Peta Penelitian Kebahasaan di Indonesia

Peta Penelitian Kebahasaan di Indonesia
Satu Sketsa Teoretis
STATISTIKA

ELI ANDRIYANI CAHYANINGRUM
10 001 095
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2013 / 2014

BAB 1
PENDAHULUAN
Seperti apakah peta penelitian kebahasaan di Indonesia ?. Aspek kebahasaan apa yang
paling banyak diteliti di Indonesia? Teori linguistik apa yang paling banyak digunakan dalam
penelitian kebahasaan di Indonesia? Apakah ada teori linguistik yang berbasis masalah
kebahasaan di Indonesia? Dimanakah pusat penelitian kebahasaan yang mengkhususkan aspek
kebahasaan tertentu di Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak mudah untuk dijawab karena beberapa alasan.
Pertama, belum ada pemetaan yang menyeluruh tentang penelitian kebahasaan di Indonesia.

Kedua, belum ada sistem informasi terpadu tentang penelitian kebahasaan di Indonesia.
Publikasi-publikasi yang dapat menjawab pertanyaanpertanyaan ini belum terhimpun atau belum
tersedia secara luas. Ketiga, belum ada jaringan yang menghubungkan peneliti-peneliti bahasa
yang tersebar di seluruh tanah air. Padahal pertanyaanpertanyaan di atas sangat penting untuk
dijawab. Selain untuk mengetahui seperti apa perkembangan penelitian kebahasaan di Indonesia,
termasuk seperti masalah kebahasaan apa yang diteliti, yang jauh lebih penting lagi ialah untuk
memperoleh informasi tentang perkembangan ilmu bahasa, pendekatan, dan teorinya di
Indonesia serta siapa yang menjadi tokoh dalam bidang itu.
Penelitian kebahasaan saling berhubungan erat dengan ilmu bahasa. Ilmu bahasa atau
linguistik, pendekatan, dan teori linguistik sebenarnya berasal atau berkembang dari hasil
penelitian bahasa. Tidak mengherankan apabila hubungan di antara kedua bidang ini saling
bergantung satu dengan lainnya. Linguistik dan teori linguistik memerlukan sumbangan hasil

penelitian bahasa sementara penelitian bahasa memanfaatkan linguistik dan teori linguistik
sebagai kerangka teoretis penelitian. Dari sisi yang lain, perkembangan linguistik dan teori
linguistik sangat bergantung pada hasil penelitian bahasa karena hanya melalui penelitianlah
teori yang digunakan dapat diuji keandalannya untuk menjawab masalah kebahasaan yang
diteliti. Sebaliknya, semakin handal satu teori semakin baik pemecahan masalah kebahasaan
yang didapatkan.
Hasil penelitian pada dasarnya akan memberikan pengetahuan yang baru dalam bidang

yang diteliti. Dengan demikian, penelitian kebahasaan pun akan memberikan hasil dalam bentuk
pengetahuan baru tentang bahasa atau kebahasaan. Selain itu, pada tingkat tertentu hasil
penelitian ini di antaranya akan memberikan pilihan jawaban terhadap masalah kebahasaan
tertentu atau menawarkan kerangka teoretis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di lain
pihak, sering melalui penelitian ini muncul pula gagasan baru untuk memperbaiki teori yang ada
sehingga keterandalan teori tersebut semakin diakui secara luas.
Dari beberapa uraian di atas, satu pertanyaan lagi muncul di sini. Apakah semakin banyak
penelitian bahasa berarti semakin pesat perkembangan bahasa atau teori linguistik di Indonesia?
Setakat ini, penulis tidak bermaksud menyinggung pertanyaan tersebut dalam tulisan ini.
Biarkanlah kajian yang lain lagi membahas pertanyaan ini dengan tuntas pada kesempatan yang
lain pula.
Dari peta penelitian kebahasaan di Indonesia tentu saja semua pihak berharap mengetahui
banyak hal tentang kebahasaan. Makalah ini mencoba memberikan sketsa awal atau sketsa
teoretis tentang pemetaan penelitian kebahasaan di Indonesia. Ini merupakan sketsa teoretis
karena didasarkan pada pengamatan terbatas di beberapa perguruan tinggi saja. Kemudian hasil

pengamatan ini diuji terhadap hasil statistik dua kasus. Yang pertama penelitian kebahasaan
dalam bentuk penelitian tesis S2 di Universitas Sumatera Utara dengan mengambil 129 judul
tesis. Yang kedua artikel penelitian dalam jurnal Linguistik Indonesia dalam tiga nomor dari
Februari 2007 sampai Februari 2008 dengan 25 judul artikel.

Makalah ini tentu saja tidak dapat menjangkau harapan-harapan yang tersirat dalam
pertanyaan-pertanyaan yang mengawali tulisan ini. Aspek objek kajian dalam peta penelitian
kebahasaan di Indonesia, misalnya hanya berdasarkan pengamatan awal dan studi kasus. Dalam
tulisan ini, teori serta pendekatan teori apa saja yang dapat dipetakan dari penelitian kebahasaan
di Indonesia sama sekali hanya mengandalkan pengamatan dalam lingkup yang sangat terbatas.
Aspek pengkaji atau lembaga yang melakukan penelitian kebahasaan di Indonesia juga tidak
dibahas secara lengkap dalam makalah ini. Dari segi aspek pengkaji atau lembaga yang
melakukan peneliti, penelitian kebahasaan pada umumnya dilakukan oleh perguruan tinggi,
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Bahasa di daerahdaerah, Kementerian
Riset dan Teknologi, dan LIPI. Dalam kasus yang dikemukakan dalam makalah ini, penelitian
kebahasaan dilakukan pada umumnya oleh peneliti di perguruan tinggi. Semua keterbatasan
dalam uraian dalam makalah ini diharapkan dapat ditutupi oleh kajian yang lebih lengkap dan
menyeluruh pada masa yang akan datang.

BAB 2
ISI
1.

Sketsa Pemetaan Kebahasaan
Sejauh ini belum pernah dilakukan pemetaan penelitian kebahasaan di Indonesia yang


berupaya memetakan secara lengkap penelitian kebahasaan dari berbagai aspek. Pemetaan
kebahasaan yang lengkap meliputi aspek objek kajian, misalnya apa bidang kebahasaan yang
diteliti baik mikro maupun makrolinguistik, teori serta pendekatan teori yang digunakan dalam
penelitian, pengembangan teori dan pendekatan (yang tentu saja berbasis data bahasa-bahasa
Nusantara), hasil publikasi dan penyebarannya, dan aspek pengkaji atau lembaga yang
melakukan peneliti. Secara ringkas pemetaan yang lengkap akan mencakup:
1.

objek kajian;

2.

teori yang digunakan;

3.

hasil baru yang diperoleh (teoretis atau praktis);

4.


sumber daya penelitian.
Sebagai pemetaan awal, tulisan ini didasarkan pada pengamatan terhadap penelitian skripsi,

tesis, dan disertasi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Dari segi sistem bahasa, penelitian
kebahasaan cenderung terarah pada penelitian makrolinguistik yang diwakili di antaranya oleh
penelitian sosiolinguistik, pragmatik, dan analisis wacana. Dengan kata lainnya, penelitian
kebahasaan di perguruan tinngi lebih banyak tentang penelitian linguistik terapan sementara

penelitian linguistik (dasar) seperti penelitian fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik bahasa
cenderung lebih sedikit pada beberapa tahun terakhir ini.
Selanjutnya, dengan mengambil kajian tesis pascasarjana linguistik sebagai kasus, peta
penelitian kebahasaan di Indonesia dapat lebih jauh digambarkan dalam sketsa. Kelihatannya
hasil pengamatan awal terhadap kecenderungan penelitian kebahasaan didukung oleh data kasus
yang diperoleh dari program S2 linguistik di Universitas Sumatera Utara. Sosiolinguistik
ternyata menjadi objek penelitian kebahasaan terbanyak dalam tesis mahasiswa, yang kemudian
disusul oleh kajian sintaksis. Sementara itu, kajian kebahasaan dalam pendekatan Linguistik
Fungsional Sistemik termasuk yang banyak dilakukan oleh mahasiswa dalam program studi ini
(periksa Gambar 1).
Gambar 1. Distribusi Penelitian Tesis S2 Linguistik dalam Berbagai Bidang Kajian


Sketsa lainnya diperoleh dari jurnal Linguistik Indonesia dalam kurun waktu Februari
2007-2008. Dari kedua sumber data ini terlihat bahwa pemilihan objek kajian menunjukkan
kecenderungan yang sama.

Dari pengamatan terhadap judul dan isi artikel penelitian yang diterbitkan dalam jurnal
ini diperoleh data tentang bidang kebahasaan yang diteliti. Objek kajian yang cenderung paling
banyak dibahas adalah sintaksis dan sosiolinguistik. Bedanya ialah pada penelitian tesis S2
kajian sosiolinguistik lebih menonjol dari kajian sintaksis sementara dalam jurnal linguistik
sebaliknya kajian sintaksis yang lebih tinggi jumlahnya (Periksa Gambar 2).
Mengapa sosiolinguistik begitu menonjol dalam kajian kebahasaan pada akhir-akhir ini?
Salah satu jawaban yang memungkinkan adalah persoalan bahasa dalam masyarakat
kelihatannya lebih menarik perhatian peneliti karena penelitian seperti ini berhadapan langsung
dengan persoalan aktual yang ditemukan di tengah-tengah masyarakat. Persoalan penggunaan
bahasa dalam berbagai konteks penggunaan memberikan daya tarik tersendiri bagi peneliti.
Selain itu, metodologi yang berbeda dengan penelitian fonologi, morfologi, sintaksis ataupun
semantik juga mungkin menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti. Namun, termasuk hal yang
menjadi salah satu penyebab adalah dorongan yang muncul dari kalangan peneliti di perguruan
tinggi yang kebetulan baru pulang studi lanjut di dalam dan luar negeri dan membawa tradisi
penelitian baru ke lingkungan perguruan tingginya. Tradisi baru penelitian ini pada umumnya

berhubungan dengan sosiolinguistik, pragmatik, ataupun analisis wacana.
Kecenderungan pada penelitian linguistik terapan pada satu sisi termasuk hal yang
menggembirakan karena selain memberikan pengayaan terhadap perbendaharaan penelitian
kebahasaan di Indonesia, penelitian ini juga akan memberikan wawasan keilmuan terhadap
bahasa dalam wawasan kemasyarakatan. Akan tetapi, pada sisi yang lainnya, apabila tidak
terkendali, akan mengabaikan penelitian kebahasaan dalam wawasan linguistik. Ilmu dasar yang
berhubungan dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik cenderung terabaikan karena
rendahnya minat terhadap penelitian bidang-bidang ini. Kekhawatiran ini sebenarnya mulai

terbukti melalui data yang diperlihatkan oleh kedua sumber data yang digunakan di sini (Periksa
Gambar 1 dan 2).

Gambar 2. Distribusi Artikel Penelitian dalam Berbagai Bidang Kajian

Penelitian dasar atau mikrolinguistik masih sangat diperlukan di Indonesia. Indonesia
yang sangat kaya dengan bahasa daerah dan belum seluruh aspek fonologi, morfologi, sintaksis,
dan semantiknya diteliti secara menyeluruh dengan menggunakan berbagai teori linguistik yang
mutakhir. Rendahnya tingkat penelitian ini menyebabkan lambatnya perkembangan teori
linguistik modern di Indonesia. Tingkat ketercukupan teoretis penelitian ini turut memperburuk
situasi teori linguistik di tanah air.


1.

Tingkat Ketercukupan Penelitian Bahasa
Penelitian bahasa atau kebahasaan pada dasarnya merupakan bagian dari kegiatan

menteorikan bahasa. Terdapat paling tidak dua aspek metodologis yang mendasar dalam kegiatan
ini. Pertama, penelitian bergerak dari satu kerangka teoretis yang bersumber dari teori atau teoriteori yang ada. Kedua, penelitian tidak berbasis kerangka teoretis apa pun tetapi membangun

kerangka teoretis secara bertingkat dari setiap tahapan analisis data. Analisis data sering
dilakukan langsung setelah kegiatan pengumpulan data atau pengumpulan dan analisis data
berlangsung serentak.
Dalam kedua aspek metodologis yang disebut-sebut di atas, pertanyaan sama yang sering
muncul pada saat melakukan upaya analisis bahasa atau menteorikan bahasa ialah sejauh
manakah tingkatan teoritis yang akan dicapai? Apakah analisis atau teori yang dicapai sebatas
deskriptif, atau bahkan lebih jauh lagi, teori eksplanatoris? Atau, apakah teori bahasa harus
mencapai baku eksplanatoris?
Dalam tradisi Chomsky, menteorikan bahasa dilakukan melalui penelitian gramatika, yang
hasilnya dinilai berdasarkan dua baku ‘ketercukupan’, yaitu descriptive adequacy dengan
explanatory adequacy. Prof. Anton M. Moeliono memperkenalkan istilah ‘kepadaan’ untuk

konsep yang sama dengan ‘ketercukupan’. Dalam makalah ini istilah ‘ketercukupan’ digunakan
selain sebagai pengayaan padanan istilah, juga karena istilah ‘standar ketercukupan’ digunakan
dalam bidang non-linguistik secara luas. Indonesia secara eksplanatoris tidak semata memerikan
tata-bahasa tetapi memberi prakiraan tentang bagaimana pengetahuan bahasa (linguistik)
direpresentasikan secara batin dalam diri manusia-manusia Indonesia.
Beliau membedakan penulisan gramatika atau tata-bahasa yang berhasil mencapai
ketercukupan deskriptif dengan yang berhasil lebih jauh lagi dan memperoleh ketercukupan
eksplanatoris.
Tata-bahasa bahasa Indonesia yang dinilai mencapai baku ketercukupan deskriptif adalah
tata-bahasa yang bisa menentukan tanpa batas kalimat-kalimat yang gramatikal dalam bahasa
Indonesia dan, selanjutnya masih menurut Chomsky, tata-bahasa yang demikian itu dianggap

sudah memerikan bahasa Indonesia secara keseluruhan. Sementara itu, tata-bahasa bahasa
Indonesia yang mencapai baku eksplanatoris memiliki ciri-ciri tambahan, yaitu tata-bahasa itu
memberikan wawasan tentang struktur dasar bahasa Indonesia yang terdapat dalam pikiran
(minda) manusia Indonesia.

2.

Tata-bahasa bahasa

Menurut Chomsky, hakikat representasi batin ini pada umumnya bersifat bawaan (innate). Ini

berarti apabila satu tata-bahasa sudah mempunyai baku eksplanatoris, tata-bahasa itu harus
mampu menjelaskan berbagai nuansa gramatikal bahasa-bahasa dunia karena dalam pola semesta
bahasa manusia dianggap terdapat variasi yang relatif kecil di antara satu bahasa dengan bahasa
lainnya. Teori linguistik atau analisis bahasa tingkat eksplanatoris bersandar pada tatabahasa
semesta.

Ditambah

dengan

asumsi-asumsi

lainnya,

kemudian

selanjutnya


Chomsky

berpandangan pula bahwa tujuan analisis bahasa haruslah pada ketercukupan eksplanatoris.
Perbedaan kedua konsep ini selain membedakan tingkat pencapaian dan penilaian terhadap
teori gramatika, sekaligus juga menyiratkan pertentangan teori deskriptif dan teori eksplanatoris
dalam penelitian dan analisis bahasa pada perkembangan linguistik modern. Hal yang demikian
terlihat dalam bagaimana pengertian kedua konsep ini secara umum. Teori deskriptif sering
dianggap sebagai teori yang menanyakan apakah bahasa itu atau meneliti untuk menemukan
bahasa itu seperti apa. Teori ini mencakup alat-alat apa yang diperlukan untuk memberikan
pemerian bahasa tertentu secara memadai. Sementara itu, teori eksplanatoris secara umum diakui
sebagai teori yang bertanya tentang mengapa bahasa seperti itu atau seperti apa yang telah
diperikan secara deskriptif. Dengan demikian, teori eksplanatoris sebenarnya melanjutkan apa
yang sudah diselesaikan oleh teori deskriptif.

Seperti yang dapat diamati sejak awal dalam tulisan-tulisan Chomsky dan dalam
perkembangannya berikutnya, tata-bahasa generatif bertujuan untuk menjadi teori eksplanatoris.
Namun seperti yang disebut Dryer, prinsip utama tata-bahasa generatif terletak pada ide bahwa
satu teori dapat berperan sekaligus sebagai teori deskriptif dan teori eksplanatoris. Hal ini sejalan
dengan pandangan Chomsky tentang pengetahuan bahasa yang bersifat bawaan. Jikalau bahasa
diyakini berbentuk seperti apa adanya karena pengetahuan bahasa yang bersifat bawaan, maka
teori tentang pengetahuan bahasa bawaan secara serentak berperan sebagai teori deskriptif
(apakah bahasa atau bahasa itu seperti apa) dan teori eksplanatoris (mengapa bahasa seperti apa
adanya) (Selanjutnya periksa Dryer, 2006). Chomsky (1965) sendiri memang mengatakan bahwa
tujuan tata-bahasa haruslah pada ketercukupan eksplanatoris dan Chomsky juga memberikan
argumentasi bahwa walaupun peneliti bahasa masih belum mencapai tingkat ketercukupan
deskriptif, langkah-langkah kemajuan untuk mencapai baku deskriptif ini hanya dapat diperoleh
apabila peneliti menetapkan ketercukupan eksplanatoris sebagai tujuan penelitiannya.
Yang paling mutakhir, Chomsky (2004) memperkenalkan tingkat ketercukupan baru yang
disebutnya ‘ketercukupan di atas eksplanatoris’ (beyond explanatory adequacy). Pada dasarnya,
menurut Chomsky tingkat ini mempertanyakan mengapa tata bahasa semesta berbentuk seperti
apa adanya. Tingkat penjelasan yang berada di atas eksplanatoris didasarkan pada konsep umum
yang paling memungkinkan atau dengan kata lainnya didasarkan pada konsep ‘minimalistik’ atau
‘alamiah secara konseptual’. Ini menyiratkan bahwa tujuan akhir penelitian bahasa harus
mengarah pada kesemestaan prinsip-prinsip atau tata bahasa semesta.

3.

Mengangkat Penelitian Kebahasaan di Indonesia
Indonesia kaya raya dengan keragaman bahasa dan merupakan sumber daya linguistik yang

kaya bagi penelitian bahasa dan aspek berbahasa. Sangat disayangkan sekali belum ada teori
bahasa yang mutakhir yang muncul dalam khazanah linguistik Indonesia maupun dunia yang
dihasilkan oleh peneliti Indonesia dan bersumber dari pemanfaatan kekayaan keragaman bahasa
ini. Kelihatannya, penelitian kebahasaan di Indonesia belum mampu memenuhi harapan ini.
Kelemahan penelitian kebahasaan di Indonesia di antaranya disebabkan oleh beberapa
masalah berikut:
1.

jumlah sumber rujukan teori linguistik mutakhir dalam bahasa Indonesia;

2.

penerjemahan buku linguistik berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia;

3.

frekuensi lokakarya metodologi penelitian linguistik dalam berbagai teori dan
pendekatan;

4.

dana penelitian kebahasaan; dan

4.

jumlah kegiatan ilmiah kebahasaan yang mengangkat kekuatan bahasa
daerah
Proyek penulisan buku teks, penerjemahan buku teks berbahasa asing ke dalam bahasa

Indonesia, dan dana penelitian kebahasaan semakin mendesak untuk ditingkatkan. Peningkatan
dalam ketiga bidang ini diharapkan dapat pula meningkatkan kualitas metodologis dan teoretis

penelitian kebahasaan, yang selanjutnya menjadi sumber daya bagi pelaksanaan lokakarya
metodologi penelitian linguistik dalam berbagai teori dan pendekatan.

Sebagian besar insan Indonesia berbahasa daerah sebagai bahasa pertamanya sehingga
bahasa daerah dengan berbagai aspeknya mempunyai kekuatan tersendiri bagi bangsa.
Sehubungan dengan kekuatan bahasa daerah untuk mendorong penelitian kebahasaan di
Indonesia, mungkin sudah saatnya Kongres Bahasa Daerah diselenggarakan oleh Balai Bahasa di
semua daerah atau wilayah bahasa. Selama ini hanya ada sebagian kecil kongres bahasa daerah
yang sudah dilaksanakan. Hal ini pun tidak seluruhnya dilaksanakan secara teratur. Sudah
saatnya pula untuk memikirkan pelaksanaan Kongres Nasional Bahasa Daerah untuk membahas
persoalan bahasa daerah dalam skala nasional selain melaksanakan Kongres Bahasa Indonesia
setiap lima tahun.

BAB 3
PENUTUP
Upaya pemetaan lengkap penelitian kebahasaan di Indonesia sudah mendesak untuk
dilakukan agar diperoleh informasi perkembangan penelitian kebahasaan di Indonesia, sekaligus
informasi tentang perkembangan ilmu bahasa, pendekatan, dan teorinya di Indonesia. Selain
dapat menggambarkan keadaan sebenarnya, pemetaan ini dapat dijadikan sebagai sumber
informasi dalam kebijakan penelitian kebahasaan, khususnya untuk meningkatkan kualitas
penelitian dan penyebaran informasi mutakhir tentang teori linguistik.
Sebelum menutup tulisan ini ada satu hal penting perlu dikemukakan di sini : Bahasa
Indonesia baru bisa membentuk insan Indonesia yang cerdas apabila penutur bahasa Indonesia
yang berbahasa pertama bahasa daerah lebih dahulu cerdas dalam bahasa daerahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Chomsky, Noam (1956). “Three models for the description of language”. IRE Transactions on
Information Theory 2: 113- 124.
Chomsky, Noam (1965). Aspects of the Theory of Syntax. MIT Press. Chomsky, Noam (1986).
Knowledge of Language. New York: Praeger. Chomsky, Noam (1995). The Minimalist Program.
MIT Press.
Chomsky, Noam (2004). “Beyond explanatory adequacy”. In: Belletti, Adriana (ed.), Structures
and Beyond: The Cartography of Syntactic Structures, Vol. 3. Oxford: Oxford University Press.