Model Otopsi Sosial Berbasis Budaya Aceh Dalam Mengatasi Kematian Ibu Di Provinsi Aceh (Studi Di Kabupaten Aceh Utara)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Banyak negara termasuk Indonesia tidak dapat mencapai target Millenium
Development Goals (MDGs) khususnya tujuan kelima meningkatkan kesehatan
ibu (WHO, 2014). Sampai tahun 2015 Angka Kematian Ibu (AKI) secara global
berada pada angka 216 per 100.000 kelahiran hidup, demikian juga di negaranegara sedang berkembang AKI masih berkisar 240 (WHO, 2016). Selanjutnya
kebijakan global MDGs diteruskan melalui Sustainable Development Goals
(SDGs), yaitu mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 70 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2030 (United Nation, 2013; International, 2016).
Angka Kematian Ibu di Negara-negara Sub-Sahara Afrika, Asia Selatan,
Oceania berkisar antara 200 sampai 500, masih jauh dari target, sedangkan di
negara-negara Afrika Utara, Amerika Latin, Asia Barat, Kaukasus, Asia Tengah
dan Asia Timur AKI sudah mampu ditekan di bawah 100 (United Nation, 2013;
WHO, 2016). Penurunan AKI di dunia antara tahun 1990 sampai tahun 2010
mencapai 47 persen. Tertinggi di Asia Timur mencapai 69 persen, yaitu dari 410
menjadi 150. Negara Afrika Utara menurunkan 66 persen, dari 230 menjadi 78,
sedangkan Asia Selatan mencapai 64 persen, yaitu dari 590 menjadi 220 (United
Nation, 2013).
Angka Kematian Ibu di negara berkembang 14 kali lebih tinggi

dibandingkan negara maju, yaitu mencapai 230, hal ini dikarenakan tingkat
pendapatan yang rendah, praktek budaya yang kurang menguntungkan, kualitas

Universitas Sumatera Utara

pelayanan kesehatan dasar dan kebijakan kesehatan. Negara-negara di Afrika
menyumbang 62 persen atau 179.000 kasus kematian ibu dari 289.000 total
kematian ibu di dunia pada tahun 2013 atau 510 per 100.000 kelahiran hidup,
diikuti oleh Asia Selatan menyumbang 24 persen atau 69.000 kematian ibu.
Negara penyumbang sepertiga kematian ibu di dunia adalah India sebesar 17
persen diikuti Nigeria 14 persen. Sierra Leone memiliki AKI tertinggi, yaitu 1.100
per 100.000 kelahiran hidup. Estimasi risiko kematian ibu di negara-negara
berpenghasilan tinggi adalah 1 dari 3.400, dibandingkan dengan negara-negara
berpenghasilan rendah perbandingan risiko 1 dari 52 (WHO, 2014).
United Stated Agency for International Development’s (USAID)
mengklasifikasikan AKI menjadi 5 kategori, yaitu: antara 160 sampai 210, antara
211 sampai 280, antara 281 sampai 360, antara 361 sampai 420 dan lebih dari
420 per 100.000 kelahiran hidup di 24 negara yang menjadi prioritas intervensi
kesehatan ibu dan anak, yaitu Negara-negara Afrika, Asia, Yaman, Amerika Latin
dan Karibia. Negara Indonesia, Bangladesh, India, Pakistan, Nepal menempati

kategori kematian ibu antara 160-210 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan
Negara Liberia, Mali. Nigeria, Sudan, Mozambique, Madagaskar dan Democratic
Republic of the Congo adalah 7 negara dengan kategori kematian lebih 420 per
100.000 kelahiran hidup. Ethiopia, Tanzania, Ghana, Kenya dan Haiti termasuk 5
negara dalam kategori kematian ibu antara 361–420 per 100.000 kelahiran hidup
(USAID, 2014).
Indonesia menetapkan target penurunan AKI dari 390 tahun 1991 menjadi
102 tahun 2015 (Stalker, 2008; Bappenas, 2010). Tantangan berat yang dihadapi

Universitas Sumatera Utara

berupa peningkatan AKI menjadi 359 pada tahun 2012 (SDKI, 2012). Pada survei
sebelumnya, yaitu SDKI 2007 AKI telah mampu ditekan menjadi 228 per 100.000
kelahiran hidup (Badan Pusat Statistik, 2007; 2012). Berkaitan dengan target
MDGs yang belum dicapai maka kebijakan global dilanjutkan melalui Sustainable
Development Goals (SDGs) yang menetapkan target menurunkan AKI menjadi 70
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Data Statistik Kesehatan Dunia
Tahun 2014 menunjukkan AKI di Indonesia berada pada 190 per 100.000
kelahiran hidup (WHO, 2014). AKI merupakan salah satu tolok ukur utama dalam
penilaian keberhasilan sistem kesehatan di suatu negara, sehingga tantangan ini

membutuhkan perbaikan secara menyuluruh dalam sistem intervensi kesehatan ibu
dan anak, baik di hulu maupun di hilir (Trisnantoro, 2014).
Tantangan kesehatan ibu mendorong pelaksana pelayanan dan pengambil
kebijakan untuk merubah paradigma penyelesaian masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia ke arah yang lebih spesifik, sehingga akan menciptakan intervensi
yang spesifik. Saat ini berbagai program dan intervensi kesehatan masih dilandasi
dan mengedepankan pendekatan logika dan rasional, sehingga dirasa perlu dan
penting untuk menggali dan mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara
untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Kajian kematian ibu dari sisi
upaya medis sudah banyak dilakukan (Al Seroure, dkk, 2009; Walraven, dkk,
2000), sementara aspek non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap
atstus kesehatan ibu (Waisha, dkk, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Pendekatan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan.
Faktor non medis tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan
dimana mereka berada, sehingga dibutuhkan kreatifitas dan inovasi pemecahan
masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing-masing daerah.
Usaha menggali dan menyingkap kembali nilai-nilai yang sudah tertimbun perlu

terus ditumbuhkembangkan agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan
kesehatan ibu dan anak. Waisha, dkk (2012) mengungkapkan bahwa faktor non
biologis yang berkontribusi terhadap kematian ibu tidak dapat digali melalui
“otopsi verbal”, namun dibutuhkan “otopsi sosial” yaitu wawancara mendalam
yang mampu menggali pengaruh sistem sosial, perilaku dan kesehatan sebagai
penentu kematian.
Pendekatan

otopsi

sosial

merupakan

bentuk

kajian

yang


terus

dikembangkan, terutama di negara sedang berkembang, karena salah satu
determinan kematian ibu adalah masalah psikososial dan budaya. Otopsi dapat
diartikan sebagai tindakan pemeriksaan jenazah yang diduga disebabkan oleh hal
tidak wajar, sedangkan otopsi sosial adalah proses wawancara yang bertujuan
untuk mengidentifikasi kontribusi sosial perilaku dan hambatan sistem kesehatan
terhadap kematian (Kalter, dkk, 2011).
Beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan pendekatan otopsi
sosial menemukan hal-hal spesifik dari pola-pola budaya masyarakat setempat
terhadap kematian (Rahman, dkk, 2014; Nyuki, dkk, 2014). Pelaksanaan otopsi
sosial membutuhkan keterpaduan data (Guirguis-Younger, dkk, 2006). Penelitian
Rahman, dkk (2014); Nyuki, dkk (2014) dan Guirguis-Younger, dkk (2006)

Universitas Sumatera Utara

menjadi pijakan awal terhadap penelitian yang peneliti lakukan. Salah satu
penelitian otopsi sosial pada kematian ibu di Bangladesh meneliti kontribusi faktor
sosial, ekonomi, budaya dan sistem kesehatan terhadap tingginya kematian ibu
yang mengalami leishmaniasis visceral atau dalam bahasa daerah di Asia Selatan

dikenal dengan sebutan Kala-azar atau “demam hitam” (Rahman, dkk, 2014).
Penelitian dengan metode kualitatif mengungkapkan fakta bahwa wanita
yang mengalami Kala-azar, yaitu infeksi protozoa Leishmania Donovani yang
ditularkan oleh lalat penghisap darah dengan gejala demam, pembengkakan limpa
dan anemia lebih terlambat mendapatkan penanganan perawatan dibandingkan
laki-laki, sehingga pada kebanyakan kasus berakhir dengan kematian janin dan
ibu. Faktor yang berkontribusi antara lain hambatan geografi, kesulitan
transportasi, kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan praktek budaya
berupa menunggu keputusan laki-laki (Rahman, dkk, 2014).
Guirguis-Younger, dkk (2006) melakukan penelitian otopsi sosial terhadap
kelompok tuna wisma. Penelitian ini mencoba membangun sebuah keterpaduan
data dan informasi dari berbagai pihak, yaitu petugas rumah sakit, pekerja sosial
dan komunitas tuna wisma. Tingginya prevalensi HIV-AIDS di Kenya,
mendorong Nyuki, dkk (2014) meneliti perilaku mencari pelayanan kesehatan
pada wanita penderita positif HIV. Penelitian ini mengungkapkan bahwa pada
wanita positif HIV yang berpenghasilan rendah, sangat kecil peluang menjangkau
pelayanan kesehatan dibandingkan yang berpenghasilan cukup. Faktor yang turut
berkontribusi terhadap lambatnya mencari pengobatan adalah faktor sosial
ekonomi antara lain kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit,


Universitas Sumatera Utara

hambatan biaya dan transportasi ke fasilitas kesehatan, keragaman pengobatan,
stigma, persepsi negatif terhadap penderita, kurangnya dukungan keluarga dan
sistem kesehatan.
Selaras dengan hasil penelitian Rahman, dkk (2014) Guirguis-Younger,
dkk (2006), dan Nyuki, dkk (2014) yang memfokuskan pada metode otopsi sosial,
maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan metode ini didorong oleh multi
dimensi dan luasnya determinan suatu outcome kesehatan. Lebih lanjut Kalter,
dkk (2011) melakukan studi literatur terhadap 8 artikel kematian ibu dan 14
artikel kematian anak dengan menganalisis Odds Ratio (OR) perilaku mencari
perawatan melalui pendekatan otopsi verbal dan otopsi sosial.
Kalander, dkk (2011) mengungkapkan hasil penelitiannya tentang
investigasi terhadap penyebab dan faktor yang berkontribusi terhadap kematian
neonatal dan anak di bawah lima tahun di Uganda, Dodowa dan Ghana. Kalander,
dkk melakukan investigasi selama 12 sampai 18 bulan sehingga menemukan
bahwa keterlambatan di rumah tangga adalah kendala utama untuk mendapatkan
pengobatan yang tepat. Keterlambatan di rumah terjadi karena kurang mengenal
tanda dan gejala penyakit, tidak mencari perawatan dan rujukan. Investigasi
menemukan aspek-aspek gender dalam pengambilan keputusan seperti menunggu

keputusan suami, tanggung jawab tugas rumah tangga, persepsi terhadap penyakit
dan fasilitas perawatan, kemiskinan, dan jarak tempuh ke fasilitas kesehatan.
Perawatan di rumah menjadi pilihan karena keyakinan mencoba pengobatan
tradisional, pertimbangan biaya, dan tidak ada sumber daya dalam perawatan di
luar rumah.

Universitas Sumatera Utara

Beberapa penelitian menggunakan pendekatan otopsi sosial menelaah
berbagai masalah kesehatan di masyarakat sebagai upaya menemukan akar
masalah, sehingga dapat memberikan rekomendasi terhadap perbaikan program
dan intervensi kesehatan. Implementasi otopsi sosial berkaitan dengan usaha
pencegahan dan evaluasi. Investigasi dirancang untuk mengevaluasi dampak
positif atau negatif dari program dan kebijakan baru pada pola kematian. Pada
intinya Guirguis-Younger, dkk (2006) dan Kalter, dkk (2011), mengemukakan
pandangan bahwa otopsi sosial dapat digunakan untuk meneliti kontribusi variabel
sosial, karakteristik individu, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan yang
menyebabkan kematian. Dari sudut pandang evaluasi program, otopsi sosial dapat
dianggap sebagai jenis penilaian kebutuhan mengidentifikasi faktor-faktor yang
dapat diatasi melalui program dan kebijakan kesehatan.

Selaras dengan target MDGs khususnya tujuan kelima, berbagai literatur
mengemukakan kontribusi determinan sosial, ekonomi dan budaya terhadap
kematian ibu.

Bhalotra (2010) menyoroti keterkaitan antara kemiskinan dan

keberlangsungan hidup. Blass, dkk (2011); Wilkinson & Marmot, (2003)
menekankan determinan sosial terhadap kesehatan. McCarthy & Maine (1992)
menyoroti dari sisi contexstual determinant, intermediate determinant dan
proximate determinant. Thaddeus & Maine (1994) menelaah tahap keterlambatan.
Winkelman (2009) memaparkan keterkaitan budaya terhadap kesehatan.
Berdasarkan telaah teori dan konsep tersebut dapatlah disimpulkan bahwa
determinan kematian ibu merupakan hal yang komplek dan multi faktor.

Universitas Sumatera Utara

Beberapa penelitian sebelumnya turut memperkuat argumentasi tentang
multi faktor penyebab kematian ibu, antara lain penelitian tentang determinan
struktur makro terhadap kematian ibu (Gil_Gonzalez, dkk, 2006). Tanzin, dkk
(2013) menemukan 50 persen keterlambatan karena ketidakmampuan membayar

biaya perawatan dan transportasi. Cham, dkk (2005) mengungkapkan beberapa
alasan keterlambatan adalah berupa mengabaikan keparahan komplikasi,
keyakinan budaya dan pengalaman tidak menguntungkan terhadap sistem
kesehatan.
Adhikari (2010) menemukan tingginya fertilitas pada wanita Nepal
didorong oleh adanya budaya bahwa anak merupakan lambang status sosial dan
ekonomi keluarga. Budaya ini mendororong terjadinya pernikahan usia muda dan
tingginya paritas. Marchie (2012) mengungkapkan bahwa 7 faktor sosial budaya
yang berhubungan dengan kematian ibu antara lain tingkat pendidikan, status
ekonomi, akses ke layanan kesehatan, pernikahan dini/awal melahirkan anak,
mutilasi genital (khitan perempuan), kemampuan wanita dalam pengambilan
keputusan dan adanya pelayanan kebidanan tradisional. Penelitian Adhikari dan
Marchie menegaskan bahwa reproduksi bukan terbatas pada hubungan biologis,
namun ada nilai sosial budaya yang turut memengaruhinya.
Winkelman (2009) memaparkan model sistem sosial budaya yang
memengaruhi kesehatan. Tidak ada suatu perilaku atau tindakan individu atau
sekelompok di dalam masyarakat tanpa dilatarbelakangi oleh proses mental atau
kebudayaan. Kebudayaan akan mengarahkan, menentukan dan memengaruhi polapola tindakan serta perilaku dalam masyarakatnya. Praktek-praktek reproduksi

Universitas Sumatera Utara


yang dijalankan oleh pasangan dalam sebuah keluarga memperlihatkan gejala
sosial budaya. Pandangan ini diperkuat oleh McCarthy dan Maine (1992) yang
menegaskan faktor sosial, ekonomi dan budaya sebagai determinan kontekstual
kematian ibu.
Fernandez, dkk (2010) membuktikan risiko kematian ibu pada kelompok
minoritas dan etnik tertentu. Adhikari (2010) mengemukakan bahwa tingkat
fertilitas yang tinggi disumbangkan oleh faktor usia pertama menikah, persepsi
jumlah anak ideal dalam keluarga, terbatasnya informasi, status kesehatan dan
pengalaman anak sebelumnya meninggal. Berdasarkan pandangan McCarthy dan
Maine (1992), Fernandez dan Adhikari (2010) dapat disimpulkan bahwa praktek
reproduksi pada sebuah etnik terbentuk dari nilai-nilai yang dianggap baik di
dalam kelompok mereka. Nilai kebaikan dapat ditinjau dari keberlangsungan
keturunan dan kepatuhan menjalankan perintah agama.
Wilkinson dan Marmot (2003) mengemukakan bahwa kesehatan
mengikuti tingkat sosial. Semakin tinggi tingkat sosial semakin survive, demikian
juga sebaliknya. Determinan sosial, ekonomi dan budaya memengaruhi kesehatan
melalui tiga mekanisme, yaitu keterbatasan materi, perilaku dan psikososial dalam
siklus hidup manusia (Blass, dkk, 2011). Rendahnya keberlangsungan hidup ibu
dalam proses reproduksi dapat diidentifikasi melalui tingkat keterjangkauan
pelayanan kesehatan, dukungan keluarga dan jaminan pelayanan kesehatan.
Keterbatasan pengetahuan, informasi dan pembiayaan dapat meningkatkan risiko
kematian (Bhalotra, 2010). Ahmed, dkk (2010) mengemukakan bahwa
pemanfaatan pelayanan kesehatan termasuk pemilihan kontrasepsi modren,

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan kehamilan berkualitas dan penolong persalinan trampil di negara
berkembang dipengaruhi oleh status ekonomi, pendidikan dan pemberdayaan
perempuan.
Selanjutnya analisis terhadap jarak dan waktu tempuh ke fasilitas
kesehatan sebelum terjadinya kematian dikemukakan oleh Thaddeus & Maine
(1994), dengan menggunakan pendekatan “The three phases of delay model” atau
tiga fase keterlambatan, yaitu terlambat mengambil keputusan, terlambat sampai
ke fasilitas kesehatan dan terlambat mendapatkan penanganan yang tepat. Lebih
lanjut Waisha, dkk, (2012) menganalisis determinan keterlambatan di rumah,
menuju fasilitas dan penanganan di rumah sakit. Gil-Gonzalez, dkk, (2006)
menegaskan struktur makro keterlambatan pada tahapan pertama adalah kontribusi
variabel sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Tanzin, dkk (2013) memaparkan tiga keterlambatan yang berkontribusi
terhadap kematian ibu yang berusia antara 25 sampai 27 tahun di India. Lima
puluh persen keterlambatan karena tidak mampu membayar biaya pengobatan dan
transportasi, 30 persen kematian di fasilitas kesehatan karena terlambat ditangani
spesialis dan ketiadaan donor darah, 20 persen terlambat dalam proses mencari
pelayanan. Cham, dkk (2005) mengungkapkan keterlambatan dapat terjadi
berkisar antara dua jam sampai lima hari, dengan alasan mengabaikan keparahan
komplikasi, keyakinan budaya dan pengalaman yang tidak menguntungkan
terhadap sistem kesehatan.
Selaras dengan pandangan tersebut, Bryce, dkk (2005) dan Waldman, dkk
(1996) mengembangkan “pathway to survival” atau kerangka keberlangsungan

Universitas Sumatera Utara

hidup dengan mengurangi risiko akibat keterlambatan. Sebuah kerangka berfikir
dan intervensi meminimalkan risiko kematian melalui keterpaduan manajemen
penanganan kasus di rumah tangga maupun di fasilitas kesehatan dasar dan
rujukan. Intervensi menekankan pada dua tahapan penting; pertama di rumah
tangga atau keluarga; kedua tahapan di luar rumah tangga. Pada setiap tahapan
sangat dipengaruhi oleh aspek sosial budaya keluarga dan dukungan sosial
masyarakat serta sistem kesehatan.
Kalter, dkk (2011) menelaah morbiditas dan mortalitas pada ibu dan anak
menggunakan pendekatan “Pathway to survival models” tersebut. Di Indonesia
intervensi ini telah diperkenalkan melalui Program Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS), yaitu keterpaduan penanganan kasus yang melibatkan sumber daya
di rumah tangga dan fasilitas kesehatan yang tersedia. Waldman, dkk (1996)
menekankan pentingnya keterpaduan perawatan di rumah dan di luar rumah untuk
meningkatkan keberlangsungan hidup. Bryce, dkk (2005) berpendapat pentingnya
fasilitas kesehatan mengelola berbagai potensi dan pendekatan berbasis
masyarakat serta mengembangkan epedimiologi lokal.
Selaras dengan pandangan McCarthy & Maine, (1992) yang menegaskan
determinan sosial, ekonomi sebagai faktor kontekstual terhadap kematian ibu,
seharusnya sistem kesehatan memiliki data tentang perilaku kesehatan dan sosial
sebagai penentu kematian ibu. Kenyataannya tidak banyak negara memiliki data
dan informasi tersebut. Belum komprehensifnya pemanfaatan instrumen standar
dalam mengumpulkan dan mengintepretasikan informasi tentang penyebab
kematian sangat memengaruhi kelangsungan hidup ibu dan anak, sehingga sangat

Universitas Sumatera Utara

dibutuhkan kesadaran semua pihak terutama pelayanan kesehatan untuk terus
memanfaatkan dan mengembangkan sistem pelacakan kasus kematian baik dari
faktor medis maupun non-medis.
Kemampuan memperkirakan faktor penyebab dan faktor penentu kematian
merupakan langkah yang penting dalam merancang setiap program dan intervensi.
Salah satu strategi yang telah dikembangkan adalah surveilans respons. Menurut
WHO (2006), surveilans dibutuhkan untuk respons. Salah satu fungsi surveilans
adalah konfirmasi, yaitu melakukan penelitian epidemiologi dan laboratorium
guna mengetahui penyebab kematian. Surveilans respons terhadap kesakitan dan
kematian ibu dan anak dilaksanakan melalui Audit Maternal Perinatal (AMP).
AMP merupakan proses pembelajaran bersama mengidentifikasi kegagalan
intervensi kesehatan mencegah kematian ibu, pelaksanaannya menggunakan
otopsi verbal menggali masalah medis dan non medis yang berkontribusi terhadap
kematian ibu, dalam istilah lain disebut otopsi sosial.
Berkaitan dengan permasalahan kesehatan ibu dan anak pada tingkat
global, nasional maupun daerah, masalah disparitas akses pelayanan kesehatan
tergambarkan dari perbedaan proporsi tempat atau lokasi kematian ibu. Daerah
tertinggal dominasi kematian terjadi di rumah, daerah dengan fasilitas yang telah
memadai kematian banyak terjadi di fasilitas kesehatan (Trisnantoro, 2014). Salah
satu Provinsi di Indonesia yang mempunyai permasalahan kesehatan yang cukup
tinggi adalah Provinsi Aceh. Aceh sebagai provinsi khusus yang memadukan
hukum formal dan Hukum Islam, serta adanya partai politik lokal serta
keistimewaan adat dan budaya. Berkaitan dengan adat dan budaya masyarakat di

Universitas Sumatera Utara

Provinsi Aceh, sebagian besar masyarakatnya adalah etnik Aceh, terutama di
sebagian wilayah pesisir. Sedangkan pada wilayah pegunungan mayoritas
masyarakatnya adalah etnik Gayo, Alas dan Kluet. Terdapat juga etnik MelayuTamiang, Aneuek Jamee dan Simeulue.
Secara nasional Aceh merupakan salah satu dari 10 provinsi dengan
Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Aceh yang terdiri dari 23 Kabupaten/Kota
masih dihadapkan pada masalah tingginya AKI yang terlihat dari nilai Indeks
Pelayanan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Berdasarkan nilai IPKM tersebut, lebih
dari 50 persen Kabupaten/Kota merupakan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK)
dengan kategori bermasalah berat dan miskin. Rendahnya nilai IPKM yang
merupakan komposit 24 indikator yang berkorelasi dengan kelangsungan hidup,
menggambarkan pelayanan kesehatan masyarakat yang belum optimal (Pusat
Promosi Kesehatan, 2011).
Dibandingkan indikator IPKM tahun 2007, IPKM tahun 2013 mengalami
perubahan menjadi 30 indikator. Skore IPKM Kabupaten/kota di Provinsi Aceh
pada tahun 2013 secara umum mengalami peningkatan, sehingga berdampak
terhadap peringkat IPKM. Salah satu kabupaten yang mengalami peningkatan
cukup tajam adalah Kabupaten Aceh Jaya, dari peringkat 410 naik menjadi 160.
Ditemukan 10 kabupaten/kota mengalami penurunan peringkat, salah satunya
adalah Kabupaten Aceh Timur dari peringkat 360 menjadi 399. Kabupaten Aceh
Utara sedikit mengalami peningkatan dari 389 menjadi 385 (Menteri Kesehatan
RI, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Menurut data profil kesehatan Aceh dan laporan kematian ibu beberapa
tahun terakhir, AKI di Aceh tidak dapat mencapai target MDG’s. Tahun 2010
AKI 193, tahun 2011 turun menjadi 158 dan tahun 2012 kembali naik menjadi 191
per 100.000 kelahiran hidup. Tahun 2013 dilaporkan 153 kematian ibu dan tahun
2014 dilaporkan 149 kematian ibu atau AKI berada pada 161 per 100.000
kelahiran hidup. Bila ditelusuri per kabupaten maka ditemukan beberapa
kabupaten yang memberikan kontribusi kematian ibu paling banyak, terutama
kabupaten dengan mayoritas penduduk etnik Aceh. Kabupaten Aceh Utara dengan
29 kematian ibu merupakan penyumbang terbanyak, diikuti Aceh Timur, Aceh
Tenggara dan Aceh Singkil masing-masing menyumbang 10 kematian ibu.
Menurut informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara tahun
sebelumnya telah mampu ditekan menjadi 15 dan 16 kematian ibu (Dinas
Kesehatan Provinsi Aceh, 2010; 2011; 2012; 2013; 2014).
Studi awal dengan melakukan kajian terhadap dokumen rekam jejak kasus
kematian ibu di Provinsi Aceh memperlihatkan sebagian besar kematian ibu
terjadi di rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Ditinjau dari
karakteristik wilayah, kematian ibu dominan terjadi di Kabupaten DBK.
Kabupaten Aceh Utara dengan 29 kematian ibu, diikuti Kabupaten Aceh Tenggara
dengan 10 kematian ibu, merupakan kabupaten kategori bermasalah berat dan
miskin. Kabupaten Singkil dan Aceh Timur juga menyumbang masing-masing 10
kematian ibu termasuk kabupaten kategori bermasalah dan miskin. Informasi ini
menegaskan bahwa kemiskinan merupakan faktor yang berkontribusi terhadap
kematian ibu (Bhalotra, 2010; Ahmed, dkk, 2010; Blass, dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan laporan kematian ibu di Provinsi Aceh tahun 2014 terlihat
dominasi kematian ibu terjadi pada kabupaten dengan penduduknya mayoritas
etnik Aceh, sedangkan sumber daya manusia relatif cukup, terutama rasio bidan
terhadap penduduk, telah mencapai 213 per 100.000 penduduk, telah melebihi
rasio yang ditetapkan yaitu 100 per 100.000 penduduk. Hal ini, mendorong
peneliti untuk menggali berbagai masalah sosial ekonomi dan budaya masyarakat
dan sistem pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang
diduga sebagai faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu.
Menelaah karakteristik kematian ibu, usia termuda 15 tahun dan tertua 45
tahun, 50 persen adalah multigravida atau kehamilan lebih dari 2 dan 16.7 persen
merupakan grandemultigravida yaitu kehamilan lebih dari 4. Salah satu gambaran
kematian ibu adalah ibu usia 41 tahun dengan riwayat hamil kedelapan
berkeinginan untuk mendapatkan kelahiran bayi dengan jenis kelamin tertentu.
Predisposisi tingginya paritas dan fertilitas pada usia berisiko mendorong peneliti
menggali lebih dalam tentang adanya keterkaitan budaya masyarakat dan pola
perilaku keluarga yang berkontribusi terhadap nilai dan jumlah anak dalam
keluarga, pada akhirnya dapat meningkatkan risiko kematian ibu.
Informasi awal yang diperoleh adalah persepsi terhadap harapan jenis
kelamin tertentu dan jumlah anak ideal lebih dari dua. Lebih jauh beberapa
informan mengungkapkan adanya hegemoni pasangan, kurang memahami usia
reproduksi sehat, harapan yang tinggi terhadap penerus keturunan dan pembawa
rejeki, kekhawatiran anak meninggal akibat sakit, konflik dan bencana,
pengalaman abortus dan anak sebelumnya meninggal. Sebuah hadih-maja

Universitas Sumatera Utara

(nasehat orang tua) yang diungkapkan sebagai pendorong pasangan untuk terus
berusaha memperbanyak keturunan adalah sebagaimana ungkapan “meuaneuk
lage boh cidieng, lage peurede trieng ngon bak meuria” yang bermakna
berkembangbiak seperti tanaman padi, seperti rumpun bambu dan rumbia.
Ditinjau dari periode kematian ibu, dominan terjadi pada masa persalinan
dan paska persalinan. Berkaitan dengan penanganan komplikasi dan rujukan,
ditemukan beberapa ibu menolak dirujuk sehingga berdampak terhadap
keterlambatan dan sebagian besar rujukan bersifat darurat karena komplikasi tidak
dapat dikenal lebih awal. Penggalian informasi terhadap tanda risiko kehamilan
beberapa informan mengungkapkan bahwa “basai” atau bengkak pada kaki
merupakan hal fisiologis. Mereka mengungkapkan bengkak pada kaki merupakan
tanda-tanda mau melahirkan, istilah yang berkembang adalah “paseung iee” atau
air pasang. Fakta ini menegaskan bahwa sebagian besar kasus kematian terlambat
mendapatkan penanganan di pelayanan kesehatan akibat adanya persepsi yang
berbeda terhadap gejala dan tanda risiko kehamilan.
Beberapa informan mengemukakan alasan menolak dirujuk antara lain tidak
mengenal tanda dan bahaya komplikasi kehamilan, kurangnya informasi tentang
jaminan sosial, tidak memiliki biaya terutama untuk keluarga yang menunggu
orang sakit, khawatir akan tindakan operasi, keyakinan bahwa persalinan
fisiologis akan terjadi bila saatnya telah tiba, tidak ada dukungan dari anggota
keluarga, pengambil keputusan sedang tidak berada di tempat.
Praktek budaya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang sampai
saat ini masih dijalankan oleh sebagian masyarakat etnik Aceh adalah anak

Universitas Sumatera Utara

perempuan yang baru menikah tetap tinggal bersama orang tuanya sampai
anaknya lahir dan berumur setahun. Keluarga muda masih membutuhkan
dukungan orang tua terutama dalam menjalankan ritual adat “ba meulinum”
“peusijuk lueng” “peusijuek peuraho” atau selamatan kehamilan tujuh bulan
sampai prosesi “peucicap” “tron tanoh” atau selamatan kelahiran (Nyak Pha,
1987).
Keluarga juga berperan menentukan tempat dan penolong persalinan
dengan pertimbangan telah berpengalaman. Suami bukanlah pihak yang dominan
dalam pengambilan keputusan tentang siapa penolong dan tempat persalinan
terutama pada proses kehamilan anak pertama, karena dianggap belum memiliki
pengalaman. Situasi ini memberikan rasa aman bagi pasangan baru, karena risiko
dari keputusan tidak mutlak dibebankan kepadanya, termasuk biaya perawatan.
Sampai proses kelahiran dan perawatan nifas keluarga menunjukkan peran yang
dominan, terutama ibu dan anggota keluarga yang lain akan memberikan
dukungan dalam bentuk perawatan “madeung” “sale” “tot batee” “giduek batee”
yaitu perawatan nifas, pantangan makan, pembatasan aktifitas sampai masa nifas
berakhir.
Praktek budaya yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan modern pada
etnik Aceh berkaitan dengan kesehatan reproduksi hingga saat ini masih
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari sebagai warisan dan pelajaran yang
diperoleh dari keluarga dan lingkungannya. Budaya muncul dari kebiasaan
manusia dalam bentuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat
istiadat sebagai anggota masyarakat yang diwarisi dan dipelajari dari

Universitas Sumatera Utara

lingkungannya yang pada akhirnya akan membentuk sifat manusia. Budaya
merupakan sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku bersama sekelompok orang,
dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Spencer-Oatey, 2012).
Studi ini dilandasi oleh kontroversi antara temuan teoritis dan empiris dari
berbagai kajian determinan kematian ibu dengan tingkat keberhasilan intervensi
kesehatan yang dicapai selama ini. Kontroversi yang terjadi dapat dikelompokkan
sebagai berikut: Research gap 1; beberapa konsep teori dan penelitian sebelumnya
menegaskan kontribusi faktor sosial, ekonomi dan budaya terhadap kematian ibu.
Sementara, studi empirik terhadap pelacakan kasus kematian ibu belum maksimal
mengeksplorasi keterkaitan sistem sosial dan budaya sebagai determinan yang
turut menentukan. Research gap 2, berbagai intervensi kesehatan ibu yang
diimplementasikan selama ini belum memperlihatkan hasil yang maksimal,
terutama pencapaian target penurunan AKI.
Intervensi di hulu berupa pemberdayaan keluarga dan masyarakat melalui
Desa Siaga, Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K),
antenatal care (ANC), dan intervensi di hilir berupa kebijakan tentang Puskesmas
Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Dasar (Puskesmas PONED), yaitu
dioperasionalkan 4 puskesmas PONED pada setiap kabupaten yang mampu
menjalankan pelayanan kedaruratan dasar terhadap kasus maternal dan neonatal.
Kebijakan Rumah Sakit Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif
(RS PONEK), yaitu rumah sakit di tingkat kabupaten yang mampu melayani
kedaruratan obstetrik termasuk tindakan pembedahan dan diteksi kasus kematian
melalui Audit Maternal Perinatal (AMP) belum juga memperlihatkan hasil

Universitas Sumatera Utara

penurunan yang menggembirakan. Dari uraian diatas penulis tertarik melakukan
penelitian tentang “Model Otopsi Sosial Berbasis Budaya Aceh dalam Mengatasi
Kematian Ibu di Provinsi Aceh: Studi di Kabupaten Aceh Utara”.
1.2 Rumusan Masalah
Tantangan utama Indonesia dalam bidang kesehatan ibu dan anak adalah
meningkatnya angka kematian ibu dari 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2007 menjadi 359 di tahun 2012. Target MDGs menurunkan AKI
menjadi 102 pada tahun 2015 tidak dapat dicapai berdasarkan Data Statistik
Kesehatan Dunia Tahun 2015 yang melaporkan AKI di Indonesia masih berada
pada 190 per 100.000 kelahiran hidup. Salah satu Provinsi di Indonesia yang
mempunyai permasalahan kesehatan dan dikelompokkan sebagai DBK adalah
Provinsi Aceh. Sampai saat ini trend penurunan kematian ibu yang terjadi belum
menggembirakan, yaitu 149 pada tahun 2014 atau AKI 161 per 100.000 kelahiran
hidup, dimana tahun sebelumnya dilaporkan 153 kematian ibu.
Berdasarkan kajian literatur dan studi empirik pada studi pendahuluan,
peneliti menemukan bahwa penelusuran kematian ibu yang dilakukan selama ini
kurang mengeksplorasi faktor sosial, ekonomi dan budaya, sementara beberapa
fenomena sosial budaya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi diduga
merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu. Disisi lain berbagai
intervensi KIA yang diimplementasikan selama ini belum mampu menurunkan
kematian ibu. Oleh sebab itu penelitian tentang otopsi sosial kematian ibu sangat
diperlukan untuk meningkatkan kesadaran semua pihak yang terlibat dalam usaha
kesehatan ibu dengan mengembangkan metode, prosedur pelacakan kematian ibu.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
“Intervensi

kesehatan

termasuk

penelusuran

kasus

kematian

yang

diimplementasikan selama ini belum mampu menekan kematian ibu di Provinsi
Aceh, sementara kuat dugaan bahwa fenomena sosial, ekonomi dan budaya pada
etnik Aceh merupakan faktor yang turut berkontribusi terhadap kematian ibu”.
Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah
sebagai berikut;
a. Mengapa kematian ibu masih terjadi di Provinsi Aceh?
b. Bagaimanakah pola dan determinan kematian ibu pada etnik Aceh?
c. Bagaimanakah peta kematian ibu pada etnik Aceh?
d. Determinan apa yang sangat berperan meningkatkan risiko kematian ibu pada
etnik Aceh?
e. Bagaimanakah model otopsi sosial berbasis budaya Aceh dalam mengatasi
kematian ibu di Provinsi Aceh?

1.3 Tujuan Penelitian
Membangun model otopsi sosial kematian ibu berbasis budaya Aceh
dalam mengatasi kematian ibu di Provinsi Aceh. Secara lebih khusus penelitian ini
bertujuan:
a. Mengetahui faktor yang berperan terhadap kematian ibu di Provinsi Aceh.
b. Menemukan pola dan determinan kematian ibu pada etnik Aceh.
c. Memetakan kematian ibu pada etnik Aceh.
d. Mengetahui risiko berbagai determinan kematian ibu pada etnik Aceh.

Universitas Sumatera Utara

e. Menemukan model deskripsi, model prediksi dan model prespektif otopsi
sosial kematian ibu berbasis budaya Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian
1.

Manfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan
a. Penelitian ini meningkatkan pemahaman tentang otopsi sosial kematian ibu
berbasis budaya Aceh.
b. Dapat memperluas cakrawala pemahaman tentang penerapan pelayanan
kesehatan

ibu

yang

berkualitas

secara

terus

menerus

dan

berkesinambungan.
2.

Manfaat bagi kepentingan pengambilan keputusan
a. Masukan bagi pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan
pencegahan kematian ibu didasarkan pada evidence based.
b. Menemukan model otopsi sosial kematian ibu berbasis budaya Aceh dan
langkah-langkah operasional implementasi model.

1.5 Pertanyaan Pokok Penelitian dan Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, maka pertanyaan “Mengapa kematian ibu
masih terjadi di Provinsi Aceh?”, “Bagaimana pola dan determinan kematian ibu
pada etnik Aceh?”, dan “Bagaimana model otopsi sosial berbasis budaya Aceh
dalam mengatasi kematian ibu di Provinsi Aceh?” menjadi pertanyaan pokok
penelitian yang akan dieksplorasi secara mendalam melalui studi kualitatif.
Selanjutnya pertanyaan “bagaimanakah peta kematian ibu pada etnik Aceh? dapat
ditampilkan

dengan langkah-langkah pemetaan kematian ibu mulai dari

Universitas Sumatera Utara

pengumpulan data mengunakan Geografi Positioning System (GPS), penyajian
peta menggunakan aplikasi EasyGPS dan Quantum GIS 2.8.2 (QGIS 2.8.2) dan
penggunaan/pemanfaatan peta.
Pertanyaan “determinan apa yang sangat berperan meningkatkan risiko
kematian ibu pada etnik Aceh?” dirumuskan kedalam beberapa hipotesis, yaitu:
Hipotesis 1) Terdapat hubungan faktor sosial, ekonomi dan budaya pada etnik
Aceh sebagai determinan kontekstual dengan kematian ibu di Provinsi Aceh.
Hipotesis 2) Terdapat hubungan determinan antara (status kesehatan, status
reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku sehat, faktor tidak diketahui)
dengan kematian ibu di Provinsi Aceh. Hipotesis 3) Terdapat hubungan
determinan kontekstual, determinan antara dengan kematian ibu di Provinsi Aceh.
Hipotesis 4) Terdapat hubungan tiga tahap keterlambatan yaitu keterlambatan
mengambil keputusan, keterlambatan mencapai fasilitas, keterlambatan mendapat
penanganan dengan kematian ibu di Provinsi Aceh.

Universitas Sumatera Utara