Tantangan Kelembagaan dalam Implementasi. docx

TANTANGAN KELEMBAGAAN1
DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN RUANG
Sutaryono
Email: taryo_jogja@yahoo.com
www.manajemenpertanahan.blogspot.com
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta
ABSTRAK
Kelembagaan penataan ruang pada Kabinet Kerja Joko Widodo – Jusuf Kalla menapaki
babak baru, dengan digabungnya ke dalam Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional. Persoalannya adalah, bagaimana kelembagaan tata ruang yang selama ini sudah eksis
dengan Kementerian PU dan penyelenggaraan penataan ruang menjadi domain pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota, harus bergeser ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional, yang selama ini merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
bersifat vertikal.
Naskah ini mencoba mengelaborasi peluang dan tantangan implementasi kebijakan penataan
ruang dalam kelembagaan yang baru. Content analisys dipilih sebagai metode yang tepat untuk
mengkaji regulasi dan kelembagaan yang berhubungan dengan penataan ruang. Penyelenggaraan
penataan ruang yang selama ini bias pada perencanaan dan pemanfaatan ruang serta seolah abai
dengan pengendalian pemanfaatan ruang, mendapatkan momentum tepat dengan bergabungnya
kelembagaan penataan ruang ke dalam Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional.

Hasilnya menunjukkan bahwa: (a) Penyatuan agraria dan tata ruang dalam satu kementerian
bukanlah suatu hal yang a-historis, tetapi ‘senapas’ dengan konstitusi. Bumi, air dan kekayaan alam
adalah makna agraria secara konstitusi yang kemudian dijabarkan dalam UUPA. Makna ini
inherent dengan makna ruang dalam Undang-Undang Penataan Ruang; (b) sinkronisasi
penyelenggaraan penataan ruang dengan pengelolaan pertanahan mutlak diperlukan agar
terwujudnya tertib ruang dan tertib penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
dapat terealisasi; (c) integrasi kelembagaan penataan ruang dan pertanahan perlu dilakukan pada
level pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Kata kunci: penataan ruang, agraria, pertanahan, kelembagaan

1. PENDAHULUAN
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan
Fungsi Kabinet Kerja, merupakan babak baru dalam penataan kelembagaan pertanahan dan
tata ruang. Hal ini ditunjukkan oleh munculnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang
disandingkan dengan Badan Pertanahan Nasional. Kementerian ini lingkup kerjanya
meliputi penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang tata ruang dan bidang pertanahan.
Berdasarkan peraturan presiden tersebut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional memimpin dan mengkoordinasikan: (a) penyelenggaraan tugas dan
fungsi di bidang tata ruang yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum; dan (b)
penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Badan

Pertanahan Nasional,
1 Makalah pada Seminar Nasional Tata Ruang dan Sustainable Planning & Culture 2, di UNHI Denpasar, 15
Oktober 2015

1

Tampak bahwa penyatuan bidang keagrariaan, tata ruang dan pertanahan adalah
upaya menata kelembagaan yang berlandaskan pada konstitusi dan regulasi dalam
pengelolaan agraria dan sumberdaya alam, Visi dan Misi Pemerintah RI 2014 – 2019 serta
kebutuhan dalam menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan pertanahan, agraria dan tata
ruang.
Pada dasarnya kelembagaan pertanahan mengalami dinamika yang luar biasa,
apalagi apabila ditarik sejak kelahiran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan UUPA. Lima misi
utama yang mengiringi kelahiran UUPA yang meliputi: (1) perombakan hukum agraria; (2)
pelaksanaan land reform; (3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing
dalam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feudal dalam bidang agraria.
Pencapaian misi utama UUPA tersebut mensyaratkan ketersediaan berbagai resources yang
memadai, utamanya adalah sumberdaya manusia yang ahli dan profesional di bidang
keagrariaan. Sumberdaya manusia yang ahli dan professional tersebut dimaknai sebagai

sumberdaya manusia yang mempunyai kecakapan, kemahiran dan ketrampilan untuk
melaksnakan tugas dan mengembangkan pelayanan dalam bidang penataan kembali
penguasaan dan pemilikan tanah, pengaturan dan pendaftaran hak atas tanah, pengaturan
administrasi pertanahan, pengaturan penggunaan tanah maupun dalam penyelesaian
sengketa dan konflik pertanahan. Sumberdaya manusia di bidang ini hanya mungkin
diwujudkan melalui kelembagaan keagrarian dan pertanahan.
Dalam konteks kekinian, Perpres Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas
dan Fungsi Kabinet Kerja, telah ditindaklanjuti dengan Perpres Nomor 17 Tahun 2015
tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Perpres Nomor 20 Tahun 2015 tentang
Badan Pertanahan Nasional. Kedua perpres ini mengganti Peraturan Presiden Nomor 10
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang diubah dengan Perpres 85
Tahun 2012 dan terakhir dengan Perpres 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan
Nasional.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana kelembagaan tata ruang
yang selama ini diatur oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan menjadi domain
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, harus bergeser ke Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, yang selama ini merupakan Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang bersifat vertikal?
2. DINAMIKA KELEMBAGAAN AGRARIA, PERTANAHAN DAN TATA RUANG
Secara garis besar sejarah kelembagaan agraria tidak bisa dipisahkan dengan

kelembagaan keagrariaan pada masa kolonial. Pada masa kolonial (Belanda), telah
diberlakukan Agrarische Wet, mulai Tahun 1870. Pada masa ini Pemerintah Belanda
mengeluarkan Ordonansi (Staatblad 1823 No. 164), dimana penyelenggaraan kadastral
diserahkan kepada lembaga kadastral yang bernama Kadasteral Dient. Mengingat
strategisnya lembaga ini, pejabatnya diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal.
Lembaga ini masih terus berlaku hingga lahirnya Undang-undang Pokok Agraria2.
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), pengaturan keagrariaan – pertanahan
tidak berbeda jauh dengan masa penjajahan Belanda. Jawatan Kadasteral Dient, masih
tetap berada di bawah Departemen Kehakiman dengan sebutan Jawatan Pendaftaran Tanah.
Pada masa ini Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan pelarangan pemindahan hak atas
benda tetap/tanah (Osamu Sierei No. 2 Tahun 1942) dan penguasaan tanah-tanah partikelir
oleh Pemerintah Dai Nippon juga dihapuskan3.
2 BPN, 1998. Dasawarsa Bhumibhakti Adhiguna. Jakarta
3 Ibid BPN, 1998

2

Pada masa kemerdekaan (1945-1960), pemerintah melalui Departemen Dalam
Negeri berupaya menyempurnakan regulasi yang mengatur tentang keagrariaan –
pertanahan, mengingat hukum pertanahan yang berlaku saat itu adalah hukum Belanda.

Upaya pertama yang dilakukan pemerintah adalah membentuk Panitia Agraria Yogyakarta
berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948. Pembentukan panitia ini bertujuan
untuk menyiapkan lahirnya unifikasi hukum agraria-pertanahan nasional yang berbasiskan
sifat dan kepribadian bangsa Indonesia. Pada tahun 1951, melaui Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1951 dibentuk Panitia Agraria Jakarta yang menggantikan Panitia Agraria
Yogyakarta.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955, pemerintah membentuk
Kementerian Agraria yang dipisahkan dari Departemen Dalam Negeri. Pembentukan
Kementerian Agraria ini diorientasikan untuk: (a) mempersiapkan pembentukan
perundang-undangan di bidang keagrariaan; (b) melaksanakan dan mengawasi perundangundangan keagrariaan serta memberikan petunjuk tentang pelaksanaannya; (c)
menjalankan segala upaya untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas
tanah bagi rakyat Indonesia.
Pada tahun 1956, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956
dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang menggantikan Panitia Agraria
Jakarta dan bertugas untuk mempersiapkan proses pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria. Pada tanggal 1 Juni 1957, draf Rancangan UUPA telah dapat diselesaikan oleh
Panitia Negara Urusan Agraria. Pada saat yang sama, melalui Keputusan Presiden Nomor
190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula berada di bawah Kementerian
Kehakiman dialihkan ke Kementerian Agraria.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958, ditetapkan pengalihan tugas

dan wewenang yang menyangkut keagrariaan dari Menteri Dalam Negeri ke Menteri
Negara Agraria serta dimulainya pembentukan kelembagaan agraria di tingkat provinsi,
karesidenan dan kabupaten/kotamadya.
Pada tanggal 24 April 1958 Rancangan UUPA diajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), dan pada tanggal 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang selanjutnya dikenal
dengan UUPA. Berlakunya undang-undang ini mengakhiri adanya dualisme hukum agraria
di Indonesia dan Agrarisch Wet dinyatakan tidak berlaku.
Begitu pentingnya pengaturan keagrariaan, maka pada tahun 1964 era Kabinet
Dwikora, keagrariaan dikoordinasikan oleh Kementerian Kompartemen Agraria, yang
membawahi: (1) Menteri Pertanian (Menteri Mr. Sadjarwo; (2) Menteri Perkebunan (Drs.
Frans Seda); (3) Menteri Kehutanan (Sujarwo); (4) Menteri Agraria (Mr. R. Hermanses);
(5) Menteri Pembangunan Masyarakat Desa (Ipik Gandamana); dan (6) Menteri Pengairan
Rakyat (Ir. Surahman)4;
Susunan Departemen Agraria diatur melalui Peraturan menteri Agraria Nomor 1
Tahun 1964. Dalam hal ini Kantor Inspeksi Agraria, Kantor Pengawasan Agraria dan
Kantor Agraria Daerah, semuanya berada di bawah Kantor Pusat. Satu tahun kemudian
Permenag No 1/1964 ini disempurnakan melalui Permenag No 1/1965 tentang Tugas
Departemen Agraria serta penambahan Direktorat Transmigrasi dan Kehutanan ke dalam
Kementerian Agraria. Pada tahun ini juga, lembaga keagrariaan-pertanahan ini dikecilkan

kembali menjadi setingkat Direktorat Jenderal, meskipun cakupannya bertambah dengan
transmigrasi, yakni Dirjend Agraria dan Transmigrasi, dibawah Departemen Dalam Negeri.
Tidak sampai satu tahun, urusan transmigrasi ditarik kembali ke Departemen Veteran,
Transmigrasi dan Koperasi, sehingga menjadi Dirjend Agraria di bawah Kemendagri.
4 Baca tulisan Ahmad Nashih Luthfi, 2014

3

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 1982 susunan
Kantor Agraria di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya menjadi Direktorat Agraria
Provinsi dan Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya. Sejalan dengan meningkatnya
permasalahan keagrariaan, maka Dirjend Agraria Departemen Dalam Negeri ditingkatkan
menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) Badan Pertanahan Nasional
(BPN) melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988.
Berdasarkan regulasi ini, BPN tidak lagi bertanggungjawab kepada Mendagri tetapi
langsung kepada Presiden dan cakupan kerjanya semakin luas. Melalui Keputusan Kepala
BPN 1/1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BPN di Propinsi dan
Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kotamadya, maka Kanwil BPN di tingkat provinsi dan
Kantah di tingkat kabupaten/kotamadya merupakan instansi vertikal dan bertanggungjawab
kepada Kepala BPN.

Kelembagaan pertanahan sebelum Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Jokowi – JK,
adalah Badan Pertanahan Nasional yang diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 10/2006
tentang Badan Pertanahan Nasional sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 10 Tahun 2006 dan terakhir dengan Perpres 63 Tahun 2013 tentang Badan
Pertanahan Nasional. Meskipun pada level perpres sudah mengalami 3 kali perubahan,
tetapi kelembagaan di daerah masih mengacu pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional (Perkaban) No. 4/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BPN
dan Kantor Pertanahan.
Berdasarkan regulasi di atas secara kelembagaan Badan Pertanahan Nasional
merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Kepala dengan tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dinamika kelembagaan di atas menunjukkan bahwa kelembagaan tata ruang belum
atau tidak pernah menjadi bagian dari kelembagaan agraria dan pertanahan. Meskipun pada
tahun 1964 sudah terbentuk Menteri Kompartemen Agraria, tetapi di dalamnya belum
secara eksplisit disebutkan adanya kelembagaan/kementerian tata ruang. Hal ini karena isu
dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang panataan ruang masih belum belum
manjadi perhatian. Bahkan dalam konsideran UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan

Ruang disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang belum menampung tuntutan perkembangan pembangunan, sehingga
perlu ditetapkan Undang-undang tentang Penataan Ruang. Salah satu klausulnya,
kelembagaan dalam penyelenggaraan, kewenangan, dan pembinaan penataan ruang di
tingkat nasional dilaksanakan oleh Menteri. Pada Pasal 29 disebutkan pula bahwa Presiden
menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang, meskipun
dalam hal ini menteri yang dimaksud juga tidak secara terang disebutkan.
Sedikit lebih maju dibanding UU 24/1992, dalam hal ini UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Panataan Ruang telah menyebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang
dilaksanakan oleh seorang Menteri (Pasal 9), dan dalam ketentuan umum telah disebutkan
bahwa menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang
penataan ruang.
Kelembagaan penataan ruang di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH), yang
masuk dalam kabinet Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Perhatian, gagasan
4

serta pemikiran tentang konsep dan pendekatan tata ruang dalam pengembangan wilayah
secara kelembagaan masuk struktur pada Kementerian PPLH, yakni pada level Pembantu
urusan Tata Ruang yang berada di bawah Asisten Menteri Negara Lingkungan Hidup

Bidang Lingkungan Hidup Binaan. Secara operasional kelembagaan tata ruang yang
bertautan dengan lingkungan hidup adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres)
nomor 48 tahun 1983 tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta
Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan
Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di luar Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya
Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur, dan Kota Cibinong. Dalam Keppres
tersebut diatur koordinasi penataan ruang kawasan dilakukan oleh Menteri Pekerjaan
Umum, sedangkan koordinasi pengawasan terhadap kegiatan pembangunan dilakukan oleh
Menteri Negara PPLH5.
Sebelum itu, pada awal orde baru telah terbentuk embrio kelembagaan tata ruang
pada Departemen Cipta Karya dan Konstruksi (April 1965). Untuk Direktorat Perencanaan
Kota dan Daerah. Sampai dengan tahun 1994, Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah masih
bertahan di lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.
Pada tahun 1988-1990, dikembangkan “Konsep Penataan Ruang yang Tanggap terhadap
Dinamika Pembangunan Kota” yang lebih dikenal secara ringkas disebut “Konsep Tata
Ruang Dinamis”. Konsep ini bertujuan agar penataan ruang itu lebih membumi dalam
pelaksanaan yang dapat didukung berbagai program pembangunan di lingkungan
Departemen Pekerjaan Umum maupun departemen lainnya, melalui kelompok kerja
manajemen pertanahan, lingkungan hidup perkotaan, pendanaan dan investasi
pembangunan kota, kerjasama pemerintah-swasta dan masyarakat, serta kelompok kerja

kota baru dan perumahan skala besar. Kelompok-kelompok kerja itu melibatkan berbagai
instansi, antara lain Agraria, Perindustrian, Dalam Negeri dan Kantor Lingkungan Hidup6.
Munculnya Kelompok Kerja Manajemen Pertanahan yang melibatkan berbagai
institusi yang dikoordinasikan oleh Departemen Pekerjaaan Umum pada waktu itu
menunjukkan bahwa kesadaran bahwa persoalan tata ruang bertautan erat dengan
pertanahan dan lingkungan. Sejak itu penataan ruang mulai dirasakan perlu dan kemudian
dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional dengan Keputusan Presiden
Nomor 57 Tahun 1989 yang diketuai Menteri Negara PPN/Ketua BAPPENAS. Dalam hal
ini Direktorat Tata Ruang dan Tata Daerah (Ditada) tetap diperlukan untuk menyiapkan
berbagai rencana tata ruang. Saat itu juga disiapkan Strategi Nasional Pengembangan Pola
Tata Ruang (SNPPTR) secara terpadu melalui pendekatan wilayah. Strategi inilah yang
kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional. Istilah SNPPTR tersebut muncul pertama kali dalam
Undang-undang Nomor 13 tahun 1980 tentang Jalan7, jauh sebelum diterbitkannya UU
24/1992 tentang Penataan Ruang.
Pada tahun 1994, Ditada yang masih dalam lingkungan Direktorat Jenderal Cipta
Karya, berubah menjadi Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaam (BTPP). Pada
masa inilah terbit Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang
dalam pemabahasannya melibatkan Menteri Lingkungan Hidup yang pada waktu itu
dijabat oleh Emil Salim. Setelah itu ditindaklanjuti dengan dibentuknya Badan Koordinasi
Tata Ruang Nasional (BKTRN) melalui Keppres Nomor 75 tahun 1993 berdasarkan
amanat pasal 29 UU tersebut dan sebagai pengganti Keppres nomor 53 tahun 1989. Dalam
5 Arie D.D. Djoekardi & Isa Karmisa, tt. ‘Kelembagaan Penataan Ruang di Kementerian Lingkungan Hidup’
dalam Sejarah Penataan Ruang Indonesia.
6 Baca lebih detail dalam Renyansih & Budisantoso, tt. ‘Kelembagaan Tata Ruang di Lingkungan
Departemen Pekerjaan Umum sampai Departemen Kimpraswil’ dalam Sejarah Panataan Ruang Indonesia.
7 Ibid, Renyansih & Budisantoso, tt.

5

hal ini Direktorat BTPP berperan lebih sebagai “dapur”-nya BKTRN. Dalam dekade ini
pula kelembagaan penataan ruang naik kelas menjadi Direktorat Jenderal tersendiri
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah.
Kelembagaan penataan ruang pada kabinet era reformasi terakomodasi melalui
terbentuknya Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah (Kimbangwil) yang
Departemen ini merupakan departemen pertama yang sangat “berbau” penataan ruang,
meskipun masih ada Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum. Pada tahun 2001 terjadi
restrukturisasi kelembagaan yang melahirkan Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah yang merupakan gabungan dari Departemen Kimbangwil dan Menteri Negara
Pekerjaan Umum8. Kelembagaan terakhir yang menangani penataan ruang hingga
terbentukna Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, pada
Kementerian PU.
3. KELEMBAGAAN TATA RUANG EKSISTING
Secara kelembagaan, negara mempunyai kewajiban dalam
menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, yang pelaksanaan tugasnya negara memberikan kewenangan
penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah
daerah. Berdasarkan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah
dalam penyelenggaraan penataan ruang mempunyai wewenang dalam:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta
terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
d. kerja sama penataan ruang antarnegara dan pemfasilitasan kerja
sama penataan ruang antarprovinsi.
Sampai dengan terbantuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN) kelembagaan yang menangani penataan ruang adalah
Direktorat Jenderal Penataan Ruang pada Kementerian PU. Ditjend Penataan Ruang ini
mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di
bidang penataan ruang. Tugas pokok dan fungsi kelembagaan penataan ruang yang
ditangani oleh Ditjend Penataan Ruang menjadi terintegrasi dengan keagrariaan dan
pertanahan dengan terbentuknya Kementerian ATR/BPN. Bahkan berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, urusan
penataan ruang berkembang dari satu ditjend menjadi dua ditjend, yakni Ditjend Tata
Ruang dan Ditjend Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah.
Direktorat Jenderal Tata Ruang pada Kementerian ATR mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan tata
ruang dan pemanfaatan ruang, dan menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan tata ruang, koordinasi pemanfaatan ruang,
pembinaan perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang daerah;
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perencanaan tata ruang dan
pemanfaatan ruang;
d. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang perencanaan tata ruang dan
pemanfaatan ruang;
8 Ibid, tt.

6

e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang perencanaan tata ruang dan pemanfaatan
ruang;
f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Tata Ruang; dan
g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar, serta menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah
serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan
tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian pemanfaatan
ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
d. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengendalian pemanfaatan ruang
dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan
penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan
Penguasaan Tanah; dan
g. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Menteri.
Kedua kelembagaan tata ruang ini menunjukkan bahwa urusan penataan ruang
menjadi hal yang sangat penting dan bertautan dengan keagrariaan – pertanahan. Di
samping itu, munculnya kelembagaan pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan
tanah pada level ditjend menunjukkan bahwa aspek pengendalian adalah aspek yang sangat
strategis dan perlu mendapatkan perhatian. Hal ini sejalan dengan dicanangkannya
Program Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R) oleh
Ditjend Penataan Ruang, Kementerian PU pada tahun 2014 lalu. Program ini
dikedepankan, mengingat sudah saatnya mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan
ruang dan perencanaan tata ruang ke pengendalian pemanfaatan ruang (Hadimoeljono, B.
2013).
Program P5R ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang di pusat dan di daerah dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan serta menciptakan tertib tata ruang. Untuk mencapai tujuan tersebut,
sasaran yang hendak dicapai program ini adalah:
a. Terwujudnya tata kelola dan kelembagaan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan
ruang yang efektif dan efisien;
b. Peningkatan peran serta masyarakat atau komunitas dalam
pengawasan dan
pengendalian pemanfaatan ruang;
c. Tersedianya mekanisme/tata cara dalam manajemen pengawasan dan pengendalian
pemanfaatan ruang;
d. Tersedianya Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) pengawasan dan
pengendalian pemanfaatan ruang;
e. Terciptanya aparatur atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dalam
pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Meskipun belum operasional karena adanya restrukturisasi kelembagaan, tetapi
program ini sejalan dengan menguatnya rejim pengendalian pemanfaatan ruang sekaligus
dengan terbentuknya ditjend pengendalian pemanfaatan ruang dan pertanahan. Bahkan
7

content pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar yang berada dalam satu ditjend merupakan langkah
produktif dan sangat tepat dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan
tanah. Kata pentingnya adalah penyatuan pengendalian pemanfaatan ruang dengan
pengendalian penguasaan tanah, yang selama ini masih sektoral dan belum terhubung satu
sama lain.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan pembangunan dan pemanfaatan
ruang yang cenderung sektoral, maka dibentuklah Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional (BKPRN) melalui Keppres Nomor 4 Tahun 2009 tentang BKPRN. Pada awalnya
BKPRN ini berupa Tim Tata Ruang yang dibentuk melalui Keppres Nomor 57 Tahun 1989
tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional, kemudian berubah menjadi
Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) melalui Keppres Nomor 75 Tahun 1993
tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. BKTRN tersebut diketuai oleh
Menteri PPN/Ketua Bappenas. Pada tahun 2000, BKTRN ini berubah menjadi BKPRN
yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuin)
melalui Keppres Nomor 62 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional.
Terakhir, seiring dengan terbitnya UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, terbit pula
Keppres 4/2009 tentang BKPRN. Dalam konteks daerah dibentuk Badan Koordinasi
Penataan Ruang Daerah (BKPRD), baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota
melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman
Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
Pembentukan lembaga BKPRN dan BKPRD ini menunjukkan bahwa urusan tata
ruang adalah urusan yang kompleks, multisektor dan multidimensi sehingga dalam
penyelenggaraan penataan ruang harus melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan di
bawah satu koordinasi. Meskipun demikian, penyelenggaraan penataan ruang di daerah
secara khusus dilakukan oleh institusi atau SKPD pemerintah provinsi dan kab/kota. Ada
yang menjadi urusan Bappeda dan ada yang berada pada SKPD teknis (dinas), sesuai
dengan pengaturan kelembagaan pemerintah daerah masing-masing.
4. TANTANGAN KELEMBAGAAN TATA RUANG
Pada dasarnya perubahan nomenklatur kementerian tidak hanya sekedar berkenaan
dengan tugas dan fungsi kementerian berikut struktur organisasinya yang berubah, tetapi
juga ‘ruh’, semangat bahkan ideologi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga berubah.
Dalam hal ini penyatuan agraria, tata ruang dan pertanahan dalam satu kementerian
mempunyai landasan filosofis dan yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 33
ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat". Frase ‘dikuasai negara’, dalam hal ini negara tidak memiliki tetapi menguasi
dengan ‘Hak Menguasai oleh Negara’ (HMN), yang mempunyai wewenang mengatur,
mengelola, dan menyelenggarakan agar tanah-air Indonesia digunakan dan dimanfaatkan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan frasa ‘untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat’, mempunyai makna bahwa pemanfaatan sumberdaya alam bukan
untuk kepentingan negara atau pemerintah, tetapi untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Amanat pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, yang menurut Yance Arizona (2014) sebagai konstitusi agraria,
menjadi landasan yang kuat untuk mewujudkan agenda kesejahteraan rakyat melalui
pengelolaan agraria, ruang dan pertanahan secara terintegrasi. Disisi lain, Nawacita yang
dicita-citakan oleh Jokowi–JK, paling tidak memuat tiga agenda yang bertautan sangat
kuat dengan persoalan agraria, tata ruang dan pertanahan, yakni: (1) memberikan jaminan
8

kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang
kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan kesejahteraan
masyarakat dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta
hektar; serta (3) mewujudkan kedaulatan pangan melalui perbaikan jaringan irigasi dan
pembukaan 1 juta hektar sawah baru.
Berkaitan dengan konteks pengelolaan pertanahan (land management), Williamson9
mengemukakan bahwa “Land Administration Systems (LAS) provide the infrastructure for
implementing land policies and land management strategies in support of sustainable
development”. Dalam hal ini Sistem Administrasi Pertanahan yang menyediakan berbagai
infrastruktur untuk menerapkan kebijakan pertanahan dan strategi pengelolaannya dalam
mendukung pembangunan berkelanjutan, mutlak diperlukan dalam rangka memastikan
terwujudnya tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. LAS terdiri atas land tenure
(penguasaan tanah), land use (penggunaan dan pemanfaatan tanah), land value (penilaian
tanah), dan land development. Hal ini senada dengan yang tertuang dalam Land
Administration Guidelines yang diterbitkan oleh PBB10. Berkaitan dengan regulasi,
ternyata pengertian ‘agraria’ dalam UPPA hakikatnya adalah sama dengan pengertian
‘ruang’ dalam UU Penataan Ruang (Hutagalung, 2015).
Berkenaan dengan beberapa hal tersebut, beberapa peluang sekaligus tantangan
yang perlu direspon dan disiapkan secara kelembagaan dalam implementasi kebijakan
penataan ruang:
a. Harmonisasi regulasi dan content; Makna yang sama antara ‘agraria’ dalam UUPA dan
‘ruang’ dalam UUPR merupakan entry point dalam harmonisasi pengaturan penguasaan
tanah (land tenure) dan sumber-sumber agraria lainnya dengan penggunaan dan
pemanfaatan ruangnya. Kelembagaan penataan ruang dalam Kementerian ATR/BPN
harus mampu melakukan harmonisasi ini, mengingat kelembagaan tersebut sudah
berada dalam satu kementerian.
b. Menempatkan penyelenggaraan penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan) dalam bingkai land management. Dalam hal ini,
penguasaan dan pemilikan tanah merupakan satu kesatuan dengan penggunaan dan
pemanfaatan ruang. Secara administratif, proses pemberian hak atas tanah harus
terintegrasi dengan pemanfaatan ruangnya.
LPKS
ealp
nmma
bdbt
eMga
rUTaaP
isenAl
aenRn
nugBn
rePi
HemNn
aeg
kn
t

e
e
a
a l
n
a

T
/

Gambar 1. Skema Integrasi Pemberian Hak dan Penataan Ruang

9 Williamson, et all, 2010. Land Administration for Sustainable Development. ESRI Pres Academic
10 United Nations, 1996. Land Administration Guidelines, New York and Geneva.

9

c. Integrasi Kelembagaan Tata Ruang Daerah. Selama ini kelembagaan tata ruang di
daerah berada di pemerintah daerah, baik di Bappeda maupun di SKPD lainnya. Bahkan
ada pemda yang memiliki beberapa struktur institusi yang mengurusi tata ruang, misal:
di Bappeda ada Bidang Tata ruang, di Dinas PU juga ada Bidang Tata Ruang dan di
Sekretariat Daerah juga ada Bagian Tata Ruang. Sinkronisasi dilakukan oleh BKPRD
yang diketuai oleh Sekretaris Daerah. Dalam hal adanya beberapa struktur institusi tata
ruang yang berbeda-beda, maka perlu dilakukan integrasi menjadi satu SKPD teknis
yang berupa dinas, agar kelembagaan tata ruang daerah dapat berjalan dengan efektif
dan efisien. Disisi lain, pengelolaan agraria dan pertanahan dilakukan oleh Kanwil BPN
dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai institusi vertikal di bawah BPN. Dalam
hal ini, Kementerian ATR/BPN mempunyai ‘dua kaki’ di daerah, yakni Pemda dan BPN
Daerah (Kanwil dan Kantah). Dalam hal ini, sinkronisasi kelembagaan dilakukan oleh
Kementerian ATR/BPN.
d. Pengaturan hubungan antara kelembagaan tata ruang daerah dengan Kanwil BPN dan
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pengaturan hubungan ini penting dalam rangka
integrasi pemberian hak atas tanah (oleh BPN) dengan penggunaan dan pemanfaatan
ruang (oleh Pemda) yang keduanya berada di bawah koordinasi Kementerian ATR/BPN.
Beberapa hal di atas menjadi tantangan yang harus segera mendapatkan respon,
baik oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN maupun oleh Pemerintah Daerah.
Perbedaan kewenangan antara BPN sebagai lembaga vertikal dengan Pemerintah Daerah
sebagai lembaga pemerintahan yang otonom perlu dijadikan peluang yang produktif untuk
menguatkan sinkronisasi dan integrasi penyelenggaraan penataan ruang. Pengintegrasian
pemberian hak atas tanah dengan kebijakan penggunaan dan pemanfaatan ruang akan
memberikan kemudahan dalam proses-proses perijinan, sekaligus berperan dalam
pengendalian pemanfaatan ruang dan mengantisipasi terjadinya konflik penguasaan atas
tanah dan konflik penggunaan dan pemanfaatan ruang.
5. KESIMPULAN
a. Penyatuan agraria dan tata ruang dalam satu kementerian bukanlah suatu hal yang ahistoris, tetapi ‘senapas’ dengan konstitusi. Bumi, air dan kekayaan alam adalah makna
agraria secara konstitusi yang kemudian dijabarkan dalam UUPA. Makna ini inherent
dengan makna ruang dalam Undang-Undang Penataan Ruang;
b. Integrasi kelembagaan penataan ruang di daerah perlu dilakukan dalam rangka
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan penataan ruang sekaligus dalam sinkronisasi
kelembagaan tata ruang dengan kelembagaan pertanahan. dengan pengelolaan
pertanahan mutlak diperlukan agar terwujudnya tertib ruang dan tertib penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat terealisasi;
c. Perlunya integrasi dalam pemberian hak atas tanah dengan penggunaan dan
pemanfaatan ruang melalui perumusan kebijakan pengaturan kelembagaan tata ruang di
daerah dengan Kanwil BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

6. DAFTAR PUSTAKA
10

Arie D.D. Djoekardi & Isa Karmisa, (tt). ‘Kelembagaan Penataan Ruang di Kementerian
Lingkungan Hidup’ dalam Sejarah Penataan Ruang Indonesia (Jakarta: Ditjend
Penataan Ruang, Kementerian PU).
Arizone, Y. (2014). Konstitusionalisme Agraria. (Yogyakarta: STPN Press)
Badan Pertanahan Nasional, (1998). Dasawarsa Bhumibhakti Adhiguna. (Jakarta: BPN)
Hadimoeljono, B. (2013). ‘Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan
Pemanfaatan Ruang yang Efektif’ dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi
II Tahun 2013. (Jakarta: Direktorta Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas).
Hutagalung, AS (2015). Dibentuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang (tidak
dipublikasikan)
Luthfi, AN (2014). Pentingnya Kementerian Kompartemen Agraria. Diakses dari
http://koranopini.com/antitesis/item/2276-merancang-tugas-pokok-kementerianagraria
Renyansih & Budisantoso, (tt). ‘Kelembagaan Tata Ruang di Lingkungan Departemen
Pekerjaan Umum sampai Departemen Kimpraswil’ dalam Sejarah Panataan Ruang
Indonesia. (Jakarta: Ditjend Penataan Ruang, Kementerian PU)
Sekoleh Tinggi Pertanahan Nasional (2015). Transformasi Kelembagaan Dan Revolusi
Mental: Dari Badan Pertanahan Nasional Menuju Kementerian Agraria Dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional. (Yogyakarta: STPN, tidak dipublikasikan)
United Nations, (1996). Land Administration Guidelines. (New York and Geneva: UN).
Williamson, et all, (2010). Land Administration for Sustainable Development. (ESRI Pres
Academic)

11