Pemikiran Politik Indonesia bab 3
Tugas UTS Pemikiran Politik Indonesia
PEMIKIRAN POLITIK PLATO KEKUASAAN DAN DEMOKRASI
Disusun Oleh:
Reynold Aprilianto P
165120501111013
Kelas: Pemikiran Politik Indonesia C-3
Dosen Pengampu:
Dr. Sholih Mu’adi,S.H.,M.Si
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menganut sistem demokrasi yang saling berkaitan erat dengan sebuah
kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut berada pada tangan rakyat yang berorganisasi untuk
dapat menilai kebijakan pemerintah apakah sudah sesuai dengan kondisi masyarakat dan
masyarakat merasa nyman dengan kebijakan permerintah yang telah dibuat, jika terjadi
sebuah masalah yang memberatkan masyarakat akan kebijakan pemerintah, maka rakat
mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapatnya untuk merubah kebijakan pemerintah.
Pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah
(terminologis). Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa
Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau
“cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau
demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan Negara di mana dalam sistem pemerintahannya
kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama
rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.1
Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan para ahli
sebagai berikut, menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh
kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat; Affan Gaffar
memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi
normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang
secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah Negara. Sedangkan demokrasi empirik adalah
demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.2
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 25 tahun
berdirinya Republik Indonesia ternyatah masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana,
dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan
ekonomi di samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Dengan
partisipasi rakyatnya seraya megindarkan timbulnya diktaktor, apakah diktaktor ini bersifat
perorangan, partai, ataupun militer
Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah indonesia dapat dibagi dalam
empat masa, yaitu:
a. Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang
menonjolkan pernanan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat
dinamakan Demokrasi Parlementer.
b. Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang
dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara
formal merupakan landasanya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
c. Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila yang
merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
1 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN
Jakarta, 2000), 110.
2 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani,ibid.,110-111.
d. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang), yaitu masa Reformasi yang
menginginkan tegaknya demokrasi di indonesia sebagai koreksi terhadap praktikpraktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.3
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna
menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan
tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau
kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain. Jika kekuasaan
dijalankan secara berlebihan akan mengakibatkan kerugian bagi banyak masyarakat, maka
dari itu masih banyak di indonesia sendiri yang dikenal sebagai partai politik yang sering kali
hanya memikirkan kelompok-kelompoknya sendiri tanpa melihat masyarakat yang
membutuhkan seorang pemimpin yang dapat berkuasa untuk dapat merubah kehidupan
mereka.
Seperti telah diterangkan di muka, undang-undang dasar antara lain merupakan
pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan di dalam suatu negara. Secara visual nampaklah
bahwa kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara:
a. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatanya dan dalam hal ini
yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of
power). Pembagian kekuasaan ini dengan jelas dapat kita saksikan kalu kita
bandingkan antaranegara kesatuan, negara federal, serta konfederasi.
b. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara horizontal.
Pembagian ini menunjukan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintah yang bersifat
legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai TeriasPolitika atau
pembagian kekuasaan (division of power).4
Pemikiran politik sendiri adalah suatu pemikiran tentang asal usul negara, struktur, dasardasar dan juga tujuan-tujuan mewujudkan negara itu. Pemikiran politik bersangkut paut
dengan moral-moral fenomena kelakuan manusia di dalam suatu masyarakat. Pemikiran
politik adalah rekaan orang-orang Yunani karena mereka memiliki tenaga penggerak yang
mahir dalam usaha menerangkan apa yang mereka pikirkan5. Pemikiran politik adalah jenis
pemikiran yang paling tinggi. Pemikiran politik adalah pemikiran yang berkaitan dengan
3 Prof. Miriam Budiardjo, dasar-dasar ilmu politik, demokrasi, jakarta 2008.,127-128
4 Prof. Miriam Budiardjo, dasar-dasar ilmu politik, pembagian kekuasaan negara, hal. 267
5 K. Ramanathan, Konsep Asas Politik, M alaysia, Wing Cheong Press, 2000, hal. 236
pengaturan dan pemeliharaan umat. Tingkat tertinggi dari pemikiran politik adalah pemikiran
yang berhubungan dengan urusan umat manusia di dunia dari sudut pandang tertentu.6
Menurut Plato munculnya negara karena adanya hubungan timbal balik dan saling
membutuhkan antara sesama manusia. Plato juga mengatakan bahwa, negara ideal menganut
prinsip mementingkan kebajikan (virtue). Kebajikan menurut Plato adalah pengetahuan.
Apapun yang dilakukan atas nama Negara haruslah dimaksudkan untuk mencapai kebajikan
itu. Plato menilai bahwa negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang di
dambakan manusia. Begitu pentingnya prinsip kebajikan, hingga Plato beranggapan bahwa
negara yang terbaik bagi manusia adalah negara yang penuh dengan kebajikan didalamnya.
Mereka yang berhak menjadi pemimpin atau penguasa hanya mereka yang mengerti
sepenuhnya prinsip kebajikan ini.
Apakah tujuan hidup manusia? Bagi Plato adalah kehidupan yang senang dan bahagia,
manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagian itu, menurut plato kesenangan itu
tidak hanya kepuasan hawa nafsu selama hidup di dunia, Plato sepakat dengan kesenangan
dua dunia itu. Dunia ide semua ide dengan ide yang baik atau kebaikan dengan kebajikan
sebagai ide yang tertinggi di dunia, ide adalah realitas yang sesunguhnya, sementara segala
sesuatu yang ada di indrawi merupakan realitas bayangan . Hanya orang yang baik dan
bijaksana yang akan dapat memahami segala sesuatu yang beraneka ragam yang berubahubah yang ada di dunia indrawi.
Dengan demikian jelas bahwa etika Plato adalah etika yang berdasarkan dengan ilmu
pengetahuan yang benar itu, sementara pengetahuan hanya dapat diperoleh diraih, dimiliki
lewat akal budi, maka itulah kenapa etika Plato disebut dengan etika rasional.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
1.2.2
1.2.3
1.2.4
Bagaimana Latar Belakang Kehidupan Plato?
Bagaimana Bentuk dan Tujuan Negara menurut Plato?
Bagaimana pandangan Plato tentang kekuasaan dan demokrasi?
Bagaimana kontribusi pemikiran plato?
1.3 Tujuan Pembahasan
1.3.1 Untuk mengetahui Latar Belakang Kehidupan Plato
1.3.2 Untuk mengetahui Bentuk dan Tujuan Negara menurut Plato
1.3.3 Untuk mengetahui pandangan Plato tentang kekuasaan dan demokrasi
6 Abdullah Qodim Zallum, Pemikiran politik Islam, Bangil, Al- Izzah, hal. 5
1.3.4 Untuk mengetahui kontribusi pemikiran Plato
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Kehidupan Plato
Kematian Socrates adalah kematian sebuah jasad, bukan kematian sebuah ide. Hal ini
tidak berarti ajaranya, serta proses kaderisasi dari seorang filsuf besar seperti Socrates.
Itu berlanjut kepada salah seorang muridnya, yakni Plato. Lahir dari keluarga Aristokrat,
awalnya tertarik untuk memasuki bidang politik sebagai karir hidupnya, tetapi kematian
yang demikian tragis dari sang guru menyebabkan ia melanjutkan hidup sebagai seorang
filsuf. Ia sangat tidak setuju dengan cara-cara pemerintahan demokratis saat itu, karena
pemerintahanitulah yang menyebabkan hurunya mati. Masa mudah Plato, masa
kemunduran Athena karena perbuatan kepemimpinan di Yunani Kuno antara dua negara
Athena dengan Sparta yang menghayat pada peperangan Peloponnesos (431-404). Ia
memikirkan bagaimana sebaiknya mengobati Athena dan negara pada umumnya. Oleh
sebab itu, ia melakukan pengembaraan ke sejumlah wilayah, yakni ke Sicilia dan Italia,
juga kabarnya sampai ke Afrika (mesir) dan sejumlah negara di Timur Tengah.7
Ia kemudian mendirikan sekolah yang di berinama Academica di Athena, lembaga itu
tidak sekedar pengembangan ilmu pengetahuan, lebih dari itu diharapkan menjadi pabrik
pembentukan dan penempa orang-orang yang dapat membawa perubahan bagi Yunani,
yakni bukan hanya mengenai bidang pengetahuan tertentu, melainkan segala aspek
manusia dan masyarakat dalam arti keseluruhan (holistic). Ia mengeluarkan buku yang
berjudul Politea (republik). Lembaga pendidikan ini diharapkan dapat membentuk
manusia yang berpengetahuan yang didapatkan dengan cara apa pun dan dilakukan atas
nama negara dalam rangka mencapai kebajikan. Menurut Plato, negara ideal menganut
prinsip kebajikan (virtue).
Negara ideal hanya memungkinkan atas dasar budi penduduknya, dan itu didapat
dengan pendidikan yang diatur sedemikian rupa. Menurut Plato, anak umur 10 tahun ke
atas menjadi urusan negara. Dasar utama pendidikan anak-anak adalah gymnastic
(senam) dan musik selain diberikan pelajaran menulis, membaca, dan berhitung.
Gimnastik menyehatkan badan dan pikiran. Dari umur 14-16 tahun anak diajarkan
musik, puisi serta mengarang untuk menanamkan jiwa yang halus, budi yang halus
dengan menjauhkan lagu-lagu yang melemahkan jiwa serta mudah menimbulkan nafsu
buruk. Usia 16-18 tahun anak-anak diberi pelajaran matematika untuk membimbing
pikiran, selain diajarkan dasar-dasar agaman serta adab kesopanan. Selain guna membina
solidaritas, suatu negara atau bangsa tidak akan kuat jika tidak percaya kepada Tuhan.
7 Noer, D. (1997). Pemikiran Politik di Negeri Barat. Mizan Pustaka, hlm. 7.
Pada umu 20 tahun diadakan seleksi yang lebih tinggi yang lebih tinggi untuk mengikuti
pendidikan mengenai adanya idea dan dialetika dan mereka mendapatkan kesempatan
untuk memangku jabatan yang lebih tinggi.8
Politea yang sering diterjemahkan dengan Republikk, tetapi arti sebenarnya adalah
konstitusi dalam pengertian suatu jalan-cara bagi individu-individu dalam berhubungan
sesamanya dalam pergaulan hidup atau masyarakat. Politea itu bernama juga “tentang
keadilan”, memang keadilan merupakan tema pokok dalam kitabnya itu. Keadilan itu
berarti seseorang itu membatasi dirinya pada kerja dan tempat dalam hidup yang sesuai
dengan panggilan kecakapan dan kesanggupanya. Akan tetapi, tindakan itu tidak terbatas
hingga teoretis saja, melainkan melingkupi juga tindakan dan sikap, sebab itu buku ini
menguraikan ajaran-ajaran praktis, suatu ajaran yang perlu dan harus diwujudkan.9
Plato memberikan sebuah studi kasus yang luar biasa mengenai teori pengetahuan
yang terkandung dalam pemikiran politik. Teori politiknya tak dapat dipahami secara
utuh tanpa terlebih dulu memahami konsepnya tentang pengetahuan. Doktrin gurunya
(socrates) bahwa kebijakan adalah pengetahuan merupakan dasar bagi pemikiranya
tentang negara.
Sebagaimana Parmenides dan Heraklitus, Plato juga dihadapkan pada masalah
perubahan dalam ketetapan, juga problem antara satu dan banyak. Dia melihat dunia
dalam suatu perubahan yang konstan, namun dia juga merasakan ada sesuatu permanen
yang melekat pada apa yang berubah tersebut. Oleh karenanya, dia merumuskan
doktrinnya mengenai ide, yang secara esensial merupakan teori pengetahuan. Idenya
bukanlah semata-mata pemikiran sebeb pemikiran adalah baru dan fana. Idenya,
meskipun tak berwujud, memiliki eksistensi yang terpisah, dan menjadi bagian dari
objek-objek yang terwujud tempat ide-ide tersebut muncul.
Meskipun demikian, ide manusia berbeda dari manusia manapun, atau ide negara
berbeda dari lembaga politik manapun yang ada. Manusia dan negara yang berwujud
hanyalah semata-mata cerminan atau bayangan dari manusia atau negara ide. Objek yang
dirasakan manusia bukanlah relitas yang sesunggunya karena relitas, ketetapan, dan
ketidakberubahan, tidak bisa dilihat, tetapi hanya bisa dipikirkan. Objek juga bukan
persepi yang mencakup ide. Objek tidak lain hanya bayangan ide. Filsafat Plato tentang
politik dapat diringkas menjadi beberapa hal.10
2.2 Bentuk dan Tujuan Negara menurut Plato
8 Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, Jakarta, Tintamas-UI Press, 1980, hlm. 113-114
9 Ibid, hlm, 9.
10 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik., hlm. 59-64.
Plato memiliki pemikiran tenang filsafat politik tersendiri yang menurut dia negara
harus mempunyai aspek penting untuk dapat dikatakan sebagi sebuah negara. Plato
memandang sebuah negara memiliki bentuk dan tujuan agar terbentuk dan menajdi sebuah
negara yang idealis dan dicita-citakan menurut Plato. Berikut beberapa aspek penting
menurut Plato diringkas menjadi beberapa hal.
1. Kebijakan adalah pengetahuan
Dalam hal ini, ada tiga konsep yang harus dipahami. Pertama, kebenaran harus
objektif dan tidak berubah agar kita bisa mencapai pengetahuan mengenainya.
Sebaliknya, kita hanya bisa memiliki opini dan bukanya pengetahuan yang sejati.
Kedua, karena kebijakan disamakan dengan pengetahuan, orang yang
mengetahui harus diberi peran menentukan dalam urusan publik. Tugas untuk
menemukan penguasa yang baik dan bijak, dengan demikian, dilakukan dengan ujian
pengajaran.
Ketiga, negara harus mengambil peran aktif dalam mendidik rakyatnya,
khusunya kepada orang-orang yang percaya dengan bimbingan dan arahan kehidupan
publik. Suatu masyarakat yang semakin bijak dan berfungsi secara baik akan dibantu
dengan pelatihan hingga mmperoleh kemampuan yang luas.
2. Ketidak setaraan antar-manusia
Bagi Plato, tidak ada kesetaraan idealistis di kalangan manusia untuk menghargai
bakat dan kemampuan. Dia berpandangan bahwa alam membuat kemampuan manusia
berbeda, baik karena pengejaran fisik maupun intelektual atau karena mencapai
kebajikan. Dalam bukunya, Republik, plato mengatakan:
“Wahai warga-negara, kami akan menyampaikan kepada kalian kisah kami.
Kalian adalah bersaudara, namun Tuhan membentuk kalian secara berbeda.
Beberapa diantara kamu memiliki kekuasaan untuk memerintah, dan dalam
kelompok ini ada yang membuat emas, karenanya mereka juga memiliki
kehormatan terbesar; yang lain membuat perak, menjadi lengkap; yang lain
menjadi petani atau tukang yang membuat kuningan dan besi.”11
Kutipan diatas memang menunjukan betapa idealisnya Plato karena menganggap
ketidaksetaraan dan perbedaan status dan kelas merupakan hal yang ditentukan oleh Tuhan.
Dengan demikian, bakat dan kemampuan intelektual dianggap bukan karena pengalaman dan
sebab-sebab material. Status dan kelas dianggap sebagai suatu yang ada dan membawa
konsekuesi bagi posisinya masing-masing., tetapi ia tak mempermasalahkan perbedaan yang
membawa efek eksploitatif.
11 Ibid., hlm. 60.
3. Negara sebagai lembaga alamiah
Bagi Plato yang merupakan seorang filsuf idealis, negara dianggap sebagai keinginan
dari tiap-tiap individu. Negara dianggap muncul karena keinginan manusia. Jadi, asal
mula negara terletak dalam kebutuhan-kebutuhan dan keinginan manusia yang
bermacam-macam dan kebutuhan untuk bekerja sama sebagai akibat dari perbedaan
dan keinginan itu.
4. Tujuan negara
Tujuan negara dalam konsep plato juga tampak ideal sekali. Karena negara adalah
penyatuan dari berbagai individu yang berbeda. Tujuan negara adalah kesejahteraan
bersama. Kata Plato, “Tujuan kita menegakan negara bukanlah ketidakseimbangan
kebahagiaan kelas tertentu, melainkan demi kebahagian buat semua.”12
Selain Politea dan Republic, karya Plato lainya adalah Statesmen dan Laws. Dua
karya yang ditulis menjelang akhir hidupnya ini berisi tentang cara memperbaiki demokrasi
Athena yang dilihatnya masih banyak kekurangan. Meskipun muatan etis pemikirannya tetap
sama, sikapnya terhadap manusia menjadi lebih toleran, lebih memahami kelemahan
manusia, dan lebih realistis. Karyanya penuh dengan panduan praktis tentang bagaimana
menciptakan negara yang “ideal” menurutnya.
Dalam Laws, Plato mengajukan perpaduan antara aristokrasi dan demokrasi, yang
seimbang dalam hal kekayaan dan jumlah, untuk menstabilkan kekuatan politik. Dewan atau
badan admisistratif beranggotakan wakil-wakil pilihan dari masing-masing empat kelas
ekonomi. Sebuah kelompok yang terdiri dari 37 hakim akan menetapkan pengadilan. Fungsi
legislatif memainkan peran kecil dalam negara yang diajukanya karena Plato beranggapan
bahwa hukum akan ditentukan sebelumnya oleh pembuat hukum, semisal solon. Perincian
hukum akan dilakukan oleh para hakim dan pejabat administratif. Jika perubahan besar
terjadi, hal itu akan dilakukan oleh Nocturnal Council, sebuah aristokrat intelektual yang
terdiri dari para pendata, 10 hakim tertua, dan beberapa anggota yang masih muda. Perubahan
hanya akan dilakukan pada instansi tertentu muncul ketika kebutuhan besar dan mendesak.13
Pemikiran politik Plato yang sangat klasik ini memang tak sesuai dengan politik
modern sekarang ini. Akan tetapi, ada hal-hal yang menarik yang masih harus dipertahankan.
Peran pokok yang harus dimankan oleh pendidikan bagi warga masyarakat merupakan
tekanan pemikiranya yang harus dilakukan negara dan kekuatan politik saat ini, terutama di
indonesia. Ketidaksukaannya pada korupsi dan penyelewengan kekuasaan, serta mimpi indah
12 Ibid., hlm. 63.
13 Ibid., hlm. 75.
tentang tanggung jawab negara untukkesejahteraan umum masyarakat masih sangat relevan
untuk konteks negara sekarang ini.
Sebelum mengkaji pemikiran-pemikiran Plato terkait negara, terlebih dahulu kita
perlu memahami konsep-konsep fundamental yang menjadi dasar filsafat pemikiran politik
Plato. Diantara konsep-konsep fundamental tersebut, paling tidak dapat disimpulkan ada 4
hal yang menjadi rujukan dalam falsafah Plato, antara lain:
1. Kebajikan adalah pengetahuan
2. Manusia memiliki bakat, kecerdasan dan kemampuan yang tidak sama
3. Negara adalah lembaga yang alami
4. Tujuan masyarakat politik adalah kebaikan bersama.14
Dari empat konsep fundamental diatas, kita dapat melihat bagaimana Plato begitu
mengilhami ajaran filsafat Socrates, yang mengedepankan kebajikan dan pengetahuan.
Selanjutnya, untuk tujuan melakukan telaah terhadap pemikiran Plato, yang perlu
menjadi fokus kajian penting adalah sebuah masterpeace yang ditulis filsuf besar ini
“Republik.” Dalam karyanya Republik, Plato memaparkan tiga konsep dalam doktrin
Socrates “Kebajikan adalah pengetahuan” antara lain: kebenaran harus objektif dan tidak
berubah agar kita bisa mencapai pengetahuan mengenainya; kebajikan disampaikan dengan
pengetahuan, oleh karena itu orang yang mengetahui haris diberi peran yang menentukan
dalam urusan publik, dan terakhir; negara harus mengambil peran aktif dalam mendidik
rakyatnya.15
Dalam bukunya Republik, Plato menyebut tantang apa yang didefinisikannya sebagai
negara organik. Yang dimaksud dengan konsep negara organik dalam pemikiran Plato
tersebut adalah “kondisi dimana rakyat bukan semata yang menjadi Badan politik, meski ia
jelas terdiri dari kumpulan individu.”16 Pandangan negara organik ini tidak berarti negara
memiliki eksistensi dirinya yang terpisah dari komponennya. Tujuan mendirikan negara
bukanlah ketidakseimbangan kebahagiaan kelas tertentu melainkan demi kebahagiaan semua.
14 Plato. Republik (modern Library), terj. B. Jowett (New York: Random House). Hal. 415.
15 Henry J. Schmandt., Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai
Zaman Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. hal. 59.
16 Plato. Republik (modern Library), terj. B. Jowett (New York: Random House). Hal. 369
Kemudian menurut Plato, sebuah negara yang ideal juga harus memperhatikan
prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, apakah dalam bentuk harta, keluarga. Dalam
logika Plato, dengan hak atas kepemilikan pribadi akan menciptakan kecemburuan dan
kesenjangan sosial, yang berakibat kepada keinginan setiap orang untuk menumpuk kekayaan
tanpa batas. Dengan demikian, akan memunculkan sifat buruk manusia seperti ketamakan
dan kerakusan akibat kompetisi bebas dan kepemilikan pribadi tersebut. Berangkat dari hal
ini lah, Plato kemudian mengemukakan gagasan tentang kepemilikan bersama atau
kolektivisme yang anti pada individualisme.17 Anti individualisme Plato digambarkan pemikir
sebagai”
Meski demikian Plato di dalam Bab ini menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang lemah, dan tidak dapat dikontrol. Menurutnya sistem pemerintahan yang
demokrasi hanya akan melahirkan sistem pemerintahan yang tirani, karena begitu bebasnya
seseorang dalam mengemukakan pendapat dan berbicara. Dalam negara demokrasi,
kebebasan individual dan pluralisme politik adalah dewa yang diagungkan. Semua warga
negara memiliki kebebasan mengekspresikan aspirasi dan idealisme politiknya tanpa merasa
khawatir akan intervensi negara terhadap kebebasannya itu. Dalam istilah Plato, demokrasi
itu “penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat
berbuat sesuka hatinya.” Kekerasan dibenarkan atas nama kebebasan dan persamaan hak.
Penjungkirbalikan massal terhadap moralitas dan akal budi dibenarkan dengan alasan
kebebasan.
Namun hal tersebut tidaklah abadi sebagaimana sifat dan kondisi jiwa manusia yang
terus berubah. Perubahan bentuk negara dimulai ketika keutuhan dan kesatuan kelas
penguasa menjadi retak dan terbagi ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan
Kemungkinan terbesar penyebab keretakan tersebut adalah ketika generasi muda (anak-anak
arsitokrat) mulai memasuki pemerintahan negara. Oleh karena mereka memeroleh kekuasaan
dengan mudah yang diiringi dengan rendahnya kadar idealisme yang tidak sejalan dengan
para pendahulunya, maka pemerintahan pun berubah tidak lagi tertuju kepada kepentingan
bersama, melainkan bergeser pada kepentingan mereka sendiri. Kekuasaan yang mereka
miliki digunakan untuk meraih kemahsyuran, kemuliaan, dan kehormatan yang sebesarbesarnya. Aristokrasipun kemudian merosot menjadi timokrasi.
17 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Gramedia, 1999..hal. 39.
Plato menilai negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang di
dambakan oleh manusia, sehinga negara yang ideal menurut Plato adalah negara negara yang
menjunjung kebajikan. Plato mengambarkan seorang filsuf adalah dokter, filsuf meski
mengetahui penyakit-penyakit yang dialami oleh masyarakat, mampu mendiagnosa dan
mendeteksi sejak dini. Plato beranggapan munculnya negara adalah akibat hubungan timbal
balik dan rasa saling membutuhkan antar sesama manusia.
Plato berangapan munculnya negara karena adanya hubungan timbal balik dan rasa
saling membutuhkan antara sesama manusia, manusia juga dianugerahi bakat dan
kemampuan yang tidak sama, pembagian kerja-kerja sosial muncul akibat adanya perbedaan
alami, masing-masing memiliki bakat alamiah yang berbeda, perbedaan bakat dan
kemampuan justru baik bagi kehidupan masyarakat, karena menciptakan saling
ketergantungan, setiap manusia tentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara
subsistensi, yang untuk memenuhi kebutuhan tersebut membutuhkan orang lain, negara
dalam hal ini berkewajiban memperhatikan pertukaran timbal balik, dan berusaha agar
kebutuhan masyarakat terpenuhi.
Negara ideal menurut Plato juga didasarkan pada prinsip-prinsip larangan atas
kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang atau harta, keluarga, anak dan istri inilah yang
disebut nihilism. Dengan adanya hak atas kepemilikan menurut filsuf ini akan tercipta
kecemburuan dan kesenjangan sosial yang menyebabkan semua orang untuk menumpuk
kekayaannya , yang mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat. Anak yang baru lahir tidak
boleh dikasuh oleh ibu yang melahirkan tapi itu dipelihara oleh Negara, sehinga seorang anak
tidak tahu ibu dan bapaknya, diharapkan akan menjadi manusia yang unggul, yang tidak
terikat oleh ikatan keluarga dan hanya memiliki loyalitas mati terhadap negara.
Plato juga tidak memperkenankan lembaga perkawinan, tak seorang pun yang dapat
mengklaim istri mereka, istri hanya bisa menjadi hak kolektif, hubungan seks yang dilakukan
tidak boleh monogam melainkan poligami, Plato melihat lembaga perkawinan membuat
ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan, yang lembaga perkawinan telah mengekang
bakat alami manusia dan membuat diskriminasi.
Timokrasi pun tidaklah kekal. Pendewaan terhadap kehormatan dan kemuliaan akan
berakhir dan bergeser pada kekayaan. Sebab demi meraih kehormatan dia berlomba
memperoleh kekayaan diantara mereka untuk menunjang kepentingannya. Pendewaan
kekayaan ini membuat orang berlomba-lomba untuk menumpuk harta kekayaan sehingga
kemudian terbagilah ke dalam dua golongan, yakni golongan kaya dan golongan miskin.
Karena kekayaan menjadi ukuran, maka tentu saja yang kaya lebih dimuliakan daripada yang
miskin ini sekalipun memiliki kebaikan dan kebijakan. Akibatnya rakyat menjadi pecinta
uang dan pemuja kekayaan. Terlebih lagi, mereka yang duduk di pemerintahan tidaklah lagi
berdasarkan kecakapan dan keterampilan mereka, melainkan karena kekayaan. Kemerosotan
timokrasi inilah yang kemudian disebut dengan oligarki, yakni negara yang dikuasai oleh
golongan kaya yang terus ingin memperkaya diri.
Keadaan yang terus berlangsung sedemikian rupa dalam oligarki menyebabkan rakyat
sadar bahwa keadaan mereka semakin memburuk. Penguasa tidak pernah puas memperkaya
diri, maka rang-orang yang tersingkir dari persaingan menimbun harta akan melarat. Jumlah
orang melarat semakin
bertambah hingga akhirnya mereka mau melawan dan merebut
kekuasaan, serta membunuh orang kaya. Ketika penguasa tersebut dapat ditaklukkan maka
kemudian dibentuklah pemerintahan yang penguasa dan rakyatnya sederajat, sebab
pemerintah dipilih oleh rakyat dan berasal dari rakyat. Lahirlah demokrasi sebagai bentuk
keempat pemerosotan negara ideal Plato. Dalam pemerintahan ini kemerdekaan dan
kebebasan merupakan prinsip yang paling utama.
Ketika rakyat semakin lama semakin mengejar kebebasan, hal ini membuat setiap
orang ingin mengatur dirinya sendiri dan berbuat sesuka hati sehingga timbullah berbagai
kekacauan, kekerasan, ketidaktertiban, bahkan anarki. Situasi chaos yang sedemikian rupa
membuat rakyat merasakan perlu adanya penguasa yang kuat dan seseorang yang dapat
diangkat untuk menjadi pelindung dirinya. Namun karena kewenangan yang besar ia pun
semakin bertindak sewenang-wenang, rakyat tidak lagi dilindungi namun justru ditindas dan
ditelan. Kemorosotan demokrasi seperti inilah yang kemudian disebut dengan tirani.
2.3 Kekuasaan dan Demokrasi
Kekuasaan dan demokrasi adalah suatu yang tidak dapat dipisahkan, karena
demokrasi sendiri akan sangat berkaitan dengan kekuasaan. Indonesia sendiri menggunakan
sistem demokrasi yang dimana seluruh warga-negaranya bebas beraspirasi apa yang mereka
butuhkan dari negara, karena negara sendiri menjamin warga-negaranya untuk terjamin
hidupnya dan dapat hidup sejahteraan dikalangan masyarakat lainya. Karena pada dasarnya
manusia tidak dapat hidup sendiri untuk melakukan dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya,
mereka pasti akan memerlukan orang lain untuk dapat membantu kehidupanya dalam bentuk
makanan, tempat tinggal, dll. Selain itu negara juga mempunyai kewajiban untuk tetep
melihat kondisi masyarakatnya yang mungkin kurang mampu untuk hidup di negaranya.
Demokrasi sendiri memiliki sisi negatif dan postif dalam menjalankannya, dengan
demokrasi masyarakat akan dapat menilai dan juga dapat merubah kebijakan pemerintah jika
kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan kehidupan rakyatnya karena indonesia sendiri
kekuasaan tertinggi berada pada tangan rakyat untuk itu pemerintah harus bijak untuk
menentukan sebuah kebijakan yang tidak merugikan satu sama lain untuk menciptakan
masyarakat yang sejahtera dan saling menghargai satu sama lain. Tetapi tidak menutup
kemungkinan dengan menggunakan sistem demokrasi sudah cukup baik dilakukan khususnya
oleh Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki dari sistem ini, karena masih banyak
orang-orang yang salah mengartikan sistem demokrasi yang akan merugikan orang lain.
Kondisi suasana perebutan kekuasaan yang terjadi pada saat zaman Yunani Kuno
sangat mempengaruhi pandangan Plato dalam melihat bentuk kekuasaan yang ideal. Dari
pandangannya mengenai pentingnya seorang raja filsuf dalam suatu negara menunjukkan
keberpihakan Plato pada sistem politik yang bersifat monarki dibawah kuasa satu orang. Raja
filsuf dianggap sebagai seseorang yang dapat menjaga agar suatu negara dapat bertahan.
Pada sejarahnya, Plato mempelajari bentuk kekuasaan yang ideal pada saat terjadi perebutan
kepemimpinan di Yunani kuno antara dua negara utama, Sparta dan Athena. Hal ini terjadi
pada Perang Peloponnesos (431-404) yang pada akhirnya memenangkan Sparta. Plato
melihat kekalahan Athena tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal yang disebabkan
ketangguhan pasukan Sparta, namun disebabkan faktor internal lemahnya pasukan Athena.
Bentuk kekuasaan Aristokratis Militeristis yang diterapkan Sparta menjadikannya lebih
unggul dalam mempersatukan negara dibandingkan dengan kekuasaan demokratis Athena.
Menurut Plato demokrasi hanya akan menimbulkan kekacauan sosial. Hal ini
diperoleh sebagai hasil dari kebebasan yang diperoleh setiap orang. Kebebasan untuk
mengkritik siapapun termasuk penguasa. Kondisi seperti ini akan sulit dikontrol ketika orang
saling mengabaikan hak orang lainnya yg juga memiliki hak yang sama untuk mengkritik.
Jika melihat lebih dalam, hal ini bukannya akan memperkuat negara tersebut, tapi
menghasilkan perdebatan yang tidak terelakkan dari internal negara tersebut. Hal ini yang
terjadi pada Athena ketika terjadi perebutan kekuasaan Yunani kuno.
Dalam istilah Plato, demokrasi itu, “penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan
berbicara dan setiap orang dapat berbuat sekehendak hatinya.18 Hal ini menunjukkan secara
jelas ketidakberpihakan Plato pada demokrasi. Demokrasi menurutnya pada akhirnya hanya
akan melahirkan pemerintahan tirani. Sehingga dalam hal kekuasaan Plato menganggap yang
terbaik adalah sistem monarki.
Ketika Plato hendak menggunakan istilah kekuasaan dalam pemikiran poltiknya, ia
dihadapkan dengan dua istiah dalam bahasa Yunani, yakni paithein yang berarti persuasi di
mana sering digunakan untuk menangani urusan dalam negeri, dan bia yang berarti paksaan
tau kekerasan yang sering digunakan untuk menangani urusan luar negeri. Pada mulanya
Plato cenderung menggunakan istilah persuasi untuk kekuasaan itu, namun sesudah kematian
Socrates, Plato sadar bahwa sesungguhnya persuasi tidaklah cukup untuk membimbing dan
memimpin manusia dengan selaga keunikannya. Hal tersebut akan tetapi tidak berarti Plato
lalu meninggalkan sama sekali pengertian persuasi dan hanya menekankan unsur paksaan
atau kekerasan apabila ia berbicara mengenai kekuasaan. Bagi Plato, unsur paksaan ataupun
kekerasan hanya boleh digunakan dalam keadaan sangat terpaksa. Kekuasaan menurut Plato
adalah kesanggupan untuk meyakinkan (persuasi) orang lain agar orang yang telah
diyakinkan itu melakukan apa yang telah diyakininya sesuai dengan kehendak orang yang
melakukan persuasi itu.19
Pada masa sebelum Plato, bahkan ketika ia hidup dan masa sesudahnya, terdapat
cukup banyak orang yang berpendapat bahwa sumber kekuasaan adalah dewa. Mereka yakin
bahwa dewa atau yang mereka anggap ilahi itulah yang pantas menjadi sumber kekuasaan.
Pada zaman sekarang pun definisi mengenai kekuasaan dan sumber kekuasaan masih
melahirkan beberpa penafsiran. Salah satunya adalah mengenai kekayaan. Terdapat orangorang yang mendewakan harta milik dan kekayaan. Tidak dapat disangkal bahwa sejak
zaman dahulu orang-orang kaya dengan kekayaan yang dimilikinya sanggup mengatur para
penguasa, maka mereka lau mengatakan bahwa sumber kekuasaan adalah kekayaan. Selain
itu ada pula orang yang menempatkan pangkat, kedudukan, atau jabatan di atas segalanya.
Hal-hal yang demikian bertolak belakang dengan pandangan Plato mengenai sumber
kekuasaan. Bagi Plato, sumber kekuasaan itu bukan pangkat, kedudukan, jabatan, ataupun
harta milik dan kekayaan dan bukan pula dewa atau apapun yang dianggap ilahi. Plato
menempatkan filsafat atau ilmu pengetahuan menjadi yang mulia yang harus berada di posisi
18 Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001. hlm.
43.
19 Rapar, J. H. 1991. Filsafat Politik Plato. Jakarta: CV. Rajawali
paling atas di tahta pemerinahan negara ideal karena hanya pengetahuan lah yang dapat
membimbing dan menuntun manusia datang pada pengenalan yang benar akan segala sesuatu
yang ada dalam keberadaannya yang sempurna di dunia ide. Hanya pengetahuan yang
sanggup mengembalikan manusia ke dunia ide untuk mengenal kembali dengan sebaik
mungkin apa yang dulu pernah diketahuinya dengan sempurna. Oleh sebab itu menurut Plato
pengetahuan adalah kekuasaan.
Plato menilai bahwa negara merupakan perpanjangan sistem dari sebuah keluarga.
Negara merupakan suatu keluarga besar. Oleh karena itu kekuasaan dalam negara dan
kekuasaan dalam keluarga sama saja. Persamaan tersebut memberi arti bahwa para penguasa
negara dalam menjalankan kekuasaannya harus menganggap setiap warga negara selaku
anak-anaknya sendiri. Seperti dengan anak-anaknya sendiri, para penguasa wajib merawat,
memelihara, mengasuh, membina, mendidik, mengarahkan, dan melindungi setiap warga
negara dengan penuh perhatian, tanggung jawab, dan kasih sayang. Dengan demikian
penyelenggaraan kekuasaan yang dikehendaki Plato dalam negara idealnya bukanlah dengan
paksaan atau kekerasan, kedua hal tersebut hanya dipergunakan dalam keadaan darurat
sementara dalam keadaan normal dan biasa, penyelenggaraan kekuasaan itu haruslah
dilakukan dengan persuasi atau dengan kata lain penyelenggaraan kekuasaan yang
dikehendaki Plato dalam negara idealnya ialah secara paternalistik di mana para penguasa
yang bijaksana harus dapat menempatkan diri selaku ayah yang baik dan bijak dalam
tindakannya terhadap anak-anaknya serta memberi kasih sayang dan ketegasan demi
kebaikan dan kebahagiaan anak-anak itu sendiri.
Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus
biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Dalam pemerintahan
demokratis, kepentingan rakyat diperhatikan sedemikian rupa dan kebebasan pun dijamin
oleh pemerintah. Semua warga negara adalah orang-orang yang bebas. Kemerdekaan dan
kebebasan merupakan prinsip yang paling utama.
Plato mengatakan, “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of
speech, and men in it may do what they like.” (…mereka adalah orang-orang yang merdeka,
negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya
boleh melakukan apa yang disukainya, red).20
20 Plato, P. (2015). Republic. eKitap Projesi.
Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas.
Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan
berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah berbagai kerusuhan yang disebabkan berbagai
tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), kejangakkan/ tidak
bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan
betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi
terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana
bagi negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.
Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa
hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu,
pada perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat
tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi
rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata:
”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
2.4 Kontribusi pemikiran Plato
Sosok Plato dan Aristoteles sudah dikenal sebagai Pemikir (filsuf) yang cukup tua dan
ketara kontribusinya terhadap khasanah Ilmu Politik Dunia. Kedua filsuf yang
menggambarkan konsep negara dan masyarakat ini dikenal luas sebagai Pemikir Politik yang
berbasis kepada ilmu filsafat. Perlu diketahui, tidak semua konsepsi dalam keilmuan Politik
berlandaskan kepada filsafat. Deliar Noor dalam bukunya mengungkapkan perbedaan antara
Plato dan Aristoteles antara lain:
“Plato memandang segala sesuatu dalam rangka kesatuan menyeluruh, yaitu Nan Ada;
dalam rangka mana negara mempunyai tempat dan fungsi tertentu. Aristoteles
berhenti pada apa yang dianggapnya perkembangan terakhir (dan tersempurna) dari
kumpulan manusia yang disebutnya negara itu, tidak meluaskannya hingga rangka
kesatuan keseluruhan apa yang ada ini. Arti diri seseorang terletak dalam
keanggotaannya sebagai anggota negara dan tidak ada hubungannya dengan bentuk
yang lebih luas daripada itu, ataupun dengan alam semesta ini.” Aristoteles mengakui
kenyataan kehidupan berupa keperluan berkeluarga dan keperluan memiliki.21
21 Plato. Republik (modern Library), terj. B. Jowett (New York: Random House). Hal. 29
Setelah kemunculan “bringing the state back in” kajian terhadap pentingnya peranperan negara, bahwa negara adalah berdaulat dan negara memiliki kewajiban diantaranya
untuk mensejahterakan rakyat kembali menarik perhatian para Ilmuan Politik dunia.
Sebelumnya, kemunculan ideologi Liberal yang mengedepankan individualisme telah
mengikis bagaimana peran negara. Peran negara dalam konsepsi pemikiran Liberal adalah
sebatas “penjaga malam” dan kondisi ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya
sistem politik ekonomi-liberal, khususnya dinegara-negara barat. Dengan demikian, peranperan negara sebagaimana diurai Plato kerap luntur akibat sistem yang individualistik. Plato
yang menegaskan tentang pentingnya kolektivisme dengan menentang kepemilikan pribadi
sekilas memiliki kemiripan pemikiran dengan Marxian.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Plato merupakan tokoh filsafat pada masa Yunani kuno yang mempunyai kedudukan
istimewa sebagai seorang filosof. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu seni filosofi. Menurut
Plato Negara ideal itu Negara yang mempunyai prinsip kebajikan, Plato juga beranggapan
bahwa dunia ini tercipta karena saling ketergantungan antar manusia yang menghuni bumi
ini, dan manusia diciptakan dengan bakat dan kemampuan yang tak sama, maka dari itu
manusia hidup didunia ini saling membutuhkan, karena manusia bukan mahkluk individu
yang tidak bisa hidup sendiri. Dari Plato kita bisa belajar filsafat hidup yang sebenarnya, dan
selalu memunculkan ide-ide baru.
Dari pembahasan singkat mengenai pemikiran Plato, dapat kita simpulkan adanya perbedaan
yang cukup mendasar antara keduanya tentang realitas hakiki. Plato ada pada pendapat,
bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan) dalam diri seseorang
terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, konon sebelum manusia itu
masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan),
apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia
idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang
kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah
dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan
jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Ini adalah persoalan ada (“being”)
dan mengada (menjadi, “becoming”).
Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa
keemasan filsafat Yunoni Kuno, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi
salah satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra selain pendekatan ekspresif,
pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang
darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra yang lain.
Harus diakui, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk merentangkan dan
mengungkapkan pemikiran filsafat Plato yang sangat luas, terutama pemikiran politiknya,
dalam makalah yang pendek seperti ini. Maka, tulisan ini hanya mencoba menampilkan
sejumlah kecil pemikiran intinya, yang semoga dapat dipahami.
Dari sejumlah komentar dan kritik dari para pemikir lain di generasi-generasi sesudahnya,
terlihat bahwa sebenarnya masih banyak pemikiran Plato yang relevan, jika dikaitkan dengan
konteks dan perkembangan dunia masa kini.
Tentu saja, pemikiran Plato itu tidak bisa diterapkan mentah-mentah begitu saja dalam
konteks situasi dunia sekarang, yang sudah sangat berbeda. Harus dicatat, pemikiran Plato ini
diciptakan sekitar 2.500 tahun yang lalu, dalam lingkungan dunia yang ekstrem berbeda.
Sehingga dalam membuat penilaian, kita juga harus bersikap adil pada Plato.
Berbagai perkembangan kontemporer sekarang –seperti krisis ekonomi dahsyat yang
melanda dunia, dipertanyakannya kembali asumsi-asumsi dasar liberalisme dan kapitalisme,
dampak kerusakan akibat kebebasan yang tanpa kontrol, peran pemerintah yang coba
dihidupkan kembali sesudah dimatikan oleh ekonomi neoliberal— telah membuka peluangpeluang baru, bagi aplikasi pemikiran Plato.
Plato dalam karyanya Republic telah mengakui, utopia mungkin tak akan pernah tercapai.
Sedangkan karyanya Laws menyediakan cetak biru bagi sebuah pendekatan (aproksimasi)
terhadap kondisi ideal tersebut, yang masih dalam jangkauan orang biasa. Yakni, orang biasa
yang ingin ikut berperan dalam kehidupan politik, memiliki tanah sendiri, dan hidup di rumah
tangga biasa yang konvensional.
Artinya, Plato sendiri sejak awal telah menyadari keterbatasan-keterbatasan yang mungkin
mucul dalam upaya mewujudkan dambaannya tentang tatanan masyarakat yang ideal. Maka,
dari situ, pemikiran Plato tentang Utopia dan masyarakat yang ideal itu dapat kita tempatkan
dalam perspektif baru, untuk memberi pandangan dunia yang berbeda, bagi kemungkinan
munculnya alternatif tindakan-tindakan yang berbeda pula.
Sumbangan semacam inilah barangkali yang bisa diberikan oleh pemikiran Plato. Bukan
suatu sumbangann yang harus diterima begitu saja, tetapi sekadar sebagai benih dan humus
yang harus kita pupuk dan kita tumbuh-kembangkan lebih lanjut, untuk mewujudkan tatanan
masyarakat dan dunia yang lebih baik, yang kita cita-citakan.
Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dri rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat. Istilah demokrasi ini memberikan posisi penting bagi rakyat sebab dengan
demokrasi, hak-hak rakyat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara dijamin.
Penerapan demokrasi di berbagai Negara di dunia memiliki ciri khas dan spesifikasi masingmasing, lazimnya sangat dipengaruhi oleh ciri khas masyarakat sebagai rakyat dalam suatu
negara. Indonesia sendiri menganut demokrasi pancasila di mana demokrasi itu dijiwai dan
diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila sehingga tidak dapat diselewengkan begitu
saja.
Implementasi
demokrasi
pancasila
terlihat
pada
pesta
demokrasi
yang
diselenggarakan tiap lima tahun sekali. Dengan diadakannya Pemilihan Umum baik legislatif
maupun presiden dan wakil presiden terutama di era reformasi ini, aspirasi rakyat dan hakhak politik rakyat dapat disalurkan secara langsung dan benar serta kedaulatan rakyat yang
selama ini hanya ada dalam angan-angan akhirnya dapat terwujud.
Kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat, dimana
warga negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang diplih
melalui pemilu. Pemerintahan di Negara demokrasi juga mendorong dan menjamin
kemerdekaan berbicara, beragarna, berpendapat, berserikat setiap warga Negara, menegakan
rule of law, adanya pemerintahan menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat
warga Negara memberi peluang yang sama untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Pengertian demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilakukan oleh
rakyat, dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi dapat memberi manfaat
dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, yaitu Kesetaraan sebagai warga Negara,
memenuhi kebutuhan-kebutuhan umum, pluralisme dan kompromi, menjamin hak-hak dasar,
dan pembaruan kehidupan social. Untuk menumbuhkan keyakinan akan baiknya system
demokrasi, maka harus ada pola perilaku yang menjadi tuntunan atau norma nilai-nilai
demokrasi yang diyakini masyarakat. Nilai-nilai dan demokrasi membutuhkan hal-hal
diantaranya kesadaran akan puralisme, sikap yang jujur dan pikiran yang sehat. demokrasi
membutuhkan kerjasama antarwarga masyarakat dan sikap serta itikad baik, demokrasi
membutuhkan sikap kedewasaan. demokrasi membutuhkan pertimbangan moral
Dalam perjalanan sejarah bangsa, ada empat macam demokrasi di bidang politik yang
pernah diterapkan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, yaitu, Demokrasi Parlementer
(liberal), Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila Pada Era Orde Baru, Demokrasi
Pancasila Pada Era 18 Orde Reformasi. B. Saran Di Indonesia demokrasi bukan hanya
sebagai sistem pemerintahan namun kini telah menjadi salah satu sistem politik. Salah satu
pemilu yang krusial atau penting dalam katatanegaraan Indonesia adalah pemilu untuk
memilih wakil rakyat yang akan duduk dalam parlemen, yang biasa kita kenal dengan
sebutan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Setelah terpilih menjadi anggota
parlemen, para konstituen tersebut pada hakikatnya adalah bekerja untuk rakyat secara
menyeluruh. Itulah yang dinamakan dengan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Akan
tetapi, dewasa ini tidak sedikit para anggota parlemen yang “melupakan” rakyatnya ketika
mereka telah duduk enak di kursi “empuk”. Mereka sibuk dengan urusan pribadi mereka
masing-masing, mengutamakan kepentingan golongan, dan berpikir bagaimana caranya
mengembalikan modal mereka ketika kampanye. Fenomena ini sudah tidak aneh lagi bagi
bangsa Indonesia. Para elite politik saat ini, sudah tidak lagi pada bingkai kesatuan, akan
tetapi berada pada bingkai kekuasaan yang melingkarinya. Seperti misalnya, adanya sengketa
hasil pemilu, black campaign ketika kampanye dan
3.2 SARAN
Di Indonesia demokrasi bukan hanya sebagai sistem pemerintahan namun kini telah
menjadi salah satu sistem politik. Salah satu pemilu yang krusial atau penting dalam
katatanegaraan Indonesia adalah pemilu untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk dalam
parlemen, yang biasa kita kenal dengan sebutan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD. Setelah terpilih menjadi anggota parlemen, para konstituen tersebut pada hakikatnya
adalah bekerja untuk rakyat secara menyeluruh. Itulah yang dinamakan dengan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Akan tetapi, dewasa ini tidak sedikit para anggota parlemen yang “melupakan” rakyatnya
ketika mereka telah duduk enak di kursi “empuk”. Mereka sibuk dengan urusan pribadi
mereka masing-masing, mengutamakan kepentingan golongan, dan berpikir bagaimana
caranya mengembalikan modal mereka ketika kampanye. Fenomena ini sudah tidak aneh lagi
bagi bangsa Indonesia. Para elite politik saat ini, sudah tidak lagi pada bingkai kesatuan, akan
tetapi berada pada bingkai kekuasaan yang melingkarinya. Seperti misalnya, adanya sengketa
hasil pemilu, black campaign ketika kampanye dan sebagainya, yang penting bisa
mendapatkan kekuasaan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika pun telah luntur dalam dirinya.
Untuk itu, diharapkan agar masyarakat ikut mengontrol jalannya pemerintahan agar menuju
Indonesia yang lebih baik. sebagainya, yang penting bisa mendapatkan kekuasaan. Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika pun telah luntur dalam dirinya. Untuk itu, diharapkan agar masyarakat
ikut mengontrol jalannya pemerintahan agar menuju Indonesia yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN
Jakarta, 2000)
Prof. Miriam Budiardjo, dasar-dasar ilmu politik, demokrasi, jakarta 2008
K. Ramanathan, Konsep Asas Politik, M alaysia, Wing Cheong Press, 2000
Abdullah Qodim Zallum, Pemikiran politik Islam, Bangil, Al- Izzah
Noer, D. (1997). Pemikiran Politik di Negeri Barat. Mizan Pustaka
Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, Jakarta, Tintamas-UI Press, 1980
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik.,
Plato. Republik (modern Library), terj. B. Jowett (New York: Random House)
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Gramedia, 1999
Rapar, J. H. 1991. Filsafat Politik Plato. Jakarta: CV. Rajawali
Plato, P. (2015). Republic. eKitap Projesi
PEMIKIRAN POLITIK PLATO KEKUASAAN DAN DEMOKRASI
Disusun Oleh:
Reynold Aprilianto P
165120501111013
Kelas: Pemikiran Politik Indonesia C-3
Dosen Pengampu:
Dr. Sholih Mu’adi,S.H.,M.Si
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menganut sistem demokrasi yang saling berkaitan erat dengan sebuah
kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut berada pada tangan rakyat yang berorganisasi untuk
dapat menilai kebijakan pemerintah apakah sudah sesuai dengan kondisi masyarakat dan
masyarakat merasa nyman dengan kebijakan permerintah yang telah dibuat, jika terjadi
sebuah masalah yang memberatkan masyarakat akan kebijakan pemerintah, maka rakat
mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapatnya untuk merubah kebijakan pemerintah.
Pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah
(terminologis). Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa
Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau
“cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau
demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan Negara di mana dalam sistem pemerintahannya
kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama
rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.1
Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan para ahli
sebagai berikut, menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh
kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat; Affan Gaffar
memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi
normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang
secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah Negara. Sedangkan demokrasi empirik adalah
demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.2
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 25 tahun
berdirinya Republik Indonesia ternyatah masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana,
dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan
ekonomi di samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Dengan
partisipasi rakyatnya seraya megindarkan timbulnya diktaktor, apakah diktaktor ini bersifat
perorangan, partai, ataupun militer
Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah indonesia dapat dibagi dalam
empat masa, yaitu:
a. Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang
menonjolkan pernanan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat
dinamakan Demokrasi Parlementer.
b. Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang
dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara
formal merupakan landasanya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
c. Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila yang
merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
1 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN
Jakarta, 2000), 110.
2 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani,ibid.,110-111.
d. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang), yaitu masa Reformasi yang
menginginkan tegaknya demokrasi di indonesia sebagai koreksi terhadap praktikpraktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.3
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna
menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan
tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau
kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain. Jika kekuasaan
dijalankan secara berlebihan akan mengakibatkan kerugian bagi banyak masyarakat, maka
dari itu masih banyak di indonesia sendiri yang dikenal sebagai partai politik yang sering kali
hanya memikirkan kelompok-kelompoknya sendiri tanpa melihat masyarakat yang
membutuhkan seorang pemimpin yang dapat berkuasa untuk dapat merubah kehidupan
mereka.
Seperti telah diterangkan di muka, undang-undang dasar antara lain merupakan
pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan di dalam suatu negara. Secara visual nampaklah
bahwa kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara:
a. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatanya dan dalam hal ini
yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of
power). Pembagian kekuasaan ini dengan jelas dapat kita saksikan kalu kita
bandingkan antaranegara kesatuan, negara federal, serta konfederasi.
b. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara horizontal.
Pembagian ini menunjukan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintah yang bersifat
legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai TeriasPolitika atau
pembagian kekuasaan (division of power).4
Pemikiran politik sendiri adalah suatu pemikiran tentang asal usul negara, struktur, dasardasar dan juga tujuan-tujuan mewujudkan negara itu. Pemikiran politik bersangkut paut
dengan moral-moral fenomena kelakuan manusia di dalam suatu masyarakat. Pemikiran
politik adalah rekaan orang-orang Yunani karena mereka memiliki tenaga penggerak yang
mahir dalam usaha menerangkan apa yang mereka pikirkan5. Pemikiran politik adalah jenis
pemikiran yang paling tinggi. Pemikiran politik adalah pemikiran yang berkaitan dengan
3 Prof. Miriam Budiardjo, dasar-dasar ilmu politik, demokrasi, jakarta 2008.,127-128
4 Prof. Miriam Budiardjo, dasar-dasar ilmu politik, pembagian kekuasaan negara, hal. 267
5 K. Ramanathan, Konsep Asas Politik, M alaysia, Wing Cheong Press, 2000, hal. 236
pengaturan dan pemeliharaan umat. Tingkat tertinggi dari pemikiran politik adalah pemikiran
yang berhubungan dengan urusan umat manusia di dunia dari sudut pandang tertentu.6
Menurut Plato munculnya negara karena adanya hubungan timbal balik dan saling
membutuhkan antara sesama manusia. Plato juga mengatakan bahwa, negara ideal menganut
prinsip mementingkan kebajikan (virtue). Kebajikan menurut Plato adalah pengetahuan.
Apapun yang dilakukan atas nama Negara haruslah dimaksudkan untuk mencapai kebajikan
itu. Plato menilai bahwa negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang di
dambakan manusia. Begitu pentingnya prinsip kebajikan, hingga Plato beranggapan bahwa
negara yang terbaik bagi manusia adalah negara yang penuh dengan kebajikan didalamnya.
Mereka yang berhak menjadi pemimpin atau penguasa hanya mereka yang mengerti
sepenuhnya prinsip kebajikan ini.
Apakah tujuan hidup manusia? Bagi Plato adalah kehidupan yang senang dan bahagia,
manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagian itu, menurut plato kesenangan itu
tidak hanya kepuasan hawa nafsu selama hidup di dunia, Plato sepakat dengan kesenangan
dua dunia itu. Dunia ide semua ide dengan ide yang baik atau kebaikan dengan kebajikan
sebagai ide yang tertinggi di dunia, ide adalah realitas yang sesunguhnya, sementara segala
sesuatu yang ada di indrawi merupakan realitas bayangan . Hanya orang yang baik dan
bijaksana yang akan dapat memahami segala sesuatu yang beraneka ragam yang berubahubah yang ada di dunia indrawi.
Dengan demikian jelas bahwa etika Plato adalah etika yang berdasarkan dengan ilmu
pengetahuan yang benar itu, sementara pengetahuan hanya dapat diperoleh diraih, dimiliki
lewat akal budi, maka itulah kenapa etika Plato disebut dengan etika rasional.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
1.2.2
1.2.3
1.2.4
Bagaimana Latar Belakang Kehidupan Plato?
Bagaimana Bentuk dan Tujuan Negara menurut Plato?
Bagaimana pandangan Plato tentang kekuasaan dan demokrasi?
Bagaimana kontribusi pemikiran plato?
1.3 Tujuan Pembahasan
1.3.1 Untuk mengetahui Latar Belakang Kehidupan Plato
1.3.2 Untuk mengetahui Bentuk dan Tujuan Negara menurut Plato
1.3.3 Untuk mengetahui pandangan Plato tentang kekuasaan dan demokrasi
6 Abdullah Qodim Zallum, Pemikiran politik Islam, Bangil, Al- Izzah, hal. 5
1.3.4 Untuk mengetahui kontribusi pemikiran Plato
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Kehidupan Plato
Kematian Socrates adalah kematian sebuah jasad, bukan kematian sebuah ide. Hal ini
tidak berarti ajaranya, serta proses kaderisasi dari seorang filsuf besar seperti Socrates.
Itu berlanjut kepada salah seorang muridnya, yakni Plato. Lahir dari keluarga Aristokrat,
awalnya tertarik untuk memasuki bidang politik sebagai karir hidupnya, tetapi kematian
yang demikian tragis dari sang guru menyebabkan ia melanjutkan hidup sebagai seorang
filsuf. Ia sangat tidak setuju dengan cara-cara pemerintahan demokratis saat itu, karena
pemerintahanitulah yang menyebabkan hurunya mati. Masa mudah Plato, masa
kemunduran Athena karena perbuatan kepemimpinan di Yunani Kuno antara dua negara
Athena dengan Sparta yang menghayat pada peperangan Peloponnesos (431-404). Ia
memikirkan bagaimana sebaiknya mengobati Athena dan negara pada umumnya. Oleh
sebab itu, ia melakukan pengembaraan ke sejumlah wilayah, yakni ke Sicilia dan Italia,
juga kabarnya sampai ke Afrika (mesir) dan sejumlah negara di Timur Tengah.7
Ia kemudian mendirikan sekolah yang di berinama Academica di Athena, lembaga itu
tidak sekedar pengembangan ilmu pengetahuan, lebih dari itu diharapkan menjadi pabrik
pembentukan dan penempa orang-orang yang dapat membawa perubahan bagi Yunani,
yakni bukan hanya mengenai bidang pengetahuan tertentu, melainkan segala aspek
manusia dan masyarakat dalam arti keseluruhan (holistic). Ia mengeluarkan buku yang
berjudul Politea (republik). Lembaga pendidikan ini diharapkan dapat membentuk
manusia yang berpengetahuan yang didapatkan dengan cara apa pun dan dilakukan atas
nama negara dalam rangka mencapai kebajikan. Menurut Plato, negara ideal menganut
prinsip kebajikan (virtue).
Negara ideal hanya memungkinkan atas dasar budi penduduknya, dan itu didapat
dengan pendidikan yang diatur sedemikian rupa. Menurut Plato, anak umur 10 tahun ke
atas menjadi urusan negara. Dasar utama pendidikan anak-anak adalah gymnastic
(senam) dan musik selain diberikan pelajaran menulis, membaca, dan berhitung.
Gimnastik menyehatkan badan dan pikiran. Dari umur 14-16 tahun anak diajarkan
musik, puisi serta mengarang untuk menanamkan jiwa yang halus, budi yang halus
dengan menjauhkan lagu-lagu yang melemahkan jiwa serta mudah menimbulkan nafsu
buruk. Usia 16-18 tahun anak-anak diberi pelajaran matematika untuk membimbing
pikiran, selain diajarkan dasar-dasar agaman serta adab kesopanan. Selain guna membina
solidaritas, suatu negara atau bangsa tidak akan kuat jika tidak percaya kepada Tuhan.
7 Noer, D. (1997). Pemikiran Politik di Negeri Barat. Mizan Pustaka, hlm. 7.
Pada umu 20 tahun diadakan seleksi yang lebih tinggi yang lebih tinggi untuk mengikuti
pendidikan mengenai adanya idea dan dialetika dan mereka mendapatkan kesempatan
untuk memangku jabatan yang lebih tinggi.8
Politea yang sering diterjemahkan dengan Republikk, tetapi arti sebenarnya adalah
konstitusi dalam pengertian suatu jalan-cara bagi individu-individu dalam berhubungan
sesamanya dalam pergaulan hidup atau masyarakat. Politea itu bernama juga “tentang
keadilan”, memang keadilan merupakan tema pokok dalam kitabnya itu. Keadilan itu
berarti seseorang itu membatasi dirinya pada kerja dan tempat dalam hidup yang sesuai
dengan panggilan kecakapan dan kesanggupanya. Akan tetapi, tindakan itu tidak terbatas
hingga teoretis saja, melainkan melingkupi juga tindakan dan sikap, sebab itu buku ini
menguraikan ajaran-ajaran praktis, suatu ajaran yang perlu dan harus diwujudkan.9
Plato memberikan sebuah studi kasus yang luar biasa mengenai teori pengetahuan
yang terkandung dalam pemikiran politik. Teori politiknya tak dapat dipahami secara
utuh tanpa terlebih dulu memahami konsepnya tentang pengetahuan. Doktrin gurunya
(socrates) bahwa kebijakan adalah pengetahuan merupakan dasar bagi pemikiranya
tentang negara.
Sebagaimana Parmenides dan Heraklitus, Plato juga dihadapkan pada masalah
perubahan dalam ketetapan, juga problem antara satu dan banyak. Dia melihat dunia
dalam suatu perubahan yang konstan, namun dia juga merasakan ada sesuatu permanen
yang melekat pada apa yang berubah tersebut. Oleh karenanya, dia merumuskan
doktrinnya mengenai ide, yang secara esensial merupakan teori pengetahuan. Idenya
bukanlah semata-mata pemikiran sebeb pemikiran adalah baru dan fana. Idenya,
meskipun tak berwujud, memiliki eksistensi yang terpisah, dan menjadi bagian dari
objek-objek yang terwujud tempat ide-ide tersebut muncul.
Meskipun demikian, ide manusia berbeda dari manusia manapun, atau ide negara
berbeda dari lembaga politik manapun yang ada. Manusia dan negara yang berwujud
hanyalah semata-mata cerminan atau bayangan dari manusia atau negara ide. Objek yang
dirasakan manusia bukanlah relitas yang sesunggunya karena relitas, ketetapan, dan
ketidakberubahan, tidak bisa dilihat, tetapi hanya bisa dipikirkan. Objek juga bukan
persepi yang mencakup ide. Objek tidak lain hanya bayangan ide. Filsafat Plato tentang
politik dapat diringkas menjadi beberapa hal.10
2.2 Bentuk dan Tujuan Negara menurut Plato
8 Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, Jakarta, Tintamas-UI Press, 1980, hlm. 113-114
9 Ibid, hlm, 9.
10 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik., hlm. 59-64.
Plato memiliki pemikiran tenang filsafat politik tersendiri yang menurut dia negara
harus mempunyai aspek penting untuk dapat dikatakan sebagi sebuah negara. Plato
memandang sebuah negara memiliki bentuk dan tujuan agar terbentuk dan menajdi sebuah
negara yang idealis dan dicita-citakan menurut Plato. Berikut beberapa aspek penting
menurut Plato diringkas menjadi beberapa hal.
1. Kebijakan adalah pengetahuan
Dalam hal ini, ada tiga konsep yang harus dipahami. Pertama, kebenaran harus
objektif dan tidak berubah agar kita bisa mencapai pengetahuan mengenainya.
Sebaliknya, kita hanya bisa memiliki opini dan bukanya pengetahuan yang sejati.
Kedua, karena kebijakan disamakan dengan pengetahuan, orang yang
mengetahui harus diberi peran menentukan dalam urusan publik. Tugas untuk
menemukan penguasa yang baik dan bijak, dengan demikian, dilakukan dengan ujian
pengajaran.
Ketiga, negara harus mengambil peran aktif dalam mendidik rakyatnya,
khusunya kepada orang-orang yang percaya dengan bimbingan dan arahan kehidupan
publik. Suatu masyarakat yang semakin bijak dan berfungsi secara baik akan dibantu
dengan pelatihan hingga mmperoleh kemampuan yang luas.
2. Ketidak setaraan antar-manusia
Bagi Plato, tidak ada kesetaraan idealistis di kalangan manusia untuk menghargai
bakat dan kemampuan. Dia berpandangan bahwa alam membuat kemampuan manusia
berbeda, baik karena pengejaran fisik maupun intelektual atau karena mencapai
kebajikan. Dalam bukunya, Republik, plato mengatakan:
“Wahai warga-negara, kami akan menyampaikan kepada kalian kisah kami.
Kalian adalah bersaudara, namun Tuhan membentuk kalian secara berbeda.
Beberapa diantara kamu memiliki kekuasaan untuk memerintah, dan dalam
kelompok ini ada yang membuat emas, karenanya mereka juga memiliki
kehormatan terbesar; yang lain membuat perak, menjadi lengkap; yang lain
menjadi petani atau tukang yang membuat kuningan dan besi.”11
Kutipan diatas memang menunjukan betapa idealisnya Plato karena menganggap
ketidaksetaraan dan perbedaan status dan kelas merupakan hal yang ditentukan oleh Tuhan.
Dengan demikian, bakat dan kemampuan intelektual dianggap bukan karena pengalaman dan
sebab-sebab material. Status dan kelas dianggap sebagai suatu yang ada dan membawa
konsekuesi bagi posisinya masing-masing., tetapi ia tak mempermasalahkan perbedaan yang
membawa efek eksploitatif.
11 Ibid., hlm. 60.
3. Negara sebagai lembaga alamiah
Bagi Plato yang merupakan seorang filsuf idealis, negara dianggap sebagai keinginan
dari tiap-tiap individu. Negara dianggap muncul karena keinginan manusia. Jadi, asal
mula negara terletak dalam kebutuhan-kebutuhan dan keinginan manusia yang
bermacam-macam dan kebutuhan untuk bekerja sama sebagai akibat dari perbedaan
dan keinginan itu.
4. Tujuan negara
Tujuan negara dalam konsep plato juga tampak ideal sekali. Karena negara adalah
penyatuan dari berbagai individu yang berbeda. Tujuan negara adalah kesejahteraan
bersama. Kata Plato, “Tujuan kita menegakan negara bukanlah ketidakseimbangan
kebahagiaan kelas tertentu, melainkan demi kebahagian buat semua.”12
Selain Politea dan Republic, karya Plato lainya adalah Statesmen dan Laws. Dua
karya yang ditulis menjelang akhir hidupnya ini berisi tentang cara memperbaiki demokrasi
Athena yang dilihatnya masih banyak kekurangan. Meskipun muatan etis pemikirannya tetap
sama, sikapnya terhadap manusia menjadi lebih toleran, lebih memahami kelemahan
manusia, dan lebih realistis. Karyanya penuh dengan panduan praktis tentang bagaimana
menciptakan negara yang “ideal” menurutnya.
Dalam Laws, Plato mengajukan perpaduan antara aristokrasi dan demokrasi, yang
seimbang dalam hal kekayaan dan jumlah, untuk menstabilkan kekuatan politik. Dewan atau
badan admisistratif beranggotakan wakil-wakil pilihan dari masing-masing empat kelas
ekonomi. Sebuah kelompok yang terdiri dari 37 hakim akan menetapkan pengadilan. Fungsi
legislatif memainkan peran kecil dalam negara yang diajukanya karena Plato beranggapan
bahwa hukum akan ditentukan sebelumnya oleh pembuat hukum, semisal solon. Perincian
hukum akan dilakukan oleh para hakim dan pejabat administratif. Jika perubahan besar
terjadi, hal itu akan dilakukan oleh Nocturnal Council, sebuah aristokrat intelektual yang
terdiri dari para pendata, 10 hakim tertua, dan beberapa anggota yang masih muda. Perubahan
hanya akan dilakukan pada instansi tertentu muncul ketika kebutuhan besar dan mendesak.13
Pemikiran politik Plato yang sangat klasik ini memang tak sesuai dengan politik
modern sekarang ini. Akan tetapi, ada hal-hal yang menarik yang masih harus dipertahankan.
Peran pokok yang harus dimankan oleh pendidikan bagi warga masyarakat merupakan
tekanan pemikiranya yang harus dilakukan negara dan kekuatan politik saat ini, terutama di
indonesia. Ketidaksukaannya pada korupsi dan penyelewengan kekuasaan, serta mimpi indah
12 Ibid., hlm. 63.
13 Ibid., hlm. 75.
tentang tanggung jawab negara untukkesejahteraan umum masyarakat masih sangat relevan
untuk konteks negara sekarang ini.
Sebelum mengkaji pemikiran-pemikiran Plato terkait negara, terlebih dahulu kita
perlu memahami konsep-konsep fundamental yang menjadi dasar filsafat pemikiran politik
Plato. Diantara konsep-konsep fundamental tersebut, paling tidak dapat disimpulkan ada 4
hal yang menjadi rujukan dalam falsafah Plato, antara lain:
1. Kebajikan adalah pengetahuan
2. Manusia memiliki bakat, kecerdasan dan kemampuan yang tidak sama
3. Negara adalah lembaga yang alami
4. Tujuan masyarakat politik adalah kebaikan bersama.14
Dari empat konsep fundamental diatas, kita dapat melihat bagaimana Plato begitu
mengilhami ajaran filsafat Socrates, yang mengedepankan kebajikan dan pengetahuan.
Selanjutnya, untuk tujuan melakukan telaah terhadap pemikiran Plato, yang perlu
menjadi fokus kajian penting adalah sebuah masterpeace yang ditulis filsuf besar ini
“Republik.” Dalam karyanya Republik, Plato memaparkan tiga konsep dalam doktrin
Socrates “Kebajikan adalah pengetahuan” antara lain: kebenaran harus objektif dan tidak
berubah agar kita bisa mencapai pengetahuan mengenainya; kebajikan disampaikan dengan
pengetahuan, oleh karena itu orang yang mengetahui haris diberi peran yang menentukan
dalam urusan publik, dan terakhir; negara harus mengambil peran aktif dalam mendidik
rakyatnya.15
Dalam bukunya Republik, Plato menyebut tantang apa yang didefinisikannya sebagai
negara organik. Yang dimaksud dengan konsep negara organik dalam pemikiran Plato
tersebut adalah “kondisi dimana rakyat bukan semata yang menjadi Badan politik, meski ia
jelas terdiri dari kumpulan individu.”16 Pandangan negara organik ini tidak berarti negara
memiliki eksistensi dirinya yang terpisah dari komponennya. Tujuan mendirikan negara
bukanlah ketidakseimbangan kebahagiaan kelas tertentu melainkan demi kebahagiaan semua.
14 Plato. Republik (modern Library), terj. B. Jowett (New York: Random House). Hal. 415.
15 Henry J. Schmandt., Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai
Zaman Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. hal. 59.
16 Plato. Republik (modern Library), terj. B. Jowett (New York: Random House). Hal. 369
Kemudian menurut Plato, sebuah negara yang ideal juga harus memperhatikan
prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, apakah dalam bentuk harta, keluarga. Dalam
logika Plato, dengan hak atas kepemilikan pribadi akan menciptakan kecemburuan dan
kesenjangan sosial, yang berakibat kepada keinginan setiap orang untuk menumpuk kekayaan
tanpa batas. Dengan demikian, akan memunculkan sifat buruk manusia seperti ketamakan
dan kerakusan akibat kompetisi bebas dan kepemilikan pribadi tersebut. Berangkat dari hal
ini lah, Plato kemudian mengemukakan gagasan tentang kepemilikan bersama atau
kolektivisme yang anti pada individualisme.17 Anti individualisme Plato digambarkan pemikir
sebagai”
Meski demikian Plato di dalam Bab ini menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang lemah, dan tidak dapat dikontrol. Menurutnya sistem pemerintahan yang
demokrasi hanya akan melahirkan sistem pemerintahan yang tirani, karena begitu bebasnya
seseorang dalam mengemukakan pendapat dan berbicara. Dalam negara demokrasi,
kebebasan individual dan pluralisme politik adalah dewa yang diagungkan. Semua warga
negara memiliki kebebasan mengekspresikan aspirasi dan idealisme politiknya tanpa merasa
khawatir akan intervensi negara terhadap kebebasannya itu. Dalam istilah Plato, demokrasi
itu “penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat
berbuat sesuka hatinya.” Kekerasan dibenarkan atas nama kebebasan dan persamaan hak.
Penjungkirbalikan massal terhadap moralitas dan akal budi dibenarkan dengan alasan
kebebasan.
Namun hal tersebut tidaklah abadi sebagaimana sifat dan kondisi jiwa manusia yang
terus berubah. Perubahan bentuk negara dimulai ketika keutuhan dan kesatuan kelas
penguasa menjadi retak dan terbagi ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan
Kemungkinan terbesar penyebab keretakan tersebut adalah ketika generasi muda (anak-anak
arsitokrat) mulai memasuki pemerintahan negara. Oleh karena mereka memeroleh kekuasaan
dengan mudah yang diiringi dengan rendahnya kadar idealisme yang tidak sejalan dengan
para pendahulunya, maka pemerintahan pun berubah tidak lagi tertuju kepada kepentingan
bersama, melainkan bergeser pada kepentingan mereka sendiri. Kekuasaan yang mereka
miliki digunakan untuk meraih kemahsyuran, kemuliaan, dan kehormatan yang sebesarbesarnya. Aristokrasipun kemudian merosot menjadi timokrasi.
17 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Gramedia, 1999..hal. 39.
Plato menilai negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang di
dambakan oleh manusia, sehinga negara yang ideal menurut Plato adalah negara negara yang
menjunjung kebajikan. Plato mengambarkan seorang filsuf adalah dokter, filsuf meski
mengetahui penyakit-penyakit yang dialami oleh masyarakat, mampu mendiagnosa dan
mendeteksi sejak dini. Plato beranggapan munculnya negara adalah akibat hubungan timbal
balik dan rasa saling membutuhkan antar sesama manusia.
Plato berangapan munculnya negara karena adanya hubungan timbal balik dan rasa
saling membutuhkan antara sesama manusia, manusia juga dianugerahi bakat dan
kemampuan yang tidak sama, pembagian kerja-kerja sosial muncul akibat adanya perbedaan
alami, masing-masing memiliki bakat alamiah yang berbeda, perbedaan bakat dan
kemampuan justru baik bagi kehidupan masyarakat, karena menciptakan saling
ketergantungan, setiap manusia tentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara
subsistensi, yang untuk memenuhi kebutuhan tersebut membutuhkan orang lain, negara
dalam hal ini berkewajiban memperhatikan pertukaran timbal balik, dan berusaha agar
kebutuhan masyarakat terpenuhi.
Negara ideal menurut Plato juga didasarkan pada prinsip-prinsip larangan atas
kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang atau harta, keluarga, anak dan istri inilah yang
disebut nihilism. Dengan adanya hak atas kepemilikan menurut filsuf ini akan tercipta
kecemburuan dan kesenjangan sosial yang menyebabkan semua orang untuk menumpuk
kekayaannya , yang mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat. Anak yang baru lahir tidak
boleh dikasuh oleh ibu yang melahirkan tapi itu dipelihara oleh Negara, sehinga seorang anak
tidak tahu ibu dan bapaknya, diharapkan akan menjadi manusia yang unggul, yang tidak
terikat oleh ikatan keluarga dan hanya memiliki loyalitas mati terhadap negara.
Plato juga tidak memperkenankan lembaga perkawinan, tak seorang pun yang dapat
mengklaim istri mereka, istri hanya bisa menjadi hak kolektif, hubungan seks yang dilakukan
tidak boleh monogam melainkan poligami, Plato melihat lembaga perkawinan membuat
ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan, yang lembaga perkawinan telah mengekang
bakat alami manusia dan membuat diskriminasi.
Timokrasi pun tidaklah kekal. Pendewaan terhadap kehormatan dan kemuliaan akan
berakhir dan bergeser pada kekayaan. Sebab demi meraih kehormatan dia berlomba
memperoleh kekayaan diantara mereka untuk menunjang kepentingannya. Pendewaan
kekayaan ini membuat orang berlomba-lomba untuk menumpuk harta kekayaan sehingga
kemudian terbagilah ke dalam dua golongan, yakni golongan kaya dan golongan miskin.
Karena kekayaan menjadi ukuran, maka tentu saja yang kaya lebih dimuliakan daripada yang
miskin ini sekalipun memiliki kebaikan dan kebijakan. Akibatnya rakyat menjadi pecinta
uang dan pemuja kekayaan. Terlebih lagi, mereka yang duduk di pemerintahan tidaklah lagi
berdasarkan kecakapan dan keterampilan mereka, melainkan karena kekayaan. Kemerosotan
timokrasi inilah yang kemudian disebut dengan oligarki, yakni negara yang dikuasai oleh
golongan kaya yang terus ingin memperkaya diri.
Keadaan yang terus berlangsung sedemikian rupa dalam oligarki menyebabkan rakyat
sadar bahwa keadaan mereka semakin memburuk. Penguasa tidak pernah puas memperkaya
diri, maka rang-orang yang tersingkir dari persaingan menimbun harta akan melarat. Jumlah
orang melarat semakin
bertambah hingga akhirnya mereka mau melawan dan merebut
kekuasaan, serta membunuh orang kaya. Ketika penguasa tersebut dapat ditaklukkan maka
kemudian dibentuklah pemerintahan yang penguasa dan rakyatnya sederajat, sebab
pemerintah dipilih oleh rakyat dan berasal dari rakyat. Lahirlah demokrasi sebagai bentuk
keempat pemerosotan negara ideal Plato. Dalam pemerintahan ini kemerdekaan dan
kebebasan merupakan prinsip yang paling utama.
Ketika rakyat semakin lama semakin mengejar kebebasan, hal ini membuat setiap
orang ingin mengatur dirinya sendiri dan berbuat sesuka hati sehingga timbullah berbagai
kekacauan, kekerasan, ketidaktertiban, bahkan anarki. Situasi chaos yang sedemikian rupa
membuat rakyat merasakan perlu adanya penguasa yang kuat dan seseorang yang dapat
diangkat untuk menjadi pelindung dirinya. Namun karena kewenangan yang besar ia pun
semakin bertindak sewenang-wenang, rakyat tidak lagi dilindungi namun justru ditindas dan
ditelan. Kemorosotan demokrasi seperti inilah yang kemudian disebut dengan tirani.
2.3 Kekuasaan dan Demokrasi
Kekuasaan dan demokrasi adalah suatu yang tidak dapat dipisahkan, karena
demokrasi sendiri akan sangat berkaitan dengan kekuasaan. Indonesia sendiri menggunakan
sistem demokrasi yang dimana seluruh warga-negaranya bebas beraspirasi apa yang mereka
butuhkan dari negara, karena negara sendiri menjamin warga-negaranya untuk terjamin
hidupnya dan dapat hidup sejahteraan dikalangan masyarakat lainya. Karena pada dasarnya
manusia tidak dapat hidup sendiri untuk melakukan dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya,
mereka pasti akan memerlukan orang lain untuk dapat membantu kehidupanya dalam bentuk
makanan, tempat tinggal, dll. Selain itu negara juga mempunyai kewajiban untuk tetep
melihat kondisi masyarakatnya yang mungkin kurang mampu untuk hidup di negaranya.
Demokrasi sendiri memiliki sisi negatif dan postif dalam menjalankannya, dengan
demokrasi masyarakat akan dapat menilai dan juga dapat merubah kebijakan pemerintah jika
kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan kehidupan rakyatnya karena indonesia sendiri
kekuasaan tertinggi berada pada tangan rakyat untuk itu pemerintah harus bijak untuk
menentukan sebuah kebijakan yang tidak merugikan satu sama lain untuk menciptakan
masyarakat yang sejahtera dan saling menghargai satu sama lain. Tetapi tidak menutup
kemungkinan dengan menggunakan sistem demokrasi sudah cukup baik dilakukan khususnya
oleh Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki dari sistem ini, karena masih banyak
orang-orang yang salah mengartikan sistem demokrasi yang akan merugikan orang lain.
Kondisi suasana perebutan kekuasaan yang terjadi pada saat zaman Yunani Kuno
sangat mempengaruhi pandangan Plato dalam melihat bentuk kekuasaan yang ideal. Dari
pandangannya mengenai pentingnya seorang raja filsuf dalam suatu negara menunjukkan
keberpihakan Plato pada sistem politik yang bersifat monarki dibawah kuasa satu orang. Raja
filsuf dianggap sebagai seseorang yang dapat menjaga agar suatu negara dapat bertahan.
Pada sejarahnya, Plato mempelajari bentuk kekuasaan yang ideal pada saat terjadi perebutan
kepemimpinan di Yunani kuno antara dua negara utama, Sparta dan Athena. Hal ini terjadi
pada Perang Peloponnesos (431-404) yang pada akhirnya memenangkan Sparta. Plato
melihat kekalahan Athena tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal yang disebabkan
ketangguhan pasukan Sparta, namun disebabkan faktor internal lemahnya pasukan Athena.
Bentuk kekuasaan Aristokratis Militeristis yang diterapkan Sparta menjadikannya lebih
unggul dalam mempersatukan negara dibandingkan dengan kekuasaan demokratis Athena.
Menurut Plato demokrasi hanya akan menimbulkan kekacauan sosial. Hal ini
diperoleh sebagai hasil dari kebebasan yang diperoleh setiap orang. Kebebasan untuk
mengkritik siapapun termasuk penguasa. Kondisi seperti ini akan sulit dikontrol ketika orang
saling mengabaikan hak orang lainnya yg juga memiliki hak yang sama untuk mengkritik.
Jika melihat lebih dalam, hal ini bukannya akan memperkuat negara tersebut, tapi
menghasilkan perdebatan yang tidak terelakkan dari internal negara tersebut. Hal ini yang
terjadi pada Athena ketika terjadi perebutan kekuasaan Yunani kuno.
Dalam istilah Plato, demokrasi itu, “penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan
berbicara dan setiap orang dapat berbuat sekehendak hatinya.18 Hal ini menunjukkan secara
jelas ketidakberpihakan Plato pada demokrasi. Demokrasi menurutnya pada akhirnya hanya
akan melahirkan pemerintahan tirani. Sehingga dalam hal kekuasaan Plato menganggap yang
terbaik adalah sistem monarki.
Ketika Plato hendak menggunakan istilah kekuasaan dalam pemikiran poltiknya, ia
dihadapkan dengan dua istiah dalam bahasa Yunani, yakni paithein yang berarti persuasi di
mana sering digunakan untuk menangani urusan dalam negeri, dan bia yang berarti paksaan
tau kekerasan yang sering digunakan untuk menangani urusan luar negeri. Pada mulanya
Plato cenderung menggunakan istilah persuasi untuk kekuasaan itu, namun sesudah kematian
Socrates, Plato sadar bahwa sesungguhnya persuasi tidaklah cukup untuk membimbing dan
memimpin manusia dengan selaga keunikannya. Hal tersebut akan tetapi tidak berarti Plato
lalu meninggalkan sama sekali pengertian persuasi dan hanya menekankan unsur paksaan
atau kekerasan apabila ia berbicara mengenai kekuasaan. Bagi Plato, unsur paksaan ataupun
kekerasan hanya boleh digunakan dalam keadaan sangat terpaksa. Kekuasaan menurut Plato
adalah kesanggupan untuk meyakinkan (persuasi) orang lain agar orang yang telah
diyakinkan itu melakukan apa yang telah diyakininya sesuai dengan kehendak orang yang
melakukan persuasi itu.19
Pada masa sebelum Plato, bahkan ketika ia hidup dan masa sesudahnya, terdapat
cukup banyak orang yang berpendapat bahwa sumber kekuasaan adalah dewa. Mereka yakin
bahwa dewa atau yang mereka anggap ilahi itulah yang pantas menjadi sumber kekuasaan.
Pada zaman sekarang pun definisi mengenai kekuasaan dan sumber kekuasaan masih
melahirkan beberpa penafsiran. Salah satunya adalah mengenai kekayaan. Terdapat orangorang yang mendewakan harta milik dan kekayaan. Tidak dapat disangkal bahwa sejak
zaman dahulu orang-orang kaya dengan kekayaan yang dimilikinya sanggup mengatur para
penguasa, maka mereka lau mengatakan bahwa sumber kekuasaan adalah kekayaan. Selain
itu ada pula orang yang menempatkan pangkat, kedudukan, atau jabatan di atas segalanya.
Hal-hal yang demikian bertolak belakang dengan pandangan Plato mengenai sumber
kekuasaan. Bagi Plato, sumber kekuasaan itu bukan pangkat, kedudukan, jabatan, ataupun
harta milik dan kekayaan dan bukan pula dewa atau apapun yang dianggap ilahi. Plato
menempatkan filsafat atau ilmu pengetahuan menjadi yang mulia yang harus berada di posisi
18 Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001. hlm.
43.
19 Rapar, J. H. 1991. Filsafat Politik Plato. Jakarta: CV. Rajawali
paling atas di tahta pemerinahan negara ideal karena hanya pengetahuan lah yang dapat
membimbing dan menuntun manusia datang pada pengenalan yang benar akan segala sesuatu
yang ada dalam keberadaannya yang sempurna di dunia ide. Hanya pengetahuan yang
sanggup mengembalikan manusia ke dunia ide untuk mengenal kembali dengan sebaik
mungkin apa yang dulu pernah diketahuinya dengan sempurna. Oleh sebab itu menurut Plato
pengetahuan adalah kekuasaan.
Plato menilai bahwa negara merupakan perpanjangan sistem dari sebuah keluarga.
Negara merupakan suatu keluarga besar. Oleh karena itu kekuasaan dalam negara dan
kekuasaan dalam keluarga sama saja. Persamaan tersebut memberi arti bahwa para penguasa
negara dalam menjalankan kekuasaannya harus menganggap setiap warga negara selaku
anak-anaknya sendiri. Seperti dengan anak-anaknya sendiri, para penguasa wajib merawat,
memelihara, mengasuh, membina, mendidik, mengarahkan, dan melindungi setiap warga
negara dengan penuh perhatian, tanggung jawab, dan kasih sayang. Dengan demikian
penyelenggaraan kekuasaan yang dikehendaki Plato dalam negara idealnya bukanlah dengan
paksaan atau kekerasan, kedua hal tersebut hanya dipergunakan dalam keadaan darurat
sementara dalam keadaan normal dan biasa, penyelenggaraan kekuasaan itu haruslah
dilakukan dengan persuasi atau dengan kata lain penyelenggaraan kekuasaan yang
dikehendaki Plato dalam negara idealnya ialah secara paternalistik di mana para penguasa
yang bijaksana harus dapat menempatkan diri selaku ayah yang baik dan bijak dalam
tindakannya terhadap anak-anaknya serta memberi kasih sayang dan ketegasan demi
kebaikan dan kebahagiaan anak-anak itu sendiri.
Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus
biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Dalam pemerintahan
demokratis, kepentingan rakyat diperhatikan sedemikian rupa dan kebebasan pun dijamin
oleh pemerintah. Semua warga negara adalah orang-orang yang bebas. Kemerdekaan dan
kebebasan merupakan prinsip yang paling utama.
Plato mengatakan, “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of
speech, and men in it may do what they like.” (…mereka adalah orang-orang yang merdeka,
negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya
boleh melakukan apa yang disukainya, red).20
20 Plato, P. (2015). Republic. eKitap Projesi.
Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas.
Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan
berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah berbagai kerusuhan yang disebabkan berbagai
tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), kejangakkan/ tidak
bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan
betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi
terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana
bagi negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.
Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa
hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu,
pada perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat
tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi
rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata:
”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
2.4 Kontribusi pemikiran Plato
Sosok Plato dan Aristoteles sudah dikenal sebagai Pemikir (filsuf) yang cukup tua dan
ketara kontribusinya terhadap khasanah Ilmu Politik Dunia. Kedua filsuf yang
menggambarkan konsep negara dan masyarakat ini dikenal luas sebagai Pemikir Politik yang
berbasis kepada ilmu filsafat. Perlu diketahui, tidak semua konsepsi dalam keilmuan Politik
berlandaskan kepada filsafat. Deliar Noor dalam bukunya mengungkapkan perbedaan antara
Plato dan Aristoteles antara lain:
“Plato memandang segala sesuatu dalam rangka kesatuan menyeluruh, yaitu Nan Ada;
dalam rangka mana negara mempunyai tempat dan fungsi tertentu. Aristoteles
berhenti pada apa yang dianggapnya perkembangan terakhir (dan tersempurna) dari
kumpulan manusia yang disebutnya negara itu, tidak meluaskannya hingga rangka
kesatuan keseluruhan apa yang ada ini. Arti diri seseorang terletak dalam
keanggotaannya sebagai anggota negara dan tidak ada hubungannya dengan bentuk
yang lebih luas daripada itu, ataupun dengan alam semesta ini.” Aristoteles mengakui
kenyataan kehidupan berupa keperluan berkeluarga dan keperluan memiliki.21
21 Plato. Republik (modern Library), terj. B. Jowett (New York: Random House). Hal. 29
Setelah kemunculan “bringing the state back in” kajian terhadap pentingnya peranperan negara, bahwa negara adalah berdaulat dan negara memiliki kewajiban diantaranya
untuk mensejahterakan rakyat kembali menarik perhatian para Ilmuan Politik dunia.
Sebelumnya, kemunculan ideologi Liberal yang mengedepankan individualisme telah
mengikis bagaimana peran negara. Peran negara dalam konsepsi pemikiran Liberal adalah
sebatas “penjaga malam” dan kondisi ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya
sistem politik ekonomi-liberal, khususnya dinegara-negara barat. Dengan demikian, peranperan negara sebagaimana diurai Plato kerap luntur akibat sistem yang individualistik. Plato
yang menegaskan tentang pentingnya kolektivisme dengan menentang kepemilikan pribadi
sekilas memiliki kemiripan pemikiran dengan Marxian.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Plato merupakan tokoh filsafat pada masa Yunani kuno yang mempunyai kedudukan
istimewa sebagai seorang filosof. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu seni filosofi. Menurut
Plato Negara ideal itu Negara yang mempunyai prinsip kebajikan, Plato juga beranggapan
bahwa dunia ini tercipta karena saling ketergantungan antar manusia yang menghuni bumi
ini, dan manusia diciptakan dengan bakat dan kemampuan yang tak sama, maka dari itu
manusia hidup didunia ini saling membutuhkan, karena manusia bukan mahkluk individu
yang tidak bisa hidup sendiri. Dari Plato kita bisa belajar filsafat hidup yang sebenarnya, dan
selalu memunculkan ide-ide baru.
Dari pembahasan singkat mengenai pemikiran Plato, dapat kita simpulkan adanya perbedaan
yang cukup mendasar antara keduanya tentang realitas hakiki. Plato ada pada pendapat,
bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan) dalam diri seseorang
terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, konon sebelum manusia itu
masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan),
apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia
idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang
kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah
dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan
jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Ini adalah persoalan ada (“being”)
dan mengada (menjadi, “becoming”).
Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa
keemasan filsafat Yunoni Kuno, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi
salah satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra selain pendekatan ekspresif,
pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang
darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra yang lain.
Harus diakui, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk merentangkan dan
mengungkapkan pemikiran filsafat Plato yang sangat luas, terutama pemikiran politiknya,
dalam makalah yang pendek seperti ini. Maka, tulisan ini hanya mencoba menampilkan
sejumlah kecil pemikiran intinya, yang semoga dapat dipahami.
Dari sejumlah komentar dan kritik dari para pemikir lain di generasi-generasi sesudahnya,
terlihat bahwa sebenarnya masih banyak pemikiran Plato yang relevan, jika dikaitkan dengan
konteks dan perkembangan dunia masa kini.
Tentu saja, pemikiran Plato itu tidak bisa diterapkan mentah-mentah begitu saja dalam
konteks situasi dunia sekarang, yang sudah sangat berbeda. Harus dicatat, pemikiran Plato ini
diciptakan sekitar 2.500 tahun yang lalu, dalam lingkungan dunia yang ekstrem berbeda.
Sehingga dalam membuat penilaian, kita juga harus bersikap adil pada Plato.
Berbagai perkembangan kontemporer sekarang –seperti krisis ekonomi dahsyat yang
melanda dunia, dipertanyakannya kembali asumsi-asumsi dasar liberalisme dan kapitalisme,
dampak kerusakan akibat kebebasan yang tanpa kontrol, peran pemerintah yang coba
dihidupkan kembali sesudah dimatikan oleh ekonomi neoliberal— telah membuka peluangpeluang baru, bagi aplikasi pemikiran Plato.
Plato dalam karyanya Republic telah mengakui, utopia mungkin tak akan pernah tercapai.
Sedangkan karyanya Laws menyediakan cetak biru bagi sebuah pendekatan (aproksimasi)
terhadap kondisi ideal tersebut, yang masih dalam jangkauan orang biasa. Yakni, orang biasa
yang ingin ikut berperan dalam kehidupan politik, memiliki tanah sendiri, dan hidup di rumah
tangga biasa yang konvensional.
Artinya, Plato sendiri sejak awal telah menyadari keterbatasan-keterbatasan yang mungkin
mucul dalam upaya mewujudkan dambaannya tentang tatanan masyarakat yang ideal. Maka,
dari situ, pemikiran Plato tentang Utopia dan masyarakat yang ideal itu dapat kita tempatkan
dalam perspektif baru, untuk memberi pandangan dunia yang berbeda, bagi kemungkinan
munculnya alternatif tindakan-tindakan yang berbeda pula.
Sumbangan semacam inilah barangkali yang bisa diberikan oleh pemikiran Plato. Bukan
suatu sumbangann yang harus diterima begitu saja, tetapi sekadar sebagai benih dan humus
yang harus kita pupuk dan kita tumbuh-kembangkan lebih lanjut, untuk mewujudkan tatanan
masyarakat dan dunia yang lebih baik, yang kita cita-citakan.
Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dri rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat. Istilah demokrasi ini memberikan posisi penting bagi rakyat sebab dengan
demokrasi, hak-hak rakyat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara dijamin.
Penerapan demokrasi di berbagai Negara di dunia memiliki ciri khas dan spesifikasi masingmasing, lazimnya sangat dipengaruhi oleh ciri khas masyarakat sebagai rakyat dalam suatu
negara. Indonesia sendiri menganut demokrasi pancasila di mana demokrasi itu dijiwai dan
diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila sehingga tidak dapat diselewengkan begitu
saja.
Implementasi
demokrasi
pancasila
terlihat
pada
pesta
demokrasi
yang
diselenggarakan tiap lima tahun sekali. Dengan diadakannya Pemilihan Umum baik legislatif
maupun presiden dan wakil presiden terutama di era reformasi ini, aspirasi rakyat dan hakhak politik rakyat dapat disalurkan secara langsung dan benar serta kedaulatan rakyat yang
selama ini hanya ada dalam angan-angan akhirnya dapat terwujud.
Kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat, dimana
warga negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang diplih
melalui pemilu. Pemerintahan di Negara demokrasi juga mendorong dan menjamin
kemerdekaan berbicara, beragarna, berpendapat, berserikat setiap warga Negara, menegakan
rule of law, adanya pemerintahan menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat
warga Negara memberi peluang yang sama untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Pengertian demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilakukan oleh
rakyat, dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi dapat memberi manfaat
dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, yaitu Kesetaraan sebagai warga Negara,
memenuhi kebutuhan-kebutuhan umum, pluralisme dan kompromi, menjamin hak-hak dasar,
dan pembaruan kehidupan social. Untuk menumbuhkan keyakinan akan baiknya system
demokrasi, maka harus ada pola perilaku yang menjadi tuntunan atau norma nilai-nilai
demokrasi yang diyakini masyarakat. Nilai-nilai dan demokrasi membutuhkan hal-hal
diantaranya kesadaran akan puralisme, sikap yang jujur dan pikiran yang sehat. demokrasi
membutuhkan kerjasama antarwarga masyarakat dan sikap serta itikad baik, demokrasi
membutuhkan sikap kedewasaan. demokrasi membutuhkan pertimbangan moral
Dalam perjalanan sejarah bangsa, ada empat macam demokrasi di bidang politik yang
pernah diterapkan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, yaitu, Demokrasi Parlementer
(liberal), Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila Pada Era Orde Baru, Demokrasi
Pancasila Pada Era 18 Orde Reformasi. B. Saran Di Indonesia demokrasi bukan hanya
sebagai sistem pemerintahan namun kini telah menjadi salah satu sistem politik. Salah satu
pemilu yang krusial atau penting dalam katatanegaraan Indonesia adalah pemilu untuk
memilih wakil rakyat yang akan duduk dalam parlemen, yang biasa kita kenal dengan
sebutan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Setelah terpilih menjadi anggota
parlemen, para konstituen tersebut pada hakikatnya adalah bekerja untuk rakyat secara
menyeluruh. Itulah yang dinamakan dengan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Akan
tetapi, dewasa ini tidak sedikit para anggota parlemen yang “melupakan” rakyatnya ketika
mereka telah duduk enak di kursi “empuk”. Mereka sibuk dengan urusan pribadi mereka
masing-masing, mengutamakan kepentingan golongan, dan berpikir bagaimana caranya
mengembalikan modal mereka ketika kampanye. Fenomena ini sudah tidak aneh lagi bagi
bangsa Indonesia. Para elite politik saat ini, sudah tidak lagi pada bingkai kesatuan, akan
tetapi berada pada bingkai kekuasaan yang melingkarinya. Seperti misalnya, adanya sengketa
hasil pemilu, black campaign ketika kampanye dan
3.2 SARAN
Di Indonesia demokrasi bukan hanya sebagai sistem pemerintahan namun kini telah
menjadi salah satu sistem politik. Salah satu pemilu yang krusial atau penting dalam
katatanegaraan Indonesia adalah pemilu untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk dalam
parlemen, yang biasa kita kenal dengan sebutan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD. Setelah terpilih menjadi anggota parlemen, para konstituen tersebut pada hakikatnya
adalah bekerja untuk rakyat secara menyeluruh. Itulah yang dinamakan dengan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Akan tetapi, dewasa ini tidak sedikit para anggota parlemen yang “melupakan” rakyatnya
ketika mereka telah duduk enak di kursi “empuk”. Mereka sibuk dengan urusan pribadi
mereka masing-masing, mengutamakan kepentingan golongan, dan berpikir bagaimana
caranya mengembalikan modal mereka ketika kampanye. Fenomena ini sudah tidak aneh lagi
bagi bangsa Indonesia. Para elite politik saat ini, sudah tidak lagi pada bingkai kesatuan, akan
tetapi berada pada bingkai kekuasaan yang melingkarinya. Seperti misalnya, adanya sengketa
hasil pemilu, black campaign ketika kampanye dan sebagainya, yang penting bisa
mendapatkan kekuasaan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika pun telah luntur dalam dirinya.
Untuk itu, diharapkan agar masyarakat ikut mengontrol jalannya pemerintahan agar menuju
Indonesia yang lebih baik. sebagainya, yang penting bisa mendapatkan kekuasaan. Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika pun telah luntur dalam dirinya. Untuk itu, diharapkan agar masyarakat
ikut mengontrol jalannya pemerintahan agar menuju Indonesia yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN
Jakarta, 2000)
Prof. Miriam Budiardjo, dasar-dasar ilmu politik, demokrasi, jakarta 2008
K. Ramanathan, Konsep Asas Politik, M alaysia, Wing Cheong Press, 2000
Abdullah Qodim Zallum, Pemikiran politik Islam, Bangil, Al- Izzah
Noer, D. (1997). Pemikiran Politik di Negeri Barat. Mizan Pustaka
Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, Jakarta, Tintamas-UI Press, 1980
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik.,
Plato. Republik (modern Library), terj. B. Jowett (New York: Random House)
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Gramedia, 1999
Rapar, J. H. 1991. Filsafat Politik Plato. Jakarta: CV. Rajawali
Plato, P. (2015). Republic. eKitap Projesi