Analisis Aspek Hukum Perbedaan Besar NPOPTKP Untuk Waris dan Hibah Wasiat Dengan Bukan Waris dan Hibah Wasiat Dalam BPHTB

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan hal yang penting bagi setiap negara sebab merupakan
pemasukan yang utama bagi negara disamping adanya pemasukan lainnya berupa
devisa hasil ekspor negara, laba perusahaan negara, kredit dari luar negeri, grant
berupa sumbangan tidak mengikat dari negara lain, pencetakan uang oleh pemerintah
atau bank sentral, uang administrasi, denda dan lain-lainnya. Dari beraneka ragam
pemasukan negara itu, yang paling utama ialah pajak atau devisa disamping adanya
sumber-sumber pemasukan lainnya.1 Begitu juga selanjutnya untuk melakukan
pembangunan memerlukan uang yang cukup banyak sebagai syarat mutlak agar
pembangunan dapat berhasil.2 Sehingga dapat dikatakan pajak merupakan salah satu
penggerak dari sebuah negara, agar dapat berjalan lebih baik lagi.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 dalam pasal 1 angka 1 (untuk selanjut disebut
UU KUP) pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung.

1


Marhainis Abdul Hay, Dasar-dasar Hukum Pajak, (Jakarta : Yayasan Pembinaan, Keluarga
UPN Veteran, 1984), hlm.1.
2
Bohari. Pengantar Hukum Pajak, Edisi 7, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.
11.

1

Universitas Sumatera Utara

2

Dari defenisi tersebut di atas dapat dipahami

mengapa seseorang harus

membayar pajak dalam membiayai pembangunan yang sedang dan terus di
laksanakan, maka perlulah dipahami terlebih dahulu pengertian dari pajak itu sendiri.
Seperti diketahui bahwa negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai

kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan,
keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan
tujuan negara yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea
keempat yang berbunyi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan
sosial”.3
Begitu juga pada hakikatnya fungsi pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua): 4
1. Fungsi Budgetair atau untuk mengisi kas negara dan
2. fungsi Regulerend atau untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Dari kedua fungsi tersebut diatas memiliki tujuan yang berbeda-beda, seperti
fungsi pajak untuk anggaran (budgetair) dari anggaran mengingat sebagai sumber
pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
negara.

Untuk

menjalankan


tugas-tugas

rutin

negara

dan

melaksanakan

pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat di peroleh dari
3

Wirawan B Ilyas, Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), hlm. 4.
Haula Rosdianan, dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, edisi 1, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 39-40.
4

Universitas Sumatera Utara


3

penerimaan pajak. Dewasa ini, pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti
belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk
membiayai pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni
penerimaan dalam negeri di kurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah dari
tahun ke tahun harus di tingkatkan sesuai kebutuhan pembiayan pembangunan yang
semakin meningkat, terutama di harapkan dari sektor pajak.5
Kemudian fungsi pajak adalah mengatur (regulerend), artinya pemerintah bisa
mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi
mengatur, pajak bisa di gunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya
dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri,
diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi
produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk
luar negeri. Sebagai kesimpulan, disamping mempunyai fungsi budgetair, yaitu
sebagai sarana untuk menarik dana dari masyarakat; fungsi regulerend adalah sebagai
alat pendorong atau penghambat untuk mencapai tujuan diluar bidang keuangan
negara, misalnya untuk menarik investor pemerintah memberikan fasilitas
perpajakan.6
Di Indonesia pajak dikenal 2 (dua) bagian yaitu pajak pusat dan pajak daerah.

Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam hal ini di
selenggarakan oleh Direktorat Pajak dan hasilnya digunakan untuk membiayai rumah
5

Ida Zuraida, L.Y. Harisih Advianto, Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak Daerah,
(Jakarta, Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 4.
6
Ibid,hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

4

tangga negara.7 Pajak Daerah adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam
melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.8
Dalam pajak daerah dibedakan lagi pemungutannya menjadi yaitu pajak
propinsi dan kabupaten/kota. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (untuk selanjutnya disebut UU PDRD),
pajak propinsi terdiri atas Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Balik Nama Kendaraan

Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak
Rokok.9 Sedangkan pajak kabupaten/kota, terdiri atas Pajak Hotel, Pajak Restoran,
Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam
dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi
dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (untuk selanjutnya disebut BPHTB).10
Salah satu pajak kabupaten/kota yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yang saat ini dilimpahkan pemungutannya dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam pasal 85 sampai dengan pasal 93 UU
PDRD. Pelaksanaan pelimpahan BPHTB menjadi Pajak Daerah lebih cepat
dibandingkan pelimpahan PBB Perdesaan dan Perkotaan, dimana peraturan tentang
tahapan persiapan pengalihan dilakukan oleh Menteri Keuangan bersama-sama
7

Marihot Pahala Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm 9
8
Ibid, hlm 10
9
Ibid, hlm 104

10
Ibid

Universitas Sumatera Utara

5

dengan Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak
berlakunya UU PDRD tanggal 1 Januari 2010. Sejak tanggal 1 Januari 2011
pemungutan BPHTB sudah di lakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota.
Pada pos penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011
penerimaan pajak dari BPHTB sudah tidak tercantum lagi, tetapi pada pos
penerimaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (APBD)
pada

tahun

2011

dari


sektor

Pajak

Daerah

menjadi

bertambah.

Namun demikian pelaksanaan pemungutan BPHTB yang sudah berjalan sejak 1
Januari 2011 lalu, masih banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah
daerah, karena ada beberapa daerah yang tidak siap memungut BPHTB yang di
sebabkan belum adanya perangkat Peraturan Daerah yang mendukung, sehingga
BPHTB tidak bisa dipungut, hal ini menjadi hambatan bagi para pengembang
properti dalam melakukan transaksi demikian juga bagi orang pribadi dan badan
lainnya. Di samping itu juga ada kendala SDM yang menangani BPHTB juga kurang
mencukupi dari jumlah maupun kompetensinya.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan

hak atas tanah dan / bangunan (Pasal 1 angka 41 UU PDRD). Perolehan Hak Atas
Tanah dan / atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan / atau bangunan oleh orang pribadi
atau Badan (Pasal 1 angka 42 UU PDRD). Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah
hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana

Universitas Sumatera Utara

6

dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan (Pasal 1 angka
43 UU PDRD).
Menurut Pasal 85 ayat (1) UU PDRD, objek BPHTB adalah perolehan hak
atas tanah dan bangunan, yang meliputi pemindahan hak karena jual beli, tukar
menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lain, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam
lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah serta pemberian hak
baru karena kelanjutan pelepasan hak atau di luar pelepasan hak (Pasal 85 ayat (2)
UU PDRD). Hak atas tanah yang di maksud pada ayat (1) adalah : hak milik, hak

guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan
hak pengelolaan (Pasal 85 ayat (3) UU PDRD).
Menurut Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24
Tahun 1997, peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan
perbuatan hukum pemindahan hak, yaitu sebagai berikut :
1. Pewarisan tanpa wasiat
menurut hukum perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal,
maka hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya.
2. Pemindahan hak
berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat
yang terjadi karena peristiwa hukum dengan meninggalnya pemegang hak,
dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang

Universitas Sumatera Utara

7

bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. bentuk pemindahan
haknya dapat berupa :
a. Pewarisan dari ayah atau ibu kepada anak atau dari kakek-nenek

kepada cucu atau dari adik kepada kakak atau sebaliknya kakak
kepada adiknya dan lain sebagainya.
b. Hibah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain.
c. Jual beli yaitu tanah tersebut dijual kepada pihak lain.
d. Pemasukan dalam perseroan yang menyebabkan hak atas tanahnya
berubah menjadi atas nama perseroan dimana seseorang tersebut
menyerahkan tanahnya sebagai setoran modal dalam perseroan
tersebut.
e. Pelepasan hak, dilakukan karena calon pemegang hak yang akan
menerima peralihan hak atas tanah tersebut adalah bukan orang atau
pihak yang merupakan subjek hukum yang dapat menerima peralihan
hak atas tanah yang akan di alihkan tersebut, sebagai contoh tanah
yang akan dilalihkan kepada suatu Badan Hukum Indonesia adalah
tanah dengan status hak milik, ini tidak bisa di lakukan karena Badan
Hukum Indonesia bukanlah subjek hukum yang dapat menerima
peralihan hak atas tanah dengan status hak milik.
f. Lelang, umumnya dilakukan jika tanah yang akan di alihkan tersebut
susah untuk menemukan calon pembeli atau tanah tersebut merupakan
jaminan pada bank yang sudah di eksekusi lalu mau dijual.

Universitas Sumatera Utara

8

g. Peralihan karena penggabungan atau peleburan perseroan yang
menyebabkan ikut beralihnya hak atas tanah yang merupakan asset
perseroan yang di ambil alih tersebut.
Waris adalah suatu perbuatan hukum dimana hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu dia meninggal dunia akan beralih
kepada orang yang masih hidup.11
Sedangkan hibah wasiat, menurut pasal 957 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang
mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan barang-barangnya dari suatu
jenis tertentu, seperti misalnya segala barang bergerak atau tidak bergerak, atau
memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. Hibah
wasiat atau Legaat adalah suatu testament di mana ditunjuknya orang tertentu yang
akan menerima suatu barang apabila pewaris meninggal dunia.12 Hibah Wasiat dan
Hibah adalah hal yang berbeda. Hibah adalah pemberian secara cuma-cuma yang
dilakukan semasa seseorang tersebut masih hidup dan berlaku secara efektif sejak di
lakukannya hibah. Sedangkan hibah wasiat adalah sebagaimana yang telah di uraikan
tersebut diatas. Pemberlakuannya secara efektif setelah si pemberi hibah wasiat
tersebut meninggal dunia. Hibah wasiat di buat dalam bentuk surat wasiat. Surat
wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang di

11

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, (Bandung : Sumur,1991), hlm.13
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Bina Aksara,
1986), hlm 7-8.
12

Universitas Sumatera Utara

9

kehendakinya agar terjadi setelah dia meninggal dunia dan yang olehnya dapat di
cabut kembali (pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Adapun cara untuk menghitung BPHTB menurut UU PDRD adalah sebagai
berikut :
BPHTB

= Tarif x NPOPKP
= Tarif x (NPOP – NPOPTKP)

Tarif, sebagaimana yang dimaksud di atas, menurut UU PDRD Pasal 88 ayat (1)
ditetapkan paling tinggi sebesar 5%. NPOPKP adalah nilai perolehan objek pajak
kena pajak yang dihasilkan dari pengurangan NPOP dengan NPOPTKP. Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) adalah dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan. NPOP berdasarkan pasal 87 ayat (1) UU PDRD adalah harga
transaksi. Jika Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada
NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun
terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan (Pasal 87 ayat (3) UU PDRD).
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) adalah suatu
jumlah tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Ketentuan NPOPTKP
terdapat didalam Pasal 87 ayat (4) dan (5) UU PDRD. Besarnya NPOPTKP
ditetapkan dengan Perda (Peraturan Daerah), dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Waris dan Hibah Wasiat yang diterima orang pribadi dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dengan pemberi

Universitas Sumatera Utara

10

hibah wasiat, termasuk suami dan istri, ditetapkan paling rendah Rp.
300.000.000.
b. Selain poin a, ditetapkan paling rendah Rp. 60.000.000
Perbedaan besarnya NPOPTKP tersebut untuk besaran NPOP yang sama akan
mempengaruhi besarnya nilai perolehan objek pajak kena pajak (NPOPKP) yang
selanjutnya akan mengakibatkan perbedaan besarnya beban BPHTB yang akan di
tanggung oleh wajib pajak. Hal ini tentu saja akan berdampak pada prinsip keadilan
yang harus dipegang teguh dalam pemungutan pajak.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Aspek Hukum
Perbedaan Besar NPOPTKP Untuk Waris dan Hibah Wasiat Dengan Bukan Waris
dan Hibah Wasiat Dalam BPHTB”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari apa yang telah dikemukakan pada latar belakang tersebut
diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana perbedaan besarnya NPOPTKP dalam menghitung BPHTB
terutang untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah
wasiat?
2. Bagaimana pemenuhan asas keadilan dalam menetapkan besarnya
NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat serta bukan waris dan hibah
wasiat?

Universitas Sumatera Utara

11

3. Bagaimana pemenuhan asas kepastian hukum tentang pengurangan
BPHTB terutang terhadap penerima waris dan hibah wasiat?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah tersebut diatas maka tujuan penelitian ini
adalah :
1. Untuk mengetahui perbedaan besarnya NPOPTKP dalam menghitung BPHTB
terutang untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat.
2. Untuk mengetahui pemenuhan azas keadilan dalam menetapkan besarnya
NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dan bukan waris dan hibah wasiat.
3. Untuk mengetahui pemenuhan azas kepastian hukum tentang pengurangan
BPHTB terutang terhadap penerima waris dan hibah wasiat.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
praktis
1. Secara Teoritis
Dapat

memberikan

sumbangan

pemikiran

bagi

perkembangan

ilmu

pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum pajak pada khususnya
terutama mengenai analisis aspek legal perbedaan besar NPOPTKP untuk
waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan hibah wasiat dalam BPHTB.
2. Secara Praktis

Universitas Sumatera Utara

12

a.

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan bagi mahasiswa
kenotariatan, dan praktisi hukum sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan dalam menjalankan tugas.

b.

Penelitian ini juga di harapkan dapat memberikan masukan kepada
masyarakat dan pihak terkait mengenai analisis aspek hukum perbedaan
besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan
hibah wasiat dalam BPHTB.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
terhadap hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang di lakukan di
lingkungan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan
Program Studi Magister lainnya, menunjukkan

bahwa penelitian dengan judul

“Aspek Hukum Perbedaan Besar NPOPTKP Untuk Waris Dan Hibah Wasiat Dengan
Bukan Waris Dan Hibah Wasiat Dalam BPHTB” belum pernah di lakukan baik
dalam judul maupun permasalahan yang sama. Dari hasil pemeriksaan di peroleh
judul penelitian yang mengkaji tentang pengenaan BPHTB terhadap hibah wasiat
yaitu, Dwi Sartika Paramyta, NIM 127011066, Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Terhadap
Hibah Wasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, dengan perumusan masalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

13

a.

Bagaimanakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengenai Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan atas Hibah Wasiat?

b. Bagaimana azas kepastian hukum dalam pengenaan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan terhadap hibah wasiat pasca pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009?
c.

Bagaimana azas keadilan dalam pengenaan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan terhadap hibah wasiat pasca pemberlakuan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009?

Dan juga Dyah Purworini Widhyarsi, SH, NIM B4B006107, Magister
Kenotariatan Univeristas Diponegoro, Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas Hibah Wasiat Di Jakarta Barat, dengan
perumusan masalah sebagai berikut :
a.

Bagaimana pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat?

b. Kendala-kendala apa yang timbul dalam pelaksanaan pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak
berdasarkan Hibah Wasiat?
c.

Bagaimana penyelesaian terhadap kendala-kendala yang timbul dalam
pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat?

Universitas Sumatera Utara

14

Apabila pencarian dilakukan dengan menggunakan kata kunci aspek hukum
perbedaan besar NPOPTKP dalam BPHTB, maka hasil yang didapat pada website
resmi perpustakaan Universitas Sumatera Utara (http://repository.usu.ac.id/) dan
perpustakaan lainnya tidak ditemukan penelitian dengan kajian tersebut. Ini dapat
menjadi bukti bahwasanya penelitian ini bukan plagiat atau duplikasi dari penelitian
yang sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori Dan Konsep
1.

Kerangka Teori
Menurut H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, teori berasal dari bahasa

latin yang berarti perenungan yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam
bahasa yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas.
Dalam semua literature beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan
bangunan berpikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris
(kenyataan), juga simbolis.13
Teori menempati kedudukan yang penting sebagai sarana untuk merangkum
serta memahami masalah dengan lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar
dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara
bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan
mensistematiskan masalah yang dibicarakannya.14

13

H.R. Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2010), hlm 21.
14
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 253.

Universitas Sumatera Utara

15

Kerangka teori atau landasan teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahannya (problem) yang
bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin
disetujui atau tidaknya, yang dijadikan masukan eksternal dalam membuat kerangka
berpikir dalam penulisan.15
Kerangka teori ini dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landansan filosofinya.16
Kerangka teori yang di gunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada teori
keadilan dan kepastian hukum, khususnya keadilan dan kepastian hukum dari aspek
legal perbedaan besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris
dan hibah wasiat dalam BPHTB.
Keadilan menurut Rawls adalah suatu kebajikan utama dalam institusi sosial
sebagaimana kebenaran dalam system pemikiran.17 John Rawls dalam bukunya a
theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan
the principle of fair equality of opportunity. Intinya adalah bahwa perbedaan sosial
dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka
yang paling kurang beruntung.18
Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan
yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,
15

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Madju, 1994), hlm 80.

16

Ibid
John Rawls, A Theory of Justice, Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan
Heru Prasetyo, (Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2006) .hlm .3.
18
Ibid, hlm 97.
17

Universitas Sumatera Utara

16

yang pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Yang kedua, mampu
mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik bagi setiap orang, baik mereka yang berasal
dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Dengan demikian prinsip
perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga
kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas
diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung.
Menurut Radbruch hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu
diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus di jaga demi keamanan dalam
negara, maka hukum positif harus selalu ditaati, walaupun kalau isinya kurang adil
atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian yakni
bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar,
sehinga tata hukum itu tampak tidak adil pada saat tata hukum itu boleh dilepaskan. 19
Kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Ada beberapa
hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :20
a. Hukum itu positif artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches
recht)

19

Theo Hujibers, Filsafat Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1982), hlm 163
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialpridence), termasuk interprestasi undang-undang (Legalprudence), (Jakarta : Kencana,
2012), hlm 292
20

Universitas Sumatera Utara

17

b.

Hukum itu di dasarkan pada fakta, bukan suatu perumusan tentang
penilaian yang nanti akan di lakukan oleh hakim, seperti kemauan baik
atau kesopanan.

c.

Fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari
kekeliruan dalam permaknaan, disamping itu juga mudah dijalankan.

d.

Hukum positif tidak boleh sering diubah-ubah.

Tanpa kepastian hukum, orang tidak tahu apa yang harus di perbuatnya dan
akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum,
terlalu ketat mentaati peraturan hukum, akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa
tidak adanya keadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus
ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila
dilaksanakan secara ketat “Lex dura, set tamen scripta” (undang-undang itu kejam,
tetapi demikianlah bunyinya).21
Sebagaimana tujuan hukum pada umumnya, hukum pajak bertujuan untuk
mendorong adanya keadilan dalam pemungutan pajak yang dilakukan secara umum
dan merata. Prinsip tersebut mengawali setiap proses penyusunan perangkat
perundang-undangan perpajakan maupun dalam implementasinya. Prinsip umum dan
merata ini merupakan parameter dari aspek keadilan dalam pemungutan pajak.
Dalam perpajakan dikenal dua macam keadilan, yaitu keadilan horizontal dan
keadilan vertikal. Keadilan horizontal menyangkut cakupan pengertian penghasilan,

21

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1988),

hlm 58

Universitas Sumatera Utara

18

sedangkan keadilan vertikal berkenaan dengan struktur tarif pajak. Dengan demikian
tidak ada lagi perbedaan perlakuan antara Wajib Pajak, artinya terkait dengan pajak
setiap orang mendapat perlakuan adil.
Pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara
yang hasilnya juga akan di kembalikan kepada rakyat. Oleh sebab itu, pemungutan
pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis pajak apa
saja yang akan dipungut serta berapa besarnya pemungutan pajak. Proses persetujuan
rakyat dimaksud tentunya hanya dapat di lakukan dengan suatu undang-undang,
karena mengacu pada Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang”. Dan sebaliknya, bila ada pungutan yang namanya
pajak namun tidak berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah
pajak tetapi lebih tepat disebut perampokan.
Dalam pemungutan pajak dikenal beberapa teori atau asas, salah satu
diantaranya ada yang disebut dengan Teori atau Asas Kepastian (certainty theory)
yang dipelopori oleh Adam Smith. Kepastian yang dimaksud adalah kepastian yang
berhubungan dengan hukum yang mengandung arti jaminan hukum dan bukan
kepastian yang didasarkan kesewenang-wenangan, karena itu kepastian dalam hal ini
sering dikaitkan dengan kepastian hukum. Teori atau asas kepastian ini berarti
penarikan pajak oleh negara (Fiskus) kepada para wajib pajak harus dilakukan dengan
kepastian hukum berdasarkan peraturan tertulis dalam suatu sumber hukum yang
dalam arti formal berbentuk undang-undang yang dibuat melalui badan legislatif.

Universitas Sumatera Utara

19

Kepastian

hukum

merupakan

tujuan

setiap

undang-undang

pajak.

Dalam

pembuatannya harus diupayakan supaya ketentuan yang dimuat dalam undangundang pajak, jelas, tegas dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang
untuk di tafsirkan lain. Kepastian hukum banyak tergantung pada susunan kalimat,
kata, dan penggunaan bahasa hukum secara tepat sangat diperlukan. Lebih lanjut asas
kepastian berarti dalam pemungutan pajak harus ada kepastian hukum mengenai
subjek, objek, tarif, mekaninsme pemungutan, sanksi administrasi, dan sanksi pidana.
Intinya hukum pajak harus memberikan jaminan hukum yang perlu untuk
menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun wajib pajak.22
2.

Kerangka Konsep
Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-

konsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep-konsep tersebut
adalah dengan membuat definisi. Definisi merupakan suatu perngertian yang relatif
lengkap tentang suatu istilah dan definisi bertitik tolak pada referensi.23
Pemakaian konsep terhadap istilah yang di gunakan terutama dalam judul
penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan
pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan multi tafsir, tetapi juga demi menuntun
peneliti sendiri di dalam menangani proses penelitian. Konsepsi ini bertujuan untuk

22

Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer. Konsep Dasar Perpajakan Indonesia,
(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), hlm 56
23
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm 47-48

Universitas Sumatera Utara

20

menghindari salah pengertian atau penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan
dalam penelitian ini.
a. Pajak Pusat.
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam hal
ini di selenggarakan oleh Direktorat Pajak dan hasilnya digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara.24
b. Pajak Daerah.
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, ada konstribusi wajib kepada
daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah, Pasal 1 ayat (10)
c. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak atas Perolehan
hak atas tanah dan bangunan. (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 1 ayat (41)
d. Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh

24

Marihot Pahala Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm 9

Universitas Sumatera Utara

21

orang pribadi atau badan. (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, Pasal 1 ayat (42)
e. Subjek Pajak BPHTB.
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak.
(UU Nomor 28 Tahun 2009, Pasal 1 ayat (44)
f. Wajib Pajak BPHTB.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 1
ayat (45)
g. Pajak Yang Terutang.
Pajak Yang Terutang adalah pajak yang harus di bayar pada suatu saat, dalam
masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. (UU Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 1 ayat (48)
h. Waris.
Waris adalah suatu perbuatan hukum di mana hak-hak dan kewajibankewajiban tentang harta kekayaan seseorang pada saat dia meninggal dunia
akan beralih kepada orang yang masih hidup atau keturunannya.
i. Hibah Wasiat.

Universitas Sumatera Utara

22

Hibah Wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si
yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barangbarangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang-barangnya
bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau
sebagian harta peninggalannya. (Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal
957)
j. Objek Pajak BPHTB.
Objek pajak adalah sesuatu yang dikenakan pajak atau dapat di artikan
sebagai sasaran pengenaan pajak BPHTB
k. Nilai Perolehan Objek Pajak.
Nilai Perolehan Objek Pajak adalah harga transaksi dan nilai pasar
l. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah nilai pengurangan Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebelum dikenakan tarif BPHTB.
m. Perbedaan Besar NPOPTKP.
Perbedaan besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat sekurangkurangnya Rp. 300.000.000 dan NPOPTKP untuk bukan waris dan hibah
wasiat sekurang-kurangnya Rp. 60.000.000.
n. Nilai Jual Objek Pajak.
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya di singkat NJOP, adalah harga ratarata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan
bilamana tidak terdapat sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP

Universitas Sumatera Utara

23

pengganti. (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, Pasal 1 ayat (40)
G. Metode Penelitian.
Metode penelitian ilmiah pada hakikatnya merupakan operasionalisasi dan
metode keilmuan, dengan demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan
persyaratan untuk memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah
penelitian mencakup apa yang diteliti, bagaimana penelitian dilakukan serta untuk
apa hasil penelitian digunakan.25 Metode menyangkut masalah kerja yaitu cara kerja
untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.26
Metode ilmiah juga merupakan ekspresi mengenal cara bekerja pikiran, sedangkan
berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.27 Dengan demikian
metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah dengan
menggunakan metode :
1.

Jenis Dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (yuridis

normatif) atau disebut juga penelitian hukum doctrinal yaitu penelitian hukum yang
menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan
pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian,

25

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung : CV. Bandar Maju, 2008),

26

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1997), hlm

hlm 15
16
27

Jujun S. Suriasumatri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1999), hlm 119

Universitas Sumatera Utara

24

meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum,
buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat
menganalisa permasalahan yang dibahas.28
Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach).
Pendekatan undang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani.29 Sedangkan pendekatan historis (historical approach) dilakukan dengan
mengkaji latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai
isu yang dihadapi.30
2.

Data Penelitian
Sumber bahan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier atau bahan non hukum.
a. Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang berisikan peraturan
perundang-undangan, terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-undang Nomor 28 tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
28
Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang : UMM Press,
2009), hlm 127
29
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm 93
30
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 18

Universitas Sumatera Utara

25

3. Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997, tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan.
4. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000, tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 21 tahun 1997, tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan.
5. Peraturan pemerintah Nomor 111 tahun 2000, tentang Pengenaan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah
Wasiat.
6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.91/PMK.03/2006
tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang terdiri dari buku-buku teks
yang ditulis oleh hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana, kasus-kasus hukum, yuriprudensi, dan hasil-hasil symposium
mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.31 Dalam penelitian ini,
bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan
yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan
dengan perpajakan.

31

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : Bayumedia,
2008), hlm 296

Universitas Sumatera Utara

26

c. Bahan Hukum Tertier, adalah bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus,
ensiklopedia.32
3.

Teknik Pengumpulan Penelitian
Teknik pengumpulan bahan penelitian yang digunakan adalah :
a.

Studi Kepustakaan atau Dokumentasi, yaitu dengan menelaah bahanbahan hukum kepustakaan yang terkait dengan permasalahan yang
diajukan untuk meneliti lebih jauh, guna memperoleh data sekunder
berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

b. Penelitian Lapangan, yaitu meneliti dengan melakukan wawancara secara
langsung dengan informan-informan yang berkaitan dengan perbedaan
besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan
hibah wasiat dalam BPHTB.
4.

Analisis Hasil Penelitian
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk

memberikan

jawaban

terhadap

permasalahan

yang

diteliti.

Setelah

pengumpulan dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara kualitatif yaitu dengan
melakukan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data
yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan dan asas-asas hukum yang
terkait tentang permasalahan yang telah diteliti. Karena penelitian ini normatif,

32

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1990), hlm 53

Universitas Sumatera Utara

27

dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menarik kesimpulan dengan
metode deduktif yakni berpikir dari yang umum seperti teori-teori atau prinsip-prinsip
yang berkaitan dengan perbedaan besar NPOPTKP dalam BPHTB menuju hal yang
khusus dengan menggunakan perangkat normatif. Sehingga diharapkan dapat
menjawab permasalahan dan tujuan peneliti yang ditetapkan.

Universitas Sumatera Utara