Pola Kromatografi serta Pemeriksaan Kadar Logam Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) pada Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica Oleracea L.) secara Spektrofotometri Serapan Atom

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Menurut Herbarium Medanense (MEDA) klasifikasi tumbuhan kubis
(Brassica oleracea L) secara sistematik adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Class

: Dicotyledonae

Ordo


: Capparales

Famili

: Brassicaceae

Genus

: Brassica

Spesies

: Brasicca oleraceae L.

2.1.2 Nama daerah
Kol biasa disebut juga dengan kubis, kubis telur, kubis krop (Dalimarta,
2000). Nama kubis diduga berasal dari bahasa Inggris yaitu cabbage. Sedangkan
di beberapa daerah, disebut kol. Kata kol diduga berasal dari bahasa Belanda yaitu
kool (Pracaya, 2001). Nama lokal kubis ungu (Lampiran 1 halaman 60).
2.1.3 Sejarah, habitat dan penyebaran

Keluarga kubis-kubisan memiliki jenis yang cukup banyak. Yang lazim
ditanam di Indonesia, antara lain kubis, kubis bunga, brokoli, kubis tunas, kubis
rabi, dan kale. Jenis kubis-kubisan ini diduga dari kubis liar Brassica oleracea
var. sylvestris, yang tumbuh di sepanjang pantai Laut Tengah, pantai Inggris,

6
Universitas Sumatera Utara

Denmark, dan sebelah Utara Perancis Barat. Kubis liar tersebut ada yang tumbuh
sebagai tanaman biennial dan ada juga yang perenial. Kubis yang telah
dibudidayakan dibuat menjadi tanaman annual. Sayuran ini dapat ditanam
didataran rendah maupun di dataran tinggi dengan curah hujan rata - rata 850 –
900 mm (LIPI, 2009).
2.1.4 Morfologi tumbuhan
Tumbuhan kol memiliki batang dengan ukuran pendek, daun berbentuk
bulat telur sampai lonjong dan lebar seperti kipas berwarna merah keunguan.
Daun bagian luar tertutup lapisan lilin dan tidak berbulu. Daun bawah dapat
mencapai panjang 30 cm. Daun muda yang tumbuh berikutnya mulai
membengkok menutupi daun muda yang ada di atasnya. Makin lama umur daun
muda yang terbentuk semakin banyak sehingga seakan-akan membentuk telur

atau kepala. Bentuk kepala atau telur ini yang disebut krop. Bentuk krop bulat
memipih dengan ukuran garis tengah dapat mencapai 20 cm. Dengan akar
tunggang dan segera bercabang dengan memiliki serabut (LIPI, 2009).
2.1.5 Kandungan kimia
Kubis ungu mengandung air, protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium,
fosfor, besi, natrium, kalium, kalsium, vitamin (A, C, E, tiamin, riboflavin,
nicotinadine), beta karoten, dan serta mengandung zat antosianin. Selain itu, juga
mengandung senyawa sianohidroksibutena (CHB), sulforafan, dan iberin.
Kandungan zat aktif pada kubis berupa sulforafan dan histidine (Dalimartha,
2000). Brassica dan banyak genus Brassicaceae mengandung senyawa
glukosinolat (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998), flavonoid dan glikosida
isotiosianat (Putri, dkk., 2014).

7
Universitas Sumatera Utara

2.1.6 Khasiat
Vitamin E berguna sebagai antioksidan. Tingginya kandungan vitamin C
dalam kubis dapat mencegah timbulnya skorbut (scurvy) alias sariawan. Senyawa
CHB, sulforafan, dan iberin yang merangsang pembentukan glutation, yakni suatu

enzim yang bekerja dengan cara menguraikan dan membuang zat-zat beracun
yang beredar di dalam tubuh. Kandungan zat aktif pada kubis berupa sulforafan
dan histidine dapat menghambat pertumbuhan tumor, mencegah kanker kolon dan
rektum, detoksikasi senyawa kimia berbahaya, seperti kobalt, nikel, dan tembaga
yang berlebihan di dalam tubuh, serta meningkatkan daya tahan tubuh untuk
melawan kanker. Kandunganbasam amino dalam sulfurnya juga berkhasiat
menurunkan kadar kolestrol yang tinggi, penenang saraf, dan membangkitkan
semangat (Unirah, 2011). Flavonoid mampu menghambat adhesi, aktivasi platelet,
dan dapat menghambat agregasi platelet karena menghambat pelepasan mediator
asam arakidonat dan glikosida isotiosianat yang pada penelitian sebelumnya
memiliki aktivitas sebagai anti platelet (Putri, dkk., 2014).

2.2 Logam Berat
Logam berat (heavy metal) adalah logam dengan massa jenis 5 atau lebih,
dengan nomor atom 22 sampai dengan 92. Kelompok logam berat ini ada ± 40
jenis (Ridhowati, 2013). Beberapa unsur logam berat tersebut antara lain Hg, Pb,
Cd, Cr, Zn dan Cu yang tersebar di seluruh permukaan bumi baik di tanah, air dan
udara. Logam berat ini dapat berbentuk organik, anorganik terlarut atau terikat
dalam suatu partikel yang dapat terakumulasi dalam tubuh organisme sebagai
akibat terjadinya interaksi antara logam berat dan sel atau jaringan tubuh


8
Universitas Sumatera Utara

organisme tersebut. Logam berat merupakan salah satu unsur pencemar yang
bersifat toksik dan harus terus diwaspadai keberadaaannya. Penyebab utama
logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu logam berat tidak dapat
dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup di lingkungan dan
terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk
senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan
kombinasi. Daya racun logam berat adalah sebagai berikut :
>

>

>

>

>


>

>

>

(Bangun, 2005). Logam

berat memiliki afinitas tinggi terhadap senyawa-senyawa sulfida, misalnya
sulfhidril (-SH) dan disulfida (S-S), sehingga afinitas tinggi ini mendorong logam
berat untuk berikatan dengan gugus sulfur (Ridhowati, 2013).
2.2.1 Kadmium
Logam kadmium mempunyai berat atom 112,41; titik cair 321 ºC dan
massa jenis 8.65 gr/ml (Bangun, 2005). Konsentrasi kadmium yang normal dalam
darah adalah 10 µg/l, Kadmium terutama dalam bentuk oksida adalah logam yang
toksisitasnya tinggi. Waktu paruh kadmium ± 10-30 tahun (Sudarmaji, dkk.,
2006). Dalam industri pertambangan Pb dan Zn, proses pemurniannya akan selalu
memperoleh hasil samping kadmium yang terbuang dalam lingkungan. Kadmium
digunakan sebagai pigmen dalam pembuatan keramik, penyepuhan listrik,

pembuatan aloi dan baterai alkali (Bangun, 2005).
Kadmium adalah logam putih, mengkilap, namun mudah ternoda.
Kadmium mudah bereaksi dengan asam bukan pengoksidasi, melepaskan H dan
menghasilkan ion divalensi. Kadmium tidak larut dalam basa dan mudah bereaksi
bila dipanaskan dalam O , menghasilkan oksida (Cotton dan Wilkinson, 1976).

9
Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Timbal
Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam,
dalam bahasa ilmiahnya dinamakan plumbum dan disimbolkan dengan Pb.
Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan berat atom (BA) 207,2. Logam Pb
adalah jenis logam lunak berwarna coklat kehitaman mudah dimurnikan. Secara
alamiah terdapat pada batu-batuan serta lapisan kerak bumi (Bangun, 2005).
Menurut ketentuan WHO, kadar Pb dalam darah manusia yang tidak terpapar oleh
Pb adalah sekitar 10 -25 µg/100 ml (Sudarmaji, dkk., 2006).
Timbal dalam jumlah yang sangat besar dibuat untuk digunakan sebagai
zat antiknock dalam bahan bakar. Kenaikan timbal di lingkungan paling besar
sehubungan dengan pembakaran bahan bakar yang mengandung timbal (Cotton

dan Wilkinson, 1976).
2.2.3 Hubungan logam berat dengan tubuh
Logam berat pada umumnya mempunyai sifat toksik dan berbahaya bagi
organisme hidup, walaupun beberapa diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil.
Beberapa logam berat digunakan dalam berbagai kehidupan sehari-hari (Supriatno
dan Lelifajri, 2009). Akumulasi logam berat banyak terdapat pada organ hati,
ginjal, dan alat pernafasan. Biokosentrasi logam berat dapat menimbulkan
toksisitas dan dapat bersifat karsinogen. Demikian pula bahan pangan dengan
kandungan logam berat tinggi dianggap tidak layak konsumsi (Ridhowati, 2013).
Paparan bahan tercemar Pb dapat menyebabkan gangguan pada organ
yaitu gangguan neurologi, gangguan terhadap fungsi ginjal, gangguan terhadap
sistem reproduksi, gangguan terhadap sistem hemopoitik, dan gangguan terhadap
sistem syaraf (Sudarmji, dkk., 2006). Selain itu paparan timbal yang kronis dapat

10
Universitas Sumatera Utara

memicu kanker serta abrasi kromosom dari sel – sel darah putih. Pada sistem
saraf, gejala yang sering terjadi adalah pelupa, keletihan, sakit kepala, pusing,
depresi, penurunan nafsu seksual, bahkan dengan kadar yang sangat tinggi dapat

mengakibatkan kelumpuhan otak, perhatian menurun, hilang ingatan, dan lainlain. Pada ginjal menyebabkan kerusakan pada tubulus proksimal, intersisial
fibrosis, sklerosis pembuluh darah, dan gagal ginjal. Selain itu paparan timbal
juga dapat mengurangi produksi hemoglobin (Hb) dan memperpendek umur dan
fungsi dari sel darah merah sehingga

mengakibatkan anemia. Selain

mengakibatkan anemia, dapat juga menimbulkan hipertensi (Fernanda, 2012).
Kadmium dikenal sebagai salah satu logam berat yang sangat toksik.
Keracunan kadmium dapat meningkatkan tekanan darah, kerusakan ginjal, dan
hancurnya sel darah merah (Golbedaghi, dkk., 2012). Gejala umum keracunan Cd
adalah sakit di dada, nafas sesak (pendek), batuk -batuk dan lemah (Sudarmaji,
dkk., 2006). Jangka panjang paparan inhalasi menimbulkan perubahan inflamasi
kronis pada fibrosis, paru-paru, dan emphysema. Jangka panjang akibat
pemberian oral menghasilkan efek terutama pada ginjal, hati dan kardiovaskular
sistem. Efek dan kerusakan plasenta dapat terjadi, tergantung pada relasi antara
paparan dan tahap kehamilan (Fernanda, 2012).

2.3 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

11
Universitas Sumatera Utara

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Ditjen POM RI, 1995).
Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol
sebagai pelarut atau sebagai pengawet, jika tidak dinyatakan lain dalam
monografi. Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia
nabati dengan air pada suhu 90ºC selama 15 menit (Depkes RI, 2000).
Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya dan
khusus dipandang dari segi biologi maupun segi kandungan kimia. Faktor biologi,
baik untuk bahan dari tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar) ataupun dari
tumbuhan liar yang meliputi identitas jenis, lokasi tumbuhan asal, periode
pemanenan hasil tumbuhan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan
bagian yang digunakan. Faktor kimia meliputi jenis, komposisi kualitatif,
kuantitatif, kadar total rata-rata senyawa aktif, metode ekstraksi, perbandingan
ukuran alat ekstraksi, ukuran, kekerasan, kekeringan bahan, pelarut yang

digunakan, kandungan logam berat dan pestisida (Depkes RI, 2000).
Menurut Depkes RI (2000), beberapa metode ekstraksi yaitu menggunakan
pelarut dan destilasi uap. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi
2 cara yaitu:
1. Cara dingin meliputi 2 metode yaitu :
a. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukkan pada temperatur
ruangan (Depkes RI, 2000).
b. Perkolasi

adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Depkes RI, 2000).

12
Universitas Sumatera Utara

2. Cara panas meliputi 5 metode yaitu:
a. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).
b. Soklet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan pendingin balik (Depkes RI, 2000).
c. Digesti adalah maserasi kinetic (dengan pengadukkan kontinu) pada
temperature yang lebih tinggi dari temperature ruangan, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50ºC (Depkes RI, 2000).
d. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air (
bejana infuse tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 9698ºC) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000).
e. Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan
temperature sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).
Ekstraksi dengan cara destilasi uap adalah ekstraksi senyawa menguap
(minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan
tekanan parsial senyawa menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinu
sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran menjadi
destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah (Depkes RI, 2000).

2.4 Kromatografi
Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk teknik pemisahan
tertentu. Cara yang asli telah diketengahkan pada tahun 1903 oleh TSWETT, ia

13
Universitas Sumatera Utara

telah menggunakannya untuk pemisahan senyawa-senyawa yang berwarna, dan
nama kromatografi diambilkan dari senyawa yang berwarna. Meskipun demikian
pembatasan untuk senyawa-senyawa yang berwarna tak lama dan hampir
kebanyakan pemisahan-pemisahan secara kromatografi sekarang diperuntukkan
pada senyawa-senyawa tak berwarna, termasuk gas (Sastrohamidjojo, 1985).
Menurut

Gritter,

dkk.,

(1991)

metode

kromatografi,

karena

pemanfaatannya yang leluasa, dipakai secara luas untuk pemisahan analitik dan
preparatif. Hampir setiap campuran kimia, mulai dari bobot molekul rendah
sampai tinggi, dapat dipisahkan menjadi komponen-komponennya dengan
beberapa metode kromatografi. Biasanya, kromatografi analitik dipakai pada
tahap permulaan untuk semua cuplikkan, dan kromatografi preparatif hanya
dilakukan jika diperlukan fraksi murni dari campuran. Pemisahan secara
kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika
umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat ialah:
(1) Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)
(2) Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus
(absorbs, penjerapan) dan
(3) Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap
(keatsirian).
Menurut Sastrohamidjojo (1985) pada dasarnya semua cara kromatografi
menggunakan 2 fasa yaitu 1 fasa tetap (stationary) dan yang lain fasa bergerak
(mobile); pemisahan-pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari 2 fasa ini.
Berdasarkan fase geraknya terdapat empat macam sistem kromatografi yaitu:

14
Universitas Sumatera Utara

1. Fasa bergerak zat cair – fasa tetap padat :
Dikenal sebagai kromatografi serapan yang meliputi
− Kromatografi lapis tipis (Kromatografi Planar)
− Kromatografi penukar ion
2. Fasa bergerak gas – fasa tetap padat :
− Kromatografi gas padat
3. Fasa bergerak zat cair – fasa tetap zat cair :
Dikenal sebagai kromatografi partisi
− Kromatografi kertas (Kromatografi Planar)
4. Fasa bergerak gas – fasa tetap zat cair :
− Kromatografi gas-cair
− Kromatografi kolom kapiler.
Semua pemisahan tergantung senyawa-senyawa yang dipisahkan terdistribusi
sendiri di antara fasa bergerak dan tetap dalam perbandingan yang sangat berbedabeda dari satu senyawa terhadap senyawa yang lain.
Menurut Rohman (2009) pemisahan kromatografi pada umumnya
dihentikan sebelum fase gerak melewati seluruh permukaan fase diam. Solut pada
kedua kromatografi ini dicirikan dengan faktor retardasi (Rf) atau jarak migrasi
solut terhadap jarak ujung fase geraknya. Rf didefenisikan sebagai :
Rf =




!"#$%&' ()*&"
!"#$%&' + (# #

Nilai maksimum Rf adalah yang berarti solut bermigrasi dengan kecepatan yang
sama dengan kecepatan fase gerak. Nilai minimum Rf adalah 0 dan ini teramati
jika solut tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (tidak bergerak
sama sekali dari titik awal penotolan).

15
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Menghitung nilai Rf
Adsorpsi merupakan penyerapan pada yang melibatkan interaksi- interaksi
elektrostatik seperti ikatan hydrogen, penarikan dipole-dipol, dan penarikan yang
diinduksi oleh dipole. Solut akan bersaing dengan fase gerak untuk berikatan
dengan sisi-sisi polar pada permukaan adsorben. Silika gel merupakan jenis
adsorben (fase diam) yang penggunaanya paling luas terdiri atas gugus Si-O-Si
dan gugus silanol (Si-OH) yang bersifat sedikit asam dan polar karenanya gugus
ini mampu membentuk ikatan hydrogen dengan solut-solut yang agak polar
sampai sangat polar (Rohman, 2007).
Menurut Rohman (2007) adanya air dari atmosfer yang diserap oleh
permukaan silika gel mampu mendeaktifkan permukaan silika gel karena air akan
menutup sisi aktif silika gel. Hal seperti ini dapat diatasi dengan memanaskan
pada suhu 105ºC, meskipun demikian reprodusibilitasnya sulit dicapai kecuali jika
suhu dan kelembapan dijaga secara hati-hati. Adsorben yang sering digunakan:
Alumina
Paling polar
Karbon aktif (Charcoal)
Silika gel
Magnesium silikat
Selulosa
Resin-resin polimetrik (Stiren/ difenil benzene) Paling non polar
Semakin polar solut maka semakin tertahan kuat ke dalam adsorben silika gel ini.
Berikut adalah urutan polaritas solut-solut organic: alkana< alkena< aromatis<
eter< ester< keton dan aldehid< tiol< amin dan amida< alcohol< fenol< asamasam organik.

16
Universitas Sumatera Utara

2.4.1 Kromatografi Kertas (KKt)
Kromatografi kertas (KKt) pada hakekatnya ialah KLT pada lapisan kulit
selulosa atau kertas, yang dipakai untuk pemisahan molekul biologi yang poar
seperti asam amino, gula, dan nukleutida. Metode ini menggunakan fase diam
cair, biasanya air, berada pada serat kertas. KKt tidak memerlukan pelat
pendukung, dan kertas dengan mudah diperoleh dalam bentuk murni sebagai
kertas saring. Lapisan selulosa harus dicetak atau dibeli khusus. Panjang serabut
kertas lebih panjang dari selulosa, menyebabkan lebih banyak terjadi difusi ke
samping dan bercak lebih besar (Gritter, dkk., 1991).
Kertas dalam pemisahan terutama mempunyai pengaruh pada kecepatan
aliran pelarut. Efek-efek serapan disebabkan oleh sifat polar dari gugus-gugus
hidroksil dan sejumlah kecil gugus karboksil dalam gugus selulosa dapat
menaikkan terhadap efek-efek pertukaran ion. Berikut ini karakterisktik dari
kertas-kertas kromatografi Whatmann (Sastrohamidjojo, 1985):

Kertas-kertas tipis

Kertas-kertas tebal

Kecepatan aliran
Sedang
No 7
No 1

Cepat
No 4
No 54
No 540
No 31
No 17

Lambat
No 2
No 20

No 3

Fase gerak biasanya merupakan campuran yang terdiri atas satu komponen
organic yang utama, air dan berbagai tambahan, untuk memperbesar kelarutan
dari beberapa senyawa atau mengurangi yang lainnya. Pelarut harus sangat mudah
menguap, kalau terlau cepat mengadakan kesetimbangan, pada keadaan lain
volalitas yang tinggi mengakibatkan lebih cepat hilang meninggalkan lembaran
kertas setelah bergerak (Sastrohamidjojo, 1985).

17
Universitas Sumatera Utara

2.4.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
yang memisahkan terdiri atas bahan butir-butir (fase diam) ditempatkan pada
penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang
akan dipisahkan, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah pelat
atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang
yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler
(pengembangan). Lapisan pemisah dan pengembang yang digunakan harus tepat.
Selanjutnya senyawa tidak berwarna ditampakkan (Dumont, dkk., 2009).
Menurut Adnan (1997) KLT merupakan kromatografi adsorbsi dan
adsorben bertindak sebagai fase stasioner. Berikut ini adalah beberapa adsorben
yang umum digunakan:
Adsorben

Keasaman

Aktivitas

Efek pemisahan

Silika gel

Asam

Aktif

Alumina

Basis

Aktif
Lemah

Adsorbsi +
partisi
Adsorbsi +
partisi
Adsorbsi

Lemah

Adsorbsi

Inaktif

Partisi

Magnesium
trisilikat
Kalsium sulfat Kieselguhr

Netral

Senyawa yang
dapat dipisahkan
Hampir semua zat
Steroid, senyawa
bersifat basis
Karetenoid, took
ferol
Asam lemak,
gliserida
Gula, farmasetika

Sampel yang merupakan campuran senyawa yang akan dipisahkan,
dilarutkan dalam zat pelarut yang mudah menguap, yang mempunyai titik didih
antara 50-100ºC. Larutan sampel tersebut diteteskan pada plat dengan
menggunakan plat pipet mikro atau syringe. Jumlah sampel yang diteteskan dapat
berkisar antara 5-100 µg dari larutan 0,1%. Tetesan sampel diusahakan sekecil
mungkin dengan meneteskan berulang kali, dengan dibiarkan mongering sebelum

18
Universitas Sumatera Utara

tetesan berikutnya dikerjakan. Pengeringan tetesan sampel pada plat sebaiknya
dikerjakan dengan aliran gas nitrogen, untuk mencegah terjadinya kerusakan
sampel karena oksidasi. Pengembangan dilaksanakan dengan mencelupkan dasar
plat KLT yang telah ditetesi sampel dalam sistem pearut untuk proses
pengembangan. Umumnya dikerjakan dalam tempat tertutup. Pemilihan pelarut
didasarkan atas prinsip like dissolves like (Adnan, 1997).

2.5 Spektrofotometri Serapan Atom
Untuk banyak atom, perbedaan energi antara orbital keadaan dasar dan
keadaan tereksitasinya terlalu besar agar eksitasi termal banyak elektron dapat
berlangsung. Atom- atom logam diuapkan dalam suatu nyala dan radiasi
dilewatkan melalui nyala tersebut. Dalam hal ini, atom-atom yang diuapkan, yang
sebagian besar terdapat dalam keadaan dasarnya sehingga tidak memancarkan
energi, akan menyerap radiasi dengan energi yang berkaitan dengan perbedaan
antara keadaan dasar dan keadaan tereksitasinya. Karena lebar garis-garis serapan
atom sangat sempit, satu-satunya sumber cahaya ketika serapan yang signifikan
dapat diamati, setelah melewati sampel, adalah tempat cahaya itu dihasilkan oleh
eksitasi atom- atom unsur yang sedang dianalisis. Lampu yang digunakan disebut
‘lampu katoda rongga’ dan katoda tersebut dilapisi dengan logam yang akan
dianalisis. Kerugian teknik ini adalah bahwa lampu harus selalu diganti tiap kali
suatu unsur yang berbeda sedang dianalisis dan hanya satu unsur dapat dianalisis
pada sewaktu- waktu (Watson, 2005).
Pada prinsipnya tak ada masalah yang harus dikaitkan dengan
pungukuran absorbansi dari populasi atom keadaan dasar yang terkungkung dalam

19
Universitas Sumatera Utara

suatu ruang yang cocok, namun terdapat kesulitan dalam memperoleh populasi.
Umumnya suatu larutan berair dimasukkan ke dalam nyala sebagai aerosol, yakni
suatu kabut yang terdiri dari tetesan yang sangat halus. Ketika butiran ini maju
melewati nyala, pelarutnya menguap, dan dihasilkan bintik- bintik halus dari
materi berupa partikel, zat padat itu kemudian berdisosiasi, sekurangnya sebagian,
untuk menghasilkan atom- atom logam. Semua tahap ini harus berlangsung
dengan jarak beberapa sentimeter ketika partikel- partikel sampel itu diangkat
dengan kecepatan tinggi oleh gas-gas nyala (Day dan Underwood, 2001).
2.5.1 Instrumen spektrofotometri serapan atom
Sistem peralatan spektrofotometer serapan atom dapat dilihat pada gambar
berikut ini :

2.5.1.1 Sumber sinar
Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow
cathode lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung
suatu katoda dan anoda. Katoda berbentuk silinder berongga yang dilapisi dengan
logam tertentu (Gandjar dan Rohman, 2009).

20
Universitas Sumatera Utara

2.5.1.2 Sumber Nyala
Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan
dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan
asas. Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu
sampel menjadi uap atom-atom yaitu: dengan nyala (flame) dan dengan tanpa
nyala (flameless) (Gandjar dan Rohman, 2009).
a. Nyala (Flame)
Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa cairan menjadi
bentuk uap atomnya dan untuk proses atomisasi. Suhu yang dapat dicapai oleh
nyala tergantung pada gas yang digunakan, misalnya untuk gas asetilen-udara
suhunya sebesar 22000C. Sumber nyala asetilen-udara ini merupakan sumber
nyala yang paling banyak digunakan. Pada sumber nyala ini asetilen sebagai
bahan pembakar, sedangkan udara sebagai bahan pengoksidasi (Gandjar dan
Rohman, 2009). Temperatur dari berbagai nyala dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Temperatur nyala dengan berbagai kombinasi bahan bakar dan bahan
pengoksidasi
Bahan Bakar
Asetilen
Asetilen
Asetilen
Hidrogen
Hidrogen
Sianogen
Sumber: Harris, 1948

Oksidan
Udara
Nitrogen Oksida
Oksigen
Udara
Oksigen
Oksigen

Temperatur Maksimum (°K)
2400-2700
2900-3100
3300-3400
2300-2400
2800-3000
4800

b. Tanpa nyala (Flameless)
Pengatoman dilakukan dalam tungku dari grafit seperti tungku yang
dikembangkan oleh Masmann. Sejumlah sampel diambil sedikit (hanya beberapa
µL), lalu diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan

21
Universitas Sumatera Utara

dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus listrik pada grafit. Akibat
pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral
dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar yang berasal dari lampu katoda
berongga sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar yang memenuhi
kaidah analisis kuantitatif (Gandjar dan Rohman, 2009).
2.5.1.3 Monokromator
Monokromator merupakan alat untuk memisahkan dan memilih panjang
gelombang yang digunakan dalam analisis dari sekian banyak panjang gelombang
yang dihasilkan lampu katoda berongga (Gandjar dan Rohman, 2009).
2.5.1.4 Detektor
Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui
tempat pengatoman. Biasanya digunakan tabung penggandaan foton. Ada 2 cara
yang dapat digunakan dalam sistem deteksi yaitu: (a) yang memberikan respon
terhadap radiasi resonansi dan radiasi kontinyu; (b) yang hanya memberikan
respon terhadap radiasi resonansi (Gandjar dan Rohman, 2009).
2.5.1.5 Readout
Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai
pencatat hasil. Pencatat hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi
untuk pembacaan suatu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa
angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi
atau intensitas emisi (Gandjar dan Rohman, 2009).
2.5.2 Gangguan-gangguan pada spektrofotometri serapan atom
Gangguan-gangguan (interference) pada spektrofotometri serapan atom
adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur yang

22
Universitas Sumatera Utara

dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan
konsentrasinya dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2009).
Menurut Gandjar dan Rohman (2009), gangguan-gangguan yang dapat
terjadi dalam spektrofotometri serapan atom adalah sebagai berikut:
a.

Gangguan yang berasal dari matriks sampel yang mana dapat mempengaruhi
banyaknya sampel yang mencapai nyala.

b. Gangguan kimia yang dapat mempengauhi jumlah/banyaknya atom yang
terjadi di dalam nyala.
c. Gangguan oleh absorbansi yang disebabkan bukan oleh absorbansi atom yang
dianalisis; yakni absorbansi oleh molekul-molekul yang tidak terdisosiasi di
dalam nyala. Adanya gangguan dapat diatasi dengan cara:
i.

Penggunaan nyala/suhu atomisasi yang lebih tinggi

ii. Penambahan senyawa penyangga
iii. Pengekstrasian unsur yang dianalisis
iv. Pengekstrasian ion atau gugus pengganggu
d. Gangguan oleh penyerapan non-atomik. Gangguan jenis ini berarti terjadinya
penyerapan cahaya dari sumber sinar yang bukan berasal dari atom-atom yang
akan dianalisis.
2.6 Validasi Metode Analisis
Menurut Harmita (2004) validasi metode analisis adalah suatu tindakan
penilaian terhadap parameter tertentu berdasarkan percobaan laboratorium untuk
membuktikan

bahwa

parameter

tersebut

memenuhi

persyaratan

untuk

penggunaannya. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam
validasi metode analisis adalah sebagai berikut:

23
Universitas Sumatera Utara

a. Kecermatan (Accuracy)
Kecermatan (accuracy) adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kedekatan hasil analisis dengan kadar analit sebenarnya. Kecermatan dinyatakan
sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan.
Kecermatan hasil analis sangat tergantung kepada sebaran galat sistematik di
dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai kecermatan
yang tinggi hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik
tersebut seperti menggunakan peralatan yang dikalibrasi, menggunakan pereaksi
dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksaannya yang cermat, taat
asas sesuai prosedur (Harmita, 2004).
Kecermatan dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu:
i. Metode simulasi
Metode simulasi (Spiked - placebo recovery) merupakan metode yang
dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit bahan murni ke dalam suatu
bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo), lalu campuran tersebut dianalisis dan
hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang
sebenarnya) (Harmita, 2004).
ii. Metode penambahan baku
Metode penambahan baku (standard addition method) merupakan metode
yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi
tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode yang akan
divalidasi. Hasilnya dibandingkan dengan sampel yang dianalisis tanpa
penambahan sejumlah analit. Persen perolehan kembali ditentukan dengan

24
Universitas Sumatera Utara

menentukan berapa persen analit yang ditambahkan ke dalam sampel dapat
ditemukan kembali (Harmita, 2004).
iii. Keseksamaan (Precision)
Keseksamaan (precision) diukur sebagai simpangan baku relatif atau
koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi merupakan ukuran yang menunjukkan
derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil
individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampelsampel yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004).
iv. Selektivitas (Spesifisitas)
Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang
hanya mengukur zat tertentu secara cermat dan seksama dengan adanya
komponen lain yang ada di dalam sampel (Harmita, 2004).
v. Linearitas dan Rentang
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon
baik secara langsung atau bantuan transformasi matematika, menghasilkan suatu
hubungan yang proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang
merupakan batas terendah dan batas tertinggi analit yang dapat ditetapkan secara
cermat seksama dan dalam linearitas yang dapat diterima (Harmita, 2004).
vi. Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
Batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat
dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko
dan menggunakan parameter uji batas, sedangkan batas kuantitasi merupakan
kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat
dan seksama (Harmita, 2004).

25
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Cemaran Timbal, Kadmium Dan Tembaga Pada Kubis Hijau (Brassica Oleracea L.) Secara Spektrofotometri Serapan Atom

5 78 105

Penetapan Kadar Kalsium dan Kalium dalam Brokoli (Brassica oleracea, L.) Segar dan Direbus Secara Spektrofotometri Serapan Atom

23 111 92

Pola Kromatografi serta Pemeriksaan Kadar Logam Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) pada Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica Oleracea L.) secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 18

Pola Kromatografi serta Pemeriksaan Kadar Logam Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) pada Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica Oleracea L.) secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 2

Pola Kromatografi serta Pemeriksaan Kadar Logam Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) pada Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica Oleracea L.) secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 5

Pola Kromatografi serta Pemeriksaan Kadar Logam Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) pada Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica Oleracea L.) secara Spektrofotometri Serapan Atom Chapter III V

0 0 18

Pola Kromatografi serta Pemeriksaan Kadar Logam Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) pada Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica Oleracea L.) secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 4

Pola Kromatografi serta Pemeriksaan Kadar Logam Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) pada Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica Oleracea L.) secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 34

Analisis Cemaran Timbal, Kadmium Dan Tembaga Pada Kubis Hijau (Brassica Oleracea L.) Secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 13

Analisis Cemaran Timbal, Kadmium Dan Tembaga Pada Kubis Hijau (Brassica Oleracea L.) Secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 15