Model Otopsi Sosial Berbasis Budaya Aceh Dalam Mengatasi Kematian Ibu Di Provinsi Aceh (Studi Di Kabupaten Aceh Utara)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Telaah teoretis diarahkan untuk membangun model teoretikal dasar (Grand
Theoretical Model) dalam studi ini, yaitu membangun model otopsi sosial berbasis
budaya Aceh dalam rangka mengatasi kematian ibu di Provinsi Aceh. Proposisi
pertama adalah determinan kematian ibu (determinant of maternal mortality) dan
proposisi kedua adalah tiga tahap keterlambatan terhadap kematian ibu (The three
phases of delay models). Proposisi yang dibangun merupakan hasil sintesis
berbagai teori dan konsep yang mengungkapkan multi faktor determinan
kesehatan, termasuk determinan sosial ekonomi budaya terhadap kesehatan
reproduksi, determinan kematian ibu, model keterlambatan dan keberlangsungan
hidup yang menjadi fokus otopsi sosial kematian ibu pada penelitian ini.
Berdasarkan proposisi yang dibangun, dikembangkan model empirik
penelitian. Model empirik pertama adalah otopsi sosial kematian ibu dalam
konteks budaya Aceh dengan menggali berbagai faktor yang berperan, pola dan
determinannya. Model empirik kedua adalah otopsi sosial kematian ibu dalam
konteks budaya Aceh dengan menggali determinan keterlambatan. Berdasarkan
proposisi dan model empirik penelitian dikembangkan langkah-langkah eksplorasi
menggali berbagai faktor yang berperan terhadap kematian ibu melalui studi
kualitatif dan merumuskan hipotesis-hipotesis yang diselidiki dan diuji pada
penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.
Universitas Sumatera Utara
2.1 Pengembangan Model Teoretikal Dasar
2.1.1 Otopsi Sosial Kematian Ibu dan Budaya Aceh
Otopsi dimaknai tindakan pemeriksaan jenazah bila dianggap penyebab
kematian merupakan hal yang tidak wajar. Pemeriksaan dilakukan terhadap tubuh
bagian luar maupun bagian dalam dengan tujuan menemukan proses penyakit atau
adanya cedera, melakukan intepretasi atas penemuan-penemuan tersebut,
menerangkan penyebab serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainankelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian. Manfaat otopsi terutama
berkaitan dengan pendidikan kedokteran, meneliti karakteristik dan patogenesis
penyakit baru dan forensik sehingga berkembang beberapa bidang otopsi antara
lain otopsi anatomik, otopsi klinik dan otopsi forensik.
Ilmu dan tekhnologi tentang otopsi terus berkembang, walaupun berbagai
literatur telah mengungkapkan berbagai manfaatnya, kenyataannya hanya sekitar 5
persen kasus kematian dilakukan otopsi, hal ini karena masalah sulitnya
mendapatkan izin dari pihak keluarga dan faktor biaya. Khususnya di negaranegara berpenghasilan rendah dan menengah, sebagai pilihan lain untuk
mengetahui penyebab kematian dilakukan melalui otopsi verbal, yaitu investigasi
penyebab kematian dilakukan dengan wawancara menggunakan daftar pertanyaan
terstandar (questioner) (WHO, 2004). Otopsi verbal adalah suatu metode
wawancara terhadap anggota keluarga menggunakan kuesioner yang telah
terstandar mengenai tanda-tanda dan gejala-gejala yang muncul sebelum
meninggal untuk mengetahui penyebab kematian (Dirjen Binkesmas, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Selaras
dengan
perkembangan
implementasi
otopsi
verbal
yang
mengidentifikasi penyebab medik kematian dan faktor penyumbang terhadap
kematian, dengan segala keunggulan dan keterbatasannya maka diikuti juga
berkembangnya pemanfaatan metode otopsi sosial. Otopsi sosial merupakan
pendekatan menggunakan metode otopsi verbal menginvestigasi permasalahan di
keluarga, masyarakat dan sistem kesehatan berkaitan dengan kematian (Waisha,
dkk, 2012). Multifaktor penyebab kematian turut memengaruhi penggunaan
pendekatan otopsi sosial terutama oleh peneliti bidang ilmu sosial dan kesehatan
masyarakat.
Beberapa
penelitian
menggunakan
pendekatan
otopsi
sosial
dan
mengkombinasikan dengan berbagai pendekatan lainnya telah membuktikan
bahwa faktor isolasi sosial dan kurangnya kepedulian pelayanan publik menjadi
pemicu meningkatnya risiko kematian karena bencana gelombang panas di
Chikago (Klinenberg, 1999; 2002). Eric Klinenberg memperhatikan bahwa adanya
pola tertentu terhadap kematian akibat gelombang panas pada periode 13 sampai
dengan 20 Juli 1995 yang menewaskan lebih dari 700 penduduk selama seminggu
pada lingkungan tertentu, sehingga dengan memanfaatkan berbagai sumber data
dan informasi Klinenberg menyimpulkan isolasi sosial dan disparitas pelayanan
publik sebagai faktor yang berperan meningkatkan risiko kematian.
Berkaitan dengan kesakitan dan kematian ibu, beberapa penelitian
menggunakan pendekatan otopsi sosial telah mengungkapkan hasil bahwa faktor
sosial ekonomi budaya dan geografi memicu tingginya kasus kematian ibu melalui
berbagai mekanisme keterlambatan. Penelitian di Bangladesh menemukan bahwa
Universitas Sumatera Utara
ibu yang mengalami “kala azar” atau demam hitam, yaitu infeksi protozoa
Lieshmania Donovani sering mengalami keterlambatan mencapai fasilitas
pelayanan kesehatan (Rahman, et al., 2014). Keterlambatan dapat terjadi karena
dimensi personal dan sosial perempuan dalam mengambil keputusan dipicu faktor
biaya dan sosial budaya setempat sehingga berdampak terhadap kematian.
Supratikto, dkk (2002) meneliti “A district-based audit of causes and
circumstances of maternal deaths in South Kalimantan, Indonesia” memaparkan
implementasi audit maternal di Kalimantan Selatan pada periode 1995-1999.
Penelitian ini menemukakan adanya kontribusi faktor keterlambatan terhadap
kematian ibu, hambatan ekonomi menyumbang 37 persen kematian ibu. Essen,
dkk, (2011) melalui penelitian antropologi mengemukakan pandangan dan nilainilai sosial budaya terhadap kelahiran melalui pembedahan pada wanita Somali.
Nyuki, dkk, (2014) melakukan penelitian “Using Verbal and Social
Autopsies to Explore Health-Seeking Behaviour among HIV-Positive Women in
Kenya: A Retrospective Study. Penelitian pada wanita positiv HIV menunjukkan
rendahnya akses pelayanan kesehatan pada wanita dengan penghasilan rendah.
Sanneving, dkk, (2013), meneliti tentang “Inequity in India: the case of maternal
and reproductive health”, hasil penelitian menyimpulkan bahwa status ekonomi,
gender, status sosial berpengaruh terhadap akses pelayanan kesehatan ibu dan
kesehatan reproduksi. Kongnyuy & Broek, (2008) meneliti “The difficulties of
conducting maternal death riviews in Malawi” melalui analisa SWOT terhadap
proses audit kematian ibu di Malawi mengungkapkan berbagai hambatan dalam
Universitas Sumatera Utara
melakukan audit, antara lain berhubungan dengan provider, administrasi, klien dan
masyarakat
Guirguis-Younger, dkk, (2006), meneliti “Carrying out a social autopsy
of deaths of persons who are homeless”. Penelitian otopsi sosial pada tuna wisma
memberikan panduan bagaimana prosedur, metodologi dan pengembangan dengan
melibatkan petugas di rumah sakit, petugas sosial dan komunitas tuna wisma.
Hasil penelitian ini merekomendasikan pelaksanaan otopsi sosial melalui studi
kasus. Kalter, et al., (2011), meneliti
tentang “Maternal death inquiry and
response in India the impact of contextual factors on defining an optimal model to
help meet critical maternal health policy objectives”. Penelitian mengembangkan
model pemberdayaan dan kemitraan terdiri dari 6 tahapan bertujuan meningkatkan
kemampuan perempuan mengantisipasi hambatan sosial budaya.
Berkaitan dengan pelacakan kasus kematian ibu yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan di puskesmas perlu mengkombinasikan metode otopsi verbal dan
otopsi sosial yaitu wawancara kepada keluarga atau orang lain yang mengetahui
riwayat penyakit atau gejala serta tindakan yang diperoleh sebelum penderita
meninggal, sehingga dapat
diketahui perkiraan sebab kematian. Waisha, dkk
(2012) menekankan bahwa faktor non biologis yang berkontribusi terhadap
kematian ibu tidak dapat digali melalui otopsi verbal, namun dibutuhkan otopsi
sosial yaitu wawancara mendalam yang mampu menggali pengaruh sistem sosial,
perilaku dan kesehatan sebagai penentu kematian. Otopsi sosial adalah proses
wawancara yang bertujuan untuk mengidentifikasi kontribusi sosial, perilaku dan
hambatan sistem kesehatan terhadap kematian (Kalter, dkk, 2011). Pendekatan
Universitas Sumatera Utara
otopsi sosial menelaah berbagai masalah kesehatan di masyarakat sebagai upaya
menemukan akar masalah, sehingga dapat memberikan rekomendasi terhadap
perbaikan program dan intervensi kesehatan. Implementasi otopsi sosial berkaitan
dengan usaha pencegahan dan evaluasi. Investigasi dirancang untuk mengevaluasi
dampak positif atau negatif dari program dan kebijakan baru pada pola kematian
(Rahman, dkk, 2014; Guirguis-Younger, dkk, 2006; Kalter, dkk, 2011).
Otopsi sosial dapat digunakan untuk meneliti kontribusi variabel sosial,
karakteristik individu, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan yang
menyebabkan kematian. Dari sudut pandang evaluasi program, dapat dianggap
sebagai jenis penilaian kebutuhan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
diatasi melalui program dan kebijakan kesehatan dengan memberikan bukti dalam
bentuk data yang ditindaklanjuti dan meningkatkan motivasi di semua tingkatan
untuk mengambil tindakan yang tepat dan efektif (Kalter, et al., 2011).
Berdasarkan penelitian Rahman, dkk (2014), Guirguis-Younger, dkk
(2006), Nyuki, dkk (2014), ditemukan dua pokok pikiran penting, yaitu pertama
kematian/kesakitan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sosial budaya dan
perilaku, tanpa mengenyampingkan faktor keturunan dan pelayanan kesehatan
(McCarthy & Maine, 1992; Thaddeus & Maine, 1994; Wilkinson & Marmot,
2003; Lopez, dkk, 2006; Adhikari, 2010; Bhalotra, 2010; WHO, 2010). Pokok
pikiran kedua adalah keberlangsungan hidup didukung oleh faktor kesiagaan
keluarga, masyarakat dan sistem kesehatan (Thaddeus & Maine, 1994; Waldman,
dkk, 1996; Bryce, dkk, 2005; Gil_Gonzalez, dkk, 2006; Kalander, dkk, 2011;
Waisha, dkk, 2012; Tanzin, dkk, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Selaras dengan pokok pikiran bahwa multi faktor penyebab kematian ibu
dan perlunya kesiagaan keluarga, masyarakat dan sistem kesehatan untuk
meningkatkan keberlangsungan hidup, maka setiap kasus kematian ibu perlu perlu
dilakukan monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan melalui surveilans.
Pelacakan kasus merupakan salah satu bagian dari 8 fungsi surveilans respons.
Menurut WHO (2006) surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan,
analisis, dan interpretasi data secara terus menerus serta penyebaran informasi
kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Tindakan yang
diambil setelah mendapatkan informasi inilah yang disebut respons. Surveilans
harus disertai dengan keputusan sebagai respons (Sanusi, 2012).
Surveilans respons terhadap kesakitan dan kematian ibu dan anak
dilaksanakan melalui AMP, yaitu proses penelaahan bersama kasus kesakitan dan
kematian ibu dan perinatal serta penatalaksanaannya, dengan menggunakan
berbagai informasi dan pengalaman dari kelompok terkait, untuk mendapatkan
masukan mengenai intervensi yang paling tepat dilakukan dalam upaya
peningkatan kualitas pelayanan KIA di suatu RS atau wilayah. Di Indonesia, AMP
telah dilaksanakan sejak tahun 1997, pada tingkat Kabupaten/Kota pelaksanaan
berpedoman pada Pedoman AMP yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 1994 dan direvisi tahun 2010. Pelaksanaan AMP
berazaskan No Name, No Shame, No Blame dan No Pro Justicia, yaitu tidak
menyebutkan identitas, tidak mempermalukan, tidak menyalahkan dan tidak untuk
mengadili. Audit menekankan pada kontribusi faktor medis dan faktor non medis
termasuk informasi sosial ekonomi dan perilaku (Dirjen Binkesmas, 2010).
Universitas Sumatera Utara
AMP merupakan kegiatan untuk menelusuri sebab kesakitan dan kematian
ibu dan perinatal dengan maksud mencegah kesakitan dan kematian dimasa yang
akan datang. Penelusuran ini memungkinkan tenaga kesehatan menentukan
hubungan antara faktor penyebab yang dapat dicegah dan kesakitan/kematian yang
terjadi, pengaruh keadaan dan kejadian yang mendahului kesakitan/kematian,
sebab dan faktor terkait dalam kesakitan/kematian ibu dan perinatal, dimana dan
mengapa berbagai sistem dan program gagal dalam mencegah kematian dan jenis
intervensi dan pembinaan yang diperlukan. Tujuan utama audit adalah
pembelajaran, pembinaan dan perbaikan (Dirjen Binkesmas, 2010).
Implementasi AMP belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan,
terutama bila dikaitkan dengan kemampuan mencegah kasus yang berulang,
sehingga perlu ditelaah dan diteliti untuk pengembangan metode dan prosedur
yang efektif dan efisien. Studi ini akan menjawab pertanyaan mengapa kasus
kematian ibu masih terus terjadi dan mengapa sistem kesehatan gagal melakukan
pencegahan, sementara berbagai intervensi termasuk pelacakan kasus kematian
ibu melalui AMP sudah dilaksanakan oleh jajaran kesehatan.
Melalui model otopsi sosial dalam penelitian ini diharapkan dapat
menemukan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu dan
menemukan akar masalah mengapa berbagai intervensi gagal mencegah kematian
ibu. Berdasarkan studi literatur ditemukan beberapa faktor non biologis yang
berkontribusi terhadap kematian ibu, antara lain hambatan geografi, kesulitan
transportasi, kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan praktek budaya
(Rahman, et al., 2014). Nyuki, dkk (2014) memaparkan faktor yang berpengaruh
Universitas Sumatera Utara
terhadap akses pelayanan adalah tingkat pengetahuan, pemahaman terhadap
penyakit, hambatan biaya dan transportasi, pengobatan alternatif, stigma, persepsi
negatif dan dukungan keluarga dan sistem kesehatan.
Kalander, dkk (2011) menemukan adanya aspek-aspek gender dalam
pengambilan keputusan, seperti alasan menunggu suami, tanggung jawab tugas
domestik, persepsi terhadap fasilitas kesehatan, kemiskinan, jarak tempuh dan
mencoba pengobatan tradisional. Alasan yang dikemukakan berdampak terhadap
keterlambatan pengambilan keputusan, mencapai fasilitas dan mendapatkan
penanganan. Faktor keterlambatan sebagai determinan kematian ibu juga
didukung oleh penelitian Thaddeus & Maine, (1994), Bryce, dkk (2005),
Gil_Gonzalez, dkk (2006), Waisha, dkk (2012) dan Tanzin, dkk (2013).
Berkaitan dengan konteks budaya Aceh, melalui studi literatur dan empirik
menemukan
empat
pola mendasar sebagai faktor non biologis yang diduga
berperan terhadap kematian ibu antara lain: kemiskinan, persepsi terhadap
kesehatan reproduksi, praktek budaya perawatan ibu selama masa reproduksi dan
keterlambatan. Keempat pola tersebut merupakan konstruksi sosial dan agama
yang saling berinteraksi. Pola pertama adalah kemiskinan, didukung oleh fakta
bahwa kasus kematian tertinggi terjadi di Kabupaten DBK kategori bermasalah
berat dan miskin. Kemiskinan merupakan faktor yang berpengaruh dibuktikan
oleh penelitian Bhalotra (2010), Blass, dkk (2011), Wilkinson & Marmot (2003)
dan McCharty & Maine (1992).
Pola kedua adalah persepsi terhadap kesehatan reproduksi, didukung oleh
fakta jumlah anak ideal dalam sebuah keluarga, termasuk jenis kelamin anak,
Universitas Sumatera Utara
hegemoni pasangan dalam menentukan jumlah anak, kekhawatiran anak
meninggal akibat sakit, bencana dan konflik, harapan yang tinggi terhadap anak
sebagai penerus keturunan dan nilai ekonomi keluarga, pemahaman bahwa wanita
yang baik adalah besar cintanya dan banyak anaknya. Pola ini didukung oleh fakta
bahwa rentang usia reproduksi pada kasus kematian ibu tahun 2014 adalah 15
sampai 45 tahun, 50 persen multigravida dan 16,7 persen merupakan
grandemultigravida. Marchie (2012) dan Adhikari (2010) menemukan budaya
bahwa anak merupakan lambang status sosial dan ekonomi keluarga, sehingga
mendorong tingginya paritas dan pernikahan dini.
Pola ketiga adalah praktek budaya perawatan ibu selama proses reproduksi
antara lain adanya pantangan makan jenis pangan tertentu, pembatasan mobilisasi,
dominasi keluarga dalam perawatan. Pola keempat adalah keterlambatan didukung
oleh fakta bahwa adanya pemahaman yang berbeda dalam mengenali tanda dan
gejala komplikasi kehamilan dan penyakit yang menyertai kehamilan, kurang
memperoleh informasi tentang jaminan sosial, kekhawatiran akan tindakan
pembedahan dan keyakinan bahwa persalinan merupakan hal fisiologis.
Keterlambatan
juga
dipengaruhi
oleh
proses
musyawawah
keluarga,
ketidaksiagaan sumber daya dan sumber dana.
Berdasarkan uraian diatas tentang otopsi sosial kematian ibu dan budaya
Aceh, maka dapatlah disimpulkan bahwa otopsi sosial kematian ibu berbasis
budaya Aceh adalah upaya menginvestigasi secara mendalam faktor yang
berperan terhadap kematian ibu dalam konteks budaya
Aceh dengan
memanfaatkan berbagai informasi dan pendekatan melalui studi kasus.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang menggunakan pendekatan otopsi
sosial terhadap berbagai masalah kesehatan, tergambarkan 3 (tiga) model utama
dalam mengimplementasikannya, yaitu pertama, model deskripsi yaitu berupaya
menggambarkan berbagai faktor yang berkontribusi terhadap masalah kesehatan;
model kedua adalah model prediksi, yaitu menganalisis dan memprediksi berbagai
faktor risiko; dan model ketiga adalah model perspektif, yaitu model yang
meminimalkan risiko kematian karena hambatan sosial, ekonomi dan budaya.
Model deskripsi dalam otopsi sosial diuraikan oleh Rahman, dkk (2014),
penelitian ini menggambarkan dinamika berbagai hambatan sosial, budaya, sistem
pelayanan kesehatan yang dialami wanita hamil yang mengalami kala azar atau
demam hitam di Bangladesh. Pendekatan yang sama juga dilakukan oleh Nyuki,
dkk (2014), melalui otopsi sosial ia menemukan deskripsi berbagai hambatan yang
dialami wanita penderita HIV positif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Berbeda dengan penelitian Rahman dan Nyuki yang menggunakan model
deskripsi, Supratikto, dkk, (2002) menggunakan model deskripsi terhadap
eksplorasi penyebab kematian ibu dan mengkombinasikan dengan model prediksi,
yaitu memprediksi berbagai faktor risiko.
Pemilihan model dalam otopsi sosial sangat tergantung pada tujuan dari
peneltian yang dilakukan. Eksplorasi masalah lebih tepat menggunakan model
deskripsi melalui studi kualitatif, sedangkan prediksi risiko dapat menggunakan
model prediksi menggunakan studi kuantitatif. Lebih lanjut Kalter, dkk, (2011)
merumuskan langkah-langkah operasional meminimalkan masalah hambatan
sosial budaya terhadap kematian ibu di India. Kalter, dkk, menggunakan model
Universitas Sumatera Utara
perspektif, yaitu model normatif yang dilakukan atau dilaksanakan untuk
meminimalkan hambatan sosial budaya. Pada tahapan diteksi kasus dan
penyelesaian masalah Kalter, dkk, menempatkan tokoh adat, dan pemuka agama
untuk berpartisipasi menelaah masalah dan terlibat dalam menyebarluaskan
informasi.
2.1.2 Determinan Kematian Ibu (Determinant of Maternal Mortality)
Kematian ibu didefinisikan dengan kematian seorang wanita yang terjadi
saat hamil sampai 42 hari setelah persalinan, tanpa memperhitungkan lama dan
tempat
terjadinya
kehamilan
yang
diakibatkan
berbagai
sebab
berhubungan/diperberat oleh kehamilan atau penatalaksanaannya, tetapi bukan
kecelakaan (Patel, dkk, 2003). Menurut (WHO, 2014) pengukuran kematian ibu
dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Maternal mortality ratio (MMR), yaitu menggambarkan risiko yang mungkin
terjadi pada setiap kehamilan sebagai risiko obstetrik dihitung dari seluruh
jumlah ibu meninggal tahun tertentu per 100.000 kelahiran hidup periode
yang sama. Di Indonesia rasio ini yang dipakai dan dinyatakan sebagai angka
kematian ibu.
2.
Maternal mortality rate, mengukur baik risiko obstetrik dan frekuensinya
dengan wanita terpapar risiko tersebut, yaitu jumlah ibu meninggal pada
periode waktu tertentu per 100.000 wanita usia subur (usia 15-49 tahun).
3.
Lifetime risk atau risiko kematian seumur hidup adalah hasil dari suatu
perhitungan kemungkinan hamil dan kemungkinan meninggal sebagai
Universitas Sumatera Utara
dampak dari kehamilan tersebut selama seorang wanita berada pada usia
reproduksi.
McCarthy & Maine, (1992) merupakan peneliti yang melahirkan model
determinan kematian ibu, kerangka konsepnya mengemukakan peran determinan
sosial ekonomi dan budaya terhadap status kesehatan, status reproduksi, akses
pelayanan kesehatan dan perilaku memanfaatkan fasilitas kesehatan. Determinan
ini berdeampak terhadap kondisi kehamilan dan komplikasi yang pada akhirnya
dapat menyebabkan kesakitan dan kematian. Determinan kematian ibu dibagi
menjadi 3 jenis, yaitu: (1) determinan kontekstual/jauh (distant determinant), (2)
determinan antara (intermediate determinant) dan faktor-faktor lain yang tidak
diketahui atau tidak terduga dan (3) Determinan dekat/proksi (outcome).
2.1.2.1 Determinan Kontekstual/Jauh (Distant Determinant)
Determinan kontekstual merupakan status sosial wanita dalam keluarga
dan masyarakat, status keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat.
McCarthy & Maine (1992) menjelaskan bahwa status sosial wanita dalam
keluarga dan masyarakat meliputi tingkat pendidikan wanita, pekerjaan,
penghasilan dan hak perlindungan hukum dan sosial. Wanita berpendidikan lebih
tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Ibu bekerja
di sektor formal memiliki akses lebih baik terhadap berbagai informasi termasuk
kesehatan. Keberdayaan wanita (women empowerment) kemungkinan lebih aktif
dalam menentukan sikap mandiri memutuskan dan memilih pelayanan kesehatan
bagi dirinya termasuk kesehatan atau kehamilannya. Hal tersebut dapat menjadi
faktor berpengaruh dalam mencegah kematian ibu.
Universitas Sumatera Utara
Status keluarga dalam masyarakat merupakan variabel keluarga termasuk
kekayaan keluarga, tingkat pendidikan dan status pekerjaan anggota keluarga, juga
dapat memengaruhi dalam menentukan/memilih pelayanan kesehatan terhadap
risiko kematian ibu. Sedangkan status masyarakat berupa tingkat kesejahteraan,
ketersediaan sumber daya misalnya jumlah dokter dan pelayanan kesehatan yang
tersedia, serta keterjangkauan dan kemudahan (McCarthy & Maine, 1992).
Winkelman
(2009),
mengemukakan
model
sistem
budaya,
yaitu
bagaimana sistem budaya memengaruhi kesehatan seseorang. Banyak faktor yang
memengaruhi kesehatan, termasuk perilaku individu, nutrisi, kondisi lingkungan,
paparan agen, perilaku tidak memanfaatkan sumber pelayanan kesehatan,
dukungan sosial, dan pendanaan. Berkaitan dengan budaya Aceh, yang sebagian
besar penduduknya adalah muslim, model sistem budaya memberikan pedoman
untuk memahami banyak faktor yang memengaruhi kesehatan. Lingkungan,
sosial, budaya dan agama merupakan faktor yang turut berkontribusi terhadap
pemahaman individu dan masyarakat mempersepsikan konsep sehat sakit,
kehamilan dan kesehatan reproduksi.
Sebagian individu mempersepsikan sakit bila sudah tidak mampu bekerja,
namun pada kalangan tertentu kurang bugar sudah menjadi kekhawatiran.
Berkaitan dengan kehamilan, sebagian ibu hamil yang mengalami bengkak pada
tungkai kaki sudah mendorongnya untuk segera datang ke dokser spesialis,
sebaliknya ada ibu hamil yang sudah mengalami bengkak kaki dan wajah selama
seminggu, dalam Bahasa Aceh dikenal dengan istilah “basai” belum mengakses
Universitas Sumatera Utara
pelayanan kesehatan dasar. Ilustrasi ini menggambarkan bahwa adanya perbedaan
konsep sehat sakit antara satu orang dengan lainnya.
Tidak ada suatu perilaku atau tindakan yang dijalankan individu atau
sekelompok di dalam suatu masyarakat tanpa dilatarbelakangi oleh proses mental
atau
kebudayaan.
Karena
kebudayaan
menentukan,
mengarahkan
dan
memengaruhi pola-pola tindakan serta perilaku seseorang dalam masyarakatnya,
termasuk penafsiran perilaku sosial terhadap kesehatan reproduksi. Praktekpraktek reproduksi yang dijalankan oleh pasangan dalam sebuah keluarga tidak
hanya terbatas pada gejala biologis semata, tetapi memperlihatkan gejala sosial
budaya di dalamnya. Pandangan ini diperkuat oleh McCarthy & Maine (1992)
yang menegaskan faktor sosial budaya sebagai determinan kontekstual terhadap
kematian ibu. Hal senada juga dikemukakan oleh Adhikari (2010) dan Bhalotra
(2010), yaitu kemiskinan, praktek budaya pada etnik tertentu meningkatkan risiko
kematian.
Walaupun kesehatan reproduksi adalah hak azasi manusia, namun praktekpraktek reproduksi pada beberapa etnik tertentu menunjukkan pengabaian
terhadap hak-hak kesehatan reproduksi. Persepsi terhadap ajaran dan tuntunan
agama, hegemoni pasangan dan tokoh sentral dalam keluarga, tekanan sosial,
keadaan sosial ekonomi merupakan determinan yang memengaruhi pemahaman
dalam praktek kesehatan reproduksi. Kesehatan mengikuti tingkat sosial, semakin
tinggi posisi sosial, semakin baik kesehatan (Wilkinson & Marmot, 2003).
Determinan sosial budaya dalam kesehatan merupakan penyebab dari
berbagai penyebab masalah kesehatan (Wilkinson & Marmot, 2003; Lopez, dkk,
Universitas Sumatera Utara
2006). WHO menemukan bukti tentang bagaimana struktur masyarakat, melalui
berbagai interaksi sosial, norma-norma dan lembaga dapat memengaruhi
kesehatan masyarakat, dan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk
mengatasi masalah kesehatan masyarakat (WHO, 2010)
Determinan sosial budaya memengaruhi kesehatan melalui tiga siklus,
yaitu keterbatasan materi, perilaku dan psikososial yang meliputi siklus hidup
manusia dan berdampak terhadap generasi selanjutnya. Hal ini membuktikan
bahwa bagaimana sosial budaya memengaruhi kesehatan reproduksi dan
keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Keberlangsungan hidup masyarakat
berbeda antara negara-negara berdasarkan pendapatan, hal ini dibuktikan dari
pengamatan terhadap perbandingan usia harapan hidup pada periode tahun 1980
dan 2001 di berbagai negara. Usia harapan hidup di negara berpenghasilan tinggi
dapat mencapai 78 tahun dimana pada dekade sebelumnya 74 tahun (Blass, dkk,
2011; WHO, 2010; Bhalotra, 2010)
Perbedaan usia harapan hidup dipengaruhi oleh kemampuan menurunkan
persentase kematian bayi selama periode tersebut, dilaporkan bahwa di negara
miskin hanya mampu menurunkan 27 persen, negara berpenghasilan sedang dapat
menurunkan hingga 44 persen dan negara kaya mampu menurunkan hingga 58
persen. Demikian juga terhadap indikator kematian balita, bayi berat lahir rendah
dan tingkat kesuburan wanita usia 15 sampai 19 tahun. Perbandingan tingkat
fertilitas di negara miskin 104 per 1.000 wanita usia 15 sampai dengan 19 tahun,
sedangkan negara berpenghasilan menengah 40 per 1.000 wanita usia 15 sampai
Universitas Sumatera Utara
dengan 19 tahun, negara kaya hanya 24 per 1.000 wanita usia 15-19 tahun (WHO,
2010; Lopez, dkk, 2006).
Determinan sosial dalam kesehatan meliputi aspek pekerjaan, status sosial,
kemiskinan, kelompok minoritas, masyarakat pinggiran, dukungan sosial,
transport dan kesehatan. Mekanisme kemiskinan memengaruhi kesehatan dapat
terjadi melalui individu, keluarga, masyarakat yang tinggal di pemukiman
lingkungan padat meningkatkan risiko penularan penyakit. Daya beli yang rendah
dan pendidikan rendah meningkatkan risiko kurang gizi, kurang daya tahan tubuh,
rendah kualitas pekerjaan yang berdampak terhadap rendahnya upah pekerjaan
(Wilkinson & Marmot, 2003; Blass, dkk, 2011)..
Rendahnya tingkat pendidikan berdampak terhadap kurangnya upaya
pendidikan kesehatan dan tindakan pencegahan. Kemiskinan berdampak terhadap
rendahnya
rasa
mengakibatkan
percaya
malu
ke
diri, cara berpakaian yang berbeda sehingga
pelayanan
kesehatan.
Kemiskinan
cenderung
mempercayai pengobatan yang belum terbukti sehingga memilih perawatan
alternatif. Orang miskin merasa berbeda dengan petugas kesehatan sehingga
cenderung curiga dan kurang nyaman berkomunikasi (Wilkinson & Marmot,
2003; Blass, dkk, 2011)
Kunci dari determinan sosial budaya dalam kesehatan adalah menyoroti
berbagai faktor penyebab, mekanisme kondisi kehidupan sosial budaya sehari-hari
yang berdampak terhadap kesehatan. Pendekatan determinan sosial budaya dalam
kesehatan
menjadi
kerangka
konseptual
yang
dikembangkan
untuk
mengidentifikasi unsur, arah kebijakan, intervensi kesehatan berbasis tekhnologi
Universitas Sumatera Utara
medis
dan
kesehatan
masyarakat.
Berkaitan
dengan
fenomena
sosial
membutuhkan bentuk intervensi yang lebih kompleks dengan melibatkan lintas
sektoral dalam rangka mencapai komitmen untuk kesetaraan kesehatan dan
keadilan sosial (WHO, 2010).
Pendekatam determinan sosial budaya dalam kesehatan menekankan
perhatian pada kelompok yang rentan dalam populasi, kesenjangan kesehatan dan
tingkat kesejahteraan sosial. Strategi yang dikembangkan dengan melibatkan
segenap sumber daya dan kapasitas lintas sektor yang efektif dan berkelanjutan,
meningkatkan partisipasi masyarakat dan penyelesaian masalah kontekstual dan
spesifik (WHO, 2010).
Berkaitan dengan kematian ibu, berbagai evidence based menunjukkan
bahwa meningkatnya risiko kematian pada kelompok minoritas, etnik tertentu
(Fernandez, dkk, 2010).
Adhikari, (2010) mengemukakan bahwa tingginya
fertilitas pada wanita di Nepal disumbangkan oleh faktor usia pertama menikah,
persepsi jumlah ideal anak dalam keluarga, terbatasnya paparan informasi, status
kesehatan, pengalaman ibu yang anaknya meninggal. Berdasarkan uraian ini
menegaskan bahwa status kesehatan reproduksi suatu masyarakat dipengaruhi
oleh determinan sosial ekonomi dan budaya.
2.1.2.2 Determinan Antara (Intermediate Determinant)
Determinan antara (intermediate determinant), yaitu: status kesehatan,
status reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku sehat, dan faktor yang
tidak diketahui atau tidak diduga. Status kesehatan ibu meliputi: anemia, status
gizi, penyakit infeksi atau parasit, penyakit tahunan seperti tuberculosis, penyakit
Universitas Sumatera Utara
jantung, ginjal dan riwayat komplikasi obstetri. Status kesehatan ibu sebelum
maupun saat kehamilan berpengaruh besar terhadap kemampuan ibu dalam
menghadapi komplikasi. Di negara berkembang masalah kesehatan ibu yang turut
menyumbang AKI adalah malaria, hepatitis, anemia dan malnutrisi (McCarthy &
Maine, 1992).
Status reproduksi adalah umur ibu hamil, yaitu risiko komplikasi
kehamilan lebih tinggi pada usia < 20 tahun dan ≥ 35 tahun. Paritas atau jumlah
kelahiran memperlihatkan meningkatnya risiko komplikasi pada paritas yang
tinggi. Jarak antara kehamilan yang terlalu dekat meningkatkan risiko maternal
depletion syndrome pada akhirnya mempengaruhi status gizi ibu dalam kehamilan.
Status perkawinan menjadi hal penting, karena wanita dengan status tidak
menikah cenderung kurang memperhatikan kesehatan dirinya atau janinnya
(McCarthy & Maine, 1992).
Akses terhadap pelayanan kesehatan dibagi menjadi 3 aspek, yaitu: (1)
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dengan jumlah dan kualitas yang
kurang memadai dan rendahnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan
berkualitas; (2) keterjangkauan tempat pelayanan kesehatan termasuk lokasi
tempat pelayanan yang tidak strategis/sulit dicapai ibu hamil menyebabkan
berkurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan; dan (3) keterjangkauan
informasi berupa ketersedian pelayanan kesehatan sudah memadai tetapi
penggunaannya tergantung dari aksesibilitas masyarakat terhadap informasi yang
tersedia (McCarthy & Maine, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Pemanfaatan pelayanan kesehatan dan perilaku sehat yang berkontribusi
terhadap risiko kehamilan antara lain penggunaan kontrasepsi, yaitu ibu ber-KB
akan lebih jarang melahirkan dibandingkan yang tidak ber-KB. Perilaku
memeriksakan kehamilan secara teratur akan memudahkan deteksi risiko
kehamilan secara dini. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang trampil
akan menekan risiko penyulit persalinan dibandingkan oleh dukun (McCarthy &
Maine, 1992).
Faktor-faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga. Terdapat
keadaan yang mungkin terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga yang dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi selama hamil atau melahirkan. Beberapa
keadaan tersebut terjadi saat melahirkan, misalnya kontraksi uterus tidak adekuat,
ketuban pecah dini dan persalinan kasep.
2.1.2.3 Determinan Dekat/Proksi (Outcome)
Lebih lanjut McCharthy dan Maine memaparkan bahwa determinan
dekat/proksi (outcome) meliputi: kejadian/komplikasi selama kehamilan atau
persalinan yang merupakan penyebab langsung kematian ibu, yaitu: perdarahan,
infeksi, eklampsi, partus lama, abortus dan rupture uteri (robekan rahim).
Beberapa penelitian telah membuktikan angka total kesuburan (total fertility
rate/TFR) ternyata tidak selalu memberikan dampak berarti pada penurunan AKI.
Dalam jangka panjang, upaya penurunan AKI harus memperhatikan dan
dilengkapi dengan intervensi terhadap determinan antara dan kontekstual.
Kematian ibu dapat terjadi akibat langsung dari proses obstetrik maupun
tidak langsung. Sekitar 75 sampai 80 persen kejadian kematian akibat langsung
Universitas Sumatera Utara
dari proses obstetrik, seperti eklampsia, perdarahan dan infeksi. Ketiga penyebab
langsung kematian ibu ini disebut komplikasi kebidanan (komplikasi obstetric).
Selain itu, persalinan lama (lebih dari 12 jam) dan pengguguran kandungan
(abortus) terinfeksi dapat berakibat pendarahan dan infeksi. Sekitar 20 hingga 25
persen kematian akibat tidak langsung, misalnya penyakit yang sudah diderita ibu
sejak sebelum hamil atau penyakit lain diderita pada masa kehamilan. Beberapa
kondisi yang termasuk penyebab tidak langsung adalah malaria, anemia,
HIV/AIDS, malnutrisi, hepatitis dan diabetes (Nieburg, 2012).
Keadaan gizi sebelum hamil, kehamilan terlalu sering/dekat, terjadi pada
usia terlalu muda atau tua dapat menambah risiko timbulnya gangguan. Kematian
ibu juga diwarnai penyebab mendasar, yaitu rendahnya status wanita, terutama di
pedesaan dan rendahnya tingkat pendidikan (McCarthy & Maine, 1992).
Kerangka determinan kematian ibu diuraikan secara rinci pada gambar berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
DETERMINAN KONTEKSTUAL
DETERMINAN ANTARA
(CONTEXTUAL DETERMINANT)
(INTERMEDIATE DETERMINANT)
Status Wanita dalam
Keluarga dan
Masyarakat
Pendidikan, Pekerjaan,
Penghasilan, Keberdayaan
Wanita
Status Keluarga dalam
Masyarakat
Penghasilan, Kepemilikan,
Pendidikan dan Pekerjaan
Anggota Rumah Tangga
Status Masyarakat
Kesejahteraan, Sumber
daya (dokter, klinik)
DETERMINAN PROKSI
(PROXIMATE DETERMINANT)
Status Kesehatan:
Gizi, Infeksi, Penyakit Kronik,
Riwayat Komplikasi
Kehamilan
Status Reproduksi
Umur, Paritas, Status Perkawinan
Akses ke Pelayanan Kesehatan
Lokasi Pelayanan Kesehata (KB,
Pelayanan Antenatal, Puskesmas,
PONED), Jangkauan Pelayanan,
Kualitas Pelayanan, Akses Informasi
tentang Pelayanan Kesehatan
Perilaku Sehat
Penggunaan KB, Pemeriksaan
Antenatal, Penolong Persalinan
Komplikasi
Perdarahan
Infeksi
Eklampsiaa
Partus Macet
Ruptura Uterus
Kematian /
Kecacatan
Faktor Tak Diketahui / Tak
Terduga
Gambar 2.1 Determinan Kematian Ibu, McCharty dan Maine, 1992
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Tiga Tahap Keterlambatan (The Three Phases of Delay Model)
Kematian ibu berkaitan dengan keterlambatan, dalam hal ini Thaddeus &
Maine (1994) menyimpulkan bahwa keterlambatan dapat terjadi pada tiga
tahapan, yaitu (1) terlambat mengambil keputusan untuk mencari perawatan; (2)
terlambat mencapai fasilitas kesehatan; dan (3) terlambat mendapatkan perawatan
yang memadai. Thaddeus dan Maine menggunakan pendekatan “The three phases
of delay model”, yaitu model tiga keterlambatan terhadap kematian ibu.
Gambaran keterlambatan terhadap kematian ibu diuraikan pada kerangka
berikut ini.
Hambatan
Kebutuhan
Tiga Tahap
Keterlambatan
Persepsi terhadap kualitas
Keterjangkauan anggaran
formal dan informal
Pendidikan
Keterlambatan tahap I
Pengambilan keputusan
Keterlambatan tahap II
Budaya, agama, norma
masyarakat
Mengidentifikasi dan
mencapai fasilitas
yang memadai
Ketersediaan dan
keterjangkauan dukun
melahirkan dan persalinan
di rumah
Menerima perawatan
yang memadai dan
sesuai
Terlambat tahap III
Hambatan biaya dan jarak
perjalanan
Hambatan
Ketersediaan
Upah, ketersediaan tenaga
kesehatan yang berkualitas
Kualitas/kebersihan fasilitas
kesehatan
Ketersediaan
obat-obatan dan perlengkapan
yang berkualitas
Komunikasi informasi
kesehatan
Lokasi dan jadwal pelayanan
fasilitas kesehatan
Kematian ibu
Gambar 2.2 Tiga Tahap Keterlambatan (The three phases of delay)
(Thaddeus & Mane, 1994)
Cham, dkk (2005) mengungkapkan keterlambatan dapat terjadi berkisar
antara dua jam sampai lima hari. Beberapa alasan yang dikemukakan berupa
Universitas Sumatera Utara
meremehkan keparahan komplikasi, keyakinan budaya atau pengalaman yang
tidak menguntungkan sebelumnya dengan sistem kesehatan. Gil-Gonzalez, dkk
(2006) menelaah bahwa struktur makro keterlambatan pada tahapan pertama
adalah kontribusi variabel sosial ekonomi, budaya dan politik. Tingkat pendapatan
perkapita, pekerjaan formal, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi, integrasi dan
dukungan budaya, dan kritikan terhadap budaya merupakan faktor-faktor yang
turut memengaruhi.
Waisha, dkk (2012) menganalisis determinan keterlambatan di rumah,
menuju fasilitas dan penanganan di rumah sakit. Tanzin, dkk (2013)
mengemukakan tiga keterlambatan yang berkontribusi terhadap kematian ibu.
Pertama keterlambatan di rumah dalam mencari pelayanan kesehatan; kedua
keterlambatan
transportasi
keterlambatan
mendapatkan
rujukan
dan
penanganan
terbatasnya
karena
biaya;
dan
ketidaksiagaan
ketiga
spesialis,
pengobatan dan ketersediaan darah.
Ketiga keterlambatan berkaitan dengan faktor jarak tempuh, biaya dan
kualitas perawatan terutama di negara berkembang. Di daerah pedesaan wanita
yang mengalami gawat kebidanan hanya mampu mengakses pelayanan kesehatan
dasar dengan kompetensi petugas yang terbatas. Selanjutnya terlambatnya
penanganan juga dipengaruhi oleh kurangnya ketersediaan sarana obat dan darah,
kesalahan manajemen klinis dan administrasi. Dalam rangka usaha menurunkan
kematian ibu penting menitikberatkan pada strategi memobilisasi dan adaptasi
sumber daya yang tersedia.
Universitas Sumatera Utara
Studi ini, diarahkan dalam menggali kontribusi keterlambatan terhadap
kematian ibu, lebih jauh menelaah mengapa keterlambatan bisa terjadi. Konteks
budaya Aceh dilihat bagaimana peran-peran anggota keluarga dalam pengambilan
keputusan, keterlibatan ibu dan pasangan dalam menentukan tempat dan penolong
persalinan, dan persepsi keluarga terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia.
2.1.4
Keberlangsungan Hidup (Pathway to Survival)
Berkaitan dengan uraian sebelumnya tentang determinan kematian ibu
yang memfokuskan adanya kontribusi determinan kontekstual dan determinan
keterlambatan, selanjutnya Waldman, dkk (1996) dalam strategi menurunkan
kematian ibu dan anak mengembangkan “pathway to survival” atau kerangka
keberlangsungan hidup yang menekankan pada dua tahapan penting. Tahapan di
“rumah tangga atau keluarga” dan tahapan “di luar rumah tangga”. Kerangka kerja
ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 di Tanzania dan Uganda,
selanjutnya lebih dari 100 negara mengadopsi strategi dan memperoleh
pengalaman yang signifikan dalam pelaksanaannya (WHO, 2005)
Berkaitan dengan upaya menekan risiko kematian ibu dan meningkatkan
survival,
beberapa
aspek
mendasar
perlu
menjadi
perhatian
dalam
mengembangkan intervensi kesehatan ibu. Kerangka kerja keberlangsungan hidup
meliputi beberapa tahapan penting, dimulai perawatan di rumah tangga, pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan. Pada setiap tahapan sangat dipengaruhi oleh aspek
sosial budaya keluarga dan dukungan sosial masyarakat serta sistem kesehatan
(Waldman, dkk, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Manajemen kasus di rumah membutuhkan beberapa langkah penting, yaitu
mengenal tindakan perawatan, memberikan perawatan yang tepat, mencari
perawatan yang tepat bila diperlukan, menyediakan perawatan lanjutan atau
pemulihan setelah menerima bantuan dari luar dan mengenali kebutuhan untuk
perawatan tindak lanjut jika kondisi memburuk. Prinsip utama adalah pemahaman
keluarga dan masyarakat akan masalah kesehatan, determinan yang memengaruhi
tingkat pengetahuan keluarga dan dukungan masyarakat. Intervensi dikembangkan
kearah komunikasi yang efektif dengan memperhatikan isi, strategi penyampaian
dan kemampuan penerimaan (Waldman, dkk, 1996).
Aspek kedua berupa kualitas perawatan yang diberikan oleh keluarga.
Determinan yang memengaruhi adalah pemberian perawatan yang tepat,
pengetahuan, ketersediaan alat dan obat, dan kemampuan memberikan keputusan
perawatan yang tepat. Mengatasi masalah ini beberapa intervensi yang
direkomendasikan adalah bimbingan kemampuan tekhnis melakukan perawatan di
rumah sesuai dengan masalah kesehatan dan ketersediaan sumber daya, penilaian
kebutuhan dan ketersediaan alat dan obat, komunikasi efektif, penguatan dan
memfasilitasi (Waldman, dkk, 1996; WHO, 2005).
Perawatan antara rumah dan luar rumah berupa mencari perawatan di luar
dan memberikan perawatan lanjutan setelah mendapatkan saran perawatan
lanjutan. Pada tahapan ini strategi komunikasi yang efektif dengan melibatkan
keluarga dan masyarakat penting sekali untuk meningkatkan kesadaran dan
pengambilan keputusan yang tepat untuk mencari perawatan lanjutan di fasilitas
kesehatan. Berkaitan dengan perawatan di luar rumah, determinan yang
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi adalah pengetahuan memahami kebutuhan perawatan, dimana
mendapatkan pertolongan dan perawatan apa yang paling tepat, disamping
masalah keterjangkauan dan pengambilan keputusan. Intervensi dikembangkan
melalui komunikasi efektif, identifikasi pilihan untuk menjangkau perawatan yang
tepat dan menganalisis sistem keluarga dalam mengambil keputusan (Waldman,
dkk, 1996).
Perawatan kasus di fasilitas kesehatan membutuhkan kompetensi petugas
dan ketersediaan sarana yang berkualitas serta informasi untuk rujukan dan
perawatan lanjutan di rumah. Kualitas perawatan yang diberikan oleh petugas di
fasilitas kesehatan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, ketrampilan
dan
motivasi serta ketersediaan obat esensial. Intervensi berupa pelatihan yang efektif,
supervisi,
komunikasi
efektif
dan
pengadaan
obat
esensial
dengan
mengembangkan berbagai sumber pendanaan (Waldman, dkk, 1996).
Aspek selanjutnya adalah referral atau rujukan, meliputi keterjangkauan,
memahami kebutuhan rujukan, pengalaman keluarga dan masyarakat terhadap
fasilitas rujukan, pembiayaan baik waktu dan sumber daya. Intervensi dilakukan
dengan meningkatkan keterjangkauan fasilitas rujukan dan pemberdayaan. Aspek
yang terakhir sebagai keberlanjutan perawatan, yaitu pendidikan kesehatan oleh
petugas terhadap keluarga dan masyarakat untuk memberikan perawatan lanjutan
di rumah dengan memberikan penguatan, komunikasi efektif dan konseling
(Waldman, dkk, 1996).
Pada tahapan di rumah maupun sistem di luar rumah keluarga dihadapkan
pada pengambilan keputusan yang tepat yang turut dipengaruhi oleh karakteristik
Universitas Sumatera Utara
individu, keluarga serta dukungan pendanaan yang tersedia dalam rumah tangga,
dukungan sosial dan sistem jaminan sosial dan kesehatan yang dikelola oleh
negara (Waldman, dkk, 1996). Selaras dengan hal tersebut, Bryce, dkk, (2005)
memfokuskan
pentingnya
ketersediaan
fasilitas
kesehatan
yang mampu
menggunakan berbagai potensi dan pendekatan berbasis masyarakat dengan
mengembangkan epidemiologi lokal.
Langkah-langkah integrasi antara perawatan di rumah dan di luar rumah
tersebut diuraikan pada gambar berikut ini:
D
A
L
A
M
R
U
M
A
H
L
U
A
R
R
U
M
A
H
Menyusui,
Menyusui,
penyapihan,
penyapihan,
kebersihan
kebersihan
dan perilaku
dan perilaku
hidup sehat
hidup sehat
SEHAT
SAKIT
Mengenal
perawatan
Perawatan
yang tepat
Menberi
Menberi
perawatanl
Perawatan
anjutan
lanjutan
ANC
Immunisasi,
sanitasi/air
bersih dan
pelayanan
pencegahan
di
masyarakat
Mencari
perawatan
di luar
Pelayanan
masyarakan
informal
Pelayanan
public &
privat
Meningkat
kesehatan &
survival
hidup
Petugas
memberikan
perawatan
berkualitas
Bersedia
dirujuk
Fasilitas
rujukan
Petugas
memberikan
perawatan
berkualitas
Gambar 2.3 Pathway to Survival (WHO, 2005; Waldman, dkk, 1996)
Universitas Sumatera Utara
2.2 Pengembangan Hipotesis dan Model Empirik
2.2.1
Model Otopsi Sosial Determinan Kematian Ibu
Fakta yang paling menjolok tentang sejarah manusia adalah diversitas
bentuk-bentuk sosial yang dihasilkan oleh orang-orang dari tipe genetik yang
sama maupun berbeda. Diversitas dimungkinkan karena manusia belajar melalui
sarana budaya. Hidup sesuai dengan alam, berarti hidup dalam kultur atau
kebudayaan. Ilmu sosial telah menunjukkan dua peran yang dijalankan budaya
bagi kehidupan sosial; pertama, kultur memberi makna bagi sebagian besar
manusia melalui agama; kedua, kultur memberi aturan tindakan sosial. Tanpa
aturan akan mustahil bagi manusia di dalam masyarakat untuk memahami satu
sama lain. Agama-agama di dunia pada umumnya memiliki sebagian besar aturan
kehidupan sehari-hari (Outhwaite, 2008).
Berdasarkan uraian diatas, evolusi definisi kesehatan wanita dan kesehatan
reproduksi juga berkembang dari waktu ke waktu mengikuti perubahan sosial.
Pada awalnya kesehatan wanita hanya mencakup kesehatan fisik dan biologis.
Pandangan saat ini, kesehatan wanita merupakan kesehatan yang menyeluruh
meliputi fisik, faktor biologis, usaha pencegahan dan kesejahteraan sosial.
Perkembangan kesehatan wanita menuntut keterpaduan berbagai disiplin
keilmuan, pemenuhan hak terhadap pelayanan kesehatan dan hak informasi
kesehatan. Berkaitan dengan kesejahteraan sosial, kesehatan wanita mencakup
adanya dukungan, hubungan sosial, dan identitas budaya (Goldman & Hatch,
2004)
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut, Hogue (2004), menegaskan bahwa jenis kelamin, ras dan
tingkat sosial merupakan penyebab masalah kesehatan yang perlu diperhitungkan.
Wanita dari kelompok minoritas “dua kali lebih berisiko”, sedangkan wanita
minoritas dan miskin “tiga kali lebih berisiko” mengalami berbagai outcome
kesehatan. Status kesehatan wanita berhubungan dengan gender, ras/etnik dan
kelas/tingkat sosial. Berdasarkan uraian Hogue (2004) permasalahan kematian ibu
di Provinsi Aceh dapat ditinjau dari perbedaan ras/etnik.
Provinsi Aceh terdiri dari beberapa etnik, antara lain Etnik Aceh yang
terbanyak menempati wilayah pesisir, Etnik Gayo, Etnik Alas dan Kluet di
sebagian daerah pegunungan, Etnik Aneuk Jamee di pesisir selatan, Etnik Simelue
di Kepulauan Simeulue, dan Melayu Tamiang di perbatasan Sumatera Utara.
Perbedaan etnik dapat terlihat dari bahasa, adat-istiadat dalam kegiatan sosial
budaya. Etnik Aceh yang masih sangat kental mempertahankan tradisinya adalah
penduduk yang tinggal di Wilayah Pase, yaitu wilayah tempat pertama masuk dan
berkembangnya Agama Islam. Berkaitan dengan kesehatan reproduksi, jumlah
kasus kematian di Provinsi Aceh pada tahun 2014 menggambarkan karakteristik
yang khas, artinya dari 149 kasus kematian yang dilaporkan dominasi terjadi di
kabupaten dengan penduduk sebagian besar etnik Aceh, diikuti Alas, Kluet,
Melayu Tamiang, Gayo, dan yang terendah adalah Aneuk Jamee dan Simelue
(Dinas Kesehatan, 2014).
Berdasarkan paparan data tersebut memberikan informasi awal untuk
digali berbagai gejala-gejala budaya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Wilayah Pase dalam sejarah sebagai daerah pusat masuk dan berkembangnya
Universitas Sumatera Utara
Agama Islam memberikan warna budaya yang sarat dengan nuansa spiritual dan
religi yang ditampilkan dari persepsi sosial budaya terhadap peran wanita dalam
reproduksi, peran laki-laki sebagai kepala keluarga. Pengaruh ajaran agama dapat
terlihat dari pandangan terhadap kontrasepsi, usia reproduksi, jumlah anak, jenis
kelamin. Disisi lain, konflik yang berkepanjangan dan bencana Tsunami juga
secara tidak langsung memengaruhi persepsi tentang reproduksi. Menyimak
sebuah syair yang sering didendangkan oleh ibu yang meninabobokan anaknya,
terkandung pesan moral dan harapan meningkatkan jiwa kepahlawanan melawan
ketidakadilan dan penjajahan.
Praktek budaya pada etnik Aceh menunjukkan modal sosial yang
potensial, terutama besarnya peran keluarga memberikan perhatian terhadap
pasangan baru. Wanita yang baru menikah tetap tinggal bersama keluarganya
sampai mandiri mengurus anak pertamanya. Dari satu sisi, hal ini merupakan
sarana transfer ketrampilan dan pola-pola kebiasaan yang akan membawa ciri
budaya pada keluarga dan keturunannya. Sisi lain, budaya ini melemahkan
kemandirian keluarga terutama kepada keluarga muda, bahkan dalam kehidupan
selanjutnya selalu membutuhkan dukungan keluarga besar dalam mengambil
keputusan, termasuk menentukan jumlah anak.
Ditinjau dari peran wanita etnik Aceh dalam menjalankan adat istiadat
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, terlihat begitu besarnya kepercayaan
yang diberikan oleh tokoh masyarakat terhadap wanita. Wanita berperan dari
mulai menilik calon pengantin “cah rot” atau “meujarom”, selanjutnya melamar
Universitas Sumatera Utara
“meulakee”,
“meutanggoh”
atau
bertunangan
sampai
pesta
pernikahan
“meukeureuja” (Nyak Pha, 1987).
Selanjutnya pada fase kehamilan “yoh mumee” mulai dari adat “ba boh
kayee” atau “ba meulinum” yaitu mengantarkan buah-buahan dan makanan
kepada pihak isteri yang sedang hamil sampai kepada proses kelahiran bayi, peran
wanita menjalankan adat-istiadat sangatlah dominan. Pihak laki-laki hanya
diberikan beban memikul biaya yang timbul akibat dilaksanakan adat-istiadat
tersebut (Nyak Pha, 1987).
Berkaitan dengan determinan kontekstual terhadap kematian ibu, Bhalotra
(2010) menyoroti tentang keterkaitan antara kemiskinan dan keberlangsungan
hidup. Beberapa survei sebelumnya mengindikasikan bahwa Provinsi Aceh
termasuk daerah miskin ditandai dengan nilai IPKM dan dikategorikan sebagai
DBK. Penelitian Fernandez, dkk (2010) dan Adhikari (2010) menegaskan bahwa
risiko kematian ibu lebih tinggi pada kelompok minoritas dan etnik dengan tingkat
fertilitas yang tinggi. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
praktek reproduksi pada sebuah etnik terbentuk dari nilai-nilai yang dianggap baik
di dalam kelompok, yang ditinjau dari keberlangsungan keturunan dan kepatuhan
menjalankan perintah agama.
Determinan antara kematian ibu merupakan faktor predisposisi komplikasi
obstetrik. Status kesehatan ibu berupa status gizi te
TINJAUAN PUSTAKA
Telaah teoretis diarahkan untuk membangun model teoretikal dasar (Grand
Theoretical Model) dalam studi ini, yaitu membangun model otopsi sosial berbasis
budaya Aceh dalam rangka mengatasi kematian ibu di Provinsi Aceh. Proposisi
pertama adalah determinan kematian ibu (determinant of maternal mortality) dan
proposisi kedua adalah tiga tahap keterlambatan terhadap kematian ibu (The three
phases of delay models). Proposisi yang dibangun merupakan hasil sintesis
berbagai teori dan konsep yang mengungkapkan multi faktor determinan
kesehatan, termasuk determinan sosial ekonomi budaya terhadap kesehatan
reproduksi, determinan kematian ibu, model keterlambatan dan keberlangsungan
hidup yang menjadi fokus otopsi sosial kematian ibu pada penelitian ini.
Berdasarkan proposisi yang dibangun, dikembangkan model empirik
penelitian. Model empirik pertama adalah otopsi sosial kematian ibu dalam
konteks budaya Aceh dengan menggali berbagai faktor yang berperan, pola dan
determinannya. Model empirik kedua adalah otopsi sosial kematian ibu dalam
konteks budaya Aceh dengan menggali determinan keterlambatan. Berdasarkan
proposisi dan model empirik penelitian dikembangkan langkah-langkah eksplorasi
menggali berbagai faktor yang berperan terhadap kematian ibu melalui studi
kualitatif dan merumuskan hipotesis-hipotesis yang diselidiki dan diuji pada
penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.
Universitas Sumatera Utara
2.1 Pengembangan Model Teoretikal Dasar
2.1.1 Otopsi Sosial Kematian Ibu dan Budaya Aceh
Otopsi dimaknai tindakan pemeriksaan jenazah bila dianggap penyebab
kematian merupakan hal yang tidak wajar. Pemeriksaan dilakukan terhadap tubuh
bagian luar maupun bagian dalam dengan tujuan menemukan proses penyakit atau
adanya cedera, melakukan intepretasi atas penemuan-penemuan tersebut,
menerangkan penyebab serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainankelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian. Manfaat otopsi terutama
berkaitan dengan pendidikan kedokteran, meneliti karakteristik dan patogenesis
penyakit baru dan forensik sehingga berkembang beberapa bidang otopsi antara
lain otopsi anatomik, otopsi klinik dan otopsi forensik.
Ilmu dan tekhnologi tentang otopsi terus berkembang, walaupun berbagai
literatur telah mengungkapkan berbagai manfaatnya, kenyataannya hanya sekitar 5
persen kasus kematian dilakukan otopsi, hal ini karena masalah sulitnya
mendapatkan izin dari pihak keluarga dan faktor biaya. Khususnya di negaranegara berpenghasilan rendah dan menengah, sebagai pilihan lain untuk
mengetahui penyebab kematian dilakukan melalui otopsi verbal, yaitu investigasi
penyebab kematian dilakukan dengan wawancara menggunakan daftar pertanyaan
terstandar (questioner) (WHO, 2004). Otopsi verbal adalah suatu metode
wawancara terhadap anggota keluarga menggunakan kuesioner yang telah
terstandar mengenai tanda-tanda dan gejala-gejala yang muncul sebelum
meninggal untuk mengetahui penyebab kematian (Dirjen Binkesmas, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Selaras
dengan
perkembangan
implementasi
otopsi
verbal
yang
mengidentifikasi penyebab medik kematian dan faktor penyumbang terhadap
kematian, dengan segala keunggulan dan keterbatasannya maka diikuti juga
berkembangnya pemanfaatan metode otopsi sosial. Otopsi sosial merupakan
pendekatan menggunakan metode otopsi verbal menginvestigasi permasalahan di
keluarga, masyarakat dan sistem kesehatan berkaitan dengan kematian (Waisha,
dkk, 2012). Multifaktor penyebab kematian turut memengaruhi penggunaan
pendekatan otopsi sosial terutama oleh peneliti bidang ilmu sosial dan kesehatan
masyarakat.
Beberapa
penelitian
menggunakan
pendekatan
otopsi
sosial
dan
mengkombinasikan dengan berbagai pendekatan lainnya telah membuktikan
bahwa faktor isolasi sosial dan kurangnya kepedulian pelayanan publik menjadi
pemicu meningkatnya risiko kematian karena bencana gelombang panas di
Chikago (Klinenberg, 1999; 2002). Eric Klinenberg memperhatikan bahwa adanya
pola tertentu terhadap kematian akibat gelombang panas pada periode 13 sampai
dengan 20 Juli 1995 yang menewaskan lebih dari 700 penduduk selama seminggu
pada lingkungan tertentu, sehingga dengan memanfaatkan berbagai sumber data
dan informasi Klinenberg menyimpulkan isolasi sosial dan disparitas pelayanan
publik sebagai faktor yang berperan meningkatkan risiko kematian.
Berkaitan dengan kesakitan dan kematian ibu, beberapa penelitian
menggunakan pendekatan otopsi sosial telah mengungkapkan hasil bahwa faktor
sosial ekonomi budaya dan geografi memicu tingginya kasus kematian ibu melalui
berbagai mekanisme keterlambatan. Penelitian di Bangladesh menemukan bahwa
Universitas Sumatera Utara
ibu yang mengalami “kala azar” atau demam hitam, yaitu infeksi protozoa
Lieshmania Donovani sering mengalami keterlambatan mencapai fasilitas
pelayanan kesehatan (Rahman, et al., 2014). Keterlambatan dapat terjadi karena
dimensi personal dan sosial perempuan dalam mengambil keputusan dipicu faktor
biaya dan sosial budaya setempat sehingga berdampak terhadap kematian.
Supratikto, dkk (2002) meneliti “A district-based audit of causes and
circumstances of maternal deaths in South Kalimantan, Indonesia” memaparkan
implementasi audit maternal di Kalimantan Selatan pada periode 1995-1999.
Penelitian ini menemukakan adanya kontribusi faktor keterlambatan terhadap
kematian ibu, hambatan ekonomi menyumbang 37 persen kematian ibu. Essen,
dkk, (2011) melalui penelitian antropologi mengemukakan pandangan dan nilainilai sosial budaya terhadap kelahiran melalui pembedahan pada wanita Somali.
Nyuki, dkk, (2014) melakukan penelitian “Using Verbal and Social
Autopsies to Explore Health-Seeking Behaviour among HIV-Positive Women in
Kenya: A Retrospective Study. Penelitian pada wanita positiv HIV menunjukkan
rendahnya akses pelayanan kesehatan pada wanita dengan penghasilan rendah.
Sanneving, dkk, (2013), meneliti tentang “Inequity in India: the case of maternal
and reproductive health”, hasil penelitian menyimpulkan bahwa status ekonomi,
gender, status sosial berpengaruh terhadap akses pelayanan kesehatan ibu dan
kesehatan reproduksi. Kongnyuy & Broek, (2008) meneliti “The difficulties of
conducting maternal death riviews in Malawi” melalui analisa SWOT terhadap
proses audit kematian ibu di Malawi mengungkapkan berbagai hambatan dalam
Universitas Sumatera Utara
melakukan audit, antara lain berhubungan dengan provider, administrasi, klien dan
masyarakat
Guirguis-Younger, dkk, (2006), meneliti “Carrying out a social autopsy
of deaths of persons who are homeless”. Penelitian otopsi sosial pada tuna wisma
memberikan panduan bagaimana prosedur, metodologi dan pengembangan dengan
melibatkan petugas di rumah sakit, petugas sosial dan komunitas tuna wisma.
Hasil penelitian ini merekomendasikan pelaksanaan otopsi sosial melalui studi
kasus. Kalter, et al., (2011), meneliti
tentang “Maternal death inquiry and
response in India the impact of contextual factors on defining an optimal model to
help meet critical maternal health policy objectives”. Penelitian mengembangkan
model pemberdayaan dan kemitraan terdiri dari 6 tahapan bertujuan meningkatkan
kemampuan perempuan mengantisipasi hambatan sosial budaya.
Berkaitan dengan pelacakan kasus kematian ibu yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan di puskesmas perlu mengkombinasikan metode otopsi verbal dan
otopsi sosial yaitu wawancara kepada keluarga atau orang lain yang mengetahui
riwayat penyakit atau gejala serta tindakan yang diperoleh sebelum penderita
meninggal, sehingga dapat
diketahui perkiraan sebab kematian. Waisha, dkk
(2012) menekankan bahwa faktor non biologis yang berkontribusi terhadap
kematian ibu tidak dapat digali melalui otopsi verbal, namun dibutuhkan otopsi
sosial yaitu wawancara mendalam yang mampu menggali pengaruh sistem sosial,
perilaku dan kesehatan sebagai penentu kematian. Otopsi sosial adalah proses
wawancara yang bertujuan untuk mengidentifikasi kontribusi sosial, perilaku dan
hambatan sistem kesehatan terhadap kematian (Kalter, dkk, 2011). Pendekatan
Universitas Sumatera Utara
otopsi sosial menelaah berbagai masalah kesehatan di masyarakat sebagai upaya
menemukan akar masalah, sehingga dapat memberikan rekomendasi terhadap
perbaikan program dan intervensi kesehatan. Implementasi otopsi sosial berkaitan
dengan usaha pencegahan dan evaluasi. Investigasi dirancang untuk mengevaluasi
dampak positif atau negatif dari program dan kebijakan baru pada pola kematian
(Rahman, dkk, 2014; Guirguis-Younger, dkk, 2006; Kalter, dkk, 2011).
Otopsi sosial dapat digunakan untuk meneliti kontribusi variabel sosial,
karakteristik individu, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan yang
menyebabkan kematian. Dari sudut pandang evaluasi program, dapat dianggap
sebagai jenis penilaian kebutuhan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
diatasi melalui program dan kebijakan kesehatan dengan memberikan bukti dalam
bentuk data yang ditindaklanjuti dan meningkatkan motivasi di semua tingkatan
untuk mengambil tindakan yang tepat dan efektif (Kalter, et al., 2011).
Berdasarkan penelitian Rahman, dkk (2014), Guirguis-Younger, dkk
(2006), Nyuki, dkk (2014), ditemukan dua pokok pikiran penting, yaitu pertama
kematian/kesakitan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sosial budaya dan
perilaku, tanpa mengenyampingkan faktor keturunan dan pelayanan kesehatan
(McCarthy & Maine, 1992; Thaddeus & Maine, 1994; Wilkinson & Marmot,
2003; Lopez, dkk, 2006; Adhikari, 2010; Bhalotra, 2010; WHO, 2010). Pokok
pikiran kedua adalah keberlangsungan hidup didukung oleh faktor kesiagaan
keluarga, masyarakat dan sistem kesehatan (Thaddeus & Maine, 1994; Waldman,
dkk, 1996; Bryce, dkk, 2005; Gil_Gonzalez, dkk, 2006; Kalander, dkk, 2011;
Waisha, dkk, 2012; Tanzin, dkk, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Selaras dengan pokok pikiran bahwa multi faktor penyebab kematian ibu
dan perlunya kesiagaan keluarga, masyarakat dan sistem kesehatan untuk
meningkatkan keberlangsungan hidup, maka setiap kasus kematian ibu perlu perlu
dilakukan monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan melalui surveilans.
Pelacakan kasus merupakan salah satu bagian dari 8 fungsi surveilans respons.
Menurut WHO (2006) surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan,
analisis, dan interpretasi data secara terus menerus serta penyebaran informasi
kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Tindakan yang
diambil setelah mendapatkan informasi inilah yang disebut respons. Surveilans
harus disertai dengan keputusan sebagai respons (Sanusi, 2012).
Surveilans respons terhadap kesakitan dan kematian ibu dan anak
dilaksanakan melalui AMP, yaitu proses penelaahan bersama kasus kesakitan dan
kematian ibu dan perinatal serta penatalaksanaannya, dengan menggunakan
berbagai informasi dan pengalaman dari kelompok terkait, untuk mendapatkan
masukan mengenai intervensi yang paling tepat dilakukan dalam upaya
peningkatan kualitas pelayanan KIA di suatu RS atau wilayah. Di Indonesia, AMP
telah dilaksanakan sejak tahun 1997, pada tingkat Kabupaten/Kota pelaksanaan
berpedoman pada Pedoman AMP yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 1994 dan direvisi tahun 2010. Pelaksanaan AMP
berazaskan No Name, No Shame, No Blame dan No Pro Justicia, yaitu tidak
menyebutkan identitas, tidak mempermalukan, tidak menyalahkan dan tidak untuk
mengadili. Audit menekankan pada kontribusi faktor medis dan faktor non medis
termasuk informasi sosial ekonomi dan perilaku (Dirjen Binkesmas, 2010).
Universitas Sumatera Utara
AMP merupakan kegiatan untuk menelusuri sebab kesakitan dan kematian
ibu dan perinatal dengan maksud mencegah kesakitan dan kematian dimasa yang
akan datang. Penelusuran ini memungkinkan tenaga kesehatan menentukan
hubungan antara faktor penyebab yang dapat dicegah dan kesakitan/kematian yang
terjadi, pengaruh keadaan dan kejadian yang mendahului kesakitan/kematian,
sebab dan faktor terkait dalam kesakitan/kematian ibu dan perinatal, dimana dan
mengapa berbagai sistem dan program gagal dalam mencegah kematian dan jenis
intervensi dan pembinaan yang diperlukan. Tujuan utama audit adalah
pembelajaran, pembinaan dan perbaikan (Dirjen Binkesmas, 2010).
Implementasi AMP belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan,
terutama bila dikaitkan dengan kemampuan mencegah kasus yang berulang,
sehingga perlu ditelaah dan diteliti untuk pengembangan metode dan prosedur
yang efektif dan efisien. Studi ini akan menjawab pertanyaan mengapa kasus
kematian ibu masih terus terjadi dan mengapa sistem kesehatan gagal melakukan
pencegahan, sementara berbagai intervensi termasuk pelacakan kasus kematian
ibu melalui AMP sudah dilaksanakan oleh jajaran kesehatan.
Melalui model otopsi sosial dalam penelitian ini diharapkan dapat
menemukan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu dan
menemukan akar masalah mengapa berbagai intervensi gagal mencegah kematian
ibu. Berdasarkan studi literatur ditemukan beberapa faktor non biologis yang
berkontribusi terhadap kematian ibu, antara lain hambatan geografi, kesulitan
transportasi, kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan praktek budaya
(Rahman, et al., 2014). Nyuki, dkk (2014) memaparkan faktor yang berpengaruh
Universitas Sumatera Utara
terhadap akses pelayanan adalah tingkat pengetahuan, pemahaman terhadap
penyakit, hambatan biaya dan transportasi, pengobatan alternatif, stigma, persepsi
negatif dan dukungan keluarga dan sistem kesehatan.
Kalander, dkk (2011) menemukan adanya aspek-aspek gender dalam
pengambilan keputusan, seperti alasan menunggu suami, tanggung jawab tugas
domestik, persepsi terhadap fasilitas kesehatan, kemiskinan, jarak tempuh dan
mencoba pengobatan tradisional. Alasan yang dikemukakan berdampak terhadap
keterlambatan pengambilan keputusan, mencapai fasilitas dan mendapatkan
penanganan. Faktor keterlambatan sebagai determinan kematian ibu juga
didukung oleh penelitian Thaddeus & Maine, (1994), Bryce, dkk (2005),
Gil_Gonzalez, dkk (2006), Waisha, dkk (2012) dan Tanzin, dkk (2013).
Berkaitan dengan konteks budaya Aceh, melalui studi literatur dan empirik
menemukan
empat
pola mendasar sebagai faktor non biologis yang diduga
berperan terhadap kematian ibu antara lain: kemiskinan, persepsi terhadap
kesehatan reproduksi, praktek budaya perawatan ibu selama masa reproduksi dan
keterlambatan. Keempat pola tersebut merupakan konstruksi sosial dan agama
yang saling berinteraksi. Pola pertama adalah kemiskinan, didukung oleh fakta
bahwa kasus kematian tertinggi terjadi di Kabupaten DBK kategori bermasalah
berat dan miskin. Kemiskinan merupakan faktor yang berpengaruh dibuktikan
oleh penelitian Bhalotra (2010), Blass, dkk (2011), Wilkinson & Marmot (2003)
dan McCharty & Maine (1992).
Pola kedua adalah persepsi terhadap kesehatan reproduksi, didukung oleh
fakta jumlah anak ideal dalam sebuah keluarga, termasuk jenis kelamin anak,
Universitas Sumatera Utara
hegemoni pasangan dalam menentukan jumlah anak, kekhawatiran anak
meninggal akibat sakit, bencana dan konflik, harapan yang tinggi terhadap anak
sebagai penerus keturunan dan nilai ekonomi keluarga, pemahaman bahwa wanita
yang baik adalah besar cintanya dan banyak anaknya. Pola ini didukung oleh fakta
bahwa rentang usia reproduksi pada kasus kematian ibu tahun 2014 adalah 15
sampai 45 tahun, 50 persen multigravida dan 16,7 persen merupakan
grandemultigravida. Marchie (2012) dan Adhikari (2010) menemukan budaya
bahwa anak merupakan lambang status sosial dan ekonomi keluarga, sehingga
mendorong tingginya paritas dan pernikahan dini.
Pola ketiga adalah praktek budaya perawatan ibu selama proses reproduksi
antara lain adanya pantangan makan jenis pangan tertentu, pembatasan mobilisasi,
dominasi keluarga dalam perawatan. Pola keempat adalah keterlambatan didukung
oleh fakta bahwa adanya pemahaman yang berbeda dalam mengenali tanda dan
gejala komplikasi kehamilan dan penyakit yang menyertai kehamilan, kurang
memperoleh informasi tentang jaminan sosial, kekhawatiran akan tindakan
pembedahan dan keyakinan bahwa persalinan merupakan hal fisiologis.
Keterlambatan
juga
dipengaruhi
oleh
proses
musyawawah
keluarga,
ketidaksiagaan sumber daya dan sumber dana.
Berdasarkan uraian diatas tentang otopsi sosial kematian ibu dan budaya
Aceh, maka dapatlah disimpulkan bahwa otopsi sosial kematian ibu berbasis
budaya Aceh adalah upaya menginvestigasi secara mendalam faktor yang
berperan terhadap kematian ibu dalam konteks budaya
Aceh dengan
memanfaatkan berbagai informasi dan pendekatan melalui studi kasus.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang menggunakan pendekatan otopsi
sosial terhadap berbagai masalah kesehatan, tergambarkan 3 (tiga) model utama
dalam mengimplementasikannya, yaitu pertama, model deskripsi yaitu berupaya
menggambarkan berbagai faktor yang berkontribusi terhadap masalah kesehatan;
model kedua adalah model prediksi, yaitu menganalisis dan memprediksi berbagai
faktor risiko; dan model ketiga adalah model perspektif, yaitu model yang
meminimalkan risiko kematian karena hambatan sosial, ekonomi dan budaya.
Model deskripsi dalam otopsi sosial diuraikan oleh Rahman, dkk (2014),
penelitian ini menggambarkan dinamika berbagai hambatan sosial, budaya, sistem
pelayanan kesehatan yang dialami wanita hamil yang mengalami kala azar atau
demam hitam di Bangladesh. Pendekatan yang sama juga dilakukan oleh Nyuki,
dkk (2014), melalui otopsi sosial ia menemukan deskripsi berbagai hambatan yang
dialami wanita penderita HIV positif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Berbeda dengan penelitian Rahman dan Nyuki yang menggunakan model
deskripsi, Supratikto, dkk, (2002) menggunakan model deskripsi terhadap
eksplorasi penyebab kematian ibu dan mengkombinasikan dengan model prediksi,
yaitu memprediksi berbagai faktor risiko.
Pemilihan model dalam otopsi sosial sangat tergantung pada tujuan dari
peneltian yang dilakukan. Eksplorasi masalah lebih tepat menggunakan model
deskripsi melalui studi kualitatif, sedangkan prediksi risiko dapat menggunakan
model prediksi menggunakan studi kuantitatif. Lebih lanjut Kalter, dkk, (2011)
merumuskan langkah-langkah operasional meminimalkan masalah hambatan
sosial budaya terhadap kematian ibu di India. Kalter, dkk, menggunakan model
Universitas Sumatera Utara
perspektif, yaitu model normatif yang dilakukan atau dilaksanakan untuk
meminimalkan hambatan sosial budaya. Pada tahapan diteksi kasus dan
penyelesaian masalah Kalter, dkk, menempatkan tokoh adat, dan pemuka agama
untuk berpartisipasi menelaah masalah dan terlibat dalam menyebarluaskan
informasi.
2.1.2 Determinan Kematian Ibu (Determinant of Maternal Mortality)
Kematian ibu didefinisikan dengan kematian seorang wanita yang terjadi
saat hamil sampai 42 hari setelah persalinan, tanpa memperhitungkan lama dan
tempat
terjadinya
kehamilan
yang
diakibatkan
berbagai
sebab
berhubungan/diperberat oleh kehamilan atau penatalaksanaannya, tetapi bukan
kecelakaan (Patel, dkk, 2003). Menurut (WHO, 2014) pengukuran kematian ibu
dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Maternal mortality ratio (MMR), yaitu menggambarkan risiko yang mungkin
terjadi pada setiap kehamilan sebagai risiko obstetrik dihitung dari seluruh
jumlah ibu meninggal tahun tertentu per 100.000 kelahiran hidup periode
yang sama. Di Indonesia rasio ini yang dipakai dan dinyatakan sebagai angka
kematian ibu.
2.
Maternal mortality rate, mengukur baik risiko obstetrik dan frekuensinya
dengan wanita terpapar risiko tersebut, yaitu jumlah ibu meninggal pada
periode waktu tertentu per 100.000 wanita usia subur (usia 15-49 tahun).
3.
Lifetime risk atau risiko kematian seumur hidup adalah hasil dari suatu
perhitungan kemungkinan hamil dan kemungkinan meninggal sebagai
Universitas Sumatera Utara
dampak dari kehamilan tersebut selama seorang wanita berada pada usia
reproduksi.
McCarthy & Maine, (1992) merupakan peneliti yang melahirkan model
determinan kematian ibu, kerangka konsepnya mengemukakan peran determinan
sosial ekonomi dan budaya terhadap status kesehatan, status reproduksi, akses
pelayanan kesehatan dan perilaku memanfaatkan fasilitas kesehatan. Determinan
ini berdeampak terhadap kondisi kehamilan dan komplikasi yang pada akhirnya
dapat menyebabkan kesakitan dan kematian. Determinan kematian ibu dibagi
menjadi 3 jenis, yaitu: (1) determinan kontekstual/jauh (distant determinant), (2)
determinan antara (intermediate determinant) dan faktor-faktor lain yang tidak
diketahui atau tidak terduga dan (3) Determinan dekat/proksi (outcome).
2.1.2.1 Determinan Kontekstual/Jauh (Distant Determinant)
Determinan kontekstual merupakan status sosial wanita dalam keluarga
dan masyarakat, status keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat.
McCarthy & Maine (1992) menjelaskan bahwa status sosial wanita dalam
keluarga dan masyarakat meliputi tingkat pendidikan wanita, pekerjaan,
penghasilan dan hak perlindungan hukum dan sosial. Wanita berpendidikan lebih
tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Ibu bekerja
di sektor formal memiliki akses lebih baik terhadap berbagai informasi termasuk
kesehatan. Keberdayaan wanita (women empowerment) kemungkinan lebih aktif
dalam menentukan sikap mandiri memutuskan dan memilih pelayanan kesehatan
bagi dirinya termasuk kesehatan atau kehamilannya. Hal tersebut dapat menjadi
faktor berpengaruh dalam mencegah kematian ibu.
Universitas Sumatera Utara
Status keluarga dalam masyarakat merupakan variabel keluarga termasuk
kekayaan keluarga, tingkat pendidikan dan status pekerjaan anggota keluarga, juga
dapat memengaruhi dalam menentukan/memilih pelayanan kesehatan terhadap
risiko kematian ibu. Sedangkan status masyarakat berupa tingkat kesejahteraan,
ketersediaan sumber daya misalnya jumlah dokter dan pelayanan kesehatan yang
tersedia, serta keterjangkauan dan kemudahan (McCarthy & Maine, 1992).
Winkelman
(2009),
mengemukakan
model
sistem
budaya,
yaitu
bagaimana sistem budaya memengaruhi kesehatan seseorang. Banyak faktor yang
memengaruhi kesehatan, termasuk perilaku individu, nutrisi, kondisi lingkungan,
paparan agen, perilaku tidak memanfaatkan sumber pelayanan kesehatan,
dukungan sosial, dan pendanaan. Berkaitan dengan budaya Aceh, yang sebagian
besar penduduknya adalah muslim, model sistem budaya memberikan pedoman
untuk memahami banyak faktor yang memengaruhi kesehatan. Lingkungan,
sosial, budaya dan agama merupakan faktor yang turut berkontribusi terhadap
pemahaman individu dan masyarakat mempersepsikan konsep sehat sakit,
kehamilan dan kesehatan reproduksi.
Sebagian individu mempersepsikan sakit bila sudah tidak mampu bekerja,
namun pada kalangan tertentu kurang bugar sudah menjadi kekhawatiran.
Berkaitan dengan kehamilan, sebagian ibu hamil yang mengalami bengkak pada
tungkai kaki sudah mendorongnya untuk segera datang ke dokser spesialis,
sebaliknya ada ibu hamil yang sudah mengalami bengkak kaki dan wajah selama
seminggu, dalam Bahasa Aceh dikenal dengan istilah “basai” belum mengakses
Universitas Sumatera Utara
pelayanan kesehatan dasar. Ilustrasi ini menggambarkan bahwa adanya perbedaan
konsep sehat sakit antara satu orang dengan lainnya.
Tidak ada suatu perilaku atau tindakan yang dijalankan individu atau
sekelompok di dalam suatu masyarakat tanpa dilatarbelakangi oleh proses mental
atau
kebudayaan.
Karena
kebudayaan
menentukan,
mengarahkan
dan
memengaruhi pola-pola tindakan serta perilaku seseorang dalam masyarakatnya,
termasuk penafsiran perilaku sosial terhadap kesehatan reproduksi. Praktekpraktek reproduksi yang dijalankan oleh pasangan dalam sebuah keluarga tidak
hanya terbatas pada gejala biologis semata, tetapi memperlihatkan gejala sosial
budaya di dalamnya. Pandangan ini diperkuat oleh McCarthy & Maine (1992)
yang menegaskan faktor sosial budaya sebagai determinan kontekstual terhadap
kematian ibu. Hal senada juga dikemukakan oleh Adhikari (2010) dan Bhalotra
(2010), yaitu kemiskinan, praktek budaya pada etnik tertentu meningkatkan risiko
kematian.
Walaupun kesehatan reproduksi adalah hak azasi manusia, namun praktekpraktek reproduksi pada beberapa etnik tertentu menunjukkan pengabaian
terhadap hak-hak kesehatan reproduksi. Persepsi terhadap ajaran dan tuntunan
agama, hegemoni pasangan dan tokoh sentral dalam keluarga, tekanan sosial,
keadaan sosial ekonomi merupakan determinan yang memengaruhi pemahaman
dalam praktek kesehatan reproduksi. Kesehatan mengikuti tingkat sosial, semakin
tinggi posisi sosial, semakin baik kesehatan (Wilkinson & Marmot, 2003).
Determinan sosial budaya dalam kesehatan merupakan penyebab dari
berbagai penyebab masalah kesehatan (Wilkinson & Marmot, 2003; Lopez, dkk,
Universitas Sumatera Utara
2006). WHO menemukan bukti tentang bagaimana struktur masyarakat, melalui
berbagai interaksi sosial, norma-norma dan lembaga dapat memengaruhi
kesehatan masyarakat, dan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk
mengatasi masalah kesehatan masyarakat (WHO, 2010)
Determinan sosial budaya memengaruhi kesehatan melalui tiga siklus,
yaitu keterbatasan materi, perilaku dan psikososial yang meliputi siklus hidup
manusia dan berdampak terhadap generasi selanjutnya. Hal ini membuktikan
bahwa bagaimana sosial budaya memengaruhi kesehatan reproduksi dan
keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Keberlangsungan hidup masyarakat
berbeda antara negara-negara berdasarkan pendapatan, hal ini dibuktikan dari
pengamatan terhadap perbandingan usia harapan hidup pada periode tahun 1980
dan 2001 di berbagai negara. Usia harapan hidup di negara berpenghasilan tinggi
dapat mencapai 78 tahun dimana pada dekade sebelumnya 74 tahun (Blass, dkk,
2011; WHO, 2010; Bhalotra, 2010)
Perbedaan usia harapan hidup dipengaruhi oleh kemampuan menurunkan
persentase kematian bayi selama periode tersebut, dilaporkan bahwa di negara
miskin hanya mampu menurunkan 27 persen, negara berpenghasilan sedang dapat
menurunkan hingga 44 persen dan negara kaya mampu menurunkan hingga 58
persen. Demikian juga terhadap indikator kematian balita, bayi berat lahir rendah
dan tingkat kesuburan wanita usia 15 sampai 19 tahun. Perbandingan tingkat
fertilitas di negara miskin 104 per 1.000 wanita usia 15 sampai dengan 19 tahun,
sedangkan negara berpenghasilan menengah 40 per 1.000 wanita usia 15 sampai
Universitas Sumatera Utara
dengan 19 tahun, negara kaya hanya 24 per 1.000 wanita usia 15-19 tahun (WHO,
2010; Lopez, dkk, 2006).
Determinan sosial dalam kesehatan meliputi aspek pekerjaan, status sosial,
kemiskinan, kelompok minoritas, masyarakat pinggiran, dukungan sosial,
transport dan kesehatan. Mekanisme kemiskinan memengaruhi kesehatan dapat
terjadi melalui individu, keluarga, masyarakat yang tinggal di pemukiman
lingkungan padat meningkatkan risiko penularan penyakit. Daya beli yang rendah
dan pendidikan rendah meningkatkan risiko kurang gizi, kurang daya tahan tubuh,
rendah kualitas pekerjaan yang berdampak terhadap rendahnya upah pekerjaan
(Wilkinson & Marmot, 2003; Blass, dkk, 2011)..
Rendahnya tingkat pendidikan berdampak terhadap kurangnya upaya
pendidikan kesehatan dan tindakan pencegahan. Kemiskinan berdampak terhadap
rendahnya
rasa
mengakibatkan
percaya
malu
ke
diri, cara berpakaian yang berbeda sehingga
pelayanan
kesehatan.
Kemiskinan
cenderung
mempercayai pengobatan yang belum terbukti sehingga memilih perawatan
alternatif. Orang miskin merasa berbeda dengan petugas kesehatan sehingga
cenderung curiga dan kurang nyaman berkomunikasi (Wilkinson & Marmot,
2003; Blass, dkk, 2011)
Kunci dari determinan sosial budaya dalam kesehatan adalah menyoroti
berbagai faktor penyebab, mekanisme kondisi kehidupan sosial budaya sehari-hari
yang berdampak terhadap kesehatan. Pendekatan determinan sosial budaya dalam
kesehatan
menjadi
kerangka
konseptual
yang
dikembangkan
untuk
mengidentifikasi unsur, arah kebijakan, intervensi kesehatan berbasis tekhnologi
Universitas Sumatera Utara
medis
dan
kesehatan
masyarakat.
Berkaitan
dengan
fenomena
sosial
membutuhkan bentuk intervensi yang lebih kompleks dengan melibatkan lintas
sektoral dalam rangka mencapai komitmen untuk kesetaraan kesehatan dan
keadilan sosial (WHO, 2010).
Pendekatam determinan sosial budaya dalam kesehatan menekankan
perhatian pada kelompok yang rentan dalam populasi, kesenjangan kesehatan dan
tingkat kesejahteraan sosial. Strategi yang dikembangkan dengan melibatkan
segenap sumber daya dan kapasitas lintas sektor yang efektif dan berkelanjutan,
meningkatkan partisipasi masyarakat dan penyelesaian masalah kontekstual dan
spesifik (WHO, 2010).
Berkaitan dengan kematian ibu, berbagai evidence based menunjukkan
bahwa meningkatnya risiko kematian pada kelompok minoritas, etnik tertentu
(Fernandez, dkk, 2010).
Adhikari, (2010) mengemukakan bahwa tingginya
fertilitas pada wanita di Nepal disumbangkan oleh faktor usia pertama menikah,
persepsi jumlah ideal anak dalam keluarga, terbatasnya paparan informasi, status
kesehatan, pengalaman ibu yang anaknya meninggal. Berdasarkan uraian ini
menegaskan bahwa status kesehatan reproduksi suatu masyarakat dipengaruhi
oleh determinan sosial ekonomi dan budaya.
2.1.2.2 Determinan Antara (Intermediate Determinant)
Determinan antara (intermediate determinant), yaitu: status kesehatan,
status reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku sehat, dan faktor yang
tidak diketahui atau tidak diduga. Status kesehatan ibu meliputi: anemia, status
gizi, penyakit infeksi atau parasit, penyakit tahunan seperti tuberculosis, penyakit
Universitas Sumatera Utara
jantung, ginjal dan riwayat komplikasi obstetri. Status kesehatan ibu sebelum
maupun saat kehamilan berpengaruh besar terhadap kemampuan ibu dalam
menghadapi komplikasi. Di negara berkembang masalah kesehatan ibu yang turut
menyumbang AKI adalah malaria, hepatitis, anemia dan malnutrisi (McCarthy &
Maine, 1992).
Status reproduksi adalah umur ibu hamil, yaitu risiko komplikasi
kehamilan lebih tinggi pada usia < 20 tahun dan ≥ 35 tahun. Paritas atau jumlah
kelahiran memperlihatkan meningkatnya risiko komplikasi pada paritas yang
tinggi. Jarak antara kehamilan yang terlalu dekat meningkatkan risiko maternal
depletion syndrome pada akhirnya mempengaruhi status gizi ibu dalam kehamilan.
Status perkawinan menjadi hal penting, karena wanita dengan status tidak
menikah cenderung kurang memperhatikan kesehatan dirinya atau janinnya
(McCarthy & Maine, 1992).
Akses terhadap pelayanan kesehatan dibagi menjadi 3 aspek, yaitu: (1)
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dengan jumlah dan kualitas yang
kurang memadai dan rendahnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan
berkualitas; (2) keterjangkauan tempat pelayanan kesehatan termasuk lokasi
tempat pelayanan yang tidak strategis/sulit dicapai ibu hamil menyebabkan
berkurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan; dan (3) keterjangkauan
informasi berupa ketersedian pelayanan kesehatan sudah memadai tetapi
penggunaannya tergantung dari aksesibilitas masyarakat terhadap informasi yang
tersedia (McCarthy & Maine, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Pemanfaatan pelayanan kesehatan dan perilaku sehat yang berkontribusi
terhadap risiko kehamilan antara lain penggunaan kontrasepsi, yaitu ibu ber-KB
akan lebih jarang melahirkan dibandingkan yang tidak ber-KB. Perilaku
memeriksakan kehamilan secara teratur akan memudahkan deteksi risiko
kehamilan secara dini. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang trampil
akan menekan risiko penyulit persalinan dibandingkan oleh dukun (McCarthy &
Maine, 1992).
Faktor-faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga. Terdapat
keadaan yang mungkin terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga yang dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi selama hamil atau melahirkan. Beberapa
keadaan tersebut terjadi saat melahirkan, misalnya kontraksi uterus tidak adekuat,
ketuban pecah dini dan persalinan kasep.
2.1.2.3 Determinan Dekat/Proksi (Outcome)
Lebih lanjut McCharthy dan Maine memaparkan bahwa determinan
dekat/proksi (outcome) meliputi: kejadian/komplikasi selama kehamilan atau
persalinan yang merupakan penyebab langsung kematian ibu, yaitu: perdarahan,
infeksi, eklampsi, partus lama, abortus dan rupture uteri (robekan rahim).
Beberapa penelitian telah membuktikan angka total kesuburan (total fertility
rate/TFR) ternyata tidak selalu memberikan dampak berarti pada penurunan AKI.
Dalam jangka panjang, upaya penurunan AKI harus memperhatikan dan
dilengkapi dengan intervensi terhadap determinan antara dan kontekstual.
Kematian ibu dapat terjadi akibat langsung dari proses obstetrik maupun
tidak langsung. Sekitar 75 sampai 80 persen kejadian kematian akibat langsung
Universitas Sumatera Utara
dari proses obstetrik, seperti eklampsia, perdarahan dan infeksi. Ketiga penyebab
langsung kematian ibu ini disebut komplikasi kebidanan (komplikasi obstetric).
Selain itu, persalinan lama (lebih dari 12 jam) dan pengguguran kandungan
(abortus) terinfeksi dapat berakibat pendarahan dan infeksi. Sekitar 20 hingga 25
persen kematian akibat tidak langsung, misalnya penyakit yang sudah diderita ibu
sejak sebelum hamil atau penyakit lain diderita pada masa kehamilan. Beberapa
kondisi yang termasuk penyebab tidak langsung adalah malaria, anemia,
HIV/AIDS, malnutrisi, hepatitis dan diabetes (Nieburg, 2012).
Keadaan gizi sebelum hamil, kehamilan terlalu sering/dekat, terjadi pada
usia terlalu muda atau tua dapat menambah risiko timbulnya gangguan. Kematian
ibu juga diwarnai penyebab mendasar, yaitu rendahnya status wanita, terutama di
pedesaan dan rendahnya tingkat pendidikan (McCarthy & Maine, 1992).
Kerangka determinan kematian ibu diuraikan secara rinci pada gambar berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
DETERMINAN KONTEKSTUAL
DETERMINAN ANTARA
(CONTEXTUAL DETERMINANT)
(INTERMEDIATE DETERMINANT)
Status Wanita dalam
Keluarga dan
Masyarakat
Pendidikan, Pekerjaan,
Penghasilan, Keberdayaan
Wanita
Status Keluarga dalam
Masyarakat
Penghasilan, Kepemilikan,
Pendidikan dan Pekerjaan
Anggota Rumah Tangga
Status Masyarakat
Kesejahteraan, Sumber
daya (dokter, klinik)
DETERMINAN PROKSI
(PROXIMATE DETERMINANT)
Status Kesehatan:
Gizi, Infeksi, Penyakit Kronik,
Riwayat Komplikasi
Kehamilan
Status Reproduksi
Umur, Paritas, Status Perkawinan
Akses ke Pelayanan Kesehatan
Lokasi Pelayanan Kesehata (KB,
Pelayanan Antenatal, Puskesmas,
PONED), Jangkauan Pelayanan,
Kualitas Pelayanan, Akses Informasi
tentang Pelayanan Kesehatan
Perilaku Sehat
Penggunaan KB, Pemeriksaan
Antenatal, Penolong Persalinan
Komplikasi
Perdarahan
Infeksi
Eklampsiaa
Partus Macet
Ruptura Uterus
Kematian /
Kecacatan
Faktor Tak Diketahui / Tak
Terduga
Gambar 2.1 Determinan Kematian Ibu, McCharty dan Maine, 1992
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Tiga Tahap Keterlambatan (The Three Phases of Delay Model)
Kematian ibu berkaitan dengan keterlambatan, dalam hal ini Thaddeus &
Maine (1994) menyimpulkan bahwa keterlambatan dapat terjadi pada tiga
tahapan, yaitu (1) terlambat mengambil keputusan untuk mencari perawatan; (2)
terlambat mencapai fasilitas kesehatan; dan (3) terlambat mendapatkan perawatan
yang memadai. Thaddeus dan Maine menggunakan pendekatan “The three phases
of delay model”, yaitu model tiga keterlambatan terhadap kematian ibu.
Gambaran keterlambatan terhadap kematian ibu diuraikan pada kerangka
berikut ini.
Hambatan
Kebutuhan
Tiga Tahap
Keterlambatan
Persepsi terhadap kualitas
Keterjangkauan anggaran
formal dan informal
Pendidikan
Keterlambatan tahap I
Pengambilan keputusan
Keterlambatan tahap II
Budaya, agama, norma
masyarakat
Mengidentifikasi dan
mencapai fasilitas
yang memadai
Ketersediaan dan
keterjangkauan dukun
melahirkan dan persalinan
di rumah
Menerima perawatan
yang memadai dan
sesuai
Terlambat tahap III
Hambatan biaya dan jarak
perjalanan
Hambatan
Ketersediaan
Upah, ketersediaan tenaga
kesehatan yang berkualitas
Kualitas/kebersihan fasilitas
kesehatan
Ketersediaan
obat-obatan dan perlengkapan
yang berkualitas
Komunikasi informasi
kesehatan
Lokasi dan jadwal pelayanan
fasilitas kesehatan
Kematian ibu
Gambar 2.2 Tiga Tahap Keterlambatan (The three phases of delay)
(Thaddeus & Mane, 1994)
Cham, dkk (2005) mengungkapkan keterlambatan dapat terjadi berkisar
antara dua jam sampai lima hari. Beberapa alasan yang dikemukakan berupa
Universitas Sumatera Utara
meremehkan keparahan komplikasi, keyakinan budaya atau pengalaman yang
tidak menguntungkan sebelumnya dengan sistem kesehatan. Gil-Gonzalez, dkk
(2006) menelaah bahwa struktur makro keterlambatan pada tahapan pertama
adalah kontribusi variabel sosial ekonomi, budaya dan politik. Tingkat pendapatan
perkapita, pekerjaan formal, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi, integrasi dan
dukungan budaya, dan kritikan terhadap budaya merupakan faktor-faktor yang
turut memengaruhi.
Waisha, dkk (2012) menganalisis determinan keterlambatan di rumah,
menuju fasilitas dan penanganan di rumah sakit. Tanzin, dkk (2013)
mengemukakan tiga keterlambatan yang berkontribusi terhadap kematian ibu.
Pertama keterlambatan di rumah dalam mencari pelayanan kesehatan; kedua
keterlambatan
transportasi
keterlambatan
mendapatkan
rujukan
dan
penanganan
terbatasnya
karena
biaya;
dan
ketidaksiagaan
ketiga
spesialis,
pengobatan dan ketersediaan darah.
Ketiga keterlambatan berkaitan dengan faktor jarak tempuh, biaya dan
kualitas perawatan terutama di negara berkembang. Di daerah pedesaan wanita
yang mengalami gawat kebidanan hanya mampu mengakses pelayanan kesehatan
dasar dengan kompetensi petugas yang terbatas. Selanjutnya terlambatnya
penanganan juga dipengaruhi oleh kurangnya ketersediaan sarana obat dan darah,
kesalahan manajemen klinis dan administrasi. Dalam rangka usaha menurunkan
kematian ibu penting menitikberatkan pada strategi memobilisasi dan adaptasi
sumber daya yang tersedia.
Universitas Sumatera Utara
Studi ini, diarahkan dalam menggali kontribusi keterlambatan terhadap
kematian ibu, lebih jauh menelaah mengapa keterlambatan bisa terjadi. Konteks
budaya Aceh dilihat bagaimana peran-peran anggota keluarga dalam pengambilan
keputusan, keterlibatan ibu dan pasangan dalam menentukan tempat dan penolong
persalinan, dan persepsi keluarga terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia.
2.1.4
Keberlangsungan Hidup (Pathway to Survival)
Berkaitan dengan uraian sebelumnya tentang determinan kematian ibu
yang memfokuskan adanya kontribusi determinan kontekstual dan determinan
keterlambatan, selanjutnya Waldman, dkk (1996) dalam strategi menurunkan
kematian ibu dan anak mengembangkan “pathway to survival” atau kerangka
keberlangsungan hidup yang menekankan pada dua tahapan penting. Tahapan di
“rumah tangga atau keluarga” dan tahapan “di luar rumah tangga”. Kerangka kerja
ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 di Tanzania dan Uganda,
selanjutnya lebih dari 100 negara mengadopsi strategi dan memperoleh
pengalaman yang signifikan dalam pelaksanaannya (WHO, 2005)
Berkaitan dengan upaya menekan risiko kematian ibu dan meningkatkan
survival,
beberapa
aspek
mendasar
perlu
menjadi
perhatian
dalam
mengembangkan intervensi kesehatan ibu. Kerangka kerja keberlangsungan hidup
meliputi beberapa tahapan penting, dimulai perawatan di rumah tangga, pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan. Pada setiap tahapan sangat dipengaruhi oleh aspek
sosial budaya keluarga dan dukungan sosial masyarakat serta sistem kesehatan
(Waldman, dkk, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Manajemen kasus di rumah membutuhkan beberapa langkah penting, yaitu
mengenal tindakan perawatan, memberikan perawatan yang tepat, mencari
perawatan yang tepat bila diperlukan, menyediakan perawatan lanjutan atau
pemulihan setelah menerima bantuan dari luar dan mengenali kebutuhan untuk
perawatan tindak lanjut jika kondisi memburuk. Prinsip utama adalah pemahaman
keluarga dan masyarakat akan masalah kesehatan, determinan yang memengaruhi
tingkat pengetahuan keluarga dan dukungan masyarakat. Intervensi dikembangkan
kearah komunikasi yang efektif dengan memperhatikan isi, strategi penyampaian
dan kemampuan penerimaan (Waldman, dkk, 1996).
Aspek kedua berupa kualitas perawatan yang diberikan oleh keluarga.
Determinan yang memengaruhi adalah pemberian perawatan yang tepat,
pengetahuan, ketersediaan alat dan obat, dan kemampuan memberikan keputusan
perawatan yang tepat. Mengatasi masalah ini beberapa intervensi yang
direkomendasikan adalah bimbingan kemampuan tekhnis melakukan perawatan di
rumah sesuai dengan masalah kesehatan dan ketersediaan sumber daya, penilaian
kebutuhan dan ketersediaan alat dan obat, komunikasi efektif, penguatan dan
memfasilitasi (Waldman, dkk, 1996; WHO, 2005).
Perawatan antara rumah dan luar rumah berupa mencari perawatan di luar
dan memberikan perawatan lanjutan setelah mendapatkan saran perawatan
lanjutan. Pada tahapan ini strategi komunikasi yang efektif dengan melibatkan
keluarga dan masyarakat penting sekali untuk meningkatkan kesadaran dan
pengambilan keputusan yang tepat untuk mencari perawatan lanjutan di fasilitas
kesehatan. Berkaitan dengan perawatan di luar rumah, determinan yang
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi adalah pengetahuan memahami kebutuhan perawatan, dimana
mendapatkan pertolongan dan perawatan apa yang paling tepat, disamping
masalah keterjangkauan dan pengambilan keputusan. Intervensi dikembangkan
melalui komunikasi efektif, identifikasi pilihan untuk menjangkau perawatan yang
tepat dan menganalisis sistem keluarga dalam mengambil keputusan (Waldman,
dkk, 1996).
Perawatan kasus di fasilitas kesehatan membutuhkan kompetensi petugas
dan ketersediaan sarana yang berkualitas serta informasi untuk rujukan dan
perawatan lanjutan di rumah. Kualitas perawatan yang diberikan oleh petugas di
fasilitas kesehatan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, ketrampilan
dan
motivasi serta ketersediaan obat esensial. Intervensi berupa pelatihan yang efektif,
supervisi,
komunikasi
efektif
dan
pengadaan
obat
esensial
dengan
mengembangkan berbagai sumber pendanaan (Waldman, dkk, 1996).
Aspek selanjutnya adalah referral atau rujukan, meliputi keterjangkauan,
memahami kebutuhan rujukan, pengalaman keluarga dan masyarakat terhadap
fasilitas rujukan, pembiayaan baik waktu dan sumber daya. Intervensi dilakukan
dengan meningkatkan keterjangkauan fasilitas rujukan dan pemberdayaan. Aspek
yang terakhir sebagai keberlanjutan perawatan, yaitu pendidikan kesehatan oleh
petugas terhadap keluarga dan masyarakat untuk memberikan perawatan lanjutan
di rumah dengan memberikan penguatan, komunikasi efektif dan konseling
(Waldman, dkk, 1996).
Pada tahapan di rumah maupun sistem di luar rumah keluarga dihadapkan
pada pengambilan keputusan yang tepat yang turut dipengaruhi oleh karakteristik
Universitas Sumatera Utara
individu, keluarga serta dukungan pendanaan yang tersedia dalam rumah tangga,
dukungan sosial dan sistem jaminan sosial dan kesehatan yang dikelola oleh
negara (Waldman, dkk, 1996). Selaras dengan hal tersebut, Bryce, dkk, (2005)
memfokuskan
pentingnya
ketersediaan
fasilitas
kesehatan
yang mampu
menggunakan berbagai potensi dan pendekatan berbasis masyarakat dengan
mengembangkan epidemiologi lokal.
Langkah-langkah integrasi antara perawatan di rumah dan di luar rumah
tersebut diuraikan pada gambar berikut ini:
D
A
L
A
M
R
U
M
A
H
L
U
A
R
R
U
M
A
H
Menyusui,
Menyusui,
penyapihan,
penyapihan,
kebersihan
kebersihan
dan perilaku
dan perilaku
hidup sehat
hidup sehat
SEHAT
SAKIT
Mengenal
perawatan
Perawatan
yang tepat
Menberi
Menberi
perawatanl
Perawatan
anjutan
lanjutan
ANC
Immunisasi,
sanitasi/air
bersih dan
pelayanan
pencegahan
di
masyarakat
Mencari
perawatan
di luar
Pelayanan
masyarakan
informal
Pelayanan
public &
privat
Meningkat
kesehatan &
survival
hidup
Petugas
memberikan
perawatan
berkualitas
Bersedia
dirujuk
Fasilitas
rujukan
Petugas
memberikan
perawatan
berkualitas
Gambar 2.3 Pathway to Survival (WHO, 2005; Waldman, dkk, 1996)
Universitas Sumatera Utara
2.2 Pengembangan Hipotesis dan Model Empirik
2.2.1
Model Otopsi Sosial Determinan Kematian Ibu
Fakta yang paling menjolok tentang sejarah manusia adalah diversitas
bentuk-bentuk sosial yang dihasilkan oleh orang-orang dari tipe genetik yang
sama maupun berbeda. Diversitas dimungkinkan karena manusia belajar melalui
sarana budaya. Hidup sesuai dengan alam, berarti hidup dalam kultur atau
kebudayaan. Ilmu sosial telah menunjukkan dua peran yang dijalankan budaya
bagi kehidupan sosial; pertama, kultur memberi makna bagi sebagian besar
manusia melalui agama; kedua, kultur memberi aturan tindakan sosial. Tanpa
aturan akan mustahil bagi manusia di dalam masyarakat untuk memahami satu
sama lain. Agama-agama di dunia pada umumnya memiliki sebagian besar aturan
kehidupan sehari-hari (Outhwaite, 2008).
Berdasarkan uraian diatas, evolusi definisi kesehatan wanita dan kesehatan
reproduksi juga berkembang dari waktu ke waktu mengikuti perubahan sosial.
Pada awalnya kesehatan wanita hanya mencakup kesehatan fisik dan biologis.
Pandangan saat ini, kesehatan wanita merupakan kesehatan yang menyeluruh
meliputi fisik, faktor biologis, usaha pencegahan dan kesejahteraan sosial.
Perkembangan kesehatan wanita menuntut keterpaduan berbagai disiplin
keilmuan, pemenuhan hak terhadap pelayanan kesehatan dan hak informasi
kesehatan. Berkaitan dengan kesejahteraan sosial, kesehatan wanita mencakup
adanya dukungan, hubungan sosial, dan identitas budaya (Goldman & Hatch,
2004)
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut, Hogue (2004), menegaskan bahwa jenis kelamin, ras dan
tingkat sosial merupakan penyebab masalah kesehatan yang perlu diperhitungkan.
Wanita dari kelompok minoritas “dua kali lebih berisiko”, sedangkan wanita
minoritas dan miskin “tiga kali lebih berisiko” mengalami berbagai outcome
kesehatan. Status kesehatan wanita berhubungan dengan gender, ras/etnik dan
kelas/tingkat sosial. Berdasarkan uraian Hogue (2004) permasalahan kematian ibu
di Provinsi Aceh dapat ditinjau dari perbedaan ras/etnik.
Provinsi Aceh terdiri dari beberapa etnik, antara lain Etnik Aceh yang
terbanyak menempati wilayah pesisir, Etnik Gayo, Etnik Alas dan Kluet di
sebagian daerah pegunungan, Etnik Aneuk Jamee di pesisir selatan, Etnik Simelue
di Kepulauan Simeulue, dan Melayu Tamiang di perbatasan Sumatera Utara.
Perbedaan etnik dapat terlihat dari bahasa, adat-istiadat dalam kegiatan sosial
budaya. Etnik Aceh yang masih sangat kental mempertahankan tradisinya adalah
penduduk yang tinggal di Wilayah Pase, yaitu wilayah tempat pertama masuk dan
berkembangnya Agama Islam. Berkaitan dengan kesehatan reproduksi, jumlah
kasus kematian di Provinsi Aceh pada tahun 2014 menggambarkan karakteristik
yang khas, artinya dari 149 kasus kematian yang dilaporkan dominasi terjadi di
kabupaten dengan penduduk sebagian besar etnik Aceh, diikuti Alas, Kluet,
Melayu Tamiang, Gayo, dan yang terendah adalah Aneuk Jamee dan Simelue
(Dinas Kesehatan, 2014).
Berdasarkan paparan data tersebut memberikan informasi awal untuk
digali berbagai gejala-gejala budaya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Wilayah Pase dalam sejarah sebagai daerah pusat masuk dan berkembangnya
Universitas Sumatera Utara
Agama Islam memberikan warna budaya yang sarat dengan nuansa spiritual dan
religi yang ditampilkan dari persepsi sosial budaya terhadap peran wanita dalam
reproduksi, peran laki-laki sebagai kepala keluarga. Pengaruh ajaran agama dapat
terlihat dari pandangan terhadap kontrasepsi, usia reproduksi, jumlah anak, jenis
kelamin. Disisi lain, konflik yang berkepanjangan dan bencana Tsunami juga
secara tidak langsung memengaruhi persepsi tentang reproduksi. Menyimak
sebuah syair yang sering didendangkan oleh ibu yang meninabobokan anaknya,
terkandung pesan moral dan harapan meningkatkan jiwa kepahlawanan melawan
ketidakadilan dan penjajahan.
Praktek budaya pada etnik Aceh menunjukkan modal sosial yang
potensial, terutama besarnya peran keluarga memberikan perhatian terhadap
pasangan baru. Wanita yang baru menikah tetap tinggal bersama keluarganya
sampai mandiri mengurus anak pertamanya. Dari satu sisi, hal ini merupakan
sarana transfer ketrampilan dan pola-pola kebiasaan yang akan membawa ciri
budaya pada keluarga dan keturunannya. Sisi lain, budaya ini melemahkan
kemandirian keluarga terutama kepada keluarga muda, bahkan dalam kehidupan
selanjutnya selalu membutuhkan dukungan keluarga besar dalam mengambil
keputusan, termasuk menentukan jumlah anak.
Ditinjau dari peran wanita etnik Aceh dalam menjalankan adat istiadat
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, terlihat begitu besarnya kepercayaan
yang diberikan oleh tokoh masyarakat terhadap wanita. Wanita berperan dari
mulai menilik calon pengantin “cah rot” atau “meujarom”, selanjutnya melamar
Universitas Sumatera Utara
“meulakee”,
“meutanggoh”
atau
bertunangan
sampai
pesta
pernikahan
“meukeureuja” (Nyak Pha, 1987).
Selanjutnya pada fase kehamilan “yoh mumee” mulai dari adat “ba boh
kayee” atau “ba meulinum” yaitu mengantarkan buah-buahan dan makanan
kepada pihak isteri yang sedang hamil sampai kepada proses kelahiran bayi, peran
wanita menjalankan adat-istiadat sangatlah dominan. Pihak laki-laki hanya
diberikan beban memikul biaya yang timbul akibat dilaksanakan adat-istiadat
tersebut (Nyak Pha, 1987).
Berkaitan dengan determinan kontekstual terhadap kematian ibu, Bhalotra
(2010) menyoroti tentang keterkaitan antara kemiskinan dan keberlangsungan
hidup. Beberapa survei sebelumnya mengindikasikan bahwa Provinsi Aceh
termasuk daerah miskin ditandai dengan nilai IPKM dan dikategorikan sebagai
DBK. Penelitian Fernandez, dkk (2010) dan Adhikari (2010) menegaskan bahwa
risiko kematian ibu lebih tinggi pada kelompok minoritas dan etnik dengan tingkat
fertilitas yang tinggi. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
praktek reproduksi pada sebuah etnik terbentuk dari nilai-nilai yang dianggap baik
di dalam kelompok, yang ditinjau dari keberlangsungan keturunan dan kepatuhan
menjalankan perintah agama.
Determinan antara kematian ibu merupakan faktor predisposisi komplikasi
obstetrik. Status kesehatan ibu berupa status gizi te