajak Daerah

TAHUN REALISASI PBB-P2(Rp) PAJAK DAERAH(Rp)

2009 1.598.652.412 3.660.580.994

2010 1.543.688.988 3.260.505.131

2011 2.300.121.960 6.153.598.584

2012 2.457.866.636 6.807.598.744

2013 2.176.474.957 11.291.481.099

2014 2.357.971.982 12.651.879.441

2015 2.501.532.489 14.309.185.603

2016 2.427.848.443 14.281.738.649

Sumber : Dinas Pendapatan Kota Metro

Penelitian ini didukung oleh Rima Adelina (2012) menyimpulkan bahwa tingkat kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 dikatakan sangat kurang dengan persentase kurang dari 10%. Penelitian ini juga didukung oleh Kharisma Wanta Tarigan (2013) bahwa kontribusi PBB di KPP Pratama Kota Manadodari tahun 2008-2011 rata-rata 5% sedangkan tahun 2010 yaitu 6%.


(41)

Penelitian lainnya dilakukan oleh Saputro (2014) bahwa kontribusi PBB Perkotaan Surabaya terhadap pajak daerah dan PAD kota Surabaya periode 2011-2013 selalu mengalami penurunan. Penelitian terdahulu oleh Sumena O. Polli (2014) bahwa jumlah penerimaan PBB Kota Manado memberikan kontribusi yang masih kurang bagi pendapatan daerah sehingga mempengaruhi jumlah pendapatn daerah yang diterima.

Penelitian lainnya oleh Nur Riza Utiarahman (2016) bahwa kontribusi Kota Tomohon dari tahun 2011-2015 selalu mengalami penurunan dan hanya mengalami kenaikan pada tahun 2014, sedangkan tahun 2014-2015 terus mengalami penurunan kontribusi. Penelitian terdahulu juga pernah dilakukan oleh Wigi Astuti (2016) bahwa kontribusi Kota Balikpapan yang diberikan PBB-P2 terhadap PAD mengalami penurunan setiap tahunnya sehingga mempengaruhi jumlah pendapatan daerah yang diterima.

Secara statistik tingkat kontribusi juga dapat dihitung dengan menggunakan uji 2 beda rata-rata sebagai berikut:

Tabel 15. Uji Sampel Berpasangan Tingkat Kontribusi Pengalihan PBB-P2

Grup Mean Correlations T

Kontribusi 41.1251 0.776 6.123

sig 0. .224 sig 0.009 Kontribusi 1 30.8540

Tabel di atas menunjukkan tingkat kontribusi penerimaan PBB-P2 sebelum dan sesudah pengalihan tahun 2009-2016 dengan menggunakan uji t sampel berpasangan, berdasarkan sig 0.009 berarti bahwa ada perbedaan tingkat


(42)

kontribusi antara sebelum pengalihan PBB-P2 dengan setelah adanya pegalihan PBB-P2.

3. Laju Pertumbuhan

Analisis efektivitas laju pertumbuhan dihitung dengan menggunakan PBB-P2 sebelum dan setelah pengalihan untuk mengetahui pertumbuhan penerimaan daerah setiap tahunnya. Perubahan realisasi penerimaan daerah setiap tahunnya menggambarkan iklim ekonomi setiap tahunnya. Perubahan realisasi penerimaan setiap tahunnya mempengaruhi besar kecilnya laju pertumbuhan penerimaan daerah tersebut. Semakin besar perubahan realisasi yang diberikan dari tahun sebelumnya, maka laju pertumbuhanyang terjadi besar pula. Demikian sebaliknya, semakin kecil penerimaan dari tahun sebelumnya, maka laju pertumbuhan yang terjadi semakin kecil. Laju pertumbuhan penerimaan PBB-P2 Kota Metro dari tahun 2009-2016 dapat dilihat sebagai berikut.

Gambar 3. Tingkat Laju Pertumbuhan Pengalihan PBB-P2.

2009 2010 2011 2012 sebe

lum 2013 2014 2015 2016 sete lah -20 -10 0 10 20 30 40 50 60

LAJU PERTUMBUHAN

LAJU PER-TUMBUHAN A x is T it le


(43)

Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan penerimaan PBB-P2 sebelum dan setelah pengalihan dari tahun 2009-2016 mengalami fluktuasi. Laju pertumbuhan penerimaan PBB-P2 sebelum dan setelah pengalihan di Kota Metro tertinggi dalam periode tahun 2009-2016 terjadi pada tahun 2011. Laju pertumbuhan penerimaan PBB-P2 sebelum adanya pengalihan tahun 2012 mengalami penurunan yang sangat signifikan sedangkan rata-rata laju pertumbuhan sebelum pengalihan sebesar 6.85%. Dari adanya pengalihan tersebut laju pertumbuhan mengalami penurunan tidak seperti tahun sebelumnya. Pada tahun 2013 ini terjadi penurunan laju pertumbuhan sebesar -11.44% sedangkan untuk rata-rata laju pertumbuhan setelah adanya pengalihan yaitu sebesar 0.008%. Pada tahun 2014 sampai tahun 2016 mengalami penurunan karena penerimaan PBB-P2 tidak melebihi target yang ditetapkan.

Penelitian ini didukung oleh Wigi Astuti (2016) bahwa laju pertumbuhan Kota Balikpapan dari 2012-2014 mengalami pertumbuhan yang tidak stabil. Pada tahun 2013 mengalami penurunan dan tahun 2014 mengalami kenaikan.

Secara statistik laju pertumbuhan juga dapat dihitung dengan menggunakan uji 2 beda rata-rata sebagai berikut:

Tabel 16. Uji Sampel Berpasangan Tingkat Laju Pertumbuhan Pengalihan PBB-P2

Grup Mean Correlations T

Laju pertumbuhan 13.4708 0.355 1.197


(44)

Laju pertumbuhan 1 .0083

Tabel di atas menunjukkan tingkat laju pertumbuhan penerimaan PBB-P2 dengan menggunakan uji t sampel berpasangan sebelum dan sesudah pengalihan tahun 2009-2016, berdasarkan sig 0.317 berarti bahwa tidak ada perbedaan tingkat laju pertumbuhan antara sebelum pengalihan PBB-P2 dengan setelah adanya pegalihan PBB-P2.

4. Kinerja Pengalihan Pengelolaan PBB-P2

Menurut Abdul Halim (2007), efektivitas pajak daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengumpulkan realisasi pajak daerah sesuai dengan jumlah target penerimaan pajak. Menurut aturan penyimpangan

¿± 10%. Jika realisasi mencapai ± 10% target maka kinerja keuangan pengalihan efektif. Kinerja Pengelolaan PBB-P2 dapat dilakukan dengan melalukan perbandingan antara realisasi penerimaan PBB-P2 dengan target PBB-P2.

Tabel 17. Realisasi Penerimaan dan Target PBB-P2 Kota Metro

Tahun Realisasi Penerimaan(Rp) Target PBB-P2 (Rp) Penyimpangan(%)

2009 1.598.652.412 2.586.269.080 38,186

2010 1.543.688.988 2.697.329.990 42,769

2011 2.300.121.960 3.249.116.147 29,207

2012 2.457.866.636 3.365.118.094 26,960

rata-rata 34,281

2013 2.176.474.957 3.146.836.651 30,836

2014 2.357.971.982 3.158.685.540 25,359

2015 2.501.532.489 3.210.052.997 22,071

2016 2.427.848.443 3.249.764.588 25,291

rata-rata 25,887


(45)

Tabel di atas dapat dijelaskan bahwa realisasi penerimaan belum mencapai target yang telah ditetapkan. Kinerja pengalihan bisa terlihat bahwa sebelum adanya pengalihan dan setelah pengalihan tidak ada yang berbeda untuk pencapaian karena belum bisa melampaui target yang ada. Ini salah satu cara untuk membuat perubahan penerimaan PBB-P2 supaya semua kinerja pengalihan sesuai dengan target. Adapun hal lain yang harus diperbaiki sebagai acuan perubahan.

Penyimpangan yang terjadi dari tahun 2009-2016 > 10% ini berarti melebihi aturan yang ada dalam penyimpangan. Penyimpangan ini terjadi disebabkan realisasi penerimaan PBB belum pernah mencapai target yang ditetapkan maka dengan demikian yang terjadi penyimpangan melampaui batas yang ada. Perbandingan keduanya dilakukan untuk melihat kinerja pengelolaan PBB-P2 di Kota Metro. Dengan demikian bahwa kinerja pengelolaan PBB-P2 belum baik dan harus ada peningkatan dalam pencapaian maksimal untuk realisasi PBB-P2.

Ada perbaikan kinerja pengelolaan PBB-P2 antara target dan realisasi sebab sebelum pengalihan penyimpangan sebesar 34,281% lalu penyimpangan terjadi setelah pengalihan sebesar 25,887%. Ini berarti bahwa kinerja pengelolaan PBB-P2 setelah pengalihan menjadi lebih baik.


(46)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uji dan pembahasan yang telah dilakukan tentang efektivitas pengalihan pengelolaan penerimaan PBB-P2 kepada kabupaten/kota, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Tingkat efektivitas ini menunjukkan bahwa sebelum adanya pengalihan hanya meningkat perlahan dengan intepretasi kurang efektif, dan setelah pengalihan terjadi peningkatan yang besar dengan intepretasi kurang efektif juga namun


(47)

setelah pengalihan ini terjadi penurunan pada tahun 2016. Tetapi untuk rata-rata sebelum dan setelah adanya pengalihan PBB-P2 mengalami peningkatan.

2. Tingkat kontribusi ini sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 tidak mengalami kenaikan, hanya saja pada sebelum pengalihan sempat terjadi kenaikan. Tetapi setelah pengalihan tetap saja mengalami penurunan. Hasil uji sampel berpasangan menjelaskan bahwa adanya perbedaan tingkat kontribusi antara sebelum dengan setelah pengalihan PBB-P2.

3. Tingkat laju pertumbuhan sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 ini tidak jauh berbeda setiap tahunnya terjadi naik turun yang sangat jauh antara tahun sebelumnya dengan tahun sekarang. Penerimaan yang tidak stabil

sangat berpengaruh karena PBB-P2 merupaka salah satu sumber pendapatan yang menunjang pendapatan daerah.

4. Kinerja Pengelolaan PBB-P2 belum maksimal dilihat dari perbandingan target penerimaan dengan realisasi penerimaan terjadi penyimpangan melebihi dari 10%. Ini dikarenakan belum pernah tercapainya target PBB-P2.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis mengajukan saran antara lain yaitu:

1. Penerimaan PBB-P2 harus dioptimalkan dengan membuat pembayaran secara online, karena kurang efektif dalam penerimaan PBB-P2 sehingga penerimaan PBB-P2 ini seharusnya tercapai sebagaimana mestinya dan harus efektif agar terlihat berbeda dengan sebelum adanya pengalihan


(48)

tersebut. Diharapkan lebih meningkatkan lagi target dan realisasi penerimaan PBB-P2.

2. Pemerintah harus tetap mengontrol bagi wajib pajak yang melakukan kecurangan pajak dan ketaatan, khususnya PBB-P2 akan diberikan reward dan punishment. Hal tersebut dilandasi dengan pemberian sanksi hukuman yang tegas bagi yang melanggar peraturan tersebut dan mendapatkan penghargaan bagi yang taat dan tepat waktu membayar pajak.

3. Memberikan penyuluhan lebih lagi kepada masyarakat dengan lebih banyak diadakan sosialisasi wajib pajak tentang pentingnya membayar pajak khususnya PBB-P2 karena secara tidak langsung realisasi penerimaan pajak akan sangat bermanfaat bagi masyarakat nantinya.


(49)

(50)

(1)

45

Tabel di atas dapat dijelaskan bahwa realisasi penerimaan belum mencapai target yang telah ditetapkan. Kinerja pengalihan bisa terlihat bahwa sebelum adanya pengalihan dan setelah pengalihan tidak ada yang berbeda untuk pencapaian karena belum bisa melampaui target yang ada. Ini salah satu cara untuk membuat perubahan penerimaan PBB-P2 supaya semua kinerja pengalihan sesuai dengan target. Adapun hal lain yang harus diperbaiki sebagai acuan perubahan.

Penyimpangan yang terjadi dari tahun 2009-2016 > 10% ini berarti melebihi aturan yang ada dalam penyimpangan. Penyimpangan ini terjadi disebabkan realisasi penerimaan PBB belum pernah mencapai target yang ditetapkan maka dengan demikian yang terjadi penyimpangan melampaui batas yang ada. Perbandingan keduanya dilakukan untuk melihat kinerja pengelolaan PBB-P2 di Kota Metro. Dengan demikian bahwa kinerja pengelolaan PBB-P2 belum baik dan harus ada peningkatan dalam pencapaian maksimal untuk realisasi PBB-P2. Ada perbaikan kinerja pengelolaan PBB-P2 antara target dan realisasi sebab sebelum pengalihan penyimpangan sebesar 34,281% lalu penyimpangan terjadi setelah pengalihan sebesar 25,887%. Ini berarti bahwa kinerja pengelolaan PBB-P2 setelah pengalihan menjadi lebih baik.


(2)

46

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan uji dan pembahasan yang telah dilakukan tentang efektivitas pengalihan pengelolaan penerimaan PBB-P2 kepada kabupaten/kota, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Tingkat efektivitas ini menunjukkan bahwa sebelum adanya pengalihan hanya meningkat perlahan dengan intepretasi kurang efektif, dan setelah pengalihan terjadi peningkatan yang besar dengan intepretasi kurang efektif juga namun


(3)

47

setelah pengalihan ini terjadi penurunan pada tahun 2016. Tetapi untuk rata-rata sebelum dan setelah adanya pengalihan PBB-P2 mengalami peningkatan. 2. Tingkat kontribusi ini sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 tidak mengalami kenaikan, hanya saja pada sebelum pengalihan sempat terjadi kenaikan. Tetapi setelah pengalihan tetap saja mengalami penurunan. Hasil uji sampel berpasangan menjelaskan bahwa adanya perbedaan tingkat kontribusi antara sebelum dengan setelah pengalihan PBB-P2.

3. Tingkat laju pertumbuhan sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 ini tidak jauh berbeda setiap tahunnya terjadi naik turun yang sangat jauh antara tahun sebelumnya dengan tahun sekarang. Penerimaan yang tidak stabil

sangat berpengaruh karena PBB-P2 merupaka salah satu sumber pendapatan yang menunjang pendapatan daerah.

4. Kinerja Pengelolaan PBB-P2 belum maksimal dilihat dari perbandingan target penerimaan dengan realisasi penerimaan terjadi penyimpangan melebihi dari 10%. Ini dikarenakan belum pernah tercapainya target PBB-P2.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis mengajukan saran antara lain yaitu: 1. Penerimaan PBB-P2 harus dioptimalkan dengan membuat pembayaran

secara online, karena kurang efektif dalam penerimaan PBB-P2 sehingga penerimaan PBB-P2 ini seharusnya tercapai sebagaimana mestinya dan harus efektif agar terlihat berbeda dengan sebelum adanya pengalihan


(4)

48

tersebut. Diharapkan lebih meningkatkan lagi target dan realisasi penerimaan PBB-P2.

2. Pemerintah harus tetap mengontrol bagi wajib pajak yang melakukan kecurangan pajak dan ketaatan, khususnya PBB-P2 akan diberikan reward dan punishment. Hal tersebut dilandasi dengan pemberian sanksi hukuman yang tegas bagi yang melanggar peraturan tersebut dan mendapatkan penghargaan bagi yang taat dan tepat waktu membayar pajak.

3. Memberikan penyuluhan lebih lagi kepada masyarakat dengan lebih banyak diadakan sosialisasi wajib pajak tentang pentingnya membayar pajak khususnya PBB-P2 karena secara tidak langsung realisasi penerimaan pajak akan sangat bermanfaat bagi masyarakat nantinya.


(5)

(6)