Hubungan Leukositospermia dengan Pertumbuhan Koloni Bakteri pada Kultur Cairan Semen Pria dari Pasangan Infertil di RSUP H Adam Malik Medan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 INFERTILITAS
2.1.1 Defenisi
Infertilitas adalah ketidakmampuan pasangan yang aktif
secara seksual tanpa-kontrasepsi untuk mencapai kehamilan
spontan dalam satu tahun (WHO).2
2.1.2 Epidemi dan Etiologi
Sekitar 25% dari pasangan tidak mencapai kehamilan
dalam 1 tahun, sekitar 15% pasangan mencari pengobatan
untuk masalah infertilitas meskipun akhirnya kurang dari 5%
pasangan tetap tidak memperoleh anak. Ketidaksuburan/
infertilitas dapat terjadi pada pria dan wanita. Ketidaksuburan
pria ditemukan pada 50% pasangan infertil ini. Pada
kebanyakan pasangan faktor infertilitas juga dapat dijumpai
secara bersamaan pada pria dan wanita.
Menurunnya kesuburan pria dapat terjadi karena kelainan
urogenital kongenital maupun didapat seperti infeksi kelenjar
seks aksesoris
pada
pria.
Peningkatan suhu
scrotum
(varicocele), gangguan endokrin, kelainan genetik dan faktor
imunologi.
5
Kelainan yang dapat menjadi faktor menurunnya kesuburan
pria terangkum dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Faktor yang berhubungan dengan infertilitas pria
dan persentase distribusinya pada 10.469 pasien.2
Faktor yang Berhubungan
dengan Infertilitas Pria
Distribusi
(%)
Infertilitas pria idiopatik
31
Maldescendens testis
7,8
Infeksi urogenital
8,0
Gangguan semen deposition dan
faktor seksual
5,9
Penyakit sitemik
3,1
Varicocele
15,6
Endokrin (hypogonadism)
8,9
Faktor imunologi
4,5
Sumbatan
1,7
Abnormalitas lainnya
5,5
2.1.3 Investigasi / Penjajakan
Analisa semen sesuai petunjuk guidelines of the World
Health Organisation (WHO) Laboratory Manual for Human
Semen and Sperm-Cervical Mucus Interaction, edisi kelima.2
2.1.3.1 Investigasi Hormonal
Malfungsi endokrin merupakan penyebab utama
infertilitas pria. Skrining hormonal dapat digunakan
misalnya pemeriksaan Follicle Stimulating Hormone
6
(FSH), Luteinizing Hormon (LH) dan testosteron. Pada
pria dengan diagnosa azoospermia atau ekstrim OAT,
pemeriksaan ini diperlukan untuk membedakan kasus
obstruktif atau non obstruktif.2
2.1.3.2 Penilaian Mikrobiologi
Indikasi untuk penilaian
mikrobiologi meliputi
sampel urin yang abnormal, infeksi saluran kemih,
prostatitis, epididymitis, silent ejaculate infection, Male
Accessory sex Glands Infection (MAGI) dan infeksi
menular seksual.2
2.1.3.3 Ultrasonography (USG)
USG
skrotum
sangat
membantu
dalam
penilaian ukuran testis, melihat tanda tanda obstuksi
seperti
dilatasi rete testis, pembesaran epididymis
dengan cystic lesions dan tidak adanya vas deferens,
untuk
menyingkirkan tanda testicular dysgenesis
seperti inhomogeneous testicular architecture dan
microcalcifications dan juga untuk menilai reflux aliran
darah pada pria dengan varicocele .2
2.1.3.4 Biopsi Testis
Biopsi testis untuk diagnostik dapat dilakukan
pada pria dengan azoospermia dengan ukuran testis
normal dan
FSH juga normal, biopsi ini untuk
7
membedakan
obstruktif
dan
non
obstruktif
azoospermia.2
2.1.3.5 MRI
Pemeriksaan dengan MRI pada sella turcica
misalnya pada kasus- kasus dengan defisiensi LH dan
FSH.2
2.1.4 Prognosa.2
Faktor utama yang mempengaruhi prognosa infertilitas
adalah:
− Durasi/ lamanya infertilitas.
− Umur dan Status kesuburan pasangan wanita.
− Infertilitas primer atau sekunder
− Hasil analisa semen
2.2 ANALISA SPERMA2,10
2.2.1 Analisa Sperma Secara Makroskopis
2.2.1.1. Pengukuran Volume
Sperma ditampung seluruhnya dalam botol penampung
yang bermulut lebar untuk sekali ejakulasi. Volume diukur
dengan gelas ukur yang mempunyai skala volume 0,1 ml,
kemudian baca hasil. Volume yang normal menurut WHO >
8
1,5 ml. WHO merekomendasikan untuk menentukan volume
dengan menimbang botol sebelum dan setelah pengumpulan
sperma. Spesifik berat semen lebih kurang 1 g per ml. Volume
yang lebih dari 8 ml disebut Hyperspermia, Sedangkan yang
kurang dari 1 ml disebut Hypospermia. Kesan volume ini
menggambarkan kerja kelenjar prostat dan vesika seminalis.
2.2.1.2. pH
pH sperma yang normal tidak banyak berbeda dengan pH
darah, untuk mengukur pH dapat dengan menggunakan
kertas pH atau pH meter. Sperma yang normal menunjukan
pH yang bersifat basa yaitu 7,2 – 7,8. pH yang rendah terjadi
karena
peradangan yang kronis
dari kelenjar prostat,
Epididimis, vesika seminalis atau kelenjar vesika seminalis
kecil, buntu maupun rusak.
2.2.1.3. Bau Sperma
Spermatozoa yang baru keluar mempunyai bau yang khas
atau spesifik. Bau Sperma yang khas tersebut disebabkan
oleh
oksidasi
spermin
(suatu
poliamin
alifatik)
yang
dikeluarkan oleh kelenjar prostat.
2.2.1.4. Warna Sperma
Memeriksa
warna
sperma
sekaligus
memeriksa
kekeruhan. Sperma yang normal biasanya berwarna putih
keruh seperti air kanji kadang-kadang agak keabu-abuan.
9
Adanya leukosit yang disebabkan oleh infeksi traktus genitalia
dapat menyebabkan warna sperma menjadi putih kekuningan.
Adanya
perdarahan
menyebabkan
sperma
berwarna
kemerahan.
2.2.1.5. Likuifaksi
Likuifaksi diperiksa 20 menit setelah ejakulasi (setelah
dikeluarkan). Dapat dilihat dengan jalan melihat koagulumnya.
Bila setelah 20 menit belum homogen kemungkinan
ada
gangguan pada kelenjar prostat. Bila sperma yang baru
diterima langsung encer tidak mempunyai koagulum mungkin
karena saluran pada kelenjar vesica seminalis buntu atau
memang tidak mempunyai vesika seminalis.
2.2.1.6. Viskositas (Kekentalan)
Kekentalan atau viskositas sperma dapat diukur setelah
likuifaksi sperma sempurna. Semakin kental sperma tersebut
semakin besar viskositasnya. Hal ini mungkin disebabkan
karena :
−
Spermatozoa terlalu banyak
−
Cairannya sedikit
−
Gangguan likuifaksi
−
Perubahan komposisi plasma sperma
−
Pengaruh obat-obatan tertentu.
10
2.2.1.7. Fruktosa Kualitatif
Fruktosa sperma diproduksi oleh vesica seminalis. Bila
tidak didapati fruktosa dalam sperma, hal ini dapat disebabkan
karena :
−
Azospermia yang disebabkan oleh agenesis vas deferens.
−
Bila kedua duktus ejakulatorius tersumbat.
−
Kelainan pada kelenjar vesika seminalis.
2.2.2 Analisa Sperma Secara Mikroskopik
2.2.2.1. Motilitas/ Pergerakan Sperma
Penilaian motilitas sperma dilakukan segera setelah
likuifaksi semen sempurna. Motilitas sperma diperiksa dengan
pembesaran 200-400 x. Sebanyak 200 spermatozoa dinilai
dan diklasifikasikan menjadi :
−
Progressive motility (PR) : Gerakan aktif kedepan atau
sedikit melengkung
−
Non-progressive motility (NP) : Tidak ada gerakan maju
atau gerak maju melingkar
−
Immotility (IM) : Tidak ada gerakan yang terlihat.
Setidaknya dua slide dengan 200 spermatozoa di
klasifikasikan menggunakan kriteria diatas harus mempunyai
nilai sebanding. Hasil kedua penghitungan dirata ratakan dan
dinyatakan dalam persentase. Nilai acuan untuk motilitas
11
adalah >40% sperma motil (PR+NP), >32% motilitas progresif
(PR).
Asthenozoospermia adalah istilah dimana persentase
motilitas sperma yang motil progresif di bawah 32%.
Asthenozoospermia dapat terjadi akibat likuifaksi yang tidak
sempurna, autoantibodi, peradangan dan gangguan dari ekor
sperma. False-negative asthenozoospermia dapat terjadi bila
sperma dingin, sperma tua atau kontaminasi pada saat
pengumpulan sperma (misalnya kontaminasi dengan sabun).
2.2.2.2. Menilai Vitalitas
Bila lebih dari 40% spermatozoa tidak bergerak maka
harus dilakukan pewarnaan dengan eosin.
Jika banyak
sperma immobile yang hidup (> 58%), kemungkinan ini suatu
cacat
flagela.
Bila
banyak
sperma
yang
mati
(necrozoospermia) lebih dari 42% ini merupakan indikator
penyakit epididimis.
2.2.2.3. Perhitungan Jumlah Sperma
Perhitungan konsentrasi spermatozoa dapat ditentukan
dengan mengunakan metode hemositometer atau ”electronic
coulter
counter”.
digunakan
untuk
Metode
hemositometer
sperma
yang
lebih
mempunyai
sering
perkiraan
spermatozoa yang sangat rendah (misalnya 10 juta/ml) atau
12
bila pemeriksaan sperma yang memerlukan penentuan jumlah
dengan segera.
Sperma yang telah diaduk dengan baik diencerkan 1:10,
1:20 Sebagai pengencer berisi 50 gr NaHCO3, 10 ml formalin
35 %, 5 ml cairan gentian violet pekat dan aquadestilita
sampai 1000 ml. Sperma yang diencerkan harus diaduk lebih
dahulu dan segera dipindahkan ke kamar hitung/ inprove
Neubauer yang telah ditutup dengan kaca penutup (deck
glass).
Inprove Neubauer ini diletakkan di kamar lembab selama
15 menit agar semua sel mengendap, kemudian dihitung
dibawah mikroskop cahaya atau mikroskop fase kontras
dengan lensa objektip 10 (pembesaran 100x), spermatozoa
(sel benih) yang matang dan mempunyai ekor yang dihitung.
Konsentrasi sperma adalah jumlah spermatozoa/ ml semen.
Sedangkan
jumlah
spermatozoa
total
ialah
jumlah
spermatozoa dalam ejakulat.
Perhitungan :
Luas
= 1
mm2
Tinggi = 0,1 mm
Vol
= 0,1 mm3
Jumlah sperma dlm 1 mm3 = 1/0,1 x N x pengenceran
= 10 x N x pengenceran
13
= 10 x N x pengenceran/mm3
Jumlah spermatozoa/cc = 10 N x Pengenceran x 1000
Keterangan :
N
= Jumlah sperma yang dihitung dalam kotak kamar
hitung.
2.2.2.4. Morfologi Sperma
Penilaian morfologi sperma dilakukan dengan sediaan
hapus sperma yang diwarnai dengan giemsa di baca dengan
pembesaran 1000 ×. Kriteria untuk klasifikasi morfologi normal
dan patologis dapat dilihat pada tabel kriteria morfologi
sperma.
14
Table 2.2.
Kriteria normal dan abnormal Morfologi
sperma (WHO, 2010)
Head
Normal
morphology
Regular oval shape,
well-defined
acrosome region
without vacuoles
and a volume of 40–
70% of the head
Pathological
morphology
Too big, too small, too
thin and long, pearshaped, round,
amorphous, with
acrosome vacuoles
(>2 or more than 20%),
post-acrosomal
vacuoles, too small or
too large acrosomes.
Asymmetric
connection to the
head, middle piece
irregularly, too thick,
bent or too thin.
Cytoplasmatic droplets
>30%.
Narrow, regular,
about as long as the
head. The main axis
of the head and
Midpiece
middle piece should
be in line.
Cytoplasmatic
droplets of the
midpiece should be
7,2
20
16
PR = progressive; NP = non-progressive; MAR = Mixed
antiglobulin reaction.
Sumber :Guidelines on Male Infertility. European Association
of Urology update
2.3 LEUKOSITOSPERMIA
Leukositospermia atau pyospermia adalah suatu keadaan
peningkatan
jumlah
leukosit
pada
didefinisikan bila jumlah leukosit
ejakulat.
Leukositospermia
> 1 juta leukosit / ml ejakulat
(semen).
Menurut
Shefi
dan
Turek
(2006)
secara
signifikan
leukositospermia menyebabkan infertilitas pada pria.11 Pada pria
infertile prevalensi pyospermia berkisar dari 3% sampai 23%.
Telah diketahui bahwa Infeksi saluran urogenital merupakan
salah
satu
penyebab
mempengaruhi
kelainan/
kesuburan
pria,
abnormalitas
hal
ini
semen
ditunjukkan
yang
dengan
dijumpainya leukosit dalam semen . Parameter pada analisa semen
seperti jumlah sperma,
motilitas sperma, kecepatan sperma dan
jumlah sperma yang motil secara signifikan akan menurun dengan
adanya leukosit.12 Leukositospermia sebagai akibat meningkatnya
aktivitas sistem imun tidak hanya disebabkan infeksi urogenital .13
Infeksi di luar saluran genital yang mungkin tanpa gejala namun
masih dapat berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas imun
somatik dan meningkatkan masuknya leukosit ke saluran genital.
17
Banyak mekanisme yang
telah dikemukakan untuk menjelaskan
tentang bagaimana keadaan inflamasi saluran genital dapat
menyebabkan infertilitas pria.14
Produk leukosit seperti limfokin,
monokin, dan Reactive Oxygen Species (ROS) telah terbukti
mengurangi kemampuan fertilisasi sperma.15
Leukositospermia juga dikaitkan dengan morfologi spermatozoa
yang abnormal, termasuk kepala memanjang dan kecil, kelainan
ekor dan leher juga morfologi akrosom abnormal.16
Leukositospermia juga dapat mempengaruhi hiperaktivitas dari
spermatozoa selama kapasitasi.17
Peningkatan leukosit dan granulosit diyakini melepaskan
berbagai sitokin proinflamasi/ bioaktif, hidrogen peroksida dan
Reactive Oxygen Spesies (ROS) lainnya.18 Lamirande dan Gagnon
menyatakan bahwa peroksidasi lipid membran sperma dianggap
sebagai mekanisme utama dari kerusakan sperma yang diinduksi
ROS yang menyebabkan infertilitas.19
2.4 INFEKSI SALURAN GENITAL
Secara umum Infeksi saluran urogenital pria merupakan salah
satu penyebab penting infertilitas pria. Peran Infeksi dan inflamasi
saluran genital telah dikaitkan dengan 8-35% kasus infertilitas lakilaki.3,4 Bakteriospermia asimtomatik memainkan peran utama.5,6
18
Infeksi kelenjar seks aksesoris pria merupakan faktor risiko utama
dalam infertilitas.7 Pentingnya patofisiologi bakteriospermia telah
dibahas dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa patomekanisme
yang mungkin dalam perkembangan infertilitas terkait dengan infeksi
dianggap berefek secara langsung pada fungsi sperma (motilitas dan
morfologi), penurunan spermatogenesis, proses autoimun yang
disebabkan oleh peradangan dan disfungsi kelenjar seks aksesori.4,6
Oleh karena itu, investigasi mikrobiologi bagi pria dari pasangan
infertil berguna untuk mendeteksi infeksi saluran urogenital pria,
khususnya infeksi yang tanpa gejala (asimptomatik).
Efek berbahaya dari bakteri pada spermatozoa tergantung
pada jenis dan spesies mikroorganisme, kolonisasi, atau infeksi
saluran kelamin pria yang berhubungan dengan stres oksidatif yang
menyertainya.20 Infeksi genital dapat mempengaruhi fungsi sekretorik
dalam vesikula seminalis dan prostat.
Male
Accessory
Glands
Infection
(MAGI)
juga
dapat
menurunkan sekresi alpha-glucosidase epididimis yang telah terbukti
memiliki efek positif pada kemampuan spermatozoa binding capacity
dan inseminasi intrauterine.21,22 Infeksi mikroba telah dikaitkan
dengan masalah infertilitas dalam berbagai studi.8,23
Efek inhibisi bakteri dalam hal ini E.coli telah terbukti memiliki
efek negative yang signifikan pada parameter motilitas sperma.24,25,26
Golshani dkk (2006) mencatat bahwa gangguan motilitas dan
19
kelainan morfologi lebih sering dijumpai pada kasus kasus dengan
bakteriosperma positip terutama pada sampel dimana E.coli dan
Enterococci positip.27
Efek lain dari bakteri patogen pada spermatozoa adalah
perusakan
membran spermatozoa. Integritas struktur dan fungsi
membran sperma sangat penting bagi viabilitas spermatozoa. Efek
bakteri patogen terhadap
membran spermatozoa secara in vitro
dipelajari oleh Qiang dkk
dimana hasilnya menunjukkan bahwa
ketika sperma diberi
β-hemolitik strain, membran kepala sperma
tersebut bengkak, cacat, kabur dan bahkan putus.28 Selain itu
Membran akrosom dan membran inti juga tampak terluka, bergulung,
mengkerut dan patah, membran di leher dan bagian tengah ekor
juga cacat, mitokondria tidak teratur dan beberapa komponen
dibebaskan dari sitoplasma, tetapi membran di bagian ujung ekor
tidak terlalu rusak dan
relatif utuh. Hal ini menunjukkan bahwa
bakteri hemolitik merusak membran spermatozoa secara signifikan.
Elbhar (2005) melaporkan bahwa kesuburan pria sangat
menurun karena adanya infeksi pada saluran urogenital. Oleh karena
itu infeksi dianggap sebagai salah satu kelainan pada semen yang
berkontribusi untuk infertilitas. Infeksi ini ditandai dengan adanya
leukosit dalam semen, sehingga disebut leuksitospermia atau
pyospermia.29
20
Wolff
dkk
(1990)
menyatakan
bahwa
identifikasi
dan
kuantifikasi leukosit dalam semen harus terintegrasi dalam setiap
pemeriksaan infertilitas pria karena leukosit dapat mempengaruhi
kualitas sperma baik secara in vitro maupun in vivo.12
Munoz dan Witkin (1995) menyatakan bahwa mekanisme yang
menyebabkan infertilitas melalui infeksi C. trachomatis tidak jelas.
Diasumsikan bahwa infeksi bakteri pada saluran genital, khususnya
dengan C. trachomatis merangsang sistem imun, mungkin melalui
vasoepididymitis
terjadi
obstruksi
unilateral
sehingga
terjadi
penurunan jumlah sperma atau spermatozoa terpapar sel sel imun
dalam kondisi peradangan.30
Donovan dan Lipshultz
31
memperkirakan bahwa
infeksi
menyebabkan infertilitas melalui mekanisme sebagai berikut :
−
Bakteri melekat pada sperma
−
Faktor immobilisasi yang diproduksi oleh bakteri, terutama E.coli.
−
Rekrutmen sistem imun, dan
−
Perubahan dari Fungsi kelenjar reproduksi.
World
Health
organization
mendefenisikan suatu infeksi
Guidelines
(WHO,1992)32
traktus seminalis dengan beberapa
parameter :
− Significant bacteriospermia (dimana dijumpai bakteri ≥ 103/ml
ejakulat).
− Ditemukan adanya Neisseria gonorrhoe/ C.trachoma.
21
− Significant Leukocytospermia( dimana dijumpai leukoisit ≥ 106 /ml
ejakulat peroxidase-positip)
22
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 INFERTILITAS
2.1.1 Defenisi
Infertilitas adalah ketidakmampuan pasangan yang aktif
secara seksual tanpa-kontrasepsi untuk mencapai kehamilan
spontan dalam satu tahun (WHO).2
2.1.2 Epidemi dan Etiologi
Sekitar 25% dari pasangan tidak mencapai kehamilan
dalam 1 tahun, sekitar 15% pasangan mencari pengobatan
untuk masalah infertilitas meskipun akhirnya kurang dari 5%
pasangan tetap tidak memperoleh anak. Ketidaksuburan/
infertilitas dapat terjadi pada pria dan wanita. Ketidaksuburan
pria ditemukan pada 50% pasangan infertil ini. Pada
kebanyakan pasangan faktor infertilitas juga dapat dijumpai
secara bersamaan pada pria dan wanita.
Menurunnya kesuburan pria dapat terjadi karena kelainan
urogenital kongenital maupun didapat seperti infeksi kelenjar
seks aksesoris
pada
pria.
Peningkatan suhu
scrotum
(varicocele), gangguan endokrin, kelainan genetik dan faktor
imunologi.
5
Kelainan yang dapat menjadi faktor menurunnya kesuburan
pria terangkum dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Faktor yang berhubungan dengan infertilitas pria
dan persentase distribusinya pada 10.469 pasien.2
Faktor yang Berhubungan
dengan Infertilitas Pria
Distribusi
(%)
Infertilitas pria idiopatik
31
Maldescendens testis
7,8
Infeksi urogenital
8,0
Gangguan semen deposition dan
faktor seksual
5,9
Penyakit sitemik
3,1
Varicocele
15,6
Endokrin (hypogonadism)
8,9
Faktor imunologi
4,5
Sumbatan
1,7
Abnormalitas lainnya
5,5
2.1.3 Investigasi / Penjajakan
Analisa semen sesuai petunjuk guidelines of the World
Health Organisation (WHO) Laboratory Manual for Human
Semen and Sperm-Cervical Mucus Interaction, edisi kelima.2
2.1.3.1 Investigasi Hormonal
Malfungsi endokrin merupakan penyebab utama
infertilitas pria. Skrining hormonal dapat digunakan
misalnya pemeriksaan Follicle Stimulating Hormone
6
(FSH), Luteinizing Hormon (LH) dan testosteron. Pada
pria dengan diagnosa azoospermia atau ekstrim OAT,
pemeriksaan ini diperlukan untuk membedakan kasus
obstruktif atau non obstruktif.2
2.1.3.2 Penilaian Mikrobiologi
Indikasi untuk penilaian
mikrobiologi meliputi
sampel urin yang abnormal, infeksi saluran kemih,
prostatitis, epididymitis, silent ejaculate infection, Male
Accessory sex Glands Infection (MAGI) dan infeksi
menular seksual.2
2.1.3.3 Ultrasonography (USG)
USG
skrotum
sangat
membantu
dalam
penilaian ukuran testis, melihat tanda tanda obstuksi
seperti
dilatasi rete testis, pembesaran epididymis
dengan cystic lesions dan tidak adanya vas deferens,
untuk
menyingkirkan tanda testicular dysgenesis
seperti inhomogeneous testicular architecture dan
microcalcifications dan juga untuk menilai reflux aliran
darah pada pria dengan varicocele .2
2.1.3.4 Biopsi Testis
Biopsi testis untuk diagnostik dapat dilakukan
pada pria dengan azoospermia dengan ukuran testis
normal dan
FSH juga normal, biopsi ini untuk
7
membedakan
obstruktif
dan
non
obstruktif
azoospermia.2
2.1.3.5 MRI
Pemeriksaan dengan MRI pada sella turcica
misalnya pada kasus- kasus dengan defisiensi LH dan
FSH.2
2.1.4 Prognosa.2
Faktor utama yang mempengaruhi prognosa infertilitas
adalah:
− Durasi/ lamanya infertilitas.
− Umur dan Status kesuburan pasangan wanita.
− Infertilitas primer atau sekunder
− Hasil analisa semen
2.2 ANALISA SPERMA2,10
2.2.1 Analisa Sperma Secara Makroskopis
2.2.1.1. Pengukuran Volume
Sperma ditampung seluruhnya dalam botol penampung
yang bermulut lebar untuk sekali ejakulasi. Volume diukur
dengan gelas ukur yang mempunyai skala volume 0,1 ml,
kemudian baca hasil. Volume yang normal menurut WHO >
8
1,5 ml. WHO merekomendasikan untuk menentukan volume
dengan menimbang botol sebelum dan setelah pengumpulan
sperma. Spesifik berat semen lebih kurang 1 g per ml. Volume
yang lebih dari 8 ml disebut Hyperspermia, Sedangkan yang
kurang dari 1 ml disebut Hypospermia. Kesan volume ini
menggambarkan kerja kelenjar prostat dan vesika seminalis.
2.2.1.2. pH
pH sperma yang normal tidak banyak berbeda dengan pH
darah, untuk mengukur pH dapat dengan menggunakan
kertas pH atau pH meter. Sperma yang normal menunjukan
pH yang bersifat basa yaitu 7,2 – 7,8. pH yang rendah terjadi
karena
peradangan yang kronis
dari kelenjar prostat,
Epididimis, vesika seminalis atau kelenjar vesika seminalis
kecil, buntu maupun rusak.
2.2.1.3. Bau Sperma
Spermatozoa yang baru keluar mempunyai bau yang khas
atau spesifik. Bau Sperma yang khas tersebut disebabkan
oleh
oksidasi
spermin
(suatu
poliamin
alifatik)
yang
dikeluarkan oleh kelenjar prostat.
2.2.1.4. Warna Sperma
Memeriksa
warna
sperma
sekaligus
memeriksa
kekeruhan. Sperma yang normal biasanya berwarna putih
keruh seperti air kanji kadang-kadang agak keabu-abuan.
9
Adanya leukosit yang disebabkan oleh infeksi traktus genitalia
dapat menyebabkan warna sperma menjadi putih kekuningan.
Adanya
perdarahan
menyebabkan
sperma
berwarna
kemerahan.
2.2.1.5. Likuifaksi
Likuifaksi diperiksa 20 menit setelah ejakulasi (setelah
dikeluarkan). Dapat dilihat dengan jalan melihat koagulumnya.
Bila setelah 20 menit belum homogen kemungkinan
ada
gangguan pada kelenjar prostat. Bila sperma yang baru
diterima langsung encer tidak mempunyai koagulum mungkin
karena saluran pada kelenjar vesica seminalis buntu atau
memang tidak mempunyai vesika seminalis.
2.2.1.6. Viskositas (Kekentalan)
Kekentalan atau viskositas sperma dapat diukur setelah
likuifaksi sperma sempurna. Semakin kental sperma tersebut
semakin besar viskositasnya. Hal ini mungkin disebabkan
karena :
−
Spermatozoa terlalu banyak
−
Cairannya sedikit
−
Gangguan likuifaksi
−
Perubahan komposisi plasma sperma
−
Pengaruh obat-obatan tertentu.
10
2.2.1.7. Fruktosa Kualitatif
Fruktosa sperma diproduksi oleh vesica seminalis. Bila
tidak didapati fruktosa dalam sperma, hal ini dapat disebabkan
karena :
−
Azospermia yang disebabkan oleh agenesis vas deferens.
−
Bila kedua duktus ejakulatorius tersumbat.
−
Kelainan pada kelenjar vesika seminalis.
2.2.2 Analisa Sperma Secara Mikroskopik
2.2.2.1. Motilitas/ Pergerakan Sperma
Penilaian motilitas sperma dilakukan segera setelah
likuifaksi semen sempurna. Motilitas sperma diperiksa dengan
pembesaran 200-400 x. Sebanyak 200 spermatozoa dinilai
dan diklasifikasikan menjadi :
−
Progressive motility (PR) : Gerakan aktif kedepan atau
sedikit melengkung
−
Non-progressive motility (NP) : Tidak ada gerakan maju
atau gerak maju melingkar
−
Immotility (IM) : Tidak ada gerakan yang terlihat.
Setidaknya dua slide dengan 200 spermatozoa di
klasifikasikan menggunakan kriteria diatas harus mempunyai
nilai sebanding. Hasil kedua penghitungan dirata ratakan dan
dinyatakan dalam persentase. Nilai acuan untuk motilitas
11
adalah >40% sperma motil (PR+NP), >32% motilitas progresif
(PR).
Asthenozoospermia adalah istilah dimana persentase
motilitas sperma yang motil progresif di bawah 32%.
Asthenozoospermia dapat terjadi akibat likuifaksi yang tidak
sempurna, autoantibodi, peradangan dan gangguan dari ekor
sperma. False-negative asthenozoospermia dapat terjadi bila
sperma dingin, sperma tua atau kontaminasi pada saat
pengumpulan sperma (misalnya kontaminasi dengan sabun).
2.2.2.2. Menilai Vitalitas
Bila lebih dari 40% spermatozoa tidak bergerak maka
harus dilakukan pewarnaan dengan eosin.
Jika banyak
sperma immobile yang hidup (> 58%), kemungkinan ini suatu
cacat
flagela.
Bila
banyak
sperma
yang
mati
(necrozoospermia) lebih dari 42% ini merupakan indikator
penyakit epididimis.
2.2.2.3. Perhitungan Jumlah Sperma
Perhitungan konsentrasi spermatozoa dapat ditentukan
dengan mengunakan metode hemositometer atau ”electronic
coulter
counter”.
digunakan
untuk
Metode
hemositometer
sperma
yang
lebih
mempunyai
sering
perkiraan
spermatozoa yang sangat rendah (misalnya 10 juta/ml) atau
12
bila pemeriksaan sperma yang memerlukan penentuan jumlah
dengan segera.
Sperma yang telah diaduk dengan baik diencerkan 1:10,
1:20 Sebagai pengencer berisi 50 gr NaHCO3, 10 ml formalin
35 %, 5 ml cairan gentian violet pekat dan aquadestilita
sampai 1000 ml. Sperma yang diencerkan harus diaduk lebih
dahulu dan segera dipindahkan ke kamar hitung/ inprove
Neubauer yang telah ditutup dengan kaca penutup (deck
glass).
Inprove Neubauer ini diletakkan di kamar lembab selama
15 menit agar semua sel mengendap, kemudian dihitung
dibawah mikroskop cahaya atau mikroskop fase kontras
dengan lensa objektip 10 (pembesaran 100x), spermatozoa
(sel benih) yang matang dan mempunyai ekor yang dihitung.
Konsentrasi sperma adalah jumlah spermatozoa/ ml semen.
Sedangkan
jumlah
spermatozoa
total
ialah
jumlah
spermatozoa dalam ejakulat.
Perhitungan :
Luas
= 1
mm2
Tinggi = 0,1 mm
Vol
= 0,1 mm3
Jumlah sperma dlm 1 mm3 = 1/0,1 x N x pengenceran
= 10 x N x pengenceran
13
= 10 x N x pengenceran/mm3
Jumlah spermatozoa/cc = 10 N x Pengenceran x 1000
Keterangan :
N
= Jumlah sperma yang dihitung dalam kotak kamar
hitung.
2.2.2.4. Morfologi Sperma
Penilaian morfologi sperma dilakukan dengan sediaan
hapus sperma yang diwarnai dengan giemsa di baca dengan
pembesaran 1000 ×. Kriteria untuk klasifikasi morfologi normal
dan patologis dapat dilihat pada tabel kriteria morfologi
sperma.
14
Table 2.2.
Kriteria normal dan abnormal Morfologi
sperma (WHO, 2010)
Head
Normal
morphology
Regular oval shape,
well-defined
acrosome region
without vacuoles
and a volume of 40–
70% of the head
Pathological
morphology
Too big, too small, too
thin and long, pearshaped, round,
amorphous, with
acrosome vacuoles
(>2 or more than 20%),
post-acrosomal
vacuoles, too small or
too large acrosomes.
Asymmetric
connection to the
head, middle piece
irregularly, too thick,
bent or too thin.
Cytoplasmatic droplets
>30%.
Narrow, regular,
about as long as the
head. The main axis
of the head and
Midpiece
middle piece should
be in line.
Cytoplasmatic
droplets of the
midpiece should be
7,2
20
16
PR = progressive; NP = non-progressive; MAR = Mixed
antiglobulin reaction.
Sumber :Guidelines on Male Infertility. European Association
of Urology update
2.3 LEUKOSITOSPERMIA
Leukositospermia atau pyospermia adalah suatu keadaan
peningkatan
jumlah
leukosit
pada
didefinisikan bila jumlah leukosit
ejakulat.
Leukositospermia
> 1 juta leukosit / ml ejakulat
(semen).
Menurut
Shefi
dan
Turek
(2006)
secara
signifikan
leukositospermia menyebabkan infertilitas pada pria.11 Pada pria
infertile prevalensi pyospermia berkisar dari 3% sampai 23%.
Telah diketahui bahwa Infeksi saluran urogenital merupakan
salah
satu
penyebab
mempengaruhi
kelainan/
kesuburan
pria,
abnormalitas
hal
ini
semen
ditunjukkan
yang
dengan
dijumpainya leukosit dalam semen . Parameter pada analisa semen
seperti jumlah sperma,
motilitas sperma, kecepatan sperma dan
jumlah sperma yang motil secara signifikan akan menurun dengan
adanya leukosit.12 Leukositospermia sebagai akibat meningkatnya
aktivitas sistem imun tidak hanya disebabkan infeksi urogenital .13
Infeksi di luar saluran genital yang mungkin tanpa gejala namun
masih dapat berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas imun
somatik dan meningkatkan masuknya leukosit ke saluran genital.
17
Banyak mekanisme yang
telah dikemukakan untuk menjelaskan
tentang bagaimana keadaan inflamasi saluran genital dapat
menyebabkan infertilitas pria.14
Produk leukosit seperti limfokin,
monokin, dan Reactive Oxygen Species (ROS) telah terbukti
mengurangi kemampuan fertilisasi sperma.15
Leukositospermia juga dikaitkan dengan morfologi spermatozoa
yang abnormal, termasuk kepala memanjang dan kecil, kelainan
ekor dan leher juga morfologi akrosom abnormal.16
Leukositospermia juga dapat mempengaruhi hiperaktivitas dari
spermatozoa selama kapasitasi.17
Peningkatan leukosit dan granulosit diyakini melepaskan
berbagai sitokin proinflamasi/ bioaktif, hidrogen peroksida dan
Reactive Oxygen Spesies (ROS) lainnya.18 Lamirande dan Gagnon
menyatakan bahwa peroksidasi lipid membran sperma dianggap
sebagai mekanisme utama dari kerusakan sperma yang diinduksi
ROS yang menyebabkan infertilitas.19
2.4 INFEKSI SALURAN GENITAL
Secara umum Infeksi saluran urogenital pria merupakan salah
satu penyebab penting infertilitas pria. Peran Infeksi dan inflamasi
saluran genital telah dikaitkan dengan 8-35% kasus infertilitas lakilaki.3,4 Bakteriospermia asimtomatik memainkan peran utama.5,6
18
Infeksi kelenjar seks aksesoris pria merupakan faktor risiko utama
dalam infertilitas.7 Pentingnya patofisiologi bakteriospermia telah
dibahas dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa patomekanisme
yang mungkin dalam perkembangan infertilitas terkait dengan infeksi
dianggap berefek secara langsung pada fungsi sperma (motilitas dan
morfologi), penurunan spermatogenesis, proses autoimun yang
disebabkan oleh peradangan dan disfungsi kelenjar seks aksesori.4,6
Oleh karena itu, investigasi mikrobiologi bagi pria dari pasangan
infertil berguna untuk mendeteksi infeksi saluran urogenital pria,
khususnya infeksi yang tanpa gejala (asimptomatik).
Efek berbahaya dari bakteri pada spermatozoa tergantung
pada jenis dan spesies mikroorganisme, kolonisasi, atau infeksi
saluran kelamin pria yang berhubungan dengan stres oksidatif yang
menyertainya.20 Infeksi genital dapat mempengaruhi fungsi sekretorik
dalam vesikula seminalis dan prostat.
Male
Accessory
Glands
Infection
(MAGI)
juga
dapat
menurunkan sekresi alpha-glucosidase epididimis yang telah terbukti
memiliki efek positif pada kemampuan spermatozoa binding capacity
dan inseminasi intrauterine.21,22 Infeksi mikroba telah dikaitkan
dengan masalah infertilitas dalam berbagai studi.8,23
Efek inhibisi bakteri dalam hal ini E.coli telah terbukti memiliki
efek negative yang signifikan pada parameter motilitas sperma.24,25,26
Golshani dkk (2006) mencatat bahwa gangguan motilitas dan
19
kelainan morfologi lebih sering dijumpai pada kasus kasus dengan
bakteriosperma positip terutama pada sampel dimana E.coli dan
Enterococci positip.27
Efek lain dari bakteri patogen pada spermatozoa adalah
perusakan
membran spermatozoa. Integritas struktur dan fungsi
membran sperma sangat penting bagi viabilitas spermatozoa. Efek
bakteri patogen terhadap
membran spermatozoa secara in vitro
dipelajari oleh Qiang dkk
dimana hasilnya menunjukkan bahwa
ketika sperma diberi
β-hemolitik strain, membran kepala sperma
tersebut bengkak, cacat, kabur dan bahkan putus.28 Selain itu
Membran akrosom dan membran inti juga tampak terluka, bergulung,
mengkerut dan patah, membran di leher dan bagian tengah ekor
juga cacat, mitokondria tidak teratur dan beberapa komponen
dibebaskan dari sitoplasma, tetapi membran di bagian ujung ekor
tidak terlalu rusak dan
relatif utuh. Hal ini menunjukkan bahwa
bakteri hemolitik merusak membran spermatozoa secara signifikan.
Elbhar (2005) melaporkan bahwa kesuburan pria sangat
menurun karena adanya infeksi pada saluran urogenital. Oleh karena
itu infeksi dianggap sebagai salah satu kelainan pada semen yang
berkontribusi untuk infertilitas. Infeksi ini ditandai dengan adanya
leukosit dalam semen, sehingga disebut leuksitospermia atau
pyospermia.29
20
Wolff
dkk
(1990)
menyatakan
bahwa
identifikasi
dan
kuantifikasi leukosit dalam semen harus terintegrasi dalam setiap
pemeriksaan infertilitas pria karena leukosit dapat mempengaruhi
kualitas sperma baik secara in vitro maupun in vivo.12
Munoz dan Witkin (1995) menyatakan bahwa mekanisme yang
menyebabkan infertilitas melalui infeksi C. trachomatis tidak jelas.
Diasumsikan bahwa infeksi bakteri pada saluran genital, khususnya
dengan C. trachomatis merangsang sistem imun, mungkin melalui
vasoepididymitis
terjadi
obstruksi
unilateral
sehingga
terjadi
penurunan jumlah sperma atau spermatozoa terpapar sel sel imun
dalam kondisi peradangan.30
Donovan dan Lipshultz
31
memperkirakan bahwa
infeksi
menyebabkan infertilitas melalui mekanisme sebagai berikut :
−
Bakteri melekat pada sperma
−
Faktor immobilisasi yang diproduksi oleh bakteri, terutama E.coli.
−
Rekrutmen sistem imun, dan
−
Perubahan dari Fungsi kelenjar reproduksi.
World
Health
organization
mendefenisikan suatu infeksi
Guidelines
(WHO,1992)32
traktus seminalis dengan beberapa
parameter :
− Significant bacteriospermia (dimana dijumpai bakteri ≥ 103/ml
ejakulat).
− Ditemukan adanya Neisseria gonorrhoe/ C.trachoma.
21
− Significant Leukocytospermia( dimana dijumpai leukoisit ≥ 106 /ml
ejakulat peroxidase-positip)
22