Kehidupan Buruh di Perkebunan Deli Maatschappij pada tahun 1920-1942.

(1)

KEHIDUPAN BURUH PERKEBUNAN DELI MAATSCHAPPIJ 1920-1942 SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

l O

e h

NAMA : Debi Yusmin Ardiani NIM : 040706026

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KEHIDUPAN BURUH PERKEBUNAN DELI MAATSCHAPPIJ 1920-1942 SKRIPSI SARJANA

OLEH

NAMA : Debi Yusmin Ardiani NIM : 040706026

Pembimbing,

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum NIP. 131 460 532

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

KEHIDUPAN BURUH PERKEBUNAN DELI MAATSCHAPPIJ 1920-1942 Yang diajukan oleh :

NAMA : Debi Yusmin Ardiani NIM : 040706026

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum tanggal……….

NIP. 131 460 532

Ketua Departemen Sejarah,

Dra. Fitriaty Harahap, SU tanggal……….

NIP. 131 284 309

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi


(4)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

l e h

NAMA : Debi Yusmin Ardiani NIM : 040706026

Pembimbing,

Drs. Wara Sinuhaji, M. Hum NIP. 131 460 532

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen,

Dra. Fitriaty Harahap, SU NIP. 131 284 309


(6)

Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima oleh.

Panitia Ujian Fakultas Sastra Uneversitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan.

Pada : Hari : Tanggal :

Fakultas Sastra USU Dekan

Drs. Syaifuddin, M.A,. Ph.D Nip 132 098 531

Panitia Ujian.

No. Nama Tanda Tangan

1. ………. (……….) 2. ………. (……….) 3. ………... (……….) 4. ………. (……….) 5. ………. (……….)


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala kasih sayang dan karunia-Nya yang tiada tara sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ayahanda Alm. M. S. Yusuf dan Ibunda Dra. Hj. Armita yang tercinta dan tersayang yang telah membesarkan, mendidik dan menyekolahkan Ananda serta tidak henti-hentinya memberikan do’a dan dukungannya kepada Ananda selama dalam mengikuti perkuliahan. Segala bentuk nasehat dan petuah yang Ayahanda dan Ibunda berikan senantiasa akan selalu Ananda ingat. Tak mungkin Ananda dapat membalas semua pengorbanan yang Ayahanda dan Ibunda berikan, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. Terakhir Ananda hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar Ayahanda dan Ibunda selalu mendapat lidunganNYA amin.

2. Bapak Pimpinan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, penulis tak lupa mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang diberikan selama mengikuti perkuliahan.

3. Ibu Dra. Fitriaty Harahap S.U, selaku Pimpinan Departeman Sejarah yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama dalam perkuliahan.

4. Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sejarah yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis baik selama dalam perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini.


(8)

5. Bapak Drs. Wara Sinuhaji, M. Hum sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah begitu banyak memberikan dorongan, semangat, dan telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis.

6. Bapak Drs. Timbun Ritonga, selaku Dosen Wali yang telah banyak memberikan nasehat-nasehat kepada penulis mulai dari awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. Semua nasehat yang bapak berikan akan selalu penulis ingat.

7. Seluruh Dosen, Staf Pengajar, Staf Administrasi pendidikan Departemen Sejarah yang telah banyak membantu penulis dari mulai masa perkuliahan hingga dalam penyelesaian skripsi ini. Terkhusus penulis ucapkan kepada Bapak Edi Sumarno yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis. Semoga Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis amin.

8. My Honey Deka Andri Tarigan. S.Pd., Jet ‘Aime...Thank’s for everything and your support in this past years.

9. Kakakku Wiwik D. Ningsih, Yulfahani Yusuf, dan abangku Ferizal D. Armansyah., yang telah memberikan anjuran-anjuran dan saran-saran sehingga adikmu ini bisa menamatkan sarjana.

10.Abang, Kakak senior dan alumni serta Adik-adik sejurusan terima kasih atas dukungan yang kalian berikan. Sahabat-sahabat ku Stambuk ‘04 terkhusus kepada Ains, Piolina, Dence, Wardicha, Oriza, dan Iche serta bang Cipleks ’03 and Budi ‘07 yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis. Semoga Tuhan YME memberikan ganjaran yang setimpal atas semua kebaikan yang telah diberikan.

11. Ija’s Familiy, Ibu’ Ijah dan Icha, terima kasih atas dukungan moril dan materi yang telah diberikan, tak mungkin penulis dapat membelas semua kebaikan yang telah diberikan, semoga Allah SWT memberikan ganjaran yang berlipat ganda atas semua kebaikan yang telah diberikan amin.


(9)

Akhirnya untuk semua pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan beribu ucapan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan dengan ganjaran yang berlipat ganda.

Medan, Juni 2009. Penulis,


(10)

DAFTAR ISI

Halaman Halaman Pengesahan

Kata Pengantar……….... i

Daftar Isi………..……… iii

Abstrak……… v

BAB I PENDAHULUAN………... 1

BAB II KONDISI DAN SITUASI SUMATERA TIMUR………...…….. 13

2.1 Kondisi Alam dan Masyarakat Sumatera Timur………...…… 13

2.2 Pemerintahan Tradisional …....………...………...………...….. 16

2.3 Hubungan dengan Kolonial ………... 20

2.4 Kedatangan Nienhuys ………..………... 23

BAB III PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR………...………...…… 26

3.1 Masuknya Investor Asing ………..……....……. 26

3.2 Kedatangan Buruh dan Pekerja ke Sumatera Timur……… 28

3.3 Perkebunan Deli Maatschappij ………..…...…. 32

3.4 Sarana dan Jaringan Infrastruktur di Sumatera Timur………... 33

3.5 Berubahnya Komposisi Masyarakat Sumatera Timur ……….... 36

BAB IV KEHIDUPAN BURUH DI PERKEBUNAN DELI MAATSCHAPPIJ 1920-1942………...………...………...… 40

4.1 Ketergantungan pada Kontrak………...………...………...……. 40

4.2 Tingkat Pendapatan ………..……… 43


(11)

4.4 Sarana dan Fasilitas Hiburan ………..………...……... 53

4.5 Konflik Antar Buruh dan Tuan Kebun ………...………...……... 57

BAB V PENUTUP………..………..……….. 62

5.1. Kesimpulan………..………..…... 62

5.2. Saran………..………..………….. 64

DAFTAR PUSTAKA………..………..…….. 65


(12)

Abstrak

Skripsi ini berjudul Kehidupan Buruh di Perkebunan Deli Maatschappij pada tahun 1920-1942, meskipun ketika pembukaan perkebunan Sumatera Timur menjadi terkenal sampai ke luar Nusantara, namun di balik itu semua terdapat kisah yang memilukan, kisah bagaimana awal penderitaan buruh perkebunan dan praktis mereka tidak pernah merasakan kehidupan layaknya seorang manusia, di dalam skripsi ini juga banyak menyadur dari sebuah cerita yang mengisahkan penderitaan para buruh perkebunan yang diceritakan dan ditulis oleh van Den Brand dalam sebuah brosur bernama Millionnen Uit Deli yang didalmnya berisi bagaimana penguasa perkebunan memeras tenaga kerja buruh perkebunan tanpa ampun sehingga banyak dari mereka meninggal dalam keadaan berangan-angan karena sebelum menjadi buruh mereka dicekoki akan hal-hal yang menyenangkan padahal kenyataannya sebaliknya. Melalui sebuah penelitian sejarah, maka kehidupan buruh perkebunan di Sumatera Timur dapat ditelusuri secara nyata dan bukan hanya cerita atau dongeng belaka, oleh karena itu skripsi ini diharapkan dapat membuka pemikiran sejarah yang lebih tajam mengenai kehidupan buruh yang ada pada tahun 1920-1942


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Daftar Gambar

1. Gedung Kantor Deli Maatschappij pada tahun 1920 67

2. Rumah Seorang Administrateur 68

3. Dua Orang Tamil yang Bertugas Menjaga Keamanan Perkebunan 69

4. Pembukaan Hutan Di tanah Deli 70

5. Bersama Jacobus Nienhuys, J.T Cremer dan P.W. Janssen 71


(14)

Abstrak

Skripsi ini berjudul Kehidupan Buruh di Perkebunan Deli Maatschappij pada tahun 1920-1942, meskipun ketika pembukaan perkebunan Sumatera Timur menjadi terkenal sampai ke luar Nusantara, namun di balik itu semua terdapat kisah yang memilukan, kisah bagaimana awal penderitaan buruh perkebunan dan praktis mereka tidak pernah merasakan kehidupan layaknya seorang manusia, di dalam skripsi ini juga banyak menyadur dari sebuah cerita yang mengisahkan penderitaan para buruh perkebunan yang diceritakan dan ditulis oleh van Den Brand dalam sebuah brosur bernama Millionnen Uit Deli yang didalmnya berisi bagaimana penguasa perkebunan memeras tenaga kerja buruh perkebunan tanpa ampun sehingga banyak dari mereka meninggal dalam keadaan berangan-angan karena sebelum menjadi buruh mereka dicekoki akan hal-hal yang menyenangkan padahal kenyataannya sebaliknya. Melalui sebuah penelitian sejarah, maka kehidupan buruh perkebunan di Sumatera Timur dapat ditelusuri secara nyata dan bukan hanya cerita atau dongeng belaka, oleh karena itu skripsi ini diharapkan dapat membuka pemikiran sejarah yang lebih tajam mengenai kehidupan buruh yang ada pada tahun 1920-1942


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali, bahkan juga mereka yang dikaruniai ingatan sekalipun tidak akan dapat menyusun kembali masa lampaunya secara utuh. Di dalam proses kehidupan manusia sudah tentu pasti ada peristiwa, tetapi hanya peristiwa yang banyak merubah kehidupan manusialah yang melekat dalam pikirannya sebagai sebuah kesan, sedangkan peristiwa yang tidak menimbulkan kesan akan cepat sekali dilupakan oleh manusia itu sendiri. Dengan demikian, sebenarnya peristiwa sejarah baik yang berkesan maupun tidak dalam pikiran manusia secara moral sebenarnya merupakan tanggung jawab sejarawan untuk mengeksplorasinya untuk direkonstuksi menjadi sebuah historiografi. Pengalaman suatu generasi yang telah lama mati atau mungkin juga sebagian besar anggotanya tidak meninggalkan jejak dan rekaman, terlebih-lebih jika jejak tersebut tidak pernah sampai ke tangan sejarawan, maka jejak tersebut tidak pernah ditulis sebagai sebuah peristiwa sejarah. Demikian juga sebaliknya, jika jejak dan rekaman peristiwa tersebut sampai ke tangan sejarawan sudah barang tentu tidak pula akan seutuhnya akan dapat direkonstruksi oleh para sejarawan karena keterbatasannya sebagai manusia. Dengan demikian rekonstruksi total pengalaman


(16)

manusia pada masa yang lampau, meskipun menjadi tujuan sejarawan, merupakan suatu tujuan yang sepenuhnya mereka sadari tidak akan pernah mereka capai.1

Buruh adalah merupakan pekerja yang pada umumnya menggunakan tenaga sebagai alat untuk mendapatkan upah atau gaji sebagai penghasilan. Dalam kehidupan sehari-hari, buruh dapat juga dibedakan sebagai buruh halus dan buruh kasar. Buruh halus biasanya bekerja di kantor yang disebut dengan pegawai atau karyawan sedangkan buruh kasar adalah pekerja yang mengandalkan tenaga fisik,2

Perburuhan menyangkut masalah antara manusia dan manusia di tengah-tengah masyarakat. Konsepsi yang wajar tentang manusia dan masyarakat menjadi unsur hakikat yang penting dari social relation. Unsur hakikat atau norma didalam kehidupan masyarakatnya sangat diperlukan. Norma-norma dalam masyarakat yang mengalami ketegangan akan hilang dan timbul kekuatan atau match.

sering juga disebut dalam konotasi kuli.

3

Buruh adalah manusia, dan sebagai manusia dia harus hidup dalam masyarakat. Masyarakat yang dimasuki oleh buruh ini adalah : masyarakat keluarga, masyarakat Negara, masyarakat buruh atau organisasi buruh. Perkembangan sejarah buruh dapat dilihat dari apa yang disebut “budak” sampai ke buruh. Pada zaman apa yang disebut dengan ekonomi tertutup atau ekonomi tradisional, kebutuhan masyarakat atau kebutuhan rumah tangga dipenuhi atau diproduksi oleh rumah

1

Gotschalk, Louis., Mengerti Sejarah (terj) Nugroho Notosusanto, Jakarta : penerbit Universitas Indonesia (UI Press),1986,hlm.27

2 Historisme,edisi no.21/Tahun X/Agustus 2005,hlm.19

3 Moestofa,T,Sekilas Gerakan Buruh di Indonesia,Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,1981,hlm.1


(17)

tangga itu sendiri. Sehingga semua anggota rumah tangga itu bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya masing-masing.4

Peranan kaum buruh dalam meningkatkan jumlah produktifitas adalah besar sekali, Sebagai subjek produktifitas kaum buruh memiliki kesempatan untuk memegang peranan penting dalam meningkatkan partisipasinya dalam mencapai cita-cita meningkatkan hasil produktifitas sebuah perusahaan. Kaum buruh bersama golongan lain dalam masyarakat seperti golongan pengusaha misalnya, dan lain-lain golongan merupakan pelaku utama dalam usaha tersebut. Itulah sebabnya betapa pentingnya untuk menjaga hubungan keserasian antara pihak buruh dan pihak pengusaha demi ketenangan kerja mereka dalam menunjang suksesnya perusahaan yang memperkerjakan kaum buruh tersebut.

5

Selama ada tekanan dan ketidak adilan yang dirasakan oleh kaum buruh, selama itu pula ketenteraman tidak akan pernah tercipta. Misalnya tentang pengaturan dan penetapan tentang lamanya jam kerja, termasuk ketentuan-ketentuan mengenai hari kerja minimum, peraturan mengenai atas jaminan kebutuhan buruh, pencegahan pengangguran, ketentuan mengenai upah yang cukup untuk hidup, perlindungan terhadap kesehatan buruh, penyakit dan luka-luka yang timbul karena pekerjaan, perlindungan terhadap anak-anak, pemuda dan kaum wanita, pengaturan tentang jaminan hari tua dan kecelakaan.6

4 Ibid . hlm.3-4

5 Hasibuan, RM Syaiful Jalil.,Sejarah Konstitusi ILO dan FBSI, Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1985, hlm.1-2

6 Ibid hlm. 4


(18)

Di masa lampau buruh di Indonesia terpecah belah dan sulit dipersatukan karena adanya perbedaan paham politik atau ideologi yang dianut oleh pemimpinnya. Mereka menitikberatkan perjuangannya ke perjuangan politik dan kurang memperhatikan perjuangan untuk memperbaiki nasib serta kesejahteraan sosial ekonomi anggotanya.7

Bersama sejumlah rekanan, dan ditunjang oleh Nederlandsche Handel

Maatschappij (NHM) pada tahun 1869, Nienhuys mendirikan perusahaan Deli Maatschappij, sebuah perusahaan dalam bentuk perseroan terbatas pertama yang

beroperasi di Hindia Belanda.

Atas dasar pernyataan ini, maka penulis memiliki pandangan untuk membuat suatu penelitian mengenai sejarah perburuhan dengan judul Kehidupan Buruh

Perkebunan di Perusahaan Deli Maatschappij 1920-1942. Penelitian ini didasarkan

pada pemikiran bahwa terdapat jejak peristiwa masa lalu yang banyak berhubungan dengan masalah-masalah perburuhan terutama di perusahaan Deli Maatschappij, seperti yang sudah diketahui bahwa kapitalisme perusahaan Belanda pertama kali di Sumatera Timur diterapkan di perusahaan perkebunan ini.

8

7

Ibid hlm. 49

8

Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial Pada Abad ke-20, (terj) Koesalah Soebagyo Toer, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997, hlm.26

Perusahaan ini berada pada jalur pantai Timur Sumatera yang selama masa pemerintahan kolonial Belanda terkenal dengan nama

Sumatra Ooskust. Pada tahun 1873, pantai timur Sumatera ketika itu terdiri dari

beberapa landschape. Kemudian, karena perkembangan perusahaan-perusahaan asing di Sumatera Timur sangat memerlukan tenaga kerja manusia. Permukaan hutan lebat,


(19)

penebasan pohon-pohon besar, pembuatan saluran air, pengelolaan tanah penanaman tembakau dan sebagainya sangat memerlukan tenaga manusia dalam jumlah yang besar. Sulitnya mencari tenaga kerja sudah diketahui sejak semula. Para pengusaha perkebunana mengetahui penduduk asli tidak bersedia bekerja di perkebunan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan, juga karena penduduk pribumi Karo lebih suka bertani sendiri, sedangkan pribumi Melayu kesannya “malas” di mata kolonial.

Pertumbuhan perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur, terutama setelah tahun 1871 sampai sebelum terjadinya jaman Malaise tahun 1930 berjalan dengan sangat pesatnya. Perkembangan dan perluasan daerah-daerah perkebunan, diikuti pula oleh kebutuhan tenaga kerja yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan dalam usaha mendapatkan tenaga buruh. Pada awalnya agen-agen dan para perantara ini mengambil tenaga buruh yang rajin dan trampil, tatapi setelah permintaan jumlah tenaga buruh semakin meningkat, mereka tidak selektif lagi memilih buruh yang akan dibawa untuk dipekerjakan di Sumatera Timur.

Sebelumnya, perkebunan-perkebunan hanya mendatangkan pekerja-pekerja dari India dan Tiongkok. Kekurangan tenaga kerja menyebabkan tuan kebun melakukan berbagai cara apa saja untuk mendapatkan para pekerja tersebut. Mulai dari tipu muslihat hingga bujuk rayu dilakukan guna mendatangkan pekerja sebanyak-banyaknya ke Deli. Ada beberapa alasan mengapa orang Jawa tertarik untuk bekerja di perkebunan Deli Maatschappij, yang pertama padatnya penduduk pulau Jawa sehingga menyebabkan kekurangan lahan pertanian dan akhirnya banyak


(20)

penduduk tidak memiliki lahan pertanian dan tidak memiliki pekerjaan. Yang kedua, tingginya angka kelahiran dan menurunnya angka kematian sehingga hal ini menyebabkan pertambahan jumlah penduduk. Alasan selanjutnya adalah adanya penipuan dalam memberikan upah yang dijanjikan ketika seorang buruh mampu bekerja di perkebunan, namun ketika sampai di Deli upah tersebut tidak dibayar secara penuh.

Di dalam komunitas masyarakat perkebunan terdapat beberapa sarana dan fasilitas dalam mencari hiburan dan bentuk-bentuk rekreasi lainnya, namun hal ini hanya diperuntukkan bagi kaum-kaum tertentu, kaum Eropa berkumpul di Sociate atau disingkat Soos, antara lain untuk minum-minum, dansa, main kartu, bilyard dan lain sebagainya. Sebagai lapisan atas mereka memandang rendah golongan pribumi dan kontak terbatas hanya terjadi pada sebatas hubungan kerja. Mereka memiliki hak istimewa yaitu hak untuk memilih wanita yang baru didatangkan dari Jawa atau tempat lain. Kebanyakan hubungan itu tidak dikukuhkan sebagai hubungan perkawinan. Dapatlah di putuskan menurut si tuan kecil. Adapun masalah pelacuran dapat dianggap sebagai konsekuensi dari masyarakat perkebunan, karena perbandingan antara pria dan wanita tidak seimbang. Dampak lain ialah bahwa ikatan perkawinan tidak terlalu ketat, pada wanita ada lebih banyak kebebasan pergaulan dengan pria, meskipun sudah kawin. Dalam jenis perdagangan semacam ini wajar pula pelayanan mendahulukan pembayaran yang tinggi, apakah itu orang Eropa ataupun golongan Cina. Tidak mengherankan bila penyakit kelamin mulai tersebar luas dalam masyarakat itu.


(21)

Pembukaan lahan perkebunan umumnya merupakan konversi dari hutan alam, sehingga lokasi perkebunan umumnya berada di daerah baru yang jauh dari pemukiman. Untuk mencegah akulturasi dari masyarakat sekitar yang dinilai akan merugikan kultur perkebunan, pengusaha Belanda mendesain lokasi pemukiman pekerja tidak didekat jalan raya dan pemukiman masyarakat. Fenomena ini ditemui hampir di sebagian besar pemukiman perkebunan yang dibangun sebelum Perang Dunia II. Maksudnya agar terpisah dari keramaian dan pemukiman penduduk. Dalam aspek tertentu ternyata hal ini cukup kondusif untuk mensterilkan buruh dari pengaruh budaya luar. Konsep kemasyarakatannya memiliki tiga pilar utama yaitu, pertama stratifikasi jenjang struktur mirip di kehidupan militer, tujuannya agar berlangsungnya hubungan hierarki bersendikan kepatuhan kepada atasan. Kedua, disiplin dari bangun pagi, mulai bekerja, makan siang, istirahat dan sebagainya yang sampai kini masih berlaku dan ditaati. Fondasi Yang ketiga, membentuk masyarakat yang memiliki kultur kerja. Kegiatan perkebunan memiliki prosedur kerja baku yang menjadi prioritas utama bagi pelakunya. Umumnya, interaksi sosial pemukiman yang terhimpit dengan masyarakat mengalami penyimpangan berupa kultur kerja yang merosot. Isi kelemahan pemukiman enclave adalah kurang memberi ruang bagi akulturasi masyarakat sekitar, sehingga sering terjadi salah pengertian. Tipikal perkebunan yang dibangun belakangan, faktor-faktor tersebut terkadang diabaikan, akibatnya, kurang optimalnya pembentukan masyarakat perkebunan yang memiliki standar nilai dan kedisiplinan tersendiri.


(22)

Sebagai konsekuensi menyatunya hubungan kerja dengan hubungan sosial, stratifikasi sosial tersusun sesuai jenjang struktur pada organisasi perkebunan. Heterogenitas susunan penduduknya membentuk pola budaya warna-warni, tanpa adanya dominasi satu kultur budaya. Mobilitas social (vertikal) terjadi melalui promosi jabatan, dan bagi anak-anak pekerja yang memperoleh pendidikan tinggi biasanya keluar dari lingkungan perkebunan dan memilih profesi lain atau memasuki struktur perusahaan melalui jenjang rekruitmen sebagai menejer junior.9

Buruh perkebunan di perusahaan perkebunan tembakau Deli memiliki ciri-ciri yang tersendiri dan khas yang umumnya tertutup dan membentuk komunitas tertentu. Pada perkebunan tembakau Deli tersendiri, hal ini berarti adanya pola budaya yang terpetakkan sehingga menyebabkan golongan-golongan di dalamnya. Misalnya saja, para administrateur yang terdiri dari masyarakat bangsa asing menciptakan klub-klub tersendiri dan mengharamkan bagi masyarakat pribumi dan pekerja yang masuk kedalam area ini. Sedangkan bagi buruh pekerja lebih mengandalkan perjudian dan pelacuran yang lebih kotor untuk mendapatkan hiburan semacam itu. Selain daripada masalah tersebut, jurang pemisah antara juragan dan buruh tampak sangat jelas. Diskriminasi tentunya menjadi hal yang utama untuk lebih membuat penderitaan para

Hal seperti inilah yang sering terjadi pada perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Timur, khususnya pada perkebunan tembakau Deli.

9

Mohammad A. Ghani,.Sumber Daya Manusia Perkebunan Dalam Perspektif, Jakarta ; Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 26-27


(23)

buruh semakin lengkap. Diskriminasi dapat berupa pemberian gaji yang tidak merata antara beberapa suku bangsa para pekerja (bangsa Cina, Jawa, Tamil dan lain-lain).

Kehidupan pelacuran ditengah buruh perkebunan di perusahaan perkebunan Tembakau Deli menyebabkan banyak sekali permasalahan, diantaranya yaitu terjangkitnya berbagai penyakit kelamin dan pertengkaran-pertengkaran untuk memperebutkan wanita-wanita, sebagaimana yang kita ketahui perbedaan jumlah buruh pria dan wanita sangat jauh. Budaya lainnya yang tidak kalah menariknya adalah budaya Mestizo, dimana budaya peranakan sangat dianggap asing oleh masyarakat sekitar perkebunan, sehingga hal ini menyebabkan ketertutupan bagi wanita-wanita yang menghasilkan anak-anak peranakan. Mestizo dikenal dengan budaya yang mencampuradukkan sisi genital Indonesia dengan sisi galur Belanda murni. Selain itu pergundikan juga masalah yang sangat penting jika dikaitkan dengan masalah kehidupan masyarakat perburuhan di perkebunan Tembakau Deli. Pergundikan dilakukan oleh staf berkedudukan rendah yang berhubungan dengan

Nyai tanpa ikatan nikah.

Ruang lingkup penelitian dalam skripsi ini berkisar pada tahun 1920- 1942. Awal penelitian dimulai pada tahun 1920 karena pada kisaran tahun ini jadi lonjakan hasil produksi perkebunan dan jumlah tenaga kerja yang sangat besar sehingga dengan demikian dapat dianalisa bagaiman buruh yang sangat besar jumlahnya memberikan dampak pula pada perusahaan dari segi kehidupannya. Kemudian, penelitian akan diakhiri pada tahun 1942, diselingi sekitar sepuluh tahun dari tahun 1920-1930 dimana pada 1930 terjadi depresi ekonomi dunia dan jumlah tenaga kerja


(24)

yang sangat menurun drastis sehingga otomatis dengan berkurangnya jumlah tenaga kerja maka budaya pada perusahaan juga dapat berubah. Dan sekitar tahun 1942 adalah tahun dimana pendudukan Kolonial Belanda berakhir di Sumatera Timur.

1.2 Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kehidupan buruh perkebunan di antara masyarakat sekitar perkebunan

2. Bagaimana kebijakan pemerintah kolonial terhadap buruh perkebunan Deli Maatschappij

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah kolonial terhadap buruh perkebunan di Sumatera Timur

2. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan para buruh pada masa kolonial yang ada di perkebunan Deli Maatschappij

Sedangkan manfaat penelitian adalah : 1. Memperbanyak khasanah bacaan tentang sejarah buruh perkebunan

2. Juga agar seluruh jajaran masyarakat dan akademisi dapat memahami bagaimana keadaan buruh perkebunan yang menciptakan klasifikasi tersendiri terhadap budaya sekitar perusahaan perkebunan


(25)

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku yang berkaitan tentang masalah-masalah perburuhan di perkebunan tembakau Deli di antaranya :

Buku utama yang dipakai dalam penelusuran proposal ini adalah buku Mohammad A.Ghani, Sumber Daya Manusia Perkebunan Dalam Perspektif, Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003. Buku ini adalah literatur utama dimana didalamnya terdapat berbagai informasi mengenai tenaga kerja diantaranya rekrutmen, seleksi dan penilaian karir. Di dalamnya juga terdapat berbagai analisa mengenai kehidupan buruh perkebunan.

Buku selanjutnya yaitu karangan Jan Breman yang berjudul Menjinakkan

Sang Kuli, Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20, (terj) Koesalah Soebagyo Toer,

Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997. Buku ini berisi tentang fakta sejarah sosial serta mengungkapkan segi-segi negatif dari system kapitalisme dan kolonialisme, juga memberikan contoh yang sangat berharga sebagai cendekiawan kepada pakar-pakar ilmu sosial dan masyarakat pada umumnya. Dalam buku ini dikhususkan pada masalah yang dewasa ini pun masih sangat relevan yaitu nasib golongan pekerja yang miskin dan lemah.

T. Keizerina Devi, Poenale Sanctie, Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur tahun 1870-1950, Medan: Program Pasca Sarjana USU, 2004. Pembahasan dalam buku ini sangat menarik terutama bersumber


(26)

pada peristiwa-peristiwa di Sumatera Timur pada masa lampau serta mengurangi arbitrase tersendiri dalam globalisasi ekonomi antara suatu wilayah di bawah alam kolonialisme, namun tuntutan perubahan bukan semata-mata bersumber pada kesetiaan tetapi berdasarkan pada kalahnya persaingan.

Untuk bahan tinjauan selanjutnya, penulis menggunakan novel sejarah yang ditulis oleh Emil W Aulia dengan judul Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikayat Koeli

Kontrak. Di dalam novel ini banyak mengemukakan peristiwa sehari-hari buruh

perkebunan, mulai dari perekrutan hingga diterbitkannya De Millionnen Uit Deli yang banyak membela hak-hak buruh. Didalam novel ini diceritakan bagaimana cara-cara perekrutan tenaga kerja yaitu dengan menculik dan menipu orang-orang dari Jawa untuk dijadikan sebagai kuli di Sumatera Timur.

Kronologi Tembakau Deli Tahun 1998, didalamnya terdapat informasi mengenai keadaan perusahaan tembakau Deli.

1.5 Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang terdiri atas empat tahap yaitu: tahap pertama adalah mengumpulkan data-data yang terkait dengan objek penelitian dari berbagai sumber, baik merupakan sumber primer maupun sumber skunder. Tahap ini disebut sebagai tahap heuristik.

Tahap yang kedua adalah melakukan kritik dan seleksi terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan, baik kritik ekstern dan intern dengan tujuan untuk


(27)

mendapatkan keabsahan sumber. Hal ini sangat terasa perlu untuk memperkuat verifikasi sebelum akan diinterpretasikan.

Tahap ketiga adalah melakukan interpretasi terhadap berbagai sumber yang telah didapatkan, karena sebagian besar metode penelitian berupa studi komparatif, maka data-data yang terkumpul akan di interpretasikan sehingga menjadi sebuah historiografi atau penulisan sejarah yang diskriftif analitis yang bersifat objektif.


(28)

BAB II

KONDISI DAN SITUASI SUMATERA TIMUR

2.1. Kondisi Alam dan Masyarakat Sumatera Timur

Sumatera Timur dibatasi oleh Aceh di barat laut, Tapanuli di barat daya Bengkalis di tenggara dan Selat Malaka di timur laut. Luas daerah Sumatera Timur meliputi 31.715 kilometer persegi atau 6,7% dari seluruh daerah Sumatra. Sumatera Timur membentang mulai dari titik batas di puncak barisan yang dulu disebut Wilhelmina dan bukit simanuk-manuk. Dari bukit ini menurun menyentuh pantai timur Danau Toba, terus ke dataran rendah dan rawa pantai sepanjang Selat Malaka. Dua barisan bukit itu adalah bagian dari system Bukit Barisan yang membentang dari Banda Aceh di utara sampai Tanjung Cina di Selat Sunda, di selatan.10

10

Karl Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm.31

Sumatera Timur terletak antara garis khatulistiwa dan garis lintang utara 4 ° dengan iklim pantai tropik yang dalam sifat iklim mikronya dipengaruhi oleh topografi seperti daerah-daerah tanah tinggi, pegunungan Simalungun dan pegunungan Habinsaran. Di daerah-daerah pantai rata-rata suhu kira-kira 25 °C, dengan maksimum 32 °C. Dataran-dataran rendah pantai menikmati embusan angin darat dan laut dan sejuk pada malam hari. Karena suhu menurun dengan 0,6 °C per 100 m, maka suhu daerah-daerah pegunungan jelas lebih rendah daripada dataran


(29)

rendah. Di daerah-daerah yang lebih tinggi suhu menurun sampai rata-rata 12 °C dan berkisar antara 5,5 °C dan 18 °C.11

Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan

Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badera, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera. Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 per tahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular. Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.


(30)

penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat ini lah pada waktu penjajahan Belanda di tempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.

Sumatera Timur sampai pertengahan abad ke-19 didiami oleh kelompok etnis Melayu, Batak Karo, dan Batak Simalungun.12

Orang Batak Karo biasanya mendiami Dataran Tinggi Karo. Di Dataran Tinggi Karo tidak dijumpai sistem kerajaan. Akan tetapi pada masa kolonial, Belanda menciptakan lembaga-lembaga kerajaan di Dataran Tinggi Karo. Secara administrasi, unit terkecil di pemerintahan di Tanah Karo adalah kuta (kampung). Kuta didirikan oleh marga tertentu dan dipimpin oleh seorang penghulu. Pada mulanya ada banyak

kesain di sana sehingga perlu digabungkan menjadi kuta. Gabungan dari kuta ini

disebut urung, yang dipimpin oleh seorang Raja urung. Kuta induk disebut Mereka inilah yamg dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur. Orang Melayu sebagian besar bermukim di daerah pantai Timur. Menurut Lah Husni yang dimaksud suku Melayu adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta memakai adat resam dan Melayu secara sadar dan kontinu. Orang Melayu mayoritas beragama Islam, masuk Melayu sama dengan masuk Islam.

12

Anthony Reid J,Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Sinar Harapan,1987, hlm.87


(31)

perbapaan, sedangkan kampong anak disebut dusun. Gabungan dari perbapaan dan dusun-dusun disebut urung. Urung-urung ini kemudian membentuk sebuah federasi yang dikenal dengan sibayak,13

Orang Simalungun menetap di dataran tinggi Simalungun. Sama seperti Melayu, orang Simalungun juga memiliki rajanya sendiri. Ada beberapa kerajaan kecil yang berdiri di Simalungun. Sistem pemerintahan kerajaan Melayu.

dan dipimpin oleh seorang sibayak.

14

Orang Simalungun juga ada yang menetap di daerah-daerah Kerajaan Melayu, bahkan ada juga yang sudah menjadi Melayu, umpamanya di Bedagai, Luhak Batak, Timur Dusun daerah kekuasaan Serdang, di daerah Batubara, dan Labuhan Batu.15

2.2 Pemerintahan Tradisional

Kesultanan Deli didirikan oleh Gocah Pahlawan, seorang panglima perang Sultan Iskandar Muda. Gocah Pahlawan menurut terombo kesultanan Serdang nama aslinya adalah Jazid, dan yang lain menamakannya adalah Abdullah Rhain. Sedangkan menurut Denai ia bernama Muhammad Dalik. Sebaliknya menurut terombo kesultanan Deli namanya adalah Muhammad Delikhan (asal dari Keling India, anak cucu Raja Delhi Akbar). Ia merantau ke arah nusantara dan kapalnya tenggelam dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai. Karena kulitnya agak hitam, ia dikenal dengan nama Lebai Hitam. Berkat jasa dan kepahlawanannya

13 Nas Sebayang, Dasar-Dasar Bentuk Susunan Pemerintahan Tradisional Karo

(Medan:1990), hlm.8-9

14

Suprayitno, Dari Federasi ke Unitarisme: Studi Tentang Negara Sumatera Timur (Yogyakarta: Tesis S2, 1995), hlm.34.

15

Suprayitno, “ Medan Sebagai Kota Pembauran Sosio Kultur di Sumatera Utara Pada Masa Kolonial Belanda: dalam Historisme, Edisi No.21/ TahunX/ Agustus 2005,hlm. 2.


(32)

membunuh enam orang pengacau ia diberi gelar Gocah Pahlawan dari Sultan Aceh. Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.

Sekitar tahun 1630 setelah kembalinya ia ke tanah Deli, ia membuka ibukota baru di sungai lalang, percut. Dengan bantuan tentara Aceh, Gocah Pahlawan dapat menstabilkan kedudukannya di Deli pada tahun 1641, sehingga suatu kerajaan Deli yang baru dan bersahabat dengan Aceh dibawah pimpinannya dapat berdiri kokoh. Nama Deli sendiri menurut terombo Deli diambil dari nama Delhi, yaitu tempat asal Gocah Pahlawan. Kemungkinan lain, nama Deli diambil dari nama Deli-Tua, bekas ibukota Kerajaan Aru yang ditaklukkan oleh Gocah Pahlawan. Nama Deli Tua itu aslinya diambil dari nama sebuah sungai dekat Deli Tua yang bernama Lau Petani Deli16

16

Tengku lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang, Jilid I, Medan:Tanpa Penerbit, 1971, hlm. 30-32


(33)

Sultan Osman Perkasa Alamsyah adalah Sultan Deli pertama yang memerintah di Kesultanan Deli berdasarkan surat kuasa Sultan Aceh. Sultan Osman Perkasa Alamsyah wafat pada tahun 1858 dan dimakamkan di areal pemakaman Mesjid Raya Labuhan Deli. Sultan Osman Perkasa digantikan oleh putranya, Sultan Mahmud Perkasa Alamsyah, di buat perjanjian Acte Van Verband, antara Kesultanan Deli dan Belanda yang dipimpin oleh Residen Riau, Eliza Netscher, pada tanggal 21 Agustus 186217

17

Perjanjian itu berisi: bahwa Sultan Deli taat dan setia pada Raja Belanda/ Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan melaksanakan pemerintahan di Deli sesuai adapt dan peraturan; bersedia memajukan negeri dan rakyat; bersedia mematuhi syarat-syarat penambahan akte yang belum jelas atau belum tercantum. Perjanjian ini dilakukan Sultan Deli dan berikut gantinya.

. Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.

Setelah wafat, Sultan Mahmud Perkasa digantikan oleh putranya yaitu Sultan Mahmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah. Pada masa itu putranya diangkat menjadi Sultan belum mencapai usia tujuh belas tahun. Pada awal pemerintahan Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah, ibukot a Kesultanan Deli masih berada di Labuhan. Jauh sebelum Belanda , Labuhan telah mampu menjadi pelabuhan sungai penting yang ramai, dan telah mampu menampung kegiatan ekspor impor barang dagangan dari dan keluar wilayah Kesultanan Deli. Setelah penandatanganan Acte

Van Verband pada tanggal 22 Agustus 1862, Labuhan mulai dilirik untuk dijadikan


(34)

perkebunan berkebangsaan Belanda, pindah dari Jawa Timur ke Deli. Nienhuys berhasil mendapatkan konsesi tanah untuk membuka perkebunan di tanah Deli dari Sultan Mahmud Perkasa Alamsyah. Daerah yang pertama untuk penanaman tembakau terletak di tepi sungai Deli yaitu seluas 4000 bau18. Konsesi ini diberikan selama 20 tahun, selam 5 tahun pertama Nienhuys dibebaskan dari pajak dan sesudah itu baru membayar 200 gulden setahun19

Pada tahun 1879, Kedudukan Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan. Asisten Residen Deli sendiri pada masa itu berada dibawah Keresidenan Sumatera Timur dengan ibukotanya Bengkalis. Pindahnya Asisten Residen Deli ke Medan semakin menguatkan posisi Medan sebagai kota baru yang strategis.

Ditempat lain, pada tahun 1886, Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa .

Nienhuys berhasil dengan tanaman tembakaunya di Labuhan Deli. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor perusahaanya Deli Maatschappij, ke Medan. Alasannya, karena letak medan yang lebih tinggi dari Labuhan, dapat menghindarkan diri dari banjir. Alasan lain Karena Medan sendiri pada waktu itu masih penuh dengan hutan sehingga cukup mudah untuk melakukan perluasan lahan tanaman tembakaunya. Perkampungan yang sempat tercatat di Medan adalah suatu kampung yang disebut dengan Medan Putri yang terletak pada pertemuan antara sungai Deli dan sungai Babura.

18

1 bau= 7,096.5 meter persegi

19

Nurhamidah,” Sejarah Buruh Perkebunan di Sumatera Timur”dalam Historisme Edisi No.21/Tahun XI/ Agustus 2005, hlm.20. Lihat juga Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth an Ecohomic History of East Sumatra 1863-1942, Jakara: National of Institue of Economic and Social Research ( LEKNAS- LIPI ), 1977, hlm.3.


(35)

Alamsyah mendirikan kampong Bahari di Labuhan . Setelah melihat perkembangan Medan yang pesat, maka pada tanggal 26 Agustus 1888, Sultan Makmun Al-Rasyid mulai mendirikan Istana Maimon di Medan. Secara resmi, Sultan Makmun Al-Rasyid pindah ke Medan dan menempati Istana Maimon pada tanggal 18 Mei 1891. Dengan demikian, Medan menjadi ibukota Kesultanan pada tahun itu juga. Perpindahan ini semakin menjatuhkan pamor Labuhan sekaligus mempercepat proses kemunduran Labuhan Deli. Pada akhirnya Labuhan tidak lagi menjadi Bandar pelabuhan bagi Kesultanan Deli dan pemerintah Belanda disebabkan endapan-endapan Lumpur. Sebagai gantinya, kegiatan ekspor impor dipindahkan ke Belawan yang sudah dibangun pemerintah Belanda pada saat itu20

20

Historisme Edisi No.22/Tahun XI/ Agustus 2006, oleh Ratna, “Labuhan Deli:Riwayatmu Dulu” hlm. 9-10.

.

Pada masa Sultan Makmun Al-Rasyid memerintah di Deli, perkebunan-perkebunan tembakau sudah tersebar luas di Labuhan dan Medan. Pada masa itu wilayah Kesultanan Deli yang ramai dan menjadi pusat aktivitas ekonomi adalah Labuhan dan Medan. Namun, sebagai akibat perpindahan Deli Maatschappij dan Asisten Residen Deli dari Labuhan ke Medan, serta dijadikannya Medan sebagai ibukota Keresidenan Sumatera Timur, aktivitas ekonomi menjadi terpusat di Medan. Sehingga, Labuhan jatuh pamornya dan ditinggalkan orang. Hal ini yang memaksa Sultan Makmun Al-Rasyid memindahkan Kesultanan Deli dari Kampung Bahari, Labuhan ke Medan.


(36)

2.3. Hubungan dengan Kolonial

Ekspansi kekuasaan kolonial masuk ke Sumatera Timur melalui kerajaan Siak. Dengan Siak, Belanda berhasil mengadakan perjanjian yang disebut Traktat Siak yang ditandatangani pada 1858. Isi Traktat Siak antara lain:

a) Raja Siak menyatakan bahwa kerajaan menjadi bagian dari pemerintah Hindia Belanda di bawah kedaulatan Belanda.

b) Pemerintah Belanda diizinkan mendirikan pos di Bengkalis.

c) Pengganti Raja atau Raja Muda harus bersumpah setia kepada Jenderal.

d) Tanpa izin dari Residen Riau Sultan tidak dibolehkan berhubungan dengan pemerintah asing dan melarang orang asing menetap di wilayah kekuasaanya. e) Pemerintah Hindia Belanda jika berkeinginan dapat mengambilalih pajak atau

pendapatan Sultan dengan diberi ganti rugi. Karena Siak telah ditundukkan, selanjutnya Traktat Siak oleh Belanda dipakai sebagai langkah persiapan menaklukkan Sumatera Timur21

Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.

.

21

Budi Agustono, Muhammad Osmar Tanjung, Edy Suhartono, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia VS PTPN II: Sengketa Tanah di Sumatera Timur (Bandung: Wahana Informasi Masyarakat dan AKATIGA, 1997),hlm.22


(37)

Pada tahun 1862, yaitu empat tahun setelah penandatanganan Trakta Siak, Residen Elisa Netscher berlayar ke berbagai kerajaan di Sumatera Timur. Dengan tujuan agar raja-raja yang berada dibawah kekuasaan Siak agar mengakui kedaulatan pemerintah Hindia Belanda atas kerajaan mereka masing-masing sesuai isi Traktat Siak. Tetapi Sultan Mahmud Perkasa Alam yang menggantikan Sultan Osman, yang menduduki Kerajaan Deli, menyatakan bersedia mengakui kedaulatan Hindia Belanda atas kerajaan Deli dengan syarat bahwa kerajaan Siak bukan merupakan atasan bagi kerajaan Deli. Kemudin Resident Netscher menyetujui syarat tersebut. Dengan ditandatanganinya Acte Van Erkenning (bahwa kerajaan Deli berada dibawah perlindungan Hindia Belanda yang berdaulat di Siak) oleh Sultan Mahmud pada tanggal 22 Agustus 1862 maka sejak saat itu Hindia Belanda mulai menjajah Deli.

Belanda menaklukkan Sumatera Timur bukan lewat peperangan, melalui kontrak politik atau akta perjanjian yang disodorkan secara paksa kepada kesultanan. Setiap kali menandatangani Akta Perjanjian kepada Sultan, Belanda memaksa kehendak politiknya. Dengan Akta Perjanjian itu pula Belanda semakin mudah mengontrol dan mendiktekan kemauan politiknya.

Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887, Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana


(38)

Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.

Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.

Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.

Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929). Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang


(39)

dijadikannya medan sebagai ibukota Deli juga telah menjadikan Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah.

2.4 Kedatangan Nienhuys

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau Deli, Maret 1864, hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.

Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".

Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau


(40)

Jacobus Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot, pedagang tembakau asal Belanda memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 Bahu di Tanjung Spassi, dekat Labuhan. Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya. Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik.

Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Nienhuys bersama Jannsen, P.W. Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan. Kantor baru itu dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II (eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta sungai Beras dan Klumpang pada tahun 1875.


(41)

BAB III

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR

3.1 Masuknya Investor Asing

Pada awal masuknya investor asing di Sumatera Timur, ketika Jacobus Nienhuys menemui pangeran Said Abdullah dan mendengar cerita dari beliau bahwa Deli merupakan daerah sebagai penghasil tembakau yang potensial. Mendengar cerita itu, Jacobus Nienhuys sangat berkesan dan langsung memutuskan untuk menemani pangeran Said Abdullah ke Sumatera Timur. Didalam perjalanan mereka melakukan tiga persinggahan, pada persinggahan pertama mereka singgah melakukan kunjungan kepada Residen E. Netscher di Riau, Residen E. Netscher salah seorang pejabat yang pernah melakukan perjalanan singkat ke Sumatera Timur, jadi beliau memiliki sedikit pengetahuan tentang keadaan Sumatera Timur.

Residen Netscher menyarankan para rombongan Nienhuys untuk melakukan persinggahan di Singapura untuk membeli barang dagangan seperti candu dan tekstil. Singapura merupakan tempat persinggahan mereka yang kedua. Persinggahan mereka yang ketiga yaitu pulau Bengkalis, Siak. Jacobus Nienhuys menemui Asisten Residen Arnoudt, beliau merupakan seorang yang bertanggung jawab terhadap pemerintah Deli.


(42)

Setelah tiga minggu rekan-rekan Nienhuys kembali ke Jawa, sedangkan Nienhuys sendiri tinggal dan menyewa rumah dari Sultan. Untuk pertama kalinya Nienhuys melakukan aktivitas meminta izin kepada majikannya yang berada di Roterdam untuk memindahkan kegiatannya dari Jawa ke Sumatera. Selain itu Nienhuys meminta izin untuk mendapatkan hak tunggal untuk membeli tembakau yang dihasilkan oleh penduduk setempat juga untuk melakukan penanaman percobaan seluas 75 hektar, dan wewenang untuk membeli 300 hektar lainnya.

Ternyata usaha Nienhuys telah membuahkan hasil, pada tahun 1864 tembakau dapat dipanen sebesar 50 bal. Namun Nienhuys merasa kurang puas atas hasil panen yang dicapai, penyebabnya karena penduduk asli yang malas bekerja. Oleh karena itu Nienhuys mencari buruh ke semenanjung Malaya. Dia berhasil membawa ratusan orang Cina ke Sumatera Timur sebagai buruh perkebunan. Dengan masuknya buruh Cina merupakan awal dari sejarah perburuhan di Sumatera Timur. Ternyata usaha yang dilakukan Nienhuys tidak sia-sia, para buruh Cina merupakan tenaga kerja yang sangat terampil. Hal ini dapat dilihat dari hasil panen yang sebelumnya hanya 50 bal, namun setelah buruh Cina didatangkan sebagai pekerja di perkebunan hasil panen meningkat menjadi 189 bal.

Dengan hasil panen yang banyak dan disertai dengan tembakau memiliki kualitas bermutu tinggi, maka nama Sumatera Timur mulai dikenal dipasaran Dunia sebagai penghasil tembakau berkualitas. Menjulangnya mutu tembakau Deli


(43)

rupanya menarik pengusaha swasta asing untuk menanamkan modalnya ke Sumatera Timur. Para pengusaha asing dari berbagai mancanegara berlomba-lomba untuk menginvestasikan modalnya dalam industri tembakau.

Dengan Deli Maatschappij sebagai pionir perusahan perkebunan di Sumatera Timur mendirikan anak-anak perusahaan yang banyak memberikan keuntungan seperti Perkebunan Carlsruhe sebagai induk produksi pembuatan minyak kelapa, kemudian perkebunan Pala Vsuvius dan Catsburg serta perkebunan kelapa Hospitality yang banyak menghasilkan komoditi di bidangnya masing-masing. Selain Deli Maatschappij perusahaan lainnya yang memegang pengaruh penting di Sumatera Timur yaitu Deli-Batavia yang merupakan perpanjangan tangan Batavia di Sumatera Timur dan Senembah menambah daftar panjang perusahaan yang mencari peluang keuntungan di Sumatera Timur serta ditambahkannya lagi perusahaan Arendsburg dan Tjinta Raya semakin meramaikan perusahaan perkebunan yang memiliki masa depan yang cerah itu.

3.2 Kedatangan Buruh dan Pekerja ke Sumatera Utara

Setelah dibukanya beberapa perkebunan maka banyak pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja untuk perkembangan dan perluasan daerah-daerah perkebunan, diikuti pula oleh kebutuhan tenaga kerja yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan dalam usaha mendapatkan tenaga buruh. Pada awalnya agen-agen dan para perantara ini mengambil tenaga buruh yang rajin dan


(44)

trampil, tetapi setelah permintaan jumlah tenaga buruh semakin meningkat, mereka tidak selektif lagi memilih buruh yang akan dibawa untuk dipekerjakan di Sumatera Timur.

Sejak semakin banyak onderneming yang berdiri, maka permintaan tenaga kerja semakin tinggi. Untuk pertama kalinya Nienhuys mendatangkan tenaga kerja dari luar yaitu orang-orang Cina dari Penang pada tahun 1864. Pada awalnya buruh-buruh Cina ini tidak mengerti sama sekali tentang penanaman tembakau tetapi mereka merupakan buruh yang mau bekerja. Sejak awal tahun 1880-an mulai didatangkan tenaga kerja dari Jawa dan India untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan. Pada tahun 1884 jumlah tenaga kerja Cina sudah mencapai 21.136. Pada tahun 1900 meningkat menjadi 58.516 orang, dan di tahun yang sama tenaga kerja Jawa masing-masing 1.771 dan tenaga kerja India dan lainnya 25.224 orang.

Setelah dapat menundukkan perlawanan dari Serdang, Asahan dan Tamiang, maka perusahaan tembakau yang mulanya dibuka oleh Nienhuys di Deli pada tahun 1863, ternyata mernghasilkan tembakau yang aromanya tiada tara harumnya sebagai wrapper (pembalut cerutu). Wilayah tanaman tembakau ini adalah dari Sungai Wampu (Langkat) sampai Sungai Ular (Serdang). Karena sangat laku dipasaran Eropa dan Amerika, maka dibukalah perkebunan tembakau oleh investor asing secara besar -besaran dan pemakaian kuli orang Melayu dan Karo yang dianggap malas,


(45)

digantikan oleh kuli Cina yang didatangkan dari Malaya dan daratan Cina (Swatow).

Di dalam tahun 1865 cuma didatangkan 88 orang kuli Cina tetapi tahun 1872 sudah bertambah 4.000 orang dan terus tiap tahun bertambah dan mereka umumnya suku Toechew dan Hokien. Mereka didatangkan melalui serikat-serikat rahasia (Triad Secret Society) seperti Gee Hin, Toh Pe Kong dan lain-lain. Geng-geng ini selalu bertarung yang menimbulkan korban jiwa pada 1880-1883 di Medan. Karena orang Cina yang didatangkan dari daratan Tiongkok ini terdiri dari rakyat jelata di desa-desa miskin tidaklah berapa berbudaya dibandingkan dengan Cina di Jawa yang pedagang dan golongan menengah. Oleh karena itu di tahun 1883 banyak sekali bekas kuli Cina yang lari dari perkebunan yang menjadi perompak lanun dan perompak wang gajian kebon.

Sementara itu sumber finansial suku-suku Cina di Penang dan Singapura memberikan kredit kepada orang Cina bekas kuli kebon ini. Pihak perkebunan asing juga memberikan kemudahan kepada bekas kuli Cina ini membuka kebon sayur dan beternak babi di dalam areal konsesi serta memberi kemudahan membuka pula kedai sampah di sekitar perkebunan untuk mensuplai keperluan kuli kebon dan para Tuan Asisten Kebon. Bahkan mereka sudah menyewa tanah orang Melayu untuk bertanam pinang dan kopra buat dieksport. Dalam sensus tahun 1905, jumlah orang Cina 99 ribu orang dan dalam sensus tahun 1930 di Sumatera Timur jumlah orang Cina sudah mencapai 193 ribu.


(46)

Suku-suku Cina di Sumatera Timur berusaha dalam sistem Gilde. Suku Hokien berdagang, Kanton bertukang, Hakka dagang kecil, Halam koki, Teochiu nelayan. Dengan bantuan perkebuan Belanda dan Pemerintah Hindia Belanda yang menempatkan orang Cina sebagai golongan menengah, maka orang Cina dengan bantuan finansial dari perkumpulan dagang di Penang dan Singapura dan Hongkong telah menguasai kedai sampai di desa-desa, membuka toko-toko di kota-kota, membuat sistem ijon kepada nelayan dan petani bumi putera, menjadi leverensi barang produksi import dari Eropa dan Amerika seperti sepeda, mesin jahit.

Seorang kuli Cina, Tan Tang Ho, dengan sehelai sepinggang masuk ke Medan 1880 dan 20 tahun kemudian sudah menjadi agen tunggal sepeda dan mesin jahit Eropa dan sudah menjadi konglomerat. Demikian juga halnya dengan kuli Cina datang sehelai sepinggang seperti Chong Yong Hian dan adiknya Chong A Fie, yang kemudian menjadi milyuner dan diangkat Belanda menjadi Mayor Cina, punya toko-toko, bank, perkebunan dan membuka rel kereta api di tanah kelahirannya. Bahkan dia menghadiahkan titi berlian di Kampung Keling kepada Kotapraja Medan dan membiayai sebagian pembuatan Mesjid Raya Medan. Chong A Fie sangat suka menderma kepada mesjid dan rumah yatim piatu setiap waktu. Ia adalah merupakan kekecualian dari sekian banyak konglomerat Cina di jaman masa penjajahan.

Sejak enterpreneurship mereka menguasai perekonomian di Sumatera Timur, mereka mulai memikirkan keterampilan usaha (skill dengan sistem magang) dan pendidikan ilmu di sekolah kepada anak-anak mereka. Di Medan berdiri "The Medan Normal School", "The Medan Boarding School", "Sutung" berbahasa Cina-Inggris


(47)

dan jarang berpaling kepada sekolah yang didirikan pemerintah Hindia Belanda untuk mengimbangi pengaruh Inggris ini yaitu Hollands Chinees School" (semacam HIS) di tahun 1917.

Mereka semuanya patuh pada perintah dan berita dari organisasi suku-suku mereka. Sejak 1900 telah berdiri "Tionghoa Hwee Koan" dan tahun 1910 "Chineesche Handels Vereeniging", "Trading House" orang Cina pimpinan Oen Huat Kim. Kekuasan perkumpulan Cina dapat kita lihat ketika ia memerintahkan kepada semua pedagang dan kedai Cina agar memboikot barang Jepang (yang ketika itu menyerang Cina).

Di sini dapat dilihat bahwa ikatan darah lebih kuat daripada ikatan kewarganegaraan dan cinta kepada tanah leluhur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menaikkan harga candu, maka perkumpulan mereka berhasil menyogok oknum pabean Hindia Belanda agar kapal yang membawa candu selundupan ke Belawan dapat lolos.

Ketika masa Malaise menghantui dunia tahun 1930-an, banyak perusahaan Cina di Sumatera Timur yang membawa lari uang mereka ke luar negeri dan lalu dengan sengaja membangkrutkan perusahaan itu. Pada 1930 saja sudah ada 57 perusahaan yang dibangkrutkan. Jadi kita lihat pada zaman ini perusahaan Cina dianggap sebagai midleman oleh pemerintah Hindia Belanda. Perusahaan Cina sudah menguasai transportasi laut, grosier barang dagangan lokal dan bahkan sampai ke kedai sampah di pelosok desa terpencil. Mereka juga sudah menjadi agen perusahaan Eropa dan Amerika, dan menguasai para nelayan dan petani kecil melalui sistem ijon.


(48)

Perasaan dendam dan keputusasaan para nelayan dan petani serta rakyat kecil terhadap dominasi ekonomi Cina itu menimbulkan aksi penjarahan terhadap jiwa dan harta benda mereka. Hal itu bukan karena ketatnya pengawasan hukum dan alat negara kolonial, tetapi juga adanya perasaan dari tindakan social di antara beberapa tokoh mereka terhadap rakyat seperti derma kepada panti-panti asuhan, sedekah terhadap fakir miskin, bantuan untuk mesjid dan kegiatan rakyat pribumi lainnya. Tauke pemberi ijon juga memberikan layanan jika nelayan/petani kesulitan keuangan dalam keluarga atau menghadapi lebaran.

3.3 Perkebunan Deli Maatschappij

Atas keberhasilan Janssen, Clemen, Nienhuys terhadap percobaan perkebunan terdahulu, maka Nederlands Handel Maatschappij (NHM), perusahaan dagang Belanda bersedia mendirikan perseroan terbatas bersama ketiga orang tersebut di Deli. Deli Maatschappij adalah merupakan perusahaan pertama yang didirikan di Sumatera Timur. Deli Maatschappij berjalan sesuai dengan rencana yang dibuat Nienhuys, perusahaan ini memusatkan perusahaannya pada produksi tembakau. Deli Maatschappij sepanjang sejarahnya menghasilkan tembakau gulung terkenal di Sumatera Timur.

Deli Maatschappij selamanya menduduki tempat terpenting. Pada tahun 1873, luas tanahnya 26.000 bau terdiri atas tiga jenis tanaman yang di industrikan yaitu, tembakau, pala dan kelapa. Namun pada tahun 1876, pasaran industri kelapa sangat


(49)

merosot sehingga pihak pengusaha menghapuskan industri kelapa. Hal yang serupa terjadi pada tahun 1882, yaitu industi pala mengalami hal yang sama.

Pada tahun 1870, Nienhuys pulang ke Belanda tetapi tetap berhubungan erat dengan Deli Maatschappij sampai tahun 1927. Sebagai penggantinya Nienhuys menunjuk seorang pemuda berusia 24 tahun yang di kenalnya di Singapura. Waktu itu sang pemuda bekerja pada kantor NHM yang memberi kesan hebat pada Nienhuys. Cremer menampilkan sebagai industriawan tulen. Dibawah kepemimpinannya Deli Maatschapppij berkembang menjadi perusahaan yang besar pada dasawarsa berikutnya. Kemampuannya terutama dalam pengorganisasian bukan pertanian. Kepada sejumlah besar tuan kebon swasta ia menawarkan biaya operasi, sebagai imbalannya mereka di wajibkan memasarkan produksi mereka dengan perantara Deli Maatschappij.

3.4 Sarana dan Jaringan Infrastruktur di Sumatera Timur

Ekspansi onderneming dibeberapa daerah membutuhkan sarana transportasi untuk mendukung industri perkebunan. Transportasi yang di gunakan di Sumatera Timur hingga awal abad ke-20, yaitu trasportasi melalui air dan darat. Transportasi air dilakukan di sungai-sungai dengan menggunakan rakit, sampan, dan kapal. Transportasi darat dilakukan diatas jalan-jalan raya dengan mengunakan tenaga hewan, dan kendraan bermotor, serta kerata api pada jalur-jalur yang tersedia.


(50)

Awalnya transportasi yamg dipergunakan adalah transportasi air namun setelah kedatangan bangsa asing ke daerah Sumatera Timur yang telah membuka perkebunan dengan skala besar, maka pihak pengusaha membangun sarana transportasi darat dengan membangun jalan-jalan besar dan rel kreta api.

Pembukaan jalan raya pertama di Sumatera Timur pertama kali di pelopori Deli Maatschappij di tahun 1880a n yang membangun jalan raya antara Medan dan Sunggal sepanjang 10 km, dan dari Lubuk Pakam ke Bangun Purba sepanjang lebih kurang 20 km. Selain itu dibangun juga jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah penting lainnya yaitu, jalur Medan ke Belawan 22 km, Medan ke Pangkalan Brandan yang melewati Binjai dan Tanjung Pura sepanjang 107 km. Selanjutnya juga dibangun jalan raya dari Medan ke Tebing Tinggi 81 km, Tebing Tinggi ke Tanjung Balai terus ke perbatasan Kualuh di Asahan sepanjang 115 km, Tebing Tinggi ke Pematang Siantar 53 km,terus ke Parapat sepanjang 46,5 km. Kemudian dari Lubuk Pakam ke Seribu Dolok sepanjang 92 km, disamping itu dari Medan ke Kabanjahe 79 km, serta dari dari Kabanjahe ke Seribu Dolok dan Harang Gaol di tepi Danau Toba. Hasilnya sejak pertama kali Nienhuys membuka perkebunan tembakau di Deli pada tahun 1863 hingga tahun 1918 di Sumatera Timur sudah terbangun jalan raya sepanjang lebih dari 500 km.22

22

Edi Sumarno,”Mundurnya Kota Pelabuhan di Sumatera Timur pada Periode Kolonial”, dalam Historisme Edisi No. 22/ Tahun XI/ Agustus 2006, hlm.3


(51)

Pembangunan Transportasi jalur kereta api yang dipelopori Deli Spoorweg Maatschappij pada tahun 1883 merupakan salah satu upaya membuka peluang dikenalnya daerah Sumatera Timur sebagai salah satu penghasil tembakau bermutu baik. Kontruksin pembangunan jalur kereta api ini merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat maupun perkebunan. Jaringan rel yang dibangun adalah didaerah perkebunan sebab tujuan utama pembangunan rel kereta api mengangkut hasil-hasil produksi perkebunan untuk diekspor keluar negeri.23

Hingga tahun 1901 perusahaan kereta api telah membuka jalur sepanjang 103,382 km, Medan ke Labuhan sepanjang 16,243 km, Medan ke Binjai sepanjang 20,888km, Medan ke Deli Tua sepanjang 11,249 km, Labuhan ke Belawan sepanjang 617,688 km, Binjai ke Selesai sepanjang 10,576 km. Setelah tahun 1915 jalurnya,162 km, Medan ke Serdang sepanjang 20,122 km, Serdang ke Perbaungan sepanjang bertambah menjadi 157,717 km. Jalur-jalur tersebut meliputi Kampung Baru ke Arnhemia sepanjang 14,872 km, Lubuk Pakam ke Bangun Purba 27,936 km, Selesai ke Kuala sepanjang 9,943 km, Perbaungan ke Bamban sepanjang 30,350 km, Bamban ke Rantau Laban sepanjang 10,680 km, Binjai ke Stabat sepanjang 24,036 km, Stabat ke Tanjung Pura sepanjang 22,428 km, dan Tanjung Pura ke Pangkalan Brandan sepanjang 19,505 km. Pembangunan jalur kereta api sampai tahun 1920 bertambah sekitar 131,773 km, yakni dari Deli Tua ke Batu sepanjang 3,035 km, Pangkalan Brandan ke Besitang sepanjang 14,990 , Tebing Tinggi ke Pematang

23

Indera ” pertumbuhan dan perkembangan Deli Spoorweg Maatschappij di Sumatera Timur 1883-1940”, Tesis S2, PPS-UUI, Jakarta 1995, hlm.25-27.


(52)

Siantar sepanjang 48,464 km, Rantau Laban ke Tanjung Balai sepanjang 95,062 km, Tanjung Balai ke Teluk Nibung sepanjang 4,592 km.24

Selain dari pada itu, perkembangan masyarakat Sumatera Timur menarik sejumlah besar orang Sumatera dari Minangkabau dan tetangga-tetangganya Mandailing, Angkola dan dari daerah Batak telah berada dibawah kekuasaan Belanda sejak paruh pertama abad ke-19, beberapa dasawarsa sebelum Belanda masuk ke Sumatera Timur. Ini memberikan kepada para pengusaha onderneming persediaan Dengan dibukanya sarana dan infrastruktur transportasi yang berada di kawasan Sumatera Timur maka banyak tercipta kota-kota didalamnya. Hal ini membuat kota Medan semakin berkembangan dengan cepat.

3.5 Berubahnya Komposisi Masyarakat Sumatera Timur

Ekspansi ekonomi onderneming telah mengakibatkan pengaruh yang besar pula terhadap komposisi penduduk yang berada di Sumatera Timur. Dengan didatangkannya pekerja dari berbagai daerah, maka masyarakat Sumatera Timur yang pada awalnya didiami oleh penduduk asli yaitu Karo, Melayu dan Simalungun, kini menjadi beraneka ragam. Hal ini dapat dilihat dengan datangnya para pekerja yang berasal dari luar daerah Sumatera Timur, Pada awalnya pihak kolonial mendatangkan pekerja dari luar yaitu dari Cina, karena perusahaan tembakau Deli semakin terkenal maka permintaan pekerja semakin bertambah.

24

Deli Spoorweeg Maatschappij, Statistiken Zeven en Deertigste Jaarverslag (Amsterdam: N.V. Deli Spoorweg Maatschappij, 1929), hlm. 6-7.


(53)

sejumlah orang yang berpendidikan yang dapat dikerjakan sebagai juru tulis, mantri ukur, dan ahli mesin atau untuk kedudukan-kedudukan kecil lainnya. Ketiga golongan itu adalah orang-orang Islam dan dengan demikian dapat diterima masyarakat Islam di daerah-daerah tanah rendah dekat pantai Timur Sumatera. Sebaliknya, orang Batak Toba asal Tapanuli Utara beragama Protestan, mulai memasuki Sumatera Timur dalam jumlah yang bertambah besar setelah tahun 1900 tetapi menemukan diri mereka kurang diterima oleh orang-orang Islam di Langkat Hilir dan Serdang Hilir ketimbang orang-orang Islam batak Mandailing dan Angkola.25

Pada tahun 1930, kira-kira 60 tahun setelah dimulainya pertanian onderneming di Langkat, Deli dan Serdang, dan hampir 30 tahun setelah pembukaan onderneming-onderneming di Asahan, Labuhan Batu dan Simalungun, dan jumlah penduduk asli Sumatera Timur di semua wilayah administratif yang utama, kecuali dataran tinggi Karo, dilampaui oleh pendatang-pendatang dari luar daerah. Perbedaan menyolok antara dataran tinggi Karo ini dan semua bagian Sumatera Timur lainnya, tentu saja, disebabkan penolakan terhadap masuknya modal onderneming ke dalam kerajaan-kerajaan kecil di dataran tinggi itu. Orang-orang Batak Karo di dataran tinggi yang memanfaatkan pengamatan mereka mengenai dampak kekuasaan Barat dan dampak ekonomi perkebunan selama kurang lebih 35 tahun terhadap

25


(54)

saudara mereka orang-orang Batak Karo di Langkat, Deli dan Serdang, tidak mau menyewakan tanah-tanah mereka kepada onderneming-onderneming asing.26

Susunan Etnik Penduduk Sumatera Timur tahun 1930 :27

Suku Jumlah Penduduk

Melayu 225

Jawa 641

Batak Karo 134

Batak Simalungun 95

Batak Toba 73

Batak Mandailing 34 Suku Pribumi lainnya 109

Eropa 11

Cina 158

Asing lainnya 18

Total 1498

Menjelang tahun 1930 orang-orang Melayu yang merupakan unsur asli sesungguhnya dari penduduk asli Sumatera Timur berjumlah hanya 15 % dari seluruh penduduk. Kira-kira 88 % dari penduduk ini terdiri dari orang-orang pribumi lainnya, diantaranya terbanyak orang-orang Jawa sejumlah kira-kira 43 %, batak Karo,

26

Ibid, hlm. 84.

27


(55)

Simalungun, dan Toba berjumlah masing-masing 9,6,5 %. Di antara orang-orang bukan pribumi yaitu Cina, adalah paling banyak dan merupakan tidak kurang dari 10 % dari seluruh jumlah penduduk. Di Kota Medan penduduknya tidak kurang dari 35 % adalah bangsa Cina. Orang-orang Eropa kurang dari 1 % di Sumatera Timur tetapi merupakan 5 % dari penduduk Medan.28

Oleh sebab itu, sebagian besar penduduk di Sumatera Timur didominasi oleh orang-orang yang bekerja pada perkebunan yang ada di Sumatera Timur dan dengan itu pula mereka menambah komposisi jumlah penduduk Sumatera Timur yang tinggi sampai saat ini.

28


(56)

BAB IV

KEHIDUPAN BURUH DI PERKEBUNAN DELI MAATSCHAPPIJ 1920-1942

4.1 Ketergantungan pada Kontrak

Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 2/3 dari seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di Sumatera Timur menurun lebih dari separuh. Peningkatan jumlah kuli kontrak dari Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut jenis kelamin dan komposisi umur, yang menunjukkan semakin banyaknya pekerja wanita dan kemudian anak-anak.

Di dalam konteks komunitas buruh perkebunan ini dapat dilihat kualitas kehidupannya. Eksploitasi, diskriminasi, kemiskinan, dan penderitaan merupakan cerita utama yang ada di sekeliling masyarakat perkebunan di Indonesia pada masa kolonial sampai saat ini. M. Said, Jan Breman, dan A.L. Stoler misalnya menggambarkan begitu rupa tentang kehidupan masyarakat perkebunan, khususnya di Sumatera Timur yang harus menanggung beban yang sangat luar biasa. Para pekerja perempuan dan anak-anak khususnya harus menghadapi diskriminasi sosial, ekonomi dan bahkan kekerasan seksual secara terus menerus diwarisi dari satu generasi ke generasi-generasi berikutnya.


(57)

Parade kekerasan adalah potret sehari-hari di perkebunan. Millioenen uit Deli mencatat, tuan kebun sesuka hati menghukum kuli yang dianggap bersalah. Kuli dipukul, ditendang, dicambuk, dihantam rotan dan balok hingga kemudian dijebloskan ke penjara. Seorang kuli perempuan Jawa berusia 15 tahun dijemur sejak pagi sampai senja dalam keadaan setengah telanjang. Kedua tangannya terikat di tiang, disalib seperti Kristus. Sekujur badannya penuh luka tanda bahwa dia lebih dulu dicambuk. Untuk membuatnya lebih menderita, kemaluannya ditaburi merica. Masuknya kuli kontrak asal Jawa dan Cina ke Medan tentu mengubah warna daerah ini. Wajar kalau etnis Jawa menjadi etnis mayoritas di Medan. Namun patut diketahui, mereka datang kesini dengan penuh perjuangan. Mereka datang karena

tertipu bujuk rayu makelar pencari tenaga kerja.

Para kuli kontrak umumnya terbujuk oleh mulut manis yang mengatakan di tanah Deli mereka akan menemukan pohon yang berdaun uang. "Deli mengganggu tidur malam mereka…Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, meraba, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang kulit…arak…emas…perempuan-perempuan ronggeng…Ah, apa yang lebih penting dari semua ini.29

29

Emil W.Aulia, Berjuta-juta dari Deli : Satoe Hikajat Koeli Contract, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 10

Ironisnya apa yang dijanjikan dan mereka impikan itu tak menjadi kenyataan, mereka malah menemui berbagai penderitaan di Deli. Dari sini sudah terasa bagaimana seorang kuli kontrak sudah terbeli jiwa raganya.


(58)

Mereka tak ubahnya hewan atau budak yang tergadai seluruh kehidupannya. Bahkan, istri yang mereka bawa pun sudah bukan hak-nya lagi setelah tiba di perkebunan tanah Deli. Bagi kuli, hidup di perkebunan adalah hari-hari penuh penderitaan. Mereka adalah kelas pekerja kasar yang membanting tulang sejak pagi hingga matahari terbenam. Bila dianggap bersalah, tuan-tuan kebun memiliki kekuasaan untuk menghukum mereka. sesuka hati, tanpa melewati proses pengadilan.

Siapa yang bersalah akan mendapat hukuman. Hukuman yang sangat kejam. Semua hukuman dilakukan secara terbuka, dihadapan mata kuli-kuli lainnya. Tujuannya, membuat kecut hati mereka agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Kuli yang meninggal dunia, tidak dikuburkan melainkan dibuang di semak-semak perkebunan. Tidak heran, pihak perkebunan memang tidak menyediakan areal pemakaman bagi kuli yang meninggal. Mayatnya kemudian menjadi santapan babi hutan.

Kekejaman juga menimpa para kuli perempuan. Upah mereka lebih rendah disbanding para pria. Maka banyak diantara mereka yang merelakan diri untuk pemuas nafsu para mandor. Disini juga terjadi bagaimana praktek pelacuran dan perjudian mulai berkembang di perkebunan. Bagaimana para kuli kontrak menghabiskan uangnya agar terbelit hutang dan selalu tergantung pada perkebunan.

Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan menentukan dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap


(59)

sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai kendala bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang menimbulkan kemiskinan struktural. Bahkan dalam konteks masa lalu ada yang berpendapat bahwa sejarah kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia merupakan sejarah perkebunan itu sendiri. Sejak awal kedatangan bangsa Barat yang mengidentifikasi diri sebagai pedagang sampai masa-masa ketika Barat identik dengan kekuasaan kolonial dan pemilik modal, perkebunan menjadi salah satu fakta atau variabel yang tidak bisa diabaikan untuk merekonstruksi dan menjelaskan realitas masa lalu yang ada.

4.2 Tingkat Pendapatan

Jika membicarakan mengenai masalah pendapatan yang dihasilkan oleh para buruh perkebunan di perusahaan Deli Maatschappij, maka yang harus dilakukan pertama kali adalah mengetahui bagaimana memperoleh gaji atau upah yang diberikan kepada mereka dan pasar tenaga kerja yang menyediakan pekerja pada perkebunan-perkebunan yang membutuhkan juga tingkat ketekunan pekerja. Hal ini


(60)

cukup merepotkan bagi penelitian ini karena setiap gaji atau upah yang mereka dapatkan setiap bulannya hampir tidak sama dan terkadang dikurang-kurangi akibat penguasa perkebunan yang sering melakukan pemotongan-pemotongan dari setiap gaji atau upah yang mereka dapatkan.

Penetapan upah semata-semata urusan tuan kebun, para kuli sama sekali tidak ikut menentukan. 30Dalam Staatblad 1880 ditetapkan bahwa tuan kebun berkewajiban untuk memberikan upah kepada pekerja. Upah tersebut bergantung pada permintaan dan penawaran dalam pasar tenaga kerja yang tersedia. Kesamaan dan kelambatan penyelesaian pekerjaan. Dengan demikian pekerja yang mendapatkan upah yang minim berarti adalah pekerja yang malas.31

30

Jan Breman, Menjinakkan sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan kebun, dan Kuli di sumatera Timur Pada Awal Abad ke-20, (terj) Koesalah Soebagyo Toer, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997, hlm. 111

31

T. Keizerina Devi, Poenale Sanctie, Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dam Perubahan Hukum di Summatera Timur (1870-1950), Medan : Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2004 , hlm. 117

Selain itu setiap pohon yang ditanami oleh kuli perkebunan mendapat upah dengan biaya delapan dolar dan harga ini tergantung dengan kondisi cuaca, tanah yang kurang menguntungkan dan keadaan lain yang tak dapat diubah oleh penanam sehingga mengakibatkan naik turunnya penghasilan kuli. Kalau jumlah ini dikalikan dengan jumlah pohon tembakau yang dipanen akan ternyata bahwa jumlah seluruh penghasilan yang dapat diharapkan oleh penanam tembakau tetap belum tercapai, padahal ia sudah bekerja mati-matian selama delapan bulan masa penanaman.


(61)

Upah para pembantu di ladang dan kuli lain yang tidak dipekerjakan sebagai penanam tembakau paling rendah. Mereka tak dipekerjakan sebagai penanam karena kurang pengalaman, tidak mampu, atau tidak mau. Mereka menerima 20 sen sehari, itupun hanya kalau mereka menjalankan petunjuk pengawas dengan tepat, yakni menyelesaikan tugas harian yang ditetapkan dengan sebaik-baiknya. Pemotongan upah adalah praktek sehari-sehari, karena kuli tidak muncul di tempat kerja, juga karena “malas”, tidak cakap, atau bentuk-bentuk kelalaian lain dalam melaksanakan tugas.

Hingga tahun 1930 besarnya upah bulanan itu enam dolar. Demikian sering ketentuan membayar denda diterapkan separo upah harian sama dengan 10 sen hingga penghasilan pekerja yang kurang berpengalaman dalam setahun kira-kira mendekati 60 dolar, bukan 70 dolar – jumlah yang hanya berlaku bagi kuli pria. Sedangkan bagi perempuan Jawa harus puas dengan separo jumlah itu, yaitu 3 dolar untuk kerja sebulan penuh. Maka mereka hanya dapat menyambung hidup dengan melacur. Bahkan menurut sebuah brosur dari Van den brand, dikatakan bahwa kuli lelaki hanya menerima bersih sebulan 4,60 gulden dan kuli perempuan 2,30 gulden artinya masing-masing menerima 15 sen dan 7,50 sen sehari.32

Sebagian besar kuli perkebunan menerima upah dalam bentuk upah borongan atau upah per potong. Upah harian dan bulanan pun dasarnya adalah prestasi yang telah ditetapkan sebelumnya dan harus diselesaikan sebelum waktunya habis. Seluruh

32


(62)

proses budi daya tembakau, seluruh pekerjaan orang cina dalam menyiapkan ladang, menanam, merawat dan memanen tembakau, dilaksanakan dengan cara borongan dan uang borongan itu dibayarkan sebagai ganti upah bulanan.33

Tidak dapat disangsikan bahwa potongan terpenting tiap bulan dalam rekening kuli adalah angsuran untuk melunasi uang muka yang pernah diterimanya sewaktu ia dikontrak. Kuli Cina menanggung utang sebesar 25 dolar atau 15 dolar, dan kuli Jawa 25 dolar untuk laki-laki dan 16,50 dolar bagi kuli perempuan. Utang permulaan ini biasanya bertambah lagi, karena majikan biasa memberi pinjaman pada hari tahun baru Cina atau pada hari-hari besar lainnya. Dengan kuli ladang, pada hari gajian besar yaitu pada akhir bulan, menjelang akhir masa lumbung. Kuli lain mengembalikan uang panjar yang pernah mereka terima dalam bentuk angsuran bulanan, yaitu dua dolar untuk laki-laki dan satu dolar untuk kuli perempuan. Banyak kuli yang hampir tidak bisa membebaskan diri dari utang selama masa kontrak yang berlaku tiga tahun itu. Yang paling mengalami kesulitan adalah de stinkers, yaitu kuli-kuli yang karena pembawaannya atau karena lemah maka menjadi lemas, dan karena itu kurang sekali pendapatannya.34

Dengan adanya pemotongan-pemotongan tersebut bisa dibilang apa yang mereka dapatkan tidaklah sebanding dengan kerja yang sangat berat dan menyiksa ketahanan tubuh mereka sehingga bagi yang tidak mampu lagi menjalankan

33

Jan Breman, Ibid hlm 110

34


(63)

pekerjaan itu bukanlah semata-mata untuk mendapatkan upah melainkan dengan tujuan hanya untuk mendapatkan jaminan hidup yang nyatanya menyengsarakan di barak-barak pekerja atau buruh perkebunan di perusahaan Deli Maatschappij. Misalnya pemimpin perusahaan memotong lagi jumlah keseluruhan penanaman tembakau untuk menutup beberapa penggeluarannya seperti biaya membersihkan lahan dan kegiatan lainnya untuk menyiapkan lahan tembakau.

Meskipun demikian mereka tetap harus bekerja dan walaupun kontraknya telah habis masanya. Kenyataan ini bukanlah seperti yang kita bayangkan seperti saat ini, karena demi mendapatkan secercah kelegaan dan kebahagiaan untuk hidup, mereka harus tetap berhutang kepada pengusaha agar mendapatkan yang mereka inginkan. Misalnya saja, hiburan berupa pertunjukan seni, siapa-siapa yang ingin mendapatkan kesenangan dengan mendengarkan musik-musik atau tarian yang dikiranya sangat menggembirakan harus membayar karena tarif untuk menyewa artis-artis tersebut dikenakan kepada penonton yang biasanya adalah para kuli kontrak. Selain itu perjudian yang terang-terangan yang diberlakukan pun menjadi tipu muslihat bagi pengusaha perkebunan dimana setiap orang yang kalah dalam berjudi boleh meminjam uang lagi dengan syarat bunga yang tinggi dan dibayar tepat waktu. Maka, mereka yang sudah kehilangan akal untuk mendapatkan uang harus meminta lagi kepada administrateur untuk dapat bekerja lagi dan membuat kontrak yang baru dengan perusahaan.


(64)

4.3 Pelacuran dan Budaya Mestizo

Kalau diperhatikan tentang masyarakat perkebunan, pesta mabuk-mabukan yang liar, kakasaran, dan ketidaksopanan tetap menandai gaya hidup orang Eropa di Deli selama beberapa dasawarsa pertama abad ke-20. Sangat kurangnya unsur perempuan di Deli sesuai benar dengan gambaran Deli sebagai tempat transit yang masyarakatnya dikenal masih agak liar. Lelaki mendominasi staf perkebunan dari atas sampai bawah. Juga di kalangan kuli, kaum kuli, kaum perempuan merupakan minoritas. Dari seluruh kuli seanyak 62.000 orang yang bekerja di Deli Maatschappij pada awal abad ke-20, hanya 5.000 yang perempuan, semuanya orang Jawa. Kaum lelaki hampir seluruhnya termasuk kategori usia muda, yang biasa disebut sedang kuat-kuatnya. Di perkebunan itu, mereka dapat menikmati seks, tetapi kata orang, kuli Cina tak begitu menghiraukan perempuan. Beberapa sumber yang sempat membicarakan masalah yang rawan ini menyatakan mereka lebih suka pada “kecabulan yang tidak alami”, mereka menyenangi anak-anak muda, atau lebih tepat anak-anak. Anak-anak itu mereka namakan anak Jawi, dan para pengawas punya hal pertama atas diri mereka. Hal itupun tidak begitu mengherankan, sebab hubungan tersebut berlangsung di depan mata orang banyak. Di dalam barak, pelacur lelaki punya tempat tidur sendiri, lengkap dengan gorden yang dihiasi dengan aksesorisnya.

Bagi lelaki jawa berlaku hal sebaliknya. Tanpa perempuan, menurut sumber itu juga, tidak mungkin ia bertahan hidup di perkebunan. Tetapi kata sumber itu juga, lelaki Jawa lekas merasa puas, sedang perempuannya gampang merasa terikat pada


(65)

perkebunan tempat mereka tinggal, seperti isteri serdadu merasa terikat pada tangsinya.35

“buat apa aku malu, tak ada yang memalukan pada diriku, mereka yang memberikan aku kepada seorang laki-laki itulah yang tak tahu malu, bukankah begitu? Aku telah dibuang kepada seorang mirip Anda

Bagi seorang kuli perempuan Jawa, melayani kebutuhan-kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga umum dari para pekerja lelaki dan pihak manajemen lebih merupakan keharusan ketimbang pilihan. Sumber lain sependapat bahwa tiap tahun ratusan perempuan muda yang telah direkrut sebagai kuli kontrak menghidupi diri mereka sendiri dengan melayani para penghuni bujangan yang berjumlah besar dua barak-barak kuli Cina.

Diusahakan agar perempuan tetap bersedia dan bersedia memberikan pelayanan tersebut berdasarkan rencana yang hati-hati karena dengan adanya pelacuran demikian maka pelacur tersebut dapat menghabiskan uang yang mereka dapatkan dengan dibelanjakan untuk barang-barang dan perhiasan-perhiasan yang murahan. Kuli-kuli perempuan merupakan bagian dari umpan yang digunakan untuk memikat pekerja lelaki ke Deli dan sebagai bagian dari pelipur lara yang diharapkan untuk menahan mereka di sana. Prostitusi atau pelacuran dianggap pula sebagai kejahatan yang lebih kecil daripada tindakan sodomi yang dilakukan oleh kuli-kuli Cina tadi. Dari sebuah novel yang ditulis oleh Szekely-Lulofs secara khusus merinci sebuah keadaan dimana seorang pelacur bagaimana dengan mudahnya menyerahkan dirinya kepada kuli-kuli Cina :

35


(66)

membuang seekor anjing. Parman bukan suamiku. Aku hanya tinggal bersamanya karena diharuskan, karena namaku adalah “orang kontrak” (kuli kontrak). Jadi dia malu-malu tak peduli! Jadi aku akan dicap pelacur Cina! Jika aku kepingin, aku akan pergi ke barak-barak Cina. Darimana lagi aku mendapat uang? Yang benar saja?

Dalam membentuk suatu masyarakat dimana prostitusi merupakan hal yang biasa dan umum, maka perusahaan Deli Maatschappij tidak memperhitungkan konsekuensinya. Perkara wanita, percekcokan mengenai perempuan, sering kali berubah menjadi keributan yang membawa maut antara pekerja-pekerja Cina dan Jawa. Dan banyak serangan terhadap personil kulit putih disebabkan oleh para ayah dan para suami yang cemburu karena anak gadis dan isteri mereka telah dipanggil ke rumah manajer dan tidak kembali.

Dalam kondisi yang demikian, maka perkawinan kuli kontrak, sebutan yang merendahkan itu, kecil kemungkinannya untuk bertahan. Kehidupan keluarga sebagai suatu keadaan sosial yang lestari, sesungguhnya nyaris tidak terdapat dalam situasi di mana para pekerja hidup di barak-barak dan terus menerus mengalami perpindahan dari bagian satu ke bagian lainnya tanpa mengindahkan ikatan pernikahan. Sebagai akibatnya, para perempuan yang sudah kawin maupun yang belum kawin kedua-duanya melacurkan diri, memasak untuk para pekerja yang masih bujangan, atau menjadi pelayan untuk urusan ranjang staf kolonial kulit putih.36

Lalu, bagaimana para lelaki Eropa memenuhi kebutuhan seksual mengingat langkanya perempuan di perkebunan? Perlu diingat tuan kebun sebagai lelaki muda,

36

Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra 1870-1979, Yogyakarta : Karsa, 2005, hlm. 49-53


(1)

Lampiran


(2)

(3)

(4)

(5)

Gambar 5. Bersama Jacobus Nienhuys, J.T Cremer dan P.W. Janssen mendirikan Deli Maatschappij


(6)