Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue
2.1.1 Definisi Demam Berdarah Dengue
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat Indonesia yang semakin luas penyebarannya. Demam
Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 dari genus Flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk tersebut terdapat hampir

di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000
meter di atas permukaan air laut dan merupakan vektor utama penyakit DBD
(Sembel, 2009).
Masa inkubasi penyakit DBD yaitu periode sejak virus Dengue
menginfeksi manusia hingga menimbulkan gejala klinis. Masa inkubasi ekstrinsik
berlangsung selama 8-10 hari, sedangkan masa inkubasi intrinsik berlangsung
antara 3 – 14 hari, rata-rata 4-7 hari (WHO, 2005).
2.1.2 Epidemiologi dan Distribusi DBD
2.1.2.1 Epidemiologi DBD
KLB Dengue pertama kali terjadi pada tahun 1653 di French West Indies
(Kepulauan Karibia), meskipun sudah lama dilaporkan di Cina yaitu pada

permulaan tahun 922 SM. Di Australia serangan penyakit DBD pertama kali
dilaporkan pada tahun 1897, serta di Italia dan Taiwan pada tahun 1931. KLB di
Filiphina terjadi pada tahun 1953 sampai 1954, sejak saat itu serangan penyakit

8
Universitas Sumatera Utara

DBD disertai tingkat kematian yang tinggi melanda negara di wilayah Asia
Tenggara termasuk Indonesia, Myanmar, Thailand, Singapura, Kamboja,
Malaysia, dan Vietnam. Selama dua puluh tahun kemudian, terjadi peningkatan
kasus dan wilayah penyebaran DBD yang luar biasa hebatnya, dan saat ini KLB
muncul setiap tahunnya di beberapa negara di Asia Tenggara (Depkes RI, 2014).
Di Indonesia, penyakit DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di
Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 2010 telah menyebar di 33 provinsi dan 440
kota/kabupaten. Sejak ditemukan pertama kali kasus DBD terus meningkat dan
bahkan sejak tahun 2004 kasus tersebut meningkat tajam. Kasus DBD terbanyak
dilaporkan di daerah–daerah dengan tingkat kepadatan yang tinggi seperti
provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera (Depkes RI, 2014).
2.1.2.2 Distribusi DBD
Menurut


Soegijanto

(2006),

distribusi

pada

penderita

DBD

dikelompokkan berdasarkan:
1.

Distribusi Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Etnik
Berdasarakan data dari Ditjen PP dan PL tahun 2014 diketahui bahwa
disribusi umur penderita DBD mengalami pergeseran. Pada awal
terjadinya epidemi, jumlah penderita terbanyak berasal dari golongan

anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan berusia kurang dari 15 tahun,
namun pada berbagai negara melaporkan jumlah penderita meningkat
yang berasal dari usia dewasa. Kelompok risiko tinggi meliputi anak
berumur 5-9 tahun. Jika dilihat menurut jenis kelamin, diketahui dari
laporan beberapa negara bahwa kelompok wanita dengan Dengue Shock

9
Universitas Sumatera Utara

Syndrome (DSS) menunjukkan angka kematian yang tinggi dibandingkan

dengan kelompok laki-laki. Sedangkan untuk distribusi berdasarkan etnik,
Singapura dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka
kejadian infeksi di antara kelompok etnik.
2.

Distribusi Berdasarkan Waktu
Penularan DBD biasanya terjadi pada musim hujan yaitu meningkat pada
bulan Mei sampai Agustus dan menurun pada bulan Oktober. Hal ini
disebabkan karena pada musim hujan vektor penyakit demam berdarah

jumlahnya semakin meningkat dengan bertambah banyaknya sarangsarang nyamuk di luar rumah dan pada musim kemarau Aedes aegypti
bersarang di bejana-bejana yang menampung air seperti bak mandi,
tempayan, drum dan penampungan air lainnya.

3.

Distribusi Berdasarkan tempat
Distribusi vektor demam berdarah Aedes aegypti yang tersebar luas di
wilayah tropis dan subtropis Asia tenggara. Menurut Hadinegoro (2004),
DBD pertama kali di Indonesia terjadi pada tahun 1968 yang dicurigai
terjadi di Surabaya dan pada tahun 1994 telah menyebar ke seluruh
provinsi, terutama di sebagian besar wilayah perkotaan. Penyebaran Aedes
aegypti di pedesaan relatif sering terjadi dikaitkan dengan pembangunan

sistem penyediaan air pedesaan dan perbaikan sistem transportasi.
Ketinggian juga merupakan faktor penting untuk membatasi penyebaran
nyamuk, ketinggian yang rendah memiliki tingkat kepadatan populasi

10
Universitas Sumatera Utara


nyamuk sedang sampai berat, sementara daerah pegunungan memiliki
populasi nyamuk yang rendah.
2.1.3 Vektor Penular Penyakit DBD
Menurut Djunaedi (2006), vektor penyakit DBD adalah nyamuk jenis
Aedes aegypti dan Aedes albopictus terutama bagi negara di Asia, seperti

Filiphina dan Jepang, sedangkan nyamuk jenis Aedes polynesiensis, Aedes
scutellaris dan Aedes pseudoscutellaris merupakan vektor di negara-negara

kepulauan Pasifik dan New Guinea. Menurut Soegijanto (2006), Vektor DBD di
Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes scutellaris,
tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes
aegypti.

2.1.4 Ekologi Aedes aegypti
Menurut Achmadi (2014), nyamuk memerlukan seperangkat faktor untuk
mendukung

kehidupannya,


seperti

suhu,

kelembaban,

kecepatan

angin,

ketersediaan pangan, tempat perindukan dan tempat beristirahat. Keberadaan
nyamuk Aedes aegypti di lingkungan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik
dan biologis. Adapun dari lingkungan fisik yang mempengaruhi keberadaan
nyamuk tersebut antara lain temperatur, curah hujan dan ketinggian tempat.
1.

Lingkungan Fisik
a. Temperatur
Berdasarkan temperatur, virus Dengue endemik di daerah tropis

dengan suhu optimum pertumbuhan nyamuk adalah 250C-270C. Dan
jika suhu kering yang berkisar antara 100C atau lebih dari 400C maka

11
Universitas Sumatera Utara

pertumbuhan nyamuk akan berhenti. Dan pada suhu lingkungan yang
hangat akan menyebabkan lebih cepatnya pengaktifan virus Dengue di
dalam tubuh nyamuk (Achmadi, 2014).
b. Curah hujan
Curah hujan yang tinggi akan menambah banyaknya genangan air di
lingkungan yang digunakan oleh nyamuk sebagai tempat perindukan.
Selain itu juga mampu menambah kelembaban udara. Dengan
kelembaban udara yang tinggi maka semakin baik untuk tempat
nyamuk melakukan siklus hidupnya.
c. Ketinggian tempat
Ketinggian tempat yang berbeda–beda mempengaruhi perkembangan
nyamuk. Tempat dengan ketinggian di atas 1000 meter dari permukaan
laut tidak ditemukan nyamuk Aedes aegypti dikarenakan pada
ketinggian tersebut


temperatur terlalu

rendah sehingga tidak

memungkinkan bagi kehidupan nyamuk.
2.

Lingkungan Biologis
Lingkungan biologis yang mempengaruhi penularan DBD di antaranya
banyaknya terdapat tanaman baik sebagai tanaman hias maupun tanaman
pekarangan yang dapat mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan di
dalam rumah. Kelembaban yang tinggi serta pencahayaan yang kurang
merupakan kondisi yang disukai oleh nyamuk untuk beristirahat
(Soegijanto, 2004).

12
Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti

Menurut WHO (2005), bionomik Aedes aegypti dilihat berdasarkan
perilaku mencari makan, istirahat, jarak terbang dan lama hidup. Berikut
penjelasannya:
1.

Prilaku Makan
Aedes aegypti bersifat antropofilik (menyukai darah manusia), namun

nyamuk ini juga bersifat zoofilik dari hewan berdarah panas. Aktivitas
menggigit berbeda antara nyamuk betina dan nyamuk jantan. Nyamuk
betina menggigit dua kali sehari yaitu di pagi hari selama beberapa jam
setelah matahari terbit dan pada sore hari selama beberapa jam sebelum
gelap. Puncak aktivitas menggigit yang sebenarnya dapat beragam
bergantung lokasi dan musim.
2.

Perilaku Istirahat
Aedes aegypti beristirahat di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi

di dalam rumah atau bangunan termasuk di kamar tidur, kamar mandi dan

di dapur. Tempat istirahat di dalam rumah yang paling disukai yaitu pada
pakaian yang tergantung, di dinding dan di bawah perabotan rumah
tangga. Nyamuk jenis ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan
atau tempat terlindung lainnya.
3.

Jarak Terbang
Jarak terbang nyamuk Aedes aegypti betina dewasa terbatas yaitu berjarak
100 sampai 200 meter dan persebaran nyamuk jenis ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor di antaranya ketersediaan tempat bertelur dan keberadaan

13
Universitas Sumatera Utara

darah. Namun untuk pencarian tempat bertelur nyamuk ini dapat
berpindah sejauh 400 meter.
4.

Lama Hidup
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya

delapan hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih
panjang, risiko penyebaran virus semakin besar.

2.1.6 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti dibagi menjadi empat stadium, yaitu
telur, larva atau jentik, pupa dan nyamuk dewasa sehingga termasuk metamorfosis
sempurna atau holometabola (Soegijanto, 2006).
1.

Stadium Telur
Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam, berbentuk oval memanjang
dengan ukuran 0,5-0,8 mm, dan tidak memiliki alat pelampung. Nyamuk
ini meletakkan telur-telurnya satu per satu pada permukaan air jernih dan
diletakkan di tepi air pada tempat-tempat penampungan air bersih dan
sedikit di atas permukaan air. Nyamuk Aedes aegypti betina mampu
menghasilkan hingga 100 telur apabila telah menghisap darah manusia.
Telur pada tempat kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telurtelur ini kemudian akan menetas menjadi jentik setelah sekitar 1-2 hari
terendam air.

2.

Stadium Larva (Jentik)
Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas memiliki siphon yang
pendek, besar dan berwarna hitam. Larva ini tubuhnya langsing, bergerak

14
Universitas Sumatera Utara

sangat lincah, dan pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak
lurus dengan permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu
kira-kira setiap ½-1 menit untuk mendapatkan oksigen yang digunakan
untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 68 hari. Tingkat (instar) jentik ada empat yang sesuai dengan pertumbuhan
larva tersebut, yaitu:

3.

a. Instar I

: berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

b. Instar II

: 2,5-3,8 mm

c. Instar III

: lebih besar sedikit dari larva instar II

d. Instar IV

: berukuran paling besar, yaitu 5 mm

Stadium Pupa
Pupa nyamuk Aedes aegypti berbentuk seperti koma, dengan bagian
kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian
perutnya. Tahap pupa pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung
selama 2-4 hari. Saat nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya
dalam cangkang pupa, pupa akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar
dengan permukaan air untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa.
Bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibanding larvanya dan
berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk
lain

4.

Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa yang baru muncul akan beristirahat untuk periode singkat
di atas permukaan air agar sayap-sayap dan badannya kering dan menguat

15
Universitas Sumatera Utara

sebelum akhirnya dapat terbang. Nyamuk jantan muncul satu hari sebelum
nyamuk betina, menetap dekat tempat perkembangbiakan, makan dari sari
buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian.
Setelah kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah tumbuhan
untuk mengisi tenaga, kemudian melakukan perkawinan dan menghisap
darah manusia. Umur nyamuk betinanya dapat mencapai 2-3 bulan
(Depkes RI, 2005)
2.1.7 Klasifikasi dan Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
2.1.7.1 Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Seogijanto (2006), klasifikasi
nyamuk Aedes aegypti atau biasa disebut black-white mosquito adalah sebagai
berikut :
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Bangsa

: Diptera

Suku

: Culicidae

Marga

: Aedes

Jenis

: Aedes aegypti L.

2.1.7.2 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Soegijanto (2006), morfologi nyamuk Aedes aegypti tubuhnya
tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian mata terdapat
sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe

16
Universitas Sumatera Utara

penusuk-pengisap dan lebih menyukai manusia. Sedangkan nyamuk jantan lebih
menyukai cairan tumbuhan. Selain itu, dada nyamuk juga tersusun atas tiga ruas
yaitu porothorax, mesothorax, dan metathorax. Pada ruas kaki ada gelang-gelang
putih, pada bagian dada terdapat sepayang sayap tanpa noda hitam dan pada
bagian punggung ada gambaran garis-garis putih yang dapat digunakan untuk
membedakan dengan jenis lain.
2.1.8 Tempat Perkembangbiakan
Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti menurut
Departemen Kesehatan RI (2005) dikelompokkan sebagai berikut:
1.

Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti drum,
tanki reservoir, bak mandi/WC, tempayan, ember, gentong, dan lain-lain.

2.

Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti
tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol,
pembuangan air, kulkas/dispenser, dan barang-barang bekas seperti
kaleng, botol, ban bekas dan plastik bekas.

3.

Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang pohon, lubang batu,
pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang, pohon bambu dan
tempurung coklat/karen, dan lain-lain.

2.1.9 Gejala
Berdasarkan Medline Plus Medical Encyclopedia (2002) dalam Sembel
(2009), diketahui bahwa gejala awal dan gejala fase akut demam berdarah adalah
sebagai berikut:

17
Universitas Sumatera Utara

1.

Gejala awal
Gejala awal ditandai dengan demam, sakit kepala, gatal-gatal pada otot
dan persendian, malaise, kehilangan nafsu makan, dan muntah-muntah.

2.

Gejala fase akut
Gejala fase akut seperti terguncang, berkeringat banyak dan keringat
basah. Selain itu, terlihat tidak tenang yang diikuti dengan gejala yang
lebih parah, bintik-bintik darah pada permukaan dan bawah kulit, serta
terdapat ruam. Apabila dilihat dari pemeriksaan secara fisik, pasien
menunjukkan tekanan darah rendah, lemah, denyut jantung lemah, mata
merah,

kerongkongan

merah,

kelenjar

membengkak,

dan

hati

membengkak (hepatomegaly).
2.1.10 Diagnosis
Untuk keakuratan hasil diagnosis, maka dilakukan pemeriksaan DBD di
laboratorium. Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium pada penderita DBD
antara lain:
1. Hematologi
a. Leukosit
Jumlah leukosit biasanya berkurang dengan dominasi sel neutrofil,
disertai dengan peningkatan jumlah sel limfosit plasma biru (LPB) >
4% yang dijumpai pada saat sakit hari ketiga sampai ketujuh.
b. Trombosit
Jumlah trombosit ≤ 100.000/mm3 dan dijumpai diantara hari ke 3-7
sakit.

18
Universitas Sumatera Utara

c. Hematokrit
Hematokrit meningkat ≥ 20 %. Peningkatan nilai hematokrit
menggambarkan adanya kebocoran pembuluh darah.
2. Radiologi
Pada fototoraks posisi “Right Lateral Decubitus” dapat mendeteksi adanya
efusi pleura minimal pada bagian kanan. Asitesis, penebalan dinding
kandung empedu dan efusi pleura dapat dideteksi dengan pemeriksaan
USG yang menunjang terjadinya kebocoran plasma.
3. Serologis
Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita
yang terinfeksi virus Dengue. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu uji
serologis hemaglutinasi inhibisi, ELISA dan pemeriksaan Dengue rapid
test (Depkes RI, 2014).

WHO membagi menjadi empat kategori penderita menurut berat
ringannya manifestasi klinis penderita sebagai berikut:
1.

Derajat I, yang ditandai dengan adanya demam tanpa pendarahan spontan,
manifestasi pendarahan hanya berupa torniquet test positive

2.

Derajat II, yang ditandai dengan adanya gejala demam yang diikuti oleh
perdarahan spontan, biasanya berupa perdarahan di bawah kulit atau
perdarahan lainnya

3.

Derajat III, yang ditandai dengan adanya kegagalan sirkulasi berupa nadi
yang cepat dan lemah

19
Universitas Sumatera Utara

4.

Derajat IV, yang ditandai dengan adanya renjatan berat dan nadi tidak
teraba dan juga tekanan darah yang tidak terukur (Soegijanto, 2006).

2.1.11 Penularan Demam Berdarah Dengue
Menurut Departemen Kesehatan RI (2005), penyakit DBD ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegypti betina yang mendapatkan virus Dengue sewaktu
menghisap darah penderita lain. Selanjutnya virus Dengue yang terhisap akan
berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, termasuk kelenjar
liurnya. Dan apabila nyamuk tersebut menggigit atau menghisap darah orang lain
maka virus tersebut akan berpindah bersamaan dengan air liurnya. Jika orang
yang ditularkan tidak memiliki kekebalan tubuh maka virus itu akan menyerang
sel pembeku darah dan merusak dinding pembuluh darah kecil yang dapat
mengakibatkan terjadinya pendarahan dan kekurangan cairan yang ada dalam
pembuluh darah orang tersebut.
2.1.12 Pencegahan
Menurut Rahayu (2010), pencegahan utama demam berdarah yaitu
dilakukan

dengan

cara

modifikasi

dan

manipulasi

lingkungan,

serta

menghilangkan tempat perindukan nyamuk. Hal – hal yang perlu dilakukan untuk
menjaga kesehatan agar terhindar dari penyakit demam berdarah di antaranya
dalah :
1.

Melakukan kebiasaan hidup yang sehat yaitu dengan cara mengonsumsi
makanan bergizi, olahraga secara teratur, dan istirahat yang cukup.

2.

Memperhatikan kebersihan lingkungan dengan gerakan 3M yaitu
menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air dan mengubur

20
Universitas Sumatera Utara

barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk
3.

Fogging atau pengasapan apabila telah diketahui ada penderita demam

berdarah di suatu daerah dan penggunaan bubuk abate untuk membasmi
jentik nyamuk pada tempat penampungan air dan juga untuk memutus
rantai perkembangbiakan nyamuk
4.

Apabila penderita mengalami demam atau panas tinggi maka segera
berikan obat penurun panas. Dan jika penderita mengalami syok segera
bawa ke rumah sakit.

Selain itu, untuk pencegahan penularan perlu diarahkan pada pemberantasan
nyamuk yang menjadi vektor penular Dengue. Tindakan pencegahan harus
dilakukan sebelum terjadinya masa penularan (yaitu selama dan sesudah musim
hujan) dan pada saat terjadi epidemi. Untuk menghindari gigitan nyamuk dapat
dilakukan dengan mengenakan pakaian yang menutupi seluruh bagian dan
anggota badan dan mengoleskan pengusir nyamuk (repellent).
2.1.13 Pengendalian
Metode pegendalian vektor DBD bersifat spesifik lokal, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim, permukiman,
habitat perkembangbiakan), lingkungan sosial budaya (pengetahuan, sikan dan
perilaku) dan aspek vektor. Pada dasarnya metode pengendalian vektor DBD yang
paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga
berbagai metode pengendalian vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk
secara cepat memutus rantai penularan (Depkes RI, 2014).

21
Universitas Sumatera Utara

Menurut Depkes RI (2014), metode pengendalian vektor yaitu secara
kimiawi, biologis, manajemen lingkungan, pemberantasan sarang nyamuk/PSN,
pengendalian vektor terpadu (Integrated Vector Management/IVM).
1.

Kimiawi
Pengendalian vektor secara kimiawi dengan menggunakan insektisida
merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di
masyarakat dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida
adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun,
maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap
lingkungan dan organisme bukan sasaran. Di samping itu penentuan jenis
insektisida, dosis dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting
untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida
yang berulang di satuan ekosistem akan menimbulkan resistensi serangga
sasaran.

2.

Biologi
Pengendalian

vektor

biologi

menggunakan

agen

biologi

seperti

predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pradewasa vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah ikan pemakan
jentik, seperti ikan guppy, cupang, tampalo, dan ikan gabus. Jenis
pengendalian vektor biologi untuk parasit yaitu Romanomermes iyengeri
dan untuk bakteri menggunakan Bacillus thuringiensis israelensis.
Golongan insektisida biologi untuk pengendalian DBD ditujukan untuk

22
Universitas Sumatera Utara

stadium

pra-dewasa

yang

diaplikasikan

ke

dalam

habitat

perkembangbiakan vektor.
3.

Manajemen Lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana dan prasarana
penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap
tersedianya habitat perkembangbiakan dan petumbuhan vektor DBD.
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga
tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai
source reduction seperti 3M plus dan mengelola atau menghambat

pertumbuhan vektor.
4.

Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN-DBD
Pengendalian vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan
memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya
dalam bentuk 3M plus yang harus dilakukan secara serempak dan terus
menerus.

5.

Pengendalian Vektor Terpadu
Pengendalian vektor terpadu merupakan konsep pengendalian vektor yang
diusulkan

oleh

WHO

untuk

mengefektifkan

berbagai

kegiatan

pemberantasan vektor oleh berbagai institusi yang lebih difokuskan pada
peningkatan peran serta sektor lain seperti PSN anak sekolah. Pada metode
ini menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian dengan
pertimbangan efektivitasnya.

23
Universitas Sumatera Utara

2.1.14 Pengobatan
Bagian terpenting dari pengobatan adalah terapi suportif. Pasien atau
penderita disarankan untuk menjaga penyerapan makanan terutama dalam bentuk
cairan, selain itu dengan penambahan cairan infus untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi yang berlebihan, pengobatan alternatif dengan mengkonsumsi
jus jambu biji (Psidium guajava L) dan sari kurma untuk mengembalikan jumlah
trombosit (Rahayu, 2010).
Berdasarkan penelitian Soegijanto dan Nasiruddin (2005), ekstrak jambu
biji dapat mempercepat pencapaian jumlah trobosit lebih dari 100.000/µl dan
dapat meningkatkan jumlah trombosit bagi penderita DBD pada anak. Pengaruh
ini terutama pada anak yang tidak mengalami syok.
2.2 Sanitasi Lingkungan Rumah
2.2.1 Definisi Sanitasi Lingkungan
Menurut Depkes (2002) sanitasi adalah pencegahan penyakit dengan
mengurangi atau mengendalikan faktor-faktor lingkungan fisik yang berhubungan
dengan rantai penularan penyakit. Menurut Chandra (2007), lingkungan hidup
manusia terdiri dari dua bagian yaitu lingkungan internal dan eksternal.
Lingkungan hidup internal merupakan suatu keadaan yang dinamis dan seimbang
yang disebut dengan homeostasis, sedangkan lingkungan hidup eksternal
merupakan lingkungan di luar tubuh manusia yang terdiri atas:
1.

Lingkungan fisik
Adapun yang termasuk ke dalam lingkungan fisik yang bersifat abiotik
atau mati adalah air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar,

24
Universitas Sumatera Utara

radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan
dengan manusia sepanjang waktu dan masa serta memegang peran penting
dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat.
2.

Lingkungan biologis
Adapun yang termasuk ke dalam lingkungan biologis yang bersifat biotik
atau benda hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur,
parasit, serangga, dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agen penyakit,
reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes intermediat. Hubungan
manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat dinamis dan pada
keadaan tertentu saat terjadi ketidakseimbangan di antara hubungan
tersebut, manusia akan menjadi sakit.

3.

Lingkungan sosial
Adapun yang termasuk ke dalam lingkungan sosial yaitu kultur, adatistiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar dan gaya hidup,
pekerjaan kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik
(Chandra, 2007)

2.2.2 Definisi Rumah
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan
Pemukiman dalam Marlina (2005), rumah adalah bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah atau
perumahan sangat berhubungan dengan ekonomi, sosial, pendidikan, tradisi dan
kebiasaan, suku, serta geografi dan kondisi lokal.

25
Universitas Sumatera Utara

Perumahan yang baik terdiri dari kumpulan rumah yang dilengkapi dengan
berbagai fasilitas pendukung seperti sarana jalan, saluran air kotor, tempat
sampah, sumber air bersih, tempat ibadah, pusat kesehatan, bebas dari banjir, dan
lain sebagainya. Standar bangunan untuk penyediaan rumah tinggal yang baik
dilihat dari desain, letak dan luas ruangan serta fasilitas lain agar kebutuhan
keluarga akan rumah tinggal yang sehat dan menyenangkan dapat terpenuhi
(Chandra, 2007).
2.2.3 Persyaratan Rumah Sehat
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.829/Menkes/SK/VII/1999
Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, rumah tinggal dikatakan sehat
apabila:
1. Bahan bangunan
a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat
membahayakan kesehatan, antara lain : debu total kurang dari 150
μg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, plumbum (Pb)
kurang dari 300 mg/kg bahan
b. Tidak

terbuat

dari

bahan

yang

dapat

menjadi

tumbuh

dan

berkembangnya mikroorganisme patogen.
2. Komponen dan penataan ruangan
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan;
b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci
kedap air dan mudah dibersihkan
c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan

26
Universitas Sumatera Utara

d. Bubungan rumah 10 m dan ada penangkal petir
e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya
f. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux
dan tidak menyilaukan mata.
4. Kualitas udara
a. Suhu udara nyaman antara 18 – 300C
b. Kelembaban udara 40 – 70%
c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam;
d. Pertukaran udara 5 kaki/menit/penghuni;
e. Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam;
f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3.
5. Ventilasi
Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.
6. Vektor penyakit
Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah.
7. Penyediaan air
a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60
liter/orang/hari

27
Universitas Sumatera Utara

b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau
air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907
tahun 2002.
8. Sarana penyimpanan makanan
Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.
9. Pembuangan Limbah
a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air,
tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah;
b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau,
tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.
10. Kepadatan hunian
Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2
orang tidur.
Menurut Chandra (2007), kriteria untuk rumah sehat sederhana (RSS) di
Indonesia, yaitu:
1. Luas tanah antara 60-90 meter persegi
2. Luas bangunan antara 21-36 meter persegi
3. Memiliki fasilitas kamar tidur, kamar mandi (WC), dan dapur
4. Berdinding batu bata dan diplester
5. Memiliki lantai dari ubin keramik dan langit-langit dari triplek
6. Memiliki sumur atau air PAM
7. Memiliki fasilitas listrik minimal 450 watt
8. Memiliki bak sampah dan saluran air kotor

28
Universitas Sumatera Utara

Selain kriteria di atas terdapat faktor-faktor kebutuhan yang perlu diperhatikan
dan dipenuhi, yaitu kebutuhan fisiologi, psikologis, bebas dari bahaya kecelakaan
atau kebakaran, dan kebutuhan lingkungan.
1. Kebutuhan Fisiologis
a. Suhu ruangan
Suhu ruangan harus dijaga dan berkisar antara 18-20o C
b. Penerangan
Rumah harus mendapatkan penerangan baik pada siang maupun
malam hari dengan bantuan listrik. Dan diupayakan mendapat sinar
matahari terutama di pagi hari.
c. Ventilasi udara
Setiap rumah harus memiliki jendela yang memadai. Luas jendela
secara keseluruhan kurang lebih 15% dari luas lantai. Susunan
ruangan sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika
jendela dan pintu dibuka.
d. Jumlah ruangan atau kamar
Ruang atau kamar diperhitungkan berdasarkan jumlah penghuni
atau jumlah orang yang tinggal bersama di dalam satu rumah atau
sekitar 5 m2 per orang.
Tabel 2.1 Perbandingan jumlah kamar dengan penghuni rumah
Jumlah Kamar
Jumlah Orang
1
2
2
3
3
5
4
7
5
10
Sumber: Chandra, 2007

29
Universitas Sumatera Utara

2. Kebutuhan Psikologis
a. Keadaan rumah dan sekitarnya, cara pengaturannya harus
memenuhi rasa keindahan sehingga rumah tersebut menjadi pusat
kesenangan rumah tangga yang sehat
b. Adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi setiap anggota
keluarga yang tinggal di rumah tersebut
c. Untuk setiap anggota keluarga, terutama yang mendekati dewasa
harus memiliki ruangan sendiri sehingga privasinya tidak
terganggu dan ada ruangan untuk bermasyarakat.
3. Kebutuhan Terhindar dari Bahaya Kecelakaan dan Kebakaran
a. Konstruksi rumah dan bahan bangunan harus kuat
b. Adanya sarana pencegahan kecelakaan terutama untuk anak-anak
c. Bahan bangunan terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar
d. Memiliki alat pemadam kebakaran
e. Lantai tidak licin dan tidak boleh tergenang air
4. Kebutuhan lingkungan
a. Memiliki sumber air bersih dan sehat dan tersedia terus menerus
b. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah
yang baik
c. Dapat mencegah terjadi perkembangbiakan vektor penyakit
d. Letak rumah jauh dari sumber pencemaran dan bebas banjir
(Chandra, 2007).

30
Universitas Sumatera Utara

2.2.4 Fasilitas Sanitasi
2.2.4.1 Penyediaan Air Bersih
Menurut Permenkes RI Nomor 416 Tahun 1990, air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak terlebih dahulu. Kebutuhan
manusia terhadap air antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci dan
sebagainya.
Persyaratan sistem penyedian air bersih harus memenuhi beberapa
persyaratan. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan kuantitas, kualitas dan
kontinuitas.
1.

Persyaratan Kuantitas
Persyaratan kuantitas atau debit dalam penyediaan air bersih dilihat dari
banyaknya air baku yang tersedia. Menurut Slamet (2002), kuantitas air
yang dibutuhkan tergantung kepada aktivitas dan tingkat kebutuhan setiap
hari. Semakin banyak aktivitas yang dilakukan maka kebutuhan air akan
semakin besar pula. Di Indonesia diperkirakan dibutuhkan air sebanyak
138,5 l/orang/hari dengan perincian yaitu untuk mandi dan cuci kakus 12 l,
minum 2 l, cuci pakaian 10,7 l, kebersihan rumah 31,4 l.

2.

Persyaratan Kualitas
Persyaratan kualitas menggambarkan mutu atau kualitas dari air baku air
bersih. Syarat kualitas terdiri dari parameter fisik, kimia, mikrobiologi dan
radioaktifitas yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

31
Universitas Sumatera Utara

416/Menkes/Per/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air.
Syarat-syarat kualitas air bersih adalah sebagai berikut:
a. Syarat fisik
Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berbau dan tidak berasa.
Selain itu juga suhu air bersih sebaiknya sama dengan suhu udara atau
kurang lebih 25oC, dan apabila terjadi perbedaan maka batas yang
diperbolehkan adalah 25oC ± 3oC.
b. Syarat Kimia
Air bersih tidak boleh mengandung bahan-bahan kimia dalam jumlah
yang melampaui batas. Beberapa persyaratan kimia antara lain adalah
pH, total solid, zat organik, CO2, kesadahan, kalsium (Ca), besi (Fe),
mangan (Mn), tembaga (Cu), seng (Zn), chlorida (Cl), nitrit, flourida
(F), serta logam berat.
c. Syarat Mikrobiologi
Air bersih tidak boleh mengandung kuman patogen dan parasitik yang
mengganggu kesehatan. Persyaratan bakteriologis ini ditandai dengan
tidak adanya bakteri E. coli atau Fecal coli dalam air.
d. Syarat Radiologis
Persyaratan radiologis mensyaratkan bahwa air bersih tidak boleh
mengandung zat yang menghasilkan bahan-bahan yang mengandung
radioaktif, seperti sinar alfa, beta dan gamma.

32
Universitas Sumatera Utara

3.

Persyaratan Kontinuitas
Air baku untuk air bersih harus dapat diambil terus menerus dengan
fluktuasi debit yang relatif tetap, baik pada saat musim kemarau maupun
musim hujan. Kontinuitas juga dapat diartikan bahwa air bersih harus
tersedia 24 jam per hari atau setiap saat diperlukan.
Air yang berada di permukaan bumi berasal dari berbagai sumber.

Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air angkasa (hujan), air
permukaan, air tanah, air sumur dan air mata air.
1. Air Angkasa (Hujan)
Air angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi.
Walaupun pada saat presipitasi merupakan air yang paling bersih, air
tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer,
pencemaran yang berlangsung di atmosfer itu dapat disebabkan oleh
partikel debu, mikroorganisme, dan gas, misalnya, karbon dioksida,
nitrogen dan ammonia (Chandra, 2006).
2. Air Permukaan
Air permukaan yang meliputi badan-badan air semacam sungai, danau,
telaga, waduk, rawa, terjun, dan sumur permukaan, sebagian besar berasal
dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi (Chandra, 2007).
3. Air Tanah
Air tanah (ground water ) merupakan air yang berada di bawah permukaan
tanah. Pergerakan air tanah sangat lambat dan dipengaruhi oleh porositas,
permeabilitas dari lapisan tanah, dan pengisian kembali air. Karena

33
Universitas Sumatera Utara

pergerakan yang sangat lambat dan waktu tinggal yang lama tersebut, air
tanah akan sulit untuk pulih kembali jika mengalami pencemaran
(Effendi, 2003).
4. Air Sumur
Air sumur merupakan sumber utama air bersih bagi masyarakat yang
tinggal di daerah perkotaan. Untuk memperoleh sumber air tersebut
umumnya manusia membuat sumur gali atau sumur bor. Sumur gali
adalah satu konstruksi sumur yang paling umum dan meluas
dipergunakan untuk mengambil air tanah bagi masyarakat kecil dan
rumah-rumah perorangan sebagai air minum dengan kedalaman 7-10
meter dari permukaan tanah. Sumur bor adalah jenis sumur dengan cara
pengeboran lapisan air tanah yang lebih dalam ataupun lapisan tanah yang
jauh dari tanah permukaan dapat dicapai sehingga sedikit dipengaruhi
kontaminasi, yang mempunyai kedalaman 12-40 meter (Effendi, 2003).
Menurut Chandra (2007), secara teknis sumur dibagi menjadi dua jenis,
yaitu sumur dangkal dan sumur dalam.
Tabel 2.2 Perbedaan antara sumur dangkal dan sumur dalam
Sumber Air
Kualitas Air
Kualitas Bakteriologis
Persediaan

Sumur Dangkal
Air permukaan
Kurang baik
Kontaminasi
Kering pada musim
kemarau

Sumur Dalam
Air tanah
Baik
Tidak terkontaminasi
Tetap ada sepanjang
tahun

Sumber: Chandra, 2007

34
Universitas Sumatera Utara

2.2.5.2 Pembuangan Kotoran/Jamban
Pembuangan kotoran (tinja) manusia merupakan bagian yang penting
dalam kesehatan lingkungan. Di sebagian besar negara-negara, pembuangan tinja
yang layak merupakan kebutuhan kesehatan masyarakat yang mendesak.
Pembuangan yang tidak saniter dari tinja manusia dapat menyebabkan terjadinya
kontaminasi terhadap air tanah dan sumber-sumber air bersih. Kondisi ini
mengakibatkan agen penyakit dapat berkembang biak dan menyebarkan infeksi
terhadap manusia (Chandra, 2007).
Menurut Depkes RI (2002), jamban keluarga sehat adalah jamban yang
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.

Tidak mencemari sumber air minum, dengan letak lubang penampung
berjarak 10-15 m dari sumber air minum.

2.

Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.

3.

Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak
mencemari tanah di sekitarnya.

4.

Mudah dibersihkan dan aman penggunaannya.

5.

Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna.

6.

Cukup penerangan, lantai kedap air, ventilasi cukup, tersedia air dan alat
pembersih.

2.2.5.3 Pengelolaan Sampah
Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan (refuse) sebenarnya hanya
sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai,
tidak disenangi, atau harus dibuang (Azwar, 1995).

35
Universitas Sumatera Utara

Menurut Chandra (2007), sampah erat kaitannya dengan kesehatan
masyarakat, merupakan tempat hidup berbagai mikroorganisme penyebab
penyakit (bakteri patogen), oleh sebab itu sampah harus dikelola dengan baik.
Menurut Azwar (1995), ada 6 jenis pembagian sampah yang dikenal
dalam ilmu kesehatan lingkungan yaitu:
1. Garbage, ialah sisa pengelolaan ataupun sisa makanan yang mudah
membusuk. Misalnya, kotoran dapur rumah tangga
2. Rubbish, ialah bahan atau sisa pengelolaan yan tidak mudah
membusuk, seperti kayu, kertas, kaleng dan kaca
3. Ashes, ialah segala jenis abu, seperti sisa pembakaran kayu dan batu
bara
4. Dead animal, ialah segala jenis bangkai hewan misalnya bangkai kuda,
kucing, tikus, lipas, dan lain sebagainya
5. Street sweeping, ialah segala jenis sampah atau kotoran yang
berserakan di jalan karena dibuang oleh pengendara mobil ataupun
oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab
6. Industrial waste, ialah benda padat sisa yang merupakan sampah sisa
industri.
Untuk mencegah penularan penyakit melalui sampah yang tidak dikelola
maka perlu disediakan tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan. Adapun
syarat-syarat tempat sampah antara lain :

36
Universitas Sumatera Utara

1.

Konstruksinya kuat agar tidak mudah bocor, untuk mencegah berseraknya
sampah.

2.

Mempunyai tutup, mudah dibuka, dikosongkan isinya serta dibersihkan,
sangat dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa
mengotori tangan.

3.

Ukuran tempat sampah sedemikian rupa, sehingga mudah diangkut oleh
satu orang.

2.2.5.4 Pembuangan Air Limbah
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001,
air limbah adalah sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Air
limbah atau air kotoran adalah air yang tidak bersih dan mengandung berbagai zat
yang bersifat membahayakan kehidupan manusia atau hewan dan lazimnya
muncul karena hasil perbuatan manusia termasuk industrialisasi (Azwar, 1995).
Air limbah rumah tangga (sullage) adalah air limbah yang berasal dari
buangan kamar mandi, dapur, air cuci pakaian, dan lain-lain yang mungkin
mengandung mikroorganisme patogen. Ada beberapa cara pembuangan air limbah
rumah tangga yaitu pembuangan umum, digunakan untuk menyiram tanaman
kebun, dibuang ke lahan peresapan, dialirkan ke saluran terbuka, dan dialirkan ke
saluran tertutup atau selokan (Chandra, 2007).
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian DBD
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian Demam
Berdarah Dengue, antara lain:

37
Universitas Sumatera Utara

1.

Faktor Sanitasi Lingkungan Rumah
Faktor fisik lingkungan rumah yang berkaitan dengan kejadian DBD
adalah:
a. Pemasangan kawat kasa pada ventilasi
Ventilasi yang dipasang kawat kasa akan mengurangi jalan masuk
bagi nyamuk Aedes aegypti ke dalam rumah sehingga akan
mengurangi kontak langsung dengan penghuni rumah. Berdasarakan
penelitian Maria (2013) di Kota Makassar diketahui bahwa ventilasi
rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu tidak berkasa menjadi faktor
risiko terhadap kejadian DBD dengan nilai OR = 9,048. Demikian
pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Tamza, Suhartono dan
Darminto (2013) di Kelurahan Perumnas Way Halim Kota Bandar
Lampung menyimpulkan bahwa pemasangan kawat kasa pada
ventilasi mempunyai hubungan dengan kejadian DBD (p=0,038) nilai
OR = 4,753.
b. Kerapatan dinding
Dinding yang memenuhi syarat yaitu terbuat dari pasangan batu bata
atau papan, bersifat kokoh dan kuat sehingga tidak mudah runtuh.
Apabila sebagian dinding menggunakan papan maka susunannya
harus rapat agar nyamuk tidak mudah masuk ke dalam rumah, harus
tegak lurus, dan harus terpisah dari pondasi agar air tanah tidak
meresap naik sehingga dinding terhindar dari basah, lembab dan
tampak bersih. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tanjung

38
Universitas Sumatera Utara

(2015), diketahui bahwa terdapat hubungan antara kerapatan dinding
rumah dengan kejadian DBD di Kecamatan Medan Perjuangan
dengan OR = 0,196.
c. Langit-langit/Plafon
Langit-langit/Plafon rumah adalah area yang membatasi antara lantai
dan atap. Pemasangan langit-langit yang baik berguna untuk menahan
debu dan kotoran lain yang jatuh dari atap, dan harus menutup rata
kerangka atap serta mudah dibersihkan. Syarat yang baik untuk langitlangit adalah dengan tinggi dari lantai minimal 2,5 meter. Jika terlalu
pendek dapat mengakibatkan ruangan menjadi pengap dan terasa
panas

sehingga mengurangi

kenyamanan di

dalam ruangan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (2015), diketahui
bahwa terdapat hubungan antara langit-langit/plafon rumah dengan
kejadian DBD di Kecamatan Medan Perjuangan dengan OR = 0,036.
d. Pencahayaan
Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama
cahaya matahari di samping kurang nyaman, juga merupakan media
(tempat) yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit
penyakit. Nyamuk Aedes aegypti menyukai tempat hinggap dan
beristirahat di tempat-tempat yang agak gelap. Rumah yang sehat
harus mempunyai jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurangkurangnya 10% sampai 20% dari luas lantai rumah. Berdasarkan
penelitian Salawati, dkk (2010), di Kecamatan Banyumanik diketahui

39
Universitas Sumatera Utara

bahwa terdapat hubungan pencahayaan ruangan dengan kejadian DBD
(p=0,013) dengan OR=1,460. Demikian pula dengan penelitian
Sholihah (2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara pencahayaan dengan kejadian DBD (p=0,021).
e. Kelembaban
Nyamuk Aedes aegypti menyukai tempat hinggap dan beristirahat di
dalam ruang relatif lembab dengan intensitas cahaya yang rendah
(agak gelap). Pengaruh buruk akibat kurangnya ventilasi adalah
berkurangnya kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruang
naik dan kelembaban udara ruang bertambah. Menurut Mardihusodo
(1988) disebutkan bahwa kelembaban udara yang berkisar 81,5 89,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi
dan ketahanan hidup embrio nyamuk. Berdasarakan penelitian Maria
(2013) di Kota Makassar diketahui bahwa kelembaban berisiko
terhadap kejadian DBD (Odds ratio = 3,364). Demikian pula dengan
penelitian yang dilakukan oleh Yudhastuti dan Vidiyani (2005) di
Kota Surabaya menunjukkan bahwa kelembaban berhubungan dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti.
f. Pengelolaan Sampah
Berdasarkan penelitian yan dilakukan oleh Stiawati (2013) di Kota
Palembang diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pengelolaan sampah padat dengan kejadian DBD pada anak SD di
Kota Palembang (p=0,0004 dan Odds Ratio=3,9).

40
Universitas Sumatera Utara

g. Saluran Pembuangan Air Limbah
Berdasarkan Penelitian Wahyuni (2013) di Gorontalo diperoleh
kesimpulan bahwa saluran pembuangan air limbah menjadi faktor
risiko kejadian DBD dengan nilai OR=1,42.
h. Tempat penampungan air sebagai tempat perindukan
Keadaan tempat penampungan air bersih yang tidak memenuhi syarat
mendukung

terjadinya

penyakit

DBD,

dimana

tempat-tempat

penampungan air bersih yang tidak menutup rapat, merupakan tempat
yang potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Agar
tidak

menjadi

media

pertumbuhan

nyamuk,

maka

tempat

penyimpanan air hendaknya berupa wadah yang tertutup, mudah
dibersihkan minimal seminggu sekali dan diberikan bubuk abate
minimal 2-3 bulan. Untuk wadah-wadah penyimpanan air yang biasa
digunakan seperti tong, bak mandi, dan pada tempat cadangan air
harus diberi penutup yang rapat untuk mencegah tempat tersebut agar
tidak menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes. Berdasarkan
penelitian Hanike, dkk (2015) di Kecamatan Manggala Kota Makassar
diketahui bahwa terdapat hubungan tempat perindukan nyamuk
dengan kejadian DBD (p=0,001).
2.

Karakteristik Individu
a. Umur
Umur adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap
infeksi virus Dengue. Semua golongan umur dapat terserang virus

41
Universitas Sumatera Utara

Dengue, meskipun baru berumur beberapa hari setelah lahir.

Berdasarkan penelitian Hasyimi (2011) diperoleh kesimpulan bahwa
terdapat hubungan antara umur dengan kejadian DBD (p=0,014).
b. Jenis Kelamin
Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan
DBD dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin. Berdasarkan
penelitian Darjito (2008) di Banyumas menyatakan bahwa ada
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD dengan OR
sebesar 4,896.
c. Pendidikan
Kelompok masyarakat yang berpendidikan tinggi cenderung lebih
mengetahui cara-cara mencegah penyakit Demam Berdarah Dengue,
misalnya dengan melakukan PSN, program 3M, dan pemberian bubuk
abate. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Roose (2008) di
Bukit Raya diketahui bahwa terdapat hubungan antara pendidikan
dengan kejadian DBD (p

Dokumen yang terkait

Hubungan Kondisi Perumahan dengan Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Kecamatan Keritang Kabupaten Inderagiri Hilir Riau Tahun 2012

1 59 132

Pengaruh Sanitasi Lingkungan Permukiman Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Aliran Sungai Deli Kota Medan Tahun 2011

11 97 145

Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan Dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2008

3 56 108

AMBARAN SANITASI LINGKUNGAN RUMAH TINGGAL DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER

0 6 18

Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016

5 14 140

Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016

0 0 16

Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016

0 0 2

Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016

0 0 7

Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016

0 8 4

Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016

0 0 37