Pengaruh Perendaman dengan Garam dan Konsentrasi Gula terhadap Mutu Manisan Basah Pare

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Manisan
Manisan adalah olahan komoditi yang diawetkan dengan pemberian kadar
gula yang tinggi. Penambahan gula yang tinggi bertujuan untuk memberikan rasa
manis

sekaligus

mencegah

tumbuhnya

mikroorganisme

seperti

jamur.

Mikroorganisme menyebabkan terjadinya perubahan warna, tekstur, cita rasa, dan
pembusukan pada komoditi tersebut. Dalam pembuatan manisan tidak hanya gula

yang diberikan, tetapi juga kapur, garam, dan yang mengandung sulfur. Tujuan
pemberian ini sama halnya dengan pemberian gula.

Dengan

pemberian

bahan-bahan ini, diharapkan buah akan memiliki masa simpan yang lebih lama
(Fatah dan Bachtiar, 2004).
Manisan adalah salah satu bentuk makanan olahan yang banyak disukai
oleh masyarakat. Rasanya yang manis bercampur dengan rasa khas buah sangat
cocok untuk dinikmati. Manisan merupakan salah satu metode pengawetan
produk buah-buahan yang paling tua, dan dalam pembuatannya menggunakan
gula, atau dengan cara merendam dan memanaskan buah dalam madu.
Pengolahan aneka buah menjadi manisan ini memberikan keuntungan tersendiri.
Warna buah cepat sekali berubah oleh pengaruh fisika misalnya sinar matahari
dan pemotongan, serta pengaruh biologis (jamur) sehingga mudah menjadi busuk.
Oleh karena itu pengolahan buah untuk memperpanjang masa simpannya sangat
penting, termasuk pengolahan menjadi produk manisan. Pengolahan aneka buah
menjadi manisan buah basah ataupun manisan buah kering ini masih memiliki


5
Universitas Sumatera Utara

peluang usaha yang menjanjikan dan potensi penyerapan pasar yang cukup baik
(Alliceva, 2010).
Manisan sayuran akan lebih nikmat ketika dimakan dalam kondisi dingin.
Penyimpanan manisan dalam lemari pendingin akan membuat manisan menjadi
bertahan lama. Secara umum syarat mutu manisan berdasarkan SNI No. 01-4443
(1998) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu manisan
No. Uraian
Persyaratan
Keadaan (kenampakan, bau, rasa, dan normal, tidak berjamur
1.
jamur)
2.
Kadar air
maks. 44% (b/b)
3.

Jumlah gula (dihitung sebagai sukrosa)
min. 25%
4.
Pemanis buatan
tidak ada
5.
Zat warna
yang
diizinkan
untuk
makanan
6.
Benda asing (daun, tangkai, pasir dan lain- tidak ada
lain)
7.
Bahan pengawet (dihitung sebagai SO2)
maks. 50 mg/kg
8.
Cemaran logam :
- Tembaga (Cu)

maks. 50 mg/kg
- Timbal (Pb)
maks. 2,5 mg/kg
- Seng (Zn)
maks. 40 mg/kg
- Timah (Sn)
maks. 150 mg/kg (*)
9.
Arsen
maks. 1,0 mg/kg
10. Pemeriksaan mikrobiologi
- Golongan bentuk coli
tidak ada
- Bakteri Eschericchiacoli
tidak ada
Keterangan : (*) Produk yang dikalengkan

Pembagian Manisan
Manisan adalah buah-buahan maupun sayuran yang direndam dalam air
gula selama beberapa waktu, misalnya buah salak, kedondong, pepaya, mangga,

jambu, serta buah dan sayur lainnya. Membuat buah-buahan dan sayuran menjadi
manisan adalah salah satu cara untuk mengawetkan bahan pangan. Perendaman

Universitas Sumatera Utara

gula yang dilakukan ini mengakibatkan kadar gula dalam buah menjadi meningkat
dan kadar air berkurang, keadaan ini juga mengakibatkan mikroorganisme
berkurang (Muaris, 2003).
Sediaoetomo (2006)

menyatakan bahwa manisan dapat dibedakan

menjadi dua jenis yaitu manisan basah dan manisan kering. Perbedaan manisan
basah dan manisan kering terletak pada proses pembuatannya, daya awet, dan
kenampakannya. Daya awet manisan buah yang kering lebih lama dibandingkan
dengan daya awet manisan buah yang basah. Hal ini disebabkan karena kadar air
pada manisan yang kering lebih rendah dan kandungan gulanya yang lebih tinggi
dibandingkan dengan manisan basah.
Manisan yang diperdagangkan di pasaran ada 4 macam. Golongan
pertama adalah manisan buah dengan larutan gula encer, buah yang sering diolah

menjadi manisan ini adalah salak, jambu biji, mangga, dan kedondong. Golongan
kedua adalah manisan basah dengan larutan gula kental, buah yang diolah untuk
manisan ini adalah pala, cermai, dan belimbing. Golongan ketiga adalah manisan
kering dengan bertabur gula pasir kasar, buah yang diolah menjadi manisan ini
adalah asam, pala, dan kedondong. Golongan keempat adalah manisan kering
asin, rasanya asam, asin dan manis karena relatif banyak digarami. Jenis buah
yang diolah umumnya adalah mangga, jambu biji, pepaya belimbing, dan cermai
(Kusmiadi, 2008).
Prinsip pembuatan manisan adalah proses peresapan larutan gula sampai
kadar gula di dalam bahan pangan cukup tinggi. Kadar gula demikian akan
menghasilkan tekanan osmotis yang tinggi. Beberapa jenis kapang dan khamir
toleran terhadap tekanan osmotis tinggi, sebaliknya bakteri kurang toleran.

Universitas Sumatera Utara

Pertumbuhan kapang dalam bahan pangan dapat menurunkan kualitas rasa
maupun kenampakkan estetis karena terlihat jelas di permukaan bahan pangan.
Kapang yang ditemukan dalam manisan buah salak adalah Aspergillus flavus,
A.niger, A. versicolor, A. fumigatus, Aspergillus sp. Monilia sp. Mucor sp,
Penicillium sp. Rhizopus sp dan Wallemia sp (Dhamayanti, dkk., 2002).

Hal yang harus mendapat perhatian dalam proses pembuatan manisan
meliputi: penampilan produk, yang terdiri atas warna, kesegaraman bentuk dan
kemasan, cita rasa dan aroma, daya tahan produk dan kandungan unsur gizi dan
kalori, dan higienis. Pengawetan dalam bentuk manisan adalah usaha untuk
mempertahankan tekstur dan warna buah, serta menciptakan cita rasa yang baru,
sekaligus bentuk usaha menyediakan buah tanpa tergantung musiman. Pengolahan
buah menjadi bentuk manisan akan memperpanjang umur simpan hingga 1 bulan
bahkan hingga tahunan (Suprapti, 2005).
Manisan buah basah pada umumnya menggunakan bahan pengawet untuk
meningkatkan daya tahan terhadap serangan mikroba (Radam, 2009). Perendaman
gula bertingkat pada manisan diharapkan dapat menjaga keseimbangan proses
masuk dan keluar air dari larutan gula ke dalam buah atau sebaliknya dari buah
keluar larutan gula sehingga tekstur tetap bagus, karena terjadi difusi gula ke
dalam bahan secara perlahan-lahan sehingga air yang keluar dari bahan lebih
sedikit dibandingkan dengan gula yang masuk (Sohibulloh, 2013).
Kondisi perendaman sangat berpengaruh terhadap karakteristik dan bentuk
dari bahan. Lama perendaman dapat dipersingkat dengan mengunakan air atau
larutan lebih hangat. Thakur dan Gupta (2006) telah membuktikan bahwa waktu

Universitas Sumatera Utara


dan suhu perendaman pada beras berpengaruh terhadap larutnya beberapa materi
di dalam beras.
Pare
Adapun taksonomi pare adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Sub Divisi
: Magnoliopsida
Kelas
: Dycotiledonae
Famili
: Cucurbitaceae
Genus
: Momordica
Species
: charantina
Sinonim

: Momordica chinensis, M. Elegans, M. Indica, M. Sinensis
(Dasuki, 1991).
Negara asal sayur pare berasal dari India yang dikenal dengan nama tita
kerala. Selain India, Afrika juga diduga sebagai negara asal tanaman ini. Dari
negara asalnya, tanaman ini menyebar ke Brasil di sekitar abad 17 dan 18.
Kemudian tanaman pare semakin menyebar hingga Asia Tenggara, Cina, dan
Karibia. Sayuran ini dengan nama internasional bitter melon, bitter gourd, atau
balsam pear. Tanaman pare ini memiliki ciri khas yaitu bau langu dan rasanya
yang pahit. Meskipun rasanya yang pahit, sayuran ini sangat dinikmati untuk
dikonsumsi oleh masyarakat (Novary, 1997).
Pare (Momordica charantia) mempunyai sifat anti-diabetes. Makanan
yang sehat merupakan kebutuhan pokok yang dibutuhkan untuk terapi yang
menderita penyakit diabetes dan berbagai penyakit lainnya. Selain itu pare juga
dapat menekan fertilitas (pertumbuhan) pada manusia. Proses spermatogenesis
dapat dihambat sebagai akibat dari bahan aktif yang terkandung didalamnya yaitu
kukurbitasin B yang termasuk kelompok triterpenoid dan mempunyai rasa pahit.
Kukurbitasin yang digolongkan dalam glikosida triterpen memiliki struktur dasar

Universitas Sumatera Utara


siklopentana perhidrofenantrena yang juga dimiliki oleh steroid. Steroid inilah
yang dapat berperan sebagai penghambat spermatogenesis dan bersifat reversibel
(Dias, 2012).
Pare (Momordica charantia L.) terkenal dengan nama bitter gourd sebagai
bahan pangan yang tergolong penting untuk pengobatan. Buahnya yang masih
hijau dikonsumsi sebagai sayuran dan sebagai sumber vitamin C dan vitamin A,
fosfor, dan besi. Aroma pare ini dihasilkan dari alkaloid yang diproduksi dari
buah dan daun.

Pare merupakan sumber ikatan fenol, termasuk asam galat,

katekin, epikatekin, dan asam klorogenat (Din, dkk., 2011).
Pare terdiri dari beberapa jenis dan banyak disukai oleh konsumen. Jenis
pare tersebut yaitu :
a. Pare Taiwan
Pare ini berasal dari Taiwan. Nama aslinya adalah chu mi. Chu mi terbagi yaitu
chu mi putih dan chu mi hijau, karena terdiri dari warna putih dan hijau.
Penampilan buahnya amat menarik, lonjong agak bulat dan besar. Permukaan
kulit tanpa bintil, halus dan sedikit alur. Warnanya putih kehijauan dan rasanya
tidak terlalu pahit.

b. Pare Gajih
Disebut juga pare mentega atau pare putih. Warna pare ini putih kekuningan,
permukaan buah berbintil-bintil besar. Panjang buah sekitar 30-50 cm dan agak
langsing. Daging buah tebal, berat buah mencapai 250-500 g.

Universitas Sumatera Utara

c. Pare Ayam (pare hijau)
Jenis pare ini sangat sering dijumpai di pasaran. Warnanya lebih hijau
dibandingkan pare yang lain. Pare ini tergolong pare kampung yang sering
ditanam secara sambilan di pekarangan rumah atau pagar (Nazaruddin, 1999).
Komposisi Kimia Pare
Pare termasuk ke dalam suku labu-labuan atau Cucurbitaceae. Sayur ini
biasa dibudidayakan untuk dimanfaatkan sebagai sayuran maupun bahan
pengobatan. Adapun kandungan pare dalam 100 g bahan dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi pare dalam 100 g bahan
Kandungan
Jumlah
Energi (Kal)
17
Air (g)
91,20
Karbohidrat (g)
3,70
Protein (g)
1,00
Lemak (g)
0,17
Vitamin A (IU)
471
Vitamin C (mg)
88
Folat (µg)
72
Kolesterol (mg)
0
Betakaroten (µg)
190
K (mg)
296
Ca (mg)
19
Serat (g)
2,80
Mg (mg)
17
Niasin (mg)
0,400
Asam pantotenat (mg)
0,212
Piridoksin (mg)
0,043
Riboflavin (mg)
0,040
Tiamin (mg)
0,040
Na (mg)
5
Cu (mg)
0,034
Fe (mg)
0,43
Mn (mg)
0,089
Zn (mg)
0,80
Sumber : Rani, dkk (2014)

Universitas Sumatera Utara

`

Pare mengandung kadar vitamin A dua kali lebih banyak dibandingkan

brokoli. Brokoli mengandung vitamin A sekitar 228,7 IU sedangkan pare 471 IU.
Pare mengandung momordisin, memordin, karantin, asam trikasonik, resin, asam
resinat, steroid, vitamin A dan C serta minyak lemak yang terdiri dari asam oleat,
asam linoleat, asam stearat (Naid, dkk., 2012).
Manfaat Pare
Pare (Momordica charantia L.) merupakan salah satu tanaman tropis yang
banyak terdapat di Asia, India, Afrika Timur, dan Amerika Selatan yang
dimanfaatkan

untuk

mengobati

diabetes

melitus,

sebagai

antioksidan,

hipokolesterolemia, dan hipotrigliseridemia. Di dalam buah pare banyak
mengandung bahan aktif seperti cucurbitasin (zat pahit), momordikosid,
momorkarin, momordisin, momordin, asam trikosapar, resin, asam resina, vitamin
A, B, dan C, karantin, hydroxytryptamine, dan saponin. Pemberian jus buah pare
pada mencit betina usia 10 bulan dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol.
Peningkatan kadar HDL kolesterol ini sangat mungkin disebabkan kandungan
antioksidan, vitamin A, B1, B3, C, likopen, lutein, dan zeaxantin yang terkandung
dalam buah pare. Akibat bahan aktif tersebut dimungkinkan nafsu makan mencit
menjadi berkurang, selain itu jus buah pare dapat menurunkan kadar trigliserida.
Penurunan trigliserida akan menurunkan cadangan lemak tubuh, akibatnya bobot
badan pun menurun (Rita, dkk., 2011).
Rasa pahit pada buah pare menimbulkan beberapa manfaat. Manfaat buah
pare bagi kesehatan manusia adalah dapat merangsang nafsu makan, dapat
menyembuhkan penyakit kuning, memperlancar pencernaan dan sebagai obat
malaria (Instalasi Penelitian dan Pengkajian, 1996). Buah atau daun sayur pare

Universitas Sumatera Utara

dimasak dan ditambahkan ke sayur buncis dan dibuat sup, kemudian ditambahkan
sedikit garam untuk mengurangi rasa pahitnya. Selain itu, buah dan daun pare
memiliki efek antifertilitas pada hewan betina, dan pada hewan jantan
memberikan efek penurunan produktivitas sperma, sehingga dapat menurunkan
angka kelahiran (Taylor, 2002).
Ekstrak etanol buah pare 2% mampu menekan peningkatan kadar glukosa
darah. Hal ini disebabkan ekstrak etanol buah pare mampu menekan peningkatan
kadar glukosa darah, dengan mencegah usus menyerap glukosa yang dimakan dan
menstimulasi sel β kelenjar pankreas tubuh memproduksi insulin lebih banyak,
selain meningkatkan deposit cadangan glukosa glikogen di hati. Sehingga pada
hari berikutnya mampu mempercepat penurunan kadar glukosa darah. Penurunan
kadar glukosa darah pada tikus yang diberikan ekstak etanol buah pare disebabkan
oleh kandungan saponin, polifenol, dan flavonoid yang teridentifikasi dalam
skrining fitokimia yang terkandung dalam ekstrak etanol buah pare. Ekstrak etanol
buah pare atau glibenklamid menstimulasi sel-sel β dari pulau langerhans
pankreas, sehingga sekresi insulin ditingkatkan (Yuda, dkk., 2013).
Bahan Pembuatan Manisan Basah Pare
Gula
Gula merupakan oligosakarida yang memiliki peranan yang sangat penting
dalam proses pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu dan bit. Untuk
skala industri-industri makanan yang digunakan adalah gula dalam bentuk kristal
yang halus maupun yang kasar, tetapi apabila yang digunakan dalam jumlah yang
banyak maka bentuk gula biasanya digunakan dalam bentuk cairan gula atau yang
biasa disebut sirup. Pada pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam

Universitas Sumatera Utara

air dan kemudian dipanaskan, sebagian gula akan terurai menjadi glukosa dan
fruktosa, yang disebut gula invert (Winarno, 2004).
Estiasih dan Ahmadi (2009) menyatakan bahwa pada pembuatan produk
makanan sering ditambahkan gula. Konsentrasi gula yang ditambahkan dalam
jumlah yang tinggi 70% dapat menghambat pertumbuhan mikroba perusak. Kadar
gula dengan jumlah minimum 40% bila ditambahkan ke dalam bahan pangan
menyebabkan air dalam bahan pangan terikat sehingga menurunkan nilai aktivasi
air dan tidak dapat digunakan oleh mikroba. Penggunaan gula memperluas
pengawetan bahan pangan terhadap buah-buahan dan sayuran.
Gula sering disebut dengan sukrosa. Sukrosa adalah suatu zat sakarida
yang pada hidrolisa menghasilkan glukosa dan fruktosa. Rumus sukrosa tidak
memperlihatkan adanya gugus formil atau karbonil bebas. Karena itu sukrosa
tidak memperlihatkan sifat mereduksi misalnya dengan larutan Fehling.
Campuran glukosa dan fruktosa disebut gula invert. Ukuran dari semua zat yang
larut dalam larutan gula murni disebut derajat Brix. Derajat Brix suatu larutan
didefinisikan konsentrasi larutan dalam air yang kepekatannya sama dengan
larutan sukrosa murni pada suhu yang sama (Moerdokusumo, 1993). Komposisi
gula pasir per 100 g bahan dapat dilihat pada Tabel 3.
Produk-produk pangan berkadar gula tinggi cenderung rusak oleh khamir
dan kapang, yaitu kelompok mikroorganisme yang relatif mudah dirusak oleh
panas (seperti dalam pasteurisasi). Apabila gula (sukrosa) ditambahkan ke dalam
bahan pangan dengan konsentrasi yang tinggi paling sedikit 40%, maka sebagian
air tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air bahan
pangan berkurang (Buckle, dkk., 2009).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3. Komposisi gula pasir per 100 g bahan
Kandungan
Jumlah
Kalori (Kal)
364,0
Protein (g)
0,0
Lemak (g)
0,0
Karbohidrat (g)
94,0
Ca (mg)
5,0
P (mg)
1,0
Fe (mg)
0,1
Vit A (IU)
0,0
Vit B1 (mg)
0,0
Vit C (mg)
0,0
Air (g)
5,4
Bagian yang dapat dimakan (%)
100,0
Sumber : Sularjo (2010)
Sukrosa mencair pada suhu 320 oF (160 oC), kemudian secara berangsurangsur akan mengalami perubahan warna menjadi coklat selama pemanasan.
Seiiring dengan perubahan warna coklat tersebut, karamelisasi juga akan terjadi.
Karamelisasi merupakan salah satu pencoklatan yang sering disebut dengan
pencoklatan nonenzimatis, karena tidak melibatkan enzim-enzim (Bennion dan
Scheule, 2004).

Garam
Secara fisik, garam berwarna putih dan umumya berbentuk padatan
dengan nama kimianya sodium klorida (NaCl). NaCl ini mengandung yodium
dan ketika ditambahkan ke dalam bahan pangan dapat menambah nutrisi pada
tubuh. Selain memberi nutrisi pada tubuh juga berpengaruh pada cita rasa, dan
dapat membentuk tekstur menjadi renyah. Jumlah garam yang ditambahkan
tergantung banyaknya makanan yang disiapkan dan yang akan dikonsumsi.
Namun, apabila dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi dapat meningkatkan
tekanan darah sehingga mengganggu kesehatan tubuh

(Bennion

dan

Scheule, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Garam merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar natrium
klorida (>80%) serta senyawa lainnya seperti magnesium klorida, magnesium
sulfat, dan kalsium klorida. Garam mempunyai sifat / karakteristik higroskopis
yang berarti mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar
0,8 - 0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu 801 oC ( Burhanuddin, 2001).
Garam merupakan salah satu komposisi yang paling penting pada
beberapa makanan. Garam telah diteliti dapat meningkatkan resiko hipertensi dan
secara tidak langsung berhubungan dengan peningkatan penyakit jantung. Pada
tahun 1990, WHO (World Health Organization) menetapkan batas penggunaan
garam yaitu 6 g per hari orang dewasa. Namun, pada tahun 2007, penggunaan
garam dikurangi lagi menjadi 5 g per hari orang dewasa. Pengurangan
penggunaan garam itu menjadi suatu tantangan bagi industri-industri pangan,
hal ini karena terjadi penurunan penerimaan konsumen terhadap produk
pangan yang dipasarkan (Kremer, dkk., 2009).
Garam memberikan sejumlah pengaruh bila ditambahkan pada jaringan
tumbuh-tumbuhan yang segar. Pertama-tama, garam akan berperan sebagai
penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroorganisme
pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk spora adalah yang paling
mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah (yaitu sampai 6%)
(Buckle, dkk., 2009).
Mekanisme garam sebagai pengawet pada bahan pangan adalah sebagai
berikut : garam diionisasikan, setiap ion menarik molekul-molekul air di
sekitarnya. Proses ini disebut hidrasi ion. Makin besar kadar garam, makin banyak
air yang ditarik oleh ion hidrat. Suatu larutan garam jenuh pada suatu suhu ialah

Universitas Sumatera Utara

satu larutan yang telah mencapai suatu titik di mana tidak ada daya lebih lanjut
yang tersedia untuk melarutkan garam. Pada titik ini bakteri, khamir, dan jamur
tidak mampu tumbuh. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya air bebas yang
tersedia bagi pertumbuhan mikroba (Desrosier, 1988).
Ada dua jenis pemberian garam terhadap bahan pangan, yaitu pemberian
garam dalam jumlah yang banyak dan dalam jumlah yang sedikit. Pemberian
garam yang berlebihan bisa memberikan pegaruh negatif dalam cita rasa
makanan. Masalah ini dapat diatasi dengan dilakukannya perendaman bahan
pangan dalam air sebelum dikonsumsi, tetapi hal ini bisa mengakibatkan
penurunan nilai nutrisi dari makanan tersebut. Namun sebaliknya, pemberian
garam dalam jumlah yang banyak memberikan keuntungan bagi sayuran karena
merupakan metode pengawetan (James dan Kuipers, 2003).

Larutan Kapur
Pengolahan buah menjadi manisan merupakan salah satu alternatif
pengolahan yang mempunyai banyak keuntungan yaitu lebih awet, ringan, dan
volume lebih kecil sehingga dapat mempermudah pengemasan. Kendala yang
dihadapi dalam pembuatan manisan adalah tekstur buah yang lunak, oleh sebab
itu perlu dilakukan penanganan yaitu dengan dilakukan perendaman dalam larutan
kapur Ca(OH)2 dengan konsentrasi 1% sampai 3 % (Hastuti, dkk., 2013).
Larutan kapur sirih dapat memperbaiki tekstur bahan segar .Teksturnya
menjadi lebih keras sehingga terjadinya transpirasi maupun respirasi dapat
ditekan. Perlakuan dengan kapur sirih dapat dilakukan dengan beberapa cara di
antaranya ialah perendaman dalam kondisi kamar, perendaman dengan tekanan
hipobarik, metode gradient, mengurangi tegangan permukaan, atau memakai

Universitas Sumatera Utara

surfaktan. Perendaman bahan pada kondisi kamar tidak menghasilkan perbedaan
warna yang nyata antara buah yang diberi perlakuan dan tanpa perlakuan
(Satuhu, 1996).
Tujuan perendaman dalam larutan kapur adalah untuk memperkuat bahan
baku manisan. Selama perendaman terjadi reaksi antara kalsium dan pektin yang
terdapat pada dinding sel jaringan bahan. Lamanya perendaman dapat
berlangsung selama beberapa jam hingga 12 jam (Fachruddin, 2006).

Blansing
Perlakuan pendahuluan yang biasa dilakukan pada bahan pangan sebelum
diolah adalah blansing. Bahan yang tidak diblansing maka karakteristik sensoris
dan nutrisinya akan mengalami perubahan yang tidak diinginkan selama proses
penyimpanan, hal ini disebabkan karena aktivitas enzim yang berkelanjutan
(Fellows, 2000).
Pada dasarnya proses blansing bertujuan untuk menonaktifkan enzimenzim yang menyebabkan perubahan kualitas bahan pangan. Proses ini diterapkan
terutama pada bahan pangan segar yang mudah mengalami kerusakan akibat
aktivitas enzim yang tinggi. Contoh bahan pangan tersebut adalah sayuran dan
buah-buahan. Proses blansing harus menjamin bahwa enzim-enzim yang
menyebabkan perubahan kualitas warna, bau, citarasa, tekstur, dan gizi tidak aktif
selama penyimpanan, diantaranya enzim katalase dan peroksida yang merupakan
enzim-enzim paling tahan panas di dalam sayur-sayuran (Estiasih, 2005).
Blansing dapat dilakukan dengan pencelupan bahan yang akan diolah ke
dalam air panas dengan suhu 82-100 oC atau dengan pengukusan. Lama perlakuan
blansing tergantung pada jenis komoditi, tebal irisan, dan jumlah bahan. Pada

Universitas Sumatera Utara

umumnya proses blansing dilakukan selama 5-10 menit. Semakin banyak bahan
yang akan diberi perlakuan blansing dan semakin tebalnya irisannya semakin
lama waktu yang diperlukan. Jenis buah yang berdaging buah membutuhkan
waktu blansing lebih lama dari buah yang dagingnya banyak mengandung air
(Satuhu, 1996).
Tujuan blansing yang lain adalah :
- Untuk mengeluarkan bau yang tidak enak (bau mentah pada sayuran hijau).
- Untuk membantu menghilangkan senyawa tanin.
- Untuk memperkuat jaringan sehingga bentuk atau tekstur buah tetap stabil
walaupun akan melalui proses pengolahan yang beragam.
- Mengurangi volume.
- Melayukan jaringan sehingga akan memudahkan penanganan dan pengemasan.
- Mengurangi mikroba pada bahan pangan.
(Fatah dan Bachtiar, 2004).
Metode, suhu, dan lama pemanasan atau pemasakan dapat memberikan
efek yang signifikan terhadap nilai nutrisi dari sayuran. Misalnya, nutrisi yang
sangat penting yaitu asam askorbat dan asam folat yang rentan terhadap oksidasi.
Mineral juga mengalami perubahan pada suhu yang tinggi, dalam beberapa kasus
yang lain cita rasa juga mengalami perubahan pada saat dilakukan pemanasan atau
pemasakan (Alvi, dkk., 2003).

Universitas Sumatera Utara