Gambaran Coping Stress Pada Penyintas Lanjut Usia Bencana Erupsi Gunung Sinabung

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sinabung merupakan salah satu gunungapi yang berada di dataran tinggi
Kabupaten Karo dan menjadi salah satu gunung tertinggi di Sumatera Utara.
Banyak kekayaan yang disajikan

oleh Gunung Sinabung, mulai dari pesona

keindahan, udara yang sejuk dan juga tanah yang subur menjadi salah satu daya
tarik dari gunung tersebut. Dengan keunggulan itu, Gunung Sinabung selalu
menjadi kebanggan masyarakat Karo. Hal itu dikarenakan Gunung Sinabung
menjadi salah satu sumber mata pencaharian bagi masyarakat dengan
memanfaatkan tanahnya yang subur sebagai lahan untuk bercocok tanam dalam
memenuhi kehidupan sehari-hari.
Dalam beberapa tahun terakhir Gunung Sinabung tidak pernah menunjukkan
aktivitas yang berpotensi untuk menyebabkan bencana. Hal ini dikarenakan
Gunung Sinabung ditetapkan sebagai gunung bertipe B yang tidak pernah
menunjukkan aktivitas semenjak tahun 1600. Pada tahun 2010, Gunung Sinabung
secara tiba-tiba aktif dan meletus mengeluarkan lava, hingga pada September
2013 menjadi puncak letusan secara terus-menerus sehingga gunung ini

ditetapkan sebagai gunung bertipe A hingga saat ini (Simatupang, 2016)

1
Universitas Sumatera Utara

2

Gambar 1.1 Erupsi Gunung Sinabung pada tahun 2016
Peristiwa erupsi Gunung Sinabung mengeluarkan kabut asap tebal berwarna
hitam disertai hujan pasir debu vulkanik yang memberikan dampak bagi
masyarakat setempat yang mengancam kelangsungan hidup mereka, seperti
kehilangan harta benda, kerusakan lahan pertanian dan peternakan. Erupsi juga
menyebabkan kerusakan bangunan-bangunan yang meliputi rumah, sekolah,
tempat ibadah dan balai desa. Kerusakan yang diakibatkan oleh erupsi Gunung
Sinabung meninggalkan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat Karo, yang
mana masyarakat yang tinggal dengan jarak 6 km harus mengungsi tempat yang
lebih aman yang disediakan oleh pemerintah (Simatupang, 2016)

Gambar 1.2. Dampak erupsi Gunung Sinabung


Universitas Sumatera Utara

3

Akibat perubahan tersebut masyarakat Karo harus menyesuikan diri dengan
situasi yang baru, yang mana mereka biasanya bekerja menjadi tidak bekerja. Hal
ini sesuai dengan pernyataan salah satu masyarakat Karo.
“Biasa erdahin, enda la erdahin, istirahat bage (biasa bekerja tapi ini
enggak bekerja, kerjan istirahat kayak gini)”
(Komunikasi interpersonal, 03 Juni, 2017)
Hal itu mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat Karo
terutama pada penurunan perekonomian yang biasanya dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari mereka. Selain itu, dampak lain yang diterima oleh
masyarakat Karo adalah dari segi psikologis hal ini dibuktikan oleh penelitian
yang dilakukan oleh Bidang Keilmuan Universitas Gadjah Mada yang melaporkan
bahwa masyarakat mengalami tingkat stres dan depresi yang cukup tinggi.
Masyarakat mengalami guncangan emosional yang luar biasa dikarenakan dalam
ingatan mereka Gunung Sinabung tidak pernah menjadi sumber bencana
(Bakkara, 2014).
Pengungsi bencana erupsi terdiri dari berbagai rentan usia yang berbeda-beda

yang meliputi anak-anak, dewasa dan lanjut usia. Salah satu kelompok yang
rentan terhadap bencana adalah lanjut usia. Kerentanan lanjut usia terhadap
bencana dikarenakan kondisi fisik dan psikologis yang semakin menurun seperti
kesehatan dan penurunan kognitif (Probosiwi, 2013).
Lanjut usia merupakan tahap akhir dari kehidupan dan proses alami yang tidak
dapat dihindari oleh setiap individu. Masa lanjut usia adalah periode
perkembangan yang bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian.

Universitas Sumatera Utara

4

Periode lanjut usia ditandai dengan perubahan kondisi fisik seperti tumbuh uban,
kulit yang mulai keriput dan penurunan berat badan. Perubahan psikologis juga
muncul seperti perasaan tersisih, tidak dibutuhkan dan tidak dapat menerima
kenyataan (Santrock, 2013). Masa ini adalah masa penyesuaian atas berkurangnya
kekuatan dan kesehatan, menatap kembali kehidupan masa pensiun dan
penyesuaian diri dengan peran-peran sosial (Hurlock, 1991).
Selain perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia, mereka juga
memiliki kebutuhan hidup yang sama agar hidup sejahtera. Kebutuhan hidup

lanjut usia antara lain makanan bergizi, pemeriksaan kesehatan, lingkungan yang
sehat, aman dan tentram, kebutuhan sosial seperti sosialisasi dengan sesama
sehingga memiliki kerabat yang dapat diajak untuk berkomunikasi (Nurhidayah &
Rini, 2012). Kondisi lingkungan juga mempengaruhi lanjut usia menghadapi
beberapa perubahan tersulit dalam hidupnya (Rohaedi & dkk, 2016).
Ditinjau dari pernyataan Hurlock (1991) bisa dikatakan bahwa tugas
perkembangan lanjut usia yang menjadi penyintas bencana erupsi Gunung
Sinabung tidak tercapai. Dikatakan demikian itu karena lanjut usia dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan situasi seperti harus tinggal satu ruangan bersama-sama
dengan orang lain, tidak ada pembatas antara lanjut usia dan anak-anak dan
makanan yang seadanya. Hal ini ditunjukkan berdasarkan pernyataan salah satu
lanjut usia dipengungsian yang mengatakan bahwa mereka merasa terganggu
dengan suara anak-anak yang berisik serta makanan yang hanya seadanya.
“anak-anak gejek kel la kutahan gejek kel (anak-anak ini ribut kali,
enggak tahan aku ribut kali)”… “Ence uga kapndu perpanta dibas

Universitas Sumatera Utara

5


pengungsian nakan ikan kering-kering je, la kita selera ngidahsa, enaka
ngenca lit (Trus gimana kalian rasa makanan dipengungsian nasi ikannya
kering-kering dikasi, kan enggak selera ngeliatnya, itu pula cuma ada)”
(Komunikasi Interpersonal, 03 Juni 2017)
Selain itu, beliau juga menyatakan bahwa lingkungan diposko
pengungsian banyak lalat karena lingkungan yang tidak bersih.
“Ence ma, kotor she kel melketna, enggo melala kel lalat je pe pekara
kotor kel (trus kan jorok kali, udah banyak lalat terbang karna jorok
kali)”
(Komunikasi Interpersonal, 03 Juni, 2017)
Ketika dihadapkan dalam situasi bencana, seseorang akan mengalami situasi
yang menekan dan memununculkan reaksi seperti keluhan fisik, kecemasan,
depresi dan rasa takut. Reaksi tersebut akan mengarahkan seseorang mengalami
stres. Lanjut usia yang menjadi penyintas erupsi Gunung Sinabung sudah tinggal
dipengungsian selama bertahun-tahun dan hal ini membuat mereka mengalami
masa-masa yang berat sehingga mempengaruhi keadaan psikologis. Penyebab
stres adalah karena mata pencaharian yang hilang sehingga menyebabkan
gangguan ekonomi, aktivitas Sinabung yang terus meningkat, masa depan yang
tidak pasti dan rindu akan rumah (Suheri, 2014). Hal ini juga dirasakan oleh lanjut
usia dipengungsian erupsi Gunung Sinabung. Dalam kehidupan sehari-hari,

mereka terbiasa untuk bekerja, yang biasanya orang-orang mudalah yang
seharusnya bekerja. Pada kenyataannya, lanjut usia dipengungsian erupsi Gunung
Sinabung terbiasa untuk bekerja dan menganggap bahwa Gunung Sinabung
menjadi sumber mata pencaharian. Oleh karena itu, ini menjadi sumber stres
bagi mereka.

Universitas Sumatera Utara

6

Stres adalah suatu situasi yang mengarahkan individu untuk mempersepsikan
ketidaksesuaian antara tuntutan fisik maupun psikologis dengan tuntutan
lingkungan (Lazarus & Folkman 1984 dalam Sarafino 2011). Stres bisa
berdampak negatif atau positif. Stres dapat berdampak pada interaksi
interpersonal dan pada tingkat stres berat orang dapat menjadi depresi, kehilangan
rasa percaya diri dan harga diri (Rini, 2002 dalam Novyan, 2011). Menurut
Koswara (dalam Novyan, 2011) stres bisa muncul berupa stimulus eksternal dan
dapat berupa stimulus internal yang diterima atau dialami individu sebagai hal
yang tidak menyenangkan atau meyebabkan serta menuntut penyesuaian dan
menghasilkan efek baik somatic maupun behavioral. Gejala stres dapat berupa

denyut jantung bertambah cepat, banyak keringat terutama keringat dingin,
pernafasan terganggu, sering buang air kecil, sulit tidur, dan gangguan lambung
dan gejala psikologis seperti resah, sering merasa bingung, sulit konsentrasi dan
merasa lelah (Indriana, 2010). Hal ini tergambar dari salah satu pernyataan lanjut
usia penyintas erupsi
“Mesui takalku (sakit kepala), sering sakit kepala nakku. Jantungen ka
aku nakku (detak jantung yang tidak biasa), pusing nakku”
(Komunikasi Interpersonal, 01 Oktober 2016)
Berdasarkan kutipan diatas terlihat bahwa lanjut usia yang menjadi penyintas
erupsi Gunung Sinabung mengalami beberapa gejala stres. Gejala yang dialami
para lanjut usia seperti selera makan yang menurun, sulit tidur, pusing, denyut
jantung yang tidak biasa dan perasaan yang resah.

Universitas Sumatera Utara

7

Akan tetapi, ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang menekan yang
mengarahkan mereka


mengalami stres, mereka akan memiliki cara untuk

menghadapi situasi tesebut. Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2011)
mengatakan bahwa individu yang mengalami situasi menekan akan melakukan
penilaian dan mempertimbangkan respon yang diberikan untuk menghadapinya.
Cara-cara atau respon yang dilakukan dikenal juga dengan coping. Setiap individu
yang mengalami kondisi stres dan mengatasi kondisi stresnya tersebut akan
melakukan coping (Sarafino, 2011).
Coping Stress adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengolah
perbedaan yang dirasakan antara tuntutan dan sumber daya yang dinilai dalam
situasi stres (Sarafino, 2011). Lanjut usia yang berada dipengungsian erupsi
Gunung Sinabung memiliki cara mereka sendiri mengatasi stresnya seperti
berbagi cerita dengan anak-anak mereka ketika berkunjung, berbagi cerita dengan
sesama pengungsian, menonton televisi bersama dan juga mencari kegiatan yang
dapat mengisi waktu luang misalnya dengan mencuci dan menyetrika baju anakanak. Hal ini berhubungan dengan pernyataan lanjut usia penyintas erupsi Gunung
Sinabung.
“Cerita-cerita sama anakku kalo mereka datang kepengungsian, sama
sesama pengungsi juga kami saling cerita-cerita. Sama-sama nonton tv
disini nakku, cari kegiatan juga nakku kaya mencuci baju anak-anak yang
disini trus disetrika.

(Komunikasi Personal, 29 Oktober 2016)
Selain itu cara lain yang dapat mereka lakukan adalah berdoa kepada Tuhan
agar diberikan kekuatan dan kesehatan

Universitas Sumatera Utara

8

“…tiap malam ertoto aku ras Dibata gelah ibereken kekuatan (berdoa
kepada Tuhan agar diberikan kekuatan), dikasi kesehatan nakku, gelah
ula aku sakit ena kupindo man Dibata (agar tidak jatuh sakit, itu yang
saya minta kepada Tuhan ), lindungi aku Tuhan ula sakit (jangan sakit),
kan memang pun waktu kita enggak tau kapan nakku…kayak biasa nakku,
kegereja, berdoa sama Tuhan nakku, minta pertolongan biar sehat terus
nakku.
(Komunikasi Personal, 29 Oktober 2016)
“Man belo ka gia kami me tanang kang kami (makan sirih aja kami udah
tenang)
(Komunikasi Interpersonal 17 Mei 2017)
Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa lanjut usia dipengungsian

erupsi Gunung Sinabung juga mencoba untuk mengatasi stres yang dirasakan
dengan cara unik seperti mengunyah atau menyontil sirih, membuat kerajinan
tangan, membersihkan posko pengungsian dan memasak secara bergantian. Cara
tersebut merupakan cara yang efektif yang dapat membantu lanjut usia untuk
dapat menyesuaikan diri diposko pengungsian dan menurunkan tekanan yang
dirasakan.

Gambar 1.3. Coping lanjut usia diposko pengungsian

Universitas Sumatera Utara

9

Secara sederhana coping dapat dimaknai sebagai cara untuk memecahkan
masalah. Coping stress diketahui untuk mempengaruhi individu dalam situasi
stres (Sanjeev & Bhukar, 2013). Coping melibatkan transaksi secara terusmenerus terhadap lingkungannya (Sarafino, 2011). Menurut Weiten dan Lloyd
(dalam Indrawati, 2006) mengatakan coping merupakan upaya untuk mengatasi,
mengurangi dan mentolerir ancaman yang tercipta karena stres. Menurut Lazarus,
Folkman dkk (dalam Taylor, 2006) coping berfungsi untuk mengubah situasi yang
menyebabkan timbulnya stres atau mengatur reaksi emosional yang muncul

karena suatu masalah. Menurut Lahey (2012) coping stress dapat dibagi menjadi
dua strategi yaitu effective coping dan ineffective coping. Effective coping
merupakan cara efektif untuk mengatasi baik menghapus stres atau mengontrol
reaksi seseorang sedangkan ineffective coping merupakan mengatasi stres yang
memberikan solusi sementara dari ketidaknyamanan yang dihasilkan oleh stres,
tidak memberikan solusi jangka panjang dan bahkan dapat membuat masalah
menjadi lebih buruk lagi.
Ketika seseorang mempunyai mekanisme coping yang efektif dalam
menghadapi stres, maka sumber stres tidak akan menimbulkan kesakitan tetapi
akan mendatangkan wellness. Individu yang dapat melakukan coping dengan baik
maka ia dapat menyesuaikan tuntutan lingkungan dengan baik pula (Chaplin
dalam Khasa & Wijanarco, 2011).
Setiap individu melakukan coping stress dengan cara-cara yang unik. Coping
stress sangat diperlukan bagi korban bencana terutama pada lanjut usia yang
merupakan salah satu kelompok yang rentan. Dalam situasi bencana kebutuhan

Universitas Sumatera Utara

10

fisik dan psikologis yang sangat terganggu menyebabkan lanjut usia tidak dapat
menyesuaikan diri sehingga mengalami stres. Ketika lanjut usia dapat melakukan
coping stress maka mereka dapat menikmat kehidupannya, merasakan
kebahagiaan dan mampu menyesuaikan diri tanpa ada hambatan yang dialami
walaupun dalam situasi bencana.
Dari pemaparan diatas dapat dilihat dari fenomena yang terjadi akibat
erupsi Gunung Sinabung akan diteliti bagaimana gambaran coping stress pada
penyintas lanjut usia bencana erupsi Gunung Sinabung
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana gambaran coping stress berdasarkan strategi effective dan ineffective
pada penyintas lanjut usia bencana erupsi Gunung Sinabung
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang coping
stress pada penyintas lanjut usia bencana erupsi Gunung Sinabung di Posko
Pengungsi UKA Kabupaten Karo
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah hasil penelitian ini mampu menjadi
sumbangan keilmuan bagi studi psikologi pada umumnya dan mengetahui
bagaimana gambaran coping stress pada lanju usia penyintas erupsi Gunung

Universitas Sumatera Utara

11

Sinabung. Selain itu dapat menjadi bahan acuan dalam penelitian selanjutnya
tentang gambaran coping stress pada lanjut usia yang menjadi penyintas erupsi
Gunung Sinabung
b. Manfaat Praktis
Memberikan informasi kepada masyarakat dan berbagai pihak yang
berhubungan dengan kelompok lanjut usia seperti pemerintah sebagai pembuat
kebijakan, perawatan dan pendamping lanjut usia, keluarga dan lingkungan sekitar
tentang gambaran coping stress pada lanjut usia yang menjadi penyintas erupsi
Gunung Sinabung.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi
objek penelitian. Konsep teori yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah
tentang stres, coping stress, lanjut usia dan erupsi Gunung Sinabung.

Universitas Sumatera Utara

12

BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisi penjelasan mengenai alasan dipergunakannya pendekatan
kualitatif, responden penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu
pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian serta
metode analisis data.
BAB IV : HASIL ANALISIS DATA
Bab ini berisi deskripsi data, interpretasi data dan hasil wawancara yang
dilakukan dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan
teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah
ditentukan sebelumnya
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi kesimpulan dan saran mengenai stres dan coping stress pada lanjut
usia penyintas bencana erupsi Gunung Sinabung

Universitas Sumatera Utara