HUKUM WARIS DAN WASIAT DI INDONESIA
HUKUM WARIS DAN WASIAT DI INDONESIA
REVISI MAKALAH
DIBUAT GUNA MEMENUHI UAS
MATA KULIAH : PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI
NEAGARA MUSLIM
DISUSUN OLEH:
ZERA AGUSTINA
1420310053
DOSEN PENGAMPU:
PROF. DR. KHOIRUDDIN, MA
DR. AGUS M. NAJIB, M.Ag
PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
KONSENTRASI HUKUM KELUARGA
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
A. Pendahuluan
Sebuah hukum dengan corak keislaman mempunyai keseragaman antara
satu daerah dengan daerah lainnya atau antara satu Negara dengan Negara
lainnya. Namun ternyata berbagai latar belakang telah memberikan corak hukum
Islam yang berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya. Demikian pula
dengan hukum waris, meskipun dengan sumber yang sama yaitu al-Quran dan
Hadits, tetapi ternyata terjadi perbedaan hukum waris dari suatu Negara dengan
Negara lainnya.
Seperti halnya hukum perdata (BW), hukum adat, fiqh dan Kompilasi
Hukum Islam yang berkembang dan hidup di Indonesia memiliki hubungan yang
saling mempengaruhi. Sistem hukum tersebut memunculkan keadialan dalam
persepsinya masing-masing meskipun keadilan pada hakikatnya hanya satu dan
bersifat universal. Keadilan yang satu dan universal tersebut tersimpan dalam
setiap hati manusia yang suci dan merupakan pancaran dari sinar Ilahi yang
melampaui lebih dari sekedar akal budi. Nafsu manusialah yang menjadikan hati
manusia tertutupi sehingga keadilan tidak menampakkan bentuknya yang asli.
Salah satu bagian penting dari hukum Islam adalah hukum kekeluargaan
dan kebendaan yang di dalamnya mencakup hukum kewarisan Islam. Hukum
kewarisan Islam dalam hal ini adalah fokus pada hukum waris Islam di Indonesia.
Keberadaan waris dan wasiat yang diakui pada sistem hukum yang berlaku di
Indonesia seringkali merupakan jalan keluar bagi seorang pemilik harta untuk
berlaku adil dan tidak adil kepada para ahli warisnya, bahkan kepada orang lain.
Namun keberadaan aturan mengenai waris dan wasiat pada hakikatnya adalah
untuk menjamin keadilan.
Mengenai hukum kewarisan dan wasiat, secara jelas sudah dijelaskan di
dalam al-Qur’an dan Hadits. Hal ini membuktikan bahwa, masalah kewarisan
cukup penting dalam agama Islam. Apalagi Islam pada awal perkembangannya
telah mampu merperbaiki tatanan atau sistem kewarisan yang berlaku pada
masyarakat Arab Jahiliyyah dahulu kala. Ada empat macam konsep yang
ditawarkan al-Qur’an pada masa itu: pertama, Islam mendudukkan anak
1
bersamaan dengan orang tua pewaris sama-sama sebagai ahli waris. Dalam
kewarisan di luar Islam orang tua baru mungkin dapat warisan kalau pewaris mati
tidak mempunyai keturunan. Kedua, Islam juga memberi kemungkinan kepada
orang tua (minimal dengan ibu) pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli
waris. Ketiga, suami istri saling mewarisi. Suatu hal yang bertolak belakang
dengan tradisi Arab Jahiliyyah yang menjadikan istri sebagai salah satu bentuk
harta warisan. Keempat, adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang
tertentu dalam keadaan tertentu.1
Permasalahan mengenai pembagian warisan sering terjadi dengan
pembagian yang tidak adil dan ada pihak yang ingin mendapatkan bagian yang
lebih banyak, ini tidak sesuai dengan aturan dalam hukum kewarisan Islam yang
mana pembagian warisan telah diatur jumlah dan pembagiannya. Oleh karena itu,
syari’at Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan dan termasuk juga wasiat
sangat mengutamakan pembagian yang seimbang antara hak dan kewajiban
sehingga tidak ada hak yang dikurangi maupun dilebihkan. Sehubungan dengan
itu, dalam pembinaan hukum kewarisan Islam berdasarkan azas-azas, maka waris
dan wasiat perlu dipertimbangkan untuk memberikan kesejahteraan hidup antara
laki-laki dan perempuan di dalam keluarga khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
B. Sejarah Pembaruan Hukum Waris dan Wasiat di Indonesia
Pembahasan mengenai warisan dan wasiat bukanlah suatu hal yang tabu
lagi, karena waris dan wasiat sudah dipraktekkan tata cara pembagiannya sejak
awal kebangkitan Islam. Mengenai pengertian dari hukum waris adalah hukum
yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang
yang telah meninggal serta akibat hukumnya bagi para ahli warisnya. 2 Kosep dari
wasiat juga tidak jauh berbeda dengan waris, yang mana harta yang diwasiatkan
1 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Ekonisia,
2005), hlm. 15
2 Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: Rajawali Press, 2013) hlm. 3.
2
juga diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia, yang berbeda hanya saja
harta yang diwasiatkan tidak lebih dari sepertiga.
Hak waris dan wasiat seseorang tidaklah muncul tiba-tiba, tetapi
keberadaanya didasari oleh sebab-sebab tertentu yang berfungsi mengalihkan
harta dari hak-hak yang telah meninggal dunia. Perubahan dan pembaharuan
hukum waris Islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum
Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi dalam perumusan hukum waris
Islam di Indonesia dengan konsep ahli waris pengganti telah merubah dan
memperbarui hukum waris Islam di Indonesia.3
Di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir telah terjadi reformasi
terhadap ketentuan hukum Islam (fiqh) yang telah disesuaikan dengan konteks
keindonesiaan. Khusus dalam bidang hukum kewarisan, ide dan pemikiran
pembaharuan belum banyak mempengaruhi praktek kewarisan dalam masyarakat
akibat masih kuatnya pengaruh hukum adat dan mazhab sayfi’iyyah yang
berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia.
Hukum waris di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam, hal ini
dipengaruhi oleh keaneka-ragaman suku di Indonesia dengan hukum adat yang
berbeda-beda dan juga agama yang berbeda. Adapun sistem tata hukum yang
berlaku adalah hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat, dan hukum
kewarisan berdasarkan BW.
C. Latar Belakang Lahirnya Waris dan Wasiat di Indonesia
Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan
sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan
dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan
penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, pada waktu pemerintah
kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.4 Di Jawa dan Madura pada
tauhun 1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan
3 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media,
2001), hlm. 116
4 Nama resminya Priester Road (Pengadilan Pendeta), nama yang asing bagi umat Islam
Indonesia sendiri, dan pemberian nama yang salah, karena Islam tak mengenal kependetaan, sebab
Islam punya prinsip equality before God.
3
sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara
yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya
anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf.5 Sekalipun
wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.
Pada tahun 1937, wewenang Pengadilan Agama mengadili perkara waris
dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura
dan Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan. 6 Pengadilan Agama
di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang
meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan
agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau
Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957
yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan
dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang
perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah,
dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan
Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.
Muhammad Ali Daud mencantumkan penelitian Ny. Habibah telah Daud
dalam bukunya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, bahwa
Ny Habibah Daud mengadakan penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1976, dan
hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang yang mengajukan perkara waris
ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang (96,65%) mengajukan perkara
waris ke Pengadilan Agama. Hal ini terbukti, bahwa umat Islam lebih banyak
mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri.7
Pada tahun 1977 - 1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama
dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengadakan penelitian di lima
5 Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta,
B.P. Gadjah Mada, 1963, hlm. 10
6 Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937 Nomor 638
dan 639 yang menetapkan yurisdiksi Pengadilan Agama di Jawa-Madura dan Pengadilan Agama di
Kalimantan Selatan.
7 Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta, Yayasan Risalah, 1984m hlm. 24-25
4
daerah, yakni Aceh, Jambi, Palembang, DKI, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya
hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang
menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama
77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%
Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada
tahun 1978/1979 di sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota
Serang, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota
Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya
hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang
menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama
mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih
Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.
Karena itu apabila sengketa waris yang terjadi antara orang Islam diajukan
ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam
sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20 September 1960,
yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum
faraid (hukum waris Islam) diberlakukan sebagai hukum adat, karena merupakan
the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.
D. Relevansi Hukum Kewarisan Di Indonesia Perspektif Hukum Islam,
Hukum Adat dan B.W
5
Jika dikaji dari aspek sejarah, hukum kewarisan Islam tampaknya sudah
berlaku di Indonesia jauh sebelum dijajah Belanda. Ketika Belanda datang dan
kemudian menjajah Indonesia, hukum kewarisan Islam telah berjalan dengan
semestinya, terutama di wilayah-wilayah Indonesia yang telah berdiri kerajaankerajaan Islam, yang mana penguasa dan penduduknya juga menganut agama
Islam dan memberlakukan hukum Islam.8 Pendek kata, hukum Islam adalah
hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan ditaati oleh umat Islam di Indonesia.
Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang bersumber
kepada al-Qur’an dan Hadits, hukum yang berlaku universal di bumi manapun di
dunia ini. Namun, jika ada beberapa perbedaan paham di kalangan ulama mazhab
dengan tidak mengurangi ketaatan umat Islam kepada ketentuan Allah dan RasulNya, maka perbedaan pendapat tersebut dibolehkan dan dapat dipandang sebagai
rahmat.
Pada masa pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan aturan baru dalam
stbl. No.116-610 tahun 1937. Dalam stbl. ini ditetapkan urusan kewarisan tidak
lagi menjadi wewenang Pengadila Agama. Kebijakan seperti ini berlaku pula pada
pembentukan peradilan agama di Kalimantan selatan dan timur melalui stbl. no.
638-639 tahun 1937 tentang pembentukan lembaga kerapatan Qadhi dan Qadhi
besar di Kalimantan selatan dan timur. Dalam stbl. ini ditetapkan kewarisan bukan
mejadi wewenang peradilan.
Setelah Indonesia merdeka pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No.45 tahun 1957, tentang pembentukan Pengadilan Agama untuk
seluruh provinsi di Indonesia, di luar pulau Jawa, Madura, dan Kalimantan
selatan-timur. Dalam peraturan pemerintah itu ditetapkan salah satu wewenang
Pengadilan Agama adalah kewarisan.
Keragaman nama dan wewenang Pengadilan Agama itu telah berakhir
semenjak tahun 1989 dengan keluarnya UU No.7 tahun1989 tentang Pengadilan
Agama. Pasal 49 dari UU ini menetapkan, Pengadilan Agama bertugas dan
8 T. Jafizham, Kaitan Antara Hukum Perkawinan Dengan Hukum Kewarisan, (Jakarta:
Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 1977/1978), hlm. 28.
6
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, Wasiat dan Hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam;
c. Wakaf dan Shadaqah.
Dalam pasal 49 UU ini ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di
seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Tentang hukum yang digunakan dalam menyelesaikan urusan kewarisan itu
adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut hukum kewarisan Islam
atau faraidh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Kewarisan
Islam merupakan hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam.
Pergumulan antara hukum Islam dan hukum adat tampak dalam analisis
sejarawan dan ahli hukum. Untuk mendaulat hukum mana yang lebih dahulu lahir
di Indonesia, salah satunya dapat dilihat dari pendapat sejumlah pakar hukum.
Jika seorang pakar hukum bersikap jujur dan tidak tergolong Islamfobia, maka
jawabannya amat jelas, bahwa sewaktu L.W.C van dan Berg melahirkan teori
Receptie In Complexu, hukum adat belum lahir.9
Hukum adat baru muncul setelah Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven,
yakni memperkenalkan teori receptie untuk menyanggah teori sebelumnya, yakni
teori recepti in complex - van den Berg. Menurut mereka teori yang
membahayakan kepentingan colonial. Hukum adat diciptakan oleh Snouck
Hurgronje dan van Vollenhoven untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda
yang berupaya mencabut kewenagan Pengadilan Agama ketuka menangani
sengketa kewarisan pada tahun 1937, dengan dalih bahwa hukum kewarisan Islam
belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat masyarakat Indonesia.
Hukum perdata (BW) tidak mengenal waris-mewaris, Pasal 875 mengatur
tentang “surat wasiat”. Pemilik harta sebelum meninggal telah mempersiapkan
akan diapakan hartanya bila ia meninggal, 10 peruntukkan tersebut dimuat di dalam
surat wasiat (testament), bunyi pasal tersebut: ”Adapun yang dinamakan surat
9 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2011), hlm. 79.
10 Ibid., hlm. 90.
7
wasiat atau testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang
apa yang dikendakinya akan terjadi seetlah ia meninggal dunia, yang olehnya
dapat dicabut kembali lagi”.
Dengan berlakunya sejarah dari zaman kuno sampai zaman modern,
terutama dari sudut kewarisan dan wasiat, maka telah nampak suatu kebutuhan
oleh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pembagian harta warisan secara
adil dengan ilmu pasti baik itu pembagian menurut hukum adat, hukum Islam
ataupun BW.
E. Wasiat Dalam Islam
Secara terminologi, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat
adalah pemilikan yang disandarkan pada orang yang menyatakan wasiat
meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru.
Fuqaha berpendapat bahwa rukun dan syarat wasiat itu meliputi orang yang
berwasiat (al-mushi), orang yang menerima wsiat (al-musha lah), barang yang
diwasiatkan (al-musha bi) dan redaksi wasiat (sighat). Adapun rukun dan syarat
wasiat secara rinci adalah:11
1. Adanya subjek hukum
2. Adanya objek atau benda yang diwasiatkan
3. Tidak mengandung bahaya (mudharat)
Wasiat dalam KHI di atur dalam Buku II pada BAB V Pasal 194-209.
Pengertian wasiat dalam KHI disebutkan pada pasal 171 ayat (f) yang berbunyi :
“Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia.”
Sementara itu, pada Pasal 195 ayat 3 KHI menyebutkan bahwa wasiat
kepada ahli waris masih memungkinkan, dengan syarat telah mendapat
persetujuan ahli waris lainnya. Selain itu terdapat pula syarat-syarat lain. Di dalam
KHI pasal 195 disebutkan, bahwa :
11 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), hlm. 84-87
8
1. Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi; atau tertulis
dihadapan 2 (dua) orang saksi atau Notaris
2. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta
warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya
3. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris
4. Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan
dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau
Notaris.
Dalam hukum Perdata (BW), wasiat dikenal dengan subtan testament yang
diatur pada Buku II Tentang Kebendaan BAB XIII Tentang Surat Wasiat yang
memberikan pengertian “wasiat sebagai suatu akta yang memuat pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal
dunia, dan olehnya dapat dicabut kembali.”
F. Wasiat Dalam Perdata (BW), Hukum Adat
Secara umum, ada empat macam bentuk wasiat yang diatur dalam
KUHPerdata, yaitu:12
1. Wasiat Rahasia (Geheim), yaitu wasiat yang dibuat dengan dihadiri oleh 4
orang saksi. Wasiat ini tidak harus ditulis dengan tangan oleh pewasiat,
namun harus ditanda tangani sendiri sebagai bukti/pernyataan bahwa surat
tersebut berisi wasiatnya. Wasiat yag bersifat rahasia tersebut kemudian
diserahkan kepada Notaris untuk disimpan olehnya. Notaris kemudian
membuat Akta Penejlasan (Acta Superscriptie) pada bagian luar wasiat
atau sampul wasiat yang tersegel penyerahan wasiat rahasia tersebut.
Selanjutnya, wasiat yang dibuat tidak dapat ditarik sendiri. Artinya apabila
suatu ketika wasiat rahasia akan dibatalkan, maka harus dibuat Wasiat
Umum (Openbaar Testament).
12 Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-kiat
Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami masalah Hukum Waris, (Bandung: Kaifa, 2014), hlm. 50-51.
9
2. Wasiat Umum (Openbaar Testament), yaitu wasiat yang dibuat di hadapan
Notaris dan dua saksi (pasal 938 BW). Dalam wasiat tersebut, pembuat
wasiat menyatakan kehendaknya mengenai pembagian harta miliknya.
Biasanya, pembuat wasiat membuat suatu perincian mengenai jumlah dan
jenis hartanya, kemudian harta tersebut ditujukan bagi siapa saja. Wasiat
umum ini bisa diubah berkali-kali, sampai akhirnya pembuat wasiat
meninggal dunia. Dalam hal demikian, maka yang berlaku adalah wasiat
terakhir. Oleh karena itu, dalam awalan setiap wasiat, Notaris harus
mencantumkan kalimat, “Dengan ini saya cabut seluruh wasiat yang
pernah saya berikan….”
3. Wasiat ditulis sendiri (Olografis), yaitu wasiat yang seluruhnya ditulis dan
ditanda tangani sendiri oleh si pembuat wasiat (Pasal 932 ayat 1 BW).
Agar wasiat tersebut dapat diketahui secara umum, pembuat wasiat
membuat asli surat wasiat yang dibuat sendiri tersebut ke hadapan notaries
untuk disimpan. Berbeda dengan wasiat rahasia yang diserahkan dalam
bentuk amplop tertutup, wasiat olografis diserahkan dalam keadaan
terbuka, lalu Notaris membuat Akta Penyimpanan (Acta van Depot) di
bagian bawah wasiat atau pada kertas lain (Pasal 932 ayat 3 BW). Akta
penyimpanan ini diperlukan agar tercatat dalam reportorium Notaris yang
bersangkutan dan aslinya (minuta) diletakkan sebagai warkah (dokumen
pendamping) dalam minuta Akta Penyimpanan terebut. Wasiat dalam
bentuk olografis ini bisa ditarik kembali oleh pembuat wasiat.
4. Wasiat Darurat (Pasal 946, 947 dan 948 BW), yaitu wasiat yang dibuat
oleh tentara (dalam keadaan perang), orang yang sedang berlayar atau
orang yang sedang dikarantina karena penyakit menular. Wasiat ini dibuat
di hadapan atasannya karena si calon pewaris dalam keadaan sakaratul
maut atau akan meninggal dunia. Namun demikian, wasiat ini sekarang
sudah tidak dipakai lagi.
Dalam hukum adat, wasiat adalah pemberian yang dilaksanakan oleh
seorang kepada ahli warisnya atau orang tertentu yang pelaksanaannya dilakukan
10
setelah orang yang menyatakan wasiat itu meninggal. Wasiat dibuat karena
berbagai alasan yang biasanya adalah untuk menghindarkan persengketaan,
perwujudan rasa kasih sayang dari orang yang menyatakan wasiat, orang yang
menyatakan wasiat akan melaksanakan haji dan orang yang menyatakan wasiat
merasa ajalnya sudah dekat tetapi masih ada ganjalan semasa hidupnya yang
belum terpenuhi. Orang yang menyatakan wasiat dapat mencabut kembali wasiat
yang dinyatakan itu atau telah dikrarkan, tetapi tidak dicabut sampai orang yang
menyatakan wasiat itu meninggal dunia, maka para ahli wris harus menghormati
wasiat itu. Pelaksanaan wasiat dalam hukum adat tidak perlu dilakukan di
hadapan notaris, tetapi cukup diucapkan secara lisan di hadapan keluarga atau ahli
waris yang hadir pada waktu pernyatan wasiat dilaksanakan.
G. Konsep Wasiat Wajibah Dalam Kewarisan Islam
Wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan atas kerabat-kerabat terdekat
yang tidak mendapat bagian pusaka (harta warisan).13 Wasiat wajibah pun secara
eksplisit tercantum dalam KHI Pasal 209 ayat (1) yaitu
“Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176
sampai dengan 193 yang tersebut di atas sedangkan terhadapn orang tua
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.”
Syarat-syarat orang yang berhak atas wasiat wajibah yaitu:14
1. Seseorang yang mendapatkan wasiat wajibah adalah bukan ahli waris. Jika ia
menerima sejumlah harta warisan meskipun sedikit,maka tidak wajib wasiat
untuknya.
2. Orang yang meninggal seperti kakek atau nenek belum memberikan wasiat
kepada anaknya. Harta tersebut mungkin telah diberikan kepada si anak,
namun dengan jalan hibah.
13 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1967), hlm. 291
14 Ibid., hlm. 295
11
H. Penutup
Sistem kewarisan Islam di Indonesia sudah berlaku sejak zaman
prapenjajahan atau sebelum kemerdekaan yaitu pada masa kesultanan Islam dan
memberlakukan hukum waris sesuai dengan hukum Islam, kemudian ketika
muncul Snouck Hurgonje dan Van Vollenhoven yang melakukan sanggahan
terhadap teori receptive in complex dari Van Den Berg ketentuan hukum waris
diberlakukan menurut hukum barat dan adat, pada pemberlakuan hukum tersebut
berkembang tiga pola pembagian hukum waris yaitu patrilineal, matrilineal dan
bilateral.
Tujuan dari hukum kewarisan dan wasiat dalam Islam sebagaimana hukum
Islam pada umumnya, keberadaannya adalah untuk menjamin kemaslahatan umat.
kemaslahatan tidak akan tercapai tanpa adanya keadilan. Karena itulah jika
melalui waris dan wasiat ini telah tercapai keadilan di antara para ahli waris, maka
telah sesuai dengan tujuan hukum Islam yaitu memberikan manfaat bagi umatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta: Yayasan Risalah, 1984.
12
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam,
Jakarta:Bulan Bintang, 1967.
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Yogyakarta:
Ekonisia, 2005.
-----------, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2011.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2011.
Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia,
Yogyakarta: B.P. Gadjah Mada, 1963
Perangin, Effendi, Hukum Waris, Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Purnamasari, Irma Devita, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-kiat
Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami masalah Hukum Waris, Bandung:
Kaifa, 2014.
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama
Media, 2001
T. Jafizham, Kaitan Antara Hukum Perkawinan Dengan Hukum Kewarisan,
Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama,
1977/1978
13
REVISI MAKALAH
DIBUAT GUNA MEMENUHI UAS
MATA KULIAH : PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI
NEAGARA MUSLIM
DISUSUN OLEH:
ZERA AGUSTINA
1420310053
DOSEN PENGAMPU:
PROF. DR. KHOIRUDDIN, MA
DR. AGUS M. NAJIB, M.Ag
PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
KONSENTRASI HUKUM KELUARGA
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
A. Pendahuluan
Sebuah hukum dengan corak keislaman mempunyai keseragaman antara
satu daerah dengan daerah lainnya atau antara satu Negara dengan Negara
lainnya. Namun ternyata berbagai latar belakang telah memberikan corak hukum
Islam yang berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya. Demikian pula
dengan hukum waris, meskipun dengan sumber yang sama yaitu al-Quran dan
Hadits, tetapi ternyata terjadi perbedaan hukum waris dari suatu Negara dengan
Negara lainnya.
Seperti halnya hukum perdata (BW), hukum adat, fiqh dan Kompilasi
Hukum Islam yang berkembang dan hidup di Indonesia memiliki hubungan yang
saling mempengaruhi. Sistem hukum tersebut memunculkan keadialan dalam
persepsinya masing-masing meskipun keadilan pada hakikatnya hanya satu dan
bersifat universal. Keadilan yang satu dan universal tersebut tersimpan dalam
setiap hati manusia yang suci dan merupakan pancaran dari sinar Ilahi yang
melampaui lebih dari sekedar akal budi. Nafsu manusialah yang menjadikan hati
manusia tertutupi sehingga keadilan tidak menampakkan bentuknya yang asli.
Salah satu bagian penting dari hukum Islam adalah hukum kekeluargaan
dan kebendaan yang di dalamnya mencakup hukum kewarisan Islam. Hukum
kewarisan Islam dalam hal ini adalah fokus pada hukum waris Islam di Indonesia.
Keberadaan waris dan wasiat yang diakui pada sistem hukum yang berlaku di
Indonesia seringkali merupakan jalan keluar bagi seorang pemilik harta untuk
berlaku adil dan tidak adil kepada para ahli warisnya, bahkan kepada orang lain.
Namun keberadaan aturan mengenai waris dan wasiat pada hakikatnya adalah
untuk menjamin keadilan.
Mengenai hukum kewarisan dan wasiat, secara jelas sudah dijelaskan di
dalam al-Qur’an dan Hadits. Hal ini membuktikan bahwa, masalah kewarisan
cukup penting dalam agama Islam. Apalagi Islam pada awal perkembangannya
telah mampu merperbaiki tatanan atau sistem kewarisan yang berlaku pada
masyarakat Arab Jahiliyyah dahulu kala. Ada empat macam konsep yang
ditawarkan al-Qur’an pada masa itu: pertama, Islam mendudukkan anak
1
bersamaan dengan orang tua pewaris sama-sama sebagai ahli waris. Dalam
kewarisan di luar Islam orang tua baru mungkin dapat warisan kalau pewaris mati
tidak mempunyai keturunan. Kedua, Islam juga memberi kemungkinan kepada
orang tua (minimal dengan ibu) pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli
waris. Ketiga, suami istri saling mewarisi. Suatu hal yang bertolak belakang
dengan tradisi Arab Jahiliyyah yang menjadikan istri sebagai salah satu bentuk
harta warisan. Keempat, adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang
tertentu dalam keadaan tertentu.1
Permasalahan mengenai pembagian warisan sering terjadi dengan
pembagian yang tidak adil dan ada pihak yang ingin mendapatkan bagian yang
lebih banyak, ini tidak sesuai dengan aturan dalam hukum kewarisan Islam yang
mana pembagian warisan telah diatur jumlah dan pembagiannya. Oleh karena itu,
syari’at Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan dan termasuk juga wasiat
sangat mengutamakan pembagian yang seimbang antara hak dan kewajiban
sehingga tidak ada hak yang dikurangi maupun dilebihkan. Sehubungan dengan
itu, dalam pembinaan hukum kewarisan Islam berdasarkan azas-azas, maka waris
dan wasiat perlu dipertimbangkan untuk memberikan kesejahteraan hidup antara
laki-laki dan perempuan di dalam keluarga khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
B. Sejarah Pembaruan Hukum Waris dan Wasiat di Indonesia
Pembahasan mengenai warisan dan wasiat bukanlah suatu hal yang tabu
lagi, karena waris dan wasiat sudah dipraktekkan tata cara pembagiannya sejak
awal kebangkitan Islam. Mengenai pengertian dari hukum waris adalah hukum
yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang
yang telah meninggal serta akibat hukumnya bagi para ahli warisnya. 2 Kosep dari
wasiat juga tidak jauh berbeda dengan waris, yang mana harta yang diwasiatkan
1 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Ekonisia,
2005), hlm. 15
2 Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: Rajawali Press, 2013) hlm. 3.
2
juga diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia, yang berbeda hanya saja
harta yang diwasiatkan tidak lebih dari sepertiga.
Hak waris dan wasiat seseorang tidaklah muncul tiba-tiba, tetapi
keberadaanya didasari oleh sebab-sebab tertentu yang berfungsi mengalihkan
harta dari hak-hak yang telah meninggal dunia. Perubahan dan pembaharuan
hukum waris Islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum
Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi dalam perumusan hukum waris
Islam di Indonesia dengan konsep ahli waris pengganti telah merubah dan
memperbarui hukum waris Islam di Indonesia.3
Di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir telah terjadi reformasi
terhadap ketentuan hukum Islam (fiqh) yang telah disesuaikan dengan konteks
keindonesiaan. Khusus dalam bidang hukum kewarisan, ide dan pemikiran
pembaharuan belum banyak mempengaruhi praktek kewarisan dalam masyarakat
akibat masih kuatnya pengaruh hukum adat dan mazhab sayfi’iyyah yang
berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia.
Hukum waris di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam, hal ini
dipengaruhi oleh keaneka-ragaman suku di Indonesia dengan hukum adat yang
berbeda-beda dan juga agama yang berbeda. Adapun sistem tata hukum yang
berlaku adalah hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat, dan hukum
kewarisan berdasarkan BW.
C. Latar Belakang Lahirnya Waris dan Wasiat di Indonesia
Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan
sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan
dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan
penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, pada waktu pemerintah
kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.4 Di Jawa dan Madura pada
tauhun 1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan
3 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media,
2001), hlm. 116
4 Nama resminya Priester Road (Pengadilan Pendeta), nama yang asing bagi umat Islam
Indonesia sendiri, dan pemberian nama yang salah, karena Islam tak mengenal kependetaan, sebab
Islam punya prinsip equality before God.
3
sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara
yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya
anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf.5 Sekalipun
wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.
Pada tahun 1937, wewenang Pengadilan Agama mengadili perkara waris
dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura
dan Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan. 6 Pengadilan Agama
di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang
meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan
agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau
Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957
yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan
dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang
perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah,
dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan
Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.
Muhammad Ali Daud mencantumkan penelitian Ny. Habibah telah Daud
dalam bukunya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, bahwa
Ny Habibah Daud mengadakan penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1976, dan
hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang yang mengajukan perkara waris
ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang (96,65%) mengajukan perkara
waris ke Pengadilan Agama. Hal ini terbukti, bahwa umat Islam lebih banyak
mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri.7
Pada tahun 1977 - 1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama
dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengadakan penelitian di lima
5 Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta,
B.P. Gadjah Mada, 1963, hlm. 10
6 Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937 Nomor 638
dan 639 yang menetapkan yurisdiksi Pengadilan Agama di Jawa-Madura dan Pengadilan Agama di
Kalimantan Selatan.
7 Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta, Yayasan Risalah, 1984m hlm. 24-25
4
daerah, yakni Aceh, Jambi, Palembang, DKI, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya
hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang
menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama
77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%
Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada
tahun 1978/1979 di sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota
Serang, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota
Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya
hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang
menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama
mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih
Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.
Karena itu apabila sengketa waris yang terjadi antara orang Islam diajukan
ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam
sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20 September 1960,
yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum
faraid (hukum waris Islam) diberlakukan sebagai hukum adat, karena merupakan
the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.
D. Relevansi Hukum Kewarisan Di Indonesia Perspektif Hukum Islam,
Hukum Adat dan B.W
5
Jika dikaji dari aspek sejarah, hukum kewarisan Islam tampaknya sudah
berlaku di Indonesia jauh sebelum dijajah Belanda. Ketika Belanda datang dan
kemudian menjajah Indonesia, hukum kewarisan Islam telah berjalan dengan
semestinya, terutama di wilayah-wilayah Indonesia yang telah berdiri kerajaankerajaan Islam, yang mana penguasa dan penduduknya juga menganut agama
Islam dan memberlakukan hukum Islam.8 Pendek kata, hukum Islam adalah
hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan ditaati oleh umat Islam di Indonesia.
Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang bersumber
kepada al-Qur’an dan Hadits, hukum yang berlaku universal di bumi manapun di
dunia ini. Namun, jika ada beberapa perbedaan paham di kalangan ulama mazhab
dengan tidak mengurangi ketaatan umat Islam kepada ketentuan Allah dan RasulNya, maka perbedaan pendapat tersebut dibolehkan dan dapat dipandang sebagai
rahmat.
Pada masa pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan aturan baru dalam
stbl. No.116-610 tahun 1937. Dalam stbl. ini ditetapkan urusan kewarisan tidak
lagi menjadi wewenang Pengadila Agama. Kebijakan seperti ini berlaku pula pada
pembentukan peradilan agama di Kalimantan selatan dan timur melalui stbl. no.
638-639 tahun 1937 tentang pembentukan lembaga kerapatan Qadhi dan Qadhi
besar di Kalimantan selatan dan timur. Dalam stbl. ini ditetapkan kewarisan bukan
mejadi wewenang peradilan.
Setelah Indonesia merdeka pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No.45 tahun 1957, tentang pembentukan Pengadilan Agama untuk
seluruh provinsi di Indonesia, di luar pulau Jawa, Madura, dan Kalimantan
selatan-timur. Dalam peraturan pemerintah itu ditetapkan salah satu wewenang
Pengadilan Agama adalah kewarisan.
Keragaman nama dan wewenang Pengadilan Agama itu telah berakhir
semenjak tahun 1989 dengan keluarnya UU No.7 tahun1989 tentang Pengadilan
Agama. Pasal 49 dari UU ini menetapkan, Pengadilan Agama bertugas dan
8 T. Jafizham, Kaitan Antara Hukum Perkawinan Dengan Hukum Kewarisan, (Jakarta:
Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 1977/1978), hlm. 28.
6
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, Wasiat dan Hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam;
c. Wakaf dan Shadaqah.
Dalam pasal 49 UU ini ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di
seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Tentang hukum yang digunakan dalam menyelesaikan urusan kewarisan itu
adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut hukum kewarisan Islam
atau faraidh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Kewarisan
Islam merupakan hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam.
Pergumulan antara hukum Islam dan hukum adat tampak dalam analisis
sejarawan dan ahli hukum. Untuk mendaulat hukum mana yang lebih dahulu lahir
di Indonesia, salah satunya dapat dilihat dari pendapat sejumlah pakar hukum.
Jika seorang pakar hukum bersikap jujur dan tidak tergolong Islamfobia, maka
jawabannya amat jelas, bahwa sewaktu L.W.C van dan Berg melahirkan teori
Receptie In Complexu, hukum adat belum lahir.9
Hukum adat baru muncul setelah Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven,
yakni memperkenalkan teori receptie untuk menyanggah teori sebelumnya, yakni
teori recepti in complex - van den Berg. Menurut mereka teori yang
membahayakan kepentingan colonial. Hukum adat diciptakan oleh Snouck
Hurgronje dan van Vollenhoven untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda
yang berupaya mencabut kewenagan Pengadilan Agama ketuka menangani
sengketa kewarisan pada tahun 1937, dengan dalih bahwa hukum kewarisan Islam
belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat masyarakat Indonesia.
Hukum perdata (BW) tidak mengenal waris-mewaris, Pasal 875 mengatur
tentang “surat wasiat”. Pemilik harta sebelum meninggal telah mempersiapkan
akan diapakan hartanya bila ia meninggal, 10 peruntukkan tersebut dimuat di dalam
surat wasiat (testament), bunyi pasal tersebut: ”Adapun yang dinamakan surat
9 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2011), hlm. 79.
10 Ibid., hlm. 90.
7
wasiat atau testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang
apa yang dikendakinya akan terjadi seetlah ia meninggal dunia, yang olehnya
dapat dicabut kembali lagi”.
Dengan berlakunya sejarah dari zaman kuno sampai zaman modern,
terutama dari sudut kewarisan dan wasiat, maka telah nampak suatu kebutuhan
oleh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pembagian harta warisan secara
adil dengan ilmu pasti baik itu pembagian menurut hukum adat, hukum Islam
ataupun BW.
E. Wasiat Dalam Islam
Secara terminologi, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat
adalah pemilikan yang disandarkan pada orang yang menyatakan wasiat
meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru.
Fuqaha berpendapat bahwa rukun dan syarat wasiat itu meliputi orang yang
berwasiat (al-mushi), orang yang menerima wsiat (al-musha lah), barang yang
diwasiatkan (al-musha bi) dan redaksi wasiat (sighat). Adapun rukun dan syarat
wasiat secara rinci adalah:11
1. Adanya subjek hukum
2. Adanya objek atau benda yang diwasiatkan
3. Tidak mengandung bahaya (mudharat)
Wasiat dalam KHI di atur dalam Buku II pada BAB V Pasal 194-209.
Pengertian wasiat dalam KHI disebutkan pada pasal 171 ayat (f) yang berbunyi :
“Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia.”
Sementara itu, pada Pasal 195 ayat 3 KHI menyebutkan bahwa wasiat
kepada ahli waris masih memungkinkan, dengan syarat telah mendapat
persetujuan ahli waris lainnya. Selain itu terdapat pula syarat-syarat lain. Di dalam
KHI pasal 195 disebutkan, bahwa :
11 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), hlm. 84-87
8
1. Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi; atau tertulis
dihadapan 2 (dua) orang saksi atau Notaris
2. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta
warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya
3. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris
4. Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan
dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau
Notaris.
Dalam hukum Perdata (BW), wasiat dikenal dengan subtan testament yang
diatur pada Buku II Tentang Kebendaan BAB XIII Tentang Surat Wasiat yang
memberikan pengertian “wasiat sebagai suatu akta yang memuat pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal
dunia, dan olehnya dapat dicabut kembali.”
F. Wasiat Dalam Perdata (BW), Hukum Adat
Secara umum, ada empat macam bentuk wasiat yang diatur dalam
KUHPerdata, yaitu:12
1. Wasiat Rahasia (Geheim), yaitu wasiat yang dibuat dengan dihadiri oleh 4
orang saksi. Wasiat ini tidak harus ditulis dengan tangan oleh pewasiat,
namun harus ditanda tangani sendiri sebagai bukti/pernyataan bahwa surat
tersebut berisi wasiatnya. Wasiat yag bersifat rahasia tersebut kemudian
diserahkan kepada Notaris untuk disimpan olehnya. Notaris kemudian
membuat Akta Penejlasan (Acta Superscriptie) pada bagian luar wasiat
atau sampul wasiat yang tersegel penyerahan wasiat rahasia tersebut.
Selanjutnya, wasiat yang dibuat tidak dapat ditarik sendiri. Artinya apabila
suatu ketika wasiat rahasia akan dibatalkan, maka harus dibuat Wasiat
Umum (Openbaar Testament).
12 Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-kiat
Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami masalah Hukum Waris, (Bandung: Kaifa, 2014), hlm. 50-51.
9
2. Wasiat Umum (Openbaar Testament), yaitu wasiat yang dibuat di hadapan
Notaris dan dua saksi (pasal 938 BW). Dalam wasiat tersebut, pembuat
wasiat menyatakan kehendaknya mengenai pembagian harta miliknya.
Biasanya, pembuat wasiat membuat suatu perincian mengenai jumlah dan
jenis hartanya, kemudian harta tersebut ditujukan bagi siapa saja. Wasiat
umum ini bisa diubah berkali-kali, sampai akhirnya pembuat wasiat
meninggal dunia. Dalam hal demikian, maka yang berlaku adalah wasiat
terakhir. Oleh karena itu, dalam awalan setiap wasiat, Notaris harus
mencantumkan kalimat, “Dengan ini saya cabut seluruh wasiat yang
pernah saya berikan….”
3. Wasiat ditulis sendiri (Olografis), yaitu wasiat yang seluruhnya ditulis dan
ditanda tangani sendiri oleh si pembuat wasiat (Pasal 932 ayat 1 BW).
Agar wasiat tersebut dapat diketahui secara umum, pembuat wasiat
membuat asli surat wasiat yang dibuat sendiri tersebut ke hadapan notaries
untuk disimpan. Berbeda dengan wasiat rahasia yang diserahkan dalam
bentuk amplop tertutup, wasiat olografis diserahkan dalam keadaan
terbuka, lalu Notaris membuat Akta Penyimpanan (Acta van Depot) di
bagian bawah wasiat atau pada kertas lain (Pasal 932 ayat 3 BW). Akta
penyimpanan ini diperlukan agar tercatat dalam reportorium Notaris yang
bersangkutan dan aslinya (minuta) diletakkan sebagai warkah (dokumen
pendamping) dalam minuta Akta Penyimpanan terebut. Wasiat dalam
bentuk olografis ini bisa ditarik kembali oleh pembuat wasiat.
4. Wasiat Darurat (Pasal 946, 947 dan 948 BW), yaitu wasiat yang dibuat
oleh tentara (dalam keadaan perang), orang yang sedang berlayar atau
orang yang sedang dikarantina karena penyakit menular. Wasiat ini dibuat
di hadapan atasannya karena si calon pewaris dalam keadaan sakaratul
maut atau akan meninggal dunia. Namun demikian, wasiat ini sekarang
sudah tidak dipakai lagi.
Dalam hukum adat, wasiat adalah pemberian yang dilaksanakan oleh
seorang kepada ahli warisnya atau orang tertentu yang pelaksanaannya dilakukan
10
setelah orang yang menyatakan wasiat itu meninggal. Wasiat dibuat karena
berbagai alasan yang biasanya adalah untuk menghindarkan persengketaan,
perwujudan rasa kasih sayang dari orang yang menyatakan wasiat, orang yang
menyatakan wasiat akan melaksanakan haji dan orang yang menyatakan wasiat
merasa ajalnya sudah dekat tetapi masih ada ganjalan semasa hidupnya yang
belum terpenuhi. Orang yang menyatakan wasiat dapat mencabut kembali wasiat
yang dinyatakan itu atau telah dikrarkan, tetapi tidak dicabut sampai orang yang
menyatakan wasiat itu meninggal dunia, maka para ahli wris harus menghormati
wasiat itu. Pelaksanaan wasiat dalam hukum adat tidak perlu dilakukan di
hadapan notaris, tetapi cukup diucapkan secara lisan di hadapan keluarga atau ahli
waris yang hadir pada waktu pernyatan wasiat dilaksanakan.
G. Konsep Wasiat Wajibah Dalam Kewarisan Islam
Wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan atas kerabat-kerabat terdekat
yang tidak mendapat bagian pusaka (harta warisan).13 Wasiat wajibah pun secara
eksplisit tercantum dalam KHI Pasal 209 ayat (1) yaitu
“Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176
sampai dengan 193 yang tersebut di atas sedangkan terhadapn orang tua
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.”
Syarat-syarat orang yang berhak atas wasiat wajibah yaitu:14
1. Seseorang yang mendapatkan wasiat wajibah adalah bukan ahli waris. Jika ia
menerima sejumlah harta warisan meskipun sedikit,maka tidak wajib wasiat
untuknya.
2. Orang yang meninggal seperti kakek atau nenek belum memberikan wasiat
kepada anaknya. Harta tersebut mungkin telah diberikan kepada si anak,
namun dengan jalan hibah.
13 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1967), hlm. 291
14 Ibid., hlm. 295
11
H. Penutup
Sistem kewarisan Islam di Indonesia sudah berlaku sejak zaman
prapenjajahan atau sebelum kemerdekaan yaitu pada masa kesultanan Islam dan
memberlakukan hukum waris sesuai dengan hukum Islam, kemudian ketika
muncul Snouck Hurgonje dan Van Vollenhoven yang melakukan sanggahan
terhadap teori receptive in complex dari Van Den Berg ketentuan hukum waris
diberlakukan menurut hukum barat dan adat, pada pemberlakuan hukum tersebut
berkembang tiga pola pembagian hukum waris yaitu patrilineal, matrilineal dan
bilateral.
Tujuan dari hukum kewarisan dan wasiat dalam Islam sebagaimana hukum
Islam pada umumnya, keberadaannya adalah untuk menjamin kemaslahatan umat.
kemaslahatan tidak akan tercapai tanpa adanya keadilan. Karena itulah jika
melalui waris dan wasiat ini telah tercapai keadilan di antara para ahli waris, maka
telah sesuai dengan tujuan hukum Islam yaitu memberikan manfaat bagi umatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta: Yayasan Risalah, 1984.
12
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam,
Jakarta:Bulan Bintang, 1967.
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Yogyakarta:
Ekonisia, 2005.
-----------, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2011.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2011.
Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia,
Yogyakarta: B.P. Gadjah Mada, 1963
Perangin, Effendi, Hukum Waris, Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Purnamasari, Irma Devita, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-kiat
Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami masalah Hukum Waris, Bandung:
Kaifa, 2014.
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama
Media, 2001
T. Jafizham, Kaitan Antara Hukum Perkawinan Dengan Hukum Kewarisan,
Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama,
1977/1978
13