ETIKA ISLAM UNTUK PERDAMAIAN PERSPEKTIF

ETIKA ISLAM UNTUK PERDAMAIAN
PERSPEKTIF FIKIH
Husnatul Mahmudah
Institut Agama Islam (IAI) Muhammadiyah Bima
arraynez@gmail.com

Abstract
Peace, as well as liberation from all forms of suffering, is the desire and the desire of every human being. But peace can not be
simplified into just a situation or conflict-free conditions. Peace
is a much broader dimension and meaning. In addressing the various conflict-both communal and nuanced conflict takes diverse
religions reference to offset, overcome and reduce the violence
that has been entrenched in the community. Islam as one of the
world’s great religions offers some of the attitudes and ethics for
peacemaking. Islamic Shari’a not only regulate the issue Ubudiah
(worship) but includes also some universal values that should be
the foundation in peacemaking efforts. Through qualitative research, this paper shows that the teachings of Islam contained in
Jurisprudence recommend building peace with Islamic ethics. Can
be analyzed more deeply, that Islam has concrete regulations, the
general principles and basic values that are universal. Therefore,
Islam has always been associated with peace, and peace is a substantial mission of Islam.
Keywords: Etika, Islam, Perdamaian, Fikih


¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

Pendahuluan
Hubungan sosial membuka dua pilihan, antara harmoni atau konflik. Harmoni tebangun ketika masing-masing pihak berusaha
untuk saling memahami dan mengedepankan toleransi, sehingga
tercipta sebuah hubungan yang penuh dengan kedamaian. Sebaliknya konflik terjadi ketika masing-masing pihak memegang
dengan kukuh kebenaran yang diyakininya tanpa kompromi, melihat pihak lain sebagai lawan, atau yang harus dikuasai dan harus
ditundukkan. Perbenturan kepentingan dan aroganisme menjadi
sebab determinan lahir dan berkembangnya sebuah konflik.1
Fenomena konflik berlatar belakang agama sesungguhnya
melahirkan paradoks dalam agama sendiri. Tidak ada satu pun
agama yang mengajarkan kekerasan, penghancuran dan kolonialisasi. Tetapi ketika teks dasar agama masuk kedalam wilayah
interpretasi, muncul beragam pula interpretasi, mulai dari yang
liberal, moderat hingga yang fundamental. Dengan demikian,
persoalan yang mendasar bukan pada ajaran agamanya, tetapi
pada interpretasi terhadap ajaran agama.
Dalam hal ini, tafsir terhadap ajaran agama (Islam) tidak sekadar pemahaman terhadap teks-teks suci saja, tetapi juga pemahaman terhadap konteks, terutama universalitas keberagamaan
dan kekinian. Oleh sebab itu menurut Zuhairi Misrawi, pengkajian terhadap subtansi keagamaan juga harus didukung oleh
pendekatan tekstual sebagaimana ushul iqh (dasar-dasar fikih)

dan qawa’idah iqhiyyah (kaidah-kaidah fikih). Dengan demikian,
Islam harus ditafsir secara partisipatif dan dinamis.2
Perbincangan tentang perdamaian dalam Islam mungkin
merupakan hal yang cukup klasik, mengingat banyak orang yang
sejak lama selalu merumuskan dan mengupayakan perdamaian
yang berlandasakan pada teologi keagamaan, khususnya yang
1

Ngainun Naim, Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu dalam Keragaman, (Yogyakarta: Teras, 2011), 37

2

Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat, (Jakarta: Kompas, 2010), 137-138

350 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016

Signiikansi Kemampuan Profesional ...

terkandung dalam nilai-nilai ajaran Islam, yakni Islam sebagai
agama yang mencintai perdamaian. Walaupun demikian, wacana

ini tetap saja menarik karena beberapa alasan. Pertama, meski Islam dinilai sebagai agama yang mengajarkan perdamaian, namun
realitas dalam masyarakat seringkali menunjukan hal yang sebaliknya. Kasus kekerasan oleh sebagian umat Islam membuktikan
hal tersebut. Kedua, makna Islam sebagai agama yang cinta damai
seringkali dimaknai secara sepihak, sehingga bisa memunculkan
kesan “anti-damai” di pihak lain. Hal ini memang sering terjadi
karena adanya tarik-menarik antara ajaran yang normative dan
kenyataan yang faktual. Ketiga, Islam tentunya memiliki tanggung jawab untuk merealisasikan ajaran normatifnya itu dalam
kehidupan yang faktual, sehingga cita-cita damai agama Islam
menjadi kenyataan di muka bumi.3
Dalam usaha mengkaji tentang nilai-nilai perdamaian dalam
ajaran Islam, tidak dapat dilakukan dengan mengkhususkan pada
satu titik saja. Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin dalam ilmu
fikih mengandung nilai-nilai perdamaian yang dapat diuniversalisasikan. Istilah fikih (iqh) kini tidak lagi dipandang sebelah
mata dari kacamata pemahaman klasik, tetapi juga telah bergeser
ke masalah-masalah yang lebih luas melintasi batas-batas idiologi, unit kebangsaan dan batas-batas terotirial.
Dewasa ini kita mengenal istilah fikih prioritas, fikih lintas
agama, fikih sosial, fikih politik, dan lain-lain yang berdampingan dengan terminologi konvensional fikih, seperti fikih ibadah,
fikih jinayah, fikih munakahat dan fikih siyasah. Istilah-istilah
tersebut mengacu pada makin maraknya perbincangan di kalangan umat Islam dewasa ini yang tengah bergelut dengan gelombang globalisasi dengan pelbagai aspek yang menyertainya.


3

Ahmad Baidowi, “Terorisme dan Perdamaian dalam Islam,” dalam Alim Roswantoro (Ed.), Antologi Isu-Isu Global dalam Kajian Agama dan Filsafat, (Yogyakarta: Idea Press, 2010), 84

Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016 |

351

¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

Mengkaji landasan hukum Islam untuk perdamaian dalam
fikih tidak lepas dari isu maslahat4 dan maqasid syari’ah.5 Karena
semua yang menyangkut isu-isu kontemporer tak luput memakai
analisis maslahat. Bahkan metode ini dianggap mampu mendobrak kebekuan hukum Islam dan sangat strategis dalam mengeksplorasi dimensi-dimensi internal teks-teks yang masih mengendap di balik teks-teks Alquran dan sunnah yang begitu kaya
makna dan arti. Maslahat juga dianggap mampu merekonsiliasikan kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam sebagian sumber
hukum itu sesuai dengan realitas kekinian dan kedisinian.6
Etika Perdamaian dalam Hukum Islam
Hukum Islam sesungguhnya terdiri atas norma-norma berjenjang
(berlapis). Di zaman lampau pelapisan itu terdiri atas dua tingkat
norma, peraturan hukum konkret (al-ahkam al-fariyyah), dan

asas-asas umum (al-ushul al-kulliyah). Asas-asas umum dalam
pandangan para ahli hukum Islam klasik mencakup kategori yang
luas sehingga meliputi nilai-nilai dasar (al-qiyam al- asaasiyyah)
hukum Islam. Oleh karena itu untuk praktis norma-norma tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu (1) perarturan-peraturan
hukum konkret, (2) asas-asas umum, dan (3) nilai-nilai dasar.7
4

Secara etimologis, kata maslahat adalah kata benda infinitive dari akar kata
saluha. Kata kerja ini digunakan untuk menunjukkan keadaan atau seseorang
yang baik, sehat, benar, adil, jujur atau secara alternatif untuk menunjukan keadaan memilliki nilai-nilai tersebut. Mudhofir Abdullah, Masail al-Fiqhiyyah,
(Yogyakarta: Teras, 2011), h. 2

5

Secara bahasa maqasid berasal dari kata qasada, yaqsidu, qashdan, qashidun,
yang berarti keinginan yang kuat berpegang teguh dan sengaaja. Sedangkan assyari’ah berasala dari kata syara’a yasri’u syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan. Jadi pengertian maqasid syariah yaitu tujuan-tujuan
dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum
untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Edi Kurniawan, “Teori Maqasid
Syariah dalam Penalaran Hukum Islam” http://edikando.blogspot.com/ diakses
5 Januari 2016


6

Mudhofir Abdullah, Masail al-Fiqhiyyah… 92

7

Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: RM Books, 2007), 37

352 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016

Signiikansi Kemampuan Profesional ...

Nilai-nilai dasar hukum Islam adalah nilai dasar agama Islam
itu sendiri, karena hukum Islam berlandaskan pada nilai-nilai
dasar Islam. Menurut Syamsul Anwar, di dalam Alquran secara
harfiah dan implisit banyak ditemukan nilai-nilai dasar Islam
yang menjadi nilai-nilai dasar hukum Islam juga. Misalnya tauhid,
keadilan, persamaan, kebebasan, kemaslahatan, persaudaraan,
syura, amanah, fadilah, tasamuh, ta’awun dan sebagainya.8

Agama dan keyakinan etis menuntut bahwa setiap manusia
harus diperlakukan secara manusiawi. Itu berarti setiap manusia tanpa memandang umur, jenis kelamin, ras, warna kulit, kemampuan fisik atau mental, bahasa, agama, memiliki martabat
yang tidak dapat diganggu atau dicabut.
Alquran dan Sunnah tidak menyediakan secara rinci mengenai
persoalan penciptaan perdamain, yang ada hanyalah seperangkat
etika untuk dijadikan landasan bagi masyarakat menuju kondisi yang damai. Seperangkat tata etika yang dimaksud menurut
Musdah Mulia adalah prinsip keadilan (al-‘adâlah), kejujuran dan
tangungjawab (al-amânah), kebebasan (al-hurriyah), persamaan
(al-musâwah), persaudaraan (al-ukhwah), kemajemukan (alta’adudiyah), musyawarah (as-syurâ), kedamaian (as-silm), dan
kontrol sosial (amar ma’ruf nahy munkar).9
Sedangkan menurut Amin Abdullah, beberapa etika dalam hukum Islam yang mengarah kepada penciptaan perdamaian diantaranya adalah: memaafkan, menghormati sesame manusia, kreatif, adil dan kasih sayang.10
8

Ibid., 38

9

Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran Politik Radikal, (Jakarta: Paramadina,
2001), h. 239-242. Lihat juga Musdah Mulia, “Hubungan Agama dan Negara
dalam Rangka Menjamin Kebebasan Beragama di Indonesia” dalam J. Mardimin (ed), Mempercakapkan Relasi Agama dan Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), 136-137

10

Lihat M. Amin Abdullah, “Pesan Islam untuk Perdamaian dan Anti Kekerasan”
Jurnal Sosiologi Relektif, Volume 3 Nomor 2, 2009.

Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016 |

353

¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

1. Mengedepankan Sikap Memaafkan
Ketika Nabi Muhammad Saw memiliki kekuasaan politik—
dalam peristiwa penaklukkan Mekah—nilai tunggal yang diaplikasikannya adalah memaafkan. Tindakan Nabi bukan sematamata taktik politik, sebab ia mengikuti pola perilaku yang mapan.
Pola perilaku Nabi yang dibentuk oleh nilai inti kepemaafan
merupakan suatu manifestasi ajaran wahyu Tuhan.11 Ditetapkan
dalam Alquran bahwa memaafkan adalah kewajiban kaum muslimin, bahkan ketika mereka marah.


ّ ‫ى ى ى ح ى ّ ى ى ّ ى ٌ ْ ح ى فى ى ْ ى ى ى ى ْ ى ى ى ى ْ ح ح ى ى‬
ّ‫ال إ ّن حه ا ي ح ِ�ب‬
ِ ِ ‫و ّجزاء س ِيئ ٍة س ِيئة ِمثلها �ن عفا وأصلح فأجره عل‬
�‫ال ي فى‬
ِ ِ ‫الظ‬
“Balasan untuk suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi
jika sesorang memberi maaf dan melakukan perbaikan, maka balasannya adalah dari Allah, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang
melakukan kedzaliman.” (QS. Asy-Syura [42]: 40)
Menurut ayat di atas, pemberian ampunan dan perbaikan
(rekonsiliasi) adalah tindakan tepat dalam situasi konflik. Lebih
jauh karena memaafkan merupakan suatu nilai yang secara jelas
dianjurkan dalam Alquran. Sebagai suatu proses antara dua kelompok yang bertikai, memaafkan menjadi suatu tindakan saling membebaskan bagi yang memberi maaf dan yang dimaafkan.
Maaf membantu mengubah hubungan-hubungan sosial, sehingga perdamaian dan tindakan non-kekerasan menjadi mungkin di
masa depan.
2. Penghormatan atas Martabat Manusia
Sebagai sebuah konsep ajaran, Islam menempatkan manusia
pada keuddukan yang sejajar dengan manusia lainnya. Perbedaan
antara satu individu dengan individu lainnya didasarkan atas
kualitas keimanan dan ketakwaannya. Hal ini merupakan dasar
11


Ibid., 16

354 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016

Signiikansi Kemampuan Profesional ...

yang sangat kuat dan tidak dapat dipungkiri telah memberikan
kontribusi pada perkembangan prinsip hak asasi manusia di
dalam masyarakat internasional.
Salah satu aspek martabat manusia yang harus diakui dan dilindungi adalah hak untuk hidup. Berdasarkan Alquran “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
suatu alasan yang benar.”12 Inklusifitas Islam terlihat pada adanya
penghargaan terhadap kelompok manusia yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Namun penghargaan terhadap perbedaan ini bukan berarti penyamaan agama Islam dengan agama
lainnya.13 Sebagai dasar kebebasan beragama adalah “Tidak ada
paksaan dalam beragama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
dan jalan yang salah.”14
Nalar dasar dalam pengakuan hubungan kemanusiaan harus
senantiasa didasari prinsip untuk menghormati pihak lain, apapun kondisi dan atribut yang melekat terhadapnya. Sebagaimana
Allah sedari awal telah menetapkan manusia adalah makhluk
yang telah dimuliakan penciptaannya. Sehingga niscaya dalam

proses interaksi harus didasari nalar memuliakan.

ّ
‫ىوىل ىق ْد ىك ّر ْم ىنا ىب ف� ىآد ىم ىو ى ى‬
ْ ‫ح ْل ىن ح‬
ْ ‫اه ِ ف� ْال ىب ّ� ىو ْال ىب ْحر ىو ىر ىز ْق ىن ح‬
‫ات‬
ِ ‫اه ِم ىن الط ِّي ىب‬
ِ
ِ ‫ى ْي‬
ِ
‫ى ى ّ ْ ى ح ْ ى ى يى ِ ّ ْ ى ْ ى ى‬
‫وفضلناه عل ك ِث ي ٍ� من خلقنا تف ِضيا‬

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’
[17]:70)
3. Kreatif dan Adil dalam Penyelesaian Masalah
Jika mengacu pada peristiwa bersejarah ketika Nabi Muham-

mad Saw dalam kasus memperebutkan wewenang siapa yang pal12

QS. Al-Isra’ [17]: 33

13

Didin Hafiduddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 148

14

QS. Al-Baqarah [2]: 256

Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016 |

355

¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

ing berhak meletakkan hajar aswad, menurut M. Amin Abdullah
bahwa Nabi Muhammad Saw mengedepankan nilai-nilai utama
dalam menciptakan perdamaian, diantaranya kesabaran, penghargaan terhadap kemanusiaan seluruh pihak, berbagi bersama
dan kreatifitas dalam penyelesaian masalah.15
Dalam menegaskan pentingnya keadilan dalam hukum Islam,
para pemikir Islam menunjukan berapa banyak istilah keadilan
(atau ketidakadilan) disebutkan dalam Alquran. Contohnya Khadduri sepeti yang dikutip oleh Abu Nimer menyatakan;
“Dalam Alquran ada lebih dari 200 teguran terhadap ketidakadilan
yang diungkapkan dalam kata-kata seperti zhulm, itsm, dhalâl, dan
lainnya serta tak kurang dari hampir 100 ungkapan yang memuat
gagasan keadilan, baik secara langsung dalam kata-kata seperti ‘adl,
qishth, mizan dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, maupun dalam pelbagai ungkapan lain yang tidak langsung.”16

Alquran berulangkali mengingatkan kaum muslim akan nilai
keadilan, yang digambarkan bukan semata seabagai suatu pilihan
melainkan sebagai perintah Tuhan.

‫ّ ّ ى ى أْ ح ح ح ْ ى ْ ح ى ّ أ‬
ْ ‫ى ى ْ ى ى ى ى ى ْ تح ْ ى ْ فى ّ ى‬
‫اا ىم فى‬
�‫ا‬
‫ِإن ال ي�مرك أن تؤدوا‬
‫اس أن‬
‫الن‬

‫ب‬

‫ك‬
‫ح‬
‫ا‬
‫ذ‬
‫إ‬
‫و‬
‫ا‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ه‬
‫أ‬
‫ل‬
‫إ‬
‫ت‬
‫ي‬
ِ ِ
ِ ِ‫ح‬
ِ
‫ّ ّى ى ى‬
‫تى ْ ح‬
‫كوا ب� ْل ىع ْدل إ ّن ّ ى‬
‫ح‬
ْ ‫ال ِن ِع ّما ىي ِعظ ح‬
‫ك ِب ِه ِإن‬
‫ال كن ى ِس ًيعا ىب ِص ي ً�ا‬

ِ ِ ِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”17
Kedamaian merupakan hasil dari ketertiban dan keadilan. Perintah untuk berjuang demi kedamaian lewat keadilan ditujukan
secara sama kepada para penguasa maupun warga Negara dan
15

M. Amin Abdullah, “Pesan Islam untuk Perdamaian..., 15

16

Mohammed Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina Damai dalam Islam, (Jakarta:

17

QS. An-Nisa [4]: 58. Lihat juga Al-Maidah [5]: 8, An-Nahl [16]: 90, Asy-Syura

Pustaka Alfabet, 2010), 62-63
[42]: 15 dan Al-Hadid [57]: 25

356 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016

Signiikansi Kemampuan Profesional ...

merupakan kewajiban alamiah bagi sleuruh manusia. Berdasarkan ayat lainnya, maka qist (soal berurusan secara adil dengan
yang lain, kesetaraan dan berlaku adil) adalah keadilan sosial
dalam pengretian secara luas. Pertama, dalam hubungan manusia dengan Tuhan, dan kedua, dalam hubungan manusia dengan
masyarakat. Dari sudut pandang ini, kaum Muslim mendapat
satu kewajiban sacral untuk memperlakukan satu sama lain dengan adil.18 Justice has always been included among the qualities of head
and heart which give moral luster and spiritual dignity to human afair.
(Keadilan selalu disertakan antara kualitas kepala dan hati yang
memberikan kilau moral dan martabat spiritual untuk urusan
manusia).19
4. Mendamaikan Dunia dengan Kasih Sayang
Agama Islam dan syari’at yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, oleh sebab itu Islam sangat sarat dengan etika kasih
sayang. Pada hakikatnya kasih sayang yang merepresentasikan
semangat kebenaran Islam, jauh lebih vital bagi ajaran Islam daripada yang lainnya.
Ada kunci-kunci tertentu dalam Alquran yang secara luas
menekanka pada tiga hal yang seringkali diulang-ulang, yakni
rahmah, adil dan hikmah. Kata rahmah berasal dari kata kerja rahima yang turunan dari kata ini disebutkan sebanyak 326 kali berdasarkan pada Mufradat Alquran karya Imam Raghib dalam Engineer dimaknai kehalusan hati menghadapi sesorang yang pantas
mendapatkan kemurahan hati dan mengajak kita untuk berbuat
baik pada orang lain.20 Ajaran Islam dan misi risalahnya dapat
diringkas dalam ayat:

‫ىْىً ْ ى‬
‫ى ْ ى‬
�‫حة ِلل ىع ِال ي فى‬
‫ىو ىما أ ْر ىسل ىناك ِإا ر‬

“Dan tiadalah kami

mengutus kamu melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam.”21
18

Mohammed Abu Nimer, Nirkekerasan…., 65

19

Parveen S. Ali, Human Rights in Islam, (New Delhi: Adam Publishers, 2007), 53

20

Asghar Ali Engineer, Islam Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 208

21

QS. Al-Anbiya [21]: 107

Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016 |

357

¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

Menurut Nurcholis Madjid, etika kasih sayang ini mendominasi segala sesuatu sehingga semangat kasih sayang merupakan
unsure utama moral ketuhanan yang dipesankan oleh Alquran.
Penegakan kasih sayang terhadap sesame manusia yaitu dengan
semangat kemanusiaan pada umumnya dikaitkan dengan pesan
menegakkan kesabaran. Bagi orang yang mendapat rahmat dari
Allah, perbedaan tidak menjadi unsure pertentangan.22
Manifestasi rasa kasih sayang itu diwujudkan dalam beberapa
sikap dan tindakan penting. Pertama, menafkahkan harta untuk orang lain yang membutuhkan, tidak hanya diwaktu lapang,
bahkan diwaktu sempit. Kedua, menahan amarah dan ketiga, memaafkan orang lain. Islam adalah agama yang mempunyai kelenturan yang diekspresikan melalui penghayatan terhadap jantung
dari keimanan itu sendiri (ajaran tentang kasih sayang). Dari sini
ajaran tentang kasih sayang menjadi sangat penting. Ditengah
perbedaan apapun harus dilandasi dengan kasih sayang, sehingga
perbedaan tidak menyebabkan konflik sosial. Kasih sayang harus
menjadi mekaisme eksternal terutama dalam hubungan umat Islam dengan umat beragama lain.23
Nilai yang mendasari paradigma kenabian salah satunya
adalah belas-kasih Nabi kepada orang lain. Secara teologis, Tuhan menunjukan bahwa tujuan pengutusan Nabi adalah “sebagai
belas kasih bagi seluruh alam.”24 Belas kasih universal inilah yang
meresap kedalam eksistensi Nabi.25 Dengan menunjukan sikap
yang demikian, Muhammad Saw berusaha membangun tipologi
masyarakat idaman yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang universal.
Namun sangat disayangkan umat Islam sendiri –terkecuali
kaum sufi dan para pengikutnya- melupakan penekanan Alquran
22

Budhy Munawar Rachman dan Muhammad Shofan, Argumen Islam untuk Liberalisme, (Jakarta: Grasindo, 2010), 162

23

Ibid., h. 164

24

QS. At-Taubah [9]: 16

25

Ahmad Baidowi, Terorisme dan Perdamaian…., h. 88-89

358 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016

Signiikansi Kemampuan Profesional ...

terhadap pentingnya kasih sayang. Kaum sufi amat menekankan
kata kasih sayang. Doktrin fundamental mereka terkenal dengan
sulhi kull yakni damai terhadap semua, yang berarti tidak ada kekerasan dan agresi.26
Beberapa nilai inti Islam seperti yang disebutkan di atas,
menurut M. Amin Abdullah cukup kondusif bagi upaya penciptaan perdamaian dan menghindari tindak kekerasan baik di lingkungan dalam (intern) umat beragama maupun lingkungan luar
(ekstern) umat beragama. Amin Abdullah menegaskan, nilai-nilai dalam Islam yang perlu terus menerus diidentifikasi merupakan manifestasi tujuan ilahi yang tertanam dalam misi kenabian
Muhammad Saw. Islam rahmatan lil ‘alamin hanya data dipahami
lewat perspektif nilai-nilai fundamental yang ditawarkan, yakni
nilai-nilai yang dapat berlaku untuk semua etnis, ras, bangsa dan
agama tanpa syarat apapun.27
Etika Perdamaian dalam Fikih
Resolusi konflik dalam khazanah Islam –khususnya ilmu fikih–
lebih dikenal dengan istilah sulh. Sulh adalah sebuah istilah penting baik dalam kosa kata hukum Islam maupun bahasa kebiasaan
suku. Menurut syariat Islam, tujuan sulh adalah untuk mengakhiri konflik dan perselisihan sehingga mereka dapat menciptakan
hubungan dalam kedamaian dan penuh persahabatan. Dalam hukum Islam, sulh adalah bentuk kontrak yang secara legal mengikat
pada tingkat individu dan komunitas. Secara terminologis, istilah sulh digunakan dengan dua pengertian, yakni proses keadilan restoratif (restorative justice) dan penciptaan perdamaian serta
hasil atau kondisi actual yang dilahirkan oleh proses tersebut.”28
Secara garis besar sulh terbagi atas empat macam, yaitu:
1. Perdamaian antara kaum muslim dengan masyarakat non26

Asghar Ali Engineer, Islam…, 200-201

27

M. Amin Abdullah, “Pesan Islam…,” 17

28

Zakiyuddin Bhaidawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), 61

Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016 |

359

¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

muslim. Yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata
dalam masa tertentu (dewasa ini dikenal dengan istilah gencatan senjata) secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang diatur dalam undang-undang yang telah sepakati
oleh kedua belah pihak.
2. Perdamaian antara penguasa dan pemberontak. Yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan Negara yang harus ditaati.
3. Perdamaian antara suami istri dalam sebuah keluarga. Yaitu
membuat perjanjian dan aturan-aturan tentang pembagian
nafkah, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada
suamiya manakala terjadi perselisihan.
4. Perdamaian antara pihak yang melakukan transaksi (perdamaian dalam muamalat). Yaitu membentuk perdamaian dalam
masalah yang ada kaitannya dengan perselisihan-perselisihan
yang terjadi dalam masalah muamalat.29
Pada zhahirnya keragaman budaya dan agama dapat menjadi
sumber perpecahan yang tidak mustahil mengarah pada munculnya separatisme. Oleh sebab itu, mengingat keragaman ini
merupakan realitas social maka tidak ada pilihan lain kecuali
menerima dan mengarahkan pada kepentingan dan tujuan bersama. Dalam Fikih Hubungan Antar Agama, Said Agil Husain Almunawar menekankan pada toleransi dan kerukunan sebagai upaya
menjaga perdamaian dalam hubungan antar umat beragama di
Indonesia. Sebab eksistensi manusia bukan terletak pada aku-nya
tetapi pada kita-nya atau kebersamaannya. Kebersamaan ini tidak
hanya tergambar dalam bentuk kolektif saja tetapi jauh dari itu.30
Kesatuan wujud ini dalam ajaran Islam disebutkan bahwa
Tuhan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bergolonggolongan. “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan
29

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002). 9-12

30

Said Agil Husein al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat
Press, 2003).

360 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016

Signiikansi Kemampuan Profesional ...

kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bergolongan supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah
orang yang bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Melihat.” (QS. Al-Hujurat [49]:13).
Sejalan dengan sulh dalam fikih, Mohammed Abu Nimer
menawarkan sikap nirkekerasan dan bina damai dalam yang sesuai dengan ajaran Islam. Nirkekerasan adalah sekumpulan sikap,
pandangan, dan aksi yang ditujukan untuk mengajak orang di pihak lain agar mengubah pendapat, pandangan, dan aksi mereka.
Nirkekerasan menggunakan cara-cara damai untuk mencapai
hasil yang damai. Nirkekerasan berarti bahwa para aktor tidak
membalas tindakan musuh mereka dengan kekerasan. Malah,
mereka menyerap kemarahan dan kerusakan sambil menyampaikan pesan ketabahan yang tegas dan desakan untuk mengatasi
ketidakadilan.31
Ciri utama aksi nirkekerasan adalah sebagai berikut: Pertama,
“Secara lahir tidak agresif, tapi secara dinamis adalah batin yang
agresif.” Kedua, “Ia tidak berusaha untuk menistakan musuh”
tapi mengajak musuh untuk berubah lewat pemahaman dan kesadaran baru tentang aib moral untuk kemudian membangun kembali “komunitas-komunitas terkasih” lainnya. Ketiga, “Ia ditujukan kepada kekuatan kejahatan, bukan kepada orang-orang yang
terperangkap dalam kekuatan tersebut.” Keempat, nirkekerasan
berupaya untuk menghindari bukan hanya “kekerasan lahiriah,
tapi juga kekerasan batiniah.” Kelima, nirkekerasan “didasarkan
atas pendirian bahwa alam semesta berpihak pada keadilan.32
Salah satu kaidah fikih yang mengarah pada resolusi konflik
terkandung dalam kalimat la dharâran wa lâ dhirâra (tidak diperbolehkan melakukan perbuatan berbahaya dan membahayakan).
Secara garid besar, dua kata dalam kaidah fikih di atas dharâr
31

Mohammed Abu Nimer, Nirkekerasan ..., 20

32

Ibid., 20-21

Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016 |

361

¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

dan dhirâr. Menurut bahasa kata dharâr lawan dari kata manfaat
dengan kata lain tidak bermanfaat atau membawa mudarat jika
dikerjakan, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Kata dhirâr
menurut bahasa adalah balasan yang sengaja dilakukan sebagai
balasan atas kemudharatan yang menimpanya. Dengan kata lain
dia membalas atau menimpakan kemudaratan kepada orang lain
sesuai dengan kemudaratan yang menimpa dirinya. Secara garis
besar kaidah fikih ini melarang segala sesuatu perbuatan yang
mendatangkan mudarat/bahaya tanpa alasan yang benar serta tidak boleh membalas kemudaratan/bahaya dengan kemudaratan
yang serupa juga, apalagi dengan yang lebih besar dari kemudharatan yang menimpanya.
Etika perdamaian yang terkandung dalam hukum Islam, sejalan dengan yang disebut oleh Hans Kung sebagai “Global Ethics.”
Etika global bukanlah pengganti kitab-kitab suci agama dunia,
akan tetapi etika global berkenaan dengan “consensus dasar”
yang berkaita dengan nilai yang mengikat, standar yang tak terbatalkan, dan sikap moral yang dapat ditegaskan oleh semua agama meskipun ada perbedaan dogmatis, dan juga dapat didukung
oleh kaum non-beriman.33
Hans Kung menegaskan bahwa untuk menghindari konflik
setidaknya ada dua prinsip dasar yang menjadi basis etika global.
Pertama, setiap manusia harus diperlakukan manusiawi. Kedua,
apa yang ingin kamu lakukan pada dirimu, lakukanlah pada orang
lain. Dua prinsip ini harus menjadi norma tanpa syarat dan tak
terbatalkan bagi semua bidang kehidupan, keluarga, komunitas,
ras, bangsa dan agama.34
Sebagai pemikir fikih terkemuka muslim kontemporer, Yusuf
Qardhawi membahas dan sekaligus mendudukan kembali pengertian, ajaran dan praksis jihad, dengan meletakkan jihad dalam
konteks yang lebih luas. Fikih jihad lahir dari gagasan cerdas dan
33

Lihat Hans Kung, Etika Ekonomi-Politik Global, (Yogyakarta: Qalam, 2002).

34

Ibid., h. 186-187

362 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016

Signiikansi Kemampuan Profesional ...

konsep fikih moderat Qardhawi. Ditulis berdasarkan prinsipprinsip fikih keseimbangan, realitas, social dan fikih prioritas.
Sehingga dalam fikih jihad tercatat pula hal-hal yang mengenai
perdamaian dan sikap untuk membangun perdamaian, baik kepada sesame muslim maupun sikap terhadap non-muslim.
Untuk mewujudkan suasana damai, apabila suatu kemaslahatan berlawanan dengan kemaslahatan lainnya, menurut Yusuf
Qardhawi yang harus diprioritaskan adalah prinsip dalam Fikih
Keseimbangan (Fiqh al-Muwazanât) dan Fikih Prioritas35. Yakni
dengan menetapkan sejumlah kriteria sebagai pedoman dan tolak
ukurnya. Misalnya mengabaikan kemaslahatan yang lebih rendah
untuk kemaslahatan yang lebih besar, mengambil resiko paling
ringan untuk menghindaari resiko lebih berat, menanggung kerugian lebih kecil untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Selain
itu mengedepankan pula prinsip-prinsip, mengindarkan kerusakan lebih utama darpada meraih kemaslahatan, mengorbankan
kemasllahatan simbolik demi meraih kemaslahatan subtansial.
Serta prinsip yang tidak kalah penting dari itu adalah mengutamakan manfaat yang bersifat langgeng ketimbang manfaat yang
bersifat sementara, dan mengesampingkan kemaslahatan yang
dikhususkan bagi segelintir orang untuk mencpai kemaslahatan
yang dapat dinikmati banyak orang.36
Qardhawi dalam Fikih Prioritas menyatakan ketika bahwa segala
sesuatu perlu dipertimbangkan dalam situasi dan keadaan darurat.
Mengatasi situasi tersebut dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan matang tanpa yang menguntungkan tanpa harus keluar dari
dasar hukum Islam. Dalam memberikan pertimbangan terhadap
pelbagai kepentingan tersebut, Yusuf Qardhawi menawarkan untuk menggunakan kaidah berikut ini. (1) Mendahulukan kepentin35

Fiqh al-Muwazanah (Fikih Keseimbangan), yakni sebuah metode yang dilakukan
dalam mengambil keputusan hukum, pada saat terjadinya pertentangan dilematis antara maslahat dan mafsadat, atau antara kebaikan dan keburukan. Ibid.

36

Yusuf Qardhawi, Fikih Jihad, (Jakarta: Mizan, 2010), 77

Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016 |

363

¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

gan yang sudah pasti atas kepentingan yang baru diduga adanya,
atau masih diragukan. (2) Mendahulukan kepentingan yang besar
atas kepentingan yang kecil. (3) Mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individual. (4) Mendahulukan kepentingan
yang banyak atas kepentingan yang sedikit. (5) Mendahulukan
kepentingan yang berkesinambungan atas kepentingan yang sementara dan insidental. (6) Mendahulukan kepentingan inti dan
fundamental atas kepetingan yang bersifat formalitas dan tidak
penting. (7) Mendahulukan kepentingan masa depan yang kuat
atas kepentingan kekinian yang lemah.37
Menurut Qardhawi, sikap muslim dalam menghadapi suasana
konflik hendaknya mencontoh sikap dan tindakan Nabi ketika
menghadapi kaum kafir dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah.
Dalam peristiwa ini ada contoh bagaimana Rasulullah mengorbankan kemaslahatan yang dinilai simbolik untuk meraih kemaslahatan yang lebih subtansial, yaitu menerima penulisan
Bismika ya Allâh (dengan nama-Mu ya Allah) dan bukan Bismillâhirrahmânirrahim (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang), dan menerima penghapusan kalimat “rasul
Allah” dengan kalimat “Muhammad ibn Abdullah.” Dengan cara
ini Nabi mengajarkan pada umatnya bagaimana menyeimbangkan kemaslahatan-kemaslahatan saat saling bertolak belakang.38
Bahkan menurut Ibnu Qayyim seperti dikutip Qardhawi, perdamaian dengan kaum musyrik walaupun dalam beberapa hal
tampak merugikan kaum muslim, jalan ini dipilih oleh Rasulullah
untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar dan menolak keburukan. Dalam hal ini ada prinsip menolak kerusakan yang lebh
besar dengan menerima kerusakan yang lebih kecil.39
37

Yusuf Qardhawi, Fi Fiqhil al-Aulawiyat, Dirosah Jadiidah i Dhou’il Qur’ani wa Sunnah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), 89-98

38

Yusuf Qardhawi, Fikih Jihad…, 78-79

39

Ibid., 79

364 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016

Signiikansi Kemampuan Profesional ...

Selanjutnya menurut Qardhawi bahwa menempuh jalan damai
adalah anjuran yang tertera dalam Alquran itu sendiri, yaitu kewajiban menyambut ajakan perdamaian bila musuh memilih dan
cenderung pada jalan perdamaian tersebut.40

ْ
ّ ‫ّ ْ ى ْ ى ْ ىى ى ىى ّْ ى ى‬
‫ىوإ ْن ىج ىن ح‬
ّ ‫ال ۚ إ ّن حه حه ىو‬
‫ل‬
‫ع‬
‫ك‬
‫و‬
‫ت‬
‫و‬
‫ا‬
‫ل‬
‫ح‬
‫ن‬
‫اج‬
‫ف‬
‫ل‬
‫لس‬
‫ل‬
‫وا‬
‫ح‬
�‫الس ِم حيع ال ىع ِل ي ح‬
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ ‫ى‬
‫ّى‬
‫ى‬
ّ
‫ى‬
‫ى‬
ْ
ْ
ّ
‫ى‬
ّ
‫ى‬
ْ
‫ى‬
‫ح‬
‫ى‬
‫ح‬
‫ى‬
‫ح‬
‫ف‬
‫ى‬
‫ح‬
‫ى‬
‫ى‬
‫ْى‬
ْ
‫ص ِه‬
‫۞و ِإن ح ي ِ� يدوا أن ي�دع‬
ِ ْ ّ ‫وك ف ِإن ىح ىس ىبك ال ۚ ه ْو أى ال ِذي أيدك ِب ىن‬
‫ى‬
‫حح‬
ْ ْ
‫ّى‬
‫ف‬
ْ ْ
‫و� ْم ۚ ل ْو أنفق ىت ىما ِ ي� اا ْر ِض بى ِح ًيعا ىما ألف ىت‬
‫ىو ِب� حلؤ ِم ِن ي فى� ٰ۞ ىوألف ىب ى ْ ي فى� قل ِ ِب‬
ّ
‫ى ْ فى ح ح ْ ى ى ّ ّ ى ّ ى‬
�ٌ ‫ال ألف ىب ْي فى ح� ْم ۚ ِإن حه ىع ِز ي فٌ� ىح ِك ي‬
‫و�م ول ِكن‬
ِ ‫ب ي� قل ِب‬

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika mereka bermaksud
menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah. Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. Dan
yang mempersatukan hati mereka . Walaupun kamu membelanjakan
semua yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan
hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahagagah lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfal [8]:
61-63).
Mengenai hubungan dengan non-muslim, Yusuf Qardhawi

juga sangat menganjurkan dialog yang baik sebagai cara untuk berkomunikasi dengan kaum non-muslim. Anjuran tersebut menurut Qardhawi dapat dibaca dengan jelas sesuai dengan
petunjuk Alquran: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dnegan
hikmah dan nasehat” (An-Nahl 16: 125). Dan hikmah dan kearifan
yang dapat menuntun pikiran manusia supaya dapat memahami,
sedangkan nasihat dapat membawa pengaruh yang kuat dalam
hati. Islam mengakui adanya agama lain dan mengharuskan untuk menghormati mereka. Oleh karena itu, syariat Islam memperbolehkan makan bersama (dalam arti makan dari sembelihan
mereka) dan pertalian hubungan dengan mereka (dalam arti bo40

Ibid., 79

Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016 |

365

¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

leh menikahi wanita mereka), dengan melandaskan argumennya
pada QS. Al-Maidah [5]: 5. Menurut Qardhawi, inilah puncak toleransi, yaitu seorang muslim dapat menikahi wanita Nasrani atau
Yahudi, untuk menjadi teman hidupnya, ibu dari anak-anaknya.41
Qardhawi menuliskan bahwa ada beberapa ayat yang sering
disebut tetapi salah kaprah dalam interpretasinya, khususnya
dalam interaksi antara muslim dengan non-muslim. Seperti firman Allah “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, sesungguhnya Allah itulah petunjuk (yang benar).”42 Qardhawi melanjutkan
bahwa banyak kelompok-kelompok yang berpegang teguh dengan sikap keberagamaan mereka, tetapi tidak mendalami pemahaman ayat-ayat Alquran. Akibatnya mereka mendapati ayat ini
sebagai penghalang toleransi beragama dnegan yahudi dan nasrani, tanpa adanya kesepahaman dan kebersamaan.43
Selanjutnya menurut Qardhawi, pemikiran seperti ini tidak
akan muncul apabila ayat tersebut dipahami secara sempurna,
karena beberapa alasan: Pertama, ayat tersebut ditujukan khusus
untuk Rasulullah Saw, yaitu tidak akan senang kepada kamu, tidak
untuk umum. Kedua, kalau kita menerima ayat ini sebagai ucapan
terbuka untuk semua, berarti tidak menunjukan selain satu hal
yaitu ketidakpuasan mereka terhadap kita –kepuasan mutlaksampai kita mau mengikuti agama mereka. Hal tersebut wajar bagii setiap orang yang ingin mempertahankan ajarannya. Sebagai
muslim, kita juga tidak menerima agama mereka sepenuh hati.
Sikap ini adalah hal yang biasa diantara para pemeluk agama.44
41

Ibid., 917-920

42

QS. Al-Baqarah [2]: 120

43

Yusuf Qardhawi, Fikih Jihad,…952

44

“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi alkitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan
mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian
mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan sesungguhnya jika
kamu mengikuti keinginan mereka setelah dating ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu
termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 145).

366 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016

Signiikansi Kemampuan Profesional ...

Ketiga, tujuan kita bukan untuk memuaskan Yahudi dan Nasrani, sehingga ketidakpuasan mereka menjadi penghalang. Tujuan
seorang muslim ialah ridha Allah sebelum segalanya –orang boleh suka atau tidak suka kepada kita- dan kita tidak akan menjual
ridha Allah dnegan ridha makhluk. Keempat, bahwa Islam –sekalipun dengan keberadaan ayat ini- tidak melarang muslim bergaul
dengan yahudi dan nasrani, menjalin keakraban dengan mereka,
menikahi puteri dan saudara perempuan mereka, dan memperlakukan mereka sebagaimana mestinya pertalian persaudaraan
dengan hak dan kewajibannya.45
Toleransi dan dialog sebaiknya lebih menekankan pada titik
kesamaan pandangan dan bukan justru menunjukan sisi perbedaan. Islam menganjurkan untuk menyebarkan semangat toleransi, kerahmatan, persahabatan dalam berinteraksi antar penganut pelbagai agama dan bukan semangat fanatisme.46
Penutup
Kedamaian dapat terwujud, namun ia akan menjadi kata yang
hampa makna jika tidak dibangun atas dasar kebenaran, keadilan
dan cinta kasih. Islam dan perdamaian merupakan dua hal yang
saling mengikat dan menguatkan, karena misi utama Islam adalah
mendorong dan menciptakan kehidupan yang damai (peaceful life). Perdamaian bukan berarti kehidupan yang tidak pernah
diwanai oleh konflik, karena konflik yang ditangani dengan cara
yang baik bisa berpotensi semakin memperkuat perdamaian.
Prinsip-prinsip Islam –yang sesuai dengan syariat- menganjurkan untuk mengedepankan sikap saling menghormati (tasamuh),
menebar kasih sayang (rahmah), berlaku adil (al-‘adalah), kejujuran dan tangungjawab (al-amanah), kebebasan (al-hurriyah),
persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ukhwah), kemajemukan (al-ta’adudiyah), musyawarah (as-syura), kedamaian (as45

Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Jihad…, 952-954

46

Ibid., 923-924

Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016 |

367

¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

silm), dan control social (amar makruf nahy munkar). Demikian pula
dalam fikih, Islam selalu menganjurkan prinsip sulh atau rekonsiliasi dalam menangani konflik, dengan berorientasi pada kebaikan masa depan. Bagi Qardhawi, menciptakan perdamaian itu
lebih utama daripada menunjukan sikap kekerasan yang sangat
bertentangan dengan Islam. Beberapa sikap untuk perdamaian
yang sesuai dengan prinsip-prinsip fikih keseimbangan tersebut
pada umumnya lebih mengedepankan kebaikan atau kemaslahatan dalam jangka panjang dibanding tujuan kecil yang manfaatnya dinikmati sesaat. Islam tidak mengajarkan kekerasan,
Islam selalu mengedepankan dialog, toleransi dan penghargaan,
dan Islam adalah agama yang memecahkan konflik dnegan caracara anti kekerasan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, “Pesan Islam untuk Perdamaian dan Anti Kekerasan” dalam Jurnal Sosiologi Relektif, Volume 3 Nomor 2,
2009.
Abdullah, Mudhofir, Masail al-Fiqhiyyah, Yogyakarta: Teras, 2011.
Abu Nimer, Mohammed, Nirkekerasan dan Bina Damai dalam Islam,
Jakarta: Pustaka Alfabet, 2010.
Ahmed An-Na’im, Abdullahi, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad
Suaedy, Yogyakarta: LKiS, 2011.
Abu Nimer, Muhammad, Nirkekerasan dan Bina Damai dalam Islam;
Teori dan Praktik, Jakarta: Edisi Digital Democracy Project, 2010.
al-Munawar, Said Agil Husain, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Ali, Parveen S, Human Rights in Islam, New Delhi: Adam Publishers,
2007.

368 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016

Signiikansi Kemampuan Profesional ...

Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM
Books, 2007.
Baidowi, Ahmad, Terorisme dan Perdamaian dalam Islam, dalam
Alim Roswantoro (Ed.), Antologi Isu-Isu Global dalam Kajian
Agama dan Filsafat, Yogyakarta: Idea Press, 2010
Bhaidawy, Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005.
Engineer, Asghar Ali, Islam Masa Kini, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Hafiduddin, Didin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press,
2003.
Hanafi, Hassan, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, terj. Ahmad Najib, Yogyakarta: Jendela, 2002.
Kung, Hans, Etika Ekonomi-Politik Global, Yogyakarta: Qalam, 2002.
Munawar Rachman, Budhy dan Shofan, Muhammad, Argumen Islam untuk Liberalisme, Jakarta: Grasindo, 2010.
Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran Politik Haikal, Jakarta: Paramadina, 2001.
_______, “Hubungan Agama dan Negara dalam Rangka Menjamin Kebebasan Beragama di Indonesia” dalam J. Mardimin
(ed), Mempercakapkan Relasi Agama dan Negara, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Misrawi, Zuhairi, Pandangan Muslim Moderat, Jakarta: Kompas,
2010.
Naim, Ngainun, Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu dalam Keragaman, Yogyakarta: Teras, 2011.
Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia Tazaffa, 2010.
Shadiqin, Ihsan, Merangkai Kata Damai, Jakarta: Khairul Umami,
2009.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2002.

Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016 |

369

¬ SITI BADRIYAH & M. DARWIS HUDE

Qardhawi, Yusuf, al-Syiasyah al-Syar’iyyah i Dhau’ al-Nushus alSyari’ah wa Maqasidiha, Kairo: Maktabah Wahbah, 1998.
_______, Fi Fiqhil al-Aulawiyat, Dirosah Jadiidah i Dhou’il Qur’ani
wa Sunnah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.
_______, Fiqh Jihad, Jakarta: Mizan, 2010.
_______, Masalah-masalah Islam Kontemporer, Jakarta: Najah
Press, 1999
http://edikando.blogspot.com/
http://islamia.xtgem.com/

370 | Volume IX Nomor 2 Juli - Desember 2016