Peranan Institusi Agama Islam dalam Pela

Peranan Institusi Agama (Islam) dalam Pelaksanaan Negara:
Studi Pengalaman Indonesia dan Pakistan
Oleh: Wahyudin Darmalaksana, M.Ag.1

Abstak:
Tulisan ini tidak berpretensi untuk menggiring pada pemisahan agama
dan negara. Akan tetapi, peranan institusi agama justru dapat menghasilkan
perkembangan sosial politik di masyarakat Muslim dalam formasi sosial Muslim
yang memisahkan antara agama dan negara. Di negara Islam, krisis
kepercayaan terhadap institusi negara berimplikasi terhadap krisis kepercayaan
terhadap institusi agama. Justru sebaliknya di negara Muslim sekuler, institusi
agama akan dapat memperoleh pengaruh yang kuat apabila menjalankan
peranannya secara efisien.
Peranan institusi agama menghendaki terbentuknya otonomi institusional
dalam berbagai aspek, seperti politik, hukum, ekonomi, sains, pendidikan,
kesehatan, dan agama. Otonomi institusi agama berperan menghubungkan
dirinya dengan sistem-sistem sosial lainnya dalam masyarakat. Yakni untuk
diterapkan ke dalam masalah-masalah yang muncul pada sistem institusional
lainnya, tetapi tidak terpecahkan oleh sistem itu, seperti kemiskinan ekonomi,
korupsi, tekanan politik, dan lain-lain.
Dalam realitasnya, formasi sosial Muslim yang menyatukan agama dan

negara, cenderung untuk berkembang pada waktunya menjadi semacam
formasi sosial Muslim yang memisahkan agama dan negara. Oleh karena itu,
sebuah negara Islam di sini bisa menjadi sebuah jalan untuk perkembangan
sosial politik masyarakat Muslim di mana agama dan negara berdampingan
bersama dalam sebuah hubungan otonomi tetapi saling menguntungkan.

Keywords:
Kepercayaan, Negara Islam, Negara Sekuler, Peranan.

1

Penulis adalah doktor hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

1

Pendahuluan
Orang dapat saja mengasumsikan bahwa kepercayaan publik terhadap institusi
agama akan lebih kuat dalam tatanan sosial yang mengintegrasikan antara agama dan
negara dibanding dalam tatanan yang memisahkannya. Tetapi justru sebaliknya, dalam
kenyataannya institusi agama dipercaya lebih rendah dalam tatanan sosial yang

mengintegrasikan agama dan negara dibanding dalam tatanan yang memisahkannya. 2
Tentu hal ini, tidak diduga sebelumnya, tetapi hal ini merupakan kenyataan yang sulit
dibantah.
Dalam sejarah dunia Islam telah dikenal ada dua jenis institusional Islam:
pertama, konfigurasi institusional yang memisahkan agama dan negara dalam ruang
yang berbeda, yang lazim disebut Negara Sekuler , dan kedua, konfigurasi institusional
yang mengintegrasikan agama dan negara, yang populer disebut

Negara )slam .

Mayoritas masyarakat Muslim dunia berada dalam formasi sosial yang disebutkan
pertama. Sedangkan negara yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam di antaranya
Arab Saudi, Republik Islam Iran, Republik Islam Pakistan, Sudan dan Afganistan.
Riaz Hassan, setelah melakukan penelitian di beberapa negara Muslim, ia sampai

pada kesimpulan bahwa tingkat kepercayaan yang rendah terhadap institusi agama
dalam masyarakat secara negatif mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap institusi
negara. Sebelumnya, Hassan mengetengahkan hipotesis bahwa hubungan antara tingkat
kepercayaan terhadap lembaga agama dan tingkat kepercayaan terhadap lembaga
negara akan lebih kuat pada formasi sosial Muslim yang tidak terpisahkan antara agama

dan negara dibandingkan pada formasi sosial Muslim yang dipisahkan. Justru Hassan
menemukan kenyataan yang sebaliknya, ia menuturkan sebuah negara Islam yang
mengalami krisis kepercayaan yang berakibat pada melemahnya legitimasi politik, pada
kenyataannya dapat menyebabkan erosi kepercayaan terhadap institusi Islam.3
Dari paparan di atas, yang menjadi inti masalanya adalah, bagaimanakah
peranan institusi agama, khususnya untuk memperoleh pengaruh publik yang kuat,

Riaz Hassan telah membuktikan hal ini ketika ia melakukan penelitian sosiologis di
beberapa negara, seperti Mesir, Indonesia, Pakistan dan Kazakhstan. Lihat Riaz Hassan,
Faitlines: Muslim Conception of )slam and Society Terj. Jajang Jahroni, dkk. , Keragaman Iman:
Studi Komparatif Masyarakat Muslim (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 164-169.
3 Ibid., h. 175-176.
2

2

yang pada gilirannya ia akan memperoleh legitimasi sosial politik di dalam
penyelenggaraan negara?

Perbedaan Bentuk Negara: Indonesia dan Pakistan

Untuk menunjuk negara yang menegaskan dirinya sebagai negara Islam dapat
dilihat dalam potret negara Pakistan. Sedangkan untuk negara yang dipandang
menganut sistem sekuler dapat dilihat dalam negara Indonesia. Penunjukan Pakistan
dan Indonesia hanyalah masalah teknis saja dalam mewakili perbedaan dua jenis negara
Muslim antara Negara Islam dan Negara Sekuler.
Indonesia adalah negara Muslim paling besar, dengan perkiraan penduduk pada
1998 sekitar 200 juta, 88 persen adalah kaum Muslim. Seperti halnya hampir semua
negara Muslim, Indonesia adalah negara yang sedang berkembang dengan Gross
National Product (GNP) perkapita pada tahun 1997 yakni 1110 dolar AS. Hingga saat ini,
dikalangan negara-negara berkembanga, Indonesia adalah salah satu negara paling
cepat berkembang secara ekonomis. Tidak seperti negara-negara Muslim lainnya,
Indonesia sangat berhasil dalam menyediakan pendidikan umum bagi warga negaranya.
Keberhasilan kebijakkan pendidikan pemerintah Indonesia dalam tiga dasawarsa
terakhir telah berhasil mengubah profil pendidikan negara ini. Juga Indonesia dapat
melakukan pemulihan setelah dilanda krisis ekonomi.
Hampir semua orang Indonesia adalah Muslim Sunni dan pengikut mazhab
Syafi i. )slam disebarkan oleh para pedagang Asia Selatan dan Arab serta kaum sufi pada

abad ke-13. Pertumbuhan yang cepat terjadi pada abad ke-15 dan ke-16, dan pada abad
ke-18 mayoritas penduduk Jawa dan Sumatera sudah memeluk Islam. Karena pengaruh

sufisme, mistisisme merupakan bagian penting bagi Indonesia, orientasi keagamaan ini
telah memungkinkan Islam Indonesia mengambil simbol dan metafora budaya lokal.
Akibatnya, Islam Indonesia menjadi kenyal, sinkretik, warna-warni, dan berlapis-lapis.
Ungkapannya bercampur baur secara akrab dengan struktur budaya jawa. Kelas
penguasa dan petani menyerap konsep dan praktik Islam ke dalam panteisme India dan
animisme. Kelas pedagang, yang menjadi kelas menengah, lebih banyak mengambil
Islam Timur Tengah dan Asia Selatan sebagai akibat dari aktivitas dagang mereka, dan
akibatnya Islam mereka bersifat doktriner dan puritan.
3

Sebagai akibat dari pengaruh tersebut, Islam Indonesia kontemporer memiliki
dua tradisi yang kokoh. Keduanya diwakili oleh dua organisasi massa. Islam Sufi, atau
Islam popular, yang mendominasi daerah-daerah pedesaan dan pesantren, diwakili oleh
Nahdlatul Ulama, dan Islam skriptualis modernis yang mendominasi wilayah-wilayah
perkotaan, diwakili oleh Muhammadiyah. Para ahli Islam, yang dalam budaya lokal
disebut kiyai, menjadi simbol Islam Sufi atau Islam popular, sementara para intelektual
Muslim mendominasi kegiatan-kegiatan Muhammadiyah.
Kerangka kelembagaan Indonesia sekular didasarkan pada pemisahan yang tegas
antara agama dan negara. Dalam hal ini pemerintah Indonesia meneruskan kebijakan
pemerintah kolonial Belanda. Ideologi negara dikenal sebagai Pancasila dan

diberlakukan secara ketat. Sejak berdiri pada tahun 1945, negara Indonesia diperintah
oleh pemerintahan otoriter yang didominasi tentara. Akibatnya, perkembangan cicil
society telah terganggu, banyak lembaga masyarakat didominasi oleh aparat
pemerintah.4 Walaupun ideologi negara memperoleh banyak tantangan, yang kadang
cukup militan, pemerintah Indonesia secara umum berhasil menerapkan Pancasila
secara ketat.5 Hasilnya adalah masyarakat Indonesia sekular dan masyarakat kapitalis
modern.
Sementara itu, Pakistan, dengan penduduk sekitar 142 juta pada 1998, adalah
negara Muslim terbesar kedua di dunia. Pakistan berdiri pada 1947, setelah anak benua
India tersebut merdeka dari Inggris yang kemudian terbelah menjadi India dan Pakistan.
Ia didirikan sebagai tanah air yang terpisah bagi kaum Muslim di India, terdiri dari
wilayah-wilayah yang mayoritas Muslim di wilayah-wilayah bagian Utara dan Selatan
anak benua ini. Pada Tahun 1972, bagian timur negara ini, memisahkan diri dan
membentuk Banfladesh. Pakistan sekarang terdiri dari provinsi-provinsi Punjab, Sindh,
Baluchistan dan Perbatasan Barat Laut.6

Lihat Fachri Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan; keharusan Demokratisasi dalam
Islam di Indonesia (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 213
5 Lihat Bachtiar Efendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 81. Lihat juga Leo Suryadinata, Elections and

Politics in Indonesia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2002), h. 10-11.
6 Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Cet. III; Bandung:
Mizan, 1996), h. 9.
4

4

Pakistan adalah negara berkembang dengan GNP perkapita 490 dolar AS pada
1997. Ia merupakan salah satu negara paling miskin di dunia. Berbeda dengan
Indonesia, Pakistan memiliki catatan pembangunan yang lambat dan tingkat buta huruf
yang tinggi. Usaha pemerintah untuk menyediakan pendidikan bagi masyarakat tidak
begitu berhasil karena berbagai rintangan, baik bersifat sosial, kultural, maupun
ekonomi. Lebih dari 95 persen penduduk Pakistan beragama Islam. Sekitar 85 persen
orang Pakistan merupakan Muslim Sunni dan mengikuti mazhab Hanafi. Sementara itu
sekitar 15 persen Muslim Pakistan penganut Syi ah. Sejak merdeka Paskistan
berkembang menjadi sebuah negara Islam.

Pakistan bukanlah negara teokratik, undang-undangnya menjelaskan bahwa
Pakistan akan menjadi negara demokratis berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pasal 198
dalam undang-undang menjelaskan bahwa semua hukum harus sesuai dengan ajaran

Islam seperti terdapat dalam Al-Qur an dan Al-Sunnah. Sejak 1971, Islamisasi
diterapkan menjadi kebijakan negara. Yang paradoks adalah bahwa adopsi kebijakan
Islamisasi terbukti menimbulkan perpecahan baik secara sosial maupun politik. Dalam
sejarah Pakistan dikendalikan oleh pemerintah yang otoriter, birokratik dan oligarki
militer. Namun dengan urbanisasi dan industrialisasi, tekanan untuk demokratisasi
proses politik telah mendapatkan momentum. 7
Pada tingkat sosio-kultural, Islam memegang peranan penting dalam kehidupan
orang-orang Pakistan. Namun, seperti halnya banyak di negara Muslim, sektarianisme
agama menjadi fakta kehidupan di Pakistan dan menjadi sumber instabilitas sosial,
politik, dan kekerasan lainnya. Terdapat banyak variasi dalam cara orang
mengartikulasikan, menafsirkan, dan mempraktekkan keyakinan mereka dan mengatasi
implikasinya dalam kehidupan individual dan kolektif. Untuk tujuan analitis, orang bisa
menjelaskan situasi keagamaan dan intelektual Islam di Pakistan dengan menggunakan
paling tidak empat kategori yang berbeda, yaitu legalistik, sufisme (Islam popular),
reformis (liberal), dan revivalis (fundamentalis Islam). Partai keagamaan Jamaat-iIslami beserta Jamiat-e-Ulema Pakistan dan Jamiat-i-Ulema-i-Islam memegang peranan

Lihat Davi Taylor, Politik )slam dan )slamisasi Pakistan dalam (arun Nasution dan
Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h.
137.
7


5

penting dalam Islam revivalis (fundamentalis).8 Dalam tahun-tahun terakhir kelompok
fundamentalis sempalan muncul namun sulit menentukan pengaruhnya.9

Kepercayaan Terhadap Institusi Agama dan Negara:
Kasus Indonesia dan Pakistan
Dari sebuah penelitian di Indonesia dan Pakistan, relatif hampir seluruh
responden mempercayai angkatan bersenjata, pers, televisi, universitas, dan para
intelektual. Namun, institusi-institusi agama seperti ulama, imam masjid, dan kiyai
mendapatkan kepercayaan lebih besar dibandingkan institusi negara. Institusi utama
negara, yaitu parlemen, pengadilan, layanan sipil, dan partai politik mendapat tingkat
kepercayaan yang menengah sampai rendah untuk kebanyakan orang. Angkatan
bersenjata dipercayai cukup besar oleh mayoritas masyarakat, dan khususnya di
Pakistan ia adalah institusi yang paling dipercaya di masyarakat. Namun demikian,
perbedaan yang paling mencolok terkait dengan kepercayaan terhadap institusiinstitusi Islam. Di Indonesia, ulama dan imam masjid adalah institusi yang paling
dipercaya dalam masyarakat sipil. Juga institusi kiyai sangat dipercaya di Indonesia,
tetapi begitu kurang di Pakistan. Di Pakistan situasinya sangat berbeda, tiga lembaga
tersebut dipercaya oleh kurang dari setengah jumlah responden secara keseluruhan.

Tiga institusi lain yang dipercaya oleh mayoritas responden secara signifikan di
Indonesia dan Pakistan adalah para intelektual, universitas dan sekolah. Tingkat
kepercayaan terhadap institusi ini khususnya di Indonesia tergolong tinggi. Media
massa dihargai cukup tinggi di Indonesia dan tidak begitu di Pakistan. Lihat tabel
berikut di bawah ini:

Lihat Yusrill Ihaza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam;
Perbandingan Partai Masyumi dan Partai Jama’at-Islami, (Jakarta; Paramadina, 1998), h. 205
9 Riaz Hassan, Op. Cit., h. 27-28.
8

6

Tabel:
Kepercayaan terhadap institusi-institusi kunci (%) 10
Institusi
Ulama
Imam Masjid
Pirs/Kiyai
Parlemen

Pengadilan
Pelayanan Sipil
Partai Politik
Angkatan Bersenjata
Media Cetak
TV
Perusahaan Besar
Universitas
Sekolah
Intelektual

Indonesia
96
94
91
53
55
58
35
68
84
80
42
88
92
92

Pakistan
48
44
21
22
55
26
12
82
38
31
29
60
71
66

Orang akan mengira bahwa karena Pakistan adalah negara yang memiliki formasi
sosial yang tidak memisahkan agama dan negara, tingkat kepercayaan terhadap
lembaga-lembaga keagamaan seharusnya relatif cukup tinggi. Ternyata hasilnya sangat
berlawanan. Juga orang tidak akan menduga bahwa lembaga-lembaga keagamaan di
Indonesia dihargai cukup tinggi. Kepercayaan pada institusi agama dalam masyarakat
Indonesia kontemporer terlihat dengan jelas sekali. Institusi-institusi negara ini
mendapatkan kepercayaan yang rendah sampai menengah, dan institusi-institusi agama
mendapat pernghargaan yang paling tinggi. Di Pakistan, baik institusi negara maupun
institusi agama mendapatkan kepercayaan yang rendah.11
Dengan demikian, tingkat kepercayaan terhadap institusi agama secara langsung
berhubungan dengan tingkat kepercayaan terhadap institusi negara. Dalam sebuah
negara Islam, kepercayaan yang rendah terhadap negara sekaligus menimbulkan
Riaz Hassan pada saat melakukan survei ini melibatkan 1472 responden di Indonesia
dan 1162 responden di Pakistan. Ibid., h. 37.
11 Dalam sebuah penelitian serupa di Pakistan tahun 1996, sebuah sampel dari 821
responden kota yang dipilih secara acak ditanya mengenai seberapa besar mereka mempercayai
institusi-institusi berikut ini: militer, sarjana agama, industri, pengadilan, koran, parlemen,
politisi, pegawai pemerintahan, dan polisi. Hasilnya adalah: militer 78 persen, sarjana agama 44
persen, industri 38 persen, pengadilan 34 persen, koran 29 persen, parlemen 21 persen, politisi
19 persen, pegawai pemerintahan 17 persen, dan polisi 10 persen.
10

7

kepercayaan yang rendah pula terhadap institusi agama. Tetapi dalam sebuah negara
sekular, kepercayaan yang rendah terhadap institusi negara belum tentu menimbulkan
kepercayaan yang rendah terhadap institusi agama. Justru sebaliknya institusi agama
akan memperoleh pengaruhnya yang kuat berpulang pada efektifitas peranannya dalam
masyarakat.

Menyoal Peranan Institusi Agama dalam Negara
Peranan institusi keagamaan akan memperoleh pengaruh publik bila institusi
tersebut melaksanakan

kinerjanya

secara

efisien.

Menurut

Luhmann,

ketika

membicarakan peranan agama dalam masyarakat modern ia menunjukkan ciri khusus
dari masyarakat modern, yakni perbedaan dan spesialisasi fungsional. Hal ini
menghendaki instrumental fungsional yang otonom seperti politik, hukum, ekonomi,
sains, pendidikan, kesehatan, dan agama. Dalam konteks ini, tingkat pengaruh publik
yang didapatkan oleh agama bergantung pada bagaimana ia menghubungkan dirinya
dengan sistem-sistem sosial lainnya dalam masyarakat. Luhmann menggunakan istilah
fungsi dan performa untuk menganalisis hubungan ini. 12

Fungsi merujuk kepada komunikasi agama murni yang secara beragam disebut

kebaktian dan ibadah, pemeliharaan jiwa, pencarian keselamatan dan pencerahan.
Fungsi adalah komunikasi sosial murni yang melibatkan hal yang transenden dan aspek
yang diklaim oleh institusi agama atas dasar otonomi mereka dalam masyarakat
modern. Kinerja agama, sebaliknya, ketika agama diterapkan kepada masalah-masalah
yang muncul pada sistem institusional lainnya, tetapi tidak terpecahkan oleh sistem itu
atau tidak disinggung di mana pun, seperti kemiskinan ekonomi, korupsi, tekanan
politik, dan lain-lain. Institusi agama memperoleh pengaruh publik melalui peranan
performa dengan memecahkan masalah-masalah non-religius atau profan. Masalah
fungsional agama dalam masyarakat modern adalah masalah performa itu. 13
Teori Luhmann mengharuskan otonomi institusi agama berhadapan dengan
institusi negara dan sub-sistem institusional lainnya, yang oleh Luhmann disebut
sekularisasi . Suatu deduksi logis mengenai hal ini adalah bahwa institusi agama akan
12
13

Ibid., 174.
Ibid., h. 175.

8

memperoleh pengaruh publik yang lebih besar dalam konfigurasi kelembagaan di mana
mereka semua bersifat otonom dari negara. Jika tidak demikian, maka mereka tidak
akan dapat melaksanakan peranan kinerja mereka secara efektif.
Kenyataannya, banyak negara Islam yang merupakan produk dari proses
dekolonialisasi, di mana gerakan-gerakan nasionalis dipegang oleh pemimpin yang
relatif sekular. Negara-negara baru ini telah menentukan identitas mereka dengan
istilah-istilah nasionalis, dan dalam banyak kasus telah memelihara institusi-institusi
hukum, pendidikan dan politik yang sekular yang diwariskan dari masa kolonial.
Meskipun demikian, gerakkan pembaharuan Islam bermunculan di banyak negara
Islam, dan pada umumnya negara-negara tersebut mencela dengan terang-terangan
kecenderungan sekularisasi, dan menyerukan untuk kembali kepada negara yang
menunjukkan identitas keislaman dan mendorong kepada jalan hidup yang Islami. Jalan
hidup Islam yang dibayangkan adalah didasarkan kepada hukum syari ah dan
pemberlakuan institusi agama dalam kehidupan sosial.

Pandangan yang umumnya dijelaskan oleh para sarjana Islam adalah bahwa
Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai blueprint dari tatanan sosial yang
ada dan karena itu Islam mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk hukum dan
negara.14 Akan tetapi, meskipun ada pernyataan umum (dan cita-cita ideal umat Islam)
bahwa institusi-institusi negara dan agama menyatu, dan bahwa Islam adalah jalan
hidup total yang menentukan masalah-masalah politik, sosial dan keluarga, kebanyakan
masyarakat Islam tidak sejalan dengan cita-cita ini, sehingga justru terbangun institusi
negara dan agama yang terpisah. Realitanya, mayoritas masyarakat Muslim mengikuti
formasi sosial yang terdiferensiasi antara agama dan negara.15
Tugas utama negara pada dasarnya adalah memerintah dan mengatur urusan
masyarakat dengan cara yang adil dan tidak memihak. Ketika negara atau institusi
utamanya kurang memiliki legitimasi sosial/politik dalam pikiran rakyat, negara
Lihat Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam; Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 220-224.
15 Indonesia, misalnya, dengan ideologi Pancasila. Ideologi ini diadopsi pada 1945 ketika
Indonesia merdeka dari Belanda. Pada masa itu, pendiri sekaligus presiden RI, Soekarno,
menentang tuntutan-tuntutan dari para pemimpin Islam yang menginginkan sebuah negara
yang berdasarkan Islam, dan membujuk mereka untuk menerima rumusan sekularnya yang
lebih luas. Lihat Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 156
14

9

terkadang menggunakan berbagai macam paksaan untuk menjamin kepatuhan dan
ketundukan masyarakat. Dalam prosesnya mungkin rakyat tidak dapat menghindar
untuk menentang otoriterianisme negara, yang pada gilirannya menimbulkan respon
negara yang jauh lebih otoriter. Hal ini mengakibatkan perlawanan yang lebih jauh,
dengan demikian maka berkembanglah sebuah siklus respon otoriter dan perlawanan.
Negara pada akhirnya dipandang otoriter, opresif, dan tidak adil, dan berakibat pada
mobilisasi politik untuk melawan negara. Institusi masyarakat sipil yang bertindak
sebagai mobilisator dari perlawanan ini kemudian memperoleh kepercayaan publik dan
pada akhirnya mendapatkan penghargaan dan legitimasi yang tinggi di kalangan
masyarakat umum.
Di Indonesia dapat terlihat tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap institusi
agama dan juga institusi masyarakat sipil lainnya, sepeti sekolah, universitas, dan para
intelek di kalangan rakyat. Karena masyarakat ini adalah contoh dari formasi sosial
Muslim yang memisahkan antara agama dan negara, maka institusi agama memainkan
suatu peranan publik dalam mobilisasi perlawanan terhadap negara, dengan demikian
meningkatkan penghargaan mereka dalam pikiran orang banyak. Universitas, sekolah,
dan para intelek di kalangan rakyat juga mendapatkan penghargaan yang tinggi karena
alasan yang sama. Namun di Pakistan situasinya berbeda. Pakistan merupakan contoh
dari sebuah formasi sosial yang tidak memisahkan agama dan negara, dan oleh
karenanya erosi kepercayaan terhadap institusi negara juga memperkecil kepercayaan
terhadap institusi keagamaan yang dianggap sebagai bagian dari negara. Tingkat yang
rendah terhadap institusi keagamaan di Pakistan lebih jauh mengurangi kepercayaan
terhadap institusi negara.
Kurangnya legitimasi negara dapat menyebabkan atau memperbesar perasaan
tidak aman di kalangan masyarakat. Mungkin perasaan tidak aman ini menyebabkan
persepsi yang positif terhadap angkatan bersenjata sebagai kekuatan pengganti untuk
perasaan yang tidak aman. Di Pakistan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi mungkin
juga disebabkan oleh persepsi dalam pikiran rakyat awam terhadap ancaman politik dan
militer dari India, yang karenanya pemerintahan Pakistan mengeluarkan kebijakkan
umum untuk membuat alokasi dana yang besar untuk angkatan bersenjatanya. Kudeta
militer terhadap pemerintahan Perdana Menteri Nawaz Sharif yang terpilih secara
10

demokratis tidak menimbulkan gejolak umum dari rakyat. Sebaliknya, hal itu sebagian
besar disambut baik oleh rakyat Pakistan. Sikap publik ini sesuai dengan temuan bahwa
institusi yang paling dipercaya di Pakistan adalah angkatan bersenjata.
Jelaslah bahwa di mata para elit agama di negara-negara Muslim, ternyata sebuah
negara Islam tidak selalu mendapat perhatian yang terbaik dari institusi agama dan elit
agamanya. Sebab, ketika negara mengalami krisis kepercayaan rakyat, maka
kepercayaan mereka terhadap institusi agama pun akan dapat berkurang juga. Hal ini
bisa mempunyai implikasi sosial, budaya, politik, dan agama yang serius. Yang
terpenting kemudian adalah institusi agama dalam sebuah masyarakat Muslim harus
terus memainkan peranan sosial, budaya dan agama yang konstruktif ketika agama
tetap dipisah dari negara dan ketika institusi ini mendapatkan tempat yang layak dalam
konfigurasi institusional di masyarakat.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Dunia Islam mengenal dua jenis institusional negara, yakni Negara Sekuler dan
Negara Islam. Jika contoh negara Islam dapat diwakili oleh Pakistan, maka contoh
negara sekuler dapat diwakili oleh Indonesia.
2. Di Indonesia, negara sekuler, tingkat kepercayaan terhadap institusi-institusi
agama cukup tinggi dibandingkan terhadap institusi-institusi negara. Sedangkan
di Pakistan, negara Islam, baik kepercayaan terhadap institusi agama maupun
institusi negara cukup rendah. Rakyat Pakistan lebih percaya terhadap angkatan
bersenjata.
3. Ternyata, dalam negara Islam, kepercayaan yang rendah terhadap institusi
berimplikasi terhadap kepercayaan yang rendah pula terhadap institusi agama.
Sebab, antara agama dan negara menajadi bangunan yang menyatu. Sedangkan
dalam negara sekuler, kepercayaan yang rendah terhadap institusi negara tidak
secara langsung berimplikasi terhadap rendahnya kepercayaan terhadap
institusi agama. Sebab, antara agama dan negara menajadi bangunan yang
terpisah. Justru bila institusi agama dapat menjalankan peranannya dengan
efisien akan memperoleh pengaruh yang lebih kuat.
11

4. Peranan institusi agama menghendaki terbentuknya otonomi institusional dalam
berbagai aspek, seperti politik, hukum, ekonomi, sains, pendidikan, kesehatan,
dan agama. Otonomi institusi agama berperan menghubungkan dirinya dengan
sistem-sistem sosial lainnya dalam masyarakat. Yakni untuk diterapkan ke dalam
masalah-masalah yang muncul pada sistem institusional lainnya, tetapi tidak
terpecahkan oleh sistem itu, seperti kemiskinan ekonomi, korupsi, tekanan
politik, dan lain-lain.

Dari kesimpulan di atas terdapat beberapa rekomendasi:
1. Bagi elit agama di negara-negara Muslim tidak perlu terpaku ke dalam pemikiran
untuk menyatukan agama dan negara. Sebab, krisis kepercayaan terhadap
institusi agama akan menyebabkan kepercayaan yang rendah pula terhadap
institusi agama, dan pada gilirannya dapat menggangu situasi tidak kondusif
terhadap universalitas Islam.
2. Bagi elit pemerintah akan bijaksana bila menerapkan politik kompromi dan
akomodatif terhadap institusi Islam. Sebab, karena tingkat kepercayaan terhadap
institusi agama berhubungan langsung dengan tingkat kepercayaan terhadap
institusi negara, maka upaya untuk membuat Islam tidak stabil dapat memiliki
konsekuensi yang buruk bagi tingkat kepercayaan dan juga legitimasi negara.
3. Bagi elit agama dan pemerintah, yang telah terlanjur menyatukan agama dan

negara, harus dapat membuka jalan bagi untuk perkembangan sosial politik
masyarakat Muslim, sekalipun pada gilirannya harus merelakan konsekuensi di
mana agama dan negara kemudian menjadi berdampingan bersama secara ideal
dalam sebuah hubungan otonomi tetapi saling menguntungkan.

12

Daftar Pustaka
Bachtiar Efendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos, 1999.
Davi Taylor, Politik )slam dan )slamisasi Pakistan dalam (arun Nasution dan
Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989.
Fachri Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan; keharusan Demokratisasi dalam Islam
di Indonesia (Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Leo Suryadinata, Elections and Politics in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies, 2002.
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010.
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Cet. III; Bandung: Mizan,
1996.
Riaz (assan, Faitlines: Muslim Conception of )slam and Society , Terj. Jajang Jahroni,
dkk., Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006.
Yusrill Ihaza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam;
Perbandingan Partai Masyumi dan Partai Jama’at-Islami, Jakarta; Paramadina,
1998.

13