Analisis Aspek Hukum Perbedaan Besar NPOPTKP Untuk Waris dan Hibah Wasiat Dengan Bukan Waris dan Hibah Wasiat Dalam BPHTB Chapter III V

54

BAB III
PEMENUHAN ASAS KEADILAN DALAM MENETAPKAN BESARNYA
NPOPTKP WARIS DAN HIBAH WASIAT DAN BUKAN WARIS DAN
HIBAH WASIAT

A. Keadilan Menurut Hukum.
Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara
keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. Di
antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan
keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan
perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak. Keadilan hanya bisa
dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.
Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang
dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh
kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk
mengaktualisasikannya.58 Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan
atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman
tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang
sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan

umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat
mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan
ini. Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan
merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan
58

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004), hal 239.

54

Universitas Sumatera Utara

55

aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian
menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan. Namun tentu tidak
demikian halnya jika ingin memainkan peran menegakkan keadilan.59
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenangwenang. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah

semua hal yang berkenan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia,
keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan
hak dan kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih;
melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.
Teori-teori hukum alam sejak Scorates tetap mempertahankan keadilan sebagai
mahkota hukum. Teori hukum alam mengutamakan the search for justice.60
Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum dan
teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah keadilan yang dipahami
sebagai sesuatu yang irasional dan pada titik lain dipahami secara rasional. Tentu saja
banyak varian-varian yang berada diantara kedua titik ekstrim tersebut.61
Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil.
Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan

59

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 137
60
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintas sejarah, cet VIII, (Yogyakarta, Kanisius,
1995), hal 196

61
Berbagai macam permasalahan keadilan dan kaitannya dengan hukum yang berkembang
dari berbagai aliran pemikiran dapat dibaca pada buku: W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum;
Susunan II, (Legal Theory), diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, cetakan Kedua, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, 1994

Universitas Sumatera Utara

56

kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut teori keadilan Aristoteles dan teori
keadilan sosial John Rawls.
1.

Teori Keadilan Aristoteles.
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam

karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam
buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang
berdasarkan filsafat umum Aristoteles mesti dianggap sebagai inti dari filsafat

hukumnya karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.62
Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti
dipahami dalam pengertian kesamaan.
Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik
dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia
sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang
kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan
hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles
menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
Lebih lanjut Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan
distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik yang
kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama
rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam
kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa
62

Carl Joachim Friedrich, OpCit, hlm 24

Universitas Sumatera Utara


57

imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua
yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya
pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis jelaslah bahwa apa
yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain
berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi
merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya yakni nilainya bagi
masyarakat.63
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah.
Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan maka keadilan korektif
berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan, jika
suatu kejahatan telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan
kepada si pelaku. Bagaimanapun ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya
kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas
membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan

korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan
bidangnya pemerintah.64
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan
pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang

63
64

Ibid, hlm 25
Ibid

Universitas Sumatera Utara

58

didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim dengan vonis yang
berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini
jangan dicampur-adukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan
dalam undang-undang dan hukum adat. Karena berdasarkan pembedaan Aristoteles,
dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya

mengacu pada komunitas tertentu sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati
diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika
bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.65
2.

Keadilan Sosial Menurut John Rawls.
John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan

sosial sebagai the difference principledan the principle of fair equality of opportunity.
Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus
diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang
beruntung.
Istilah perbedaan sosial-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada
ketidaksamaan

dalam

prospek

seorang


untuk

mendapatkan

unsur

pokok

kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality
of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang
untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang
harus diberi perlindungan khusus.
Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai
alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill.
65

Carl Joachim Friedrich, op.cit, hlm 26

Universitas Sumatera Utara


59

Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip
utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi
perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori
ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi
diminta pengorbanan demi kepentingan umum tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa
pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang
beruntung dalam masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang
sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling
lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan
menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya
situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling
tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua,
ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.
Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam
hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit,
agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan
keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan
yaitu pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur
kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi

Universitas Sumatera Utara

60

keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik
mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.66
Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar
masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang
paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua
hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang
dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan
politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai
pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami kaum lemah.

B. Keadilan Dalam Perpajakan.
Keadilan merupakan asas yang menjadi substansi utama dalam pemungutan
pajak di samping anasir hukum itu sendiri. Sebagai dasar berpijak, sudah seharusnya
asas (keadilan) tersebut dipegang teguh agar tercapainya sistem perpajakan yang
baik.67 Akan tetapi prinsip keadilan adalah sesuatu yang sangat abstrak dan subjektif.
Meskipun demikian di dalam hukum pajak, keadilan dikemukakan sebagai berikut :68
“Asas keadilan mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak
dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk

66

John Rawls, A Theory of Justice, London, Oxford University Press, 1973, terjemahan dalam
Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2006
67
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan, OpCit, hlm 119
68
Ibid, hlm 121

Universitas Sumatera Utara

61

membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari
negara”.
Adolf Wagner mengemukakan bahwa asas keadilan adalah dalam kondisi
yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lainnya, harus dikenakan pajak
dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).69
Lantas apakah yang menjadi parameter terakomodasinya prinsip keadilan di
dalam pemungutan pajak? Menurut Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti
mengatakan, akomodasi asas atau prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat
pada saat dimulainya penyusunan undang-undang pajak.70
1.

Teori dan Asas Pemungutan Pajak.
Pada pelaksanaannya, para pembuat undang-undang pajak harus selalu

memegang teguh kepada asas keadilan. Hal ini sering dipersoalkan, apakah
pemungutan pajak oleh suatu negara berdasarkan pula kepada asas keadilan. Dari
abad ke abad selalu timbul pertanyaan, apakah dasar hukumnya maka ada kewajiban
membayar pajak atau dengan kata lain atas dasar apakah maka negara seakan-akan
memberi hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyatnya dengan apa yang
disebut pajak. Karena itu sejak abad ke-18 timbul berbagai teori guna memberi dasar
penentuan keadilan (justification) kepada negara untuk memungut pajak dari
rakyatnya. Teori-teori tersebut selalu didengung-dengungkan oleh para pencipta dan
para penganutnya kepada masyarakat dengan maksud agar segala peraturan yang
berhubungan dengan pajak diinsyafi dan ditaati tanpa reserve. Sudah barang tentu
69

http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 3 Agustus 2015
Rochman Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, edisi revisi,
(Bandung : PT. Refika Aditama, 2004), hlm 12
70

Universitas Sumatera Utara

62

kesemua teori tersebut harus sesuai dengan pandangan hidup masyarakat pada
jamannya sehingga masing-masing teori tersebut bersifat relative, dalam arti teori
pada abad ke-17 misalnya akan menjadi usang setelah memasuki abad ke-18 baik
sebagian saja atau parsial maupun secara keseluruhan.
Menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, pemungutan pajak menurut
falsafah hukum harus dilakukan berdasarkan asas keadilan, asas yuridis, asas
ekonomi, dan asas finansial. Adapun asas keadilan dijelaskan dengan beberapa teori
yaitu: teori asuransi, teori kepentingan, teori gaya pikul, teori bakti, teori gaya beli,
dan teori pembangunan71
Teori-teori tersebut antara lain adalah sebagai berikut :72
a.

Teori Asuransi.
Menurut teori ini negara mempunyai tugas melindungi orang dan segala
kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa serta harta bendanya.
Maka untuk perlindungan tersebut diperlukan pembayaran premi seperti
asuransi, dan dalam hal ini adalah pembayaran pajak. Atau pajak
dianggap sebagai premi asuransi yang harus dibayar oleh masyarakat
suatu bangsa karena telah mendapat perlindungan dari negara.

b. Teori Kepentingan.
Teori ini menitikberatkan kepada pembagian beban pajak yang harus
dipungut dari masyarakat seluruhnya. Pembagian beban ini harus

71

Sony Devano, Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan, Konsep, Teori, dan Isu, (Jakarta : Kencana,
2006), hal. 49
72
R. Santoso Brotodihardjo, S,H, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung : PT. Eresco,
1993), hlm 30

Universitas Sumatera Utara

63

didasarkan kepada kepentingan orang masing-maisng dalam tugas-tugas
pemerintah, termasuk juga perlindungan atas harta benda dan jiwa dari
masing-masing orang tersebut. Orang yang banyak kepentingannya yang
harus dipenuhi oleh negara harus membayar pajak lebih besar, demikian
pula sebaliknya apabila kepentingan orang tersebut yang harus dipenuhi
oleh negara sedikit akan membayar pajak yang lebih kecil.
c.

Teori Gaya Pikul.
Menurut teori ini bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam
jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada wargamya.untuk keperluan
ini diperlukan biaya-biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang
menikmati jasa-jasa pemerintah tersebut. Biaya-biaya tersebut adalah
dalam bentuk pajak yang harus dibayar oleh setiap orang penikmat jasa
yang diberikan oleh pemerintah. Tekanan pajak harus sama atas setiap
orang dalam arti bahwa pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang
dan ukuran gaya pikul adalah selain besarnya penghasilan dan kekayaan
juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang.

d. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti.
Berlawanan dengan ketiga teori diatas, teori ini tidak mengutamakan
kepentingan negara di atas kepentingan warganya. Teori ini berdasarkan
atas paham bahwa karena sifat negara maka timbullah hak-hak mutlak
untuk memungut pajak (asas Organische Staatsleer). Hak semacam ini
telah

diakui

semenjak

beberapa

abad

dan

orang-orang

selalu

Universitas Sumatera Utara

64

menginsyafnya sebagai kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya
terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak.
e.

Teori Asas Gaya Beli.
Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak dapat disamakan dengan
pompa, yaitu mengambil gaya beli dari masing-masing rumah tangga
dalam

masyarakat

untuk

rumah

tangga

negara

dan

kemudian

menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud memelihara
hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini
megajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang
dapat dianggap sebagai dasar keadilan dalam pemungutan pajak, bukan
kepentingan individu bukan pula kepentingan negara, melainkan
kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
Sebagai pedoman untuk menentukan terpenuhinya prinsip keadilan dalam
perundang-undangan, menurut Adam Smith harus dipenuhi 4 (empat) syarat sebagai
berikut :73
a.

Equality and Equity

b. Certainty
c.

Convienience Of Collection

d. Economics Of Collection
Keempat pedoman ini disebut “the four canons of Adam Smith” atau sering juga
disebut “the four maxim”.74 Dalam penjabaran lebih lanjut, keempat syarat-syarat
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
73

Ibid, hlm 14

Universitas Sumatera Utara

65

a.

Equality atau kesamaan, mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau
orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang
sama.75 Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara
melakukan diskriminasi di antra sesama wajib pajak. Dalam keadaan
yang sama, para wajib pajak harus diberlakukan pajak yang sama juga.76
Sementara itu, asas equity/kepatutan, merupakan keadilan yang bersifat
khusus yang diterapkan pada suatu kasus tertentu.
Keadilan mensyaratkan bahwa setiap sumbangan Wajib Pajak untuk
pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.
Keadilan dalam pemungutan pajak dibedakan menjadi dua, antara lain :77
1.

Keadilan Horizontal.
Keadilan Horizontal berarti beban pajak yang sama kepada Wajib
Pajak yang memperoleh penghasilan dengan jumlah tanggungan yang
sama pula tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber
penghasilan.

2.

Keadilan Vertikal.
Keadilan Vertikal berarti pemungutan pajak adil. Jika wajib pajak
dalam kondisi ekonomi yang sama maka akan dikenakan pajak yang
sama.

74

Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Edisi Revisi, (Yogyakarta : Penerbit Andi,
2007), hlm 43
75
Op. Cit, hlm 115
76
Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa
Pajak (Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak), (Bandung : PT. Refika
Aditama, 2006), hlm 11
77
Supramono dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia (Mekanisme dan
Perhitungan), (Yogyakarta : CV. ANDI OFFSET, 2010), hlm 3

Universitas Sumatera Utara

66

b. Certainty atau kepastian hukum, adalah tujuan setiap undang-undang.78
UU Pajak yang baik senantiasa dapat memberikan kepastian hukum
kepada wajib pajak, kapan ia harus membayar, apa hak-hak dan
kewajiban mereka, siapa subjek dan objek pajak dan berapa besarnya
pajak.
c.

Convenience of payment, maksudnya adalah pajak harus dipungut pada
saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang atau saat
sedekat-dekatnya

dengan

detik

diterimanya

penghasilan

yang

bersangkutan.79
d. Economics of collection, maksudnya dalam membentuk undang-undang
pajak yang baru para konseptor wajib mempertimbangkan bahwa biaya
pemungutan harus relatif lebih kecil dibandingkan dengan uang pajak
yang masuk.80
Akomodasi prinsip keadilan di dalam pembentukan undang-undang secara
umum bukanlah monopoli ketentuan Hukum Pajak belaka, lebih dari itu, prinsip
tersebut juga harus melandasi setiap perumusan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam hal ini, prinsip keadilan tercermin pada asas perlakuan yang sama
dalam hukum (het rechtgelijkheidbrginsel) yang merupakan salah satu dari lima asas
material yang wajib dipenuhi oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana
dikemukakan oleh Van der Vlies. I.C van der Vliesdi mengatakan asas-asas

78

Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op. Cit. Hal.21
Wiratni Ahmadi, Op. Cit. Hal. 11
80
Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op. Cit. Hal.25
79

Universitas Sumatera Utara

67

pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas
formal dan asas materil.81
Asas formal mencakup:
a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling)
b. Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c. Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid);
e. Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai berkut :
a. Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel van duitdelijke
terminologie en duitdelijke systematiek)
b. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel);
d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van
de individuale rechtsbedeling).
Dari apa yang dikemukakan sebelumnya dapat dipahami bahwasanya
parameter prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada adanya pemerataan
dan perlakuan yang sama serta adanya perlindungan terhadap warga negara terhadap
tindakan semena-mena penguasa dalam pemungutan pajak tersebut itu sendiri

81

Widodo Ekatjahjana, Pengujian Peraturan Perundang-undangan Menurut UUD 1945,
Bandung, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, 2007, hal. 114-115.

Universitas Sumatera Utara

68

2.

Pentingnya Keadilan Dalam Pemungutan Pajak.
Banyak ahli hukum yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah keadilan,

kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pajak harus dipungut berdasarkan undangundang, undang-undang adalah manifestasi hukum jadi harus adil, pasti, dan manfaat.
Seperti pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 merupakan aturan
pelaksana Undang-Undang Pajak Penghasilan, hanya saja dalam konsideransnya
hanya untuk memberikan kemudahan, tetapi tidak menyebutkan untuk menciptakan
keadilan sebagai tujuan setiap hukum. Pengenaan Pajak Penghasilan dengan tarif 1%
dan bersifat final dapat menimbulkan ketidak adilan, tetapi karena ini sudah menjadi
ketentuan maka kita harus menganggap itulah keadilan, dalam arti keadilan legalis
atau keadilan yang ditetapkan dalam peraturan. Rochmat Soemitro dan Dewi Kania
Sugiharti berpendapat bahwa setiap orang harus diperlakukan secar adil, tidak boleh
dibedakan yang satu dengan yang lain, dalam keadaan yang sama. Dalam undangundang pajak, prinsip nondiskriminasi ini harus dipegang teguh. Apa yang diartikan
sama, harus ditentukan dalam undang-undang dan diberikan tolak ukurnya82.
Di samping pada saat penyusunan regulasinya, akomodasi asas atau prinsip
keadilan juga dinilai penting pada saat pemungutan pajak itu sendiri. Menurut
Santoso Brotodihardjo :83 “hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum
bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang
tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni pihak fiscus dan wajib pajak”.

82

Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan I, Edisi Revisi,
(Bandung : Refika Aditama, 2004), hal. 11
83
Y. Sri Pudyatmoko, Op. Cit. Hal.40

Universitas Sumatera Utara

69

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wiratni Ahmadi, menurutnya :84 “agar
dapat terpenuhi asas keadilan, maka hukum pajak menempuh suatu pola pemungutan
pajak yang diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya, seluruh individuindividu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hukum pajak”.
Untuk mengetahui pentingnya keadilan dalam pemungutan pajak haruslah
diketahui terlebih dahulu fungsi dan tujuan hukum itu sendiri, seperti yang dikatakan
oleh Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Bahwa hukum menjamin
keteraturan (kepastian) dan ketertiban, bukan tujuan akhir dari hukum melainkan
lebih baik disebut fungsi hukum, sedangkan tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari
tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan
falsafah hidup yang menjadi dasar hidup bermasyarakat itu, yang akhirnya bermuara
pada keadilan85. Berdasarkan pendapat tersebut maka tujuan hukum positif di
Indonesia adalah tujuan bansa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Menurut Sudikno Mertokusumo fungsi hukum adalah sebagai perlindungan
kepentingan manusia, caranya dengan ditegakkan jika terjadi pelanggaran. Penegakan
tersebut merubah norma hukum menjadi nyata. Penegakkan hukum harus

84

Wiratni Ahmadi, Op. Cit. Hal. 10
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengantar
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Cetakan Kedua, (Bandung : Alumi, 2009),
hal. 52
85

Universitas Sumatera Utara

70

memperhatikan tiga unsur yaitu: Kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan86.
Dalam Pasal 23A UUD NKRI 1945 (amandemen) "Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang." Menurut
A.M. Fatwa perubahan Pasal 23A karena sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat,
pemerintah tidak boleh memaksakan berlakunya ketentuan bersifat kewajiban
material yang mengikat dan membebani rakyat tanpa terlebih dahulu disetujui oleh
rakyat itu sendiri melalui wakil-wakilnya di DPR. Selain ketentuan perpajakan yang
diatur dengan undang-undang, rencana penerimaan perpajakan tiap tahunnya juga
diatur dalam undang-undang APBN.87
Dalam Pasal 23A UUD 1945 mengamanatkan bahwa pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Pajak
memang pelaksanaannya bisa dipaksakan, tetapi tetap harus adil, ukuran adil salah
satunya dapat diukur dengan jika aturan itu diatur dengan undang-undang karena
undang-undang adalah kesepakatan bersama antara rakyat selaku pemilik kedaulatan
negara dengan pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan.
Ahli hukum lainnya, R. Otje Salman dalam bukunya Ikhtisar Filsafat Hukum
mengemukakan bahwa para pakar hukum membedakan keadilan dalam enam macam
yaitu, keadilan distributif, komutatif, vindikatif, kreatif, protektif, dan legalis. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.

Keadilan distributif, memberikan kepada tiap orang jatah menurut
jasanya, bukan persamaan melainkan kesebandingan.

86

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Cetakan Keempat,
(Yogyakarta : Liberty, 2008), hal. 160.
87
A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Kompas, 2009, hal.
129

Universitas Sumatera Utara

71

b. Keadilan komutatif, memberikan jatah kepada setiap orang sama
banyaknya tanpa harus mengingat jasa perseorangan.
c.

Keadilan vindikatif, memberikan ganjaran atau hukuman kepada
seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya.

d. Keadilan kreatif, memberikan perlindungan kepada seseorang yang
dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya.
e.

Keadilan protektif, memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap
manusia, sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenangwenang.

f.

Keadilan legalis, keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang.

Adanya keadilan dapat ditemukan dalam konsiderans sebuah peraturan
perundang-undangan. Lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan angka 19
mengatur bahwa pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah
Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis,
dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Unsur sosiologis
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan

Universitas Sumatera Utara

72

hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Peraturan perundang-undangan apapun baik itu pajak maupun yang lainnya
harus memenuhi unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis. Muara filosofis peraturan
undang-undang adalah keadilan. Tetapi para ahli hukum juga mendefinisikan
keadilan legisme yaitu keadilan berdasarkan undang-undang, seperti PP 46 Tahun
2013 merupakan undang-undang organik yang merupakan amanat Undang-Undang
PPh, jadi PP 46 Tahun 2013 juga memenuhi keadilan legisme.
3.

Keadilan Vertikal, Keadilan Horizontal dan Keadilan Geografis.
Sejarah pemungutan pajak pada umumnya secara singkat dapat diawali pada

jaman purbakala. Pada jaman itu orang menganggap sangat bijaksana dan berbudi
luhur untuk secara sukarela turut serta memelihara kelangsungan kehidupan
negaranya, seperti halnyadengan pikiran rakyat dari negara Yunani purba. Pandangan
seperti ini dianggap sebagai pandangan yang baik sampai pada abad pertengahan
yaitu antara tahun 476 Masehi, tahun jatuhnya kerajaan Romawi Barat dan tahun
1492 yaitu tahun diketemukannya benua Amerika, sehingga pungutan pajak secara
paksa belum dikenal. Pengeluaran-pengeluaran para raja pada waktu itu dibiayai
dengan penghasilan dan kekayaan pribadi, bahkan pengeluaran-pengeluaran bagi
keperluan negara pun ditutup dengan penghasilan dan kekayaan pribadi para
raja.hanya dalam keadaan yang sangat mendesak sekali apabila pengeluaranpengeluaran akan melebihi pendapatan pribadi raja, baru kemudian raja
menyampaikan permintaan kepada rakyat akan sumbangan berupa barang atau uang.

Universitas Sumatera Utara

73

Permintaan raja seperti itu dalam Bahasa Belanda disebut “bede”. Lambat laun sifat
permintaan itu berubah menjadi suatu paksaan.
Proses sifat paksaan tersebut dimulai setelah kerajaan-kerajaan memperluas
wilayahnya dengan cara menundukkan suku-suku bangsa lain, karena rakyat yang
berada dibawah kekuasaannya tanpa ada paksaan tidak akan memberikan sumbangan
untuk memelihara berlangsungnya negara.88
Pelaksanaan pemungutan pajak pada waktu itu diserahkan kepada alat-alat
bersenjata yang pada saat tertentu mendatangi pasar-pasar atau menghadang
pedagang-pedagang di persimpangan jalan untuk meminta sebagian harta
kekayaannya bagi keperluan pemeliharaan negara. Pemungutan pajak secara
sewenang-wenang tersebut dalam jaman modern sekarang sudah tidak pada
tempatnya. Jaman sekarang pelaksanaan pemungutan pajak harus didasarkan pada
asas-asas dan norma-norma hukum, dan dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal
seperti :
1. Keadilan, dalam arti bahwa pungutan itu harus bersifat umum, merata dan
menurut kekuatan.
2. Elonomis dapat diterima, yakni pungutan itu tidak akan merusak sumbersumber kemakmuran rakyat.
3. Dapat mencapai tujuannya, dalam arti pungutan itu jangan sampai
mengakibatkan adanya kemungkinan penyelundupan atau pengurangan hasil
karena tarifnya terlalu tinggi.

88

H. Mustaqiem, Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah (Yogyakarta : FH UII
PRESS, 2008), hlm 238

Universitas Sumatera Utara

74

Hukum pajak dalam kebijakan di bidang perpajakan haus mengabdi kepada
keadilan. Keadilan inilah yang kita namakan asas pemungutan pajak yang termasuk
dalam lapangan filsafah hukum (Rechtfilosofich) di samping asas-asas lainnya seperti
yurudis, ekonomis, dan finansiil. Lepas dari kenyataan bahwa pada proses pembuatan
peraturan perundang-undangan pajak harus selalu memegang teguh asas keadilan
sering kali juga dipersoalkan, yaitu apakah pemungutan pajak yang dilakukan oleh
suatu negara berdasarkan atas keadilan. Dari abad ke abad selalu timbul pertanyaan di
dalam benak banyak orang, apakah dasar hukum kewajiban membayar pajak. Istilah
lainnya adalah atas dasar apa negara seakan-akan memberi hak kepada diri sendiri
untuk membebani rakyat dengan sebutan pajak.89
Sesuai dengan tujuan hukum, kebanyakan sarjana menganggap bahwa tujuan
hukum pajak adalah membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak.
Persoalan keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai
perundang-undangannya, maupun prakteknya sehari-hariinilah sendi pokok yang
harus diperhatikan baik-baik oleh setiap negara dalam melancarkan usahanya
melakukan pemungutan pajak. Dengan demikian, syarat mutlak bagi pembuat
undang-undang pajak merupakan juga syarat mutlak bagi aparatur setiap pemerintah
yang berkwajiban melaksanakan, hal tersebut merupakan pertimbangan dan
perbuatan-perbuatan yang adil pula.
Sebaliknya menurut sejarah, pemungutan pajak tidak selalu mengabdi kepada
keadilan. Seperti pada jaman para raja, ada suatu pemungutan pajak yang tidak
terbatas tetapi tetap dirasakan adil pada waktu itu, tetapi pada saat sekarang ini tidak
89

Ibid., hlm 239

Universitas Sumatera Utara

75

demikian karena pemungutan pajak didasarkan pada peraturan perundang-undangan
agar dapat mencerminkan rasa keadilan. Contoh lainnya, pada jaman dahulu suatu
negara yang kalah dalam peperangan harus membayar sejumlah uang atau hasil bumi
setiap tahun kepada yang menaklukkannya, hal seperti ini pada waktu dahulu
dianggap adil, tetapi pada negara modern waktu sekarang ini hal tersebut dinilai tidak
adil. Sebaliknya prins berpendapat bahwa hukum pajak sebagai himpunan peraturanperaturan yang mengatur pemungutan pajak akan selalu mengabdi pada keadilan.90
Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia,
membicarakan hubungan antar manusia sama dengan membicarakan masalah
keadilan. Salah satu pengertian keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus
menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya.
Keadilan ini merupakan keadilan rasional tidak memerlukan instansi yang
transcendental, melainkan bertumpu pada pemahaman akal manusia terhadap dunia
pengalaman.
Menurut Charles Merriam E, seperti yng dikutip Satjipto Rahardjo, keadilan
atau adil akan terbayang apabila di dalam perumusannya haruslah mengandung
beberapa unsur :
1. A system of understanding
2. Prosedures through which each is according
Selain persoalan keadilan, peraturan perundang-undangan pemungutan pajak
harus memuat ketentuan yang menjelaskan bahwa pemungutan pajak itu bersifat
umum dan merata.91

90
91

Ibid
Ibid., hlm 241

Universitas Sumatera Utara

76

Adagium ini berasal dari paham liberalistis yng berpangkal tolak pada dictum
individualism “man are created free and equal”, manusia bebas merdeka terpisah
satu sama lain dan sejajar. Karena itu terhadap pemungutan pajak dinyatakan bahwa
setiap orang harus membayar pajak, tidak dibedakan kelas, keturunan, keyakinan dan
pembebasan pajak hanya masuk akal terhadap mereka yang justru makmur. Selain
itu, unsur keadilan dalam pajak dapat ditemukan dalam cara pemungutannya,
keadilan juga akan terasa apabila pajak dipergunakan untuk merealisasi tujuan negara
yang berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.
Di Indonesia keadilan yang diikuti dalam pemungutan pajak adalah keadilan
“umum dan merata”. Karena kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan
diskriminasi, baik dari aspek social ekonomi, keyakinan, maupun status
kewarganegaraan. Hal tersebut terlihat dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000, Wajib Pajak adalah : “orang pribadi atau badan yang menurut
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan,
termasuk pemungutan pajak atau pemotong pajak tertentu”. Ketetapan Pasal 1 ayat
(1) ini dikuatkan oleh penjelasan Pasal 16 B ayat (1) yang menegaskan bahwa salah
satu prinsip yang harus dipegang teguh dalam undang-undang pajak adalah
diberlakukan dan diterapkan perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan
berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini

Universitas Sumatera Utara

77

bertujuan untuk mencegah timbulnya diskriminasi dalam pemungutan pajak.
Keadilan dalam perpajakan memiliki tiga dimensi, antara lain : 92
1.

Keadilan Secara Vertikal, hubungan dalam pembebanan pajak atas tingkat
pendapatan yang berbeda-beda. Secara umum pajak itu baik kalau pajak tersebut
“progressief”, yaitu persentase pendapatan seseorang yang dibayarkan untuk
pajak bertambah sesuai dengan tingkat pendapatannya. Pembebanan masih dapat
diterima kalua dikenakan secara proporsional, yaitu kalau persentase pendapatan
yang dibayarkan untuk pajak sama untuk semua tingkatan pendapatan. Pajak
tidak baik apabila pembebananya “regresif”, maksudnya adalah persentase
pendapatan yang dibayarkan untuk pajak mengalami penurunan dengan adanya
kenaikan tingkat pendapatan. Meskipun pandangan tersebut diterima secara luas,
tetapi terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahwa pajak itu dinilai adil
kalau bebannya proporsional atas pendapatan atau kekayaan. Apabila dalam
pelaksanaannya terdapat penyimpangan, baik penyimpangan progresif atau
maupun regresif akan berakibat negative.

2.

Keadilan Secara Horizontal, hubungan pembebanan pajak dengan sumber
pendapatan. Seseorang yang menerima gaji seharusnya tidak membayar pajak
lebih besar dari pada seseorang dengan pendapatan yang sama dari bisnis atau
pertanian. Seorang petani yang mengusahakan tanaman ekspor seharusnya tidak
membayar pajak lebih besar dari pada petani dengan pendapatan yang sama di
bidang tanaman pangan.

92

Ibid., hlm 242

Universitas Sumatera Utara

78

3.

Keadilan Secara Geografis, maksudnya pembebanan pajak harus adil antara
penduduk di berbagai daerah. Orang seharusnya tidak dibebani pajak lebih berat
hanya karena mereka tinggal di suatu daerah tertentu seperti halnya kadangkadang terjadi pada perbatasan kota.
Dihubungkan dengan keadilan vertikal, horizontal dan geografis, maka

pemungutan pajak di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut :93
1.

Ditinjau Dari Aspek Keadilan Vertikal
Pemungutan pajak di Indonesia menganut juga keadilan vertikal, hal ini dapat

diketahui dalam pengenaan pajak penghasilan. Subjek pajak penghasilan yang
mempunyai penghasilan kena pajak akan dikenakan tarif pajak yang bersifat
progressief, artinya subjek pajak yang mempunyai penghasilan kena pajak berjumlah
besar akan dikenakan pajak yang besar pula, demikian juga sebaliknya. Contoh
pemberlakuan keadilan vertikal, sebagai berikut :
a.

Wajib Pajak bernama X masih bujangan. Dalam tahun pajak 2004 mempunyai
penghasilan kena pajak sebesar Rp. 10.000.000,- ia akan dikenakan pajak
penghasilan dengan satu tarif pajak, ialah :
Rp. 10.000.000,- x 5% = Rp. 500.000,-/ pajak peghasilan

b.

Wajib Pajak bernama Y, masih bujangan, selama tahun pajak 2004 mempunyai
penghasilan kena pajak Rp. 30.000.000,-, selanjutnya yang bersangkutan akan
dikenakan pajak dengan dua tarif pajak penghasilan yaitu 5% dan 10%. Adapun
tentang proses penentuan besarnya pajak adalah sebagai berikut :
Rp. 25.000.000,- x 5%
93

= Rp. 1.250.000

Ibid., hlm 244

Universitas Sumatera Utara

79

Rp. 5.000.000,- x 10%

= Rp. 500.000

Jumlah = Rp. 1.750.000,-/ pajak penghasilan
Keadilan vertikal dipergunakan pula dalam pemungutan pajak daerah seperti
pemungutan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Penetapan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor didasarkan atas penyerahan pertama dan penyerahan kedua.
Penyerahan pertama memiliki arti bahwa kendaraan yang diserahkan masih baru,
sehubungan hal tersebut Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenai tarif yang
lebih tinggi dari pada penyerahan kedua, maupun penyerahan karena warisan
kendaraan bermotor.
2.

Ditinjau Dari Aspek Keadilan Horizontal
Sasaran pemungutan pajak di Indonesia khususnya Pajak Penghasilan tidak

didasarkan atas perbedaan status sosial, tetapi didasarkan pada banyak sedikitnya
jumlah Penghasilan kena Pajak. Apakah wajib pajak adalah seorang pengusaha,
pegawai, maupun petani tidak mempengaruhi pengenaan pajak. Bagi semua subjek
pajak tersebut akan diterapkan tarif pajak yang sama dan tergantung pula dengan
jumlah Penghasilan Kena Pajak.
Contoh pemungutan pajak yang berpedoman pada keadilan horizontal akan
diawali dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang mengatur tentang tarif pajak
penghasilan. Ketentuan tarif pajak sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

80

Tabel III.1
Tarif Pajak Penghasilan
Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif
Pajak
5%
10%
15%
25%
35%

a.
Sampai dengan Rp. 25.000.000
b.
Di atas Rp. 25.000.000 s/d Rp. 50.000.000
c.
Di atas Rp. 50.000.000 s.d Rp. 100.000.000
d.
Di atas Rp. 100.000.000 s.d Rp. 200.000.000
e.
Di atas Rp. 200.000.000
Sumber : Tarif Pajak Penghasilan

Sehubungan dengan ketentuan tarif tersebut, maka wajib pajak yang memiliki
Penghasilan Kena Pajak dengan jumlah yang sama (misalnya masing-masing Rp.
25.000.000) akan dikenakan presentase tarif pajak yang sama (keadilan horizontal)
yaitu masing-masing 5% x Rp. 25.000.000,- meskipun status wajib pajak berbeda
(pegawai, pedagang atau petani). Tetapi bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan
kena pajak lebih banyak jumlahnya dari pada wajib pajak yang lain, maka dia akan
dikenakan presentase tarif pajak lebih dari satu macam (menggunakan tarif progresif
atau keadilan vertikal).
Keadilan horizontal berlaku pula dalam pemungutan pajak daerah, seperti
pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor yang tidak didasarkan atas status wajib
pajak. Hal tersebut ditegaskan dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun
2000, Pasal 1 ayat (10) : “Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB
adalah pajak yang dipungut atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan
bermotor”. Semua pemilik kendaraan bermotor tanpa melihat statusnya (pria, wanita,
usia, agama) setiap tahun akan dikenakan pajak kendaraan bermotor.

Universitas Sumatera Utara

81

3.

Dilihat Dari Aspek Keadilan Geografis
Pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia tidak hanya didasarkan atas satu

tempat domisili wajib pajak tetapi didasarkan pada berbagai tempat domisili,
sehingga wajib pajak yang berdomisili di perkotaan, pedesaan, pegunungan, maupun
di pantai apabila memenuhi persyaratan peraturan perundng-undangan perpajakan
akan dikenakan pajak. Semua wajib pajak yang berdomisili di berbagai tempat di
Indonesia terebut dibelakukan satu peraturan perundang-undangan perpajakan yang
sama. Berdasarkan uraian tersebut, maka aspek keadilan geografis dipergunakan juga
sebagai salah satu pedoman pelaksanaan pemungutan pajak selama ini (baik
pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah).
Dalam pembahasan yang sama, menurut Prof. R. Mansury, menjelaskan
bahwa dalam pemungutan pajak juga harus mencakup aspek keadilan vertikal dan
keadilan horizontal, dengan syarat-syarat sebagai berikut : 94
1. Syarat Keadilan Horizontal
a.

Definisi penghasilan, semua tambahan kemampuan ekonomis, yaitu
semua tambahan kemampuan untuk dapat menguasai barang dan jasa,
dimasukkan dalam pengertian objek pajak atau definisi penghasilan.

b.

Goblality, semua tambahan kemampuan itu merupakan ukuran dari
keseluruhan kemampuan membayar atau “the global ability to pay”, oleh
karena itu harus dijumlahkan menjadi satu sebagai objek pajak.

94

R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, (Jakarta : PT. Bina Rena Pariwara, 1996), hlm

101

Universitas Sumatera Utara

82

c.

Nett Income, yang menjadi ability to pay adalah jumlah neto setelah
dikurangi semua biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan itu.

d.

Personal Exemption, untuk wajib pajak orang pribadi suatu pengurangan
untuk memelihara diri Wajib Pajak, dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh) disebut PTKP atau Penghasilan Tidak Kena Pajak.

e.

Equal Treatment For The Equals, jumlah seluruh penghasilan yang
memenuhi definisi penghasilan, apabila jumlahnya sama, dikenakan pajak
dengan tarif pajak sama, tanpa membedakan jenis-jenis pengasilan atau
sumber penghasilan.

2. Syarat Keadilan Vertikal
a.

Unequal treatment for the unequals, yang membedakan besarnya tarif
adalah jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan
kemampuan ekonomis, bukan karena perbedaan sumber penghasilan atau
perbedaan jenis penghasilan.

b.

Progression, apabila jumlah penghasilan seorang Wajib Pajak lebih besar,
dia harus membayar pajak lebih besar dengan menerapkan tarif pajak
yang prosentasenya lebih besar

Adil dalam peraturan perundang-undangan diantaranya adalah dengan
mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing orang atau badan. Sedangkan adil dalam pelaksanaan adalah dengan

Universitas Sumatera Utara

83

memberi hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, banding maupun
mengajukan permohonan penundaan dalam pembayaran.
C. Asas-Asas Dan Landasan Dalam Peraturan Perundang-undangan.
1.

Pendapat I.C. Van Der Vlies Dan Hamid Attamimi.
Pembahasan tentang asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan

sangat berkaitan dengan pemahaman ihwal ilmu perundang-undangan. Ilmu
perundang-undangan, dalam arti sempit, adalah suatu ilmu yang bersifat normative
dan yang berhubungan dengan pembentukan norma-norma dalam Peraturan
Perundang-undangan.95
Profesor Maria Farida Indrati mengemukakan dua pendapat ahli yang selama
ini berkecimpung dalam bidang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu
pendapat I.C. Van Der VLies dan pendapat A. Hamid S. Attamimi.96
I.C. Van Der Vlies membagi asas-asas dalam pembetukan Peraturan
Perundang-undangan yang patut ke dalam asas formal dan material. Asas-asas formal
yang dimaksud adalah :97
a.

Asas tujuan yang jelas.

b.

Asas organ/lembaga yang tepat.

c.

Asas perlunya pengaturan.

d.

Asas dapat dilaksanakan.

e.

Asas consensus.

95

Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang Edisi Kedua, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2013), hlm 34
96
Ibid
97
Ibid

Universitas Sumatera Utara

84

Sedangakan asas material yang dimaksud adalah :
a.

Asas terminology dan sistematika yang benar.

b.

Asas dapat dikenali

c.

Asas perlakuan yang sama.

d.

Asas kepastian hukum.

e.

Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.
Pandangan A. Hamid S. Attamimi tentang asas-asas pembentukan Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia juga bersimpul pada dua asas penting, yang
relative sama dengan konsepsi Van Der Vlies, yaitu asas formal dan material.
Menurutnya pembentukan suatu undang-undang harus dilandasi asas-asas formal,
yaitu :98
a.

Asas tujuan yang jelas.

b.

Asas perlunya pengaturan

c.

Asas organ/lembaga yang tepat.

d.

Asas materi muatan yang tepat.

e.

Asas dapatnya dilaksanakan.

f.

Asasnya dapat dikenali.
Akan halnya asas material pembentukan suatu undang-undang, Attamimi

menggarisbawahi, sepatutnya memenuhi beberapa penyesuaian, antara lain :99
a.

Asas harus sesuai dengan cita hukum dan norma fundamental negara.

b.

Asas harus sesuai dengan hukum dasar negara.

98
99

Ibid, hlm 35

Ibid

Universitas Sumatera Utara

85

c.

Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum.

d.

Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem
konstitusi.
Berdasarkan asas-asas formal dan material tersebut, Profesor Attamimi

membuat suatu urutan dari asas-asas yang patut bagi pembentukan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia. Susunan tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut :100
a.

Cita hukum Indonesia, yaitu Pancasila.

b.

Asas negara berdasarkan atas hukum dan asas pemerintahan berdasarkan atas
sistem konstitusi.

c.

Asas-asas lainnya, yaitu : Asas-asas negara berdasarkan atas hukum yang
menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam
keutamaan hukum dan Asas pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi
yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan pemerintahan.

2.

Asas-asas Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Ihwal asas-asas yang baik dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan

juga diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Apabila

dicermati,

asas-asas

pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan yang di dalam undang-undang tersebut relative sama dengan
asas-asas formal dan material, baik dari Van Der Vlies maupun Hamid Attamimi.101

100
101

Ibid, hlm 36
Ibid

Universitas Sumatera Utara

86

Dalam Bab II tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5
UU Nomor 12 Tahun 2011 dirumuskan bahwa dalam pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus didasarkan pada asas-asas pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi :102
a.

Kejelasan tujuan.

b.

Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat.

c.

Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan.

d.

Dapat dilaksanakan.

e.

Kedayagunaan dan kehasilgunaan.

f.

Kejelasan rumusan.

g.

Keterbukaan.
Dalam bagian penjelasan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 dijelaskan dari tiap-

tiap asas tersebut adalah sebagai berikut :103
a.

Asas “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas dan hendak dicapai.

b.

Asas “kelembagaan