Analisis Aspek Hukum Perbedaan Besar NPOPTKP Untuk Waris dan Hibah Wasiat Dengan Bukan Waris dan Hibah Wasiat Dalam BPHTB

BAB II
PERBEDAAN BESARNYA NPOPTKP DALAM MENGHITUNG
BPHTB TERUTANG UNTUK WARIS DAN HIBAH WASIAT
DENGAN BUKAN WARIS DAN HIBAH WASIAT
A. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Waris Dan
Hibah Wasiat Dalam BPHTB.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak baru yang
dipungut oleh pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten/kota di Indonesia.
Penerapan BPHTB sebagai pajak daerah diatur dalam UU PDRD. Pengertian tentang
BPHTB terdapat dalam UU PDRD, pasal 1 angka 41 yang menyebutkan bahwa “Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan”. Selanjutnya dalam pasal 1 angka 42, ditentukan bahwa
“Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan”. Selanjutnya dijelaskan lagi dalam pasal 1 angka 43 “Hak
Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah. Sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang bidang pertanahan dan bangunan”.
Menurut pandangan Mardiasmo, ada beberapa pengertian tentang BPHTB,
yaitu :
a. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dalam pembahasan

ini, BPHTB disebut pajak.

28

Universitas Sumatera Utara

29

b. Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau
peristirwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan
bangunan oleh orang pribadi atau badan.
c. Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana disebut didalam UU
No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No.16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
lainnya.33
Sesuai dengan ketentuan tersebut diatas, bahwa setiap perolehan hak atas
tanah dan bangunan yang diperoleh oleh orang pribadi atau badan, wajib dikenakan
BPHTB. Beberapa jenis perolehan yang wajib dikenakan BPHTB adalah perolehan
yang disebabkan oleh pembelian sebidang tanah, perolehan atas hibah atau hibah

wasiat dan perolehan karena wakaf dan perolehan hak lainnya yang menyangkut
tentang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
1.

Dasar Hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Berdasarkan ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang

berbunyi “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya keperluan rakyat”. Tanah yang
merupakan dari bumi juga merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, juga
digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yaitu papan dan lahan usaha.
Bangunan juga dalam hal ini dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pemiliknya.
Dengan adanya kepemilikan atas tanah dan bangunan tersebut, maka wajar bagi
33

Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2008, (Yogyakarta : CV. Andi Offset, 2008), hlm 344

Universitas Sumatera Utara

30


mereka untuk menyerahkan sebagian hasil ekonomi yang dihasilkan kepada Negara
dengan cara membayar pajak. Pajak yang dimaksud adalah Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Sejarah singkat tentang dasar hukum BPHTB sebelum dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (sebelum menjadi pajak daerah), ada pemungutan pajak dengan nama Bea
Balik Nama yang diatur dalam ordonansi Bea Balik Nama Staatsblaad 1924 Nomor
291.34 Bea Balik Nama ini dipungut setiap ada perjanjian pemindahan hak atas harta
tetap yang ada di Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat. Pengertian
harta tetap tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah,
yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblaad 1834 Nomor 27.35
Memasuki tahun 1960, keluarlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), maka hak-hak
atas kebendaan sebagaimana yang disebutkan diatas dinyatakan tidak berlaku lagi.
Hak-hak kebendaan tersebut digantikan dengan beberapa jenis hak-hak baru yang
diatur secara rinci dalam UUPA seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha dan lain sebagainya, sehingga bea balik nama atas harta tetap berupa hak atas
tanah tidak dipungut lagi.


34

Direktorat Jendral Pajak, 2011, http://www.ditjenpajak.go.id/baru, diakses pada tanggal 3

Juni 2015
35

Heru Suprayitno, Cara Menghitung PBB, BPHTB dan Bea Materai, (Jakarta : PT. Indeks,
2011) hlm 111

Universitas Sumatera Utara

31

Untuk menggantikan bea balik nama yang sudah tidak berlaku lagi, yang
dengan terbitnya UUPA sudah tidak dipungut lagi, maka pemerintah memandang
perlu untuk melakukan pemungutan pajak atas suatu perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang kemudia disebut dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB). Untuk menindaklanjuti hal tersebut, keluarlah UU Nomor 21

Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan pada tanggal 29
Mei 1997. Kemudian dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 21 Tahun 1997
tersebut dengan UU Nomor 20 Tahun 2000. BPHTB yang diatur dalam UU Nomor
20 Tahun 2000 merupakan pajak pusat yang dipungut langsung oleh pemerintah
pusat.
Kemudian sebagai bentuk nyata pemerintah pusat untuk menerapkan otonomi
daerah seutuhnya, dilakukanlah pengalihan beberapa jenis pajak yang awalnya
merupakan pajak pusat, dialihkan pemungutan dan pemanfaatannya bagi pemerintah
daerah. BPHTB adalah salah satu jenis pajak yang dialihkan menjadi pajak daerah.
Pengalihan beberapa jenis pajak dan retribusi yang juga dipungut oleh pemerintah
daerah ini, selanjutnya oleh pemerintah dituangkan ke dalam UU PDRD.
2.

Subjek Pajak dan Objek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB)
Menurut UU PDRD, pasal 86 ayat (1), subjek pajak BPHTB adalah orang

pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Sedangkan
objek BPHTB menurut UU PDRD dalam pasal 85 ayat (1) menyebutkan objek
BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pada ayat (2) disebutkan


Universitas Sumatera Utara

32

pula bahwa perolehan hak atas tanah dan/bangunan yang dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. Pemindahan Hak, karena :
1.

Jual Beli

2.

Tukar Menukar

3.

Hibah


4.

Hibah Wasiat

5.

Waris

6.

Pemasukan Dalam Perseroan atau Badan Hukum Lain

7.

Pemisahan Hak Yang Mengakibatkan Peralihan

8.

Penunjukan Pembeli Dalam Lelang


9.

Pelaksanaan Putusan Hakim Yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap

10. Penggabungan Usaha
11. Peleburan Usaha
12. Pemekaran Usaha
13. Hadiah
b. Pemberian Hak Baru, Karena :
1.

Kelanjutan Pelepasan Hak

2.

Di Luar Pelepasan Hak

Tentang hak tanah yang dimaksud pada ayat (1) tersebut termasuk didalamnya
adalah :
a. Hak Milik


Universitas Sumatera Utara

33

b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
f. Hak Pengelolaan
Waris adalah suatu perbuatan hukum dimana hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu dia meninggal dunia akan beralih
kepada orang yang masih hidup.36
Hibah dalam Bahasa belanda disebut dengan istilah “schenking”. Berdasarkan
pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, hibah adalah
“pemberian oleh seseorang kepada orang lainnya secara cuma-cuma dan tidak dapat
ditarik kembali, atas barang bergerak maupun barang tidak bergerak pada saat
pemberi hibah tersebut masih hidup”.37
Sedangkan Hibah Wasiat, dalam pasal 957 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, diartikan sebagai : suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang
mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya

dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang-barang bergerak atau tidak
bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta
peninggalannya.
3.

Penghitungan BPHTB
Menurut UU PDRD, dasar pengenaan pajak ditentukan berdasarkan Nilai

Perolehan Objek Pajak (selanjutnya ditulis NPOP) dari masing-masing jenis

36
37

R. Wirjono Prodjodikoro, OpCit, hlm.13
Ali Afandi, OpCit, hlm 30

Universitas Sumatera Utara

34


perolehan yang dilakukan. Di dalam Pasal 87 ayat (2) UU PDRD disebutkan bahwa
dalam hal NPOP sebagaimana yang ditentukan pada ayat (1), adalah sebagai berikut :
Tabel II.1
Dasar Pengenaan BPHTB
No Sumber Perolehan Hak Atas Tanah
dan atau Bangunan
1
Jual beli
2
Tukar menukar
3
Hibah
4
Hibah Wasiat
5
Waris
6
Pemasukkan dalam perseroan atau badan hukum
lainnya
7
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
8
Peralihan hak karena pelaksanaan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
9
Pemberian hak baru atas tanah sebagai
kelanjutan dari pelepasan hak
10 Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan
hak
11 Penggabungan usaha
12 Peleburan usaha
13 Pemekaran usaha
14 Hadiah
15 Penunjukan pembeli dalam lelang

Dasar Pengenaan Pajak
Harga Transaksi
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Harga Transaksi Tercantum
Dalam Risalah Lelang

sumber : UU Nomor 28 Tahun 2009

Terhadap pengenaan pajak BPHTB yang disebutkan di atas, pada masingmasing kabupaten di Indonesia tentunya akan memiliki perbedaan. Untuk
memberikan keringanan pada orang pribadi atau badan yang menerima setiap
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, pada Pasal 87 ayat (4) ditentukan bahwa
“Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (selanjutnya disebut
NPOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta

Universitas Sumatera Utara

35

rupiah) untuk setiap Wajib Pajak”. Sedangkan pada ayat (5) “Perolehan hak karena
adanya waris atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan satu derajat ke atas atau ke bawah
dengan pemberi hibah wasiat, termasuk juga di dalamnya suami atau istri, untuk
NPOPTKP nya ditetapkan paling rendah Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)”.
NPOPTKP ini wajib ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam suatu peraturan
daerah. Untuk penetapan tarif BPHTB, dalam Pasal 88 ayat (1) UU PDRD,
ditentukan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi 5% (lima persen) dan pada
ayat (2) tentang pengenaan tarif BPHTB ini harus ditetapkan melalui sebuah
peraturan daerah masing-masing.
Adapun cara menghitung BPHTB menurut UU PDRD adalah sebagai berikut:
BPHTB

= Tarif x NPOPKP
= Tarif x (NPOP – NPOPTKP)

Contoh soal penghitungan BPHTB untuk waris dan hibah wasiat :
Pada tanggal 28 Juli 2011, Tuan Abud mendaftarkan warisan dari orang tuanya
berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota BB dengan NPOP Rp. 400.000.000
(empat ratus juta rupiah). NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota
BB ditetapkan serendah-rendahnya Rp.300.000.000 (tiga ratus jutah rupiah), maka
atas perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
dengan perhitungan sebagai berikut:
NPOP

= Rp. 400.000.000

Universitas Sumatera Utara

36

NPOPTKP

= Rp. 300.000.000

Tarif

= 5%

BPHTB = 5% x (400.000.000 – 300.000.000)
= 5% x 100.000.000
= Rp. 5.000.000
BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Tuan Abud adalah sebesar Rp. 5.000.000
Apabila NPOP lebih rendah dari pada NPOPTKP, maka wajib pajak tidak dikenakan
BPHTB.
Contoh soal penghitungan BPHTB bukan waris dan hibah wasiat :
Tuan Aroel membeli tanah seluas 500 m2 di daerah jamin ginting dengan harga Rp.
400.000.000 (empat ratus juta rupiah) NPOPTKP untuk wilayah tersebut telah
ditetapkan serendah-rendahnya Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) Maka
BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Tuan Aroel sebesar :
NPOP

= Rp. 400.000.000

NPOPTKP

= Rp. 60.000.000

Tarif

= 5%

BPHTB = 5% x (400.000.000 – 60.000.000)
= 5% x 340.000.000
= Rp. 17.000.000
Maka BPHTB terutang yang harus dibayar Tuan Aroel sebesar Rp. 17.000.000
B. Waris dan Hibah Wasiat Tanah dan Bangunan.
1.

Hukum Waris di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

37

Sistem hukum perdata di Indonesia yang bersifat pluralism (beraneka ragam),
begitu juga dengan belum adanya unifikasi dalam hukum kewarisan di Indonesia
yang merupakan bagian dari hukum perdata Indonesia, sehingga sampai saat ini kita
masih menggunakan 3 (tiga) sistem hukum kewarisan yang sudah ada sejak dulu,
yaitu :
a.

Hukum Waris BW (Burgelitjk Wetboek).
Sistem kewarisan yang tertuang dalam BW yang menganut sistem individual,

dimana setelah pewaris meninggal dunia maka harta peninggalan pewaris haruslah
segera dilakukan pembagian kepada ahli waris. Berlakunya BW berdasarkan pada
ketentuan :
1. Pasal 131 jo 163 Indische Staatsregeling (untuk selanjutnya disebut IS), yaitu
: hukum waris yang diatur dalam BW berlaku bagi orang-orang Eropa dan
mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut.
2. Staatsblad 1917 no.129, yaitu : hukum waris yang diatur dalam BW berlaku
bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa.
3. Staatsblad 1924 no.557 jo Staatsblad 1917 no.12 yaitu : hukum waris yang
diatur dalam BW berlaku bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan orangorang Indonesia yang menundukan diri kepada Hukum Eropa.38
Sekarang ini Staatsblad tersebut tidak berlaku lagi setelah terbitnya UUD RI
1945 yang tidak mengenal penggolongan penduduk Indonesia. Penggolongan
sekarang ini disebut “Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing”. Ketentuan
hukum waris BW diatur dalam buku II title 12 sampai 16. Hukum Waris BW
38

Surini Ahlan Sjarif, Hukum Kewarisan Perdata Barat, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm 4

Universitas Sumatera Utara

38

diartikan sebagai berikut : “Kesemuanya kaedah hukum yang mengatur nasib
kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan menentukan siapa orangnya yang
dapat menerimanya”.39
b. Hukum Kewarisan Adat
Sistem Hukum Kewarisan Adat yang beraneka ragam, hal ini dipengaruhi
oleh bentuk masyarakat di berbagai daerah lingkungan hukum adat dan sifat
kekerabatan berdasarkan keturunan. Setiap sistem keturunan memiliki kekhususan
dalam hukum waris yang satu dengan yang lainnya saling berbeda. Hukum adat
mengenal 3 (tiga) sistem hukum kewarisan yang sangat dipengaruhi oleh sistem
kekerabatan, yaitu :
1.

Sistem Kewarisan Individual, merupakan sistem kewarisan yang menentukan
bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, dimana setiap ahli waris
mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan
menurut bagiannya masing-masing. Sistem kewarisan ini banyak berlaku
dilingkungan masyarakat yang memakai sistem kekerabatan secara parental.40
Seperti masyarakat bilateral di daerah jawa dan juga sebagian masyarakat yang
sistem kekerabatannya patrilineal, seperti di Tanah Batak.

2.

Sistem Kewarisan Kolektif, merupakan sistem kewarisan yang menentukan
bahwa ahli waris mewarisi harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif)
karena harta peninggalan tersebut tidak dapat dibagi-bagi kepemilikannya kepada

39
40

Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris, (Bandung : Pionir Jaya, 1992), hlm 24
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 24

Universitas Sumatera Utara

39

masing-masing ahli waris.41 Setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan,
menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sistem kewarisan
ini terdapat pada masyarakat yang memakai sistem kekerabatan matrilinieal,
seperti daerah Minangkabau.
3.

Sistem Kewarisan Mayorat, sistem kewarisan ini menentukan bahwa harta
peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh satu orang anak.
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak ada pasal yang mengatur tentang

hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakuya kembali Hukum Adat terdapat
pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang mneyebutkan :
“segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Aturan peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum berlakunya hukum adat.
Dalam UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus
berisi alasan-alasan dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan UndangUndang dan aturan adat yang menjadi dasar hukuman itu. Tetapi karena belum ada
pelaksanaannya di UUDS 1950, maka kembali ke Aturan Peralihan UUD 1945.
Dalam pasal 131 ayat (2) sub b.I.S. menyebutkan :
“bagi golongan hukum Indonesia asli (bumi putera) dan Timur Asing dan bagian
dari golongan-golongan tersebut, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas
agama dan kebiasaan (adat) mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka

41

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif ISLAM, ADAT, BW, (Bandung
: Refika Aditama, 2005), hlm 53

Universitas Sumatera Utara

40

membutuhkannya, maka pembuat undang-undang dapat menentukan bagi
mereka :
a. Hukum Eropa
b. Hukum Eropa yang telah diubah
c. Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
d. Hukum baru yaitu yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka
yaitu Hukum Eropa.
Pasal 131 ini ditujukan pada undang-undangnya, bukan pada hakim yang
menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan
bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah
hukum agama dan hukum kebiasaan atau hukum adat mereka, dengan syarat bila
berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa.
Dari uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar
berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :
a.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD
1945.

b.

Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945.

c.

Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman.

d.

Pasal 7 (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman

Universitas Sumatera Utara

41

Hukum Adat mempunyai corak dan sifat-sifat sendiri, yang berbeda dengan
hukum islam maupun BW, hal ini disebabkan karena latar belakang pikiran bangsa
Indonesia dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika.
c.

Hukum Kewarisan Islam
Di dalam hukum waris islam, telah lengkap diatur dan ditata secara tuntas hal-

hal yang menyangkut peralihan harta warisan dari seorang pewaris kepada ahli waris
atau para ahli waris. Di dalam hukum waris islam proses peralihan semacam itu
dikenal dengan ilmu Faraid, yakni ilmu pembagian pusaka, ilmu yang menjelaskan
tentang ketentuan-ketentuan pusaka yang menjadi bagian ahli waris yang secara garis
besar dibedakan dalam 2 (dua) hal, yakni :
1. Sebagai peraturan-peraturan tentang pembagian-pembagian pusaka
2. Sebagai peraturan-peraturan menghitung bagian-bagian itu, bagaimana cara
menghitung bagian-bagian dari masing-masing yang berhak atas harta
pusaka.42
Didalam hukum waris islam, warisan memiliki beberapa unsur, yakni :
pewaris, ahli waris dan harta warisan. Ketiga unsur tersebut memiliki aturanaturan tertentu yang mendasar. Sebuah harta warisan baru dapat dibagibagikan kepada ahli waris apabila dari keseluruhan harta warisan yang ada
tersebut telah dikurangi oleh biaya penguburan jenazah dan hutang-hutang
pewaris, zakat atau harta pusaka atau harta warisan serta wasiat si pewaris.43

42
43

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hlm 6
Ibid

Universitas Sumatera Utara

42

Di dalam hukum waris islam dibenarkan adanya hibah dari penghibah kepada
siapa saja yang dikehendaki ketika penghibah masih hidup atau sehat walafiat.
Keadaan ini berlangsung tanpa pertukaran apapun dari penerima hibah, jadi
dilaksanakan secara sukarela. Akan tetapi, walaupun hibah tersebut dilaksanakan
sedemikian rupa, tetap harus memperhatikan syarat-syarat yang dikehendaki di dalam
melaksanakannya. Dalam hal ini hibah harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yakni : ijab,
qabul, qabda.44 Demikian pula mengenai wasiat, pelaksanaan ini dibenarkan di dalam
syariat islam. Akan tetapi di dalam realisasi jumah yang dapat diwasiatkan dari
seluruh harta tidak lebih dari sepertiga. Persyaratan wasiat, yaitu : pewasiat, penerima
wasiat, jumlah yang boleh diwasiatkan dan pernyataan jelas.45
2.

Hibah Wasiat.
Hibah dalam Bahasa belanda disebut dengan istilah “schenking”. Berdasarkan

pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, hibah adalah
“pemberian oleh seseorang kepada orang lainnya secara cuma-cuma dan tidak dapat
ditarik kembali, atas barang bergerak maupun barang tidak bergerak pada saat
pemberi hibah tersebut masih hidup”.46 Syarat-syarat dari pengertian hibah tersebut
diatas adalah :47
a. Dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1687 KUHPerdata) untuk barang
bergerak dan akta PPAT (Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997) untuk tanah dan bangunan.
44

Ibid, hlm 7
Ibid
46
Ali Afandi, Op Cit, hlm 30
47
Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum
Waris, (Bandung : Kaifa, 2014), hlm 74-75
45

Universitas Sumatera Utara

43

b. Merupakan pemberian secara cuma-cuma (gratis, tanpa bayaran). Oleh
karena diberikan secara cuma-cuma maka si penerima hibah tidak
menerima tambahan keuntungan.
c.

Diberikan pada saat si pemberi hibah masih hidup karena dia harus
bertindak aktif menyerahkan kepemilikan atas suatu barang tertentu yang
dijadikan objek hibah.

d. Pemberi hibah adalah orang yang cakap dalam bertindak menurut hukum,
artinya bahwa si pemberi hibah bukan merupakan seorang yang masih
dibawah umur atau tidak sedang dalam pengampuan.
e.

Jenis barang yang dapat dihibahkan adalah barang bergerak dan tidak
bergerak.

f.

Pemberian hibah hanya untuk barang-barang yang telah ada.

g. Penerima hibah sudah ada, sudah lahir atau setidaknya sudah dibenihkan
pada saat pemberian hibah tersebut dilakukan (Pasal 1679 KUHPerdata).
Dapat diartikan bahwa jika seseorang ingin menghibahkan suatu barang
kepada anaknya, anak tersebut minimal sudah lahir atau sudah berada
dalam kandungan ibunya. Jadi tidak berlaku untuk anak yang belum tentu
ada.
h. Pemberian hibah ini harus bersifat final dan sama sekali tidak dapat
ditarik kembali (Pasal 1666 KUHPerdata).
Perihal tentang hibah wasiat juga terdapat dalam ketentuan pasal 957 KUHPerdata.

Universitas Sumatera Utara

44

Hibah wasiat atau Legaat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu
testament, dengan mana si pemberi wasiat memberikan seorang (atau lebih) seluruh
atau sebagian dari harta kekayaannya, kalau ia meninggal dunia.48
Suatu hibah wasiat (legaat) sangat erat kaitannya dengan surat wasiat
(testament). Menurut bentuknya terdapat 3 (tiga) macam testament, yaitu :
a. Openbaar Testament
Merupakan bentuk testament yang banyak dipakai, dalam hal mana orang
yang akan meninggalkan warisan datang menghadap ke notaris dengan
dihadiri oleh dua orang saksi.
b. Olografis Testament
Suatu bentuk testament yang dibuat/ditulis dengan tulisan tangan si pewaris
sendiri, yang harus disimpan dan diserahkan kepada notaris, dengan
disaksikan oleh dua orang saksi. Sejak tanggal testament itu berlaku diambil
tanggal penyerahan. Penyerahan dapat terbuka atau tertutup. Apabila dalam
keadaan tertutup, maka apabila si pewaris meninggal dunia, testament tersebut
harus diserahkan oleh notaris kepada Balai Harta Peninggalan.
c. Testament Tertutup dan Rahasia
Merupakan suatu testament rahasia yang harus selalu tertutup atau disegel
kemudian diserahkan kepada notaris dengan disaksikan oleh dua orang
saksi.49

48

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta :
Prestasi Pustaka Publisher, 2006), hlm 299
49
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Kencana,
2008), hlm 208

Universitas Sumatera Utara

45

C. Perbedaan Besar NPOPTKP Waris dan Hibah Wasiat Dengan Bukan
Waris dan Hibah Wasiat.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sebelumnya dasar hukum
BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Peraturan terkait lainnya
antara lain :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 111 sampai dengan 114 Tahun 2000.
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian
Pengurangan BPHTB sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2009.
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara
Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB sebagaimana terakhir diubah dengan
PMK Nomor 14/PMK.02/2009.
Selanjutnya didalam pasal 7 UU BPHTB, pemerintah menentukan suatu batas
nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP adalah bagian dari Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP) yang tidak dikenai pajak. Penerapannya sama dengan NJOPTKP dalam PBB
tetapi diterapkan terhadap setiap objek BPHTB. Ketentuan pasal 7 ini dijabarkan
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan yang terakhir adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tanggal 1 Desember 2000 yang kemudian
ditindaklanjuti

lagi

dengan

Keputusan

Menteri

Keuangan

Nomor

Universitas Sumatera Utara

46

516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. Keputusan Menteri Keuangan ini
kemudian mengalami perubahan dan yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 tanggal 22 Februari 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata
Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 ini berisikan ketentuan sebagai
berikut:
1.

Untuk perolehan hak karena waris , atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah),

2.

Untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007
tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas
Subsidi Perumahan Melalui KPR bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan
Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Rumah Susun Bersubsidi,
ditetapkaan sebesarRp.49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah),

3.

Untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku
usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah

Universitas Sumatera Utara

47

untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan
sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
4.

Untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah),

5.

Dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih
besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b
ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada huruf d,

6.

Dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih
besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c,
maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c
ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada huruf d.
Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional, maksudnya adalah NPOPTKP
tersebut

ditetapkan

per

daerah

tingkat

II

(Kabupaten/Kota)

dengan

mempertimbangkan usulan dari Kepala Daerah yang bersangkutan.
Kemudian terjadi perubahan lagi menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Menurut UU PDRD
pasal 87 ayat (4), (5) dan (6) besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar
Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Kemudian
untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat NPOPTKP ditetapkan paling
rendah Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). NPOPTKP menurut UU PDRD

Universitas Sumatera Utara

48

tersebut akan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda), akan tetapi NPOPTKP
untuk setiap daerah belum tentu sama, karena Perda masing-masing daerah bisa jadi
berbeda-beda tergantung dari otonomi daerah itu masing-masing.
Penetapan besar NPOPTKP tersebut berdasarkan pada pertumbuhan
perekonomian Indonesia, karena seiring perkembangan zaman perekonomian
Indonesia juga semakin maju dan bertumbuh pesat, karena pada saat UU No.21
Tahun 1997 tentang BPHTB berlaku, perekonomian negara Indonesia sedang dalam
keadaan yang memerlukan pembenahan secara menyeluruh di segala sektor. Dengan
pertimbangan usulan dari beberapa pihak terutama pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan dalam hal-hal yang berkaitan dengan tanah dan bangunan seperti real
estate dan ditambah lagi dengan keadaan perekonomian yang sedang kurang
kondusif, maka UU BPHTB ditangguhkan pemberlakuannya selama 6 (enam) bulan
berdasarkan Peraturan Pemerintah (selanjutnya akan disebut PP) Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1997 yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1997
tentang Penangguhan Mulai Berlakunya UU BPHTB. Selanjutnya PP Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 disetujui oleh DPR dan ditetapkan menjadi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 dan dengan demikian maka pemberlakuan
terhadap aturan tentang BPHTB berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 1998. Seiring
dengan perkembangan zaman yang terjadi dalam masyarakat, maka terhadap UU
BPHTB dilakukan penyempurnaan untuk menghadapi perubahan yang cepat yang
terjadi dalam masyarakat. Terhadap penyempurnaan tersebut lahirlah Undang-

Universitas Sumatera Utara

49

Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang BPHTB.50
Sebelumnya di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 disebutkan
NPOPTKP adalah sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah). Penetapan jumlah
NPOPTKP tersebut atas dasar karena ada kajian dari pihak eksekutif dan legislatif,
dan juga pada saat itu harga-harga tanah masih tergolong murah. Namun setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, terjadi juga perubahan kepada
NPOPTKP yang sebelumnya Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) menjadi
sebesar-besarnya Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak
dan Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) untuk penerimaan waris dan hibah
wasiat. penetapan jumlah NPOPTKP tersebut juga telah dikaji dan telah
dipertimbangkan oleh pemerintah. Dasar pertimbangan pemerintah dalam hal
menetapkan nilai tersebut adalah karena pada saat Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2000 berlaku, perekonomian Indonesia sudah dalam keadaan tumbuh dan
berkembang, karena di saat itu juga harga-harga tanah sudah semakin tinggi. Di
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, Penerimaan dalam hal waris dan
hibah wasiat juga telah dikenakan pajak, yang sebelumnya di dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tidak dikenakan pajak.51

50

Hasil wawancara dengan Tim Asistensi/Tenaga Ahli pada Dinas Pendapatan Daerah/Dinas
Pelayanan Pajak Prov. DKI Jakarta, Bapak Drs. Karmen Manurung, MSc.(PMV), pada tanggal 22
Agustus 2016
51
Hasil wawancara dengan Tim Asistensi/Tenaga Ahli pada Dinas Pendapatan Daerah/Dinas
Pelayanan Pajak Prov. DKI Jakarta, Bapak Drs. Karmen Manurung, MSc.(PMV), pada tanggal 22
Agustus 2016

Universitas Sumatera Utara

50

Pada tahun 2009 terjadi perubahan menyeluruh dalam hal pemungutan pajak,
yang sebelumnya pajak dipungut oleh pemerintah pusat, lalu dialihkan ke tiap-tiap
daerah. Lalu diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Secara umum oleh pemerintah pusat telah ditetapkan
NPOPTKP sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak
dan Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) untuk penerimaan waris dan hibah
wasiat, akan tetapi tidak semua daerah bisa menerimanya, karena dengan jumlah
NPOPTKP tersebut banyak daerah yang tidak bisa menghasilkan income
(pemasukan) pajak. Oleh karena itu maka tiap-tiap daerah boleh menetapkan
NPOPTKP sendiri dengan Peraturan Daerah sesuai dengan perkembangan
perekonomian tiap-tiap daerah selama tidak kurang dari NPOPTKP yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah pusat.52
D. Perbandingan Perbedaan Besar dan Penetapan NPOPTKP Untuk Waris
dan Hibah Wasiat Dengan Bukan Waris dan Hibah Wasiat Antara Kota
Jakarta dan Kota Medan.
Di dalam UU PDRD Pasal 87 ayat (6), disebutkan NPOPTKP ditetapkan
dengan peraturan daerah. Sebagai contoh dan perbandingan, kita akan melihat
perbedaan besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan
hibah wasiat antara Kota Jakarta dan Kota Medan. Di Kota Jakarta, dalam Perda
Prov. DKI Jakarta No.18 Tahun 2010 tentang BPHTB, pasal 5 ayat (7) dan (8)
disebutkan : besarnya NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp. 80.000.000 (delapan puluh
juta rupiah) untuk setiap wajib pajak dan dalam hal perolehan hak karena waris dan

52

Hasil wawancara dengan Satuan Pelaksana Penyuluhan Pajak Daerah Dinas Pelayan Pajak
Prov. DKI Jakarta, Bapak Andry M Rizal, pada tanggal 24 Agustus 2016.

Universitas Sumatera Utara

51

hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau
waris ditetapkan NPOPTKP sebesar Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah). Dasar pertimbangan pemerintah Jakarta dalam hal menentukan besarnya
NPOPTKP adalah :
1. Perekonomian Kota Jakarta yang telah bertumbuh dan berkembang pesat.
2. Harga-harga tanah di Jakarta yang semakin tinggi.
3. Harus memberikan kemudahan bagi masyarakat menengah ke bawah.
4. Dilihat dari kemampuan wajib pajak dalam membayar pajak.
5. Dilihat dari cakupan wilayah.53
Jakarta merupakan Ibukota Negara dan juga merupakan pusat bisnis dan pusat
pemerintahan. Semakin banyak dibangunnya infrastruktur, pusat-pusat perbelanjaan
dan perkantoran ikut berperan dalam meningkatnya harga-harga tanah di Jakarta.54
Akan tetapi, walaupun dengan ditetapkannya NPOPTKP tersebut, masih juga belum
mewakili setiap golongan masyarakat di Jakarta. Masih banyaknya masyarakat yang
tidak mau atau menghindar untuk membayar pajak dikarenakan besarnya pajak yang
harus dibayar. Oleh karena itu, maka akan terus dilakukan evaluasi setiap tahunnya
untuk mengakomodir supaya membantu masyarakat-masyarakat terutama masyarakat
golongan menengah ke bawah.55 Berikut dilampirkan Data Rencana dan Realisasi

53
Hasil wawancara dengan Satuan Pelaksana Penyuluhan Pajak Daerah Dinas Pelayan Pajak
Prov. DKI Jakarta, Bapak Andry M Rizal, pada tanggal 24 Agustus 2016.
54
Ibid
55
Hasil wawancara dengan Staf Peraturan Pajak 1 Dinas Pelayan Pajak Prov. DKI Jakarta,
Bapak Dika Anindita Setiadi, pada tanggal 25 Agustus 2016.

Universitas Sumatera Utara

52

Penerimaan Pajak Daerah DKI Jakarta Tahun 2012-2015 dalam hal penerimaan pajak
BPHTB :
Tabel II.2
Data Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah DKI Jakarta (BPHTB)
TAHU
N
RENCANA
REALISASI
2012
2.800.000.000.000
3.224.573.379.083
2013
3.200.000.000.000
3.419.932.665.925
5.000.000.000.000
3.700.938.580.712
2014
5.881.650.000.000
2015
3.609.336.161.480
Sumber : Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah DKI Jakarta

%
115,6
106,87
74,02
61,37

Dapat dilihat dari tabel di atas, penerimaan pajak BPHTB dari tahun 2012 sampai
dengan 2013 mengalami peningkatan pesat dan bahkan melebihi target penerimaan
pajak yang sudah ditetapkan tiap tahunnya. Hal tersebut juga menegaskan bahwa
perekonomian di Jakarta setiap tahunnya bertumbuh pesat. Namun terjadinya
penurunan dalam penerimaan pajak BPHTB di tahun 2014 sampai dengan 2015 yang
disebabkan turunnya jumlah transaksi jual beli tanah dan bangunan di Jakarta. Oleh
karena itu, setiap tahunnya pemerintah Jakarta akan mengevaluasi kebijakankebijakan dalam hal penerimaan pajak BPHTB untuk meningkatkan penerimaan
pajak BPHTB setiap tahunnya.56
Berbeda dengan Kota Jakarta, NPOPTKP di Kota Medan tidak mengalami
perubahan sama sekali. Di dalam Perda Kota Medan No.1 Tahun 2011 tentang
BPHTB, pasal 4 ayat (7) dan (8) disebutkan : besarnya NPOPTKP ditetapkan sebesar
Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak dan besarnya
NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang
56

Hasil wawancara dengan Satuan Pelaksana Penyuluhan Pajak Daerah Dinas Pelayan Pajak
Prov. DKI Jakarta, Bapak Andry M Rizal, pada tanggal 24 Agustus 2016.

Universitas Sumatera Utara

53

pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi wasiat, termasuk
suami/istri, ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). Secara garis
besar isi dari Perda Kota Medan mengikuti UU PDRD. Dasar pertimbangan Kota
Medan menetapkan NPOPTKP tersebut karena pertumbuhan perekonomian Kota
Medan masih belum terlalu berkembang. Harga-harga tanah masih tergolong murah
dan masih banyaknya ditemukan wajib pajak yang menghindar dalam membayar
pajak serta tingkat kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak juga masih rendah.
Berikut dilampirkan Data Rencana dan Realisasi Pajak Daerah Kota Medan Tahun
2012-2015 dalam hal penerimaan BPHTB :
Tabel II.3
Data Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Medan (BPHTB)
TAHU
N
RENCANA
REALISASI
2012
280.974.000.000
259.114.429.583
2013
335.974.000.000
187.786.428.637
330.000.000.000
228.392.967.245
2014
335.974.000.000
2015
201.806.504.023
Sumber : Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Medan

%
92,22
55,89
69,21
60,07

Dapat dilihat dari tabel di atas, penerimaan pajak BPHTB Kota Medan tidak stabil,
tidak terpenuhinya target yang sudah ditetapkan setiap tahunnya dan mengalami
penurunan setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan karena lesunya bisnis properti
yang berdampak kepada penerimaan BPHTB Kota Medan dan lemahnya daya beli
masyarakat juga menjadi penyebab lemahnya bisnis properti. Kemampuan wajib
pajak dalam membayar pajak juga masih sangat rendah sekali yang disebabkan oleh
krisis global ekonomi.57
57

Hasil wawancara dengan Staff Bidang Bagi Hasil Pajak Dispenda Kota Medan, Bapak
Muhammad Akhyar Hasibuan, pada tanggal 24 Oktober 2016.

Universitas Sumatera Utara