EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM KOMUNITAS ABOGE (Studi Kasus di Kabupaten Blitar) Institutional Repository of IAIN Tulungagung

BAB III
KETIDAKADILAN GENDER TERHADAP PEREMPUAN DALAM
KOMUNITAS ABOGE
A. Diskriminsi Perempuan Aboge
1. Pengertian Diskriminasi
Dalam pembangunan pemberdayaan perempuan yang terjadi
selama ini permasalahan mendasar yang masih dialami adalah
rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, di samping
masih adanya berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Rendahnya kualitas hidup perempuan terjadi di berbagai aspek
kehidupan, antara lain sosial budaya, lingkungan, pendidikan, maupun
perekonomian, sehingga perempuan sangat rentan menjadi korban
kekerasan dan diskriminasi.
Mosse menyatakan bahwa kerja perempuan di seluruh dunia dinilai
rendah. Kerja rumah tangga perempuan tidak dimasukkan dalam
formulir sensus, karena kerja perempuan tidak diperhitungkan. Kerja
perempuan dilukiskan sebagai hal yang tidak tampak karena kerja itu
tidak terekam secara statistik.1
Jika mendengar istilah diskriminasi pasti yang terbayang di dalam
ingatan yaitu perlakuan yang tidak adil dan perlakuan yang berbeda
oleh sekelompok masyarakat. Perbedaan perlakuan tersebut bisa


1

Fahriah Tahar, Pengaruh Diskriminasi Gender dan Pengalaman Terhadap Profesionalitas
Auditor, Skripsi, 2012, hlm. 18.

95

disebabkan warna kulit, golongan atau suku, dan bisa pula karena
perbedaan

jenis

kelamin,

ekonomi,

agama,

dan


sebagainya.

Sebenarnya inti dari diskriminasi adalah perlakuan yang berbeda.
Akibat

pelekatan

sifat-sifat

gender

tersebut,

timbul

masalah

ketidakadilan (diskriminasi) gender.
Menurut Theodorson & Theodorson, diskriminasi adalah perlakuan

yang tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok berdasarkan
sesuatu. Biasanya bersifat kategorikal atau atribut-atribut khas, seperti
berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama atau keanggotaan kelas-kelas
sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan suatu tindakan dari
pihak mayoritas yang dominan dengan minoritas yang lemah, sehingga
dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan
tidak demokratis.2
Sedangkan diskriminasi menurut Sears dkk adalah perilaku
menerima

atau

menolak

seseorang

berdasarkan

keanggotaan


kelompok. Maksudnya dipengaruhi oleh keanggotaan kelompok ialah
kedudukan kelompok tersebut di dalam masyarakat.3
Diskriminasi seringkali diawali dengan prasangka. Dengan
prasangka kita membuat pembedaan antara kita dengan orang lain.
Pembedaan ini terjadi karena kita adalah makhluk sosial yang secara
alami ingin berkumpul dengan orang yang memiliki kemiripan dengan
kita.

Prasangka

seringkali

2

didasari

pada

ketidakpahaman,


Fulthoni, Buku Saku Untuk Kebebasan Beragama Memahami Diskriminasi, (Jakarta: The
Indonesian Legal Resource Center, 2009), hlm, 3.
3
Ibid

96

ketidakpedulian pada kelompok “mereka” atau ketakutan atas
perbedaan. Seseorang/kelompok yang mendapatkan diskriminasi akan
mengalami pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau pemenuhan hak-hak dasarnya sebagai manusia.4
Diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat biasanya diskriminasi
individu dan diskriminasi institusi. Diskriminasi individu adalah
tindakan seorang pelaku yang berprasangka. Diskriminasi institusi
adalah diskriminasi yang tidak ada hubungannya dengan prasangka
individu, melainkan dampak kebijaksanaan atau praktik berbagai
institusi dalam masyarakat.5
Perempuan seringkali menjadi korban dari diskriminasi tersebut.
ketidakadilan dan diskriminasi perempuan disebabkan oleh faktor
budaya dan faktor hukum. Dalam masyarakat terdapat budaya yang

cenderung male chauvinistic, dimana kaum laki-laki menganggap diri
dan dianggap sebagai makhluk kuat dan superior. Budaya tersebut
diperkokoh dengan ideology misoginis (sikap benci terhadap
perempuan) dan ideology patriarki. dalam isi hukum, budaya hukum,
serta proses dan pembuatan dan penegakan hukum Negara, seringkali
diskriminatif terhadap perempuan, karena pembuat hukum tidak
respon terhadap kebutuhan masing-masing jenis kelamin dan tidak
memenuhi spesifik kebutuhan perempuan.

4
5

Ibid.
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta:Lembaga Penerbit FEUI, 2004), hlm. 161.

97

Fokus perbedaan hak perempuan dan laki-laki dikarenakan
sex/biologis sebenarnya adalah karena system patriarki (sistem
kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan keluarga) yang telah

direseptir dalam adat dan kebiasaan. Seorang feminis Stone
mengemukakan bahwa ketertindasan kaum perempuan karena adanya
hubungan sosial dalam proses reproduksi bukan hubungan sosial
dalam proses reproduksi, yang cenderung menjadikan hubungan
tersebut menjadi hubungan eksploitatif.
Diskriminasi

dibagi

menjadi

diskriminasi

langsung

dan

diskriminasi tidak langsung. Diskriminasi langsung adalah tindakan
membatasi suatu wilayah tertentu seperti pemukiman, jenis pekerjaan,
fasilitas umum dan semacamnya dan juga terjadi manakala pengambil

keputusan diarahkan oleh prasangka-prasangka terhadap kelompok
tertentu. Sedangkan diskriminasi tidak langsung dilaksanakan melalui
penciptaan kebijakan-kebijakan yang menghalangi ras/etnik tertentu
untuk berhubungan secara bebas dengan kelompok ras/etnik lainnya,
yang mana aturan dan prosedur yang mereka jalani mengandung bias
diskriminasi yang tidak tampak dan megakibatkan kerugian sistematis
bagi komunitas atau kelompok masyarakat tertentu. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa diskriminasi individu merupakan diskriminasi
langsung, sedangkan diskriminasi intuisi merupakan diskriminasi tidak
langsung.

98

Diskriminasi telah menjadi sumber utama ketidakadilan. Dalam
diskriminasi, kelompok-kelompok atau perorangan tertentu dapat
kehilangan hak-hak mereka. Diskriminasi dalam bentuk apapun tidak
pernah hilang, namun dapat dihentikan di dalam lingkungan manusia
itu sendiri dengan menanamkan kesadaran bahwa diskriminasi dapat
memberikan efek yang tidak baik.
2. Bentuk-Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Aboge

a) Marginalisasi
Menurut Mansur Faqih, proses marginalisasi sama saja
dengan proses pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya
kesempatan kepada pihak yang termarginalkan kepada dirinya.
Demikian juga yang dialami oleh perempuan saat proses
marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan merupakan
pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam ketidakadilan gender
ini. Sebagai contoh dalam pekerjaan, perempuan yang bekerja
dianggap hanya untuk memberikan nafkah tambahan bagi
keluarga, maka perbedaan gaji pun diterapkan antara perempuan
dan laki-laki.6
Marginalisasi secara umum dapat diartikan sebagai proses
penyingkian perempuan dalam pekerjaan. Sebagaimana ditulis oleh
Khusnul Khotimah, yang mengutip dari Saptari menurut Alison
Scott yang merupakan seorang sosiologi Inggris melihat berbagai

6

Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,………,hlm. 13.


99

bentuk marginalisasi dalam empat bentuk, yaitu: (1) Proses
pengucilan, perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis
kerja tertentu, (2) Proses pergeseran perempuan ke pinggiran
(margins) dari pasar tenaga kerja, berpa kecenderungan bekerja
pada jenis pekerjaan yang memiliki hidup yang tidak stabil,
upahnya rendah, dan dinilai kurang terampil. (3) Proses feminitas
atau segresi, pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu,
tau semata-mata dilakukan oleh perempuan saja atau laki-laki saja.
(4) Proses ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang
merujuk di antaranya perbedaan upah.7
Marginalisasi nampaknya juga dialami oleh mayoritas
perempuan dalam komunitas Aboge. Dalam hal ini, meskipun
perempuan dalam komunitas Aboge telah bekerja dari pagi hingga
sore hari, tetapi dengan asumsi gender peran mereka hanya
dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Penghasilan yang
mereka dapatkan tidak hanya dinikamti oleh dieinya sendiri, tetapi
untuk keperluan seluruh anggota keluarganya.
Tidak hanya pemiskinan dalam hal ekonomi, perempuan

dalam komunitas Aboge juga mengalami pemiskinan ilmu
pengetahuan.

Ilmu

pengetahuan

yang

dimaksud

adalah

pengetahuan yang bersifat informal yaitu pengetahuan tentang adat
dan tradisi yang selama ini dilakukan. Dari beberapa informan
7

khusnul Khotimah, Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan, Jurnal
Studi Gender & Anak, Vol. 4 No. 1 Jan-Jun 2009, hlm, 4.

100

perempuan yang diwawancarai mengakui bahwa mereka tidak
mamahami arti dan makna dari setiap ritual yang dilakukan.
Mereka melakukan hal tersebut atas dasar kebiasaan dan
menjalankan warisan dari para leluhurnya. Dengan demikian,
sebenarnya hal tersebut telah berlangsung proses pemiskinan
dengan alasan gender.
b) Subordinat perempuan dalam sosial dan budaya
Pandangan gender ternyata tidak saja berakibat terjadinya
marginalisasi,

akan

tetapi

juga

mengakibatkan

terjadinya

subordinasi terhadap perempuan. Akar dari subordinasi atas
perempuan adalah budaya patriarchal. Budaya patriarchal adalah
budaya yang menomor satukan laki-laki, atau berpusat pada lakilaki dan mengesampingkan perempuan. Laki-laki dipandang
sebagai makhluk yang primer dan perempuan sebagai yang
sekunder. Di dalam budaya patriarchal cara memandang realitas
adalah dari sudut pandang laki-laki dalam memandang keberadaan
perempuan. Singkatnya, masyarakat yang berhaluan patriarchal
melihat perempuan sebagai makhluk yang inferior, di mana semua
penilaian tersebut berkaitan dengan tubuhnya.
Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu
emosional, irrasional dalam berpikir, maka perempuan ditempatkan
pada posisi yang tidak strategis. Subordinasi perempuan Aboge
dapat dilihat bahwa perempuan tidak bisa tampil sebagai

101

pemimpin. Umumnya partisipasi

perempuan yang ikut terlibat

dalam setiap pengambilan keputusan atau penentu kebijakan bila
dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
tradisi adat istiadat dan pemaknaan nilai-nilai budaya dari
masyarakat yang lebih mengarah pada patriarki. Hal ini mencgacu
pada pernyataan pak Mulyono yang mengatakan:
Jadi sing ikut rundingan niku ya khusus para dukun (lakilaki), kaleh beberapa orang sing dianggap penting, geh
para bapak-bapak. (Jadi yang ikut rundingan itu khusus
para dukun (laki-laki), sama orang beberapa orang yang
dianggap penting, ya para bapak-bapak.)8

Hal yang sama juga dikatakan oleh Pak Slamet:
biasanya orang yang memiliki kepentingan mendatangi
langsung para sesepuh untuk melakukan musyawarah.
Pertemuan ini biasanya dihadari oleh orang-orang tertentu
yang bersangkutan, tapi kebanyakn dari kalangan laki-laki.9
Pembagian kerja yang dikotomis, yaitu menempatkan
perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik
sehingga laki-laki memiliki akses kearah ekonomi, sosial, politik
dan informasi yang lebih besar dibandingkan perempuan.
Hubungan asimetris ini dapat memantul ke segala arah aspek
kehidupan perempuan yang dapat menyebabkan perempuan
tersubordinat sekaligus terlemahkan.10

8

Wawancara dengan pak Mulyono, pada tanggal 13 April 2017, pukul 10.00.
Wawancara dengan pak Slamet, pada tanggal 3 Maret 2017, pukul 17.00.
10
Arbaiyah Prantiasih, Hak Asasi Bagi Manusia, (Malang: Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Tahun 25, Nomor 1, februari 2012), hlm, 11.
9

102

Padahal perempuan seharusnya ikut terlibat secara aktif
untuk mengakui eksistensi mereka dan adanya kesetaraan gender
untuk

menghentikan

marginalisasi

lebih

jauh

yang dapat

menyebabkan keterbatasan perempuan dalam pengetahuan dan
mengambil setiap keputusan. Pada akhirnya, keadilan gender perlu
ditampilkan dan peru dipahami sebagai perangkat yang kuat bagi
seluruh komunitas.
Istilah pengambilan keputusan cenderung dikaitkan dengan
aktivitas politik yang pengertian politiknya dibatasi pada politik
formal dalam pengertian tradisional, baik ditingkat local, regional,
maupun nasional. Pembahasan mengenai keterlibatan perempuan
dalam pengambilak keputusan di berbagai tingkatan tersebut tentu
saja merupakan hal yang penting untuk diperjuangkan. Akan
tetapi diperlukan sebuah prakondisi yang bisa memberikan
jaminan agar perjuangan tersebut tidak hanya merupakan sebuah
formalitas atau symbol belaka. Prakondisi tersebut berupa
keterampilan dan keterlatihan perempuan untuk a) memahami dan
mengidentifikasi persoalan-persoalan yang bertalian dengan
kepentingannya, dan b) terlibat dalam menentukan langkahlangkah strategis untuk memperjuangkan kepentingan tersebut.11
Ketika perempuan dikuatkan, seluruh komunitas akan
mendapatkan manfaat tersendiri, karena perempuan akan mampu
11

Indrasari Tjandraningsih, Perempuan dan Keputusan Untuk Melawan, Jurnal Analisis Sosial,
hlm, 38.

103

membagikan kebijakan dan wawasan mereka dalam setiap
pengambilan keputusan. Memperjuangkan keadilan gender berarti
mendukung semua anggota masyarakat tanpa melihat apakah
mereka laki-laki ataupun perempuan untuk mengembangkan
potensi secara penuh menurut kemampuan dan bakatnya masingmasing.
c) Stereotip terhadap perempuan
Dalam sebuah masyarakat selalu terdapat indikasi adanya
pelabelan sifat (stereotyping) yang diletakan kepada laki-laki dan
perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun budaya, yang
turut

mempengaruhi

perempuan

dan

pembentukan

laki-laki.12

Melalui

representasi
stereotip

terhadap
masyarakat

mendistribusikan tugas laki-laki dan perempuan di dalam
masyarakat. Stereotip mulai dari yang terkecil yaitu keluarga, nilai
dalam ajaran agama, dan pada masa kini stereotip terus terpelihara
dan meluaskan pengaruhnya melalui media dan propaganda.13
Stereotype berarti pemberian citra/label kepada seseorang
atau kelompok yang di dasarkan pada anggapan yang salah.
Stereotip ini memproyeksikan pola piker masyarakat pada diri
perempuan. Citra yang diberikan pada perempuan Aboge ialah
sebagai sosok yang sabar dan telaten. Hal ini memposisikan

12

Ery Iswari, Perempuan Makassar: Relasi Gender Dalam Folklor, (Yogyakarta: Ombak, 2010),
hlm, 21.
13
Abby Gina Boangmanalu, Identitas Perempuan: Siapakah Yang Memberi? Analisa Kritis Atas
Identitas Gender, (FIB UI,Skripsi, 2012), hlm, 19.

104

perempuan dalam setiap tradisi atau uapacara keagamaan yang
selalu menempatkan perempuan pada urusan domestik seperti
memasak, membuat dan menyiapkan sesaji. Anggapan lain, yaitu
menganggap bahwa perempuan merupakan seseorang yang lemah
lembut dan kurang bersikap tegas. Tentunya, stereotip tersebut
bertentangan dengan konsep kepemimpinan (spiritualitas Aboge)
yang identik dengan sifat jujur, tegas, kuat dan pemberani.
Pada posisi yang berbeda, hierarki gender menempatkan
laki-laki sebagai sosok yang perkasa, selalu menang, tidak pernah
menangis, dan bertanggungjawab penuh secara publik, bukan
secara domestik. Hal inilah yang membuat orang-orang di luar
hierarki (perempuan) menjadi kesulitan untuk diterima dalam nilainilai tersebut. Stereotip yang melekat pada perempuan Aboge
kemudian menimbulkan persoalan baru yang terjadi di masyarakat.
Misalnya, perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilainilai yang melekat pada masyarakat membatasi kesempatan
perempuan dalam pengambilan keputusan hukum adat Aboge.
Selain itu, tokoh spiritualis perempuan Aboge yang pernah
ada sebelumnya (mbah Jaenah & mbah Kasiroh) juga mendapat
stereotip/citra yang negatif. Kemampuan dan kelebihan spiritualitas
yang mereka miliki kerap dianggap tabu, karena dianggap hasil
bantuan dari makhluk halus yang berupa perewangan dan ilmu
pellet. Hal tersebut dianggap keluar dari aturan agama yang ada

105

saat ini. Stereotip inilah yang melestarikan kekerasan dan
diskriminasi terhadap perempuan.
d) Beban Ganda Perempuan
Perempuan bekerja merupakan hal yang sudah biasa di era
sekarang ini. Alasan mereka sangat beragam, antara lain: kondisi
ekonomi, tuntutan jaman dan eksistensi diri sebagai manusia yang
memiliki kemampuan yang sama dengan laik-laki. Namun, kultur
yang masih belum berpihak mengakibatkan perempuan bekerja
mengalami beban ganda, yaitu berperan di wialayah publik
sekaligus domestik.14
Dalam perspektif feminis, perempuan yang bekerja di luar
ranah domestik mengalami ketidakadilan gender dalam bentuk
beban ganda yang rata-rata korbannya adalah perempuan. Beban
ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah
satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin
lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran
yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah
perempuan yang bekerja di wilayah publik, namun tidak diiringi
dengan berkuranya beban mereka di wilayah domestik.15
Mayoritas perempuan Aboge bekerja sebagai petani
ataupun menjadi seorang pedagang. Alasan ekonomi menjadi
faktor utama yang membuat perempuan harus bekerja, baik itu
14

Nurul Hidayati, Beban Ganda Perempuan Bekerja (Antara Domestik dan Publik), (Muwazah,
Volume 7, No. 2, 2015), hlm, 108.
15
Ibid

106

bekerja atas kesadaran dan kemauan individu ataupun atas dasar
keterpaksaan demi pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Meskipun
mereka bekerja dari pagi hingga sore hari, tetapi tidak membuat
beban mereka diwilayah domestik menjadi berkurang. Perempuan
masih harus menanggung beban sebagai ibu rumah tangga yang
bertugas untuk memasak, mencuci, menyiapkan segala kebutuhan
keluarga, dan memperhatikan anak-anaknya. Karena ketika lakilaki memasuki ranah domestik, hal tersebut masih saja dianggap
tabu oleh kalangan masyarakat.
Selain itu, istilah Aboge yang menyamakan ibu dengan
bumi Pertiwi sejalan dengan teori ekofeminisme, bahwa perempuan
dan alam dianggap memiliki keterkaitan logis yang sangat dekat.
Sifat tradisional perempuan sebagai manusia yang melahirkan dan
memelihara anaknya dipandang memiliki kesamaan dengan sifat
tradisional alam. Kedekatan perempuan dan alam menjadikan
perempuan lebih mengenal alam sehingga perempuan lebih arif dan
bijaksana dalam memperlakukan alam daripada laki-laki.
Ekofeminisme juga berusaha untuk menunjukkan hubungan
antara semua bentuk system opresi manusia dan opresi manusia
terhadap alam. Secara cultural perempuan selalu dihubungkan
dengan alam, menurut para ekofeminis ada hubungan konseptual,
simbolik, dan linguistik antara isu feminis dan isu ekologi. Menurut
Karen J. Warren, pola piker patriarki yang hirarkis, dualistik dan

107

opresif telah merusak perempuan dan alam. Perempuan telah
mengalami naturalisasi dan alam telah mengalami feminisasi. Hal
ini terlihat secara jelas dalam symbol dan bahasa yang digunakan
patriarki seperti tanah dikuasai, hutan diperkosa, perempuan
digambarkan sebagai binatang dan yang lainnya.16
Dalam masyarakat patriarkal, laki-laki diberikan kekuasaan
lebih atas alam dan juga atas perempuan, sehingga apa yang
dilakukan laki-laki pada alam juga mungkin

terjadi pada

perempuan. Rosemary Radford Ruether mengatakan bahwa
perempuan harus melihat bahwa tidak akan ada pembebasan bagi
perempuan dan tidak aka nada solusi atas permasalahan ekologis
jika logika dominasi tetap menjadi model fundamental dalam
kehidupan manusia. Gerakan pembebasan perempuan harus bersatu
dengan gerakan pembelaan ekologi untuk mendapatkan gambaran
mengenai peraturan ulang radikal atas hubungan sosial ekonomi
dasar dan nilai-nilai yang mendasari masyarakat modern dewasa
ini17
Meskipun perempuan menyandang status peran ganda, jelas
akan menimbulkan dampak negatif sekaligus dampak positif dalam
kehidupan perempuan itu sendiri. Salah satu dampak negatif yang
mungkin dialami oleh perempuan yang berperan ganda adalah

16

Rosmarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensip kepada Arus
Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, Cet Ke-5 2010), hlm, 366.
17
Ketty Stefani, Kritik Ekofeminisme Terhadap Pelabelan Citra Perempuan Sebagai Konsumen
Perusak Alam, (FIB UI, Skripsi, 2009), hlm, 36.

108

tuntutan adanya waktu dan tenaga ekstra untuk bekerja sekaligus
mengurus pekerjaan rumah tangga, adanya persaingan antara
suami-istri dalam mendapatkan penghasilan, atau perhatian mereka
kepada anak-anaknya sebagai ibu menjadi berkurang. Selain itu,
meskipun perempuan memiliki sumbangan yang cukup bsear
dalam perekonomian keluarga, mereka dianggap hanya sekedar
membantu atau sebagai penghasilan tambahan saja bagi keluarga.
Hal ini karena beberapa kebutuhan dan tugas utama dalam mencari
nafkah adalah berada di tangan laki-laki sebagai seorang ayah dan
suami.
Di sisi lain, perempuan bekerja juga memiliki keuntungan
terutama dalam segi keuangan. Perempuan mampu meningkatkan
perekonomian

keluarga

dan

memiliki

kemandirian

dalam

mendapatkan penghasilan. Kemandirian ekonomi ini membuat
perempuan memiliki suara yang positif di dalam keluarga maupun
masyarakat. Contohnya antara lain dalam pengaturan keuangan
keluarga untuk gizi makanan, biaya kesehatan, pendidikan anak
dan lain-lain. Perempuan memiliki sumber penghasilan di
tangannya, cenderung membelanjakan penghasilannya untuk
kesejahtraan dan peningkatan kualitas hidup anak-anaknya sebagai
penerus generasi muda. Semua fungsi tersebut merupakan
partisipasi perempuan untuk melaksanakan peranannya sebagai ibu

109

rumah tangga meskipun laki-laki sebagai suami ikut andil di
dalamnya.
e) Kekerasan gender
Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik
maupun integrasi mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap
sesama manusia pada dasarnya muncul dari berbagai sumber,
namun salah satu kekerasan yang terjadi terhadap satu jenis
kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Adapun yang
tergolong pada kekerasan gender diantaranya adalah tindakan
pemukulan dan serangan fisik, pemerkosaan terhadap perempuan,
kekerasan dalam bentuk fornografi, dan kekerasan yang paling
umum dilakukan di tengah masyarakat yakni bentuk pelecehan
seksual.18
B. Hegemoni dan Kuasa Simbolik
Sebagaimana telah dijelaskan Antonio Gramsci dalam catatancatatan penjaranya, bahwa terdapat pertautan erat antara relasi kuasa dan
kekerasan dalam kehidupan manusia. Bagi Gramsci kekuasaan telah
dilanggengkan melalui strategi hegemoni, yaitu suatu peran kepemimpinan
intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan. Relasi
kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara, karena kekerasan yang
dilakukan tertutupi oleh kekuasaan. Hegemoni memberi jalan kekuasaan

18

Inayah Rohmaniyah, Kontruksi Patriarki Dalam Tafsir Agama: Sebuah Jalan Panjang,
(Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2014), hlm. 25.

110

dan kekerasan bekerja bebas tanpa kritik atau perlawanan (resistensi)
terhadap kekuasaan itu sendiri.
Hegemoni telah menjadi konsep penting bagi keragaman
intelektual pemikiran sosial modern dan merupakan gagasan paling serius
dalam Marxisme. Hegemoni berkaitan dengan ideologi yang memiliki
cakupan melebihi semua bidang sosial, budaya, dan ekonomi dalam suatu
masyarakat. Hegemoni adalah konsep yang digunakan untuk menjelaskan
wawasan dunia yang bertujuan membakukan serta membenarkan dominasi
kelas ekonomi tertentu terhadap kelas yang lain. 19
Dalam masyarakat komunitas Aboge, perempuan tidak menyadari
bahwa sesuatu yang terjadi kepadanya merupakan kekerasan simbolis
karena selama ini diterima sebagai sesuatu yang sah. Kondisi seperti ini
Bordieu menyebutnya dengan istilah habitus. Haryatmoko menjelaskan
pemikiran bourdieu bahwa dominasi laki-laki sebenarnya merupakan
kekerasan yang disebut kekerasan simbolik atau kekerasan yang tak kasat
mata, kekerasan ini oleh korbannya (perempuan) bahkan tidak dilihat atau
dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan
wajar.20
Tidak jauh dari Gramsci, bagi Bourdieu setiap system symbol
memiliki kekuatan untuk memberikan pemaknaan bagi realitas sosial.
Bourdieu memandang kekuasaan dalam konteks teori masyarakat, dimana
19

Kompasiana,
Panji-Panji
Hegemoni
dan
Kontruksi
Sosial,
diakses
dari,
http://www.kompasiana.com/dreussand/panji-panji-hegemoni-dan-konstruksi-simbolik-kuasa.
20
Lihat Lina Melianawati Rahayu, dkk, Gender, Kekuasaan, dan Resistensi pada Masyarakat
Adat Kampung Kuta, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, , Laporan Akhir Penelitian, Tahun 2015

111

ia melihat kekuasaan sebagai budaya dan simbolis dibuat, dan terus
menerus kembali dilegitimasi melalui interaksi agen dan struktur. Cara
utama ini terjadi adalah melalui apa yang disebutnya habitus atau norma
disosialisasikan atau kecenderungan bahwa perilaku panduan dan berfikir.
Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang

dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan
terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan,
yang kemudian membimbing mereka. Sedangkan menurut Ayub
Sektiyanto, bahwa Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi
tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang diterjemahkan menjadi
kemampuan yang terlihat alamiah.21
Budaya patriarki dan kedudukan perempuan merupakan salah satu
contoh dari Habitus yang dikemukakan oleh Bourdieu. Posisi subordinat
perempuan Aboge dalam masyarakat ini terbentuk secara alami dan
terinternalisasi dalam waktu yang lama. Sehinggan sudah menjadi asumsi
umum bahwa perempuan berada dibawah laki-laki. Seaktif apapun
peranan perempuan di ranah publik seperti sosial, ekonomi, dan politik,
ketika perempuan kembali ke rumahnya, tetap kedudukan mereka menjadi
istri dan ibu rumah tangga, dan laki-laki yang menjadi pemimpin keluarga.
Ini menjadi kebiasaan dalam kultur masyarakat Indonesia, dimana tabu
bagi perempuan untuk melakukan tugas laki-laki, termasuk terjun menjadi
seorang pemimpin.
21

Yoghi Kurniawan Prathama, Review: Pemikiran Pierre Bourdieu (Analisis Konsepsi dan
Implikasi),
dalam
http://myardilaya.blogspot.co.id/2013/06/review-pemikiran-pierrebourdieu.html.

112

Dari pemikiran Bourdieu dan Gramsci ini dapat ditarik pemahaman
bahwa diperlukan tidak saja kesadaran maupun pemikiran kritis, tetapi
upaya counter diskursus terhadap bekerjanya system operasi kuasa
dominan tersebut. counter diskursus ini merupakan aktifitas konkret yang
menekankan tidak saja berupa refleksi kritis dalam melihat aspek kuasa
dominan, tetapi sebuah tindakan yang komunikatif anti distorsi berupa
tawaran-tawaran operasional yang mencerdaskan sekaligus membebaskan.
Adanya ruang publik yang diposisikan menjadi arena perbincangan
rasional dapat mendorong munculnya motivasi untuk melakukan
penelaahan terhadap berbagai proses sosial yang telah termanipulasikan
untuk mewujudkan perubahan.
C. Strategi Perempuan Dalam Mempertahankan Eksistensinya
Secara etimologi, eksistensialisme berasal dari kata ekistensi.
Eksistensi itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence, dan
bahasa Latin existere yang berarti muncul, timbul, ada, dan memilih
keberadaan aktual. Dari kata ex berarti keluar dan sistere yang berarti
muncul atau timbul. Beberapa pengertian secara terminology: (1) apa yang
ada (2) apa yang memiliki aktualitas (3) segala sesuatu (apa saja) yang di
dalam menekankan bahwa sesuatu itu ada. Sedangkan eksistensialisme
sendiri adalah gerakan filsafat yang menentang esensialisme, yang pusat
perhatiannya adalah situasi manusia.22

22

Lorens Bagus, Kamus Filsagat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 183.

113

Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya, maka manusia
tidak dapat dilepaskan dari dirinya. Manusia harus menemukan diri dalam
situasi dan berhadapan dengan berbagai kemungkinan yang dia punyai.
Bagi Jasper dan Hiedegger, situasi itu menentukan pilihan dan kemudian
manusia itu membuat pilihan dari berbagai kemungkinan tersebut.23
Sedangkan pengertian eksistensi menurut Nadia J. Indriani,
eksistensi bisa dikenal juga dengan satu kata yaitu keberadaan.
Keberadaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh atas ada atau tidak
adanya kita sebagai manusia.
Perempuan dalam komunitas Aboge memang mengalami beberapa
bentuk ketidakadilan gender seperti diskriminasi serta adanya hegemoni
dan kuasa simbolik. Meskipun demikian, perempuan tidak sepenuhnya
kehilangan peran dan eksistensinya dalam menjaga adat istiadat dan ikut
berpartisipasi di setiap kegiatan yang dilakukan komunitas tersebut.
Dari komposisi jumlah antara laki-laki dan perempuan, ditambah
fungsi dan perannya yang dilakukan keduanya. Kaum perempuan
cenderung memiliki peran yang cukup dominan dalam hal urusan
domestik. Sedangkan beberapa kaum laki-laki tertentu memiliki peran
yang sangat menentukan. Laki-laki dalam komunitas Aboge meskipun
memiliki fungsi dan peran yang dominan dalam ritual inti, tetapi tetap
tidak bisa memainkan peran dan fungsi yang dimiliki perempuan seperti
memasak, dan menyiapkan sesaji untuk keperluan adat lainnya.

23

Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Satre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 55.

114

Demikian pula sebaliknya, perempuan dalam komunitas adat
Aboge tidak berhak memegang peran yang dimiliki oleh laki-laki dalam

ritual seperti tradisi Suran atau tradisis Slametan lainnya, karena yang
memimpin jalan tradisi tersebut biasanaya dipimpin oleh ketua adat yang
mayoritas dari kalangan kaum laki-laki. Dengan kata lain, laki-laki dan
perempuan komunitas Aboge dalam ritual adat apapun sama-sama
memiliki fungsi dan peran yang sangat penting. Meskipun perempuan
tidak memiliki pengetahuan mengenai system adat sehingga tidak bisa
memiliki kedudukan tinggi seperti ketua adat, tetapi mereka memiliki
tanggung jawab untuk tetap terlibat dalam setiap ritual yang dilakukan.
Bagi masyarakat komunitas Aboge, pembedaan tugas dan perannya dalam
kehidupan sosial maupun ritual tersebut meski nampak berbeda antara
laki-laki dan perempuan, bukan berarti bahwa salah satunya dianggap
mendominasi secara mutlak dalam sendi kehidupan masyarakat.
Melalui keyakinan dan pembagian perannya tersebut, tampak
bagaimana performativitas perempuan didefinisikan dan diperlukan oleh
masyarakat adat. Dalam analisis Butler, pendifinisian tersebut menjadi
rujukan bagi kaum perempuan untuk terus menerus berbuat dan
melakukan hal yang dianggap sesuai dengan ketentuan adat dalam
memposisikan perempuan.24
Tidak hanya dalam urusan ritual adat, perempuan juga merasa
mempunyai tanggung jawab dalam urusan perekonomian keluarga dengan
24

Jajang A. Rohmana, perempuan dan Kearipan Lokal: Performativitas Perempuan Dalam Ritual
Adat Sunda, musawa , Vol.13, No.2, Desember 2014. hlm. 162

115

ikut bekerja. Dalam kehidupan sosial, bisa dikatakan bahwa perempuan
mempunyai tugas yang lebih apabila dibandingkan dengan

laki-laki.

Perempuan sejak pagi-pagi sekali mulai memasak, menyiapkan makanan,
mencuci, sampai mengantar anak kesekolah, hingga melakukan pekerjaan
yang biasa dilakukan oleh laki-laki seperti pergi ke sawah untuk bekerja
sebagai petani. Mayoritas perempuan Aboge tidak menganggap bahwa
bekerja sebagai petani merupakan diskriminasi dengan bentuk beban
ganda. Bahkan bagi sebagian perempuan bahwa bekerja di sawah sudah
menjadi kebiasaan untuk mengisi waktu luang. Selain itu, dengan bekerja
mereka bisa membantu perekonomian keluarga dan tidak terus menerus
meminta kepada laki-laki atau suami yang menjadi kepala keluarga. Bagi
mereka, hal tersebut bisa menambah keharmonisan keluarga karena saling
mengerti satu sama lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa strategi atau upaya
yang dilakukan oleh perempuan komunitas Aboge untuk mempertahankan
eksistensinya adalah dengan 2 upaya. (1) dengan sosialisasi informal, yaitu
dengan mengarahkan dan memberikan informasi secara langsung kepada
warga khususnya perempuan agar selalu ikut berpartisipasi dalam setiap
kegiatan dan tidak lupa melaksanakan tradisi sesuai dengan apa yang
seharusnya dilakukan. (2) Perempuan banyak yang bekerja sebagai petani,
karena dengan mereka ikut bekerja tidak saja hanya memperbaiki
perekonomian keluarga, tetapi perempuan juga memiliki kemendirian
dalam ekonomi dan tidak selalu bergantung kepada laki-laki.

116