Sejarah Kesehatan Kuli Kontrak di Perkebunan Senembah Maatschappij 1882-1942

(1)

BAB II

KEHIDUPAN KULI KONTRAK DI PERKEBUNAN SENEMBAH

MAATSCHAPPIJ

2.1 Gambaran Perkebunan Senembah Maatschappij 2.1.1 Sejarah Awal

Pada awal perkembangannya, Perkebunan Senembah Maatschappij

merupakan sebuah perusahaan perkongsian yang didirikan oleh Hermann Naeher

seorang pedagang di Sicilie, berkebangsaan Jerman dan Karl Furchtegott Grob

(pendiri onderneming Helvetia) berkebangsaan Swiss. Mereka berdua membentuk firma

yang diberi nama firma Naeher & Grob.16

Dalam perkembangannya pada tahun 1871 firma Naeher & Grob mendapat

konsesi tanah yang pertama di wilayah Serdang seluas 7.588 bahu. Tahun 1876 lahan konsesi firma tersebut bertambah dengan sebidang tanah di wilayah Deli. Selanjutnya, tahun 1886 luas konsesi tanah mereka telah terbentang dari wilayah pantai ke arah gunung sepanjang Sungai Bloemei. Dalam tahun 1889 luas tanah

konsesi mereka telah mencapai 31.563 bahu.17

Pada awalnya firma Naeher & Grob mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini

disebabkan tanah-tanah yang dimiliki menghasilkan kualitas daun tembakau yang besar, berat dan berwarna gelap yang pada waktu itu lebih disukai di pasaran Eropa.

16

Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hal. 60-61.

17

C. W. Janssen dan H. J. Bool, Senembah Maatschappij 1889-1939, Amsterdam: Boek- en kunstdrukkerij v/h Roeloffzen-Hübner en Van Santen, 1939, hal. 6.


(2)

Hal ini tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1887 terjadi perubahan selera di pasaran Eropa. Orang Eropa lebih menyukai tembakau yang berwarna lebih cerah. Hal ini diperparah dengan suhu udara panas dan kering yang terjadi pada tahun 1888 menghasilkan produksi daun tembakau yang besar dan berat sehingga menyebabkan

penurunan harga tembakau dan mereka mengalami kerugian yang besar.18

Kerugian yang dialami firma Naeher & Grob dan ditambah pula pada tahun

yang sama kondisi kesehatan yang tidak baik dari Karl Furchtegott Grob

menyebabkan mereka berniat ingin menjual firma tersebut. Kemudian, mereka meminta

saran dari direksi pimpinan Deli Maatschappij. Selanjutnya direksi pimpinan Deli

Maatschappij menyarankan agar mereka membentuk perseroan terbatas dan menjual kebun dan konsesi tanah yang mereka miliki pada perseroan terbatas tersebut dengan

harga yang disepakati. Naeher & Grob menerima saran tersebut dan perseroan terbatas

tersebut memperoleh izin dari Kerajaan Belanda pada tanggal 30 September 1889.19

Selama beberapa tahun semenjak berdiri, Perkebunan Senembah

Maatschappij masih memperoleh dukungan dana dari Deli Maatschappij. Pada

awalnya Naeher & Grob meragukan perkembangan perseroan terbatas ini. Hal ini

juga disebabkan oleh perubahan selera terhadap tembakau di pasaran Eropa dan kondisi iklim yang buruk pada tahun-tahun tersebut. Seiring berjalannya waktu,

18

Ibid., hal 7. 19

Walaupun mendapat persetujuan dari Kerajaan Belanda pada tanggal 30 September 1889, namun pada tanggal 11 September 1889 berdasarkan akta notaris N.V. Senembah Maatschappij, telah tersusun struktur pimpinan dengan Jacobus Nienhuys dan C. W. Janssen sebagai direksi, sedangkan yang menjadi komisaris yaitu J. T. Cremer, H. Naeher, G. E. Haarsma, A. L. Wurfbain dan R. Von Seutter. Lihat ibid.


(3)

Perkebunan Senembah Maatschappij lambat laun mengalami perkembangan yang

signifikan.20

Hasil produksi tembakau Perkebunan Senembah Maatschappij memperoleh

kualitas yang baik, walaupun demikian kualitas tanah di wilayah perkebunan ini

masih di bawah mutu dari Perkebunan Deli Maatschappij. Jika dibandingkan dengan

perkebunan lain di Sumatera Timur, kualitas tembakau Perkebunan Senembah

Maatschappij masih tergolong yang paling baik.21 Hal tersebut terjadi karena setelah dilakukan penelitian, tanah yang paling baik untuk penanaman tembakau adalah sepanjang batas Sungai Wampu dan Sungai Ular. Wilayah tersebut hampir

seluruhnya berada di Deli, Langkat dan Serdang.22

2.1.2 Keadaan Geografis dan Iklim

Perkebunan Senembah Maatschappij terletak di Pantai Timur Sumatera,

memiliki 13 perkebunan di wilayah Kesultanan Serdang dan 1 perkebunan di

masing-masing wilayah Kesultanan Deli dan Kesultanan Langkat.23 Pada tahun 1939, dari 15

perkebunan yang ada di Perkebunan Senembah Maatschappij, 11 merupakan

perkebunan tembakau, yaitu Tanjung Morawa, Tanjung Morawa Kiri, Sei Bahasa, Batang Kuis, Petumbak, Gunung Rintih, Pagar Merbau, Two Rivers, Selayang, Kuala

20

Hal ini terlihat dari bertambah luas konsesi tanah yang dimiliki oleh Perkebunan Senembah Maatschappij. Pada tahun 1889 konsesi tanah yang dimiliki seluas 31.563 bahu. Pada tahun 1897 bertambah menjadi 50.994 bahu, yaitu 40.340 terletak di wilayah Kesultanan Serdang dan 10.654 bahu berada di wilayah Kesultanan Deli. Lihat ibid., hal. 11.

21 Ibid. 22

Iyos Rosidah “Eksploitasi Pekerja Perempuan di Perkebunan Tembakau Deli Sumatera Timur 1870-1930”, Tesis S-2 belum diterbitkan, Semarang: Universitas Diponegoro, 2012, hal. 36.

23


(4)

Namu dan Simpang Empat. Selain itu terdapat 3 perkebunan karet antara lain Tanjung Garboes, Melati dan Limau Mungkur dan 1 perkebunan kelapa yaitu Sei Tuan.24

Sebagian besar wilayah perkebunan berada di tepi Sungai Bloemei yang baik untuk dilayari dan bermuara di Rantau Panjang yang merupakan ibukota Kerajaan Serdang. Segala aktivitas pengangkutan produksi baik keluar dan masuk ke perkebunan dapat melalui aliran sungai tersebut. Hal ini memberikan keuntungan tersendiri karena tidak memerlukan pembukaan jalan ke Medan untuk proses

pemasukan dan pengeluaran hasil-hasil dari perkebunan.25 Wilayah Perkebunan

Senembah Maatschappij secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu wilayah dataran rendah dan wilayah dataran tinggi. Pada tahun 1910, ada 5 perkebunan yang berada di wilayah dataran rendah, yaitu Batang Kuis, Tanjung Morawa, Tanjung Morawa Kiri, Petumbak dan Sei Bahasa. Perkebunan tersebut terletak 15-20 meter di atas permukaan laut. Sedangkan perkebunan Gunung Rintih terletak di wilayah dataran tinggi. Perkebunan Gunung Rintih terbagi menjadi dua wilayah yaitu Namu Suru dan Kota Jurung. Perkebunan di wilayah dataran tinggi dapat mencapai 300 meter di atas permukaan laut, bahkan wilayah perkebunan Namu

Suru mencapai 1000 meter di atas permukaan laut.26

24

Lihat Verslag over het boekjaar N.V. Senembah Maatschappij 1939, Amsterdam: De Bussy, 1940; lihat juga C. W. Janssen dan H. J. Bool, op.cit., hal 104; Lebih jelasnya lihat lampiran I.

25

Ibid., hal. 6. 26

W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, De Gezondheidstoestand van de Arbeiders, Verbonden aan de Senembah-Maatschappij op Sumatra, Gedurende de Jaren 1897 tot 1907, Amsterdam: De Bussy, 1910, hal. 11.


(5)

Perkebunan Senembah Maatschappij yang terletak di Pantai Timur Sumatera

secara geografis terletak antara garis khatulistiwa dan garis Lintang Utara 4˚.

Sumatera Timur mempunyai iklim pantai tropik yang sifat iklim mikronya

dipengaruhi oleh topografi seperti daerah-daerah tanah tinggi “Tumor Batak”, antara

lain; dataran tinggi Karo, pegunungan Simalungun, dan pegunungan Habinsaran.27

Iklim tropis yang terdapat di wilayah Pantai Timur Sumatera menjadikan

adanya 2 musim di Perkebunan Senembah Maatschappij, yaitu musim hujan dan

kemarau. Musim hujan dimulai pada bulan Oktober dan memasuki bulan selanjutnya intensitas hujan semakin lebat. Musim kemarau biasanya terjadi antara bulan Februari

sampai Agustus.28 Intensitas hujan dan suhu yang panas dan kering setiap tahun

terjadi dengan tidak menentu. Suhu dan kelembaban antara daerah dataran rendah dan

dataran tinggi juga berbeda. Di dataran rendah suhu berkisar antara 22˚C sampai 32˚C

bahkan bisa mencapai angka 36˚C sampai 40˚C pada musim panas. Di dataran tinggi suhu berkisar antara 19,5˚C sampai 25˚C bahkan pada musim hujan dapat mencapai suhu 15˚C.29

Suatu ciri iklim yang penting adalah angin yang bertiup sangat kencang. Iklim yang diakibatkan oleh angin ini menyebabkan kelembaban yang tinggi di daerah

dataran tinggi. Angin ini dinamakan Angin Bahorok30, yang biasanya bertiup antara

bulan Juni hingga Agustus. Angin ini turun dari Dataran Tinggi Bukit Barisan

27

Karl J. Pelzer, op.cit., hal. 31. 28

W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, op.cit., hal. 13. 29

Ibid., hal 15-16. 30

Nama Angin Bahorok berasal dari nama yang diambil dari lembah Sungai Bahorok yang merupakan anak Sungai Wampu. Angin ini menggantikan angin laut yang berhembus ke pedalaman selama siang hari. Lihat Iyos Rosidah, op.cit., hal. 33.


(6)

menuju dataran rendah di Perkebunan Senembah Maatschappij dan menyebabkan

kekeringan dan kerusakan tembakau.31 Curah hujan antara wilayah di dataran rendah

dan dataran tinggi juga berbeda. Di perkebunan Gunung Rintih yang terletak di dataran tinggi misalnya curah hujannya hampir dua kali lipat dengan perkebunan

Batang Kuis yang berada di dataran rendah.32 Berikut ini adalah tabel perbandingan

curah hujan pada tahun 1907 antara perkebunan Gunung Rintih dengan perkebunan Batang Kuis.

Tabel 1.

Perbandingan Curah Hujan antara Onderneming Gunung Rintih dengan Batang Kuis pada tahun 1907.

Bulan Gunung Rintih. Batang Kuis.

Januari 322 mm 111 mm

Februari 95 mm 90 mm

Maret 174 mm 132 mm

April 36 mm 27 mm

Mei 506 mm 115 mm

Juni 225 mm 73 mm

Juli 259 mm 65 mm

Augustus 102 mm 169 mm

September 245 mm 66 mm

Oktober 380 mm 113 mm

November 621 mm 233 mm

Desember 466 mm 584 mm

Jumlah 3.431 mm 1.778 mm

Sumber: W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, De Gezondheidstoestand van de

Arbeiders, Verbonden aan de Senembah-Maatschappij op Sumatra, Gedurende de Jaren 1897 tot 1907, Amsterdam: De Bussy, 1910, hal. 14.

31

W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, op.cit., hal. 14-15. 32


(7)

Kondisi geografis dan iklim Perkebunan Senembah Maatschappij yang terletak di wilayah tropis menyebabkan banyak wabah-wabah penyakit yang muncul pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Penyakit-penyakit di iklim tropis yang

menjadi wabah tersebut antara lain adalah typhus, dysentri, kolera, beri-beri dan lain

sebagainya. Pada tahun 1901 dan 1907 akibat dari kekeringan yang melanda wilayah

ini, menyebabkan penyebaran wabah penyakit typhus dan kolera. Kelembaban suhu

udara yang tinggi juga menyumbang penyebaran wabah beri-beri. Hal ini terjadi

ketika intensitas hujan sangat tinggi di wilayah tersebut.33

2.2 Proses Kedatangan dan Perekrutan Kuli Kontrak

Perkembangan perkebunan di wilayah Pantai Timur Sumatera selain membutuhkan tanah yang luas juga memerlukan tenaga kerja yang tidak sedikit. Masalah tenaga kerja ini pertama kali timbul ketika Nienhuys membuka konsesi tanah yang pertama pada tahun 1863. Namun, ia tidak berhasil menjadikan masyarakat setempat bekerja sebagai buruh di perkebunan. Hal ini dikarenakan

penduduk setempat juga telah mengusahakan pertanian tembakau.34 Pada awalnya,

Nienhuys menggunakan sistem borong35 seperti yang diterapkan di pulau Jawa,

33

Ibid., hal. 18. 34

Para petani di wilayah Deli telah mengenal budidaya tembakau sebelum abad ke 19 dan mereka melakukan perdagangan hingga ke wilayah Penang dan Malaka. Dengan adanya konsesi perkebunan di Deli, mereka merasa tersaingi dalam hal penanaman tembakau sehingga mereka tidak mau bekerja di perkebunan tembakau milik tuan kebun tersebut. Lihat Muhammad Said, Koeli Kontrak Tempo Doeloe Dengan Derita dan Kemarahannya, Cetakan ke II, Medan: PT. Harian Waspada, 1990, hal, 29.

35

Sistem borong ini adalah suatu sistem produksi tembakau dengan menyerahkan sejumlah bibit tembakau kepada petani dan pada akhirnya petani menyerahkan sejumlah daun tembakau dengan harga yang sudah ditentukan. Lihat T. Keizerina Devi, Poenale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi


(8)

namun yang bersedia bekerja hanyalah orang-orang yang sama sekali tidak tahu

bercocok tanam dan mengurus tembakau. Nienhuys akhirnya mengalami kerugian.36

Dalam mengatasi masalah tenaga kerja tersebut akhirnya Nienhuys menemukan cara yaitu dengan mendatangkan pekerja dari luar wilayah Sumatera Timur. Tempat yang paling ideal utuk mencari tenaga kerja pada waktu itu adalah Straits Setlements tepatnya di Penang dan Singapura37 yang berdekatan dengan

Deli.38 Usaha pertama yang dilakukan Nienhuys dalam mencari tenaga kerja untuk

perkebunan tembakau yaitu ketika dia bertemu dengan haji yang berasal dari Jawa (dari berbagai sumber tidak diketahui nama haji tersebut dan hanya menyebutkan “pak haji” sebagai panggilan). Nienhuys dan haji tersebut kemudian bersepakat bahwa haji tersebut akan mencari tenaga kerja beberapa puluh orang yang akan bekerja di perkebunan tembakau tersebut. Setelah tiba di Deli, haji dan murid-muridnya lebih tertarik untuk mengajar agama Islam ketimbang bekerja sebagai pekerja upahan. Akhirnya Nienhuys memutuskan kesepakatan dengan haji tersebut

Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), Medan: Program Pasca Sarjana USU, 2004, hal. 65.

36

Ibid., hal. 65-66. 37

Sejak pertengahan abad ke 19 Penang dan Singapura merupakan tempat pasar kuli Cina tidak saja untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari wilayah Asia Tenggara, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan kuli di tempat-tempat lain seperti Macao dan California. Kuli-kuli Cina itu datang ke Penang dan Singapura mencari pekerjaan ke luar negeri karena kemiskinan yang disebabkan konflik-konflik politik dan krisis ekonomi yang terus-menerus seperti adanya wabah penyakit serta kegagalan panen di negeri mereka. Lihat Eric R. Walt, Europe and The People Without History, Berkeley: University of California Press, 1982, hal 374-375. Dalam Yasmis “Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli Sumatera Timur 1880-1915”, Tesis S-2 belum diterbitkan, Jakarta: Universitas Indonesia, 2008, hal. 39-40.

38


(9)

dan melanjutkan pengerjaan kebun tembakau kepada beberapa murid yang masih ada.39

Berbagai usaha yang dilakukan oleh Nienhuys dalam mencari tenaga kerja akhirnya berhasil membawa 120 kuli Cina yang sudah lama tinggal di Penang dan dikenal dengan sebutan “laukeh”40 Dalam perkembangan selanjutnya, perintisan usaha yang dilakukan oleh Nienhuys dalam mencari tenaga kerja kemudian diikuti

oleh para tuan kebun lainnya, termasuk perkebunan yang dimiliki oleh firma Naeher

& Grob yang dalam perkembangannya menjadi Perkebunan Senembah Maatschappij. Tidak hanya tenaga kerja Cina saja yang didatangkan ke Sumatera Timur tetapi juga

tenaga kerja asal Jawa, Sunda, Banjar, juga India.41 Bahkan tenaga kerja asal Jawa

tidak hanya laki-laki yang direkrut namun pada perkembangannya juga tenaga kerja perempuan. Kuli-kuli yang didatangkan ke perkebunan tersebut mendapatkan voorschot. Voorschot adalah uang muka upah yang diberikan kepada kuli yang akan

bekerja di perkebunan. Voorschot yang diberikan akan dibayar kembali kepada

pengusaha perkebunan dengan cara memotong upah setelah mereka bekerja.42

Seiring dengan perkembangan perkebunan dan meningkatnya kebutuhan pekerja di perkebunan maka pada tahun 1880 Pemerintah Hindia Belanda

menetapkan peraturan yang tertuang dalam Besluit No. 1 tanggal 13 Juli 1880 dan

39

Muhammad Said, op.cit., hal. 29; lihat juga T. Keizerina Devi, op.cit., hal. 67. 40

Ibid., hal. 68. 41

H. J. Bool, De Chineesche Immigratie Naar Deli, Utrecht: Oostkust van Sumatra Instituut, 1903, hal. 1.

42


(10)

diundangkan dalam Lembaran Negara yaitu Staatsblad 1880 No. 133.43 Peraturan ini

mengatur tentang kuli yang disebut dengan Koeli Ordonnantie. Peraturan ini

mengatur tentang hak dan kewajiban kuli dan pengusaha. Dalam peraturan ini setiap hubungan kerja harus dilakukan dengan kontrak tertulis dan kontrak kerja tersebut harus didaftarkan oleh kepala pemerintahan setempat segera sesudah datangnya kuli. Dalam beberapa pasal dalam peraturan tersebut disebutkan masa kerja kuli yakni selama sepuluh jam dalam satu hari dengan ikatan kontrak selama 3 tahun. Kuli dapat keluar dari perkebunan dengan izin tertulis dari majikan, upah wajib dibayarkan secara rutin terhadap kuli, dan pengusaha wajib memberikan fasilitas perumahan dan perawatan kesehatan terhadap pekerjanya. Dalam beberapa pasal juga disebutkan mengenai hukuman bagi pengusaha dan kuli jika melanggar kontrak kerja. Untuk pengusaha hukumannya adalah denda sedangkan bagi kuli hukumannya adalah

kurungan, denda dan kerja paksa dalam proyek negara tanpa upah.44 Hukuman bagi

kuli inilah yang banyak diselewengkan oleh para tuan kebun dan melahirkan dengan

apa yang disebut Poenale Sanctie. Atas dasar peraturan inilah pekerja yang ada di

Sumatera Timur disebut dengan kuli kontrak.

2.1.1 Kuli Kontrak Cina

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa para tuan kebun kesulitan dalam mendapatkan pekerja untuk perkebunan. Nienhuys yang merintis usaha pertama

43

Untuk melihat isi dari Undang-undang peraturan Koeli Ordonnantie lihat lampiran II. 44

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1880 No. 133; lihat juga T. Keizerina Devi, op.cit., hal. 104, 112 dan 114-115.


(11)

dalam pencarian tenaga kerja dari luar wilayah Sumatera Timur akhirnya menemukan cara yang efektif dalam mengatasi kekurangan tenaga kerja di perkebunan. Walaupun hal tersebut tidak memecahkan masalah kekurangan tenaga kerja akibat dari perkembangan perkebunan yang sangat pesat.

Usaha yang dilakukan yaitu para tuan kebun melakukan hubungan dengan

“laukeh” dalam mendapatkan tenaga kerja Cina yang ada di Straits Setlements.

Melalui “laukeh” inilah para tuan kebun kemudian berhubungan dengan agen tenaga

kerja, yaitu melalui kantor protektorat yang mendatangkan tenaga kerja dari Cina

yang pada umumnya berasal dari wilayah sekitar Swatow, Amoy dan Kanton.45

Arus kedatangan dan perekrutan kuli Cina dari Straits Setlements ke

perkebunan tidak berlangsung lama. Pada awalnya kebutuhan tenaga kerja di

perkebunan dapat dipenuhi oleh agen tenaga kerja yang ada di Strait Setlements.

Namun karena kebutuhan tenaga kerja yang semakin besar di perkebunan tembakau,

beberapa perkebunan termasuk firma Naeher & Grob mengambil kebijakan untuk

mengirim perantara khusus (kheh-thau) atau kuli senior (laukeh) ke daerah asal

mereka untuk mengerahkan kuli baru (singkeh) dan membawanya ke perkebunan.46

Kuli Cina yang datang ke perkebunan tetap berada di bawah pimpinan kepala sukunya. Demikian juga dalam melaksanakan pekerjaan, langsung diperintah oleh kepala suku tersebut. Para pengusaha perkebunan hanya berhubungan dengan kepala

45

Ibid., hal 72. 46

H. J. Bool, op.cit., hal 7-8; lihat juga Jan Bremen, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra Timur pada Awal Abad Ke-20, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1997, hal. 57.


(12)

suku orang-orang Cina. Kedudukan kepala suku adalah sebagai mandor yang disebut

dengan tandil.47 Tugas tandil sebagai pengawas tenaga kerja Cina, bertanggung

jawab atas keamanan dan ketertiban untuk seluruh kelompoknya.

Proses pengerahan tenaga kerja dari Cina diurus oleh sebuah Biro Imigrasi (Immigratie Bureau). Biro ini didirikan oleh komite tuan kebun yang tergabung

dalam Deli Planters Vereniging atau D.P.V. Pada tahun 1886 seorang pegawai juru

bahasa Cina dikirim ke Cina dan diinstruksikan untuk menyelidiki tentang cara-cara meningkatkan emigrasi pekerja Cina ke daerah perkebunan tembakau di Sumatera

Timur. Perkebunan Naeher & Grob bersama 4 perkebunan besar lainnya bersedia

menanggung biaya penelitian ini.48

Pada mulanya proses pengerahan kuli Cina ke perkebunan haruslah melalui Biro Imigrasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, pada tahun 1899 selain Biro Imigrasi ada satu lagi badan yang membantu mendatangkan kuli-kuli Cina

ke Perkebunan Senembah Maatschappij yaitu firma Bradley & Co. yang berada di

Swatow, wilayah Cina Selatan. Firma ini mengirimkan kuli Cina tidak secara langsung ke perkebunan tetapi melalui Singapura terlebih dahulu, sedangkan Biro Imigrasi tidak melalui Singapura tetapi dari Cina langsung ke perkebunan. Kuli-kuli

Cina yang datang dan bekerja di Perkebunan Senembah Maatschappij kebanyakan

berasal dari wilayah Cina Selatan, Macau, Keh dan Hongkong.49

47

C. W. Janssen & H. J. Bool, op.cit., hal. 22; lihat juga Muhammad Said, op.cit., hal. 76. 48

H. J. Bool, op.cit., hal. 8; lihat juga Jan Bremen, op.cit., hal. 57-58. 49


(13)

Kuli Cina yang didatangkan diangkut dengan menggunakan kapal dan dikumpulkan di pelabuhan Belawan. Di pelabuhan ini dibuat sebuah penampungan kuli yang disebut Stasiun Karantina. Penampungan ini berfungsi sebagai tempat untuk menyeleksi kuli dan memisahkan kuli yang sehat dengan kuli yang mempunyai

penyakit menular dan sebagainya.50

Pada awal perkembangan perkebunan kuli yang banyak dipekerjakan di perkebunan tembakau adalah kuli dari Cina. Hal ini dikarenakan kuli dari Cina

terampil dan ulet dalam proses pengolahan daun tembakau.51 Seiring dengan

ketiadaan kepastian bahwa kuli Cina akan terus datang ke perkebunan merupakan salah satu faktor beralihnya kuli di perkebunan ke kuli dari ras lainnya. Hal ini ditambah dengan semakin berminatnya para pengusaha perkebunan terhadap mutu

pekerjaan kuli Jawa pada awal abad ke XX.52 Biaya yang dikeluarkan dalam merekrut

kuli Jawa oleh perkebunan juga lebih murah ketimbang merekrut kuli Cina yang pada

tahun 1931 mencapai f 150. Pada tahun yang sama pula perekrutan kuli Cina ke

Perkebunan Senembah Maatschappij dihentikan.53

50 W. A. Kuenen, “De Prophylaxis tegen het Invoeren van Ziekten op Cultuur

-Ondernemingen” dalam Gerrit Grijns en Gerard Willem Kiewiet de Jonge (eds), Plantage-Hygiene ten Behoeve van Directeuren, Administrateurs en Geneesheeren van Landbouw-Ondernemingen in Nederlandsch-lndie, Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij, 1914, hal. 7-8.

51

C. W. Janssen dan H. J. Bool, op.cit., hal. 23 dan 67. 52

Jan Bremen, op.cit., hal. 64. 53


(14)

Tabel 2.

Jumlah kuli Cina di Perkebunan Senembah Maatschappij dari tahun 1897-1933.

Tahun Kuli Cina

1897 2.279

1903 3.212

1907 3.273

1915 3.577

1921 3.707

1924 4.763

1928 5.212

1929 5.206

1930 4.533

1931 4.153

1932 3.379

1933 2.805

Sumber: W. A. P Schuffner dan W. A. Kuenen, De Gezondheidstoestand van de

Arbeiders, Verbonden aan de Senembah-Maatschappij op Sumatra, Gedurende de Jaren 1897 tot 1907, Amsterdam: De Bussy, 1910, hal. 22; C.

W. Janssen & H. J. Bool, Senembah Maatschappij 1889-1939, Amsterdam:

Boek- en kunstdrukkerij v/h Roeloffzen-Hübner en Van Santen, 1939, hal.

67-68; dan Verslag over het boekjaar N.V. Senembah Maatschappij,

Amsterdam: De Bussy, 1929-1934, (dirangkum tahun 1928-1933)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah kuli Cina di Perkebunan

Senembah Maatschappij dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dari 2.279

pada tahun 1897 meningkat menjadi 3.577 pada tahun 1915. Kemudian pada tahun 1924 terjadi pertambahan jumlah kuli Cina hingga mencapai 4.763. Jumlah kuli Cina mencapai puncaknya pada tahun 1929 yaitu berjumlah 5.206. Jumlah kuli Cina mengalami penurunan di tahun setelahnya menjadi 4.533. Hal ini disebabkan pada tahun-tahun tersebut terjadi depresi ekonomi dunia yang disebut krisis malaise, sehingga perkebunan menerapkan kebijakan mengurangi jumlah pekerjanya,


(15)

ditambah lagi dengan penghentian perekrutan kuli Cina ke perkebunan pada tahun

1931.

2.1.2 Kuli Kontrak Jawa

Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di perkebunan yang tiada habisnya. Beberapa perusahaan tembakau di Sumatera Timur mulai mencoba mendatangkan tenaga kerja dari Jawa. Percobaan pertama dilakukan pada tahun 1875 oleh J. T.

Cremer, direktur dari Perkebunan Deli Maatschappij yang mendatangkan kuli Jawa

dari Bagelen, Jawa Tengah. Namun perekrutan awal tenaga kerja dari Jawa tidak

membuahkan hasil yang maksimal.54

Perkebunan Senembah Maatschappij awalnya tidak menaruh perhatian

terhadap Jawa sebagai pemasok tenaga kerja. Penyebabnya tenaga kerja Jawa yang kurang terampil dalam perawatan dan produksi tembakau jika dibandingkan dengan kuli Cina. Pada tahun 1889 kuli Jawa yang ada di perkebunan hanya sepertiga dari kuli Cina. Kuli dari ras lainnya juga tidak memperlihatkan angka yang berarti, seperti kuli India berjumlah 93, kuli Madura berjumlah 130 dan kuli Sunda berjumlah

429.55

Setelah awal abad XX terjadi perubahan yang signifikan dalam komposisi

tenaga kerja di Perkebunan Senembah Maatschappij. Tenaga kerja asal Jawa mulai

mendominasi dalam jumlah kuli di perkebunan. Ada beberapa faktor kuli Jawa menjadi mayoritas pada awal abad ke XX menggantikan tenaga kerja dari Cina.

54

Jan Bremen, op.cit., hal. 59. 55


(16)

Pertama adalah biaya yang dikeluarkan untuk perekrutan kuli Jawa lebih murah daripada kuli Cina. Kemudian kuli Jawa umumnya menerima upah harian sedangkan kuli Cina dengan sistem borongan sehingga pemanfaatan tenaga kuli Jawa lebih efisien dalam sistem produksi. Selanjutnya kuli Jawa datang bekerja dengan membawa istrinya sehingga perempuan Jawa tersebut dapat bekerja sebagai kuli perempuan di dalam perkebunan. Hal tersebut membuat perusahaan perkebunan lebih

tertarik terhadap kuli Jawa.56 Faktor lainnya adalah meledaknya populasi penduduk di

Jawa sepanjang abad IX hingga awal abad XX menyebabkan banyak penduduk Jawa kekurangan lahan dan miskin sehingga pemerintah mendorong arus emigrasi

penduduk Jawa ke daerah seberang yakni ke Sumatera Timur.57

Proses perekrutan tenaga kerja asal Jawa tidak jauh berbeda dengan kuli Cina.

Caranya dengan menyebar agen atau yang biasa disebut werek ke desa-desa di Jawa.

Pengiriman tenaga kerja dilakukan melalui agen yang berpusat di Semarang, Jawa

Tengah dan dikirim ke Perkebunan Senembah Maatschappij melalui pelabuhan

Belawan.58

Setelah proses pengiriman agen tenaga kerja ini biasanya menerima komisi dari perkebunan. Agar memperoleh komisi yang berlipat, tidak jarang agen tenaga kerja melakukan berbagai penipuan dan kecurangan. Mereka membujuk calon tenaga kerja dengan menyebut tanah Deli banyak emas, banyak perempuan cantik, dan boleh

56

Jan Bremen, op.cit., hal. 64 dan 66-67. 57

T. Keizerina Devi, op.cit., Hal. 82. 58


(17)

berjudi. Setiap orang yang pergi ke tanah Deli, setelah beberapa tahun pulang

kembali ke daerahnya sudah menjadi kaya.59

Untuk meningkatkan pengerahan kuli Jawa, pada tahun 1911 didirikan biro tenaga kerja sendiri di Jawa dengan agen-agen di banyak tempat. Biro ini didirikan

oleh Asosiasi Pengusaha Perkebunan atau Deli Planters Vereniging (D.P.V.). Pada

tahun 1919 biro ini menjadi sebuah badan emigrasi khusus yang diberi nama Algemeen Delisch Emigratie Kantoor (A.D.E.K.) atau Kantor Emigrasi Umum

Deli.60 Algemeen Delisch Emigratie Kantoor (A.D.E.K.) kemudian berubah nama

menjadi Vrij Emigratie DPV en AVROS (V.E.D.A.), hal ini dikarenakan Perhimpunan

Pengusaha Karet yang tergabung dalam Algemeene Vereniging Rubberplanters

Oostkust van Sumatra (A.V.R.O.S.) bergabung dalam badan pengerahan kuli Jawa tersebut.61

Dalam mendatangkan kuli Jawa, Perkebunan Senembah Maatschappij

menugaskan kuli kontrak yang telah bekerja di perkebunan untuk pulang dan menghimpun kuli kontrak baru dari kampung halamannya. Kuli yang pulang ke Jawa biasanya akan kembali ke perkebunan dalam waktu sepuluh hari. Biaya yang dikeluarkan untuk merekrut kuli Jawa setiap tahun mengalami penurunan. Tahun

1920 untuk merekrut kuli Jawa diperlukan f 140, tahun 1925 mengalami penurunan

menjadi f 120. Pada tahun 1930 menjadi f 99,50, bahkan setelah krisis malaise

59

Madelon Hermine Szekely-Lulofs, Kuli, Jakarta: Gratipiers, 1985, hal. 9-10. 60

Jan Bremen, op.cit., hal. 68. 61

Verslag Nopens de Overwogen Plannen en Maatregelen Betreffende de Kolonisatie van Javaansche Werklieden op de Cultuurondernemingen ter Oostkust van Sumatra in Verband met de Voorgenomen Afschaffing der Zoogenaamde Poenale Sanctie in de Koelieordonnantie, Weltevreden: Landsdrukkerij, 1920; lihat juga C. W. Janssen dan H. J. Bool, op.cit., hal. 65


(18)

semakin turun menjadi f 75. Hal ini berlanjut pada tahun 1939 yaitu f 35,75 untuk

kuli Jawa lajang dan f 47,15 untuk kuli Jawa dengan istri dan dua orang anak.62 Biaya

yang semakin murah inilah yang menyebabkan meningkatnya perekrutan kuli Jawa ke perkebunan.

Salah satu faktor terjadi peningkatan yang signifikan kuli Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij adalah keberhasilan pihak perkebunan dalam menjalin hubungan antara kuli kontrak di perkebunan dengan keluarga yang ditinggalkan di Jawa. Hal ini dapat dilihat semakin meningkatnya pengiriman paket dan uang ke

Jawa oleh kuli kontrak setiap tahun. Menurut laporan dari Deli Planters Vereniging

(D.P.V.), tahun 1916 telah dikirim 113 paket dan uang f 415, tahun 1920 meningkat

menjadi 3.014 paket dan uang f 2.682. Pada tahun 1930 terjadi peningkatan yang

signifikan yaitu 7.287 paket dan uang f 17.461.63

2.1.3 Kuli Kontrak Perempuan Jawa

Pada masa awal perkembangan perkebunan, tenaga kerja perempuan tidak menjadi perhatian bagi perkebunan karena pekerjaan pada waktu itu adalah membuka hutan secara besar-besaran yang menuntut persyaratan khusus dalam hal kekuatan dan ketahanan fisik. Seiring dengan kegiatan perawatan tanaman dan produksi perkebunan yang bertambah, seperti mencari ulat tembakau, menyortir, memilah,

62

Ibid., hal. 65-66. 63


(19)

menggantung dan mengikat daun-daun tembakau maka mulai dibutuhkan tenaga

kerja perempuan.64

Ada beberapa faktor tenaga kerja perempuan mulai banyak didatangkan ke perkebunan. Salah satunya adalah upah pekerja perempuan yang lebih murah daripada pekerja lelaki. Selain itu, pekerja perempuan juga didatangkan untuk memikat pekerja lelaki agar betah atau tetap tinggal di perkebunan setelah masa

kontrak selesai.65 Upah yang murah menyebabkan banyak kuli perempuan yang

menjadi pelacur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menyebabkan banyak

perempuan yang terjangkit penyakit kelamin seperti syphilis.66

Jumlah kuli perempuan Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij pada

akhir abad XIX dan awal abad XX dibandingkan dengan kuli lelaki baik kuli Cina maupun Jawa adalah 1:5. Perbandingan kuli perempuan Jawa dengan kuli Cina terdapat perbedaan yang mencolok karena kuli Cina memang masih tetap menjadi pilihan yang utama pada pergantian abad tersebut. Jumlah perbandingan kuli perempuan Jawa dan kuli Cina adalah 1:3 ½ sedangkan antara kuli perempuan Jawa dengan kuli Jawa yaitu 1:2. Jumlah kuli Cina, kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa

antara tahun 1897 sampai 1907 dapat dilihat dari tabel berikut dibawah ini.67

64

Jan Bremen, op.cit., hal. 100. Untuk lebih jelas melihat aktivitas kuli perempuan Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij lihat lampiran III.

65

Mubiyarto, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, 1992, hal. 110.

66

Aan Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979, Yogyakarta: KARSA, 2005, hal. 49-50.

67

Untuk mengetahui jumlah kuli di setiap onderneming pada Perkebunan Senembah Maatschapij lihat lampiran IV.


(20)

Tabel 3.

Jumlah Kuli Cina, Kuli Jawa dan Kuli Perempuan Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij Tahun 1897-1907.

Tahun Kuli Cina Kuli Jawa Kuli Perempuan

Jawa Jumlah

1897 2.279 878 718 3.824

1898 2.386 1.054 589 4.029

1899 2.517 1.306 507 4.330

1900 2.633 1.033 501 4.167

1901 2.757 1.225 608 4.590

1902 2.760 1.476 896 5.132

1903 3.212 1.722 975 5.909

1904 3.283 1.497 896 5.656

1905 3.032 1.795 857 5.684

1906 2.944 1.668 1.054 5.666

1907 3.273 2.036 1.194 6.503

Jumlah 31.076 15.690 8.744 55.510

Sumber: W. A. P Schuffner dan W. A. Kuenen, De Gezondheidstoestand van de

Arbeiders, Verbonden aan de Senembah-Maatschappij op Sumatra, Gedurende de Jaren 1897 tot 1907, Amsterdam: De Bussy, 1910, hal. 22.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah kuli di Perkebunan Senembah

Maatschappij selama tahun 1897-1907 adalah 55.510, dengan rincian 31.076 kuli Cina, 15.690 kuli Jawa dan 8.744 adalah kuli perempuan Jawa. Setiap tahun baik kuli Cina, kuli Jawa maupun kuli perempuan Jawa perkembangannya fluktuatif walaupun selalu mengalami peningkatan. Kecuali bagi kuli perempuan Jawa antara tahun 1898 sampai 1900 terjadi penurunan 8 sampai 20 %, tetapi pada tahun selanjutnya terjadi


(21)

peningkatan kembali sampai tahun 1907. Berikut diagram perbandingan antara kuli

Cina, kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij

tahun 1897-1907.

Gambar 1.

Diagram Perbandingan Antara Jumlah Kuli Cina, Kuli Jawa dan Kuli Perempuan Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij Tahun 1897-1907.

Sumber: W. A. P Schuffner dan W. A. Kuenen, De Gezondheidstoestand van de

Arbeiders, Verbonden aan de Senembah-Maatschappij op Sumatra, Gedurende de Jaren 1897 tot 1907, Amsterdam: De Bussy, 1910, hal. 22.

Perubahan jumlah kuli terjadi setelah dasawarsa kedua abad XX. Mayoritas jumlah kuli di perkebunan adalah kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa. Jumlah kuli Cina, kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa selama rentang waktu antara 1928-1933 adalah 107.105. Peringkat pertama adalah kuli Jawa dengan jumlah 49.522 kuli, disusul dengan kuli perempuan Jawa dengan jumlah 32.295 kuli. kuli Cina yang pada

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

1897 1898 1899 1900 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1907


(22)

pergantian abad XX merupakan mayoritas, pada rentang antara tahun 1928-1933 berjumlah 25.288 kuli. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.

Jumlah Kuli Cina, Kuli Jawa dan Kuli Perempuan Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij Tahun 1928-1933.

Tahun Kuli Cina Kuli Jawa Kuli Perempuan

Jawa Jumlah

1928 5.212 9.487 5.525 20.224

1929 5.206 10.288 5.944 21.438

1930 4.533 11.053 5.944 21.871

1931 4.153 7.835 5.818 17.806

1932 3.379 5.847 5.007 14.233

1933 2.805 5.012 3.716 11.533

Jumlah 25.288 49.522 32.295 107.105

Sumber: Verslag over het boekjaar N.V. Senembah Maatschappij, Amsterdam: De

Bussy, 1929-1934, (dirangkum dari tahun 1928 sampai 1933)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah kuli Cina setiap tahun cenderung menurun jika dibandingkan dengan kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa. Berbeda dengan kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa yang terus meningkat sampai tahun 1930. Baru setelah tahun 1930 terjadi penurunan jumlah kuli yang sangat drastis. Faktor utama terjadinya penurunan jumlah kuli tersebut disebabkan oleh krisis malaise pada

tahun 1930. Krisis ini membuat Perkebunan Senembah Maatschappij mengalami

kemerosotan finansial sehingga harus memulangkan dan memutuskan kuli kontrak dan menghentikan proses pengiriman kuli kontrak yang baru. Untuk lebih jelas


(23)

perkembangan fluktuatif jumlah kuli Cina, kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa dapat dilihat dari diagram berikut ini.

Gambar 2.

Diagram Perbandingan Antara Jumlah Kuli Cina, Kuli Jawa dan Kuli Perempuan Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij Tahun 1928-1933.

Sumber: Verslag over het boekjaar N.V. Senembah Maatschappij, Amsterdam: De

Bussy, 1929-1934, (dirangkum dari tahun 1928 sampai 1933)

2.3 Barak dan Pola Permukiman

Dengan banyaknya kuli yang ada di perkebunan, pihak perkebunan harus menyediakan tempat tinggal bagi kuli. Hal itu juga merupakan kewajiban bagi

pengusaha perkebunan yang tertuang pada pasal 2 dari Koeli Ordonnantie.68 Dalam

68

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1880 No. 133.

0.000 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000

1928 1929 1930 1931 1932 1933


(24)

perkebunan pola permukiman antara kuli, asisten dan tuan kebun menunjukkan hierarki strata kehidupan yang terjadi, bahwa kuli baik Cina maupun Jawa menempati

strata kehidupan terendah.69

Hal yang paling penting dalam pola permukiman kuli di perkebunan adalah masalah sanitasi, kebersihan dan ventilasi udara. Tempat tinggal dan pola

permukiman yang buruk dapat menimbulkan wabah yang menjalar di antara kuli.70

Menjelang akhir abad XIX banyak terjadi wabah yang menyebabkan angka kematian

kuli di perkebunan sangat tinggi. Wabah tersebut diantaranya adalah kolera, typhus,

pes dan malaria.71

Pada akhir abad ke XIX dan awal abad ke XX masalah permukiman kuli

menjadi perhatian yang serius bagi Perkebunan Senembah Maatschappij karena

terjadi banyak wabah penyakit. Bagi perkebunan, wabah penyakit yang terjadi berarti kerugian dalam arti kuli tidak mampu melakukan pekerjaan yang layak. Biaya perawatan bagi kuli yang terkena wabah penyakit, dan berarti pula jumlah kematian yang tinggi di antara tenaga kerja sehingga dapat mempengaruhi kondisi produksi di

perkebunan.72

Jenis tempat tinggal kuli dibedakan menjadi menjadi dua yaitu tempat tinggal

atau perumahan permanen atau biasa disebut kolonisasi dan tempat tinggal atau

perumahan sementara (biasanya terletak di tengah perkebunan tembakau dan pindah

69

T. Keizerina Devi, op.cit., hal. 126; lihat juga Ann Laura Stoler, op.cit., hal. 4-5. 70

B. Alkema, Arbeidswetgeving in Nederlandsch-Indie Inzonderheid met het Oog op de Oostkust van Soematra, Haarlem: NV. H. D. Tjeenk Willink & Zoon, 1929, hal. 48-50.

71

J. Tideman, “Penampungan Kuli Kontrak di Pantai Timur Sumatera”, Kolonial Studien, 1919, hal. 129.

72


(25)

setiap penanaman baru). Tempat tinggal permanen ada yang berbentuk panggung dan berlantai batu, dilengkapi dengan dapur, sumur dan pembuangan kotoran yang

ditutupi dengan papan.73 Tempat tinggal sementara berbentuk seperti barak dengan

ruang ventilasi cahaya. Di tengah-tengah barak ini dibangun dapur umum sebagai tempat penyediaan makanan bagi kuli. Kegiatan mandi dan persediaan air minum

dibuat disekitar barak dan dikontrol setiap tahun.74

Permukiman antara kuli Cina dan Jawa ditempatkan pada tempat yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik antar kuli. Faktor lainnya adalah agar pihak perkebunan mudah untuk mengawasi dalam sistem kerja di perkebunan. Selain itu karena pekerjaan kuli Cina adalah kuli lapangan maka pola permukiman mereka terletak di tengah perkebunan tembakau. Permukiman kuli Cina ditempatkan dalam barak-barak yang berbentuk panjang yang biasanya disebut tangsi. Dalam satu pola permukiman kuli Cina terdiri dari 4 baris tangsi.Tangsi ini dapat menampung satu atau dua regu kuli Cina yang berkisar antara 10 sampai 15

orang. Dalam setiap tangsi juga ditinggali oleh seorang tandil atau pengawas kuli

Cina. Tangsi atau barak tersebut berbentuk panggung dengan tinggi satu meter dari

tanah dan panjang barak adalah 200 meter. Barak ini dibangun dengan dinding dan

lantai kayu dengan atap daun nipah.75

73

Catalogus van de Inzending van de Oostkust van Sumatra op de Eerste Hygienische Tentoonstelling In Nederlandsch Indie (EHTINI) te Bandoeng, 25 Juni Tot 10 Juli 1927, Medan: Varekamp & Co, 1927, hal. 12-13.

74

B. Alkema, op.cit., hal. 49-50. 75


(26)

Pola permukiman kuli Jawa berbeda dengan kuli Cina. Pola permukiman kuli Jawa dibangun dengan sistem pondok. Pondok tersebut agak jauh dan tidak berada di tengah perkebunan. Dalam satu pondok biasanya terdiri sampai 20 rumah. Model sistem pondok ini ada yang berbentuk rumah tunggal atau model dua rumah. Biaya

yang dikeluarkan untuk membuat rumah tersebut adalah f 150 untuk rumah tunggal

dan f 250 untuk model dua rumah.76 Rumah-rumah dalam pondok biasanya

dilengkapi dengan kebun kecil atau halaman di depan atau belakang rumah kuli. Kebun kecil atau halaman tersebut ditanami pohon pisang, sayur-sayuran, tanaman

buah dan tempat untuk berternak unggas.77 Model ini hanya ditempati oleh kuli yang

sudah menikah dan berbeda dengan kuli yang masih lajang. Bagi kuli yang masih lajang disediakan pondok yaitu barak yang memanjang yang biasanya ditempati oleh

30 sampai 40 kuli lajang.78

Pada tahun 1924 perkebunan mencoba melakukan perubahan dalam sistem perumahan terhadap kuli Cina, yaitu mencontoh sistem pondok seperti kuli Jawa. Hal ini disebabkan oleh banyak kuli Cina yang menikah atau sekedar hidup bersama dengan perempuan Jawa. Banyak juga kuli Cina yang membawa istrinya dari Cina. Faktor lainnya adalah untuk mengikat kuli Cina dengan perkebunan seperti yang dilakukan terhadap kuli Jawa. Percobaan pertama dilakukan di perkebunan Gunung Rintih dan Simpang Empat. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena istri kuli

76

E. P. Snijders, Koeliehuisvesting en Geneeskundige Dienst op Rubberondernemingen, Amsterdam: De Bussy, 1921, hal. 30.

77

B. M. van Driel, Iets Over de Zorg voor den Gezondheidstoestand der Ondernemingsarbeiders In de Toekomst, Batavia: G. Kolff, 1931, hal. 810.

78


(27)

Cina tidak bekerja di perkebunan dan banyak yang meminjamkan uang dengan bunga tinggi atau menghasut suaminya untuk meninggalkan perkebunan. Setelah dua tahun, percobaan di perkebunan Gunung Rintih dihentikan dan menyusul tahun berikutnya

di perkebunan Simpang Empat.79

2.4 Kondisi Ekonomi dan Lingkungan Sosial

Tidak hanya pola permukiman saja yang menunjukkan hierarki struktur kehidupan, namun dalam kondisi ekonomi dan lingkungan sosial juga terjadi.

Hierarki terdapat dalam semua hubungan sosial di perkebunan.80 Dalam sistem

perkebunan terjadi pemisahan yang sangat jelas antara staf Eropa yang menempati tempat tertinggi, perantara antara kuli dan manajemen Eropa yaitu biasa disebut

mandor atau tandil dan kuli yang menempati struktur paling rendah.

Perbandingan terlihat jelas dengan gaji yang diterima oleh staf Eropa dan upah yang diterima mandor terlebih kepada kuli yang menempati posisi struktur

paling rendah. Setelah peralihan abad XIX, staf Eropa menerima gaji f 200 per bulan

dan naik menjadi f 400 setelah 6 tahun bekerja.81 Upah tandil kuli Cina sebesar f 319

per tahun, seorang mandor besar Jawa memperoleh upah f 258 per tahun, sedangkan

mandor Jawa biasa mendapatkan f 135.82 Kuli Cina upahnya dihitung berdasarkan

jumlah perawatan dan pemanenan yaitu 1000 pohon tembakau diberi upah sebesar f

79

Ibid., hal. 69-70. 80

Elsbeth Locher-Scholten, “The Nyai in Colonial Deli: A Case of Supposed Mediation” dalam Sita van Bemmelen, dkk. (eds.), Women and Mediation in Indonesia, Leiden: KITLV Press, 1992, hal. 219.

81

C. W. Janssen & H. J. Bool, op.cit., hal. 79. 82


(28)

10 karena menggunakan sistem borongan. Untuk kuli Jawa yang baru memperoleh

upah f 0,55 per hari, kuli Jawa yang sudah lama f 0,60 per hari dan untuk kuli

perempuan f 0,50 per hari.83 Selain dengan upah, sistem pembayaran hasil kerja kuli

juga dengan menggunakan beras yang disebut catuan atau rangsum.84

Dalam perkebunan juga diciptakan suasana agar para kuli tetap terikat oleh kontrak yang berlaku. Setelah hari gajian, biasanya tanggal 1 dan 16 setiap bulannya diadakan semacam pasar malam atau keramaian yang didalamnya secara sengaja perkebunan melegalkan perjudian, pelacuran dan penjualan secara bebas candu -candu

kepada kuli.85

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa tempat tinggal kuli dipisahkan berdasarkan rasnya. Hal ini juga berimplikasi terhadap lingkungan sosial kuli-kuli tersebut. Pemisahan yang dilakukan oleh pihak perkebunan bertujuan untuk lebih mudah mengontrol dan mengawasi kegiatan kuli, sebab perkebunan tidak ingin kuli tersebut bersatu sehingga dapat membahayakan perkebunan.

Hierarki yang diciptakan dalam perkebunan tidak jarang membuat kuli melakukan tindakan yang tidak terduga terhadap tingkatan kekuasaan yang ada

diatasnya. Tindakan-tindakan tersebut dapat berupa penyerangan hingga

pembunuhan. Contohnya dalam pemberitaan berikut ini yaitu ketika kuli menyerang tandil di perkebunan Batang Kuis.

83

C. W. Janssen dan H. J. Bool, op.cit., hal. 81. 84

Karl J. Pelzer, op.cit., hal. 156. 85


(29)

”Satu orang koeli – menoelis ka soerat kabar Deli Courant dari 13 Oktober – dari kebon Batang Kuis, datang ka Medan akan mengadoe hal dari pada tandil besar. Si tandil itoe kebetoelan ada itoe waktoe di Medan, dia ini diantjam tenga djalan oleh bebrapa orang jang marah itoe, maka tandil itoe soedah toeloeng dirinja sendiri oleh lari. Dibawa mengadap pada toean kontroleur, maka satoe bagian dari koeli-koelie itoe tida satoe poelang

kembali ka kebon. Di orang semoea ditahan didalem roema boei.“86

Contoh lainnya adalah penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh

kuli terhadap seorang staf Eropa dan kepala tandil terjadi di perkebunan Selayang dan

Batang Kuis dapat dilihat dari pemberitaan berikut.

”Di onderneming Selayang satoe koelie bangsa T.H. totok soedah menjerang pada

satoe assistent dan kepala tandil. Berdoeanja dapet loeaka malahan itoe kapala

tandil loekanja ada brat.”

”Baroe baroe ini dari Deli telah diwartaken dengan kawat tentang pemboenoehan

atas dirinja Segers, Assistent dari onderneming, Batang Kuis kepoenja’annja

Senembah Maatschappij.”87

Dibandingkan kuli Cina, Perkebunan Senembah Maatsschappij lebih

memperhatikan perbaikan dan kesejahteraan sosial kuli Jawa. Pada masa kepemimpinan C. W. Janssen pada 1889 sampai 1927 sangat memperhatikan pendidikan anak-anak Jawa di perkebunan. Ia menolak program pendidikan dasar dari pemerintah Belanda yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Sebaliknya ia mempekerjakan guru-guru Jawa yang memberikan pelajaran dalam bahasa Jawa di waktu pagi dan mengawasi pekerjaan praktek ringan di waktu sore. Setiap anak menerima sarapan pagi di sekolah dan setiap anak lelaki ditugaskan

86

Ibid., hal. 139. 87


(30)

untuk suatu kebun kecil untuk menanam dan memeliharanya. Kebanyakan anak-anak

yang lulus dari sekolah-sekolah tersebut dipekerjakan di perkebunan tersebut.88

Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh C. W. Janssen kemudian diikuti oleh direksi dan pemimpin selanjutnya.

Perkebunan Senembah Maatschappij juga mempunyai kepedulian terhadap

masa pensiun para pekerjanya. Diawali pada tahun 1896 melakukan sistem pensiun kepada staf Eropanya, kemudian pada tahun 1914 diberlakukan juga sistem pensiun terhadap kuli kontrak yang ada di perkebunan. Para kuli ini menerima uang pensiun

sebesar f 5 setiap bulannya dan dibayarkan setiap tiga bulan sekali.89

88

Karl J. Pelzer, op.cit., hal. 61. 89


(1)

setiap penanaman baru). Tempat tinggal permanen ada yang berbentuk panggung dan berlantai batu, dilengkapi dengan dapur, sumur dan pembuangan kotoran yang ditutupi dengan papan.73 Tempat tinggal sementara berbentuk seperti barak dengan ruang ventilasi cahaya. Di tengah-tengah barak ini dibangun dapur umum sebagai tempat penyediaan makanan bagi kuli. Kegiatan mandi dan persediaan air minum dibuat disekitar barak dan dikontrol setiap tahun.74

Permukiman antara kuli Cina dan Jawa ditempatkan pada tempat yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik antar kuli. Faktor lainnya adalah agar pihak perkebunan mudah untuk mengawasi dalam sistem kerja di perkebunan. Selain itu karena pekerjaan kuli Cina adalah kuli lapangan maka pola permukiman mereka terletak di tengah perkebunan tembakau. Permukiman kuli Cina ditempatkan dalam barak-barak yang berbentuk panjang yang biasanya disebut tangsi. Dalam satu pola permukiman kuli Cina terdiri dari 4 baris tangsi.Tangsi ini dapat menampung satu atau dua regu kuli Cina yang berkisar antara 10 sampai 15 orang. Dalam setiap tangsi juga ditinggali oleh seorang tandil atau pengawas kuli Cina. Tangsi atau barak tersebut berbentuk panggung dengan tinggi satu meter dari tanah dan panjang barak adalah 200 meter. Barak ini dibangun dengan dinding dan lantai kayu dengan atap daun nipah.75

73

Catalogus van de Inzending van de Oostkust van Sumatra op de Eerste Hygienische Tentoonstelling In Nederlandsch Indie (EHTINI) te Bandoeng, 25 Juni Tot 10 Juli 1927, Medan: Varekamp & Co, 1927,hal. 12-13.

74

B. Alkema, op.cit., hal. 49-50. 75


(2)

Pola permukiman kuli Jawa berbeda dengan kuli Cina. Pola permukiman kuli Jawa dibangun dengan sistem pondok. Pondok tersebut agak jauh dan tidak berada di tengah perkebunan. Dalam satu pondok biasanya terdiri sampai 20 rumah. Model sistem pondok ini ada yang berbentuk rumah tunggal atau model dua rumah. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat rumah tersebut adalah f 150 untuk rumah tunggal dan f 250 untuk model dua rumah.76 Rumah-rumah dalam pondok biasanya dilengkapi dengan kebun kecil atau halaman di depan atau belakang rumah kuli. Kebun kecil atau halaman tersebut ditanami pohon pisang, sayur-sayuran, tanaman buah dan tempat untuk berternak unggas.77 Model ini hanya ditempati oleh kuli yang sudah menikah dan berbeda dengan kuli yang masih lajang. Bagi kuli yang masih lajang disediakan pondok yaitu barak yang memanjang yang biasanya ditempati oleh 30 sampai 40 kuli lajang.78

Pada tahun 1924 perkebunan mencoba melakukan perubahan dalam sistem perumahan terhadap kuli Cina, yaitu mencontoh sistem pondok seperti kuli Jawa. Hal ini disebabkan oleh banyak kuli Cina yang menikah atau sekedar hidup bersama dengan perempuan Jawa. Banyak juga kuli Cina yang membawa istrinya dari Cina. Faktor lainnya adalah untuk mengikat kuli Cina dengan perkebunan seperti yang dilakukan terhadap kuli Jawa. Percobaan pertama dilakukan di perkebunan Gunung Rintih dan Simpang Empat. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena istri kuli

76

E. P. Snijders, Koeliehuisvesting en Geneeskundige Dienst op Rubberondernemingen, Amsterdam: De Bussy, 1921, hal. 30.

77

B. M. van Driel, Iets Over de Zorg voor den Gezondheidstoestand der Ondernemingsarbeiders In de Toekomst, Batavia: G. Kolff, 1931, hal. 810.

78


(3)

Cina tidak bekerja di perkebunan dan banyak yang meminjamkan uang dengan bunga tinggi atau menghasut suaminya untuk meninggalkan perkebunan. Setelah dua tahun, percobaan di perkebunan Gunung Rintih dihentikan dan menyusul tahun berikutnya di perkebunan Simpang Empat.79

2.4 Kondisi Ekonomi dan Lingkungan Sosial

Tidak hanya pola permukiman saja yang menunjukkan hierarki struktur kehidupan, namun dalam kondisi ekonomi dan lingkungan sosial juga terjadi. Hierarki terdapat dalam semua hubungan sosial di perkebunan.80 Dalam sistem perkebunan terjadi pemisahan yang sangat jelas antara staf Eropa yang menempati tempat tertinggi, perantara antara kuli dan manajemen Eropa yaitu biasa disebut mandor atau tandil dan kuli yang menempati struktur paling rendah.

Perbandingan terlihat jelas dengan gaji yang diterima oleh staf Eropa dan upah yang diterima mandor terlebih kepada kuli yang menempati posisi struktur paling rendah. Setelah peralihan abad XIX, staf Eropa menerima gaji f 200 per bulan dan naik menjadi f 400 setelah 6 tahun bekerja.81 Upah tandil kuli Cina sebesar f 319 per tahun, seorang mandor besar Jawa memperoleh upah f 258 per tahun, sedangkan mandor Jawa biasa mendapatkan f 135.82 Kuli Cina upahnya dihitung berdasarkan jumlah perawatan dan pemanenan yaitu 1000 pohon tembakau diberi upah sebesar f

79

Ibid., hal. 69-70. 80

Elsbeth Locher-Scholten, “The Nyai in Colonial Deli: A Case of Supposed Mediation” dalam Sita van Bemmelen, dkk. (eds.), Women and Mediation in Indonesia, Leiden: KITLV Press, 1992, hal. 219.

81

C. W. Janssen & H. J. Bool, op.cit., hal. 79. 82


(4)

10 karena menggunakan sistem borongan. Untuk kuli Jawa yang baru memperoleh upah f 0,55 per hari, kuli Jawa yang sudah lama f 0,60 per hari dan untuk kuli perempuan f 0,50 per hari.83 Selain dengan upah, sistem pembayaran hasil kerja kuli juga dengan menggunakan beras yang disebut catuan atau rangsum.84

Dalam perkebunan juga diciptakan suasana agar para kuli tetap terikat oleh kontrak yang berlaku. Setelah hari gajian, biasanya tanggal 1 dan 16 setiap bulannya diadakan semacam pasar malam atau keramaian yang didalamnya secara sengaja perkebunan melegalkan perjudian, pelacuran dan penjualan secara bebas candu -candu kepada kuli.85

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa tempat tinggal kuli dipisahkan berdasarkan rasnya. Hal ini juga berimplikasi terhadap lingkungan sosial kuli-kuli tersebut. Pemisahan yang dilakukan oleh pihak perkebunan bertujuan untuk lebih mudah mengontrol dan mengawasi kegiatan kuli, sebab perkebunan tidak ingin kuli tersebut bersatu sehingga dapat membahayakan perkebunan.

Hierarki yang diciptakan dalam perkebunan tidak jarang membuat kuli melakukan tindakan yang tidak terduga terhadap tingkatan kekuasaan yang ada diatasnya. Tindakan-tindakan tersebut dapat berupa penyerangan hingga pembunuhan. Contohnya dalam pemberitaan berikut ini yaitu ketika kuli menyerang tandil di perkebunan Batang Kuis.

83

C. W. Janssen dan H. J. Bool, op.cit., hal. 81. 84

Karl J. Pelzer, op.cit., hal. 156. 85


(5)

”Satu orang koeli – menoelis ka soerat kabar Deli Courant dari 13 Oktober – dari kebon Batang Kuis, datang ka Medan akan mengadoe hal dari pada tandil besar. Si tandil itoe kebetoelan ada itoe waktoe di Medan, dia ini diantjam tenga djalan oleh bebrapa orang jang marah itoe, maka tandil itoe soedah toeloeng dirinja sendiri oleh lari. Dibawa mengadap pada toean kontroleur, maka satoe bagian dari koeli-koelie itoe tida satoe poelang

kembali ka kebon. Di orang semoea ditahan didalem roema boei.“86

Contoh lainnya adalah penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh kuli terhadap seorang staf Eropa dan kepala tandil terjadi di perkebunan Selayang dan Batang Kuis dapat dilihat dari pemberitaan berikut.

”Di onderneming Selayang satoe koelie bangsa T.H. totok soedah menjerang pada

satoe assistent dan kepala tandil. Berdoeanja dapet loeaka malahan itoe kapala

tandil loekanja ada brat.”

”Baroe baroe ini dari Deli telah diwartaken dengan kawat tentang pemboenoehan

atas dirinja Segers, Assistent dari onderneming, Batang Kuis kepoenja’annja

Senembah Maatschappij.”87

Dibandingkan kuli Cina, Perkebunan Senembah Maatsschappij lebih memperhatikan perbaikan dan kesejahteraan sosial kuli Jawa. Pada masa kepemimpinan C. W. Janssen pada 1889 sampai 1927 sangat memperhatikan pendidikan anak-anak Jawa di perkebunan. Ia menolak program pendidikan dasar dari pemerintah Belanda yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Sebaliknya ia mempekerjakan guru-guru Jawa yang memberikan pelajaran dalam bahasa Jawa di waktu pagi dan mengawasi pekerjaan praktek ringan di waktu sore. Setiap anak menerima sarapan pagi di sekolah dan setiap anak lelaki ditugaskan

86

Ibid., hal. 139. 87


(6)

untuk suatu kebun kecil untuk menanam dan memeliharanya. Kebanyakan anak-anak yang lulus dari sekolah-sekolah tersebut dipekerjakan di perkebunan tersebut.88 Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh C. W. Janssen kemudian diikuti oleh direksi dan pemimpin selanjutnya.

Perkebunan Senembah Maatschappij juga mempunyai kepedulian terhadap masa pensiun para pekerjanya. Diawali pada tahun 1896 melakukan sistem pensiun kepada staf Eropanya, kemudian pada tahun 1914 diberlakukan juga sistem pensiun terhadap kuli kontrak yang ada di perkebunan. Para kuli ini menerima uang pensiun sebesar f 5 setiap bulannya dan dibayarkan setiap tiga bulan sekali.89

88

Karl J. Pelzer, op.cit., hal. 61. 89