Kerjasama Pemerintah Swasta di Indonesia (1)

Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
Air adalah unsur terpenting bagi hidup manusia. Kualitas air yang baik dan
kuantitas yang cukup sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia.
Begitu pentingnya air, telah menjadikan akses terhadap air bersih sebagai hak
asasi manusia1. Akses terhadap air bersih juga menjadi salah satu target dari
Millenium Development Goals (MDGs) 2 yang harus tercapai pada tahun 2015,
yang ditandatangani oleh 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000.
Bagi Indonesia, banyak tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan hal
tersebut. Salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibat
peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti
pertanian dan industri. Pada sisi yang lain, ketersediaan air bersih secara
kuantitas semakin langka akibat kondisi daerah tangkapan air dan daerah retensi
air yang semakin kritis serta secara kualitas pun ketersediaan air bersih
mengalami pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah.
Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan
penyedia layanan air bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Beberapa laporan dari lembaga-lembaga internasional menunjukkan kondisi
akses masyarakat terhadap air bersih. World Health Organization (2003),

menyatakan bahwa dari 217 juta penduduk Indonesia dengan komposisi sekitar
44% tinggal di perkotaan dan 56 % tinggal di pedesaan, 78% penduduk memiliki
akses atas air dari sumber yang aman (improved water), tetapi hanya 17%
rumah tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Di wilayah perkotaan, sekitar
89% penduduk memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 31% rumah
tangga di perkotaan yang tersambung dengan PDAM. Sedangkan untuk wilayah
pedesaan sekitar 69% memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 5% rumah
tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Data SUSENAS dengan kategori
akses terhadap air minum yang dikutip oleh Bank Dunia (2004), mengindikasikan
bahwa dari penduduk yang memiliki akses atas air bersih, sekitar 52% memiliki
sumber air pribadi (pompa, sumur, dan lainnya), 25% memiliki akses terhadap
sumber air yang dimiliki bersama (hidran air umum) dan hanya 15 % yang
bergantung pada utilitas publik3.
Pada tahun 2006, akses rumah tangga terhadap air perpipaan di daerah
perkotaan baru mencapai 30,8%, sedang di pedesaan sebesar 9% (Laporan
1

General Comment No.15 yang diadopsi secara menyeluruh pada November 2002 oleh Committee on Economics, Social and
Cultural Rights menyatakan : “The human right to water entitles to sufficient, safe, acceptable, physically accessible and
affordable water for personal and domestic use.”

2

MDGs Target 10: Mengurangi separuh dari proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum dan sanitasi dasar pada tahun
2015 (to halve by 2015, the proportion of people without sustainable access to safe drinking water and basic sanitation)
3

Fabby Tumiwa, “ Menjamin Hak Rakyat Atas Air: Alternatif Sumber dan Mekanisme Pembiayaan Infrastruktur Air di Indonesia,
2006, www.kruha.org

1

Indonesia

Pencapaian Pembangunan Millenium, 2007). Cakupan pelayanan PDAM pada
tahun 2006, mencapai 30,6% dengan rata-rata tingkat kebocoran sebesar
41,31%4. Dari ukuran pelanggan, lebih dari 85% PDAM memiliki pelanggan
kurang dari 10.000 dan hanya 4 % yang memiliki pelanggan di atas 50.000,
sedangkan dari aspek kesehatan finansial, berdasarkan data dari 260 PDAM pada
tahun 2007, hanya 18% PDAM yang berada dalam kondisi sehat, sisanya berada
dalam kondisi kurang sehat dan tidak sehat. 5 Selain cakupan pelayanan yang

masih rendah, beberapa permasalahan umum yang dihadapi oleh PDAM di
Indonesia adalah kualitas air dan pelayanan yang semakin menurun terutama
setelah krisis ekonomi, yang diakibatkan tertundanya perbaikan dan perawatan
untuk memotong pengeluaran operasi. Effisiensi operasi dan keuangan PDAM
mengindikasikan bahwa PDAM belum mengoptimalkan asset yang mereka miliki
yang berakibat pada rendahnya efisiensi dan kinerja usahanya.
Tantangan selanjutnya yang dihadapi Indonesia untuk dapat menjamin
akses masyarakat terhadap air bersih adalah keterbatasan pembiayaan yang
dimiliki oleh Pemerintah. Dalam upaya mencapai target MDGs pada tahun 2015,
dibutuhkan investasi sebesar Rp 43 triliun, sedangkan kemampuan pembiayaan
pemerintah pusat sebesar Rp 500 milyar/tahun 6.
Gambaran situasi di atas, sedikit banyak menunjukkan bahwa dibutuhkan
kerja keras bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan akses masyarakat
terhadap air bersih. Proposal yang telah diajukan yang mencakup strategi
pencapaian target 10 MDGs adalah melakukan intervensi-intervensi yang
mencakup perluasan akses air bersih baik di perkotaan maupun pedesaan,
peningkatan kualitas layanan, memperkenalkan teknologi baru dan memperluas
partisipasi sektor swasta (private sector participation/PSP).
Dalam kerangka inilah kemudian PSP menjadi perdebatan. Pro dan kontra
terhadap keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan air bersih terus

mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Perdebatan yang terjadi tidak
hanya terjadi pada tataran ideologi, namun juga terjadi pada tataran praktis
termasuk perdebatan tentang terminologi yang digunakan. Kelompok pendukung
PSP berpendapat bahwa partisipasi sektor swasta berbeda dengan privatisasi,
karena PSP tidak bertujuan untuk mengambil alih asset perusahaan publik
kepada swasta. Selain itu kelompok pendukung PSP juga meyakini bahwa
dengan PSP akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi layanan air bersih
termasuk mengatasi keterbatasan pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah
melalui investasi yang ditanamkan oleh sektor swasta.

4

Presentasi Basah Hernowo (BAPPENAS) dalam Diskusi Terbatas “Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan
Yang Dihadapi”, yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 2007
5

Presentasi Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas, dalam Diskusi “Pembiayaan Air Minum” yang diadakan oleh
Indonesia Water Dialogue, 24 Juli 2008
6


Presentasi BPP SPAM dalam Diskusi Terbatas “Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan Yang Dihadapi”,
yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 2007

2

Indonesia

Di lain pihak, kelompok penentang PSP berpendapat bahwa PSP
merupakan bagian dari skema global untuk menerapakan resep-resep ekonomi
neoliberal. PSP dipandang akan menghilangkan kedaulatan negara dan rakyat,
pengambil alihan asset kepada Multinational Corporations (MNCs), dan
pengalihan tanggung jawab penyediaan layanan dasar dari sektor publik kepada
sektor swasta. Para penentang juga berpendapat bahwa PSP tidak berbeda
dengan privatisasi dan pada tingkatan praktis tidak ada bukti yang signifikan
bahwa pengelolan air oleh swasta akan lebih baik jika dibandingkan dengan
pengelolaan air oleh publik. Bahkan pengelolaan air oleh swasta dipandang akan
semakin menjauhkan akses masyarakat terhadap air.
Situasi perdebatan seperti inilah yang mendorong terbitnya buku ini. Buku
ini merupakan konsolidasi dari beberapa literatur yang membahas tentang PSP
baik yang pro maupun kontra dan data-data yang terkait dengan PSP serta tidak

bermaksud untuk mencari “siapa yang paling benar” dalam konteks perdebatan
PSP tersebut.
Secara umum uraian dalam buku ini akan terbagi dalam empat bab. Bab
pertama merupakan pengantar umum terhadap situasi penyediaan air bersih di
Indonesia dan perdebatan umum PSP di sektor air bersih. Bab kedua merupakan
uraian terhadap kontroversi PSP di sektor air, latar belakang yang mendasari
kontroversi tersebut, dan bukti-bukti empiris mengenai PSP di sektor air bersih
serta berbagai isu penting seputar PSP. Bab ketiga menguraikan berbagai fakta
seputar PSP di Indonesia, termasuk sejarah keterlibatan swasta dalam
penyediaan air minum di Indonesia, regulasi terhadap keterlibatan swasta
tersebut, tinjauan atas kerjasama swasta dan PDAM serta bagaimana
keterlibatan swasta lokal dan masyarakat dalam hal penyediaan air minum. Bab
keempat merupakan penutup yang akan merangkum berbagai pandangan
terhadap PSP di dalam National Working Group on PSP Review dan merumuskan
pertanyaan-pertanyaan kunci bagi kajian lebih lanjut.

3

Indonesia


BAB II
KONTROVERSI di SEPUTAR PSP
2.1. Air: Barang Publik atau Barang Ekonomi ?

Pada Januari 1992, berlangsung International Conference on Water and
Environment di Dublin Irlandia. Konferensi tersebut menghasilkan empat butir
prinsip - yang kemudian dikenal dengan Dublin Principles -, yang salah satunya
adalah “water has an economic value in all its competing uses and should be
recognized as an economic good. Within this principle, it is vital to recognize first
the basic right of all human beings to have access to clean water and sanitation
at an affordable price. Past failure to recognize the economic value of water has
led to wasteful and environmentally damaging uses of the resources. Managing
water as an economic good is an important way of achieving efficient and
equitable use, and of encouraging conservation and protection of water
resources”.
Cara pandang baru terhadap air menjadi awal pertarungan paradigma
tentang siapa yang memiliki air, bagaimana memahami fungsi air dan
pengunaannya. Terlebih setelah banyak organisasi internasional memberikan
dukungannya terhadap cara pandang baru terhadap air, seperti yang dikatakan
oleh Budds dan McGranahan (2003), “…In the wake of Dublin, many

international organizations realigned their position in the water sector, and the
World Bank came to play a central role in developing and promoting new
approaches consistent with its interpretation of the Dublin Principles, in
particular the treatment of water as an economic good. … Bilateral development
agencies also started to promote private sector participation in their recipient
countries, including DFID and USAID…”
Bagi kelompok penentang privatisasi, memberlakukan air sebagai barang
ekonomi dipandang akan memperluas keterlibatan swasta dalam penyediaan
layanan air bersih. In the years following Dublin, the concept of water as an
economic good has been used to challenge traditional approaches to
government provision of basic water services. Economist seized upon the idea
to argue that water should be treated as a private good, subject to corporate
control, financial rule, market forces, and competitive pricing. Kelompok
penentang juga berpendapat bahwa secara turun temurun air diperlakukan
sebagai hak asasi – hak yang muncul dari kodrat manusia, kondisi historis,
kebutuhan dasar atau gagasan tentang keadilan (Shiva, 2002), sehingga
keterlibatan swasta di sektor air akan mengancam hak asasi atas air.

4


Indonesia

Pada sisi yang lain, kelompok pendukung privatisasi berpendapat bahwa
jika suatu produk tersedia gratis, maka fungsi pasar yang seharusnya
mengalokasikan sumber-sumber daya secara efisien tidak akan tercapai. Artinya
tidak ada jaminan ketersediaan air sebanding dengan tingkat konsumsi yang
dilakukan. Orang cenderung untuk memanfaatkan air secara berlebihan. Cara
yang bisa dilakukan oleh Pemerintah untuk mengendalikan hal tersebut adalah
dengan membatasi penggunaannya melalui peraturan, pajak, atau dengan
memberlakukannya sebagai private good yaitu barang yang bersifat excludable
dan rival (Mankiw, 2001). Pendukung privatisasi juga berpendapat banyak
kejadian dimana pengelolaan oleh publik cenderung menerapkan harga rendah
sehingga tidak mampu mempertahankan kualitas layanan jaringan yang ada,
apalagi meningkatkan jangkauan pelayanan (Gray, 2000). Meskipun harga
rendah yang dikatakan bermanfaat bagi penduduk miskin, dalam kenyataannya
tidak membantu penduduk miskin karena mereka belum terlayani sehingga
harus mencari sumber lain dengan harga yang jauh lebih mahal (Walker dkk,
2000).
Menariknya, diantara pro kontra tentang keterlibatan swasta dalam
penyediaan layanan air bersih, terdapat kelompok yang mencoba bersikap lebih

pragmatis terhadap kehadiran swasta dalam penyediaan air bersih. Kelompok
ini berpendapat bahwa air tidak bisa secara murni diperlakukan sebagai barang
publik. Air membutuhkan biaya untuk pengadaannya, sehingga juga harus
diberlakukan sebagai barang ekonomi yang harus dikelola sesuai dengan hukumhukum ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Budds dan McGranahan (2003)
“In debating the appropriate role of the private and public sectors, recognizing
water as an economic good can seem to support a strong private sector role.
This is not strictly correct, and depends on how the term “economic good” –
which is not widely used in economics – is interpreted. If “economic good” are
taken to mean the sort of goods idealized in economic theories of perfect
markets, then the case for private provision of economic goods is strong. But
urban water services are not economic goods in this sense any more than they
are “pure” public goods (and in any case, water utilities rarely operated in a
competitive market). Alternatively, if economic goods are simply taken to be
goods that have an economic value, and to which economic principles apply,
then this would also apply to public goods, and is largely irrelevant to the case
for private provisioning”
Dalam situasi kontroversi tersebut, Savenije (2001) mencoba
memberikan sedikit gambaran tentang karakteristik air minum, yaitu:



Air minum adalah kebutuhan dasar. Tidak ada kehidupan tanpa air, tanpa air
tidak ada proses produksi, tanpa air tidak ada lingkungan. Tidak akan ada
kegiatan manusia yang tidak tergantung pada air. Air merupakan sumber

5

Indonesia

daya penting. Hal ini membuat air menjadi khusus tetapi tidak unik. Sama
halnya dengan lahan, dan makanan.


Air minum terbatas. Jumlah air terbatas. Hanya sebagian kecil saja air yang
dapat dikonsumsi.



Air minum adalah barang publik. Air minum tidak dapat dimiliki secara
pribadi dan ketergantungan sosial terhadap air minum sangat tinggi. Hal ini
merupakan konsekuensi dari sifat air minum yang penting dan tidak dapat
disubstitusi. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan air minum tetapi
pemerintah tidak bertanggung jawab menyediakan air secara gratis
sebagaimana sering disalahpahami.



Meskipun air mengalir tetapi sebenarnya dibatasi oleh lokasi dan sistem
tertentu. Akibatnya, air minum sering menjadi sumber perseteruan politik
antar daerah.



Terdapat biaya produksi dan biaya transaksi yang besar bahkan jika
pengaliran air menggunakan sistem gravitasi.



Pasar

air

minum

tidak

homogen.

Sebagian

pengguna

mempunyai

kemampuan membayar yang tinggi dan mengkonsumsi dalam jumlah sedikit
(pengguna domestik dan industri), lainnya mempunyai kemampuan
membayar rendah dan menggunakan air dalam jumlah besar (petani),
bahkan lainnya tidak mempunyai kemampuan membayar (lingkungan dan
penduduk miskin). Semuanya tidak dapat digabung dalam satu pasar.
Meskipun air minum yang dibutuhkan merupakan benda yang sama tetapi
karakter permintaan berbeda. Pertukaran diantara kepentingan yang
berbeda ini sebaiknya diselesaikan melalui jalur politis dan bukan pasar.


Terdapat ketergantungan ekonomi makro antara aktivitas pengguna air. Air
digunakan oleh pertanian mempengaruhi industri. Akibatnya hubungannya
menjadi rumit.



Selalu terdapat ancaman kegagalan pasar dalam penyediaan air minum.
Untuk mencapai skala ekonomi, dibutuhkan investasi besar yang mengarah
ke monopoli alamiah.



Air minum mempunyai nilai tertentu yang seringkali tidak dapat dinilai
dengan uang.

Menurut Ouyahia (2006), karakteristik dari air bersih adalah high
investment specificity, natural monopoly features of the sector, buried asset,
externalities involving public health and environment, the need for universal
provision, and location-specific. Karakteristik lain adalah “70-80 percent of
water and wastewater assets are underground (Infrastructure Canada, 2004).
Hence obtaining accurate information about them can be costly and there is

6

Indonesia

generally a lack
infrastructure”.

reliable

information

about

the

condition

of

existing

Kotak 1.1
Sejarah Sistem Penyediaan Layanan Air Minum
Sistem
penyediaan layanan air bersih memiliki sejarah yang cukup
panjang. Menurut Swyngedouw (2003), system penyediaan layanan air bersih
dapat dibagi dalam empat tahapan perkembangan. Tahap pertama, berlangsung
sampai pertengahan kedua abad ke-19, dimana sistem penyediaan layanan air
minum dilakukan oleh perusahaan swasta kecil. Layanan yang diberikan hanya
untuk sebagian kecil kota khususnya daerah-daerah kaya perkotaan.
Tahapan selanjutnya adalah pada periode munisipalisasi. Menurunnya
kualitas lingkungan dan munculnya kesadaran akan sanitasi lingkungan menjadi
pendorong utama periode ini. Periode ini juga diwarnai dengan kesadaran
terhadap tanggung jawab daerah dalam penyediaan layanan dasar yang
mendasar yang jika perlu diikuti oleh subsidi tarif yang tinggi di kebanyakan
negara Eropa. Pada periode ini, sistem air bersih yang pada awalnya dibangun
oleh perusahaan swasta, kemudian
diambil alih oleh pemerintah daerah
(munisipal) di hampir semua negara-negara Eropa, termasuk Inggris. Hanya di
Perancis yang perusahaan air milik swastanya dapat bertahan, dan karena itu
satu-satunya perusahaan swasta air raksasa di dunia adalah milik Perancis: Suez
(dulunya Lyonnaise des Eaux) dan Veolia (tadinya Vivendi dan the Compagnie
Generale des Eaux) yang sudah berdiri sejak tahun 1853. Namun proses
munisipalisasi jauh lebih cepat terjadi di Amerika Serikat ketimbang di Eropa: pada
tahun 1897, sudah 82% kota-kota besar di Amerika Serikat terlayani oleh
operator publik tingkat daerah.
Tahapan ketiga dimulai setelah perang dunia I, ketika air bersama dengan
layanan publik lainnya seperti telekomunikasi dan listrik menjadi perhatian
nasional negara. Pemerintah pusat dengan beragam intensitas kendali, regulasi
dan investasinya mengambil alih peran daerah pada sektor air minum. Investasi
dalam pengembangan infrastruktur juga menjadi bagian penting usaha
mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meredam keresahan sosial
melalui kebijakan redistribusi aset – dalam hal ini layanan air minum. Pada periode
ini meskipun manajemen air minum masih ada yang di tangan daerah namun
pemerintah pusat punya peranan yang besar khususnya pada pembiayaan
proyek-proyek infrastruktur dan juga intervensi peraturan. Pada periode ini mulai
dibentuk berbagai badan pengatur untuk berbagai kepentingan seperti
kepentingan sosial, ekonomi, kualitas, dan lingkungan yang biasanya bersifat
nasional.
Periode keempat, periode terakhir, dimulai saat terjadi resesi global tahun
1970-an, sebuah periode yang ditandai dengan menurunnya peran negara dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi. Anggaran yang terbatas dari pemerintah
pusat berakibat pada berkurangnya pengeluaran untuk kesejahteraan publik dan
dukungan terhadap program pengembangan investasi infrastruktur. Tarif air yang
rendah, investasi yang disubsidi, infrastruktur yang mulai menua, ditambah
tingginya permintaan terhadap layanan air minum, memperparah tekanan
terhadap anggaran pemerintah pusat. Hal ini menjadi masalah akut yang sulit
dipecahkan khususnya bagi negara berkembang. Tekanan negara pemberi hutang
untuk mengamankan hutangnya melalui berbagai program seperti Structural
Adjustment Program (SAP) dan tekanan untuk memperbaiki daya saing melalui
peningkatan efisiensi mendorong munculnya berbagai program pemotongan
anggaran biaya layanan publik, program privatisasi dan deregulasi.
Sedangkan di negara berkembang memiliki sejarah perkembangan yang

7

Indonesia

Kotak 1.2
Structural Adjustment Program (SAP)
Structural Adjustment Program (SAP) diperkenalkan pada awal tahun 1980-an oleh
Bank Dunia (di bawah kepemimpinan Robert McNamara). Pinjaman Bank Dunia
diberikan untuk periode beberapa tahun melalui program untuk mendukung
secara langsung reformasi kebijakan dan tidak lagi terkait dengan salah satu
program investasi dalam bentuk proyek. Sejak saat itu pinjaman yang memuat
komponen SAP mendominasi portofolio pinjaman baik dari Bank Dunia maupun
IMF. Bank Dunia mempraktekkan SAP dari sisi persediaan ekonomi, sedangkan IMF
memfokuskan diri pada sisi permintaan melalui kebijakan-kebijakan stabilisasi.
Pada tahun 1989, John Williamson ekonom dari Institute of International
Economics
(IIE) Washington
mencetuskan
Washington
Concensus
yang berisi
banyak
dalam
sistem air DC,
bersih
dibandingkan
negara-negara
utara.
Lebih
sepuluh rekomendasi
kebijakandan
untuk
mengatasi
krisis ekonominegara-negara
di Amerika Latin.
terdorong
oleh kemerdekaan
bukan
oleh industrialisasi,
ini
Dalammemiliki
perkembangannya
rekomendasi
tersebut
diterima
secara luas
oleh
ekonom
tidak
daerah yang
kuat ataupun
masyarakat
setempat
kelas
menengah
di Amerika
Serikat termasuk
Depatemen
Keuangan,
Bankperusahaan
Dunia dan IMF,
yang
yang
kuat, sehingga
kepemilikan
di tingkat
pusat untuk
air bersih
kemudian
standar dikebijakan
mereka.
Konsensus
Washington
lebih
banyakdijadikan
terjadi dibanding
negara-negara
Utara.
Di Sri Lanka,
sebuah
menganjurkan
ekonomi lewatyang
kendali
penyediaan
uang dan
negara denganstabilisasi
sejarah pembangunan
hebat
di bidang mata
kesehatan
dan
perluasan
pertumbuhan
dengan
seperangkat
ukuran
demi
terwujudnya
pendidikan, air bersih merupakan tanggung jawab primer Badan Usaha Milik
peningkatan
aktifitaspemerintah
sektor swasta,
kebijakan
privatisasi
pun menjadi
Negara (parastatal)
pusat.
Di Argentina,
perluasan
jaringanstandar
air di
Bank
Dunia
dan
IMF
serta
bank-bank
pembangunan
regional
seperti
ADB,pusat.
Inter
seluruh negeri dilakukan oleh penyedia layanan air milik pemerintah
America
Development
Bank
dan
lainnya.
Pada
tahun
1990-an,
SAP
Namun, kesemuanya lambat laun mulai terkikis, ketika Lembaga Keuangan
mengimplementasikan
beberapa
prinsip
Konsensus
Washington
dalam
berbagai
Internasional mensyaratkan untuk melakukan privatisasi kepada negara-negara
bentuk program yang didanai oleh lembaga-lembaga tersebut. Secara
tersebut.
keseluruhan, tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga-lembaga keuangan
internasional melalui privatisasi adalah (i) tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan
efisiensi seluruh sektor ekonomi, meningkatkan efisiensi, produktifitas dan
keuntungan perusahaan, meningkatkan kualitas produk dan pelayanan, dan
menarik investasi swasta; (ii) tujuan fiskal, yaitu menghapus subsidi pemerintah
pada badan usaha milik negara; memperoleh tambahan dana dari penjualan
kepemilikan negara atas badan usaha serta meningkatkan pendapatan pajak dari
badan usaha swasta; (iii) tujuan sosial politik, yaitu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, mempromosikan kepemilikan badan usaha oleh swasta nasional;
meningkatkan kepemilikan properti kelas menengah, meningkatkan pemanfaatan
tenaga kerja, dan mengurangi korupsi serta penyalahgunaan di kantor publik.
Instrumen untuk mempengaruhi kebijakan dilakukan melalui mekanisme pinjaman
baik program atau proyek yang senantiasa diikuti dengan pelbagai persyaratan.
Karena kebanyakan negara-negara berkembang pada umumnya sangat
membutuhkan dana pinjaman dari Bank Dunia dan IMF - selain bank-bank regional
lainnya –untuk menutupi defisit anggaran atau membiayai program
pembangunan, maka persyaratan yang diajukan pun pada akhirnya mendapat

8

Indonesia

2.2.

Privatisasi, Private Sector Participation (PSP) atau Public Private
Partnership (PPP)

Beberapa literatur menyebutkan bahwa konsep privatisasi masih belum
terklarifikasi. Seperti yang diungkapkan Bailey (1987), ”one of the concepts in
vogue is privatization. Although the concepts itself is unclear, it might be
tentatively defined as general effort to relieves the disincentives toward
efficiency in public organizations by subjecting them to the incentives of the
private market. There are in fact several different concepts of privatization.
Demikian juga menurut Kay dan Thompson (1986) “privatization is term which
is used to cover several distinct, and possibly alternative means of changing the
relationships between the government and private sector”.
Namun, beberapa literatur yang lain mencoba mendefinisikan konsep
privatisasi dengan lebih jelas. Menurut Subagjo (1996) secara umum definisi
privatisasi dapat dirangkum sebagai berikut: (i) perubahan bentuk usaha dari
“perusahaan negara” menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas, (ii)
pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan
9

Indonesia

yang dimiliki negara kepada swasta, (iii) pelepasan hak atau aset milik negara
atau perusahaan yang sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan
untuk selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun
pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate
Transfer), (iv) pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang
usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah, (v) pembuat
usaha patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan aset
pemerintah, serta (vi) membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat
dalam dunia usaha. Dalam pasal 1 ayat 12 Undang-Undang (UU) Nomor 23
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), privatisasi adalah
penjualan saham Persero baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain
dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar
manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh
masyarakat.
Sedangkan Savas (1987) mendefinisikan privatisasi sebagai tindakan
mengurangi peran pemerintah, atau meningkatkan peran swasta, dalam sebuah
aktifitas atau pemilikan aset. Privatisasi dapat berbentuk umum (dikontrakkan ke
swasta atau LSM dan penyediaan sukarela) dan khusus (food stamps, housing
vouchers, and volunteer fire departments). Lebih lanjut Savas menyatakan
bahwa ada beragam tekanan atau alasan yang mendorong privatisasi. Alasan ini
dikelompokkan sebagai (i) pragmatis, ketika masyarakat mendefinisikan
kebutuhan akan pelayanan pemerintah yang lebih baik, (ii) ideologis, ketika
terdapat keinginan mengurangi peran pemerintah; (iii) komersil, ketika swasta
melihat kesempatan mendapatkan keuntungan dari melakukan pelayanan
publik; (iv) populis, ketika masyarakat melihat privatisasi sebagai cara menuju
kondisi masyarakat yang lebih baik.
Diana Carney dan John Farrington (1998) menyatakan bahwa privatisasi
bisa diartikan secara luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor
privat untuk ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula
dikendalikan secara eksklusif oleh sektor publik. Privatisasi termasuk di
dalamnya pengalihan kepemilikan aset produktif dari sektor publik ke swasta
atau hanya sekedar memberikan ruang kepada sektor privat untuk ikut terlibat
dalam kegiatan operasional seperti contracting out dan internal markets.
Seperti yang ditulis oleh Tumiwa dan Santono, “...dalam konteks ekonomi
politik, privatisasi adalah sebuah cara untuk memperbaiki pengelolaan dan
kinerja badan usaha serta sektor publik lainnya, termasuk mengurangi beban
negara.” (Globalisasi Menghempas Indonesia: hal 137). Privatisasi bertujuan
untuk mencapai efisiensi ekonomi mikro, mendorong pertumbuhan ekonomi
sekaligus mengurangi kebutuhan pinjaman publik akibat defisit anggaran belanja

10

Indonesia

dengan cara mengurangi subsidi negara yang diberikan kepada BUMN 7.
Sedangkan menurut Stiglitz, keuntungan ekonomi privatisasi sesungguhnya
berasal dari ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun sejumlah komitmen ,
khususnya berkompetisi dan tidak memberi subsidi 8.
Dalam tulisannya yang berjudul The New Economy of Water; The Risks
and Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water, Gleick menyatakan
privatization in the water sector involves transferring some or all of the assets or
operations of public water system into private hands.There are numeorus ways
to privatize water, such as the transfer of the responsibility to operate a water
delivery or treatment system, a more complete transfer of system ownership
and operation responsibilities, or even the sale of publicly owned water rights to
private companies. Alternatively, various combinations are possible, such as
soliciting private investment in the development of new facilities, with transfer of
those facilities to public ownership after investors have been repaid". Sedangkan
Budds dan McGranahan (2003) menyatakan “Private-sector participation” is
used in the literature to cover a wide range of arrangements between a
government agency and a non-public institution, but usually refers to a
contractual agreement involving a public agency and a formal (often
multinational) private company. The term “privatization” is also widely used but
can refer to two rather different things. It is sometimes used as a generic term to
refer to increasing private sector involment, but also specifically to the model of
divesture. “Public-private partnership” is common term but is rarely explicitly
defined. In the water and sanitation sector, it tends to be used to refer to
contractual agreements in which private companies assume greater
responsibility and/or risk, especially through concession contracts. Lebih lanjut
Budds and McGranahan mengatakan bahwa “There are several models of
private sector involvement in water and sanitation utilities, with numerous
variations, depending on the legal and regulatory frameworks, the nature of the
company and the type of contract”.
Dalam Policy Brief yang diterbitkan oleh OECD (April, 2003), menyatakan
bahwa “Public-Private Partnerships refer to any form agreement (partnership)
between public and private parties. They should not be misunderstood as
privatization, where the management and ownership of the water infrastructure
are transferred to the private sector”. Lebih lanjut, dinyatakan “Some options
keep the operations (and ownership) in public hands, but involve the private
sector in the design and constructions of the infrastructure. Other options
involve private actors in the management, operation and/or the financing asset”.
Pendapat lainnya disampaikan oleh McDonald dan Ruiters, yang
menyatakan bahwa “More properly known as “private sector participation” or as
7

Lihat, Eytan Shesinski dan Luis F Lopez-Calva, “Privatization and Its Benefits: Theory and Evidence”, dalam CESifo Economics
Studies, No.3, Vol.49, 2003
8

Lihat, Joseph E Stiglitz, Whither Socialism (Massachusetts: MIT Press, 1994)

11

Indonesia

will be used in this chapter “public private partnerships”, these institutional
arrangements are nevertheless a form of privatization. There is a clear transfer
of crucial decision making responsibilities from the public to the private sector
and an effective transfer of power over assets to a private company, with
qualitatively and quantitatively different rules and regulations guiding the
decision that are made and how citizens are able to access information”.
Dalam perkembangannya, terdapat dua model keterlibatan swasta di
sektor air. Pertama berupa model UK yang diterapkan di Inggris dan Wales
dimana kepemilikan dan pengelolaan utilitas air dilakukan oleh sektor swasta.
Kedua adalah model Perancis, dimana kepemilikan di tangan publik sedangkan
pengelolaannya dilakukan oleh publik atau private. Perbedaan lain dari kedua
model tersebut adalah di UK dibentuk Office of Water Services (OFWAT) sebagai
badan pengatur independen, sedangkan di Perancis “economic regulator”
diperankan oleh pemerintah daerah9.
Secara umum, keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air minum
dapat berbentuk:
(i)

Kontrak Jasa (service contracts).
Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan
pembacaan meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya)
diserahkan kepada swasta untuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2
tahun). Kategori ini kurang memberi manfaat bagi penduduk miskin.
Kontrak jasa dipergunakan di banyak tempat seperti di Madras (India), dan
Santiago (Chile).

(ii)

Kontrak Manajemen.
Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa
manajemen baik seluruh maupun sebagian operasi. Kontrak bersifat jangka
pendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan penyediaan
jasa sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada
peningkatan akses penduduk miskin. Kontrak manajemen dilaksanakan di
Mexico City, Trinidad, dan Tobago.

(iii) Kontrak Sewa-Beli (lease contracts).
Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan pemerintah
dan bertanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaannya. Biasanya
kontrak sewa berjangka 10-15 tahun. Perusahaan swasta mendapat hak
dari penerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan kepada
pemerintah. Menurut Panos (1998), perusahaan swasta tersebut
memperoleh bagian dari pengumuman pendapatan yang berasal dari
9

Lihat, OECD Policy Brief, “Public-Private Partnerships in Urban Water Sector”, April 2003,
http://www.oecd.org/dataoecd/31/50/2510696.pdf

12

Indonesia

tagihan pembayaran. Konsep ‘enhanced lease’ diperkenalkan karena di
negara berkembang dibutuhkan investasi pengembangan sistem distribusi,
pengurangan kebocoran, dan peningkatan cakupan layanan. Perbaikan
kecil menjadi tanggungjawab operator dan investasi besar untuk fasilitas
pengolahan menjadi tanggungjawab pemerintah. Kontrak sewa-beli banyak
digunakan di Perancis, Spanyol, Ceko, Guinea, dan Senegal.
(iv)

Bangun-Operasi-Alih (Build-Operate-Transfer/BOT).
BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama tergantung
masa amortisasi (25-30 tahun). Operator menanggung risiko dalam
mendesain, membangun dan mengoperasikan aset. Imbalannya adalah
berupa jaminan aliran dana tunai. Pada akhir masa perjanjian, pihak swasta
mengembalikan seluruh aset ke pemerintah. Terdapat beragam bentuk
BOT. Pelaksanaan BOT terdapat di Australia, Malaysia, dan Cina. Di bawah
prinsip BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun
dan mengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan
standar-standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa periode
yang diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk perusahaan
swasta guna mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam
membangun konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu
sekitar 10 sampai 20 tahun. Pemerintah tetap menguasai kepemilikan
fasilitas infrastruktur dan memiliki dua peran sebagai pengguna dan
regulator pelayanan infrastruktur tersebut.

(v)

Konsesi.
Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan
seluruh tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta
pengoperasian ke operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan
operator swasta membayar jasa penggunaannya. Tarif mungkin dibuat
rendah dengan mengurangi jumlah modal yang diamortisasi, yang dapat
menguntungkan penduduk miskin jika mereka menjadi pelanggan. Konsesi
dengan target cakupan yang jelas mengarah pada layanan bagi seluruh
penduduk dapat menjadi alat yang tepat dalam memanfaatkan
kemampuan swasta meningkatkan investasi, memberikan layanan yang
baik, dan menetapkan tarif yang memadai. Melalui cara ini, pemerintah
tetap mengatur tarif melalui sistem regulasi dan memantau kualitas
layanan. Konsesi mempunyai sejarah panjang di Perancis, kemudian
berkembang di Buenos Aires (Argentina), Macao, Manila (Pilipina), Malaysia,
dan Jakarta.
Dalam konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan
penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan
pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal

13

Indonesia

pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner
bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untuk
membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan,
dimana konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang
dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan
peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar kinerja
dan jaminan kepada konsesioner.
(vi) Divestiture.
Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang berupa
pengalihan aset dan operasi ke swasta, baik keseluruhan maupun sebagian
aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi. Tidak
banyak contoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan dalam
skala besar (Weitz, 2002; Stottmann, 2000).

Tabel 1.

Pembagian Tanggungjawab dalam Beragam Bentuk Partisipasi Swasta

Kepemilikan

Kontrak
jasa
(Service
contract)

Kontrak
Manajeme
n
(Managem
ent
contract)

SewaBeli
(Lease)

Konsesi
(Concessio
n)

Tipe
BOT

Pengali
han
Penuh
(Divest
iture)

Publik

Publik

Publik

Publik

Swasta/

Private

Aset
Investasi

publik
Publik

Publik

Publik

Swasta

Swasta

Private

Publik

Publik

Berbagi

Swasta

Swasta

Private

Swasta/

Swasta

Swasta

Swasta

Swasta

Private

3-5 tahun

8-15

25-30

20-30

Selaman

tahun

tahun

tahun

ya

Modal
Resiko
komersial
Operasi/pemeliharaan
Lama
Kontrak

Publik
1-2 tahun

Sumber: Stottman, Walter (2000) dalam Budds and McGranahan, 2003 “Are Debates on Water
Privatizations Missing The Points? Experiences from Africa, Asia and Latin America”

14

Indonesia

Kotak 1.3
Komersialisasi, Privatisasi, dan Komodifikasi
Komersialisasi mengacu pada proses dimana mekanisme pasar dan praktek pasar
diperkenalkan pada pengambilan keputusan operasi dari pelayanan publik, misalnya
maksimalisasi keuntungan, pemulihan biaya, dan lain-lain (McDonald and
Ruiter,2005).
Komodifikasi adalah proses merubah barang atau layanan yang sebelumnya
merupakan subyek yang mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu subyek
yang mengikuti aturan pasar (Gleick, 2002).
Bentuk institusi yang populer dari komersialisasi adalah korporatisasi, dimana
pelayanan dibatasi menjadi unit bisnis yang berdiri sendiri yang dimiliki dan
dioperasikan oleh negara tetapi dijalankan dengan prinsip-prinsip pasar. Lalu
bagaimana kaitan antara korporatisasi dengan privatisasi?
1. Pertama dan yang terutama adalah perubahan dalam etos pengelolaan dengan
fokus
pada penyempitan dan pertambahan prinsip dasar keuangan jangka pendek.
Sehingga perubahan budaya pengelolaan terjadi jika penyedia jasa dan
pelayanan yang dimiliki dan dioperasikan secara penuh oleh negara akan
menjadi lebih komersial dibandingkan dengan mitra swasta mereka, dimana
manager secara agresif mempromosikan dan menerapkan pemulihan biaya dan
prinsip-prinsip pasar lainnya.
2. Korporatisasi sering mempromosikan kontrak pihak ketiga (outsourcing) sebagai
strategi operasi dan cara lain dari pemotongan biaya mereka. Kondisi operasi
yang kompetitif, pada akhirnya membutuhkan deregulasi (atau regulasi kembali)
terhadap kendali monopoli dari pelayanan dan memperbolehkan berbagai
penyedia layanan untuk berkompetisi dengan unit khusus untuk menyediakan
layanan tertentu dengan harga yang memadai (misalnya: pembacaan meter).
3. Korporatisasi bisa menjadi pintu masuk bagi investasi langsung sektor swasta,
kepemilikan atau kendali dengan membuat pelayanan publik menjadi lebih
atraktif bagi sektor swasta. Meskipun begitu perusahaan swasta tidak tertarik
untuk membeli pelayanan yang mempunyai struktur yang rumit/atau subsidi
silang tersembunyi, prosedur pengambilan keputusan yang tidak fleksibel dan
terintegrasi secara politis atau budaya pengelolaan yang anti pasar.
15
Untuk dapat menjalankan privatisasi dan komersialisasi, air harus diberlakukan
sebagai komoditas. Seperti yang diungkapkan oleh Gleick (2002), “The processes of

Indonesia

2.3

Pro-Kontra PSP

Perdebatan mengenai keterlibatan swasta dalam penyediaan air terjadi di
banyak negara seperti di Bolivia, India, Philipina, Korea Selatan, Brazil, Afirica
Selatan, Indonesia dan sebagainya. Tidak jarang perdebatan tersebut memicu
perlawanan dari LSM, Serikat Pekerja dan kelompok masyarakat sipil lainnya
untuk menentang keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih.
Bahkan beberapa kelompok masyarakat sipil di Eropa sudah meminta kepada
pemerintah mereka untuk menghentikan dukungannya terhadap keterlibatan
swasta dalam penyediaan air bersih seperti yang terjadi di Norwegia.
Sepanjang dekade 1990, keterlibatan
swasta didorong menjadi agenda
Kotak 1.4
kebijakan air dan sanitasi
bagi negara
berkembang
sebagai cara mencapai
Terlucutnya
Peran
Negara
tingkat
efisiensi
lebih baik dan
peningkatan
cakupan
air dannegara
sanitasi.dalam
Terdapat
Menurunnya
kepercayaan
terhadap
kebijakan
intervensi
pembangunan umum
ekonomi bahwa
mulai terjadi
sejak tahun
1970-an,
akibat melonjaknya
kesepakatan
perusahaan
publik
menjadi
lemban dalam
harga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor sedangkan harga barang
meningkatkan akses layanan dan tidak efisien dan menjadi sarang korupsi 10.
impor meningkat, yang berdampak pada krisis utang luar negeri yang berujung
pada defisit anggaran. Dominasi negara atas aktivitas ekonomi di negara
berkembang, mengakibatkan kinerja sektor publik terutama badan usaha milik
negara menjadi perhatian utama dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi.
Sedangkan di negara yang menganut konsep negara kesejahteraan, serangan
terhadap kebijakan intervensi negara dilakukan menjelang akhir tahun 60-an dan
awal 70-an. Berbagai kajian terus bermunculan yang menggugat dominasi negara
dalam aktivitas ekonomi dan terutama kinerja badan usaha yang dipandang
sebagai sumber ketidakefisienan dan stagnannya ekonomi di negara berkembang.
Ketidakpercayaan terhadap kebijakan negara semakin berkembang setelah Inggris
dan AS (di bawah kepemimpinan Thatcher dan Reagan) “dinobatkan” sebagai
pelopor kebijakan “menolak negara”.

Kebijakan “menolak negara” atau “emoh negara” (meminjam istilah I. Wibowo)
semakin mendapat tempat di banyak negara berkembang termasuk Indonesia,
10
ketika
seolah
berasosiasi
segala
keburukan.
Dalamfrom
berbagai
Budds andnegara
McGranahan,
2003, “Are
the debates on dengan
water privatization
missing
the point? Experiences
Africa, Asia
Latin
America”,
Environment
and Urbanization,
Vol.15,
No. 2 October dengan kolusi, ketidakefisienan dan
sektor,
ekonomi
misalnya
negara
berkonotasi
nepotisme. Dalam politik, negara berkonotasi dengan berbagai pelanggaran hak
asasi manusia dan di dalam birokrasi negara berdampingan dengan korupsi.
Reputasi buruk yang memberikan legitimasi bagi pelucutan peran negara.
Tidak aneh, jika kemudian (dan di
internasional) kebijakan publik yang

bawah tekanan lembaga keuangan
dihasilkan adalah pencabutan dan

and

16

Indonesia

Kelemahan dan ketidakmampuan negara (yang juga didukung oleh
berbagai teori ekonomi) menjadi dasar terbentuknya sintesa privatisasi ataupun
keterlibatan swasta yang membangun argumentasi mendukung kepemilikan
swasta daripada publik11.
Argumen dari pendukung privatisasi menyatakan bahwa perusahaan
swasta cenderung lebih efisien dibandingkan dengan pemerintah dalam hal skala
ekonomis, produktivitas pegawai yang tinggi serta sedikitnya aturan yang
membatasi. E.S. Savas dan Elliot Sclar dalam bukunya menyalahkan pelayanan
jasa yang dilakukan oleh pemerintah karena seringkali menerapkan sistem
monopoli dan ketidakmampuan pemerintah dalam menanggapi kebutuhan
warga negaranya atau masyarakat serta seringnya terjadi ketidakefisienan
dalam pelayanan
Johnson dkk (1995), Peraita dan Benson (1995) berpendapat sektor swasta
dapat menyediakan modal dan pengalaman untuk memastikan pengelolaan dan
penggunaan air yang efisien. Pendukung privatisasi pun menyatakan bahwa
meningkatnya keterlibatan swasta akan menguntungkan penduduk yang belum
terjangkau khususnya penduduk miskin (Finger dan Allouche, 2002). Selain itu,
sektor publik dipandang tidak efisien, kelebihan pegawai, korupsi, terbuka bagi
intervensi politisi, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan konsumen. Tarif rendah
tidak menjamin keterjangkauan bagi penduduk miskin, yang ada malah
mengabaikan penduduk miskin. Pendukung keterlibatan swasta menyatakan
swasta lebih efisien, apolitis dan tanggap kebutuhan. Regulasi yang independen,
pemberian konsesi melalui proses yang kompetitif, akan menghalangi
penyalahgunaan kewenangan.

11

Beberapa sintesa tersebut antara lain adalah teorema property rights, principal-agents, methodological individualism, dan
public choice. Lebih lanjut lihat “Globalisasi Menghempas Indonesia” hal 133-140, Perkumpulan Prakarsa, 2006.

17

Indonesia

Di lain pihak, tidak sedikit pula pihak yang menolak dilakukannya
privatisasi air bersih. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa sifat pelayanan
yang dilakukan oleh pemerintah memang tidak cocok apabila dilakukan oleh
swasta/privatisasi. Mereka menganggap bahwa kontrak yang dilakukan swasta
dapat menimbulkan hidden-cost karena kurangnya informasi, perlunya
pengawasan serta lelang yang sering bersifat terbatas. Terdapat juga kondisi
yang tidak memungkinkan untuk menciptakan kompetisi bagi pelaksanaan oleh
pihak ketiga, sehingga privatisasi menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan.
Tidak ada indikasi bahwa perusahaan swasta lebih akuntabel. Justru, hal
sebaliknya yang lebih cenderung terjadi. Privatisasi tidak memiliki track record
keberhasilan. Yang dimiliki privatisasi hanya risiko/bahaya dan kegagalan.
Perusahaan swasta seringkali tidak memenuhi standar operasi, namun
mengeksploitasi harga tanpa banyak menanggung konsekuensi.
Sepanjang abad 20, pemahaman yang diterima publik adalah bahwa
penyediaan air minum bersifat monopoli alamiah dan memberi manfaat bagi
kesehatan masyarakat. Namun perlu diwaspadai bahwa monopoli swasta akan
meningkatkan beban biaya dan mengabaikan kepentingan kesehatan publik.
Sektor publik harus memegang kendali untuk menghindari penggunaan
kekuasaan sewenang-wenang oleh swasta.
Penentang keterlibatan swasta juga
mengkritisi bahwa penyediaan
kepentingan publik yang diberikan pada swasta tetapi cenderung bersifat
monopoli alamiah akan mengarah pada penerapan tarif tinggi dan pelayanan
terfokus hanya pada penduduk yang dapat membayar. Selain itu, dikatakan
bahwa air minum adalah hak asasi, sehingga tidak tepat jika swasta mendapat
keuntungan dari penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Lebih ekstrim
dikatakan bahwa perusahaan swasta mencuri air dunia (Barlow dan Clarke,
2003).
Kotak 1.5
Perlawanan terhadap Kebijakan Privatisasi Air di Indonesia
Pada tanggal 9 Juni 2004, sekelompok organisasi masyarakat sipil dan individu
mengajukan gugatan uji materil (judicial review) terhadap UU No.7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Gugatan ini merupakan bagian dari proses perlawanan (pada saat masih menjadi
RUU, beberapa kelompok masyarakat sipil di Indonesia, sudah melakukan
serangkaian advokasi, lobby dan kampanye untuk menentang diundangkannya
UU No.7 tahun 2004) terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia
yang disusun melalui WATSAP (Water Resources Sector Adjustment Program),
yang didanai dari pinjaman Bank Dunia sebesar US $ 300 juta. Penggugat
berpendapat bahwa UU Sumberdaya Air bertentangan dengan UUD 1945 dan
dirancang sebagai legitimasi atas kebijakan privatisasi air di Indonesia.
Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Juli 2005 MKRI memutuskan menolak
permohonan uji materil tersebut. Tujuh dari sembilan hakim MKRI menolak
permohonan penggugat sedangkan dua hakim lainnya menerima permohonan
penggugat.
Menariknya, meskipun MKRI menolak gugatan para penggugat, namun MKRI
memberikan kesempatan ”conditionally constitutional” jika dalam pelaksanaannya
UU Sumberdaya Air bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan MKRI.
Bagaimanapun, hal ini merupakan sesuatu yang baru dimana biasanya keputusan
MKRI bersifat final. Namun sayangnya mekanisme conditionally constitutional ini

18

Indonesia

2.4. Fakta Empiris PSP di Sektor Air Minum
Menarik untuk disimak, seberapa besar keterlibatan sektor swasta di
sektor air minum. Menurut World Bank 12, dalam kurun waktu 1990-2006 terdapat
524 proyek (dalam berbagai model) keterlibatan swasta di sektor air di 58
negara.
Tabel 2.
Indikator Penting
Indikator, 1990-2007

Value

Jumlah Negara dengan keterlibatan
swasta

60

Proyek yang terlaksana

584

Wilayah dengan porsi investasi terbesar

Asia Timur dan Pasifik (48%)

Tipe keterlibatan swasta berdasar porsi
investasi terbesar

konsesi (68%)

Tipe keterlibatan swasta berdasar porsi
jenis proyek terbesar

konsesi (40%)

Proyek dibatalkan atau dalam masalah

53 yang menunjukkan 29% dari total
investasi

Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar keterlibatan swasta
dalam sektor air baik dari sisi investasi maupun proyek adalah model konsesi.
Namun, dalam 5 tahun terakhir (2003-2007) keterlibatan sektor swasta di sektor
air lebih banyak dilakukan dalam greenfield project13, meskipun dari sisi nilai
investasi dalam kurun waktu tersebut masih lebih besar model konsesi (tabel 3)
12

Lihat, http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

13

Greenfield project: A private entity or a public-private joint venture build and operates a new facility. This category includes
build-operate-transfer and build-own-operate contracts as well as merchant power plants,
http://ppi.worldbank.org/book/216Housk-10-23.pdf

19

Indonesia

Tabel 3.

Jumlah Proyek Berdasar Bentuk Keterlibatan Swasta
Tahun
Anggaran

Konsesi

Divestitur
e

Greenfield
Project

Kontrak
Manjemen
dan Lease

Total

1991

1

0

0

1

2

1992

2

0

2

2

6

1993

6

0

3

2

11

1994

8

0

5

1

14

1995

9

1

3

5

18

1996

7

1

9

7

24

1997

16

2

9

12

39

1998

18

1

11

2

32

1999

13

7

8

10

38

2000

28

1

5

5

39

2001

12

1

13

14

40

2002

24

3

8

9

44

2003

12

1

21

10

44

2004

27

0

21

5

53

2005

18

0

32

11

61

2006

15

2

27

13

57

2007

20

5

30

7

62

Total

236

25

207

116

584

Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

Dari sekian banyak proyek swasta di sektor air, dalam kurun waktu 20012004 terdapat lima perusahaan terbesar yang memiliki lebih dari 50 proyek
penyediaan air di seluruh dunia (tabel 4). Namun menurut Izzaguirre dan Hunt
(2005), “Sponsors from developed countries still accounted for a large share of

20

Indonesia

investment flows.