Pelaksanaan Rekrutmen Pegawai Negeri Sipil (Studi Pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Asahan)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil dinegara manapun mempunyai tiga
peran yang serupa: Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundang yang
telah ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat
diperlukan. Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik. Ukuran yang
dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas
pelayanan yang diberikan PNS. Apabila tujuan utama Otonomi Daerah adalah
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga Desentralisasi dan Otonomi
terpusat pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, maka PNS pada daerahdaerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat setempat.
Ketiga, PNS harus mampu mengelolah pemerintahan. Artinya pelayanan pada
pemerintah merupakan fungsi utama PNS. Setiap kebijakan yang diambil
pemerintah harus dapat dimengerti dan dipahami oleh setiap PNS sehingga dapat
dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut.
Rekrutmen dapat dilakukan untuk menambah pegawai baru kedalam suatu
satuan kerja yang kegiatannya semakin menuntut aktivitas yng tinggi. Mengingat
sangat pentingnya proses rekrutmen/penarikan bagi organisasi Pemerintahan
diharapkan dengan adanya proses rekrutmen yang baik dan efektif berdampak
bagi perkembangan organisasi kedepannya untuk memperoleh sumberdaya
manusia yang berkualitas.


1

Universitas Sumatera Utara

Proses pelaksanaan rekrutmen Pegawai Negeri Sipil/PNS di Indonesia,
seringkali menjadi sorotan di masyarakat. Permasalahan pro-kontra yang terjadi di
masyarakat disebabkan lemahnya mekanisme penyelenggaran rekrutmen sehingga
menyebabkan munculnya ketidakpuasan di masyarakat. Sejumlah permasalahan
yang muncul di masyarakat terkait dengan rekrutmen adalah ketidaktransparanya
proses penyelenggaraan rekrutmen, masih adanya nuansa Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN), proses rekrutmen tidak berdasarkan pada kebutuhan, serta
adanya tekanan dan intervensi dari pihak-pihak tertentu dalam proses rekrutmen.
Sehingga memunculkan adanya sinyalemen bahwa birokrasi di Indonesia masih
bersifat patrimonial bukan profesionalisme. Tetapi itu tidak mengubah banyaknya
jumlah PNS yang ada di Indonesia.
Tabel 1.1 Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia, Sumatera Utara dan
Kabupaten Asahan
NO KETERANGAN
1.


INDONESIA

2009

2010

2011

4,524,205

4,598,100

4,570,818

245,214

257,534

252,803


-

-

10,465

SUMATERA
2.
UTARA
KABUPATEN
3.
ASAHAN
Sumber: Badan Pusat Statistik, Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa jumlah PNS dari tahun ke tahun
mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan banyaknya PNS yang tidak
menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan sehingga formasi
penerimaan PNS dikurangi sesuai dengan aturan pemerintah. Lalu diketahui

2


Universitas Sumatera Utara

jumlah PNS pada tahun 2011 mengalami penurunan 0,05 % dari jumlah pada
tahun 2010. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakefesinan pada kinerja PNSnya.
Sekarang jumlah Abdi Negara alias PNS di Indonesia sudah mencapai
4.570.818 orang dan data ini adalah data yang ada di BPS Tahun 2011 mungkin di
tahun berikutnya jumlah PNS akan semakin bertambah. Bahkan menurut beberapa
sumber situs bahwa Menpan mengatakan lebih dari 5 Juta PNS di seluruh
Indonesia.
Instansi pemerintah pun secara berkala menyelenggarakan rekrutmen dan
seleksi pegawai agar pelayanan kepada publik tidak terhambat. Selanjutnya
diselenggarakannya rekrutmen untuk mengemban keinginan-keinginan tertentu
agar organisasi tetap eksis seperti yang disampaikan Siagian (1994:100-102)
untuk mendapatkan persediaan sebanyak mungkin calon-calon pelamar sehingga
organisasi akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk melakukan pilihan
terhadap calon pegawai yang dianggap memenuhi standar kualifikasi organisasi.
Selain itu adapun masalah-masalah yang sering sekali terjadi disetiap instansi baik
di instansi pusat maupun daerah, yaitu:
Tabel 1.2 Isu Kepegawaian Yang Sering Terjadi Di Instansi Pusat Maupun

Daerah Yang Ada Di Indonesia
NO

ISU UTAMA

1. lasifikasi penyelenggaraan Negara (termasuk PNS) belum mempunyai batasan
dan kriteria yang jelas
2. engaruh kepentingan politik terhadap birokrasi, sehingga membuat PNS tidak
netral terutama pejabat structural

3

Universitas Sumatera Utara

3. ebijakan dalam pengelolaan kepegawaian masih berpotensi untuk terjadinya
KKN yang terjadi di instansi pusat maupun daerah
4. erencanaan dan penetapan formasi PNS sering tidak sesuai dengan kebutuhan
masing-masing instansi
5. engangkatan dalam jabatan struktural belum didasarkan pada nilai-nilai
objektifitas, akuntabilitas dan kompetisi yang sehat

6. entang kepangkatan dan golongan saat ini dirasakan terlalu rumit untuk
pengelolaan kepegawaian (17 tingkat I/a sampai dengan IV/e)
7. elum ada pola mutasi antar kementerian dan antar daerah sehingga sulit untuk
memindahkan pegawai
8. engangkatan pegawai honorer daerah pun masih belum jelas sehingga
menyisakan permasalahan yang terkait dengan masih rendahnya kompetensi
yang dimiliki
9. istem prosedur pemberhentian pegawai sangat sulit dan panjang urusannya
10. endahnya upaya penegakan hukum sehingga banyak PNS yang tidak disiplin
dan suka bolos pada saat jam kerja serta menurunnya nilai-nilai etika dari
PNS yang menyebabkan banyak terjadinya tindak kriminal
11. NS yang bekerja dilembaga negara ad-hoc cenderung menjadi unsur
pelengkap saja sehingga pengembangan karierya tidak optimal
12. elum terlaksananya pemisahan antara pejabat publik (negara) dengan pejabat
karier sehingga pejabat karier yang mencoba berkiprah dalam jabatan politik
(ikut pemilukada) dan ternyata gagal masih dimungkinkan kembali lagi
keposisi PNS
http://ahok.org/berita/isu-isu-strategis-di-bidang-kepegawaian-negara/

4


Universitas Sumatera Utara

Dari deskrifsi tentang isu diatas, dapat kita lihat bahwa banyak contohcontoh masalah yang dihadapi oleh PNS seperti:
Dikutip dari DETIKASIA.COM, Sebanyak 235 PNS di Kabupaten
Asahan teramcam dipecat. Pasalnya, hingga masa Pendaftaran Ulang PNS
(PUPNS) ditutup 31 Desember 2015, mereka belum melakukan
pendaftaran ulang. Menurut data per tanggal 31 Desember 2015 yang
diperoleh koran ini dari Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara
(BKN) Tumbak Hutabarat, selain Asahan, PNS di Kabupaten Batubara
juga belum seluruhnya melakukan pendaftaran ulang. Dari 4.902 orang
PNS di Batubara, masih 90 orang lagi PNS yang belum mendaftar ulang.
Di Kota Tanjungbalai juga demikian, dari 3.302 orang PNS, terdapat 44
orang yang belum mendaftar ulang. Dari 34 Pemda (Pemprov Sumut dan
33 Pemkab/Pemko) tidak ada satupun yang 100 % sudah mendaftar, hanya
Pemkab Mandailing Natal (Madina) saja yang cukup bagus, yakni hanya
tersisa
1
orang
PNS

yang
belum
mendaftar
ulang.
(https://detikasia.com/235-pns-di-asahan-terancam-dipecat/, 14 Januari
2016)
Dikutip dari Wartawan BBC Indonesia, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara menyatakan sepekan ini akan
mengumumkan posisi terakhir pemerintah terkait rencana penghentian
sementara Rekrutmen PNS. Langkah ini telah dikaji karena besarnya biaya
gaji PNS saat ini dianggap terlalu membebani anggaran, sementara
kualitas kinerja birokrasi dinilai masih buruk. Menurut pemerintah, saat ini
PNS di Indonesia tidaklah terlalu besar, tetapi karena beban biaya APBN
yang besar serta tingginya keluhan tentang kualitas birokrasi dan indikasi
penyalagunaan pada sistem rekrutmennya, maka moratorium akan
diberlakukan. Sekjen Sekretaris Kementrian PAN, Tasdik Kinanto
mengemukakan moratorium ditargetkan dilakukan selama dua tahun ini,
bersamaan dengan dilakukannya kajian kebijakan sampai akhir tahun ini.
"Saat ini sedang dilakukan pemetaan tentang jumlah pegawai yang riil dari
masing masing daerah. Kemudian juga dilakukan penghitungan kebutuhan

pegawai di daerah," jelasnya. Tasdik juga menambahkan, "Kita akan
melakukan penundaan sementara pengadaan PNS untuk instansi tertentu,
jabatan tertentu dan juga diikuti dengan berbagai langkah seperti
mutasi."(http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2011/07/110729
_civilservant, 29 Juli 2011)
Dikutip dari JAKARTA, SUMUTPOS.CO, Meski sudah mendapat
formasi tambahan CPNS 2014, tetapi 6 pemerintah daerah (pemda) di
Sumatera Utara (Sumut) menunda pelaksanaan seleksi. Alasan penundaan
umumnya karena pemda kurang siap, baik soal anggaran atau dalam
melaksanakan seleksi yang tesnya wajib menggunakan sistem computer
assisted test (CAT). Selain ke-pemda di Sumut, ada 32 pemda lain di
Indonesia yang melakukan penundaan. Alasannya hamper sama, karena
panitia lokal kurang siap. Kepala Biro Hukum, Komunikasi an Informasi
Publik (HKIP) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan

5

Universitas Sumatera Utara

Reformasi

Birokrasi
(KemenPAN-RB)
Herman
Suryatman,
mengungkapkan, pemda yang tahun ini tidak jadi melaksanakan rekrutmen
CPNS, formasinya bisa dialihkan untuk tahun depan. “Informasi ini perlu
kami sampaikan agar calon pelamar yang sudah berencana melakukan
pendaftaran di pemda atau instansi dimaksud, dapat memaklumi atau
mendaftar di instansi lainnya,” ujarnya di Jakarta, Jumat (19/9). Menurut
data dari Panselnas CPNS 2014, pemda yang menunda rekrutmen itu
tersebar di berbagai wilayah. Tunda Rekrut CPNS 2014: 1. Kab. Asahan,
2. Kab. Batu Bara, 3. Kab. Labuhan Batu, 4. Kab. Labuhan Batu Selatan,
5. Kab. Padang Lawas Utara, 6. Kab. Pakpak Barat.
(http://sumutpos.co/inilah-6-pemda-di-sumut-yang-menunda-rekrut-cpns/,
20 September 2014)
Sedangkan masalah yang muncul dalam tata cara rekrutmen Pegawai
Negeri Sipil di Kabupaten Asahan adalah kurangnya anggaran dalam proses
pelaksanaan dan tidak cukup memadainya fasilitas dalam pengelolaan pegawai
hasil rekrutmen serta masalah transparansi. Transparansi yang dimaksud disini
adalah tentang transparansi proses rekruitmen PNS, dimana kejujuran dan

obyektifitas dalam merekrut PNS, adalah harapan masyarakat. Bukan zamannya
lagi merekrut PNS dengan pola KKN atauatas dasar mengandalkan jaringan.
Secara nasional, saat ini banyak masyarakat yang sudah kurang percaya lagi pada
pemerintah.
Hal ini bisa kita mengerti, sebab selama 32 tahun rezim dan Orde Barunya
memanipulasi hukum yang pada akhirnya melenyapkan kepercayaan pada
pemerintah. Era sekarang pun masih pada kondisi dimana kejujuran pemerintah
itu sedang diuji. Transparansi penerimaan CPNS ini,merupakan salah satu tugas
yang harus dilaksanakan dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat,
sehingga terus diliputi oleh kekecewaan. Jadi, transparansi dalam pola rekruitmen
CPNS bermanfaat untuk memberikan informasi yang akurat, cepat dan lengkap
kepada masyarakat.

6

Universitas Sumatera Utara

Kebijakan dalam proses rekrutmen PNS antara lain terdapat dalam
Undang-Undang No 11 Tahun 2002 Tentang Pengadaan Pegawai Sipil Negara
yang memuat tentang tahapan dalam pengadaan. Adapun peraturan pelaksanaan
Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan aparatur institusi atau abdi negara yang
berfungsi untuk memberikan pelayanan terbaik kepeda masyarakat (public
service).
Menurut Riggs yang dikutip dari Sulardi (2005), Keberhasilan proses
rekrutmen pegawai dapat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan fungsifungsi dan aktifitas manajemen yang lain. Fungsi-fungsi tersebut meliputi fungsi
penempatan, fungsi pengembangan dan fungsi adaptasi.
Sedangkan aktivitas-aktivitas yang mengikuti rekrutmen adalah seleksi,
orientasi

dan

promosi.

Dalam

melaksanakan

tugas

pemerintahan

dan

pembangunan yang amat kompleks, mutlak diperlukan pegawai (sumber daya
aparatur) yang handal dan profesional. Langkah strategis untuk mewujudkan hal
tersebut adalah dengan menyelenggarakan rekrutmen dan seleksi atas dasar sistem
prestasi (merit system) untuk memilih orang yang terbaik diantara yang yang
terbaik (the best among the best).
Manajemen kepegawaian di Indonesia proses kegiatannya tidak jauh berbeda
dengan proses manajemen kepegawaian pada umumnya, yakni dimulai dari proses
kegiatan rekrutmen, pengembangan, promosi, renumerasi, disiplin pemberhentian
atau pensiun. Proses kegiatan ini dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam perundang-undangan maupun peraturan institusi.

7

Universitas Sumatera Utara

Badan Kepegawaian Daerah (BKD) merupakan salah satu unit kerja,
organisasi, instansi yang dibentuk oleh pemerintah/pemerintah daerah dan
sekaligus

dipercaya untuk menyelenggarakan

berbagai urusan

dibidang

kepegawaian daerah termasuk dalam hal rekrutmen atau pengangkatan pelamar
umum dan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dalam pelaksanaan rekrutmen PNS diharapkan pihak BKD Kabupaten Asahan
dapat lebih transparan, lebih profesionalisme, adil dan mengutamakan kualitas
tanpa adanya kolusi dan nepotisme dari orang dalam yang dilakukan sesuai
dengan peraturran perundangan maupun peraturan yang berlaku.
Berdasarkan pada uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan
membahas hal ini menjadikan objek penelitian. Adapun judul yang penulis ajukan
adalah : “Pelaksanaan Rekrutmen Pegawai Negeri Sipil Di Kabupaten
Asahan (Studi Kasus pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Asahan)’’.
1.2 Rumusan Masalah
Arikunto (1998:17) menguraikan, agar penelitian dapat dilaksanakan
sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahnya sehingga jelas
darimana harus memulai, kemana harus pergi dan dengan apa ia melakukan
penelitian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pentingnya perumusan
masalah adalah agar diketahui arah jalan suatu penelitian.

8

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka permasalahan dalam
penelitian

yang

akan

diangkat

adalah:

“Bagaimanakah

Pelaksanaan

Rekrutmen Pegawai Negeri Sipil Di Kantor Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Asahan”?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses
pelaksanaan rekrutmen Pegawai Negeri Sipil di Kantor Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Asahan.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini
adalah:
1.

Secara Subjektif
Sebagai suatu sarana melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir
ilmiah dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah
berdasarkan kajian teori dan aplikasinya yang diperoleh dari Ilmu
Administrasi Negara.

2.

Secara Akademis

Penelitian diharapkan memberikan kontribusi bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik secara umum dan Ilmu Administrasi Negara secara khusus dalam
menambah bahan kajian perbandingan bagi yang menggunakannya.
3.

Secara Praktis

Bagi Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Asahan, penelitian ini
diharapkan mampu memberikan sumbangsih pemikiran, informasi dan saran.

9

Universitas Sumatera Utara

1.5 Kerangka Teori
Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang adanya hubungan
diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah
fenomena. Sehingga bisa dikatakan bahwa suatu teori adalah suatu kerangka kerja
konseptual untuk mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak biru untuk
melakukan beberapa tindakan selanjutnya.
Menurut Kerlinger yang dikutip dari Efendi, Sofian (2012:35), teori adalah serang
serangkaian konsep, konstruk, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena sosial secara sistematis dengan cara mengonstruksi hubungan antara
konsep dan proposisi dengan menggunakan asumsi dan logika tertentu.
Kerangka teori/ theoretical frame work adalah kerangka berpikir kita yang bersifat
teoritis atau konseptual mengenai masalah yang kita teliti. Teori merupakan
proposisi atau asumsi yang telah dibuktikan kebenarannya (Rianto,2004:29).
Sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan atau memecahkan
masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu dan
sebagai bahan referensi dalam penelitian.
Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.5.1 Kebijakan Publik
1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Secara etimologis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa Yunani
“polis” yang berarti negara. Istilah kebijakan atau policy dipergunakan untuk
menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok
maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif

10

Universitas Sumatera Utara

memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan
sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Sedangkan kata publik sendiri
sebagian orang mengartikan sebagai negara. . Sebagai titik tolak atau landasan
berfikir untuk memecahkan masalah, perlu adanya pedoman teoritis yang
membantu.
Untuk itu perlu disusun suatu kerangka teori yang memuat pokok-pokok
pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti.
Berdasarkan rumusan diatas, peneliti mengemukakan beberapa teori, pendapat
ataupun gagasan yang akan dijadikan tolak landasan berfikir dalam penelitian ini.
Namun demikian, kebijakan publik merupakan konsep tersendiri yang
mempunyai arti dan defenisi khusus secara akademik. Defenisi kebijakan publik
menurut para ahli sangat beragam.
Menurut Easton (1969) yang dikutip dari Hessel N. Tangkilisan (2003)
kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh
masyarakat yang keberadaannya mengikat sehingga cukup pemerintah yang dapat
melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan
bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari
pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Menurut Anderson, kebijakan publik adalah pengembangan dari kebijakan
yang dilakukan oleh institusi pemerintah dan aparaturnya dari pernyataan tersebut
dapat dikatakan bahwa:
a. Kebijakan pemerintah selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan
tindakan yang berorientasi pada tujuan.

11

Universitas Sumatera Utara

b. Kebijakan berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat
pemerintah.
c. Kebijakan itu merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi
bukan apa yang baru menjadi maksud atau pernyataan pemerintah untuk
melakukan sesuatu.
d. Kebijakan pemerintah ini dilandaskan pada perundang-undangan dan
bersifat memaksa.
Berdasarkan pengertian para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah yang dirumuskan dan
dilaksanakan untuk memecahkan masalah yang ada di masyarakat baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga lain yang mampu mempengaruhi
kehidupan masyarakat, jadi pada dasarnya kebijakan publik berorientasi pada
pemecahan masalah riil yang terjadi di tengah masyarakat.
Kebijakan dalam konteks program biasanya mencakup serangkaian
kegiatan yang menyangkut pengesahan atau legislasi, pengorganisasian, dan
pengerahan atau penyediaan sumber-sumber daya yang diperlukan.
Program itu sendiri memiliki ruang lingkup yang relatif khusus dan cukup
jelas

batasan-batasannya.

Program-program

dipandang

sebagai

sarana

(instrument) untuk mewujudkan berbagai tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh
pemerintah.
1.5.1.2 Bentuk dan Tahapan Kebijakan Publik
Kebijakan dapat lebih mudah dipahami jika dikaji tahap demi tahap. Inilah
yang menjadikan kebijakan publik menjadi “penuh warna” dan kajiannya amat
dinamis.

12

Universitas Sumatera Utara

Adapun kebijakan publik memiliki tahap-tahap yang cukup kompleks
karena memiliki banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Menurut William
Dunn (1998), tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut:
1. Tahap Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetensi terlebih dahulu
untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa
masalah masuk ke agenda kebijakan pada perumusan kebijakan. Pada
tahap ini suatu masalah mungkin tidak tersentuh sama sekali dan beberapa
yang lain pembahasan untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang
lama.
2. Tahap Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan. Masalah tadi didefenisikan untuk kemudian
dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal
dari berbagai alternatif yang ada.
Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam
agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing
alternative bersaing untuk memecahkan masalah.
3. Tahap Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut
diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara
direktur lembaga atau keputusan peradilan.

13

Universitas Sumatera Utara

4. Tahap Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jia
program tersebut tidak dilaksanakan.
Oleh karena itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif
pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh
badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.
Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi
yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing.
Beberapa impementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana,
namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
5. Tahap Evaluasi (Policy Evaluation)
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang diambil telah mampu
memecahkan masalah. Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk
meraih dampak yang diinginkan.
Dalam hal ini memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh
karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi
dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang
diinginkan.

14

Universitas Sumatera Utara

1.5.2 Implementasi Kebijakan
1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan
Menurut Dwijowijoto (2004; 158), implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya (tidak
lebih dan tidak kurang).
Selanjutnya Nugroho mengemukakan bahwa perencanaan atau sebuah
kebijakan yang baik akan berperan menentukan hasil yang baik. Dalam
implementasi kebijakan publik, terdapat dua pilihan langkah yang dapat
dilakukan, yakni langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program
atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik
tersebut.Pada prinsipnya, kebijakan bertujuan untuk melakukan intervensi.
Dengan demikian, inplementasi kebijakan pada hakekatnya adalah tindakan
(action) intervensi itu sendiri.
Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan keputusan diantara
pembentukan sebuah kebijakan seperti halnya pasal-pasal sebuah undang-undang
legislatif, pengeluaran

sebuah

peraturan

eksekutif, pelolosan

keputusan

pengadilan atau keluarnya standar peraturan dan konsekuensi dari kebijakan bagi
masyarakat yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupannya. Jika kebijakan
diambil secara tepat, maka kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi, jika
proses implementasi tidak tepat.
Van Meter dan Van Horn yang dikutip dari Budi Winarno (2005:102)
mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan dalam keputusan- keputusan sebelumnya. Tindakan-

15

Universitas Sumatera Utara

tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan
menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam
rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan
kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.
Berasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa implementasi
kebijakan adalah suatu proses yang dinamis yang melibatkan upaya pembuat
kebijakan untuk mempengaruhi perilaku pelaksana kebijakan, dimana pelaksana
kebijakan melakukan aktivitas atau kegiatan sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu
sendiri.
Jadi, tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan
dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undang atau kebijakan
ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk
output yang jelas dan dapat diukur.
Dengan

demikian,

tugas

implementasi

kebijakan

sebagai

suatu

penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui
aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah.
1.5.2.2 Model-model Implementasi Kebijakan
1.5.2.2.1 Model yang Dikembangkan George C. Edwards
Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

implementasi

kebijakan

menurut George C. Edward III yang dikutip dari Subarsono (2005: 90-92) adalah :
a. Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan masyarakat agar implementor
mengetahui apa yang harus diketahui. Tujuan dan sasaran kebijakan harus

16

Universitas Sumatera Utara

ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan
mengurangi distorsi implementasi. Tujuan dan sasaran tidak jelas atau
bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka
kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
b. Sumberdaya
Isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi
apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif.
Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia yakni
kompetensi implementor dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah
faktor penting implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya,
kebijakan hanya tinggal dikertas menjadi dokumen saja.
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,
seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis.
Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat
menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh
pembuat kebijakan.
Ketika implementor memiliki sikap atau presepsi yang berbeda dengan
pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi
tidak efektif.
d. Struktur Birokrasi
Struktur birikrasi bertugas mengimplementasikan kebijakan dan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari

17

Universitas Sumatera Utara

aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur
operasi yang standar (Standard Operating Procedures atau SOP). Struktur
organisasi yang terlalu panjang cenderung melemahkan pengawasan dan
menimbulkan rep-tape yakni prosedur birokrasi yang rumit dan komplek
atau bertele-tele.
Gambar I.1 Model Teori George C. Edward III

Komunikasi

Sumberdaya
Implementasi
Disposisi

Struktur Organisasi

Sumber: Subarsono (2005: 91)
1.5.2.2.2

Model yang Dikembangkan Van Meter & Van Horn

Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu model dasar yang
mempunyai enam variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan
dan

pencapaian (performance). Dengan menggunakan

pendekatan masalah

seperti ini, dalam pendangan Van Meter dan Van Horn, kita mempunyai harapan
yang besar untuk menguraikan proses-proses dengan cara melihat bagaimana
keputusan-keputusan kebijakan dilaksanakan dibandingkan

hanya sekedar

menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat dalam suatu

cara yang

semena-mena. Variabel-variabel tersebut dijelaskan Van Meter dan Van Horn
sebagai berikut:

18

Universitas Sumatera Utara

1. Standar dan Tujuan Kebijakan
Suatu kebijakan tentu telah menegaskan standar dan sasaran tertentu yang
harus dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan. Dalam melakukan studi
implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program yang akan
dilaksanakan harus diidentiikasi dan diukur karena implementasi tidak
dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak
dipertimbangkan. Dalam menentukan ukuran-ukuran dasar dari sasaran
sasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari para pembuat
keputusan sebagaimana direfleksikan dalam banyak dokumen seperti
regulasi-regulasi dan garis-garis pedoman program yang menyatakan
kriteria untuk evaluasi pencapaian kebijakan.
Akan tetapi, dalam beberapa hal ukuran-ukuran dasar dan sasaran-sasaran
kebijakan harus dideduksikan oleh peneliti perorangan dan pilihan ukuranukuran pencapaian bergantung pada tujuan-tujuan yang didukung oleh
penelitian (Winarno, 2004:110-112).
2. Sumber Daya
Di samping standar dan tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian
dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber daya yang tersedia.
Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, baik berupa dana maupun
perangsang (incentive) lain
implementasi

yang mendorong dan memperlancar

yang efektif. Sumber-sumber layak mendapat perhatian

karena sangat menunjuang dalam keberhasilan implementasi kebijakan.
Dalam praktek implementasi kebijakan, kita seringkali mendengar para
pejabat maupun

pelaksana mengatakan bahwa kita tidak mempunyai

19

Universitas Sumatera Utara

cukup dana untuk membiayai program-program yang telah direncakan.
Dengan demikian, besar kecilnya dana akan menjadi salah satu faktor
yang menentukan keberhasilan

implementasi kebijakan (Winarno,

2004:112).
3. Aktivitas Implementasi dan Komunikasi Antar Organisasi
Kejalasan standar dan sasaran tidak menjamin implementasi yang efektif
apabila tidak dibarengi dengan adanya komunikasi antar organisasi dan
aktivitas

pengukuhan. Semua pelaksana harus memahami apa yang

diidealkan oleh kebijakan yang implementasinya menjadi tanggungjawab
mereka. Hanya saja komunikasi adalah proses yang rumit, yang sangat
potensial untuk terjadi

penyimpangan. Hal ini menyangkut persoalan

kewenangan dan kepemimpinan.
Organisasi atasan (superior) mestinya mampu mengkondisikan organisasi
bawahan atau pelaksana untuk memiliki idealita sebagaimana yang
dikehendaki

oleh kebijakan (Wibawa, 2004: 20). Implementasi akan

berjalan efektif bila standar dan tujuan dipahami oleh

individu yang

bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian, tujuan
dan standar yang jelas, komunikasi yang tepat dengan pelaksana,
konsistensi dan keseragaman tujuan dan standar yang dikomunikasikan
dengan berbagai sumber informasi sangat perlu diperhatikan. Komunikasi
di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang
kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bawah dalam
suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para
komunikator dapat menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara

20

Universitas Sumatera Utara

sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber sumber informasi
ataupun sumber yang sama memberikan interpretasi yang tidak konsisten
terhadap

ukuran-ukuran

dasar

dan

tujuan-tujuan

atau

bahkan

bertentangan, maka para pelaksana kebijakan akan mendapatkan kesulitan
yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud dari kebijakan.
Oleh karena itu, menurut Van Meter dan Van Horn prospek prospek
tentang implementasi yang

efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-

ukuran dan tujuan-tujuan yang

dinyatakan dan oleh ketepatan dan

konsistensi dalam mengkomunikasikan

ukuran-ukuran dan tujuan

tersebut. Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi yang berhasil
sering kali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur
lembaga.
Hal ini

akan membantu atasan mendorong bawahan (pelaksana) untuk

bertindak dalam suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dan
tujuan-tujuan kebijakan.

Para pejabat dalam organisasi mempunyai

pengaruh dan kekuasaan personil dikarenakan posisi hierarkhis mereka.
Pengaruh dan kekuasaan itu antara lain dalam hal, rekrutmen dan seleksi,
jenjang karir bawahan, kontrol atas alokasi

anggaran, mempengaruhi

perilaku bawahan serta mempunyai kewenangan dalam

menanggapi

pencapaian kebijakan. Hubungan-hubungan antar organisasi maupun antar
pemerintah dalam kegiatan pelaksanaan terlihat dalam dua tipe. Pertama,
nasihat dan bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat
tinggi dapat membantu para
peraturan

dan

garis-garis

bawahan menginterpretasikan peraturanpedoman

pemerintah, menstrukturkan

21

Universitas Sumatera Utara

tanggapan-tanggapan terhadap inisiatif-inisiatif dan memperoleh sumbersumber fisik dan teknis yang diperlukan yang berguna dalam
melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan pada
berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan
Van Horn, kita dapat menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk
kepada perbedaan antara kekuasaan normatif, renumeratif dan keuasaan
koersif (Winarno, 2004:112-114).
4. Karakteristik dari Agen Pelaksana/ Implementor
Menurut Ripley (1973) struktur dari agen pelaksana, yang meliputi
karakteristik, norma dan pola hubungan yang potensial maupun aktual
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Wibawa,
1994:20-21).
Van

Meter dan Van Horn menyatakan bahwa karakteristik dari badan

pelaksana dilihat

dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan

sebagai karakteristik, norma dan pola hubungan yang terjadi berulangulang dalam badan-badan eksekutif yang

mempunyai hubungan baik

potensial maupun nyata dengan apa yang mereka

miliki dengan

menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciri- ciri
struktur formal dari organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari
personil mereka. Disamping itu, perhatian juga perlu ditujukan kepada
ikatan- ikatan badan pelaksana dengan pemeran-pemeran serta dalam
sistem penyampaian kebijakan (Winarno, 2004: 116). Menurut Van Meter
dan Van Horn organisasi pelaksana memiliki enam variabel yang harus
diperhatikan, yaitu: (1)

kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang dan

22

Universitas Sumatera Utara

derajat pengendalian, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan
organisasi, (5) derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi, dan (6)
keterkaitan dengan pembuat kebijakan (Wibawa, 1994:21).
5. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik merupakan variabel selanjutnya
yang diidentifikasi oleh Van Meter dan Van Horn. Sebagaimana dapat
diambil inferensi logis dari bagan sistem kebijakan di depan, kondisi
sosial,

ekonomi dan politik juga berpengaruh terhadap efektivitas

implementasi kebijakan. Ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik.
6. Kecenderungan (disposition) dari Pelaksana/Implementor
Kesemua variabel tadi membentuk sikap pelaksana terhadap kebijakan yang
mereka implementasikan, untuk pada akhirnya menentukan seberapa
tinggi

kinerja kebijakannya. Kognisi, netralitas dan obyektivitas para

individu pelaksana sangat berpengaruh bentuk respons mereka terhadap
semua variabel tersebut.

Wujud respon individu pelaksana menjadi

penyebab dari berhasil dan gagalnya implementasi. Jika pelaksana tidak
memahami tujuan kebijakan, lebih-lebih

apabila sistem nilai yang

mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai pembuat kebijakan
maka implementasi tidak akan efektif. Hal yang sama juga terjadi bila
“loyalitas” pelaksana kepada organsasi rendah (Wibawa, 1994: 21-22).

Gambar 1.2 Model Teori Van Meter & Van Horn

23

Universitas Sumatera Utara

1.5.2.2.3

Model yang Dikembangkan Mazmaian & Sabatier

Menurut Mazmanian dan Sebatier (1983), ada tiga kelompok
variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik
dari masalah (tractability of the problems); (2) karakteristik kebijakan/undangundang (ability of statute to structure implementation); (3) variabel lingkungan
(nonstatutory

variables

affecting

implementation)

(Subarsono,

2009:94).

Variabel-variabel tersebut terlihat pada Gambar 1.3. Kerangka berpikir yang
mereka tawarkan juga mengarah pada dua persoalan mendasar yaitu, kebijakan
dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini
terkesa

menganggap

bahwa

suatu

implementasi

akan

efektif

apabila

pelaksanaannya mematuhi peraturan yang ada (Wibawa, 1994: 25).

Gambar 1.3 Model Teori Mazmaian & Sabatier

24

Universitas Sumatera Utara

1.5.2.2.4

Model yang Dikembangkan Merilee S Grindle

(1980)
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle yang
dikutip dari Subarsono (2005: 93) dipengaruhi oleh dua variabel benar, yakni isi
kebijakan dan lingkungan implementasi.
Variabel isi kebijakan mencakup :
a. sejauh mana kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan
b. jenis mamfaat yang diterima oleh target group
c. sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan
d. apakah letak sustu program sudah tepat
e. apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementasinya dengan
rinci
f. apakah sebuah program didukung sumberdaya yang memadai

25

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup :
a. seberapa kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor
yang terlibat dalam implementasi kebijakan
b. karakteristik institusi dan rezin yang sedang berkuasa
c. tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran
Gambar I.4 Model Teori Merilee S Grindle
Implementasi kebijakan dipengaruhi
oleh :

Tujuan
Kebijakan

a.

Tujuan yang
dicapai

b.
Program aksi dan
proyek individu
yang didesain dan
didanai

Program yang
dilakukan sesuai
rencana

Isi kebijakan
1. Kepentingan kelompok
sasaran
2. Tipe mamfaat
3. Derajad
perubahan
yang diinginkan
4. Letak
pengambilan
keputusan
5. Pelaksanaan program
6. Sumberdaya
yang
diabaikan
Langkah implementasi
1. Kekuasaan
kepentingan
dan
strategi aktor yang
lambat
2. Karakteristik lembaga
dan penguasa

Hasil Kebijakan
a.

b.

Mengukur
Keberhasilan

Sumber: Subarsono (2005: 93)
Dengan adanya berbagai macam teori implementasi kebijakan publik, kita
harus memilih teori yang tepat guna menyelesaikan masalah yang hendak
dibenahi. Kita harus teliti dalam memilih teori yang sesuai dengan kebutuhan
kebijakan yang kita pilih. Namun, ada satu hal lagi yang penting yakni

26

Universitas Sumatera Utara

Dampak
pada
masyarakat
, individu
dan
kelompok
Perubahan
dan
penerimaan
masyarakat

implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu
sendiri.
Menurut Richard Martland yang dikutip dari Dwijowijoto (2004: 179),
pada prinsipnya ada empat “tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal pencapaian
keefektifan implementasi kebijakan.
1. Kebijakannya itu sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari
sejauh mana kebijakan yang ada, telah bermuatan hal-hal yang memang
memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.
Sisi kedua dari kebijakan adalah apakah kebijakan tersebut sudah
dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan.Sisi
ketiga adalah, apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai
kewenangan yang sesuai dengan karakter kebijakannya.
2. Tepat pelaksanaannya. Aktor implementasi tidaklah hanya pemerintah.
Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana yaitu pemerintah,
kerjasama antara pemerintah, masyarakat atau swasta atau implementasi
kebijakan yang diswastakan. Kebijakan yang bersifat memberdayakan
masyarakat, seperti penanggulangan kemiskinan. Kebijakan yang bersifat
mengarahkan kegiatan masyarakat.
3. Tepat target. Ketepatan ini berkaitan dengan tiga hal, pertama: apakah
target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, tidak tumpang
tindih, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain. Kedua,
apakah target dalam kondisi siap untuk diintervensi atau tidak. Ketiga,
apakah

intervensi

kebijakan

bersifat

baru

atau

memperbaharui

implementasi kebijakan sebelumnya.

27

Universitas Sumatera Utara

4. Tepat lingkungan. Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu
lingkungan internal kebijakan dan lingkungan eksternal kebijakan.
Lingkungan internal kebijakan yaitu interaksi antara lembaga perumus
kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait.
Lingkungan eksternal sebagai variabel eksogen terdiri dari opini publik
yaitu presepsi publik kebijakan dan implementasi kebijakan, lembaga
interpretasi dengan lembaga strategik.
1.5.2.2.5

Model Tahapan dalam Implementasi Kebijakan

Publik
Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang
seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan
tidak hanya

melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan

kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi,
dan sosial. Dalam

tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan

keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:
1. tahapan pengesahan peraturan perundangan
2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana
3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan
4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak
5. dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana
6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan
Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah
kebijakan:
1. Tahapan intepretasi.

28

Universitas Sumatera Utara

Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang bersifat
abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih
bersifat manajerial dan operasional. Dalam Nugroho (2006) disebutkan
bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada

dua pilihan

langka yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan
dari kebijkan publik tersebut. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam
bentuk peraturan perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan
legislatif, bisa berbentuk perda ataupun undang-undang. Kebijakan
manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa
berupa peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan
kebijakan operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa
keputusan/peraturan menteri ataupun keputusan kepala dinas terkait.
Kegiatan

dalam tahap ini tidak hanya berupa proses penjabaran dari

kebijakan abstrak

ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa

proses komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut baik yang berbentuk
abstrak maupun operasional kepada para pemangku kepentingan.
2. Tahapan pengorganisasian.
Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana kebijakan (policy
implementor) yang setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah); sektor swasta; LSM
maupun komponen masyarakat. Setelah pelaksana kebijakan ditetapkan;
maka dilakukan penentuan prosedur tetap

kebijakan yang berfungsi

sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi

pelaksana dan sebagai

29

Universitas Sumatera Utara

pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para

pelaksana tersebut

menghadapi masalah. Prosedur tetap tersebut terdiri atas Standar Operasi
Prosedur (SOP) atau Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Langkah

berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber
pembiayaan.
Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah

(APBN/APBD)

maupun sektor lain (swasta atau masyarakat). Selain itu juga diperlukan
penentuan peralatan dan fasilitas yang diperlukan, sebab peralatan tersebut
akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan kebijakan. Langkah selanjutnya, penetapan manajemen
pelaksana kebijakan dan diwujudkan dalam penentuan pola kepemimpinan
dan koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini penentuan focal point pelaksana
kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi kebijakan segera
disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat
penentu efisiensi implementasi sebuah kebijakan.
3. Tahapan implikasi. Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masing
masing tahapan yang telah dilaksanakan sebelumnya.

1.5.2.3 Model Implementasi yang digunakan dalam Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis memilih beberapa variabel yang dianggap
mempengaruhi dalam pelaksanaan rekrutmen PNS oleh pemerintah yang dilihat
dari beberapa pendekatan atau model dari George Edwards III antara lain:

30

Universitas Sumatera Utara

1. Komunikasi
Komunikasi merpakan perantara dari sebuah organisasi agar programprogram tersebut dapat direalisasikan dengan tujuan serta sasarannya.
Komunikasi ialah sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari
atas kebawah maupun sebaliknya. Komunikasi dilakukan untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Hal yang menyangkut
komunikasi berarti terhubung dengan koordinasi.
Sementara itu koordinasi menyangkut persoalan bagaimana praktik
pelaksanaan kekuasaan. Koordinasi berarti adanya kerjasama yang
saling terkait dan saling mendukung antar pelaksana kebijakan dalam
guna pencapaian tujuan implementasi kebijakan.
2. Sumber-sumber/SumberDaya
Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak memadai

(jumlah dan

kemampuannya) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program
secara sempurna karena mereka tidak biasa melakukan pengawasan
dengan baik. Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat
tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Sumber daya menunjukkan setiap kebijakan harus oleh sumberdaya
yang memadai, baik sumber daya manusia, fasilitas, dan finansial.
Ketersediaan sumber daya mempengaruhi efektifitas implementasi
suatu program kebijakan. Sumber-sumber yang akan mendukung
kebijakan yang efektif terdiri dari jumlah staf yang mempunyai
keterampilan yang memadai serta dengan jumlah yang cukup,
kewenangan, informasi dan fasilitas.

31

Universitas Sumatera Utara

3. Disposisi/Kecenderungan
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi
kebijakan adalah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan
bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka melaksanakan dengan
senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat
kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.
Ada tiga bentuk sikap atau respon implementor terhadap kebijakan,
yaitu:
a. Kesadaran pelaksana.
b. Petunjuk atau arahan pelaksana untuk merespon program kearah
penerimaan dan penolakan.
c. Intensitas dari respon tersebut.
Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program
namun seringkali mengalami kegagalan dalam pelaksanaan program
secara tepat karena mereka menolak tujuan yang adadidalamnya
sehingga

secara

sembunyi

mengalihkan

dan

menghindari

implementasi program.
4. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yabg signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Salah satu aspek yang penting dalam struktur organisasi adalah
adanya Standard Operating Procedures (SOP). Standard Operating
Procedure (SOP) menjadi Pedoman bagi Implementor untuk
bertindak struktur.

32

Universitas Sumatera Utara

1.5.3 Pelaksanaan Rekrutmen Pegawai Negeri Sipil
1.5.3.1 Pengertian Pegawai Negeri Sipil
Unsur manusia sangat penting untuk menggerakkan organisasi ke arah
yang telah ditetapkan. Manusia yang terlibatdalam organisasi ini disebut pegawai.
Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan pendapat beberapa ahli mengenai
defenisipegawai.
Widjaja A.W. (2006: 113) berpendapat mengenaidefinisi pegawai:
Pegawai adalah merupakan tenaga kerja manusia jasmaniah maupun
rohaniah (mental dan pikiran) yang senantiasa dibutuhkan dan oleh karena
itu menjadi salah satu modal pokok dalam usaha kerjasama untuk
mencapai tujuan tertentu (organisasi).
Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa pegawai merupakan
modal pokok suatu organisasi dalam usaha mencapai tujuannya. Peranan pegawai
sangat penting dalam hal melaksanakan tugas-tugas dalam suatu organisasi.
Organisasi akan berjalan dengan baik apabila pegawai menggunakan unsur
jasmani maupun rohani untuk menjalankan pekerjaan yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan bersama.
Pegawai Negeri memiliki hak dan kewajiban yang melekat dalam dirinya.
Pegawai Negeri berkewajiban melayani kebutuhan masyarakat umum, sebagai
balas jasa pemerintah memberikan hak berupa gaji serta tunjangan yang besarnya
disesuaikan dengan tingkat kepangkatan dari masing-masing pegawai.
Pengertian Pegawai Negeri Menurut UU No. 11 Tahun 2002 Tentang
Aparatur Sipil Negara yaitu:
1. Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah, menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan.

33

Universitas Sumatera Utara

2. Pegawai negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undang yang berlaku, diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri
atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu
peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Berdasarkan beberapa pendapat dari ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
pegawai negeri sipil adalah orang-orang yang memenuhi syarat undang-undang
untuk diangkat menjadi salah satu unsur aparatur negara yang bertugas untuk
melayani kepentingan masyarakat umum.
1.5.3.2 Jenis Pegawai Negeri Sipil
Jenis pegawai di Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan.
Penggolongan jenis pegawai didasarkan pada tugas pokok dan fungsi masingmasing. Hal ini bertujuan untuk memperjelas tugas dan kewajiban masing-masing
pegawai. Jenis-jenis pegawai Indonesia telah diatur dalam undang-undang.
Pegawai Negeri Sipil terdiri dari:
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat
2. Pegawai Negeri Sipil Daerah
Secara definitif, PNS Daerah adalah PNS Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota yang gajinya dibebankan pada APBD dan bekerja
pada Pemerintah Daerah atau dipekerjakan di luar instansi induknya yang gajinya
dibebankan pada instansi yang menerima bantuan.
Pegawai Tidak Tetap adalah pegawai yang diangkat untuk jangka waktu
tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat

34

Universitas Sumatera Utara

teknis profesional dan adminsitrasi sesuai kebutuhan dan kemampuan organisasi
(Muluk Khairul M.R 2009: 211).
1.5.3.3 Kedudukan Pegawai Negeri Sipil
Menurut Miftah Thoha (2005: 2) Pegawai negeri merupakan unsur
Aparatur Negara, A