T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor TUN2015 Terkait Pembangunan Bandara di Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta T1 BAB II
BAB II PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
1. Tinjauan Umum Mengenai Peradilan Tata Usaha Negara
1.1 Hakikat dan Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan secara tegas, Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia Sebagai negara hukum, memiliki artian hukumlah yang mempunyai arti penting tertuama dalam semua segi-segi kehidupan. Dalam mempergunakan istilah “Negara Hukum” dikenal juga konsep Rechtsstaat dari Julius Stahl. Menurut
Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) adalah 1 :
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan. Oleh karena hal tesebut, Negara Indonesia dalam hal mewujudkan suatu negara hukum membentuk pengadilan administrasi negara.
Adanya Peradilan Administrasi pada negara hukum diperlukan keberadaanya, sebagai salah satu jalur bagi warga yang merasa kepentingannya dirugikan oleh kekuasaan yang melanggar ketentuan hukum (kontrol warga negara terhadap tindakan pemerintah). Peradilan Administrasi dapat dipandang sebagai peradilan khusus, Adanya Peradilan Administrasi pada negara hukum diperlukan keberadaanya, sebagai salah satu jalur bagi warga yang merasa kepentingannya dirugikan oleh kekuasaan yang melanggar ketentuan hukum (kontrol warga negara terhadap tindakan pemerintah). Peradilan Administrasi dapat dipandang sebagai peradilan khusus,
dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya keputusan 2 .
Di Indonesia, pengadilan administrasi negara dikenal dengan istilah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun dalam penjelasan UU PTUN dijelaskan tujuan pembentukan PTUN ialah:
a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu;
b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan pengadilan administrasi negara (PTUN) merupakan hal yang mutlak ada, dengan maksud selain sebagai sarana kontrol terhadap tindakan yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara juga sebagai suatu bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat.
1.2 Subyek dan Obyek Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Pasal 1 angka (4) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Selanjutnya disingkat UU PTUN) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sengketa tata usaha negara adalah “sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
1.2.1 Subyek PTUN Subyek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum privat di satu
pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dilain pihak 3 . Adapun orang atau badan hukum privat merupakan penggugat, sedangkan badan atau pejabat
tata usaha negara merupakan tergugat.
Terkait penggugat terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yang menyebutkan bahwa: “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa diserta tuntutan ganti rugi danatau rehabilitasi”, pada penjelasanya terdapat beberapa penegasan diantaranya
a. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4, maka hanya orang atau badan Hakim perdata yang berkedudukan sebagai subjek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara
b. Badan atau Pejabat TUN tidak dapat mengajukan gugatan ke PTUN
Mengenai pengertian orang (natuurlijk person) sendiri tidak menimbulkan banyak komplikasi, walaupun masih dapat dipertanyakan apakah orang yang belum dewasa atau di bawah pengampuan atau dalam keadaan pailit dapat maju sendiri di muka pengadilan. Karena dalam Hukum Acara PTUN tidak mengaturnya, maka apa yang berlaku di dalam Hukum Acara Perdata dapat diterapkan di sini. Dengan demikian tidak semua orang dapat maju sendiri untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Siapapun yang dianggap tidak mampu
(onbekwaam) untuk maju ke pengadilan harus diwakili oleh wakil yang sah. 4
Mengenai orang (legal person) yaitu badan hukum perdata yang dapat berkududukan sebagai pihak penggugat dalam lingkung PTUN adalah badan hukum atau perkumpulan atau organisasi atau korporasi dsb, yang didirikan
menurut ketentuan hukum perdata yang merupkan badan hukum murni 5 . Hanya saja perlu diingat sekalipun organisasi atau instansi pemerintahan merupakan
legal person dalam hukum perdata, karena yang digugat harus selalu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, maka organisasi atau instansi pemerintahan tidak bisa
menjadi penggugat 6 .
Selanjutnya terkait Tergugat dinyatakan pada Pasal 1 angka 6 UU PTUN, yang berbunyi: “Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
A. Siti Soetami, Op.Cit., h. 5
Mengenai Jabatan Tata Usaha Negara, siapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap
berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara 7 . terdapat
pengelompok yang dapat menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN 8 :
a. Instansi Resmi Pemerintah yang berada di bawah presiden sebagai kepala eksekutif
b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingnan eksekutif yang berdasarkan peratran perundang-undangan melaksanakan suatu urusn pemerintahan.
c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud unutk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
1.2.2 Obyek PTUN Obyek sengketa PTUN adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat TUN. Dalam Pasal 1 angka 3 UU PTUN dinyatakan bahwa: “Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisikan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual
Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka
Ketika Keputusan tersebut menjadi obyek sengketa PTUN, Salah satu parameter untuk menguji keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. Menurut Indrohato, Suatu penetapan tertulis (KTUN) dianggap bertentang dengan peraturan perundang-
undang karena 9 :
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengira memilki suatu wewenang untuk mengeluarkan atau menolak mengeluarkan suatu keputusanm padahal ia sebenarnya tidak berwenang untuk berbuat demikian atau dengan kata lain suatu keputusan yang dikelaurkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang sebenarnya badan atua pejabat Tata Usaha Negara tidak punya wewenang
b. Berdasarkan peraturan, yang bersangkutan mempunyai wewenag untuk mengeluarkan suatu keputusan, tetapi weweang tersebut sebenarnya tidak diberikan kepada instansi yang telah mengeluarkan keputusan yang sedang digugat.
c. Ada dasar dalam peraturan perundang-undangan tentang suatu wewenang, akan tetapi keputusan yang disengketakan itu sendiri bertentangan dengan peraturan dasarnya atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain
d. Penetapan yang disengketakan itu dikeluarkan menyimpang dari peraturan- peraturan prosedur yang harus ditetapkan.
e. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya penetapan yang bersangkutan sebenarnya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
1.3 Putusan Pengadilan
Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak 10 .
Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa salah satu yang harus ada dalam suatu putusan Hakim adalah alasan hukum yang menjadi dasar putusan. Sebelum Hakim menjatuhkan vonis untuk menjawab tuntutan dari pihak penggugat, terlebih dahulu Hakim membuat dasar-dasar pertimbangan hukum berisi ratio decindendi atau reasoning yaitu argumentasi atau alasan hukum untuk sampai pada suatu putusan. Inti dari suatu perkara yang yuridis, yakni bagian dapat dianggap dianggap mempunyai sifat menentukan, disebut ratio decidendi.
Bagian putusan yang menyebutkan tentang pertimbangan hukum atau biasa disebut dengan konsiderans berisi tentang uraian pertimbangan hukum terhadap duduk perkara. Pada bagian putusan mengenai pertimbangan hukum tersebut terdapat penilaian mengenai alat-alat bukti terhadap fakta-fakta yang diajukan atau yang dibantah oleh penggugat danatau tergugat dalam persidangan.
Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan serta menjatuhkan putusan, namun semua itu harus didasarkan pada aturan hukum yang ada dan didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti. Hal ini bertujuan agar dalam setiap putusan yang akan dijatuhkan oleh Hakim akan memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa. Karena Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan serta menjatuhkan putusan, namun semua itu harus didasarkan pada aturan hukum yang ada dan didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti. Hal ini bertujuan agar dalam setiap putusan yang akan dijatuhkan oleh Hakim akan memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa. Karena
Putusan yang tidak menyebutkan atau tidak mencantumkan pertimbangan atau argumentasi dari Hakim sebelum memutus suatu perkara atau sengketa, maka terhadap putusan tersebut berakibat batal demi hukum. Batal demi hukum berarti putusan tersebut bagi hukum tidak mempunyai akibat hukum tanpa diperlukan
adanya putusan lagi untuk menyatakan batal terhadap putusan tersebut 11 .
1.4 Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir sengketa antara Penggugat dan Tergugat itu belum juga berakhir. Karena salah satu pihak atau dua-duanya merasa tidak puas dengan putusan yang bersangkutan, lalu menggunakan haknya dengan menempuh suatu sarana upaya hukum guna melawan putusan pengadilan tersebut.
Upaya hukum merupakan hak dari pihak yang permohonannya tidak dikabulkan pada pengadilan, berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak untuk mengajukan pemohonan peninjauan kembali dalam hal menuntut cara yang diatur dalam undang-undang. Upaya hukum terhadap putusan pengadilan ialah usaha untuk mencari keadilan pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi dari
pengadilan yang menjatuhkan putusan tersebut. 12
Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa terhadap Putusan PTUN, ialah:
a. Upaya pemeriksaaan banding
Indroharto, Op.Cit., h. 130
12 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia,
Upaya pemeriksaaan banding pada pengadilan tinggi tata usaha negara merupakan pemeriksaan ulang terhadap apa yang sudah diputus oleh pengadilan tata usaha tingkat pertama. Hal ini berarti bahwa pengadilan tinggi tata usaha negara akan memeriksa kembali, baik fakta maupun hukumnya serta amar putusan pengadilan tata usaha negara tingkat pertama, terlepas dari ada tidaknya memori banding. Hal ini di tegaskan pada Pasal 122 UU PTUN yang menyatakan: “Terhadap putusan pengadilan tata usaha negara dapat dimintakan
pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat, juga oleh pihak ketiga yang ikut serta dalam perkara, baik atas prakarsa sendiri ataupun atas pemohonan para pihak maupun atas prakarsa Hakim kepada pengadilan tinggi tata usaha negara”
Pada pemeriksaan tingkatan banding para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan argumen-argumennya dalam bentuk memori banding mengenai hal-hal yang dianggapnya perlu yang menurutnya telah dilupakan oleh Hakim tingkat pertama. Dapat pula disitu diajukan bukti-bukti baru yang belum pernah diajukan pada tingkat pertama atau membantah atau memperkuat pertimbangan putusan dari Hakim tingkat pertama.
b. Upaya Pemeriksaan Kasasi Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU PTUN, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Upaya hukum kasasi tidak dapat diartikan sebagai peradilan banding tingkat kedua, tetapi lebih dengan maksud untuk b. Upaya Pemeriksaan Kasasi Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU PTUN, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Upaya hukum kasasi tidak dapat diartikan sebagai peradilan banding tingkat kedua, tetapi lebih dengan maksud untuk
tugas Hakim agung memeriksa kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh peradilan sebelumnya atau sering disebut judex facti.
c. Upaya Pemeriksaan Peninjauan Kembali Mengenai Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 132, yang pada Ayat (1) dikatakan “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuaran hukum tetap dapat diajukan permohon peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Alasan-alasan permohonan peninjauan kembali menurut Pasal 57 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung berupa:
1) Apabila putusan didasarkan suatu kebohongna atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau didasarkan bukti-bukti yang oleh Hakim Pidana dinyatakan palsu
2) Apabila setelah berkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan, yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan
3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut
4) Apabila mengenai sutu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya
5) Apabila diantara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu defngan yang lain
6) Apabila dalam suatu putsuan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Hanya saja, pada perkara Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terdapat Perbedaan Upaya Hukum yang dilakukan setelah Putusan PTUN dikeluarkan. Upaya hukum terhadap Putusan PTUN yang menangani kasus Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ialah permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini karena adanya ketentuan pada Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang menyatakan “Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia”. Sehingga para pihak tidak dapat melakukan upaya hukum banding atau langsung melakukan upaya hukum kasasi.
Selain tidak adanya upaya banding, terkait pembangunan untuk kepentingan umum pada PTUN tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali. Pembatasan terhadap upaya hukum kasasi terdapat dalam Pasal 19 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan “Putusan kasasi merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum peninjauan kembali”.
2. Tinjauan Mengenai Dasar Pertimbangan Hakim sebagai Proses
Penemuan Hukum
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pertimbangan Hakim dalam putusan merupakan hal yang penting dan harus ada. Melalui pertimbangan Hakim dalam putusan, kita dapat mengetahui bagaimana cara berpikir Hakim sehingga dapat mengeluarkan putusan sedemikian rupa. Pertimbangan Hakim dapat juga dikatakan sebagai dasar argumentasi Hakim dalam mengeluarkan keputusan.
Dalam membentuk suatu pertimbangan, Hakim perlu melakukan penemuan hukum. Penemuan hukum merupakan proses kegiatan pengambilan keputusan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual (baik itu putusan Hakim, ketetapan, pembuatan akta notaris Dalam membentuk suatu pertimbangan, Hakim perlu melakukan penemuan hukum. Penemuan hukum merupakan proses kegiatan pengambilan keputusan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual (baik itu putusan Hakim, ketetapan, pembuatan akta notaris
undang misalnya) dan momen-momen faktual (dari situasi konkret misalnya) 15 . Tentu saja tidak dapat dibenarkan jika Hakim mengesampingkan kaidah yang
berlaku, atau hanya menggunakan subjektifitasnya dalam memutus suatu perkara.
Tanpa melakukan penemuan hukum Hakim tidak akan dapat menafsirkan undang-undang atau melakukan penerapan hukum 16 . Hakim terikat dalam secara
ketat kepada bunyi undang-undang walaupun undang-undang tersebut telah ketinggalan zaman, juga dikarenakan paradigma hukum di Indonesia yang banyak
mendasarkan diri pada filsafat positivism hukum 17 . Salah satu konsekuensi dari
terikatnya Hakim terhadap undang-undang ialah, perlunya pengetahuan Hakim mengenai asas keberlakuan undang-undang, diantaranya 18 :
a. Lex Superior Derograt Legi Inferiori, yaitu peraturan yang perundang- undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang- undangan yang lebih rendah.
b. Lex Specialis Derograt Legi Generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan.
c. Lex Posteriori Derograt Legi Priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.
Penemuan hukum oleh Hakim jangan semata-mata hanya dipandang sebagai penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi dapat
dipandang juga sebagai penciptaan hukum dan pembentukan hukum 19 . Negara
14 Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum,
terjemahan B. Arief Sidharta, Refika Aditama, Bandung, 2013., h. 11 15
Ibid., h. 12 16 Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum,terjemahan B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2005,. h.
17 Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat dalam Putusan Hakim (Teori dan Praktik), Mandar Maju, Bandung, 2014., h. 33
Indonesia menganut sistem civil law dimana sumber hukum utamanya terdapat pada undang-undang, pada praktiknya beberapa Hakim berusaha mencari konsepsi atau interpretasi suatu kaidah melalui putusan pengadilan lain atau peradilan diatasnya. Hal tersebut wajar, karena akan terasa janggal jika terdapat peristiwa yang serupa tetapi diputus berlainan. Ketika putusan Hakim diikuti secara constant (terusmenerus) terhadap masalah yang sama, Hakim akan
menyatakan terhadap perkara tersebut telah terbentuk yurisprudensi tetap 20 .
Putusan Hakim sebagai penciptaan hukum tentunya harus ideal dan sesuai prinsip-prinsip umum dalam pembentukan hukum, agar penegakan hukum dilakukan sebagaimana mestinya. Gustav Radbruch berpendapat dalam penegakan hukum tentunya terdapat cita-hukum, dimana hal yang tidak bisa tidak ada dalam cita-hukum berkaitan dengan 3 (tiga) aspek yakni kepastian hukum, kemanfaatan
dan keadilan 21 . Baik aspek kepastian hukum, kemanfaatan atau keadilan tidak dapat ditentukan mana yang harus diutamakan, Radbruch berpendapat nilai-nilai
tersebut bukanlah bidak yang mudah digeser menuruti dorongan hati, sebaliknya keberadaan mereka berkaitan satu dengan yang lainnya 22 . Ia menggambarkan
ketika penegakan hukum memiliki tujuan untuk mencapai keadilan, hal tersebut perlu didasar dengan kepastian dan kemanfaatan hukum 23 . Sehingga dapat tercipta
keadilan, yang tidak hanya diukur dari kemampuan masyarakat, tetapi dari peraturan perundang-undangan juga.
21 Ibid., h. 70 Meuwissen, Op.Cit., h. 20
3. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
3.1 Pengertian Kepentingan Umum
Sebelum membahas lebih rinci mengenai tahahapan penyelenggaraan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, terlebih dahulu dibahas mengenai makna pembangunan untuk kepentingan umum. Penting jika kita melihat makna pembangunan untuk kepentingan umum tersebut, terlebih lagi pembangunan untuk kepentingan umum akhir-akhir sangat ramai dibicarakan. Beberapa masyarakat yang terkena dampak pembangunan atas nama “untuk kepentingan umum” berpendapat, pembangunan untuk kepentingan umum yang dijalankan negara hanya melahirkan kesengsaraan bagi mereka.
Konsep kepentingan umum tidak pernah dirumuskan dengan memadai oleh hukum positif, hal ini merupakan konsekuensi dari konsep kepentingan umum
yang tidak dapat didefinisikan pengertiannya 24 . Padahal pada negara yang menganut tradisi hukum Civil Law 25 penggalian makna kepentingan umum dari
hukum positif diperlukan sebagai salah satu pendekatan untuk menemukan syarat dan kriteria kepentingan umum. Sebagaimana dinyatakan Muchsan dalam
disertasinya 26 “… dengan mengetahui definisi kepentingan umum akan dapat ditetapkan unsur-unsur apa yang harus dipenuhi untuk adanya kepentingan
umum.” Tanpa adanya usaha negara mendefinisikan kepentingan umum yang
Gunanegara, Op.Cit., h. 53
25 Salah satu sistem hukum yang berkembang pada negara-negara Eropa disebut “Civil Law”. Prinsip utama yang dijadikan dasar sistem hukum Civil Law ialah “hukum memperoleh kekuatan
mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang”. Negara-negara yang menganut sistem ini ialah Jerman, Belanda, Prancis, Italia dan Beberapa negara di Asia termasuk Indonesia karena pengaruh penjajahan pemerintah Belanda. Hal tersebut dapat ditemukan dalam buku R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007., h. 69
26 Kasdin Simanjuntak, Penerapan Asas Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah untuk 26 Kasdin Simanjuntak, Penerapan Asas Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah untuk
Tidak sedikit para ahli yang berpendapat konsep kepentingan umum sebagai hal yang sukar untuk didefinisikan. Maria S.W Sumardjono mengatakan bahwa kepentingan umum sebagai konsep tidak sulit dipahami tapi tidak mudah didefinisikan. Sama halnya dengan Syafrudin Kalo yang menyatakan bahwa masalah kepentingan umum secara konsepsional sangat sulit didefinisikan, terlebih-lebih kalau dilihat secara operasional. Sebelum para ahli tersebut, A.P Parlindungan yang merupakan ahli dalam hukum agraria juga menyatakan hal yang sama “… ukuran kepentingan umum sangat lah fleksibel sekali sehingga
terlalu luas …” 27 . Walaupun tidak ada pengertian yang memadai terkait kepentingan umum, pembangunan untuk kepentingan umum tidak bisa begitu saja dapat menghilangkan kepentingan privat. Gunanegara berpendapat tidaklah dapat dibenarkan apabila suatu kebijakan meskipun atas nama kepentingan umum mengabaikan kepentingan privat. Hukum tidak hanya menjamin kepentingan umum tetapi juga harus melindungi kepentingan privat secara berimbang. Hukum selain melindungi hak privat terhadap sesamanya teapi juga melindungi
kepentingan negara. 28
Negara perlu melakukan pembatasan mengenai syarat-syarat penetapan pembangunan untuk kepentingan umum melalui peraturan perundang-undangan. Sebgaiamana dikatakan oleh Jean Bodin bahwa yang menjadi esensi perundang-
masyarakat yang terkena dampak pembangunan untuk kepentingan umum dari tindakan kesewanang-wenangan penguasa (pemerintah).
3.2 Tahapan Penyelengaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Secara umum, bentuk hukum (Perundang-undangan) yang mengatur pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sebagaimana yang terdapat dalam konsiderans undang-undang tersebut, maksud pembentukannya ialah untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil. Terdapat bentuk pengawasan terkait pokok-pokok pengadaan tanah dalam undang-undang tersebut, antara lain:
a. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya tanah untuk Kepentingan Umum dan pendanaanya.
b. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan sesuai dengan:
1) Rencana Tata Ruang Wilayah;
2) Rencana Pembangunan NasionalDaerah;
3) Rencana Strategis;
4) Rencana Kerja Setiap Instansi yang memerlukan tanah.
c. Pengadaan Tanah diseenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pemangku dan pengampu kepentingan.
d. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
e. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.
Bentuk penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum diatur lebih khusus dengan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum 30 . Pada Peraturan Presiden tersebut tahapan Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum terbagi 4 (empat) yakni Perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan dan Penyerahan Hasil 31 .
Perencanaan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah merupakan tahap awal, yang menghasilkan Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah untuk disampaikan kepada Gubernur. Dalam menyusun Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah, Instansi yang memerlukan tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum perlu membuat rencana Pengadaan Tanah yang didasarkan
pada 32 :
a. Rencana Tata Ruang Wilayah (Nasional, Provinsi dan KabupatenKota)
b. Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam:
1) Rencana Pembangunan Jangka Menengah;
Lih. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 22).
31 Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 159)
32 Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
2) Rencana Stategis; dan
3) Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan. Selain itu Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah perlu disusun berdasarkan studi kelayakan yang mencakup:
a. Survei sosial ekonomi;
b. Kelayakan lokasi;
c. Analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat;
d. Perkiraan nilai tanah;
e. Dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat dari Pengadaan Tanah dan pembangunan; dan
f. Studi lain yang diperlukan.
Kedua ialah tahap Persiapan, dimana pada tahap ini Gubernur akan mengeluarkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Penetapan Lokasi oleh gubernur berdasarkan kesepakatan pada konsultasi publik yang dilaksanakan oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan masyakarat yang terkena dampak pembangunan. Kesepakatan tersebut tentunya sangatlah penting, tetapi bukan melalui voting, melainkan melalui jalan musyawarah untuk mencapai mufakat sehingga perolehan ganti rugi tidak hanya dirasakan secara materi tetapi
mencakup keadaan sosial ekonomi 33 .
Ketiga ialah tahap Pelaksanaan, dimana tahapan ini dilaksanakan oleh BPN meliputi penetapan nilai, penetapan ganti kerugian, pemberian ganti kerugian serta pelepasan objek pengadaan tanah. Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa
Terakhir ialah tahap Penyerahan Hasil, dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah untuk menyerahkan hasil Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah disertai data Pengadaan Tanah. Penyerahan hasil Pengadaan Tanah tersebut berupa bidang tanah dan dokumen Pengadaan Tanah, dilakukan dengan berita acara untuk selanjutnya dipergunakan oleh Instansi yang memerlukan tanah guna pendaftaranpensertipikatan. Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan pembangunan setelah dilakukan penyerahan
hasil Pengadaan Tanah oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. 34
B. Hasil Penelitian Dalam rangka menguraikan hasil penelitian, maka uraian hasil penelitian ini meliputi: (1) Putusan Pengadilan Pada Tingkat Peradilan Tata Usaha Negara, dan (2) Putusan Mahkamah Agung Pada Tingkat Kasasi.
1. Putusan Pengadilan Pada Tingkat Peradilan Tata Usaha Negara
1.1 Kasus Posisi Gugatan Warga Kecamatan Temon Ke Peradilan Tata Usaha Negara Yogyakarta
Perkara ini bermula pada tanggal 11 November 2013, Kementerian Perhubungan mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KP 1164 Tahun 2013 tentang Penetapan Lokasi Bandar Udara Baru Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi Bandar Udara Baru sendiri terdapat di Kecamatan Temon yang terdiri dari Desa Glagah, Palihan, Jangkaran, Kebon Rejo
Pasal 112 – 113 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pasal 112 – 113 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Setelah dikeluarkannya keputusan menteri perhubungan, pada tanggal 5 September 2014 Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta menerbitkan keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 89TIM2014 tentang Pembentukan Tim Persiapan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal pertama yang dilakukan Tim Persiapan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan ialah sosialisasi pembangunan bandara Kulon Progo untuk 5 (lima) desa, adapun rinciannya sebagai berikut:
Tabel 2.1 Jadwal Tahapan Sosialisasi Pembangunan Bandara Kulon Progo
No Tanggal
Balai Desa Sindutan, Halaman
16 September 2014
Mesjid Fakih Dusun Dukuh
2 Rabu,
Palihan
tempat pertama di Balai Desa
17 September 2014
Palihan, Tempat kedua di Rumah Bapak Danang Sukendro Dusun Palihan II, tempat ketiga di Rumah Bapak Susanto Dukuh Kragon I, dan Rumah Bapak Wiharto Dukuh Kragon II
3 Kamis,
Jangkaran
Balai desa Jangkaran Rumah
18 September 2014
Muhaimin,
Pedukuhan Jangkaran, rumah Kasan di Harjo pedukuhan seling
4 Jumat,
Kebonrejo
Balai Desa Kebonrejo
19 September 2014 Sumber: Putusan Mahkamah Agung Nomor 456 KTUN2015
Karena tempat yang berbeda-beda warga kesulitan mengeluarkan aspirasi, warga dibantu dengan Organisasi Paguyuban Wahana Tri Tunggal meminta agar Karena tempat yang berbeda-beda warga kesulitan mengeluarkan aspirasi, warga dibantu dengan Organisasi Paguyuban Wahana Tri Tunggal meminta agar
Pada tanggal 13 Oktober 2014 Pemerintah D.I Yogyakarta kembali menerbitkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 103TIM2014 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Daerag Istimewa Yogyakarta Nomor 89TIM2014 Tim Persiapan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah perubahan tersebut, pada tanggal 20 Oktober 2014 diterbitkan juga Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 836 tahun 2014 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1164 Tahun 2013. Implikasi dari diterbitkannya kedua putusan tersebut menjadikan proses persiapan pembangunan bandara masuk ke tahapan Konsultasi Publik untuk Pembebasan Lahan Pembangunan Bandara.
Pada tahap konsultasi publik Tim Persiapan memberikan pengumuman dan melakukan pengundangan kepada para warga. Adapun waktu dan tempat konsultasi publik ialah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Jadwal Tahapan Konsultasi Publik Pembangunan Bandara Kulon
Progo
No Tanggal
Daerah
1 25-26 November 2014
Desa Jangkaran
2 1-3 Desember 2014
Desa Keborejo
3 8-9 Desember 2014
Desa Sindutan
4 15-17 Desember 2014
Desa Palihan
5 18,22,24 dan 29-30 Desember Desa Glagah 2014
Sumber: Putusan Mahkamah Agung Nomor 456 KTUN2015 Tahap konsultasi publik pertama tidak menghasilkan kesepakatan antara warga dan tim persiapan. Di Balai Desa Glagah para warga melakukan aksi di sekitar tempat acara, yang menyatakan keberatan atau penolakan atas rencana pembangunan bandar udara.
Karena Tahapan Konsultasi Publik yang sebelumya tidak berjalan lancar, tim persiapan menyelenggarakan kembali konsultasi publik kedua. Berdasarkan undangan yang di berikan oleh tim persiapan, waktu dan tempat tahapan konsultasi publik ialah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Jadwal Tahapan Konsultasi Publik Kedua Pembangunan Bandara
Kulon Progo
Desa Jangkaran
2 26 Januari 2015
Desa Kebonrejo
3 26 Januari 2015
Desa sindutan
4 28 Januari 2015
Desa Palihan
5 3 Februari 2015
Desa Glagah
Sumber: Putusan Mahkamah Agung Nomor 456 KTUN2015 Hanya saja pada tahapan konsultasi publik kedua ini, warga dan organisasi Paguyuban Wahana Tri Tunggal tidak bersedia hadir. Hal ini dikarenakan pada tahap sosialiasi dan konsultasi publik sebelumnya tidak ada peluang dialogis atau musyawarah untuk menyampaikan keberatan atau penolakan terkait pembangunan bandar udara.
Karena tidak adanya hasil pada Konsultasi Publik kedua, tim persiapan melaksanakan Konsultasi Publik ulangan. Adapun rincian waktu dan tempat konsultasi publik ulangan ini ialah sebagai berikut:
Tabel 2.4 Jadwal Tahapan Konsultasi Publik Kedua (Ulangan) Pembangunan Bandara Kulon Progo
No Tanggal
Tempat Pelaksanaan
1 26 Februari
Kecamatan Temon
2 3 Maret
Kecamatan Temon
3 4 Maret
Kecamatan Temon
Sumber: Putusan Mahkamah Agung Nomor 456 KTUN2015 Pada konsultasi publik ulangan ini Tim Persiapan diwakili oleh Pelaksana Tugas Sementara Pimpinan Proyek Pembangunan Bandara yakni Bambang eko, menyampaikan informasi jika warga tidak menyatakan sikat setuju atau menolak maka hak suara mereka hilang dan dapat dianggap menyetujui pembangunan bandar udara. Para warga akhirnya bersedia hadir dalam Konsultasi Publik ulangan. Pada konsultasi publik ulangan ini warga hanya diberikan penjelesan, setelah itu diarahkan untuk mendatangi salah satu dari beberapa meja petugas yang memproses form berita acara kesepakatan atau berita acara keberatan.
Pada tanggal 31 Maret 2015 Pemerintah D.I Yogyakarta tetap menerbitkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68KEP2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta, walaupun sampai pada tahapan konsultasi publik terakhir masih terdapat penolakan.
Oleh karena diterbitkannya Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68KEP2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta, warga Kecamatan
Temon bersama organisasi Paguyuban Wahana Tri Tunggal mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara Yogyakarta pada tanggal 11 Mei 2015.
1.2 Alasan diajukannya Gugatan oleh Warga
Dalam gugatan tersebu, warga (penggugat) menyatakan bahwa Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68KEP2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertentangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi prosedur dalam mengeluarkan keputusan, kesesuaian rencana lokasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, serta bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Penggugat menilai bahwa Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68KEP2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Guna Kepentingan Umum Juncto Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Guna Kepentingan Umum. Pertama, pada awal pembangunan warga tidak memndapat pemberitahuan mengenai rencana pembangunan di Desa Mereka, hal ini bertentangan dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum, baik langsung maupun tidak langsung. Kedua, pada tahap Penggugat menilai bahwa Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68KEP2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Guna Kepentingan Umum Juncto Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Guna Kepentingan Umum. Pertama, pada awal pembangunan warga tidak memndapat pemberitahuan mengenai rencana pembangunan di Desa Mereka, hal ini bertentangan dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum, baik langsung maupun tidak langsung. Kedua, pada tahap
Selanjutnya penggugat menilai adanya ketidaksesuaian antara lokasi pembangunan bandara dengan Rencana Tata Ruang Wilayah baik Nasional atau Daerah. Penetapan lokasi pembangunan bertentangan dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau Jawa-Bali, dan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2029. Tindakan pemerintah dalam mengeluarkan Keputusan tanpa memperihatikan asas “Keterpaduan” dan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta tidak mengindahkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan juga telah mengesampingkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009- 2029.
Keputusan penetapan lokasi juga bertentang dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Warga menyatakan adanya pelanggaran terhadap Asas Kepastian Hukum karena keputusan mengesampingkan peraturan perundang- Keputusan penetapan lokasi juga bertentang dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Warga menyatakan adanya pelanggaran terhadap Asas Kepastian Hukum karena keputusan mengesampingkan peraturan perundang-
1.3 Jawaban Pemerintah D.I Yogyakarta sebagai Tergugat
Dalam perkara yang diajukan, Pemerintah D.I Yogyakarta memberikan jawaban yang pada pokoknya ialah sebagai berikut:
a. Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta tidak berwenang memeriksa dan
memutus sengketa perkara ini.
Pemerintah menilai keputusan ini hanya sebagai ijin untuk pengadaan tanah, perubahan penggunaan tanah dan peralihan hak atas tanah, adapun keputusan tersebut belum menimbulkan suatu hak atau kewajiban kepada pihak warga, artinya bahwa Keputusan yang menjadi objek Gugatan belum bersifat final karena masih diperlukan keputusan-keputusan lain dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bandara.
b. Gugaan Penggugat KaburTidak Jelas (Obscuure Libel)
Dalam gugatan dinyatakan warga sebagai Penggugat adalah para pemilik atau warga yang berhak atas tanah yang ada di atasnya tetapi Penggugat tidak pernah menyebutkan tanah yang sebelah mana yang dimiliki oleh Penggugat tidak jelas apakah masuk dalam area yang ditunjuk dalam Dalam gugatan dinyatakan warga sebagai Penggugat adalah para pemilik atau warga yang berhak atas tanah yang ada di atasnya tetapi Penggugat tidak pernah menyebutkan tanah yang sebelah mana yang dimiliki oleh Penggugat tidak jelas apakah masuk dalam area yang ditunjuk dalam
c. Gugatan Penggugat Tidak Memenuhi Ketentuan Pasal 53 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Untuk Dikualifikasikan Sebagai Seorang Atau Badan Hukum Perdata Yang Merasa Kepentingannya Dirugikan.
Pemerintah daerah berpendapat dalam gugatan, penggugat tidak pernah menyebutkan atau menunjukkan alas hak kepemilikan penggugat sebagai pemilik atau yang menguasai tanah objek pengadaan, dengan demikian para Penggugat pihak yang tidak jelas, bukan pihak yang berhak dalam.
1.4 Pertimbangan Hakim pada Tingkat Peradilan Tata Usaha Negara
a. Menimbang bahwa setelah Majelis Hakim mempelajari surat rekomendasi
dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5531333 tertanggal 20 Maret 2013 dan berita acara rekomendasi dari Tim Kajian Keberatan (Vide Bukti T-173) tidak menjelaskan secara mendetail kesesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dengan lokasi pengadaan tanah dengan demikian meskipun telah terdapat rekomendasi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan telah pula dikaji oleh Tim Kajian Keberatan, maka untuk mencari kebenaran materiil sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, maka Majelis Hakim berkewajiban untuk menguji apakah lokasi pengadaan tanah telah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta atau tidak.
b. Menimbang bahwa berdasar paragraf 5 tentang Rencana Pengembangan
Jaringan Transportasi Udara pada Pasal 21, 22, 23 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029 menyebutkan antara lain: Pasal 21:
1) Kebijakan pengembangan jaringan prasarana transportasi udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) mendukung kebijakan nasional mengenai peran bandara Adisutjipto sebagai Pusat Penyebaran
Sekunder dan pengembangan landasan TNI AU Gading sebagai landasan pendukung (auxilliary field).
2) Rencana Pengembangan Prasarana Transportasi Udara disesuaikan dengan
kebijakan pengembangan sistem jaringan transportasi udara nasional;
Pasal 22: Strategi pengembangan jaringan prasarana transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
a) memadukan berbagai pelayanan transportasi wilayah Jawa Selatan
Bagian Tengah; dan
b) menyediakan ruang untuk pengembangan Bandara Adisutjipto; Pasal 23:
1) Arahan pengembangan jaringan prasarana transportasi udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dengan mengembangkan bandar udara Adisutjipto;
2) Pengembangan bandar udara Adisutjipto sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan memperkuat simpul bandara udara melalui keterpaduan fungsi terminal angkutan bus antara wilayah, kereta api dan angkutan perkotaan
c. Menimbang bahwa dari ketentuan di atas ternyata dalam Peraturan Daerah
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029 tidak ditemukan norma baik secara eksplisit maupun implisit yang memberikan ruangan untuk memindahkan Bandar Udara Adisucipto Yogyakarta ke tempat lain sampai tahun 2029, yang ada pengembangan Bandara Adi Sucipto
d. Menimbang bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan acuanpedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kota, kemudian untuk Pulau Jawa- Bali terdapat juga Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau-Jawa Bali, dari kedua peraturan tersebut tidak pula ditemukan amanat untuk memindahkan Bandara AdiSucipto melainkan memantapkan fungsi bandara yang ada yaitu Bandara AdiSucipto
e. Menimbang bahwa dari penjelasan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut didapatkan fakta hukum bahwa sepanjang pantai Kulon Progo ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana tsunami dan berdasarkan Pasal 159 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan sebagai arahan kegiatan memanfaatkan ruang di KabupatenKota
f. Menimbang, bahwa dari seluruh pertimbangan di atas, menurut Majelis
Hakim objek sengketa berupa Surat Keputusan Gubernur daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68KEP2015 tertanggal 31 Maret 2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Pengembangan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta telah bertentangan dengan Rencana Tata Ruang sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Presiden Nomor
28 Tahun 2012 dan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, karena tidak satupun Rencana Tata Ruang Wilayah tersebut mengamanatkan adanya pembangunan bandara baru di Yogyakarta dan yang ada adalah pengembangan bandara Adisutjipto, kemudian lokasi yang dimaksud oleh objek sengketa secara materi adalah termasuk kawasan rawan bencana tsunami sehingga tidak dapat dijadikan objek pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum in casu Bandar udara, sehingga objek sengketa dikwalifisir bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
1.5 Putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara
Pada tingkat Pertama Hakim memberikan pertimbangan tidak ada kesesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dengan lokasi pengadaan tanah, Hakim juga berpendapat bahwa dari penjelasan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan kawasan rawan bencana tsunami. Maka Hakim PTUN memberikan putusan:
Putusan Nomor 07G2015PTUN.YK
Mengadili,
1) Mengabulkan Gugatan Penggugat
2) Menyatakan Batal Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68KEP2015 tertanggal 31 Maret 2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Pengembangan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta
3) Memerintahkan Tergugat untuk Mencabut Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68KEP2015 tertanggal 31 Maret 2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Pengembangan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta
4) Menghukum Tergugat Membayar Biaya Perkara Sebesar Rp 170.000,00 (Seratus Tujuh Puluh ribu Rupiah)
2. Putusan Mahkamah Agung Pada Tingkat Kasasi
2.1 Alasan Diajukan Kasasi oleh Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta
Setelah terdapat putusan PTUN, Pemerintah D.I Yogyakarta mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Adapun pokok dalam memori kasasi ialah sebagai berikut:
a. Bahwa Majelis Hakim telah keliru dalam pertimbangan hukumnya, hal