Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB IV

BAB IV
TINJAUAN TERHADAP PERAN DAN STRATEGI GEREJA DALAM PEMBANGUNAN
KARAKTER TARUNA-PEMUDA DI GPIB JEMAAT BUKIT SION BALIKPAPAN

Untuk menjawab pertanyaan apa peran maupun strategi yang digunakan GPIB Jemaat Bukit
Sion Balikpapan serta apakah kedua hal tersebut telah membangun karakter yang sesuai dengan
perkembangan taruna-pemuda maka diperlukan penganalisaan. Dengan tujuan yang demikianlah
maka bab ini ditulis. Penganalisaan tersebut dilakukan dengan menilai hasil penelitian pada bab III
dengan menggunakan barometer teori yang dipaparkan pada bab II tentang pendidikan karakter
dan peran gereja terhadap pembangunan karakter remaja-pemuda. Oleh karena itu, dalam bab ini
analisa akan diuraikan menjadi tiga bagian sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas.
Selanjutnya dalam bab ini juga dipaparkan tentang refleksi teologi.

IV.1. Analisa Pendidikan Karakter di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan
IV.1.1. Pemahaman Gereja Bukit Sion Tentang Karakter Kristen
Pembangunan karakter bagi generasi penerus adalah penting dan sifatnya
mendesak. Hal itu dilakukan melihat realita kehidupan yang semakin mengancam
taruna dan pemuda untuk melakukan tindakan-tindakan yang buruk. Apabila
pembangunan karakter tidak sesegera mungkin dilaksanakan di berbagai lini
kehidupan, akan semakin banyak taruna maupun pemuda yang tidak dapat
berperilaku baik, dan pada akhirnya gereja akan diragukan keeksistensiannya.

Lebih jauh lagi dampak yang timbul adalah kehancuran akan bangsa ini. Oleh
karena itu, saat ini marak upaya yang dilakukan oleh satuan pendidikan formal
dalam membangun karakter dengan mendasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Demikian halnya dengan keluarga-keluarga. Mereka semakin sadar akan karakter
baik yang harus dimiliki oleh anak-anak mereka. Pergerakan yang meningkat yang

95

ditunjukan baik oleh satuan pendidikan formal serta keluarga tidak hanya nampak
dari perilaku mereka secara langsung kepada subyek yang di didik, namun juga dari
banyaknya referensi tertulis yang tersedia.
Bagaimana dengan gereja sebagai salah satu agen atau pilar pendidikan?
Berdasarkan temuan dari hasil penelitian maka nampak bahwa pergerakan yang
demikian masih belum ditunjukan oleh gereja. Hal itu terjadi sebab gereja tidak
hanya terdiri dari satu atau dua orang yang dengan mudahnya menyamakan
harapan, visi, serta strategi. Gereja merupakan satu persekutuan yang terdiri dari
banyak orang yang percaya kepada Allah.113 Selain itu juga sebagian besar gereja
menggunakan sistem struktural. Maksudnya, mereka memiliki sinode sebagai
pengatur utama dari gerak gereja yang berada di bawah payungnya, serta memiliki
kepengurusan di masing-masing gereja. Dengan keadaan gereja yang demikian

tidak mudah untuk menyatukan harapan, visi, serta strategi yang baik untuk gereja.
Ide-ide yang pada hakekatnya mengembangkan gereja serta memperluas perannya
akan tidak mudah untuk diaplikasikan. Selain itu juga akan menjadi tidak mudah
dalam menyatukan pemahaman-pemahaman yang muncul dari individu-individu
yang ada. Pemahaman masing-masing individu tentang sesuatu hal pada dasarnya
berbeda. Perbedaan tersebut muncul karena mereka tidak hanya memandang dari
sudut yang sama, namun dari sudut yang berbeda-beda. Hal ini diakibatkan oleh
latar belakang kehidupan yang berbeda. Misal, profesi, tingkat pendidikan,
kebudayaan, sosial, termasuk juga keadaan keluarga.
Pemahaman yang berbeda juga terjadi dalam GPIB Jemaat Bukit Sion
Balikpapan. Dalam hal ini dimiliki oleh pendeta, majelis, dan para pelayan
kategorial Persekutuan Taruna (PT) dan Gerakan Pemuda (GP). Mereka adalah

113

Jan S. Aritonang dan Chr. De Jounge, Apa dan Bagaimana Gereja? Pengantar Sejarah Eklesiologi, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009), 39.

96


pelaksana baik itu kegiatan yang diprogramkan serta yang seharusnya membangun
karakter Kristen bagi anak taruna dan pemuda. Kurangnya pemahaman yang
mereka miliki dalam hal ini terkait dengan karakter secara umum. Melihat data
yang disajikan dalam bab sebelumnya, menunjukan bahwa gereja baru sebatas
mengetahui namun belum memahami tentang karakter dan pembangunan. Mengapa
dikatakan demikian? Alasannya ialah secara sepintas antara mengetahui dan
memahami adalah hal yang sama, namun jika dikaji lebih dalam sesungguhnya
terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut yakni nampak dalam tindakan selanjutnya.
Dalam artian bahwa ketika gereja hanya sebatas mengetahui maka gereja hanya
sebatas tahu setelah melihat maraknya tindakan-tindakan buruk yang dilakukan
oleh kaum muda. Dalam hal ini berarti gereja cukup berhenti pada tahu namun
tidak berpotensi untuk bertindak. Berbeda halnya dengan memahami. Memahami
berarti mengetahui secara mendalam dan berpotensi besar dalam melakukan
tindakan. Oleh karena gereja hanya terhenti pada mengetahui maka berdampak
pada ketidak-punyaan strategi khusus dalam membangun karakter para taruna dan
pemuda.
Pemahaman tentang karakter belum tentu dimiliki oleh individu-individu yang
bertugas dalam membangun karakter. Secara umum ini disebabkan oleh beberapa
penyebab, yaitu pertama, kurangnya mengikuti perkembangan dalam bidangbidang kehidupan, termasuk pendidikan. Kesibukan dalam pekerjaan dapat menjadi
akar permasalahan dalam poin ini. Ketika seseorang disibukkan dengan

pekerjaannya maka geraknya untuk mengetahui dan memahami hal lainnya menjadi
dibentengi. Kedua, keterbatasan pendidikan. Dengan tingkat pendidikan yang
rendah akan mempengaruhi kemampuan dalam memahami karakter secara
operasional yaitu tujuan, strategi, metode. Ketiga, sistem pendidikan yang berubahubah. Perubahan sistem pendidikan cukup sering terjadi di bangsa ini. Padahal,

97

dengan merubah sistem pendidikan maka akan berpengaruh pada substansi dari
pendidikan, khususnya fokus yang ditargetkan pemerintah untuk dicapai
masyarakat. Sebagai contoh, ketika para pelayan atau pengajar duduk di bangku
sekolah atau perguruan tinggi, pembangunan karakter bukanlah menjadi fokus dari
sistem pendidikan saat itu. Hal tersebut kemudian berdampak pada profesi mereka,
khususnya sebagai pelayan maupun pengajar. Di mana mereka menjadi kurang
memahami tentang karakter serta pembangunan karakter.
Pada dasarnya pemahaman karakter dalam secara umum adalah dasar seseorang,
lembaga, maupun komunitas agama memahami karakter lebih jauh lagi.
Maksudnya ialah ketika komunitas agama dalam hal ini gereja mampu memahami
konsep umum dari karakter maka mereka akan mampu mengejawantahkannya
dalam kehidupan gereja. Selanjutnya, mereka akan mampu membangun karakter
menurut nilai-nilai Kristen. Idealnya demikian, namun kenyataan yang terjadi

berbeda.
Dalam gereja masih terdapat paradigma yang melihat bahwa pelayanan yang
sifatnya membangun iman adalah hal yang terpenting, sehingga mereka lebih
terfokus pada melayani jemaat dengan tujuan tersebut. Paradigma yang demikian
menunjukkan bahwa gereja masih mengikuti pola yang terbentuk sejak pra–
modern.114 Sebenarnya, dengan integritas yang tinggi yang dimiliki oleh gereja,
gereja mampu melaksanakan pendidikan yang tidak hanya berkaitan dengan teologi
atau rohani melainkan juga non-teologi. Oleh karena itu jika gereja masih
mengikuti pola lama yang memisahkan antara yang teologi dan non-teologi, gereja
tidak akan dapat melaksanakan perannya dalam membangun karakter.
Pada dasarnya gereja telah berupaya untuk tidak hanya melaksanakan
pendidikan yang bersifat teologi. Hal itu nampak di mana bidang sosial berada
Liliana Trofin, “THE MODES OF RELIGIOUS EDUCATION: CHRISTIANITY’S CONTEMPORARY
STATUS”, dalam Linguistic and Philosophical Investigations Volume 10, 2011, 151.

114

98

diposisi kedua setelah rohani. Jemaat merespon dengan cepat ketika memberikan

bantuan baik berupa materi maupun jasa kepada yang membutuhkan. Namun hal itu
belum terjadi secara nyata dalam bidang pendidikan. Gereja belum maksimal
memberikan perhatian terhadap pelayanan di bidang pendidikan. Pernyataan ini
juga ditegaskan oleh Pendeta Weinata Sairin sebagai salah satu dari tantangan bagi
perkembangan pendidikan yang berbasis Kristen.115 Pendidikan di Indonesia pada
hakekatnya dapat berkembang dan bersaing dengan negara-negara lainnya ketika
adanya kesadaran dalam diri seluruh pihak yang ada di bangsa ini, termasuk gereja.
Kesadaran yang demikian telah dimiliki oleh GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan.
Gereja membutuhkan program-program yang tidak hanya bersifat abstrak, yang
tidak sesuai dengan perkembangan anak-anak taruna dan pemuda. GPIB Jemaat
Bukit Sion membutuhkan program yang spesifik terkait dengan cara yang
dilakukan dalam menumbuh-kembangkan karakter Kristen yang sesuai dengan
tingkat perkembangan anak-anak yang termasuk taruna dan pemuda. Hal itu dapat
dilakukan GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan dengan merancang sasaran-sasaran
program pada tiap tahun. Misal: tahun pertama harus mengetahui target karakter
yang akan dicapai oleh mereka. Atau dengan kata lain bahwa gereja terlebih dahulu
memiliki sejumlah nilai-nilai karakter Kristen yang akan ditargetkan kepada
seluruh jemaat, khususnya dalam hal ini anak-anak taruna dan pemuda. Nilai-nilai
tersebut merupakan pilihan gereja yang dianggap sangat penting untuk dimiliki dan
sesuai dengan tingkat perkembangan mereka. Dari nilai-nilai tersebut, gereja

kemudian merancang memasukkannya pada setiap kegiatan yang merupakan wujud
dari program-program yang ada dengan berbagai cara yang kreatif dan inovatif.
Melalui cara-cara tersebut dalam program-program GPIB Jemaat Bukit Sion dapat

115

Pdt. Weinata Sairin, Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia Antara Konseptual dan Operasional,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 14.

99

memiliki tujuan umum dan khusus dalam rangka membentuk dan mengembangkan
karakter Kristen di tengah jemaat.
Nampak dari sikap dan tindakan yang tergambar dalam tiap kegiatan gereja
menunjukkan bahwa seakan-akan gereja belum memiliki kesadaran tersebut. Pada
hakekatnya karakter yang dibangun melalui pendidikan berkaitan erat dengan
lingkungan sekitar seseorang itu tumbuh. Dengan demikian, bagi anak-anak
Kristen, gereja sebagai komunitas agama yang mereka anut, tentunya berpengaruh.
Ketika gereja berhasil membangun karakter Kristen dalam diri mereka maka akan
berdampak bagi pertumbuhan dan perkembangan gereja di masa depan. Anak

taruna dan pemuda adalah generasi atau tonggak dari gereja. Mereka adalah
penerus yang dapat melakukan pertumbuhan maupun perkembangan gereja di
kehidupan yang akan datang. Hal inilah yang penting untuk diketahui dan disadari
oleh seluruh pihak gereja.
Pendidikan adalah media yang seharusnya dipergunakan dengan baik oleh gereja
dalam membangun karakter para taruna dan pemuda. Untuk membedakan
pendidikan tersebut dari pendidikan umum lainnya maka pendidikan yang
diberikan harus didasari oleh ajaran-ajaran Kristen (firman Tuhan) yang ditulis
dalam Alkitab. Secara langsung N.T.Wright dalam teorinya menegaskan bahwa
orang-orang Kristen harus bersedia meneladani tindakan dan sikap positif yang
dilakukan Yesus. Berbagai karakter seperti sabar, rendah hati, dermawan, dan
mengasihi menjadi model atau teladan yang Ia lakukan.116 Pada hakekatnya seluruh
ajaran Kristus yang diimani oleh orang-orang Kristen sifatnya adalah baik. Tidak
hanya baik bagi individu dan komunitas iman Kristen, namun juga bagi individu
dan komunitas lainnya. Dari uraian ini nampak bahwa iman Kristen berkaitan erat
dengan karakter.
116

N.T.Wright, ibid., 48.


100

Seluruh ajaran dan perintah Yesus, baik dalam Perjanjian Lama maupun Baru,
dirancang untuk mengungkapkan karakter baik yang dilakukan oleh-Nya. Apabila
dikaji lebih dalam, tanpa banyak diketahui oleh orang-orang Kristen bahwa
sesungguhnya ketika mereka menaati ajaran dan perintah Yesus maka mereka telah
melakukan nilai-nilai karakter yang marak diwacanakan saat ini. Nilai-nilai
karakter yang universal, yang diupayakan oleh satuan pendidikan formal maupun
keluarga untuk dilakukan adalah nilai-nilai yang telah lama dilakukan oleh orangorang yang percaya kepada Yesus. Nilai-nilai tersebut tidak hanya diwariskan oleh
Yesus secara langsung kepada para murid dan orang-orang percaya selama Ia
hidup, namun teladan-Nya tentang karakter positif termanifestasi dalam kitab suci
(Alkitab) saat ini hingga nanti. Nilai-nilai tersebut kemudian dikembangkan dalam
kehidupan saat ini. Sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh Lickona bahwa
terdapat beberapa nilai moral universal yang bersumber dari agama-agama di dunia.
Sebagai contoh, jangan mencontek merupakan bentuk tindakan dari nilai kejujuran.
Dalam Alkitab, nilai tersebut adalah pengembangan dari nilai (perintah) jangan
mencuri dan berdusta.
Dalam karakter Kristen, hukum tabur tuai menjadi ciri utama. Maksudnya ialah
seseorang tidak mengedepankan alasan yang ada dibalik tindakannya dalam
melakukan nilai-nilai karakter Kristen, melainkan sebaliknya. Hukum tabur tuai

ialah hukum yang berdasarkan pada iman kepada Yesus. Dengan iman, sebagai
orang-orang Kristen yang telah diselamatkan harus mendasarkan tindakan untuk
mewujudkan nilai-nilai karakter Kristen pada rasa syukur kepada Yesus atas
keselamatan tersebut. Dengan demikian karakter Kristen tidak mengenal istilah
pamrih,

yaitu membantu

orang lain

mengharapkan sesuatu.

101

serta

melakukan

kebaikan


karena

Ciri utama, ajaran dan perintah Yesus adalah hal-hal yang membuat karakter
Kristen memiliki warna yang berbeda dengan karakter pada umumnya. Hal ini
memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai karakter yang menjadi target untuk
dilakukan oleh para taruna dan pemuda. Secara umum, bangsa Indonesia memiliki
delapan belas nilai yang harus di didik kepada seluruh warga, khususnya para
generasi muda. Delapan belas nilai karakter yang dimaksud ialah religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,
cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung
jawab.117 Walaupun kedelapan belas nilai tersebut menjadi target yang diupayakan
untuk dilakukan oleh berbagai pihak, namun belum menjamin menjadi nilai-nilai
karakter Kristen. Alasannya ialah ketika kedelapan belas nilai karakter tersebut
didasari oleh motivasi atau alasan yang salah maka tidak sesuai dengan ciri dari
nilai karakter Kristen. Kedelapan belas nilai karakter akan menjadi nilai karakter
Kristen ketika nilai-nilai itu didasari pada iman atau pengenalan akan Yesus Kristus
dengan baik dan benar. Oleh karena itu, dari hasil temuan dalam hasil penelitian
menunjukan beberapa kebajikan (virtue) yang menjadi nilai dari karakter Kristen
yakni:
1) Nilai yang terutama dan pertama untuk diimplementasikan dalam kehidupan
orang-orang Kristen adalah kasih (Matius 22: 36-40). Kasih berawal dari kasih
kepada sesama manusia dan makhluk hidup ciptaan Tuhan. Melalui kasih ini
sebagai cara bagi orang-orang Kristen untuk dapat mengasihi Allah dengan
sungguh.
2) Nilai kasih adalah dasar atau awal bagi nilai-nilai lainya untuk dilakukan.
Nilai-nilai tersebut antara lain: sukacita, damai sejahtera, kesabaran,
117

Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi & Implementasi secara Terpadu di Lingkungan Keluarga,
Sekolah, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, (Yogyakarta: AR_RUZZ MEDIA, 2013), 41-42

102

kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, dan penguasaan diri.
Nilai-nilai tersebut disebut sebagai buah-buah roh yang ditulis dalam kitab
Galatia 5: 22-23.
3) Ketika orang-orang Kristen mampu melakukan nilai kasih serta nilai-nilai
lainnya yang menjadi buah-buah roh maka mereka akan memperoleh hidup
yang baru. Manusia yang telah berada pada kehidupan ini ditandai dengan
nilai-nilai sebagai berikut, kejujuran (berkata jujur, benar, dan sopan),
kesabaran, kerja keras, kepedulian (membantu orang yang berkekurangan),
keramahan, penuh kasih dan syukur, bertindak positif (baik dan benar), rendah
diri. (Efesus 4: 21-5: 21).
Nilai-nilai yang telah diuraikan di atas adalah nilai yang harus ditargetkan tidak
hanya GPIB Jemaat Bukit Sion, namun juga seluruh komunitas iman Kristen yang
ada di muka bumi. Dengan harapan agar para generasi penerus tidak mudah
terpengaruh pada hal-hal buruk.
IV.1.2. Peran Gereja Dalam Pembangunan Karakter Taruna-Pemuda
Istilah pembangunan karakter telah banyak digunakan dalam tulisan ini.
Pemilihan istilah tersebut merupakan hasil dari suatu analisa bahwa gereja tidak
hanya terbatas dalam mengembangkan, namun juga membentuk karakter. Idealnya
gereja melakukan hal tersebut sejak dini pada diri anak-anak Kristen. GPIB Jemaat
Bukit Sion Balikpapan pada dasarnya memiliki kesadaran akan hal tersebut.
Kesadaran itu muncul ketika melihat realita saat ini yang menunjukan banyaknya
tindakan yang buruk, yang dilakukan oleh kaum muda. Hal itu juga dilakukan oleh
sebagian dari para taruna dan pemuda. Namun kenyataannya memperlihatkan
bahwa gereja belum maksimal dalam menjalankan perannya untuk membangun

103

karakter bagi para taruna dan pemuda. Barometer yang digunakan dari penilaian
tersebut ialah pembangunan karakter yang dilakukan oleh satuan pendidikan.
Ketika satuan pendidikan formal membangun karakter naradidik, secara
operasional tindakan yang mereka lakukan bersifat utuh dan mendetail. Tujuan,
strategi, serta barometer dalam penilaian keberhasilan pendidikan karakter dimiliki
oleh satuan pendidikan formal. Sebagai contoh, salah satu strategi yang diupayakan
oleh satuan pendidikan formal dalam rangka membangun nilai karakter kejujuran
ialah pendidik bertanya kepada naradidik tentang pesan dari orang tua kepada
naradidik sebelum pergi sekolah. Hal yang demikian belum diaplikasikan ke dalam
jemaat GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan. Jika hal demikian diaplikasikan dalam
kehidupan bergereja maka salah satu pertanyaan yang dapat dilontarkan ialah
terkait

dengan

jumlah

persembahan

yang

diberikan

orang

tua

untuk

dipersembahkan saat beribadah. Walaupun banyak orang memandang bahwa
pertanyaan yang demikian sifatnya privat, namun tidak menjadi soal ketika
bertujuan hanya sebatas untuk melihat anak-anak di jemaat ini telah bekarakter.
Pembangunan karakter harus dimulai dari hal-hal yang sederhana.118
Peran GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan selama ini masih terfokus pada
kehidupan rohani atau spiritualitas jemaat, sehingga masih kurang mengarahkan
diri pada kehidupan pendidikan mereka. Selama ini gereja hanya berperan sebagai
pembangun iman jemaat dengan cara memfasilitasi ibadah-ibadah serta kegiatan
terkait lainnya, seperti pembinaan. Secara nyata hal itu ditunjukan dengan gereja
telah berperan sebagai pencerita narasi Kristus.119 Walaupun demikian, gereja tidak
seharusnya berhenti dan puas pada perannya tersebut. Gereja harus melaksanakan
perannya yang lain, yaitu mengusahakan agar setiap individu yang mendengar
118

Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Srategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: PT GRASINDO,
2007), 132.
119
Stanley Hauerwas, A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethic, (United States of
America: University of Notre Dame, 1981), 127.

104

cerita tersebut dapat menciptakan sejarahnya sendiri. Mereka dapat menciptakan
sejarah masing-masing hanya ketika mereka menerapkan narasi serta didukung
dengan melihat contoh juga meneladani tindakan maupun sikap yang dilakukan
oleh setiap orang-orang Kristen yang pantas menjadi panutan. Gereja seharusnya
lebih memperdalam perannya dalam menceritakan narasi Kristus. Dalam artian
bahwa gereja harus terus menceritakan narasi itu turun temurun sebab, dalam narasi
Kristus terdapat tindakan maupun sikap Kristus yang baik. Tindakan dan sikap
tersebut kemudian menjadi nilai-nilai karakter Kristen yang harus dilakukan oleh
orang-orang Kristen. Dengan demikian, melalui narasi tersebut Kristus dijadikan
sebagai figur teladan bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya. Atau secara
singkat dapat dikatakan bahwa melalui narasi Kristus akan menciptakan suatu
komunitas yang berkarakter Kristen. Hal itulah yang dalam teori yang diusung oleh
Hauerwas disebutnya sebagai tugas sosial gereja yaitu menjadi gereja yang
berkarakter kuat serta padat. Dengan demikian, untuk dapat melaksanakan
perannya dalam membangun karakter, gereja harus menjadi komunitas karakter
yang menjadi teladan bagi dunia. Peran lainnya yang telah dijalankan oleh jemaat
ini ialah sebagai pendukung dan yang mengkonfirmasi penggunaan seluruh buku
pedoman renungan dan pedoman pengajaran, khususnya dalam hal ini Sabda Bina
Taruna dan Sabda Bina Pemuda.
Dari hasil penelitian yang kemudian dianalisis lebih dalam maka ditemukan
hasil berupa beberapa alasan yang menyebabkan GPIB Jemaat Bukit Sion
Balikpapan belum maksimal dalam melaksanakan perannya tersebut. Alasan-alasan
tersebut antara lain:
a. Paradigma yang tertutup. Maksudnya ialah gereja masih memiliki beberapa
paradigma yang mempersempit geraknya dalam melaksanakan pembangunan
karakter Kristen. Paradigma-paradigma tersebut yaitu gereja melihat bahwa

105

pelayanan yang sifatnya rohani atau spiritual adalah lebih penting. Hal ini
nampak dari hasil pengamatan di lapangan yang menunjukan bahwa kegiatankegiatan yang terprogram didominasi oleh kegiatan-kegiatan spiritualitas, seperti
ibadah, persiapan. Selain itu juga adanya paradigma yang kurang mengukur
dampak positif dari suatu program maupun kegiatan yang dilaksanakan, namun
justru memperhitungkan jumlah dana yang dikeluarkan.120 Paradigma lainnya
yang mendukung ialah paradigma yang menganggap bahwa kegiatan-kegiatan
ekonomi atau budaya tidak dapat dicampur-adukan di dalam gereja.121
b. Kurangnya kekompakan dalam diri perangkat gereja.122 Hal ini bersumber dari
perbedaan pemikiran antara yang satu dengan lainnya. Kurangnya kekompakan
tidak hanya terjadi antara pelayan dalam satu PELKAT, namun juga antara
pendeta dengan pendeta, pendeta dengan majelis dan pelayan PELKAT, dan
antar sesama majelis.
c. Kurangnya pemahaman yang utuh tentang konsep pendidikan karakter. Hanya
sebagian kecil dari pendeta, majelis, jemaat, dan pelayan PELKAT PT maupun
GP yang memahami konsep pendidikan karakter secara utuh. Sebagai contoh
kurangnya pemahaman terkait dengan cara karakter dapat berkembang.
d. Kurangnya kesadaran dalam memberikan diri untuk aktif terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang diupayakan gereja untuk membangun karakter.
e. Gereja juga kurang memberdayakan individu-individu yang berlatar belakang
pendidikan dan berkompetensi dalam bidang-bidang ilmu lainnya yang dapat
mendukung, seperti agama, psikologi, sosial, ekonomi, budaya, dan bahasa.

120

Wawancara kedua dengan Pdt. Bpk. Jimmy H.K. Iroth, S.Th (Ketua Majelis Jemaat GPIB Jemaat Bukit Sion
Balikpapan), pada hari: Rabu, 13 Agustus 2014, pukul 13.00 WITA.
121
Wawancara dengan Pnt. Bpk. Wuri Sumampouw, M,h, (PHMJ ketua I yang membidangi Pelayanan dan Kesehatan
(PELKES) serta pengajar katekisasi) pada hari: Kamis, 07 Agustus 2014, pukul 17.14 WITA
122
Wawancara dengan Pdt.Ibu. Ritha Hutagalung-Londok, S.Th (Pendeta Gereja Se-Azas), pada hari: Kamis, 14
Agustus 2014, pukul 18.10 WITA

106

Agar gereja dapat melaksanakan perannya secara maksimal, gereja perlu terlebih
dahulu mengatasi penyebab-penyebab diatas. Sebab, melalui penyebab-penyebab
tersebut akan memunculkan kendala-kendala baru yang lebih banyak. Oleh karena
itu, gereja harus mengambil tindakan yang efektif dan tepat guna. Tindakan yang
dimaksud ialah membekali mereka dengan mengadakan pembinaan tentang konsep
pendidikan karakter yang bersifat teori. Di dalam konsep tersebut, juga dibahas
tentang komunikasi yang berada dalam poin relasi. Komunikasi yang tegas sangat
penting untuk dilakukan oleh gereja. Dengan komunikasi yang tegas maka nilainilai karakter dan strategi untuk membangun karakter dapat disampaikan kepada
setiap pihak di dalam gereja.
Tidak berhenti pada hal-hal yang bersifat teori, namun perlu menindak-lanjuti
pembinaan tersebut dengan pelatihan. Pelatihan sangat berguna melihat
kemampuan secara langsung dalam prakteknya. Kedua kegiatan tersebut harus
dilakukan gereja dalam beberapa kali pertemuan. Hal ini dimaksudkan agar
tertanam secara mendalam tentang hal-hal yang diberikan dalam pembinaan terkait
dengan pendidikan karakter.
Demikian halnya dengan kurangnya kekompakan dalam diri perangkat gereja.
Jika dikaji lebih dalam, secara nyata faktor ini terjadi dalam Gerakan Pemuda.
Faktor ini memunculkan kendala yaitu menurunnya tingkat keaktifan anggota. Dari
kendala tersebut, nyata terlihat bahwa gereja dalam hal ini para pemimpin Gerakan
Pemuda belum mengambil tindakan konkret dalam menyelidiki akar permasalahan
yang ada. Mereka seharusnya mencari akar permasalahan tersebut. Sebab,
pembangunan karakter pada tubuh Gerakan Pemuda menjadi kurang maksimal
ketika hanya sebagian kecil anggota pemuda sebagai subyek yang akan di didik,
hadir dalam berbagai kegiatan gereja.

107

Dari uraian di atas secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam rangka
melaksanakan peran GPIB Jemaat Bukit Sion dalam membangun karakter para
taruna dan pemuda, gereja harus terlebih dahulu melaksanakan perannya dalam hal
mengatasi kelima faktor di atas. Kedua peran itu tidak dapat dipisahkan dalam
mewujudkan peran utama gereja sebagai pendidik. Peran utama ini tentunya
berkaitan dengan pendidik. Agar peran ini juga menjadi maksimal maka gereja ini
tidak boleh melupakan mutu dari pendidik. Strategi yang dapat dilakukan gereja
terkait hal ini ialah dengan menetapkan persyaratan bagi tenaga pendidik. Tenaga
pendidik tidak hanya pada ketiga Pelayanan Kategorial (PELKAT): Pelayanan
Anak (PA); Persekutuan Taruna (PT); dan Gerakan Pemuda (GP), namun juga pada
kelas katekisasi. Individu yang ingin melayani di tmpat-tempat tersebut, seharusnya
tidak hanya memahami ajaran Kristen; memiliki dan mampu menjadi teladan dalam
melakukan karakter Kristen; memiliki keinginan kuat untuk melayani, namun juga
harus mengetahui perkembangan dunia sekuler; secara psikologis perkembangan
dan kebutuhan dari individu-individu yang dilayani. Tidak kalah pentingnya yaitu
pertimbangan usia yang produktif. Usia yang demikian memiliki daya pikir kreatif;
inovatif yang tinggi serta efisien untuk menghasilkan karya-karya yang dapat
membantu pelayanannya.
IV.1.3. Strategi GPIB Jemaat Bukit Sion dalam Pembangunan Karakter TarunaPemuda
Ketika berbicara tentang karakter maka pertanyaan mendasar yang muncul ialah
bagaimana karakter dapat terbentuk? Pertanyaan ini menunjuk pada strategi yang
digunakan. Membangun karakter terkadang membuat individu atau lembaga serta
komunitas yang melaksanakannya menjadi jenuh. Oleh karena itu, saat ini banyak
yang melakukannya secara instan. Penyebabnya adalah banyak lembaga-lembaga

108

pendidikan secara singkat yang menawarkan character building dengan materi
pelajaran yang hanya memuat motivasi untuk melakukan karakter. Pada hakekatnya
proses yang demikian kuranglah efektif. Membangun karakter harus dilalui
seseorang dengan mengikuti serangkaian proses. Karakter tidak hanya terbentuk
dari penghargaan yang diberikan kepada pihak yang bertugas membangun karakter
(seperti keluarga, guru, dan para tokoh diberbagai lini kehidupan), melainkan
perlunya kesadaran dan keinginan untuk melakukan transformasi, sehingga muncul
dalam diri suatu komitmen untuk melakukan nilai-nilai yang diajarkan.
Melalui uraian di atas ingin ditegaskan bahwa proses yang panjang adalah hal
yang penting dalam pembangunan karakter. Oleh karena itu pembangunan karakter
dapat dibentuk dimana dan kapan pun dengan cara yang berulang terus menerus.
Melalui konsep tersebut dapat meninjau kegiatan mana yang termasuk dalam
pembangunan karakter. Salah satunya ialah ketika ditemukan perbincangan yang
dilakukan antara presbiter dengan satu atau lebih taruna maupun pemuda maka
kegiatan tersebut bukan termasuk dalam upaya pembangunan karakter. Kegiatan
tersebut hanya sebatas perbincangan biasa atau berupa nasihat. Kegiatan yang
termasuk dalam membangun karakter ialah suatu tindakan yang dilakukan berulang
dan terus menerus hingga menjadi kebiasaan serta di dalamnya tersirat nilai-nilai
karakter yang harus diwujud-nyatakan.
Karakter tidak dapat dibangun secara instan. Dibutuhkan proses yang lama yang
intinya membuat para taruna dan pemuda menjadi terbiasa dalam melakukan
tindakan-tindakan yang di dalamnya tersirat nilai-nilai karakter Kristen.
Kedisiplinan adalah hal penting di dalamnya yang ikut menentukan keberhasilan
seseorang maupun komunitas dalam membangun karakter. Di lain sisi, diakui
bahwa kedisiplinan merupakan tindakan yang tidak mudah. Hal demikian terjadi
dalam diri Gerakan Pemuda yang kurang mampu mendisiplinkan diri mereka ketika

109

mengikuti kegiatan-kegiatan, khususnya ibadah dan persiapan. Oleh karena itu,
disiplin menjadi hal yang kontroversi karena membagi dua kubuh yaitu pro dan
kontra. Hal ini terjadi karena masih adanya paradigma mereka yang menganggap
bahwa kedisiplinan adalah cara yang keras atau seperti militer. Dengan demikian
menunjukan bahwa mereka kurang memahami arti pentingnya disiplin diri. Disiplin
dapat dikatakan sebagai tanggung jawab yang utama bagi mereka yang ingin
sukses. Dengan seseorang mampu mendisiplinkan diri maka orang tersebut mampu
memimpin diri sendiri.
Mendisiplinkan individu-individu yang belum terbiasa adalah hal yang tidak
mudah. Walaupun demikian, hal itu dapat dilakukan ketika ada kerjasama dari para
presbiter yang memimpin. Menyepakati toleransi waktu dan dampak dari
keterlambatan adalah hal yang penting untuk mengajarkan kedisiplinan di dalam
gereja. Disiplin adalah hal yang penting untuk seseorang dapat melakukan karakter
Kristen. Dengan gereja mampu mendisiplinkan para taruna dan pemuda dari hal
yang kecil maka gereja akan mampu menghasilkan generasi-generasi penerus yang
sukses, baik di bidang rohani maupun di seluruh bidang kehidupan.
Dalam pembangunan karakter oleh gereja, tidak hanya membutuhkan disiplin
namun juga harus memiliki tolak ukur yang spesifik sebagai acuan untuk menilai
keberhasilan para taruna dan pemuda dalam bertindak. Gereja dapat merancang alat
ukur tersebut bersama dengan kemitraan yang terkait, yaitu keluarga; sekolah; dan
lembaga-lembaga lainnya. Gereja perlu merancang alat ukur bersama dengan
mereka sebab, gereja tidak hidup setiap hari bersama anak-anak taruna dan pemuda.
Cara yang dapat dilakukan oleh gereja terkait dengan hal ini antara lain:
1) Gereja bersama dengan keluarga; sekolah; dan lembaga-lembaga terkait
membuat komitmen awal. Komitmen yang dimaksud ialah bersedia bekerjasama
dalam menyukseskan para generasi muda gereja untuk mampu memahami,

110

mencintai, dan melakukan nilai-nilai karakter Kristen. Di samping itu, pada
kebersamaan ini gereja dan yang lainnya harus membuat jadwal pertemuan
untuk membahas hal-hal yang terkait, misal perkembangan anak-anak taruna dan
pemuda dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut, serta yang terpenting
adalah melakukan evaluasi. Evalusai merupakan hal yang penting sebab, seluruh
pihak dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan yang selama ini ada.
2) Gereja bersama kemitraannya mendaftarkan nilai-nilai karakter Kristen yang
ditargetkan secara berkala dan memperhatikan tingkat perkembangan secara
menyeluruh dari para taruna dan pemuda. Nilai-nilai tersebut pada akhirnya akan
menjadi barometer yang sesuai untuk menilai keberhasilan proses maupun
hasilnya. Sebagai contoh, pada tahap pertama mereka ditargetkan untuk mampu
berbuat jujur.
3) Membagi tugas dalam kaitannya membiasakan para taruna dan pemuda dalam
melakukan nilai-nilai karakter Kristen. Selain itu juga, membagi tugas dalam hal
mengamati perkembangan mereka secara berkala.
Dalam proses membangun karakter pada diri taruna dan pemuda, gereja tidak
dapat mengupayakannya secara pribadi, melainkan dengan bantuan dan adanya
kemitraan dengan berbagai pihak khususnya keluarga. Di mana sebagai keluarga
Kristen berperan dalam membentuk karakter Kristen dengan mendorong anak-anak
mereka untuk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja, khususnya ibadah
Persekutuan Taruna (PT) dan Gerakan Pemuda (GP). Gereja juga dapat menjalin
kemitraan dengan pihak-pihak lain, seperti kepolisian, medis, dan tokoh-tokoh
masyarakat maupun agama lainnya.
Tidak terhenti pada kemitraan yang harus dijalin. Hal penting lainnya dalam
pendidikan karakter ialah disajikannya berbagai model yang dapat digunakan dalam
membangun karakter seseorang. Model-model yang dimaksud antara lain:

111

pembiasaan, keteladanan, pembinaan disiplin, CTL (Contextual Teaching and
Learning), bermain peran, dan pembelajaran partisipatif. Sebagian besar dari model
tersebut dari hasil obeservasi dan wawancara ditemukan bahwa GPIB Jemaat Bukit
Sion telah menggunakannya untuk membangun karakter Kristen bagi jemaat,
khususnya para taruna dan pemuda. Walau secara khusus gereja belum mengetahui
bahwa model-model yang selama ini digunakan adalah model-model yang dapat
membantu dalam membangun karakter Kristen. Hal ini lebih mempertegas akan
kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang pendidikan karakter, yang
seharusnya dilakukan gereja sebagai upaya dari peran gereja dalam menghasilkan
jemaat-jemaat yang berkarakter.
Bentuk nyata dari beberapa model yang diuraikan di atas tertuang dalam
pembinaan. Pembinan adalah cara utama yang hingga kini dipergunakan oleh
gereja, khususnya GPIB Jemaat Bukit Sion. Pada dasarnya pembinaan bersifat baik
karena sebagai salah satu upaya yang dipilih oleh gereja dalam mendidik
jemaatnya. Namun, dalam setelah dikaji lebih dalam, ditemukan bahwa dalam
pembinaan terdapat beberapa kelemahan, yaitu:
1) Jemaat Bukit Sion telah menggunakan metode ini secara berulang-ulang dan
terus menerus. Hanya saja belum nampak secara nyata tindak lanjut dari suatu
pembinaan yang diadakan. Tindak lanjut yang dimaksud ialah kegiatan yang
dilaksanakan gereja agar jemaat tidak hanya mengetahui hal-hal yang diberikan
saat pembinaan, namun mereka dapat memahami, mencintai, dan melakukan
nilai-nilai yang ditargetkan dalam pembinaan tersebut. Sebagai contoh seminar
narkoba yang beberapa waktu lalu diadakan oleh jemaat ini. Namun, hingga saat
ini belum ada tindak lanjut yang dilakukan gereja dengan fokus utama tertuju
pada para taruna dan pemuda. Tindak lanjut yang sebenarnya dapat dilakukan
oleh gereja dalam seminar ini ialah bekerjasama dengan mantan pengguna

112

narkoba yang telah sembuh untuk dapat membagikan pengalaman buruknya
ketika menjadi pengguna. Atau dengan membuat drama tentang dampak
mengunakan narkoba, yang disutradarai oleh anggota BNN dan pihak
kepolisian. Dengan contoh tindak lanjut yang demikian, para taruna dan pemuda
dapat langsung melihat dan mengambil nilai-nilai karakter yang positif. Metode
yang demikian sesuai dengan teori dalam pendidikan karakter, di mana gereja
semestinya memberikan kesempatan kepada anak-anak taruna dan pemuda untuk
mengalami sendiri sifat-sifat tersebut secara langsung. Pendidikan karakter
memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai.123
2) Pembinaan yang digunakan dominan mengarah pada bidang rohani dan hanya
sebagian kecil yang menyentuh pada bidang-bidang lain dalam kehidupan
jemaat, seperti budaya; politik; kenegaraan; sosial, termasuk pendidikan
karakter. Hal penting ini bukanlah tugas gereja yang baru muncul masa kini,
melainkan telah ada sejak zaman zending. Di mana gereja-gereja telah
menjalankan berbagai kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti
pendidikan; kesehatan; pelayanan sosial; politik; ekonomi; budaya; militer;
pertanian dan pengangkutan.124 Gereja yang cenderung melakukan pembinaan
yang demikian memperkuat paradigma jemaat yang belum terbuka terhadap
bidang kehidupan lainnya. Misal saja, paradigma yang menganggap bahwa
kegiatan-kegiatan ekonomi atau budaya tidak dapat dicampur-adukan di dalam
gereja. Paradigma yang demikian pada akhirnya membuat gereja menjadi
eksklusif serta monoton dalam hal metode.

123

M. Williams, Models of Character Education: Perspectives and Developmental Issues. Dalam Journal of
Humanistic Counseling, Education and Development vol 39, Issue 1, September 2000), 32-40.
124
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Sidang Raya, Lima dokumen keesaan gereja Persekutuan Gereja-Gereja
di Indonesia (LDKG-PGI), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 34-35.

113

3) Pembinaan yang dilaksanakan masih kurang yang mengarah pada pendidikan
karakter.
Jemaat dalam gereja bukan hanya hidup dengan hal-hal yang rohani, namun juga
hal-hal lainnya yang mendukung dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu,
seharusnya gereja lebih berpartisipasi di dalam kehidupan jemaat dengan
memberikan pembinaan yang menyentuh semua bidang kehidupan dan terkait
dengan membangun karakter Kristen bagi jemaat, khususnya para taruna dan
pemuda. Gereja dapat melakukannya dengan cara membuka mata dan hati terhadap
dunia di luar gereja (yang sekuler) untuk dapat masuk dalam kehidupan gereja.
Maksudnya ialah gereja harus dapat melihat perkembangan yang terjadi terkait
dengan kehidupan sekuler serta memilih metode maupun model yang lebih kreatif
dan inovatif.
Jemaat Bukit Sion tidak hanya telah menggunakan model-model dalam
pendidikan karakter, namun juga telah mengimplementasikan beberapa strategi
pendidikan. Strategi yang dimaksud sesuai dengan teori yang diusung oleh Lickona
terkait dengan mengusahakan lingkungan yang membangun karakter Kristen. Yang
menjadi strategi tersebut antara lain:
1) Gereja secara khusus para pendeta, majelis, dan pelayan kategorial telah
berupaya mendorong kesadaran seluruh unsur dalam gereja untuk membangun
karakter Kristen. Hanya saja cara yang digunakan dalam hal ini terbatas pada
media audio. Secara konkret dalam bentuk khotbah-khotbah. Setelah dikaji
menggunakan teori yang digunakan pada bab sebelumnya, cara ini belum dapat
dikatakan cukup.
Mendorong kesadaran seluruh unsur dalam gereja berarti memiliki kaitan erat
dengan komunikasi yang dilakukan oleh gereja terhadap mereka. Dengan
demikian, komunikasi yang dilakukan hasurlah menarik dan jelas. Gereja

114

seharusnya tidak hanya mengandalakan penyampaian pesan dengan lambanglambang auditif, yang hanya dapat ditangkap oleh indera pendengaran,
melainkan gereja harus menambah cara lain. Cara tersebut yaitu dengan
menggunakan

media

visual

dan

audio

visual.

Tindakan

nyata

dari

pengimplementasian media visual ialah dengan menempatkan poster, gambar
maupun logo yang menarik. Sedangkan audio visual dapat dilakukan dengan
menayangkan video, film, dan memutar TV pendidikan. Media audio visual
diasumsikan sebagai metode yang menarik dan efekif sebab, dengan metode
tersebut para taruna dan pemuda dapat belajar tentang nilai-nilai karakter Kristen
dengan mendengar dan melihat. Dari hasil penelitian yang dilakukan dalam
melihat metode pembelajaran, media audio visual memiliki presentase yang
sangat besar yaitu 50% dibanding dengan memisahkan antara audio (20%) dan
visual (30%).125 Dengan mengkombinasikan cara-cara tersebut maka dapat
memaksimalkan gereja dalam mendorong kesadaran untuk membangung
karakter Kristen.
2) Dalam kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Jemaat Bukit Sion, sebagian
besar nilai-nilai karakter Kristen telah diitegrasikan di dalamnya. Dengan
mengesampingkan kendala dalam memberikan teladan yang baik, pada dasarnya
nilai-nilai tersebut telah diajarkan oleh gereja kepada para taruna dan pemuda
melalui keteladanan. Hal ini menunjukan bahwa Jemaat Bukit Sion memiliki
tekat untuk menjadi komunitas teladan yakni komunitas karakter Kristen.
3) Jemaat Bukit Sion telah mampu mengenali kebajikan-kebajikan yang
ditargetkan kepada para taruna dan pemuda. Pengenalan tersebut dipermudah
dengan adanya buku pedoman renungan yang disusun oleh sinode. Selain itu
juga, melalui tema tahunan GPIB yang berfungsi sebagai acuan dasar bagi
125

Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK 2012 dalam power point presentasi ke-4.

115

jemaat-jemaat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan. Contoh dari tema tahunan
2014-2015 ialah Membangun Kemitraan Antara Umat Demi Keselamatan
Bangsa. Dalam tema ini secara implisit terdapat nilai-nilai karakter Kristen
seperti kasih, ramah, bertindak benar/ bersikap positif, kesabaran, kemurahan,
kebaikan, kesetiaan, penguasaan diri.
4) Jemaat Bukit Sion telah menjalin dan memperkuat kemitraan dengan keluargakeluarga yang menjadi jemaatnya. Strategi ini merupakan kesatuan dari dua
strategi yang saling bersinergi, yaitu menjalin kemitraan antara gereja dengan
keluarga dan memperkuat keluarga. Cara yang digunakan dalam hal ini ialah
dalam bentuk ibadah-ibadah yang di dalamnya seluruh unsur keluarga (ayah,
ibu, dan anak) mengambil bagian. Selain itu, dengan melakukan perkunjungan.
Hal ini menujukan bahwa adanya kesadaran gereja tentang pentingnya keluarga
dalam membangun karkater baik dalam diri para taruna dan pemuda.
Keluarga memiliki peran awal dalam membangun karakter mereka. Di dalam
keluarga, anak-anak diberikan kesejahteraan emosional, memberi bimbingan
moral, serta membantu dalam mempelajari nilai-nilai.126 Memahami peran
keluarga tersebut maka gereja seharusnya mengembangkan strategi ini. Sebab,
melihat

bahwa

jemaat

Bukit

Sion

belum

mendalam

dalam

mengimplementasikan strategi ini, khususnya memperkuat kemitraan dengan
keluarga melalui program pendidikan. Melihat dalam teori yang diusung oleh
Charles Stewar tentang tiga dimensi dasar penguatan keluarga. Di mana salah
satunya ialah gereja harus mengembangkan pelayanan keluarga melalui program
pendidikan, seperti mengadakan Pendalaman Alkitab maupun kelompok belajar.
5) GPIB Jemaat Bukit Sion telah menciptakan kelompok kepemimpinan. Serupa
dengan gereja pada umumnya, kelompok kepemimpinan dalam jemaat ini terdiri
126

Hildred Geertz, Keluarga Jawa, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), 7.

116

dari para pendeta, majelis, dan pengurus PELKAT. Mereka diklasifikasikan
dalam kelompok ini sebab, dengan pengetahuan, wawasan, serta kemampuan
mereka dalam melayani jemaat, mereka dapat mengkoordinir usaha dan
pelaksanaan pembangunan karakter. Tidak hanya itu, mereka juga dituntut untuk
dapat menghimpun jemaat serta berbagai wawasan lainnya, ketrampilan, dan
pengalaman yang akan digunakan untuk menghadapi kendala-kendala dalam
pelayanan, termasuk dalam membangun karakter para taruna dan pemuda.
Dengan demikian, kelompok ini juga berperan dalam membangun karakter,
khususnya dalam memberikan teladan yang berkarakter Kristen.127
6) Gereja telah memberi peran kepemimpinan kepada para taruna dan pemuda. Hal
itu nampak dalam beberapa kegiatan yaitu pertama dalam ibadah hari Minggu.
Dalam ibadah ini para taruna dan pemuda dijadwalkan menjadi prokantor atau
pun kantoria. Kedua, dalam ibadah-ibadah PELKAT masing-masing. Dalam
ibadah ini para taruna dan pemuda dijadwalkan secara bergilir menjadi pendoa
syafaat, liturgos, maupun pendoa kolekte. Hal ini dimaksudkan agar mereka
belajar mengambil peran sebagai seorang pemimpin.
7) Jemaat ini telah memberi kesempatan bagi setiap anggota jemaat untuk memberi
masukan. Beberapa metode yang digunakan dalam strategi ini, pertama, gereja
mengadakan kotak saran dan kuisioner yang bertujuan untuk memperoleh
feedback dari jemaat untuk kepentingan kualitas pelayanan terhadap jemaat.
Kedua, melalui perkunjungan ke sektor-sektor dalam ibadah gabungan sektor.
Perkunjungan ini dilaksanakan oleh Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ)
setiap bulan, sesuai yang telah dijadwalkan.
8) Jemaat Bukit Sion telah memadukan karakter ke dalam program-program gereja.
Sebagai contoh, program dalam Gerakan Pemuda yaitu retreat pemuda. Nilai
127

Eddie Gibs, ibid., 113.

117

karakter yang terdapat dalam program tersebut ialah kesetiaan, kebersamaan,
dan penuh syukur kepada Tuhan. Demikian halnya dengan program Persekutuan
Taruna, contohnya yaitu program Taruna Berpelkes. Maksud dari program ini
ialah agar para taruna dapat membangun kerukunan dan kemitraan dengan
lingkungan.
Strategi lain yang tidak terdapat dalam teori namun digunakan oleh jemaat ini
ialah penggunaan Sabda Bina Taruna dan Sabda Bina Pemuda. Kedua buku ini
adalah kurikulum yang spesifik tertuju untuk mendidik para taruna dan pemuda
sesuai dengan ajaran Kristen. Oleh karena itu, para pelayan dan pengurus baik
taruna maupun pemuda sangat mengandalkan kedua buku ini. Jika dikaji lebih
dalam ditemukan kelebihan dan kekurangan dari kedua buku ini, antara lain:
a) Sabda Bina Taruna
Buku ini adalah buku pedoman bagi para pelayan dalam mendidik melalui
pendidikan agama Kristen yang diberikan oleh gereja. Oleh karena itu, secara
nyata dapat ditemukan unsur atau komponen yang membentuk kurikulum, yaitu
tujuan, materi atau isi, strategi, dan evaluasi. Tujuan dalam hal ini terbagi
menjadi dua, yaitu gagasan utama dan tujuan khusus. Terdapat beberapa
masalah yang ada dalam tujuan-tujuan dalam setiap pembelajaran. Masalah yang
dimaksud ialah: pertama, adanya sebagian besar ketidak-sinkronan antara
gagasan utama dengan tujuan khusus. Tujuan khusus terkadang tidak sesuai
dengan gagasan utama. Kedua, antara gagasan utama dan tujuan khusus terbalik.
Maksudnya ialah kata kerja yang digunakan dalam gagasan utama bersifat
konkret atau yang dapat diukur maupun dilihat, sebaliknya tujuan khusus ditulis
menggunakan kata kerja yang bersifat abstrak (dapat diukur maupun dilihat).
Dengan demikian berdampak pada para taruna yang mengalami kesulitan untuk
memahami dan melakukan yang menjadi tujuan-tujuan tersebut. Dari kedua

118

masalah di atas maka menunjukan bahwa tim yang membuat buku ini kurang
memiliki pengetahuan tentang teori kurikulum PAK. Di mana dalam teori
tersebut dijelaskan tentang komponen-komponen kurikulum, termasuk di
dalamnya gagasan utama atau tujuan umum dan tujuan khusus. Persyaratan
dalam merancang tujuan umum ialah menggunakan kata-kata kerja yang bersifat
abstrak, tidak dapat secara langsung dilihat; diukur; didengar; digenggam.
Sebagai contoh, mensyukuri, memahami, mewujudkan, menerima. Sebaliknya
dengan tujuan khusus yaitu menggunakan kata-kata kerja yang sifatnya konkret,
dapat secara langsung dilihat; diukur; didengar; digenggam. Sebagai contoh,
menjelaskan, menuliskan, menceritakan, bernyanyi.128 Dalam tujuan-tujuan
tersebut, yang terdapat dimensi karakter ialah gagasan utama. Sebagai contoh
nilai yang terintegrasi dalam gagasan utama ialah penuh syukur, bertindak benar,
bertanggung jawab. Hal ini berbeda dengan tujuan umum. Di mana sangat jarang
ditemui dimensi karakter pada tujuan khusus.
Komponen kedua yang membentuk ialah materi. Materi adalah bagian di
mana para pelayan dapat menjelaskan maksud dari ayat Alkitab yang dikaitkan
dengan tujuan, dan strategi dalam mendidik para taruna. Oleh karena itu dalam
materi terdapat berbagai wawasan dan pengetahuan, khususnya yang berkaitan
dengan Teologis. Materi yang dipaparkan telah bersifat aktual, dan memberi
kontribusi kepada para taruna, serta telah memasukan nilai-nilai karakter tertentu
untuk ditargetkan kepada para taruna dan pelayan.
Strategi adalah komponen berikutnya. Dalam komponen ini ditemukan bahwa
kurangnya kreatifitas yang diberikan dalam penyampaian pembelajaran. Hal ini
ditunjukan dengan penggunaan strategi yang sama dalam tiap pertemuan, yakni
menggunakan strategi penyampaian cerita dan diskusi. Jika mengkaji lebih jauh,
128

D.Campbell Wyckoff, Theory and Design of Christian Education Curriculum, (Philadelphia: The Westminster
Press), 150.

119

kedua strategi yang dominan digunakan mengarahkan diri pada aras kognitif.
Atau dengan kata lain, Sabda Bina Taruna masih memfokuskan diri pada
perkembangan intelektual para taruna. Kurangnya kreatifitas yang diberikan
dalam buku ini juga menunjukan bahwa para pelayan dalam masing-masing
jemaat diberikan kesempatan dalam mengeksplore kreatifitas yang mereka
miliki untuk mengolah materi menjadi menarik dan sedemikian rupa
disampaikan kepada para taruna. Namun kesempatan tersebut hanya digunakan
oleh beberapa dari pelayan, dan sebagiannya lagi lebih memilih menggunakan
strategi penyampaian yang serupa yang tertulis dalam Sabda Bina Taruna. Dari
masalah ini menunjukan bahwa kurangnya pemahaman terkait pembelajaran
yang menarik dan kreatif. Untuk melakukan hal itu, para pelayan dapat
menggunakan sembilan kecerdasan (multiple intelegence) yang masing-masing
dimiliki oleh taruna.
Komponen terakhir yang ada dalam buku ini ialah evaluasi. Evaluasi adalah
penting sebab dengan adanya evaluasi maka dapat dilihat efektivitas dari
pencapaian tujuan. Secara spesifik evaluasi berfungsi untuk mengetahui apakah
tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai atau belum, serta sebagai umpan balik
dalam perbaikan strategi yang ditetapkan. Dengan signifikansi yang demikian
maka kegiatan evaluasi yang terdapat dalam Sabda Bina Taruna adalah kurang.
Evaluasi seharunya dilakukan setiap akhir pembelajaran dengan maksud agar
mengetahui apakah para taruna telah mamahami dan dapat melakukan hal-hal
yang diberikan. Hal ini sebagai upaya dalam melihat ketercapaian dari tujuan
yang ingin diwujudkan.Selain itu juga, evaluasi yang dilaksanakan masih
bersifat mengukur intelektual dari para taruna. Hal itu dibuktikan dengan metode
evaluasi berupa kuis dalam bentuk pilihan ganda serta memberikan pertanyaanpertanyaan.

120

b) Sabda Bina Pemuda
Perbedaan dengan Sabda Bina Taruna ditemui dalam buku Sabda Bina
Pemuda. Secara nyata tidak dapat ditemui pembagian atas keempat komponen
yang membentuk kurikulum sebab, buku ini lebih condong pada kumpulan dari
khotbah-khotbah. Oleh karena itu, komponen yang menyusunnya ialah
komponen-komponen yang membentuk suatu khotbah. Komponen-komponen
tersebut yaitu pendahuluan, isi, penutup.129 Dalam pendahuluan dikemukakan
hal-hal yang menarik perhatian, baik itu berupa pertanyaan, persoalan yang
hangat

dibicarakan,

peristiwa

atau

pengalaman

yang

menjadi

bahan

pembicaraan, serta perasaan yang meliputi hati pendengar. Dalam isi yang harus
dilakukan ialah mengaitkan antara hal-hal yang digunakan dalam pendahuluan,
penafsiran, Bagian lainnya yang terdapat dalam buku ini ialah kesimpulan.
Kesimpulan merupakan bagian internaldari penutup. Kesimpulan merupakan
pengulangan beberapa bagian yang dianggap penting atau menjadi inti dari
pewartaan firman Tuhan, dan juga yan

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB II

1 5 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB II

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB V

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Spiritualitas terhadap Pandangan Jemaat tentang Peran Pendeta di GPIB Jemaat Sion Banyumanik

0 0 1