Blending dan Interesterifikasi RBDPS dengan Minyak Kemiri Untuk Pembuatan Lemak Margarin

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Lemak dan Minyak

Minyak merupakan trigliserida yang berwujud cairan pada suhu kamar dan umumnya
diperoleh dari sumber nabati, sedangkan lemak merupakan trigliserida yang pada
suhu kamar berwujud padatan dan umumnya bersumber dari hewani.
Minyak dan lemak adalah trigliserida yang merupakan bagian terbesar dari
kelompok lipida. Pembentukan trigliserida dihasilkan dari proses esterifikasi suatu
molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak (yang sama atau dapat berbeda)
membentuk suatu molekul trigliserida dan tiga molekul air (Perkins, 1991).
Trigliserida dapat berwujud padat atau cair, dan hal ini tergantung dari
komposisi asam lemak yang menyusunnya. Sebagian besar minyak nabati berbentuk
cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, asam
linoleat, atau asam linolenat dengan titik cair yang rendah. Lemak hewani pada
umumnya berbentuk padat pada suhu kamar karena banyak mengandung asam lemak
jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair lebih tinggi
(Silalahi, 2002). Struktur trigliserida dapat dilihat pada gambar 2.1.

O
O

R2

O

R1

O

R3

O

O

Gambar 2.1. Struktur Trigliserida (Silalahi, 2002)
Trigliserida tidak dapat larut dalam air dan pada temperatur kamar dapat
berubah dari padat menjadi cair. Panjang asam lemak beberapa minyak yang dapat

dikonsumsi adalah 16-18 atom C. Meskipun demikian, minyak kelapa dan minyak

Universitas Sumatera Utara

inti sawit termasuk yang tinggi kejenuhannya karena memiliki asam laurat. Secara
umum lemak mengandung suatu campuran trigliserida yang akan berbeda pada setiap
komposisi dan posisi asam lemaknya pada molekul trigliserida, hal ini menyebabkan
molekul dalam lemak dapat melembut atau mengeras. Oleh karena itu, lemak dapat
berbentuk cair pada temperatur kamar, tetapi umumnya mengandung molekul lemak
padat (suspended solid) pada minyak cairnya. Jika lemak cair didinginkan, beberapa
molekul lemak akan memadat dan sebagian membentuk kristal lemak dari bagian
yang cair (Weiss, 1983).
Minyak dan lemak merupakan komponen makanan yang memiliki fungsi
tersendiri. Sebagai nutrisi, lemak memiliki lima fungsi yaitu sebagai sumber energi,
material pembangun struktur sel, sumber asam lemak esensial pada manusia, pelarut
vitamin A, D, E, K, dan pengontrol serum lipida dan lipoprotein (Melton, 1996).
Disamping fungsinya sebagai nutrisi, lemak juga merupakan komponen
makanan dan pemberi rasa dalam makanan. Lemak memberikan cita rasa yang
merupakan suatu kombinasi yang memberikan rasa lembut, lezat, bentuk dan aroma
pada makanan. Lemak juga sebagai pembawa senyawa cita rasa lipofilik yang

disebabkan oleh adanya prekursor untuk pembentuk cita rasa (Akoh, 1995).
Selain mempunyai efek positif, lemak juga mempunyai efek negatif,
kebanyakan lemak akan menyebabkan meningkatnya resiko kegemukan dan beberapa
jenis penyakit kanker, kolesterol yang tinggi di dalam darah dan penyakit jantung
koroner . Pengurangan konsumsi lemak dapat menurunkan resiko terkena penyakit
jantung dan jika manusia yang memilki kelebihan berat badan melakukan diet lemak
dapat menurunkan resiko penyakit jantung koroner (Geise, 1996).
Berdasarkan

sumbernya, lemak digolongkan menjadi dua, yaitu lemak

hewani yang berasal dari hewan dan lemak nabati yang berasal dari tumbuhan.
Perbedaan dari lemak nabati dan lemak hewani adalah lemak hewani umumnya
bercampur dengan steroid hewani yang disebut kolesterol, sedangkan lemak nabati
umumnya bercampur dengan steroid nabati yang disebut fitosterol (Ketaren, 2008).
Lemak dan minyak sebagai bahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu lemak yang siap dikonsumsi tanpa dimasak (edible fat consumed uncooked),

Universitas Sumatera Utara


misalnya mentega dan lemak yang digunakan dalam kembang gula, dan lemak yang
dimasak bersama bahan pangan atau dijadikan sebagai medium, misalnya minyak
goreng, shortening, dan lemak babi. Kadang-kadang untuk tujuan ini dapat juga
digunakan mentega atau margarin. Lemak atau minyak yang ditambahkan ke dalam
bahan pangan atau yang dijadikan sebagai bahan pangan perlu memenuhi persyaratan
dan sifat-sifat tertentu. Sebagai contoh ialah persyaratan atau sifat-sifat lemak yang
digunakan untuk pembuatan mentega atau margarin berbeda dengan persyaratan
minyak yang dijadikan shortening atau minyak goreng (Potter, 1986).

2.2.

Minyak Kemiri

Tanaman kemiri tumbuh secara alami di hutan campuran dan hutan jati pada
ketinggian 150-1000 m di atas permukaan laut. Tanaman kemiri tidak begitu banyak
menuntut persyaratan tumbuh, sebab dapat tumbuh di tanah kapur, tanah berpasir dan
jenis tanah lainnya (Arlene, et.al,. 2010).
Tanaman kemiri (Alleurites mollucana) berpohon besar dengan tinggi 25-40
meter, beranting banyak, mempunyai tunas muda yang tertutup rapat oleh bulu yang
berwarna putih keabu-abuan atau cokelat. Daun muda, berlekuk tiga atau lima,

sedang daun tua, berbentuk bulat dengan ujung meruncing. Daun tersebut mempunyai
kelenjar berwarna hijau kekuningan (Ketaren, 2008). Penyebaran kemiri di Indonesia
hampir meliputi seluruh kepulauan. Daerah budidaya kemiri utama untuk wilayah
Indonesia dapat dijumpai di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu,
Lampung, Kalimantan Barat, Bali, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Nusa Tenggara
Timur dengan luasan total mencapai 205.532 ha (Ginting, 2013).
Kemiri mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, dimana hampir semua makanan
khas Indonesia menggunakan daging atau minyak kemiri. Minyak dari daging kemiri
dapat dipisahkan dengan beberapa cara, antara lain dipres baik pada kondisi dingin
maupun dalam kondisi panas, dan ekstraksi pelarut. Minyak biji kemiri dapat juga
dipakai untuk bahan pembuatan sabun, kosmetik, dan lain-lain, sedangkan ampas biji

Universitas Sumatera Utara

dari hasil pengepresan dapat dipakai sebagai pupuk karena mengandung sekitar 8,5%
Nitrogen dan lebih dari 4% asam fosfat.
Kandungan bagian buah (biji) mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak
tidak jenuh sebesar 55-65 persen yang ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kandungan asam lemak dalam minyak kemiri
Asam Lemak


Rantai Karbon

Kandungan (%)

Asam palmitat

C16;0

5,5

Asam stearat

C18:0

6,7

Asam oleat

C18:1


10,5

Asam linoleat

C18:2

48,5

Asam linolenat

C18:3

28,5

Sumber: (Ketaren, 2008)
Minyak biji kemiri biasanya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan cat
atau pernis, tinta cetak, dan pengawet kayu dan bahan pembuatan sabun. Di Filipina,
minyak ini sudah lama digunakan untuk melapisi bagian dasar perahu agar tahan
terhadap korosi akibat air laut. Daging buah kemiri juga dapat digunakan sebagai

bumbu masak (Ketaren, 2008).

2.3.

Stearin Kelapa Sawit

Minyak sawit merupakan produk dari tanaman kelapa sawit yang memilki bentuk
semisolid pada temperatur kamar. Hal ini disebabkan di dalam minyak kelapa sawit
banyak sekali mengandung triasilgliserol yang mempunyai titik leleh dan kelarutan
yang berbeda-beda. Dengan pendinginan terkontrol, fraksi berbentuk padatan terpisah
dari fraksi berbentuk cairan, proses ini disebut proses winterisasi. Fraksi yang
berbentuk padat dikenal dengan nama fraksi stearin (RBDPStearin) dan fraksi yang
berbentuk cair dikenal sebagai fraksi olein (RBDPOlein). Fraksinasi tersebut
menghasilkan 75% fraksi olein dan 25% fraksi stearin. Stearin kelapa sawit diperoleh
dari pemurnian minyak kelapa sawit yang diproses beberapa tahap. Stearin ini
dihasilkan dari fraksinasi yang terjadi saat pendinginan. Setelah pendinginan, olein

Universitas Sumatera Utara

kelapa sawit akan berada di atas dan stearin berada di bagian bawah (Kaban dan

Brahmana, 1991; O’Brien, 1998).
Minyak kelapa sawit diperoleh dari pemurnian minyak kelapa sawit yang
diproses beberapa tahap, yaitu; (a) penghilangan getah (degumming), (b) pemucatan
(bleaching),

(c)

penghilangan

bau

(deodorization),

dan

(d)

pendinginan

(winterization). Skema pemurnian minyak kelapa sawit dapat dilihat pada gambar

2.2.

Crude Palm Oil (CPO)
+ H3PO4
+ Bleaching Eart
+ Filter
Residu (ampas
bleaching eart)

Filtrat
(DBP Oil)
Deodorizing

ALB, Air

RBDP Oil
Kristalisasi Fraksinasi
Filter

RBD Olein


RBD Stearin

Gambar 2.2. Skema Proses Pemurnian dan Pengolahan CPO

Stearin mempunyai komposisi trigliserida yang mirip dengan mentega coklat,
yang merupakan campuran dari POP, POS, dan SOS serta tidak ada komponen yang
cair pada temperatur kamar. Dengan penambahan stearin, kristalisasi mentega coklat
semakin baik dan kompleks dan panas peleburan bertambah (Basiron, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.4.

Lemak Margarin dan Margarin

Lemak margarin adalah lemak yang digunakan sebagai bahan baku utama dalam
pembuatan margarin. Lemak margarin ini umumnya berasal dari lemak nabati dan
lemak hewani. Lemak yang digunakan pada pembuatan margarin ini secara fisik
maupun kimiawi mempunyai sifat-sifat yang sama dengan lemak yang lainnya.
Pada prinsipnya persyaratan dasar yang harus dipenuhi pada pembuatan
margarin adalah kandungan lemak padat, titik cair, bilangan peroksidanya. Standar
mutu margarin internasional menetapkan maksimum bilangan peroksida 6 mg
O2/100 gram. Karena bilangan peroksida ini suatu ukuran kandungan peroksida
dalam margarin yang sangat menentukan stabilitas oksidatif lemak margarin.
Selanjutnya titik cair margarin berkaitan dengan nilai nutrisi dan kemampuan darah
membawa zat makanan yang mengandung margarin (Ramayana, 2003).
Sebagaimana minyak/lemak pada umumnya, sifat-sifat lemak margarin juga
sama dengan sifat-sifat minyak/lemak lainnya secara umum baik sifat fisika maupun
sifat kimia. Namun untuk penggunaannya yang spesifik, beberapa literatur
memberikan persyaratan sifat-sifat lemak margarin terutama pada titik cair,
kandungan lemak padat, dan bilangan peroksida. Kandungan lemak padat atau indeks
lemak padat banyak digunakan sebagai metode untuk menentukan konsistensi lemak.
Sifat-sifat lemak margarin yang penting lainnya adalah titik lebur yang berkaitan
dengan bentuk isomer geometriknya, panjang rantai karbon dan kejenuhannya. Asam
lemak cis memiliki titik lebur yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak
trans (Potters, 1986).

Margarin merupakan produk perisa pangan yang mengandung 80% lemak.
Margarin dibuat dengan mencampurkan lemak dan minyak dengan bahan lain yang
kemudian difortifikasi dengan vitamin A. Margarin dikembangkan untuk kebutuhan
nutrisi yang dibutuhkan ketika awalnya dibuat sebagai pengganti mentega. Margarin
semakin berkembang karena memiliki aplikasi yang bervariasi. Margarin dibuat dari
sejumlah lemak dan minyak, antara lain minyak kedelai, minyak biji kapas, minyak

Universitas Sumatera Utara

sawit, minyak jagung, dan minyak bunga matahari (O’Brien, 1998). Beberapa jenis
margarin beserta tampilan yang dibutuhkan dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Persyaratan Tampilan Beberapa Jenis Margarin
Jenis Margarin

Syarat Tampilan

Tub

Memisah pada suhu 50C-100C

Paket

Memisah pada suhu 150C (iklim sedang) dan
200C-250C (iklim tropis)

Industri atau bakery

Berbentuk krim

Pastry

Tercampur dengan baik

Sumber : (Basiron, 2000)

Banyak jenis margarin yang tersedia di pasaran, masing-masing dibuat untuk
memenuhi keinginan konsumen. Jenis margarin yang paling umum adalah table
margarine, bakery margarine, dan puff pastry margarine. Sifat fisis yang baik
diperlukan untuk margarin berkualitas. Sifat-sifat ini termasuk yaitu stabilitas emulsi
tanpa ada lemak yang terpisah, tekstur permukaan yang mengkilap, tidak ada butiran,
dapat dioleskan dengan baik, dan bersih dengan melebur di mulut. Sifat fisis dari
kekerasan dan spreadability

margarin sangat berhubungan dengan proporsi lemak

padatan dan cairan pada suhu yang diberikan. Lemak yang digunakan untuk semua jenis
margarin biasanya campuran dari minyak cair dan padat sehingga akan memberikan
kandungan padatan yang diinginkan pada jarak tertentu (Barus, 2006).

2.5.

Asam Lemak Trans (TFA)

Lemak trans adalah lemak yang terbentuk dari proses hidrogenasi, yaitu proses
penambahan ion hidrogen ke dalam lemak. Hidrogenasi dilakukan pada MUFA
(Mono Unsaturated Fatty Acid) atau PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) yang
sifatnya tidak stabil. Jenis lemak yang biasa diolah menjadi lemak trans adalah

Universitas Sumatera Utara

minyak kedelai, minyak jagung, minyak biji kapas, minyak biji bunga matahari,
minyak zaitun, dan minyak canola. Lemak trans yang ada di pasaran umumnya
terbuat dari minyak kedelai dan minyak biji jagung yang harganya relatif lebih murah
dibandingkan minyak tak jenuh lainnya (Lingga, 2012). Struktur asam oleat cis dan
asam oleat trans dapat dilihat pada gambar 2.3.

H

H

O
C
OH

Asam oleat Cis

H
O
C
OH

H

Asam oleat Trans (Asam Elaidat)
Gambar 2.3. Struktur Cis dan Trans Asam Oleat (Tjeng, 2011)

Asam lemak tidak jenuh yang terdapat di dalam minyak dapat berada dalam
dua bentuk yaitu isomer cis dan trans. Asam lemak tak jenuh terdapat secara alami
biasanya sebagai asam lemak cis, hanya sedikit dalam bentuk trans. Jumlah asam
lemak trans dapat meningkat di dalam makanan berlemak akibat dari proses
pengolahan yang ditetapkan. Sebelumnya keberadaan asam lemak trans dalam lemak
hidrogenasi dari produk cocoa butter dianggap menguntungkan karena memiliki titik
leleh yang lebih tinggi (sama dengan asam lemak jenuh) dibanding bentuk cis karena
lebih stabil dan lebih tahan terhadap oksidasi, tetapi pada tahun 1990 penelitian
tentang asam lemak trans meningkat karena pengaruh negatif dari asam lemak
tersebut yang dapat meningkatkan penyakit jantung koroner (Subbaiah, et. al., 1998).

Universitas Sumatera Utara

Keberadaan asam lemak trans di dalam makanan menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan yaitu sebagai pemicu penyakit jantung koroner (PJK).
Pengaruh negatif asam lemak trans dengan mempengaruhi kadar low density
lipoprotein (LDL) yang disebut kolesterol jahat. LDL ini adalah kolesterol yang
mengangkut paling banyak kolesterol di dalam darah. Kadar LDL yang tinggi akan
menyebabkan mengendapnya kolesterol dalam arteri dan high density lipoprotein
(HDL) yang dikenal sebagai kolesterol baik. Kolesterol HDL mengangkut kolesterol
lebih sedikit, dapat membuang kelebihan kolesterol jahat di pembuluh darah arteri
kembali ke hati untuk diproses dan dibuang. Jadi, HDL dapat mencegah kolesterol
mengendap di arteri dan melindungi dari arteroklerosis (terbentuknya plak pada
dinding pembuluh darah). Dengan mengkonsumsi asam lemak trans akan menaikkan
kadar LDL dan menurunkan HDL (Hunter, 2007).

2.6.

Modifikasi Minyak dan Lemak

2.6.1. Hidrogenasi

Hidrogenasi minyak dan lemak yang dikembangkan oleh W Norman pada
tahun 1902 bertujuan untuk mengubah minyak cair menjadi lemak setengah padat
yang sesuai untuk produk-produk seperti shortening
merupakan

dan margarin. Hidrogenasi

metode yang paling banyak diterapkan untuk industri dalam

memodifikasi minyak dan lemak (Silalahi, 1999).
Proses hidrogenasi merupakan suatu proses industri bertujuan untuk
menjenuhkan ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak atau lemak
(Ketaren, 1986). Hidrogenasi mampu mereduksi ikatan rangkap menjadi ikatan
tunggal sehingga meningkatkan titik cair lemak. Reaksi ini menggunakan katalis
kimia seperti Ni, Pt, Pb, atau Cu, tetapi yang paling umum digunakan adalah Ni
(Silalahi, 1999). Reaksi pada proses hidrogenasi terjadi pada permukaan katalis yang
mengakibatkan reaksi antara molekul-molekul minyak dengan gas hidrogen.
Hidrogen akan diikat oleh asam

lemak tidak jenuh, yaitu pada ikatan rangkap,

Universitas Sumatera Utara

membentuk radikal kompleks antara hidrogen, nikel, dan asam lemak tak jenuh.
Setelah terjadi penguraian nikel dan radikal asam

lemak, akan dihasilkan suatu

tingkat kejenuhan yang lebih tinggi. Radikal asam lemak dapat terus bereaksi dengan
hidrogen, membentuk asam lemak yang jenuh. Reaksi hidrogenasi parsial dapat
dilihat pada gambar 2.4.
O
O

O
H3C

(H2C)16

C

C

O

(CH2)7

C
H

C
H

(CH2)7

+ H2

O
O

C

CH3

(CH2)7

C
H

C
H

H2
C

H2
C

C
H

C
H

(CH2)7

CH3

(CH2)7

CH3

(CH2)7

CH3

Ni

O
O

O
H3C

(H2C)16

C

C

O

(CH2)7
O

O

C

(CH2)7

Gambar 2.4. Reaksi Hidrogenasi Parsial (Tjeng, 2011)

Proses hidrogenasi dilakukan untuk menjenuhkan ikatan rangkap di dalam
rantai asam lemak, namun gas hidrogen dapat juga bereaksi dengan komponen non
gliserida dalam minyak seperti karoten. Hal ini sangat tidak menguntungkan. Masalah
yang harus diperhatikan selanjutnya adalah reaksi selektivitas (Gunstone dan Norris,
1983).

2.6.2. Blending

Blending (pencampuran) merupakan metode dalam modifikasi minyak atau lemak
yang mudah dan ekonomis, karena dapat dilakukan dengan mencampur secara fisik
dua jenis minyak atau lebih. Tujuan blending adalah meningkatkan titik leleh lemak
atau

minyak yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan dengan cara

menambahkan minyak yang mempunyai titik leleh lebih tinggi ke dalam campuran
minyak. Perubahan nilai akibat pencampuran (blending) ini dikarenakan kandugan

Universitas Sumatera Utara

asam lemak dari minyak yang dicampurkan mempunyai komposisi asam lemak yang
titik lelehnya tinggi (Willis, et.al. 1998).
Namun demikian, blending memiliki banyak kelemahan, karena perbedaan
ukuran molekular, dua jenis minyak ada kemungkinan tidak kompatibel satu sama
lainnya dan dapat membentuk campuran eutektik (Moussata dan Akoh, 1998). Selain
itu hasil yang diperoleh kurang stabil dalam jangka waktu yang cukup lama karena
hanya merupakan interaksi fisik dua atau lebih jenis minyak. Blending juga salah satu
cara menghindari terjadinya asam lemak trans, bentuk trans yang dihasilkan metode
hidrogenasi. Blending dilakukan dengan pengadukan yang kuat sehingga fase
pendispersinya dapat bercampur dan dispersi ini dapat dipertahankan dengan
menambah zat pengemulsi seperti lesitin (Haumann, 1994).
Beberapa penelitian mengenai blending yang telah dilakukan adalah oleh
Mariati pada tahun 2001 dengan melakukan blending antara lemak kakao, RBD
minyak sawit, dan minyak kemiri, sedangkan Ramayana (2003) telah melakukan
blending antara minyak kelapa, minyak kelapa sawit, dan stearin kelapa sawit untuk
membuat lemak margarin.

2.6.3. Interesterifikasi

Reaksi transesterifikasi adalah suatu reaksi dimana suatu ester trigliserida atau ester
asam lemak diubah menjadi ester yang lain melalui reaksi dengan suatu alcohol,
asam, atau ester yang lain. Transesterifikasi terbagi atas alkoholisis, asidolisis, dan
interesterifikasi.

Universitas Sumatera Utara

Alkoholisis adalah reaksi dimana suatu ester diubah menjadi ester yang lain
dengan mereaksikannya dengan suatu alkohol. Secara umum, reaksinya dapat
dituliskan sebagai berikut:
O

O
O
O
O

C

R1
O
R2 + 3 H3C
O
R3

C
C

R1

C
O

OH
OCH3

OH

R1

O

R1

OH

+

C
OCH3

OH

C
OCH3

Trigliserida/Ester

Metil Ester Asam Lemak

Gliserol

sedangkan asidolisis adalah reaksi dimana suatu ester diubah menjadi ester lain
dengan mereaksikannya dengan suatu asam. Secara umum, reaksinya dapat dituliskan
sebagai berikut:
O
O

C

O

C

O

C

R1
O
R2
O
R3

Trigliserida/Ester

O
O

+

C11H23

C

O

C

O

C

O

C

OH

C11H23
O
R2
O
R3

Asam Lemak

(Tarigan, 2009).
Interesterifikasi atau ester interchange atau sering pula disebut sebagai
transesterifikasi adalah reaksi satu ester dengan ester lainnya dengan mempertukarkan
asam lemak diantara molekul-molekul trigliserida sampai tercapai keseimbangan
molekul. Gandhi (1997) dan Silalahi (1999) menyatakan bahwa interesterifikasi
merupakan reaksi suatu ester dengan ester lainnya dalam molekul triasilgliserol.
Reaksi ini sebenarnya tejadi sebagai penataan ulang (rearrangement) atau
pengacakan residu asil dalam triasilgliserol yang menghasilkan lemak atau minyak
dengan sifat-sifat yang baru (Belitz and Grosch, 1987). Reaksi pertukaran ester secara
intermolecular dan intermolecular dapat dilihat pada gambar 2.5.

Universitas Sumatera Utara

O

O H
2
C
C

O

O H
2
C
C

R2

O

O

C

O H2
C

C
O

R3

O

C

O
O

R1

H2
C

C
O

C

O H
2
C

R4

O

O H
2
C
C

O

C

O H2
C

NaOC2H5

H2
C

R5

H2
C

R6

Trigliserida-2

Trigliserida-1
O

R4

O

O H
2
C
C

R1

R2

O

C

O H
2
C

R5

R3

O

C

O H2
C

R6

Trigliserida-3

Trigliserida-4

(a)
O

O H
2
C
C

O

O H
2
C
C

R2

O

O

O H2
C
C

C
O

R3

O

C

O

R1

NaOC2H5

Trigliserida-1

O

C
O

H2
C

R2

H2
C

R1

H2
C

R3

Trigliserida-2

(b)
Gambar 2.5. Reaksi Pertukaran Ester : (a) Reaksi Pertukaran Intermolekular, (b)
Reaksi Pertukaran Intramolekular (Sari, 2016).

Interesterifikasi kimia menghasilkan suatu randomisasi gugus asil dalam
trigliserida. Interesterifikasi kimia dapat terjadi tanpa menggunakan katalis, tetapi
membutuhkan suhu yang sangat tinggi, pencampaian kesetimbangan (equilibrium)
sangat lamban, trigliserida akan mengalami dekomposisi dan polimerisasi

serta

banyak menghasilkan asam lemak bebas (Silalahi, 1999).
Lipase merupakan enzim yang dapat mengkatalisis reaksi interesterifikasi
enzim yang terutama dihasilkan dari bakteri, khamir, dan fungi ini mengkatalisis
hidrolisat triasilgliserol, diasilgliserol, dan monoasilgliserol dan asam lemak bebas.

Universitas Sumatera Utara

Akumulasi produk hidrolisis berlangsung terus hingga tercapai suatu kesetimbangan
(Willis, et.al. 1998).

2.7.

Titik Lebur pada Lemak

Lemak dan minyak hewani dan nabati merupakan campuran dari gliserida dan
komponen lainnya, sehingga tidak mempunyai titik lebur yang tepat, tetapi
melebur/mencair diantara kisaran suhu tertentu. Asam lemak selalu menunjukkan
kenaikan titik lebur dengan semakin panjangnya rantai karbon. Asam lemak yang
derajat ketidakjenuhannya semakin tinggi, mempunyai titik lebur yang semakin
rendah. Asam lemak yang berstruktur trans mempunyai titik lebur yang lebih tinggi
daripada asam lemak yang berstruktur cis (Moran dan Rajah, 1994).Titik lebur lemak
merupakan suatu sifat empiris yang berhubungan dengan sifat fisik lemak. Titik lebur
berhubungan langsung terhadap temperatur dimana lemak mengkristal atau memadat.
Semakin tinggi temperatur, maka titik lebur semakin tinggi, tergantung dari sifat
poliformis kristal lemak. Titik lebur lemak tidak merupakan suhu yang tepat, tetapi
merupakan kisaran suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena minyak atau lemak
disusun dari campuran gliserida dan komponen lainnya. Asam lemak seu
menunjukkan kenaikan titik lebur, dengan semakin panjangnya rantai karbon dan
semakin jenuhnya lemak tersebut (Sudarmadji, 1996).
Titik lebur dari minyak atau lemak ditetapkan dengan maksud identifikasi
minyak atau lemak tersebut. Cara penetapannya yaitu dengan menggunakan tabung
kapiler yang diisi dengan minyak. Kemudian dimasukkan ke dalam lemari es selama
satu malam sehingga minyak akan membeku dan menjadi padat. Setelah satu malam
dalam lemari es, tabung kapiler tadi diikat bersama dengan termometer, selanjutnya
dicelupkan ke dalam gelas piala yang berisi air. Temperatur akan naik dengan lambat
dan temperatur pada saat permukaan dari minyak atau lemak dalam tabung kapiler
mulai naik, disebut titik lunak atau softening (Ketaren, 1986).

Universitas Sumatera Utara

2.8.

Kandungan Lemak Padat

Kandungan lemak padat merupakan ukuran dari jumlah padatan yang ada dalam
lemak. Solid Fat Content (SFC) merupakan analisa lemak dan minyak yang diterima
secara umum dalam industri makanan. SFC berkaitan dengan persentase minyak yang
berupa padatan pada berbagai suhu (Tjeng, 2011). Nilai standar SFC untuk lemak
margarin pada beberapa suhu dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini.
Tabel 2.3. Nilai Standar SFC Lemak Margarin
Analisis SFC
Temperatur

Nilai SFC (%)

100C

12-40

0

21 C

8-23

33,30C

2-4

Sumber : (O’Brien, 2008)

2.8.1.Dilatometri

Metode awal yang digunakan untuk memperkirakan persentase padatan pada lemak
adalah dilatometry (AOCS Cd 10-57). Hasilnya disebut solid fat index. Namun,
metode ini memakan waktu dan bersifat subjektif. Metode tradisional ini merupakan
metode yang lambat, tidak dapat diulang, dan membutuhkan zat kimia (Tjeng, 2011).
Metode penentuan lemak padat secara dilatometri dilakukan dengan
mengukur perubahan volume dari lemak padat saat peleburan. Cara ini lebih lama dan
hanya sesuai dengan solid fat index (SFI)
≤50 pada 10

o

C. Dilatasi dari suatu lemak

merupakan ekspansi isotermal yaitu perubahan dari keadaan padat menjadi cair, yang
mana sebelumnya lemak telah dipadatkan pada kondisi yang tepat. Dilatasi yang
dinyatakan dalam ml/kg lemak atau µl/gr lemak dan kadang-kadang dinyatakan
dalam µl/25 gr lemak. Pada prinsipnya dilatasi adalah pengukuran volume dari suatu
lemak yang sudah diketahui beratnya diukur dibawah temperatur 60oC. Dilatasi suatu

Universitas Sumatera Utara

lemak diukur dengan alat dilatometri. Dilatasi lemak ini memberikan suatu petunjuk
perbandingan antara lemak padat dan lemak cair dalam sampel semi padat (Hamilton,
1986). Pada sistem pengukuran BS (British Standart), dilatasi diukur dalam satuan
mm3/gr lemak dengan nilai range dari 10 untuk minyak cair sempurna hingga 20002500 untuk lemak padat (Hamilton and Rossell,1986).

2.8.2 .Differential Scanning Calorimetry (DSC)

DSC telah diusulkan sebagai alternatif yang mungkin untuk menggantikan
dilatometri akan tetapi hasil DSC dipengaruhi oleh panas penggabungan, kecepatan
kristalisasi dan peleburan ukuran sampel.
Che Man dan Swe (1997) menggunakan DSC untuk memonitor penyebab dari
kristalisasi yang bermutu rendah dari batch palm oil yang gagal. Mereka menemukan
bahwa termogram pendinginan dari palm oil dari batch yang gagal berbeda dari
kristalisasi yang bagus. Mereka menunjukkan bahwa temperatur dan waktu
pemanasan adalah berpengaruh pada termogram, dan menunjukkan korelasi antara
termogram dan pembentukan kristal yang terjadi. Pemanasan atau pendinginan dan
massa sampel juga mempengaruhi profil dari DSC termogram palm oil dan palm
kernel oil yang telah dilaporkan beberapa peneliti (Haryati et. al. 1998) juga
mendapatkan bahwa profil DSC juga bisa digunakan untuk menentukan sifat dari
minyak-minyak lain seperti titik lebur, titik keruh, dan bilangan iodin.

2.8.3.Pulsed NMR
Kandungan lemak padat adalah suatu ukuran dari sejumlah padatan yang ada dalam
lemak dan diukur sebagai perbandingan jumlah proton cair yang ada pada temperatur
tertentu, yang diberikan dengan jumlah total proton dalam suatu sampel. Dengan
mengukur signal pada dua waktu yang berbeda maka persen lemak padat dapat
ditentukan. Berdasarkan prinsip ini telah diperkenalkan spektrometer Pulsa NMR
resolusi rendah yang dirancang untuk analisa lemak. Pulsed NMR banyak digunakan
untuk menentukan jumlah kandungan minyak dalam biji-bijian dan produk bahan

Universitas Sumatera Utara

makanan. Pemakaian pulsed NMR dalam analisa lemak yaitu dengan penentuan
kandungan lemak padat. Pulsed NMR memberikan pengukuran yang langsung dari
padatan yang terdapat di dalam lemak yang diukur dibawah temperatur 40oC
(Hamilton, 1986).
Fraksi dari fase padat yang diukur dengan pulsed NMR dapat didefenisikan
sebagai perbandingan jumlah proton-proton fase padat dengan jumlah proton-proton
dalam sampel. Tidak ada koreksi yang dibuat untuk membedakan proton antara fase
padat dan fase cair. Nilainya dinyatakan dalam persentase, yang selalu disertai
dengan penentuan temperatur.
Jika suatu sampel yang mengandung proton ditempatkan dalam suatu medan
magnet yang sangat kuat, proton-proton bersifat seperti magnet batang yang sangat
kecil dan cenderung searah dengan arah medan. Bila medan yang kedua digunakan
dalam bentuk pulsa gelombang radio, penjajaran dapat diubah 900. Energi yang
diserap oleh proton-proton memberikan gaya dorong untuk proses istirahat tertentu
yang memungkinkan energi berubah antara proton-proton mereka sendiri atau antara
proton-proton dengan kisi-kisi (Silalahi, 2002).

2.9.

Kromatografi Gas

Kromatografi gas adalah suatu teknik untuk memisahkan zat yang mudah menguap
dengan cara melewatkan aliran gas pada suatu fase yang tidak bergerak (stationary
phase). Pemisahan ini berdasarkan sifat-sifat penyerapan isi kolom untuk
memisahkan komponen sampel yang berbentuk gas. Isi kolom yang biasa digunakan
untuk keperluan ini adalah silica gel, saringan molekul, dan arang. Sampel yang
dianalisis dapat berbentuk gas, cair maupun padat, namun cair dan padat harus
terlebih dahulu diubah menjadi bentuk gas dengan cara pemanasan (Sudjadi, 1986).
Diagram alir kromatografi gas dapat dilihat pada gambar 2.6.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6. Diagram Alir Kromatografi Gas
Senyawa yang dapat dipisahkan dengan kromatografi gas sangat banyak,
namun ada batasan-batasannya. Senyawa tersebut harus mudah menguap dan stabil
pada temperatur pengujian. Temperatur ini berkisar 50-3000C. Jika senyawa yang
diuji tidak dapat menguap dan stabil pada temperatur pengujian, maka senyawa
tersebut bias diderivatisasi agar dapat dianalisis dengan kromatografi gas (Mardoni et.
al., 2007).
Cara kerja kromatografi gas antara lain: sampel diinjeksikan melalui suatu
sampel injection port yang temperaturnya dapat diatur, senyawa-senyawa dalam
sampel akan menguap dan akan dibawa oleh gas pengemban menuju kolom. Zat
terlarut akan teradsorpsi pada bagian atas kolom oleh fase diam, kemudian akan
merambat dengan laju rambatan masing-masing komponen yang sesuai dengan nilai
Kd masing-masing komponen tersebut. Komponen tersebut terelusi sesuai dengan
urutan makin membesarnya nilai koefisisen partisi (Kd) menuju ke detektor. Detektor
mencatat sederetan sinyal yang timbul akibat perubahan konsentrasi dan perbedaan
laju elusi. Pada alat pencatat sinyal ini akan tampak sebagai kurva antara waktu
terhadap komposisi aliran gas pembawa (Khopkar, 2003).
Dalam analisis FAC kolom yang digunakan adalah kolom non polar model
variant cp 7463, WCOT ULTI-METAL, dimana panjang kolom 25 m, diameter 250
µm, dan tebal kolom 0,10 µm. Kondisi oven dalam analisis ini diperlihatkan

Universitas Sumatera Utara

temperature 2200C dan waktu analisis dalam sekali penginjeksian adalah 36,25 menit.
Untuk masing-masing trigliserida dideteksi berdasarkan berat molekulnya seperti
halnya urutan trigliserida Miristat Miristat Palmitat (C44:0) memiliki berat molekul
yang sama dengan Miristat Palmitat Miristat (C44:0) akan memberikan waktu retensi
yang sama dalam analisis komposisi trigliserida (Agilent, 2003).

2.9.1. Fase Mobil (Gas Pembawa)
Faktor yang menyebabkan suatu senyawa bergerak melalui kolom kromatografi gas
adalah keatsirian yang merupakan sifat senyawa itu dan aliran gas melalui kolom.
Aliran gas dipaparkan dengan dua peubah, aliran yang diukur dalam ml/menit dan
penurunan tekanan antara pangkal dan ujung kolom (Gritter, 1991).
Fase mobil (gas pembawa) dipasok dari tangki melalui pengaturan
pengurangan tekanan, kemudian membawa cuplikan langsung ke dalam kolom. Jika
hal ini terjadi, cuplikan tidak menyebar sebelum proses pemisahan. Cara ini cocok
untuk cuplikan yang mudah menyerap.
Gas pembawa ini harus bersifat inert dan harus sangat murni. Seringkali gas
pembawa ini harus disaring untuk menahan debu uap air dan oksigen. Gas yang
sering digunakan adalah N2, H2, He, dan Ar (Hendrayati, 2010).

2.9.2. Injeksi Sampel
Sejumlah kecil sampel yang akan dianalisis diinjeksikan pada mesin menggunakan
semprit kecil. Jarum semprit menembus lempengan karet tebal (lempengan karet ini
disebut septum) yang mana akan mengubah bentuknya kembali secara otomatis
ketika semprit ditarik keluar dari lempengan karet tersebut.
Injektor berada dalam oven yang mana temperaturnya dapat dikontrol. Oven
tersebut cukup panas sehingga sampel dapat mendidih dan diangkut ke kolom oleh
gas pembawa misalnya helium atau gas lainnya. Fase gerak dalam kromatografi ini
adalah gas. Gas yang paling lazim digunakan adalah helium, hidrogen, atau nitrogen.

Universitas Sumatera Utara

Komponen pilihan gas pembawa terutama tergantung pada karakteristik detektor
(Hendrayati, 2010).

Cuplikan dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik, biasanya
berupa lubang yang ditutupi dengan pemisah karet. Ruang suntik harus dipanaskan
tersendiri, terpisah dari kolom, biasanya pada suhu 10-150C lebih tinggi daripada
suhu kolom maksimum. Jadi seluruh cuplikan diuapkan segera setelah disuntikkan
dan dibawa ke kolom (Gritter, 1991).

2.9.3. Kolom

Ada dua tipe utama kolom dalam kromatografi gas-cair. Tipe pertama, kolom partisi,
berisi bahan padat inert menyangga lapisan tipis cairan, disebut kromatografi gas cair
(GLC). Tipe kedua, kolom adsorpsi berisi partikel penyerap yang umumnya
digunakan untuk analisa gas permanen dan hidrokarbon rendah, disebut kromatografi
gas padat (GSC).
Kolom biasanya dibuat dari baja tak berkarat dengan panjang antara 1 sampai
4 meter, dengan diameter internal sampai 4 mm. kolom digulung sehingga dapat
disesuaikan dengan oven yang terkontrol secara termostatis. Kolom dipadatkan
dengan tanah diatomae, yang merupakan batu yang sangat berpori. Tanah ini dilapisi
dengan cairan bertitik didih tinggi dan biasanya polimer lilin.
Temperatur kolom dapat bervariasi antara 500C sampai 2500C. temperatur
kolom lebih rendah daripada gerbang injeksi pada oven, sehingga beberapa
komponen campuran dapat berkondensasi pada awal kolom. Kolom memulai pada
temperatur rendah dan kemudian terus menerus menjadi lebih panas dibawah
pengawasan komputer saat analisis berlangsung.

Universitas Sumatera Utara

2.9.4. Detektor

Elusi zat terlarut dari kolom mengatur ketidakseimbangan antara dua sisi detektor
yang direkam secara elektrik. Laju aliran gas pembawa adalah hal yang sangat
penting, dan biasanya pengukur aliran untuk itu tersedia. Secara normal gas-gas yang
muncul dialirkan keluar pada tekanan atmosfer.
Dalam mekanisme reaksi, pembakaran senyawa organik merupakan hal yang
sangat kompleks. Selama proses, sejumlah ion-ion dan elektron-elektron dihasilkan
dalam nyala. Kehadiran ion dan elektron dapat dideteksi. Seluruh detektor ditutup
dalam oven yang lebih panas dibanding dengan temperatur kolom. Hal itu
menghentikan kondensasi dalam detektor. Jika tidak terdapat senyawa organik datang
dari kolom, kita hanya memiliki nyala hidrogen yang terbakar dalam air.
Ketika dibakar, itu akan menghasilkan sejumlah ion-ion dan elektron-elektron
dalam nyala. Ion positif akan beratraksi pada katoda silinder. Ion-ion negatif dan
elektron-elektron akan beratraksi pancarannya masing-masing yang merupakan
anoda. Hal ini serupa dengan apa yang terjadi selama elektrolisis normal.
Kekurangan utama dari detektor ini adalah perusakan setiap hasil yang keluar
dari kolom sebagaimana yang terdeteksi. Jika kita akan mengirimkan hasil ke
spektrometer massa, misalnya untuk analisa lanjut, kita tidak dapat menggunakan
detektor tipe ini (Hendrayati, 2010).

2.9.5. Pencatat (Recorder)

Fungsi recorder sebagai alat untuk mencetak hasil percobaan pada sebuah kertas
yang hasilnya disebut kromatogram (kumpulan puncak grafik). Hasil akan direkam
sebagai urutan puncak-puncak, setiap puncak mewakili satu senyawa dalam
campuran yang melalui detektor. Sepanjang kita mengontrol secara hati-hati kondisi
dalam

kolom,

kita

dapat

menggunakan

waktu

retensi

untuk

membantu

mengidentifikasi senyawa yang tampak tentu saja kita atau seseorang yang lain telah
menganalisa senyawa murni dari berbagai senyawa pada kondisi yang sama.

Universitas Sumatera Utara

Area dibawah puncak sebanding dengan jumlah setiap senyawa yang telah
melewati detektor, dan area ini dapat dihitung secara otomatis melalui komputer yang
dihubungkan dengan monitor. Area yang akan diukur tampak sebagai bagian yang
berwarna hijau dalam gambar yang disederhanakan.
Perlu dicatat bahwa tinggi puncak tidak merupakan masalah, tetapi total area
di bawah puncak. Dalam beberapa contoh tertentu, bagian kiri gambar adalah puncak
tertinggi dan memiliki area yang paling luas. Hal ini tidak selalu merupakan hal yang
seharusnya (Hendrayati, 2010).

2.9.6. Waktu Retensi

Waktu yang digunakan oleh senyawa tertentu untuk bergerak melalui kolom menuju
ke detektor disebut sebagai waktu retensi. Waktu ini diukur berdasarkan waktu dari
saat sampel diinjeksikan pada titik dimana tampilan menunjukkan tinggi puncak
maksimum untuk senyawa itu.
Setiap senyawa memiliki waktu retensi yang berbeda. Untuk senyawa
tertentu, waktu retensi sangat bervariasi dan bergantung pada titik didih senyawa.
Senyawa yang mendidih pada temperatur yang lebih tinggi daripada temperatur
kolom, akan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk berkondensasi sebagai
cairan pada awal kolom. Dengan demikian, titik didih yang tinggi akan memiliki
waktu retensi yang lama.
Semakin rendah temperatur kolom, semakin baik pemisahan yang akan kita
dapatkan, tetapi akan memakan waktu yang lama untuk mendapatkan senyawa karena
kondensasi yang lama pada bagian awal kolom.
Dengan kata lain, menggunakan temperatur tinggi, segala sesuatunya akan
melalui kolom lebih cepat, tetapi pemisahannya kurang baik. Jika segala sesuatunya
melalui kolom dalam waktu yang sangat singkat, tidak akan terdapat jarak antara
puncak-puncak dalam kromatogram. Solusinya adalah dimulai pada suhu kolom
yang rendah kemudian perlahan-lahan secara teratur temperaturnya dinaikkan
(Hendrayati, 2010).

Universitas Sumatera Utara