BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. STRES Konsep tentang stres merupakan suatu konsep yang sulit dipahami. Ibaratnya, semua orang tahu makna dari konsep ini, tetapi tidak akan ada orang

  yang bisa mendefinisikannya dengan cara yang sama (Rice, 1992). Dengan melihat sejarah konsep ini, kita juga akan tahu bahwa memahami dan mendefinisikan konsep stres telah menimbulkan kebingungan, kerumitan, bahkan permasalahan, sehingga dalam perkembangannya, para peneliti mengkonsepkan istilah stres ke dalam tiga cara, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres sebagai penilaian individu mengenai dirinya dan lingkungan (DiMatteo, 1990).

  Stres diartikan sebagai suatu stimulus (dapat diartikan sebagai stressor) yang memunculkan perasaan tegang. Stressor bisa berupa peristiwa-peristiwa yang menggemparkan seperti bencana alam, perubahan hidup yang signifikan, konflik, situasi yang mengganggu, dan kondisi lingkungan atau tempat tinggal (Lahey, 2010). Selanjutnya, stres sebagai repon merupakan suatu proses yang melibatkan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya (Lazarus & Folkman, dalam DiMatteo, 1990).

  Tingkatan stres yang dirasakan oleh individu ketika merespon peristiwa- peristiwa dalam lingkungannya tergantung besarnya kecocokan antara aspek- Individu secara aktif akan menentukan dampak sebuah stressor pada pemikiran, perasaan, dan perilakunya. Pandangan ini berpendapat bahwa lingkungan yang

  

stressful akan mengganggu fungsi fisik, keseimbangan psikologis, dan hubungan

individu dengan oranglain.

  Pandangan ke tiga menyatakan bahwa apa yang individu pikirkan tentang tuntutan (demand) dalam situasi dan apa yang ia pikirkan tentang kemampuan dan sumber daya (resource) yang ia miliki untuk menerima tuntutan tersebut adalah hal yang sangat penting (Lazarus & Folkman, dalam DiMatteo, 1990). Jika individu percaya bahwa tuntutan dalam lingkungan sosial dan fisik melebihi kemampuan dan sumber daya yang ia miliki, individu tersebut akan mengalami stres. Sebaliknya, jika lingkungan tidak banyak memberikan tuntutan pada individu, maka hanya sedikit stres bahkan tidak ada stres yang akan dialami individu.

B. PENANGANAN STRES (COPING STRESS)

1. Pengertian Penanganan Stres (Coping Stress)

  Penanganan (coping) adalah suatu istilah yang populer digunakan. Orang- orang banyak berbicara tentang usaha mereka untuk menangani permasalahan yang mereka hadapi, di waktu lain, mereka mungkin mengatakan bahwa mereka tidak bisa menangani permasalahan yang lainnya (DiMatteo, 1990). Dalam perspektif psikologi, definisi coping yang paling umum dipakai, dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1984), yang mendefinisikan coping sebagai

  

of the person”. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai usaha kognitif dan

  perilaku yang secara konstan berubah untuk mengelola tuntutan ekternal dan internal tertentu yang dinilai sebagai pengganggu dan melebihi sumber daya yang dimiliki seseorang.

  Tokoh lain mendefinisikan coping sebagai proses yang digunakan seseorang untuk menangani tuntutan yang menimbulkan stres (Atkinson, 1993).

  

Coping juga diartikan sebagai upaya seseorang dalam mengatasi masalah dan

menangani emosi yang umumnya negatif (Davidson, Neale, & Kring, 2006).

  Menurut Dalton, Elias, & Wandersman (2007), coping adalah respon atau strategi yang digunakan seseorang untuk mengurangi stres. Selanjutnya Lahey (2010), menggambarkan coping sebagai usaha yang dilakukan individu untuk menangani sumber stres dan usaha untuk mengontrol reaksi mereka terhadap sumber stres tersebut.

  Secara teknis, coping didefinisikan sebagai segala usaha yang dilakukan individu untuk menangani tuntutan dalam situasi yang stressful. Ketika individu sedang berusaha untuk coping, ia akan mencoba untuk menghadapi kesenjangan antara tuntutan dari situasi stressful dengan kemampuan mereka untuk mengatasi tuntutan tersebut (Coyne & Holroyd, dalam Rice, 1992). Idealnya, individu akan memfokuskan usaha mereka untuk memperbaiki permasalahan yang dihadapi, tetapi untuk menghadapi kesenjangan antara tuntutan situasi dan kemampuan mereka sendiri, mereka terkadang juga melarikan diri atau menghindari situasi yang mereka anggap mengancam atau bisa saja mereka secara pasif menerima

  Lalu, apa sebenarnya yang menjadi penentu utama respon coping yang dilakukan ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan? Menurut pendekatan disposisional, faktor yang ada dalam diri individulah yang mendasari pilihan

  

coping, dan faktor ini juga yang membuat individu cenderung menggunakan gaya

coping yang relatif sama ketika dihadapkan dengan permasalahan dan situasi yang

  menekan. Menurut Dalton dkk.(2007), faktor ini meliputi faktor genetik dan biologis, trait kepribadian, kondisi kesehatan individu dan pengalaman hidup yang terdahulu. Sedangkan pandangan contekstual mengasumsikan bahwa faktor situasi atau lingkunganlah yang membentuk pilihan coping individu. Faktor ini meliputi tren ekonomi, tekanan sosial dan politik, dinamika keluarga, tradisi budaya, dan ancaman lingkungan.

  Menurut DiMatteo (1990), coping merupakan proses yang dinamis. Berbagai macam strategi coping mungkin telah dilakukan oleh individu dan umpan balik (feedback) tentang keberhasilan pada suatu tipe coping akan memacu seseorang untuk mencoba lagi tipe coping tersebut. Sedangkan jika gagal, disisi sebaliknya, akan membawa individu untuk mengganti dengan tipe coping yang lain. Individu secara berkelanjutan akan menilai lingkungan dan kemampuannya untuk melakukan suatu coping. Sejalan dengan DiMatteo, Dalton dkk. (2007) menyatakan bahwa coping juga merupakan proses yang dinamis, yang dapat berubah setiap waktu, tergantung pada tuntutan situasi, ketersedian sumber daya dan penilaian yang terus menerus.

  Dalam literatur-literatur ilmiah, berbagai konsep mengenai coping dikembangankan berdasarkan fungsinya. Teori ini dikembangkan oleh Richard Lazarus dan koleganya (1984), ia mengatakan bahwa coping menyajikan dua fungsi utama, yaitu untuk bertindak secara langsung terhadap penyebab stres atau untuk mengontrol respon emosi yang ditimbulkan dari penyebab stres tersebut. fungsi coping ini dikenal dengan Problem-focused coping dan Emotion-focused coping.

  Berdasarkan kategori fungsi coping tersebut, Moos (1995) mengemukakan konsep coping yang multidimensional yang didasarkan pada dua sistem klasifikasi yakni orientasi coping dan metode coping. Orientasi coping terdiri dari dua tipe yaitu Problem-focused yang ia namakan dengan Approach coping dan Emotion-

  

focused yang ia namakan dengan Avoidance coping. Metode coping juga terdiri

  dari dua kategori, yaitu kognitif yang merupakan proses mental di dalam diri untuk menangani stres dan perilaku yang merupakan respon eksternal. Lebih lanjut konsep Approach-oriented dan Avoidance-oriented coping ini yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2. Strategi Coping Stress

  Moos (1993) mengklasifikasikan strategi coping ke dalam dua kategori yaitu Approach-oriented dan Avoidance-oriented. Approach-oriented mengacu pada strategi-strategi baik kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk memahami penyebab stres dan berusaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapinya secara langsung. Sedangkan Avoidance-oriented mengacu

  Pada dasarnya, tidak ada coping tertentu yang dikatakan paling efektif untuk menangani stres. Setiap coping tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Approach Coping sangat baik digunakan apabila seseorang memfokuskan diri pada informasi yang hadir di situasinya dan mengambil tindakan untuk mengurangi dan mengatasi sumber stres. Orang-orang yang menghadapi situasi yang menekan dan mengancam dirinya dengan menggunakan Approach Coping akan melibatkan usaha-usaha kognitif dan perilaku yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman jangka panjang.

  Akan tetapi, apapun itu baik Approach maupun Avoidance, kesuksesan penggunaannya juga bergantung pada seberapa lama (durasi) stressor yang hadir (Taylor, 2009). Bagi orang-orang yang menggunakan Avoidance coping mungkin akan lebih baik dalam menghadapi ancaman jangka pendek (Taylor, 2009). Akan tetapi, jika ancaman terus terulang kembali, penggunaan Avoidance coping ini tidak lagi berhasil. Hal ini dikarenakan orang-orang yang menangani stres dengan mungkin tidak melakukan usaha kognitif dan perilaku untuk

  Avoidance Coping

  menghadapi dan mengatasi masalah-masalah jangka panjang (Taylor & Stanton, 2007). Penelitian membuktikan bahwa, pada umumnya ApproachCoping diasosiasikan dengan hasil yang baik, seperti menurunnya tingkat stres.

  Sedangkan AvoidanceCoping diasosiasikan dengan dampak psikologis dan kesehatan yang buruk (Zeidner & Endler, 1996).

  Penelitian mengenai coping pun terus dilakukan. Beberapa peneliti menjelaskan penggunaan coping dengan lebih spesifik dan mendalam. Stone dan

  

coping sehari-hari. Studi ini dilakukan untuk melihat perubahan penggunaan

coping seseorang dari hari-hari dan pengaruhnya terhadap kesehatan dan

  psikologis. Kesimpulan dari penelitian ini menyebutkan bahwa orang-orang yang bisa mengganti (shift) strategi coping mereka untuk menghadapi tuntutan-tuntutan situasinya lebih baik dalam menghadapi stres dari pada mereka yang tidak. Artinya adalah, orientasi coping baik Approach maupun Avoidance barangkali berguna lebih baik untuk jenis stressor yang berbeda. Secara keseluruhan, penelitian-penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang fleksibel menggunakan orientasi coping, akan menangani stres dengan lebih baik (Cheng, dalam Taylor, 2009).

  Berikut akan dijelaskan mengenai Approach Coping dan Avoidance Coping beserta strategi-strategi yang mengacu pada kedua orientasi tersebut.

  a.

   Approach-Oriented Coping Approach-Oriented Coping merujuk pada strategi kognitif dan perilaku

  yang digunakan secara langsung terhadap suatu stressor. Strategi ini meliputi usaha untuk memahami dan merubah cara berpikir tentang permasalahan, penyebab permasalahan dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut beserta konsekuensinya secara langsung (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat empat strategi yang merupakan Approach-oriented coping yaitu :

  1) Logical Analysis Logical analysis adalah usaha kognitif yang dirancang untuk

  Mereka yang menggunakan logical analysis akan memikirkan cara- cara tertentu dan cara yang berbeda untuk menerima suatu permasalahan.

  2) Positive Reappraisal Positive reappraisal adalah usaha kognitif yang bertujuan untuk

  menyusun kembali permasalahan dalam bentuk yang positif ketika sedang menerima keyataan suatu situasi. Salah satu usaha tersebut seperti berpikir bahwa diri kita lebih baik dari pada oranglain yang mengalami permasalahan yang sama.

  3) Seeking Guidance and Support Seeking guidance and support merupakan usaha perilaku untuk mencari informasi, panduan atau dukungan untuk menerima stressor.

  Hal ini bisa dilakukan adalah dengan berbicara kepada teman tentang permasalahan yang dihadapi, meminta saran, atau meminta pertolongan mereka.

  4) Problem Solving Problem solving merupakan usaha perilaku untuk menerima secara

  langsung permasalahan dan memecahkan masalah tersebut. individu yang melakukan pemecahan masalah akan membuat suatu perencanaan-perencanaan tentang perilaku apa yang sebaiknya ia ambil, lalu kemudian menjalankan perencanaan tersebut.

  b.

   Avoidance-Oriented Coping Avoidance-Oriented Coping merujuk pada strategi yang digunakan untuk

  pergi menjauh dari sumber tekanan (stressor) untuk melegakan stres dengan mengekspresikan emosi dan mencari sumber kesenangan lain. Strategi ini meliputi usaha kognitif untuk menolak stressor dan usaha perilaku untuk menarik diri dan menghindari stressor tersebut (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat empat strategi yang merupakan Avoidance-oriented coping yaitu

  1) Cognitive Avoidance Cognitive avoidance merupakan suatu usaha kognitif untuk

  menghindari berpikir tentang permasalahan dan stressor. Individu yang melakukan Cognitive Avoidance, cenderung berusaha untuk menolak permasalahan secara keseluruhan, tidak mau memikirkan tentang masalah padahal ia ada di situasi tersebut, dan berusaha menolak sumber penyebab permasalahan yang terjadi.

  2) Acceptance or Resignation Acceptance or resignation merupakan suatu usaha kognitif untuk

  merespon masalah dengan menerima dan memasrahkannya, karena berpikir bahwa tidak ada yang bisa dilakukan pada permasalahan tersebut. Mereka berpikir bahwa sudah tidak ada lagi harapan pada situasi yang mereka hadapi.

  3) Seeking Alternative Reward Seeking alternative reward merupakan usaha perilaku untuk

  mengurangi dampak stres yang disebabkan oleh permasalahan dengan mencari kepuasan dalam bentuk lain.

  4) Emotional Discharge Emotional discharge merupakan usaha perilaku untuk menangani

  tegangan dengan mengekspresikan perasaan yang negatif. Mereka yang melakukan ini akan berteriak dan meluapkan emosi yang ada dalam diri mereka.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress

  Menurut Taylor (2009), coping stress dipengaruhi oleh sumber daya

  

(resources) yang dimiliki oleh individu. Sumber daya ini berasal dari dalam diri

(internal) dan luar diri (eksternal).

  a.

  Sumber daya internal 1)

  Karakteristik Kepribadian Peneliti telah menunjukkan bahwa karakteristik yang ada dalam masing-masing individu akan memperngaruhi bagaimana cara mereka mengelola peristiwa-peristiwa yang menekan yang dikaitkan dengan penurunan distres dan kesehatan yang lebih baik (Taylor & Stanton, 2007). Karakteristik kepribadian ini bisa berupa keterampilan mengatur diri (self regulation skilss), self esteem, self efficacy,

  2) Usia

  Para ilmuan psikologi mengganggap bahwa proses coping akan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia, tetapi pendapat ini masih belum terlalu jelas karena minimnya penelitian khususnya dalam studi longitudinal (Aldwin & Brustrom, dalam Sarafindo & Smith, 2011). Sejauh ini, beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya usia, individu akan cenderung mengembangkan dan menggunakan strategi coping yang lebih beragam. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif dan kemampuan untuk beradaptasi, individu akan semakin memperhatikan tuntutan hidup yang semakin bertambah sesuai dengan tingkatan usianya (Sarafindo & Smith, 2011). 3)

  Jenis Kelamin Pada dasarnya laki-laki dan perempuan cenderung menggunakan strategi yang berbeda ketika menghadapi suatu permasalahan. Menurut Pilar (2003) dalam penelitiannya yang berjudul gender differencess in

  stress and coping styles, ia menyatakanbahwa pada umumnya

  perempuan secara signifikan lebih tinggi dari pada laki-laki dalam menggunakan strategi avoidancecoping dan berorientasi pada emosi.

  b.

  Sumber daya eksternal 1)

  Materi Materi yang dimiliki oleh individu bisa berupa uang, pekerjaan, spesifik, Gibbs & Montagnino (2002) dalam penelitiannnya pada 30 dari 40 sampel yang diteliti bagaimana status sosial ekonominya, menemukan bahwa rendahnya status sosial ekonomi seseorang diasosiasikan dengan peningkatan distress. Dinyatakan juga bahwa individu yang hidup dalam kemiskinan cenderung memiliki lebih sedikit sumber daya yang tersedia untuk mengurangsi dampak negatif bencana. 2)

  Lingkungan Sosial dan Budaya Lingkungan sosial dan tradisi, ritual, kepercayaan, dan cerita rakyat yang ada dalam suatu budaya akan mempengaruhi individu dalam menilai situasi yang mereka hadapi, bahkan juga mempengaruhi mereka dalam pemilihan coping (Dalton dkk., 2007).

  3) Dukungan Sosial

  Dukungan sosial merupakan berbagai dukungan materi dan sosial yang diterima oleh seseorang dari oranglain (Brannon & Feist, 2007).

  Dukungan sosial ini bisa diberikan oleh orangtua, pasangan, kerabat, teman, dan komunitas sosial.

  4) Tingkat Pendidikan

  Tingkat pendidikan akan mempengaruhi perkembangan kognitif seseorang, yang mana jika semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin berkembang pulalah kognitifnya, dan ini akan mempengaruhi bagaimana penilaian individu terhadap lingkungannya. (Sarafindo dan Individu yang memiliki sumber daya yang lebih besar akan memiliki penanganan terhadap stres lebih baik, hal ini dikarenakan sumber daya seperti uang, dukungan dari teman, budaya, dan sumber daya lain akan menyediakan lebih banyak cara untuk menerima situasi tersebut Taylor (2009). Akan tetapi, jika individu dihadapkan dalam situasi menekan dalam waktu yang cukup lama, sumber daya yang ia miliki bisa berkurang, bahkan tidak memadai lagi untuk menghadapi situasi tersebut (DiMatteo, 1990).

C. PENYINTAS

  Bencana alam datang tanpa peringatan, meskipun kebanyakan orang memiliki kesempatan untuk mempersiapkan bencana yang datang, tetapi tetap saja, datangnya bencana dapat membawa perubahan yang dramatis dan traumatis. Pada korban bencana alam yang selamat atau yang disebut sebagai penyinyas tentunya merasa bersyukur. Akan tetapi, bagi mereka pribadi bencana

  (survivors)

  tentunya menyisakan kepedihan dan cidera bahkan bisa mengalami depresi dan gangguan emosional. Peristiwa bencana alam ini pun bisa berdampak pada kondisi emosi, psikologis, spiritual, finansial, dan sosial para penyintas (Carmen, 2011).

  Segera setelah bencana alam, penyintas mungkin mengalami perasaan yang campur aduk. Tentu saja akan ada sukacita dan lega karena selamat dari bencana. Tetapi begitu adrenalin mereda, penyintas mungkin mengalami gejala negatif, seperti kecemasan, kesulitan tidur, sensitif, depresi, masalah konsentrasi, dan mudah tersinggung. Hal tersebut merupakan reaksi yang umum yang juga dapat mengalami gejala fisik seperti kram, pusing, reaksi alergi serta adanya keluhan-keluhan yang berhubungan dengan syaraf dan sakit kepala (Carmen, 2011). Dampak sosial yang dialami penyintas antara lain membatasi dan menarik diri dari pergaulan, menghindari relasi-relasi sosial, meningkatnya konflik dalam berhubungan dengan orang lain (Agustin, Kartini, & Pratiwi, 2010).

  Dari berbagai dampak yang timbul tersebut, satu hal penting yang perlu disadari ialah bahwasannya reaksi-reaksi yang muncul adalah suatu yang normal ketika seseorang menghadapi peristiwa bencana alam. Hanya saja, bisa gejala tersebut tetap berlangsung selama berbulan-bulan ini bisa mengindikasikan adanya masalah serius yang mungkin perlu ditangani (Miller, 2013).

D. BENCANA ALAM ERUPSI GUNUNG SINABUNG

  Bencana alam merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikontrol, merupakan peristiwa yang sering terjadi dan tidak diragukan lagi akan terjadi (Nickerson 2008), dan hal ini dapat mengancam kelangsungan hidup individu melalui kehancuran lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992).

  Selanjutnya,Brannon dan Feist (2007) menjelaskan bahwa, datangnya bencana alam dapat menyebabkan kematian orang-orang dalam jumlah besar, menciptakan stres, duka cita, dan ketakutan pada orang-orang yang selamat dari bencana.

  Bencana alam merupakan salah satu bentuk peristiwa negatif yang terjadi dalam kehidupan, yang dapat menyebabkan perubahan besar bagi suatu komunitas, daerah, dan negara (Dalton dkk., 2007), dan ini bisa menjadi salah keluarga. Bencana alam mungkin juga akan menyebabkan korban massa, kehancuran dan kehilangan harta benda, serta akan mengganggu jaringan sosial dan aktivitas sehari-hari (Ursano & Norwood, 2003).

  Selanjutnya, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bencana alam erupsi Gunung Sinabung. Gunung Sinabung adalah gunung yang terletak di dataran tinggi Tanah Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Gunung dengan ketinggian 2.460 meter diatas permukaan laut ini tergolong kedalam gunung berapi dan merupakan gunung tertinggi di Sumatera Utara. Gunung yang dikelilingi dengan hutan ini merupakan salah satu gunung penghasil air yang banyak dan sangat subur. Karena kesuburan tanah dan banyaknya air yang dihasilkan dari gunung Sinabung membuat masyarakat sekitar memanfaatkan kaki gunung ini untuk ditanami sayur-sayuran atau buah-buahan.

  Namun, pada bulan september 2013, gunung Sinabung ini meletus. Menurut (Ursano & Norwood, 2003), letusan gunung berapi dapat menimbulkan beberapa dampak negatif bagi lingkungan, seperti banyaknya ternak yang mati, dan rusaknya ribuan kebun, ladang, atau sawah. Bencana dan bahaya letusan gunung api juga akan berpengaruh bagi kehidupan. Bahaya yang muncul diakibatkan oleh material yang dikeluarkan secara langsung saat terjadi letusan. Daerah-daerah yang terkena bahaya ini meliputi daerah sekitar puncak gunung, daerah sekitar puncak, dan bisa mencapai jarak sepuluh kilometer dari gunung.

  Ginting (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa letusan gunung Sinabung pada tahun 2010, menimbulkan kabut asap yang disertai hujan pasir dan dibawah radius enam kilometer. Karena debu ini sangat panas, tanaman tersebut terancam gagal panen dan diperkirakan mengalami kerugian hingga dua puluh sembilan milyar. Selama masa bencana di tahun 2010 ini, diperkirakan sekitar 21.141 jiwa masyarakat yang mengungsi di pos-pos pengungsian.

  Gunung Sinabung kembali meletus pada bulan September 2013, gunung ini dinaikkan statusnya dari Waspada (level 2) ke Siaga (level 3), sempat diturunkan kembali menjadi Waspada tanggal 29 September 2014, kemudian langsung dinaikkan menjadi Awas (level 4) setelah terjadi letusan dahsyat pada 25 November 2013. Status Awas pada Gunung Sinabung, mengindikasikan semakin meningkatnya aktivitas gunung dan adanya peningkatan intensitas letusan, serta semakin meluasnya lontaran batu material berukuran tiga sampai empat sentimeter, hingga mencapai jarak empat kilometer (Arfa, 2013).

  Pada bulan Desember 2013 lalu, aktivitas Gunung Sinabung terus mengalami peningkatan, salah satunya ditandai dengan terbentuknya kubah lava.

  Kubah lava yang terus tumbuh dan membesar inilah yang menjadi sumber bagi awan-awan panas yang keluar sejak awal tahun 2014. Tentunya, jika volume kubah bertambah besar maka semakin rentanlah terjadi longsor dan jika terjadi longsor maka semakin jauh pulalah jarak hempasannya dari kaki gunung (Sudibyo, 2014). Dalam rangka menghindari hempasan tersebut, masyarakat yang beda di sekitar kaki Gunung Sinabung harus diungsikan ke pos-pos pengungsian yang telah disediakan. Tercatat hingga 20 Januari 2014, sebanyak 28.536 jiwa yang tinggal di radius tiga sampai tujuh kilometer dari kaki Gunung Sinabung harus diungsikan (Situs Resmi Pemerintah Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24 Juni 2014).

  Sampai bulan Maret 2015, Gunung Sinabung masih dinyatakan darurat bencana. Gunung ini masih terus menunjukkan aktivitasnya, bahkan kembali meletus pada akhir maret 2015 lalu. Jika kita tarik mundur, maka terhitung sudah satu tahun lima bulan lamanya masyarakat mengalami bencana, ini merupakan waktu yang tergolong lama dibandingan dengan bencana alam lain yang pernah terjadi.

E. PARADIGMA BERPIKIR

  Tuntutan (Demand) 1.

  Pindah Lokasi 2. Melanjutkan kehidupan 3. Memenuhi kebutuhan sehari-hari

  Kondisi lingkungan yang unpredictable dan uncontrollable

  Hadirnya berbagai tuntutan lingkungan Sumber Daya (Resource) 1.

  Hilangnya harta benda 2. Hilangnya mata pencaharian

  3. Perubahan jaringan sosial 4.

  Kehilangan anggota keluarga

4. Rusaknya tempat tinggal 5.

  5. Masalah Kesehatan

Stress

  

Coping with Stress

Bencana Alam Erupsi

  

Gunung Sinabung

Sumber daya eksternal Sumber daya internal

  Berkurangnya sumber daya yang dimiliki Approach-oriented

  Logical Analysis Positive Reappraisal Seeking Guidance and

  Avoidance-oriented Cognitive Avoidance Acceptance/Resignation Seeking Alternative

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Proses Transesterifikasi Minyak Kelapa Sawit Menggunakan Novozym® 435 dalam Sistem Pelarut ChCl untuk Menghasilkan Biodiesel

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu 2.1.1 Teori Agensi - Pengaruh Pengadopsian Isa, Ukuran Klien Audit, Kompleksitas Audit, Risiko Litigasi, Profitabilitas Klien, Dan Jenis Kap Terhadap Professional Fee

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Pengadopsian Isa, Ukuran Klien Audit, Kompleksitas Audit, Risiko Litigasi, Profitabilitas Klien, Dan Jenis Kap Terhadap Professional Fee

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Bank - Pengaruh Kualitas Aktiva Produktif, Tingkat Suku Bunga dan Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap Profitabilitas pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2010-2013

0 2 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perbankan berperan sebagai salah satu lembaga keuangan kepercayaan - Pengaruh Kualitas Aktiva Produktif, Tingkat Suku Bunga dan Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap Profitabilitas pada Perusahaan Perbankan yang

0 0 8

PROGRAM STUDI STRATA I AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 PERNYATAAN - Pengaruh Kualitas Aktiva Produktif, Tingkat Suku Bunga dan Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap Profitabilitas pada Perusa

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat

0 0 51

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat

0 0 11

Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat

0 0 15

Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

0 0 27