Taksonomi Budaya Informasi dalam Konteks

006, 14 September 2012
EKOJI999 Nomor

BUDAYATIK

Artikel ini merupakan
satu dari 999 artikel
hasil bunga rampai
pemikiran dari Prof.
Richardus Eko Indrajit
di bidang sistem dan
teknologi informasi.
Untuk berlangganan,
silahkan kirimkan
email permohonan ke
indrajit@rad.net.id

Taksonomi Budaya Informasi dalam
Konteks Organisasi dan Korporasi
oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - indrajit@post.harvard.edu


1





Informasi dan Organisasi
Bagi organisasi semacam
perusahaan, informasi adalah
segalanya. Tidak saja karena
informasi merupakan bagian
dari proses penciptaan barang
dan jasa, namun hampir setiap
pengambilan keputusan penting
m a n a j e m e n m e m bu t u h k a n
infor masi yang berkualitas.
Namun pada kenyataannya,
tidak semua organisasi memiliki
“budaya informasi” yang serupa
- dalam arti kata, pada suatu titik

ekstrim terdapat organisasi yang
sangat kaku dalam menerapkan
prinsip pengelolaan terhadap
informasi yang dimilikinya,
sehingga sangat sulit bagi siapa
saja untuk meng aksesnya.
Sementara di sisi ekstrim yang
lain, cukup banyak ditemukan
organisasi yang liberal, dimana
secara bebas dan terbuka, siapa

saja yang ingin memperoleh
infor masi untuk keperluan
aktivitas organisasi sehari-hari
dengan mudah memperoleh dan
mengaksesnya.












 ! 
Ada cukup banyak studi yang
mencoba mengkategorisasikan
jenis budaya perlakukan dan
pengelolaan informasi dalam
sebuah organisasi berdasarkan
sejumlah karakteristik. Budaya
ini terbentuk dari sejarah dan
perilaku semenjak organisasi
yang bersangkutan berdiri dengan berbagai dinamika
perkembangannya. Mempelajari
dan memahami jenis budaya
yang dimiliki organisasi

sangatlah penting, karena akan
berpengaruh terhadap
pemilihan strategi yang sesuai
dalam setiap usaha untuk

membangun, menerapkan, dan
mengembangan sistem informasi
- terutama agar dipakai dan
bermanfaat bagi organisasi.
Selain itu, dengan mengetahui
jenis budaya informasi sebuah
organisasi, maka akan
membantu manajemen terutama
divisi yang berkaitan dengan
SDM dalam menentukan
struktur organisasi maupun
fungsional yang sesuai dengan
kebutuhan dan karekateristik
i n d i v i d u ya n g a d a d a l a m
organisasi dimaksud. Apakah

k e l a k ya n g d i p i l i h m o d e l
sentralisasi, desentralisasi,
maupun gabungan di antara
keduanya (hibrid), yang pasti
adalah struktur dikembangkan
setelah melakukan analisa
mendalam terhadap budaya
informasi dari organisasi.

(C) Richardus Eko Indrajit, 2012

EKOJI999 Nomor

006, 14 September 2012

Struktur Divisi Teknologi Informasi
antara Sentralisasi dan Desentralisasi
Prof. Richardus Eko Indrajit - indrajit@post.harvard.edu

    

Struktur organisasi terkait dengan manajemen informasi
sangat ditentukan dengan tingkat kematangan atau
penerapan budaya informasi di sebuah perusahaan. Max
Boisot dalam bukunya “Information and Organisations”
/'0&'A0+4+-#0 $6&#:# +0(13/#4+ 4'$#)#+ 46#56 4+45'/
kondusif yang mendukung terjadinya perilaku pertukaran
informasi antar individu maupun kelompok di dalam
organisasi. Dalam karyanya yang terkenal, yaitu Boisot’s
Model, yang bersangkutan mengatakan bahwa struktur
manajemen informasi akan sangat terkait dari karakteristik
informasi beserta konteks keberadaan organisasi yang
bersangkutan, sehingga dapat dikategorikan dalam dua
koordinat matriks:
< 1&+A'& 74 !0%1&+A'& = +0(13/#4+ &+#0))#2 4'$#)#+
%1&+A'& #2#$+.# &+$656*-#0 46#56 /'-#0+4/'
pengkategorian berdasarkan suatu standar kode tertentu,
seperti misalnya: zat dalam reaksi kimia, variabel dalam
(13/6.# A4+-# 2#0)-#5 &#.#/  -'/+.+5'3#0 � .#+0
4'$#)#+0:#  4'/'05#3# +0(13/#4+ :#0) 60%1&+A'& 4'3+0)
dijumpai dalam berbagai representasi seperti pada:

majalah, koran, televisi, radio, dan lain sebagainya.
< +((64'& 74 !0&+((64'& = +0(13/#4+ &+#0))#2 4'$#)#+
diffused apabila dapat diakses secara bebas oleh publik;
sementara dikategorikan sebagai undiffused apabila hanya
boleh diakses oleh sekelompok individu atau komunitas
tertentu.
  
Berdasarkan hasil risetnya, yang diilhami dengan teori Max
Boisot, Justin Keen menemukan adanya 5 (lima) jenis model
struktur manajemen informasi yang sangat dipengaruhi oleh
budaya informasi perusahaan terkait. Adapun kelima model
tersebut beserta karakteristiknya dijelaskan sebagai berikut.
'%*01%3#5+% !512+#0+4/ merupakan suatu sistem dimana
organisasi secara ketat, detail, dan konsisten mengatur
penciptaan, distribusi, dan penggunaan setiap kategori
informasi yang ada di perusahaan. Demi kelancaran proses
penyebaran informasi, disusunlah sejumlah prosedur dan
standar yang harus dipatuhi oleh setiap individu di dalam
menggunakan beragam perangkat teknologi informasi dan
komunikasi. Dengan kata lain, setiap individu di dalam

organisasi ini haruslah “information technology literate”
karena teknologi dan informasi telah menjadi asset berharga
yang tak terpisahkan dengan keberadaan perusahaan. Dalam
format ini biasanya terdapat sebuah unit teknologi informasi
yang bertugas “menjamin” tercapainya suasana budaya
informasi yang ketat dan “by the book” (sesuai aturan yang
disepakati).
Anarchy adalah suatu kondisi dimana perusahaan sama
sekali tidak memiliki kebijakan dan prosedur berkaitan
dengan manajemen informasi. Setiap individu diberikan
keleluasaan dan kewajiban untuk mengurus kebutuhan

2
















informasinya masing-masing, sesuai dengan peranan, tugas,
dan tanggung jawabnya di dalam organisasi. Perusahaan
hanyalah menyediakan teknologi dan jalur akses terhadap
berbagai sumber informasi terkait dengan bisnis perusahaan,
baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Tentu saja
dalam kerangka tersebut tidak akan ditemukan unit
organisasi yang mengurusi manajemen informasi, karena
perusahaan biasanya menyerahkan hak penyediaan
infrastruktur informasi dan komunikasi ke pihak ketiga
melalui cara outsourcing.
Feudalism terjadi apabila kebutuhan dan tata kelola
manajemen informasi dipegang atau “dimonopoli” oleh satu

#5#6 $'$'3#2#(60)4+ 13)#0+4#4+-*6464!0+560+513)#0+4#4+
inilah yang menentukan model, kategori, dan standar
informasi yang perlu dikelola oleh perusahaan dan
merekalah yang akan menyediakannya bagi seluruh individu
yang ada. Dalam format kerangka ini, biasanya para individu
dan unit lainnya akan sangat bergantung dengan divisi atau
departemen teknologi informasi yang dimaksud.
Dictatorship menempatkan posisi para pimpinan perusahaan
atau yang biasa disebut sebagai Dewan Direksi sebagai pihak
yang memutuskan dan mengontrol keberadaan informasi di
perusahaan. Dewan inilah yang akan menentukan tipe dan
jenis informasi yang dibutuhkan perusahaan, siapa saja yang
boleh memperoleh dan mengaksesnya, sampai dengan
struktur kontrol dan pelaporan manajemen terkait
dengannya. Ada atau tidaknya unit yang bertanggung jawab
terhadap teknologi informasi sangat ditentukan oleh
keputusan dewan tersebut.
Federalism dipandang sebagai sebuah sistem manajemen
yang cukup “demokratis” karena sejumlah pihak yang
berkepentingan mengadakan “konsensus” bersama mengenai

tata kelola informasi yang ada dan mengalir di perusahaan.
Bentuk konsensus yang dimaksud dapat bermacam-macam,
mulai yang sangat formal seperti kesepakatan membentuk
suatu unit atau komunitas khusus di masing-masing
fungsinya, sampai dengan yang infor mal seperti
2'/$'056-#0'8#0'38#-+.#0!4'34
     
Kesalahan klasik yang kerap dilakukan oleh manajemen
adalah langsung membentuk struktur unit teknologi
informasi beserta mekanismenya tanpa memperhatikan
tingkat kematangan budaya informasi di perusahaan. Tidak
perlu heran jika di negara maju dimana mayoritas
individunya memiliki “information literacy” dan “technology
literacy” yang tinggi, model anarchy kerap menjadi pilihan
utama karena dinilai demokratis dan menjunjung tinggi hak
individu untuk memilih dan menentukan informasi apa saja
yang relevan baginya. Sementara itu untuk sebuah
perusahaan yang sangat bergantung dengan informasi
namun baru pimpinan saja yang mengerti nilai strategisnya,
penerapan model dictatorship akan lebih efektif hasilnya
dibandingkan dengan model lainnya.

(C) Richardus Eko Indrajit, 2012

006, 14 September 2012
EKOJI999 Nomor

Contoh lainnya adalah penerapan model technocratic
utopianism yang biasa diimplementasikan oleh perusahaan
atau organisasi dimana kualitas informasi sangat menentukan
arah institusi seperti organisasi antariksa NASA, lembaga
intelijen negara, bursa saham, perpustakaan nasional, dan
lain-lain.

dan kekurangannya sendiri-sendiri. Yang perlu menjadi
perhatian manajemen dalam hal ini adalah pemahaman
yang utuh akan pemikiran di belakang konsep kedua sistem
tersebut, karena dengan demikian, maka mereka dapat
menentukan pendekatan mana yang cocok diterapkan di
perusahaan tempat mereka bekerja.

Pada kenyataannya tidak semua perusahaan telah mengerti
dan memahami fungsi strategis dari informasi di era
globalisasi saat ini. Sering dijumpai kasus dimana hanya
segelintir individu yang paham betul akan makna informasi
dan bagaimana pemanfaatannya dapat meningkatkan kinerja
64#*# 4'%#3# 4+)0+A-#0  0#/60 :#0) $'34#0)-65#0
mengalami kesulitan untuk meyakinkan mitra kerjanya yang
lain. Sementara itu tidak jarang pula ditemui perusahaan
dimana mayoritas manajemen dan karyawannya sangat
berniat untuk mempelajari seluk beluk informasi beserta
teknologinya, namun mereka yang telah memiliki
pemahaman tidak mau membagikan ilmunya kepada mereka
yang membutuhkan.


  

  
Jika melihat sejarah perkembangan teknologi informasi dan
ilmu sistem informasi, kebanyakan aplikasi perusahaan
dibangun secara ad-hoc sehingga tidak heran dalam
perkembangannya sering ditemui fenomena sistem aplikasi
tambal sulam. Biasanya masing-masing departemen atau
divisi membangun sistemnya sendiri-sendiri untuk
mendukung kegiatan fungsionalnya, seperti: sistem informasi
akuntasi dan keuangan, sistem informasi pemasaran dan
penjualan, sistem informasi operasional, sistem informasi
logistik dan pengadaan, dan lain sebagainya. Pada mulanya,
hal tersebut tidak mendatangkan permasalahan apapun.
Namun sejalan dengan perkembangan dunia usaha,
perusahaan mulai menyadari perlunya sejumlah proses lintas
fungsional yang mengharuskan data atau informasi mengalir
dari satu bagian ke bagian lainnya. Ketika berbicara masalah
integrasi inilah dijumpai permasalahan yang keseluruhannya
bermula karena faktor “incompatible” atau tidak dapat
berkomunikasinya satu sistem informasi dengan lainnya
karena adanya sejumlah perbedaan teknis seperti masalah
standar, protokol, teknologi, algoritma, metoda, dan lain
sebagainya. Pada saat inilah perusahaan mulai melirik
konsep sentralisasi karena mereka sangat membutuhkan
suatu sistem besar yang terpadu dan saling terintegrasi satu
dan lainnya. Fitur atau karakteristik dari sebuah sistem
sentralisasi antara lain:

Banyak orang yang salah mengartikan kalimat “information
is power”, dimana mereka menganggap jika
memberitahukan informasi yang dimilikinya, maka dengan
sendirinya “power” yang mereka miliki akan hilang. Padahal,
sesuai dengan yang pernah dikatakan Bill Gates dalam suatu
kesempatan, prinsip yang benar adalah “the power is coming
from the share of information; not from the hoard of
information”. Budaya membagi informasi harus meresap ke
dalam jiwa masing-masing individu jika ingin perusahaan
dimana mereka bekerja akan meningkat kinerjanya dari hari
ke hari.

< Strategi, kebijakan dan pendekatan manajemen informasi
berlaku seragam dan standar bagi seluruh unit organisasi
dengan kecenderungan tata kelola secara “top down”;
< Keputusan terkait dengan jenis sistem, tipe aplikasi,
45#0 $#4+4 # *#- #-4'4 42'4+A-#4+ 2'3#0)-#5 -'3#4
dan infrastruktur, dan lain sebagainya ditentukan oleh
pusat (sentral);
< !0+5 5'-01.1)+ +0(13/#4+ :#0) $'3#&# &+ 264#5 /'/+.+-+
kekuasaan dan/atau kewenangan yang jauh lebih besar
dan tinggi dibandingkan dengan unit serupa yang ada di
berbagai cabang perusahaan atau business unit; dan
< Computing power akan cenderung diletakkan di pusat
yang ditandai dengan diinstalasinya sejumlah powerful
servers dan datawarehouse yang berisi seluruh data
konsolidasi kantor-kantor cabang.

Sumber: Information and Organisation, 2003

Isu klasik yang sering mengundang perdebatan di kalangan
manajemen dalam menentukan sistem manajemen teknologi
informasi mana yang paling cocok untuk diterapkan adalah
menyangkut pemilihan antara pendekatan sentralisasi atau
desentralisasi. Terlepas dari sistem mana yang dipilih, tentu
saja masing-masing pendekatan tersebut memiliki kelebihan

3















Sistem sentralisasi memang menawarkan sejumlah kelebihan,
antara lain:
< Jaminan terbentuknya sistem yang holistik dan koheren di
seluruh tataran organisasi karena sifatnya yang standar dan
terpusat;
< Pertukaran data dan/atau informasi dapat dilakukan
deng an mudah karena keserag aman teknologi
penyimpanan data primer maupun sekunder;
< Potensi terjadinya “anarki” karena fenomena “tambal
sulam” dan kesulitan membangun “interface” dari
sejumlah sistem yang tersebar dapat direduksi seminimum
mungkin; dan lain sebagainya.

(C) Richardus Eko Indrajit, 2012

EKOJI999 Nomor

006, 14 September 2012

Namun pendekatan sentralisasi ini tidak luput pula dari
sejumlah kekurangan yang bagi beberapa perusahaan sangat
mengganggu keberadaannya, seperti:
< Kecenderungan yang terjadi adalah kontrol yang
berlebihan dan terlalu ketat hingga terjadi manajemen
informasi yang cukup kaku dan sangat hirarkis;
< Fokus lebih banyak diarahkan pada “conformity” atau
ketaatan pada prosedur standar sehingga mengurangi
sejumlah inisiatif yang terkadang dapat berguna bagi
perusahaan;
< Karena biasanya akan mengarah pada satu standar
tertentu, kerap perlu dikeluarkan biaya yang relatif jauh
lebih mahal dibandingkan dengan non-standar;
< Karena teknologi informasi terdiri dari sejumlah
komponen yang beragam, belum tentu masing-masing
komponen yang dipilih adalah yang terbaik (karena yang
penting bagi manajemen adalah kesamaan standar
sehingga terkadang kinerja atau perfor ma
dinomorduakan);
< Terkadang dalam perkembangannya ditemukan teknologi
baru yang canggih dan berguna bagi perusahaan, namun
-#3'0# 42'4+A-#4+0:# &+.6#3 45#0 2'364#*##0 /#-#
peluang tersebut dilepaskan begitu saja;
< Nature atau karakteristik dari perkembangan teknologi
informasi yang serba “open system” dan “open standard”
membuat sistem sentralisasi belum tentu memiliki
keunggulan kompetitif dibandingkan dengan pendekatan
lainnya;
< Asumsi yang selalu dipergunakan di dalam sistem
sentralisasi adalah kesamaan fasilitas dan performa di
seluruh unit bisnis perusahaan, padahal untuk di negara
kepulauan semacam Indonesia masalah infrastruktur dan
“digital divide” menjadi kendala utama yang kerap
menghambat efektivitas kinerja sistem; dan lain
sebagainya.

< Biasanya di dalam perusahaan akan terbentuk suatu tim
spesialis teknologi informasi yang berfungsi sebagai
penasehat atau konsultan internal untuk melayani
kebutuhan stakeholder dan user yang ada di dalam
perusahaan;
< Arsitektur teknis teknologi informasi akan menggunakan
sistem tersebar dan/atau terdistribusi dengan kekuatan
/#6260 42'4+A-#4+&+4'46#+-#0&'0)#060+5$+40+4 /#4+0)
masing; dan lain sebagainya.
Belakangan ini, semangat “demokratisasi” yang mewarnai
situasi makro maupun mikro perusahaan telah membawa
manajemen untuk menerapkan sistem desentralisasi karena
&+3#4#%1%1-&'0)#04+56#4+�-10&+4+64#*#=5'3.'$+*.'$+*
di Indonesia yang sedang menerapkan konsep otonomi
daerah.

    
Dengan mempelajari kedua sistem tersebut maka dapat
diambil kesimpulan bahwa sistem sentralisasi nampaknya
cocok diterapkan di perusahaan yang memiliki budaya
informasi “technocratic utopianism”, sementara sistem
desentralisasi sangat tepat untuk perusahaan yang memiliki
b u d a y a i n f o r m a s i “ f e d e r a l i s m ” . Ta b e l b e r i k u t
memperlihatkan sejumlah aspek utama yang membedakan
kedua sistem tersebut dalam versi ringkas.
Dengan memandang kedua sistem ini baik-baik, maka dapat
dilihat bahwa sebenarnya tidak terdapat “dilema” dalam
kaitan untuk memilih salah satu sistem yang terbaik. Belajar
dari pengalaman perusahaan yang sukses menerapkan sistem
sentralisasi maupun sistem desentralisasi adalah merupakan
sesuatu yang baik untuk dilakukan oleh manajemen
perusahaan agar mereka memiliki bekal dalam menentukan
sistem mana yang sesuai dan cocok untuk dianut. Beberapa
pelajaran menarik yang dapat diambil dari pengalaman
perusahaan sukses tersebut di antaranya adalah:

 
  
Tidak semua perusahaan merasa cocok dan tidak terganggu < Hal utama yang perlu dilakukan adalah meng-align atau
dengan kelemahan sistem sentralisasi yang disebutkan di atas.
menyelaraskan antara strategi teknologi informasi dengan
Kebanyakan dari mereka justru merasa sistem sentralisasi
rencana bisnis korporat (business plan), terutama yang
akan menghambat perkembangan bisnis perusahaan. Oleh
terkait dengan sejumlah milestone penting yang harus
karena itulah mereka mulai memutuskan untuk beralih ke
dicapai. Setelah tujuan tersebut jelas bagi seluruh pihak
sistem yang terdesentralisasi, dimana memiliki sejumlah
yang berkepentingan, barulah kemudian dilihat bagaimana
keunggulan dan karakteristik sebagai berikut:
/#0#,'/'0 +0(13/#4+ :#0) 2#.+0) '('-5+( 'A4+'0 �
terkontrol dengan baik dapat diimplementasikan oleh
perusahaan. Segala pro dan kontra antara sistem
< Seluruh unit bisnis perusahaan sepakat dengan sebuah
kerangka strategis sistem informasi korporat dan masingsentralisasi dan sistem desentralisasi baik untuk
masing akan mengembangkan sistem aplikasinya sendiridiungkapkan di sini untuk kemudian dievaluasi dengan
sendiri dengan berpegang pada kerangka tersebut sebagai
cara musyawarah atau melalui kajian kuantitatif (misalnya
acuan bersama agar keseluruhan sistem yang dibangun
dengan menggunakan metode scoring) untuk menentukan
dapat terintegrasi dan terpadu;
yang terbaik.
< '3#0)-#5 5'3-#+5 &'0)#0 #34+5'-563 � 42'4+A-#4+ # < Terlepas dari dianutnya sistem sentralisasi atau
informasi, aplikasi, perangkat keras, infrastruktur teknologi,
desentralisasi, unit terkait dengan teknologi informasi
kebijakan dan prosedur, beserta berbagai supratstruktur
berusaha keras untuk menyediakan seluruh perangkat
lainnya dikembangkan berdasarkan konsensus dan
infratruktur dan aplikasi dengan kinerja yang handal,
negosiasi bersama (perwakilan masing-masing unit bisnis);
sehingga para pengguna yang tersebar di berbagai unit
13)#0+4#4+ � 8+.#:#* )'1)3#A4  #5 &'0)#0 .'.6#4#
< Setiap pengambilan keputusan dilakukan secara bersamasama melalui forum resmi seperti rapat pimpinan unit
menggunakannya sesuai tingkat kebutuhannya masingbisnis, dewan perwakilan pengguna, kelompok kerja unit
masing. Dengan tersedianya infrastruktur yang berkualitas,
teknologi informasi, dan lain sebagainya;
maka seluruh kinerja unit teknologi informasi dinilai baik
oleh para stakeholder yang berkepentingan.

4















(C) Richardus Eko Indrajit, 2012

006, 14 September 2012
EKOJI999 Nomor

< Perlu selalu ditekankan tujuan dari disediakannya
perangkat teknologi informasi dan komunikasi adalah
untuk pemberdayaan atau empowerement terhadap setiap
individu yang ada di perusahaan. Oleh karena itu,
perusahaan khususnya para praktisi teknologi informasi
internal harus selalu berusaha keras untuk meningkatkan
kompetensi dan keahlian para user atau pemakai sistem
informasi. Sistem manajemen yang diimplementasikan
harus mampu menyelenggarakan berbagai pelatihan
(training) secara berkesinambungan dengan tujuan akhir
pemberdayaan tersebut.

< Portofolio beragam sumber daya aplikasi maupun program
yang ada pada teritori organisasi;
< Kemampuan serta kompetensi kolektif dari individu yang
berada dalam divisi terkait dengan sistem dan teknologi
informasi;
< Prinsip-prinsip bisnis dan strategi usaha yang dijadikan
panduan bersama dalam menyusun berbagai strategi
maupun pendekatan pengelolaan sumber daya organisasi;
dan lain sebagainya.

Sebagai tambahan, karena budaya dibentuk secara kolektif
oleh perilaku masing-masing individu dalam organisasi,
maka ada baiknya dipelajari pula jenis atau tipe dari masingmasing individu yang ada.

Sumber: Information and Organisation, 2003

Bukanlah merupakan rahasia umum dimana isu sentralisasi
dan desentralisasi kerap menjadi sebuah “permainan politik”
dari segelintir individu di dalam perusahaan, terutama
mereka yang memiliki kompetensi di bidang sistem,
manajemen, dan teknologi informasi. Mereka lebih
cenderung melihat kedua sistem tersebut dari sudut
“kepentingan” mereka saja, bukan perusahaan secara
keseluruhan. Satu hal yang perlu diingat, yaitu perusahaan
dan pemakai tidak perduli dipergunakannya sistem
sentralisasi atau desentralisasi, sejauh unit teknologi informasi
mampu menyediakan perangkat teknologi yang mereka
butuhkan pada saat yang tepat dan dengan kualitas yang
prima. Jiwa “user oriented” atau “customer oriented” inilah
yang akan menjadi kunci sukses tidaknya perusahaan dalam
mengelola sistem informasinya.

Sumber: Information and Organisation, 2003

Ada 4 (empat) jenis individu yang dominan dalam
pembentukan kultur atau budaya pengelolaan informasi di
organisasi, masing-masing:
< !4'32'0))60#:#0)/'/+.+-+%+3+4'$#)#+2+*#-2'-'3,#
yang menggunakan berbagai aplikasi dan tools untuk
menunjang aktivitasnya sehari-hari;
< 0B6'0%'3 2'/$'3+ 2'0)#36*  :#0) 4'0#05+#4#
memastikan adanya aplikasi atau tool untuk mendukung
aktivitas pekerjaan berbasis tim atau kelompok kerja;
< Advocate (penasehat) - yang merupakan pemberi motivasi
secara konsisten dan berkesinambungan agar sebanyak
mungkin individu di organisasi memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk mempermudah aktivitas
pekerjaannya; dan
< Expert (ahli) - yang memiliki tugas atau pekerjaan utama
untuk merancang serta memastikan dipilih dan
dipergunakannya teknologi terbaik yang sesuai dengan
kebutuhan organisasi.




Oleh karena itulah maka sering dipergunakan model
gabungan di antara keduanya, yang dikenal dengan istilah
“hybrid”. Dalam model pengelolaan ini, sejumlah proses dan
aktivitas pengelolaan teknologi informasi diputuskan untuk
dipusatkan (sentralisasi), sementara yang lainnya
/'0))60#-#0 /1&'. 5'34'$#3 &'4'053#.+4#4+ !056-
menentukan proses atau aktivitas mana saja yang perlu
dipusatkan dan mana yang didistribusikan, perlu dilakukan
kajian “governance” yang lengkap dan menyeluruh. Adapun Idealnya, jika keempat tipe individu dalam organisasi ini
hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan kajian &+)#/$#3-#0 4'%#3# )3#A4 #-#0 /'/$'056- $#0)60#0
piramid, dengan jumlah pengguna sebagai tipe terbanyak
dimaksud antara lain sebagai berikut:
dan ahli yang paling sedikit. Keempat tipe indidividu ini
< Jenis informasi yang dibutuhkan dalam konteks proses adalah kekuatan sebuah organisasi dalam membangun
bisnis organisasi atau perusahaan yang dianut, baik yang budaya atau kultur informasi berbasis teknologi yang
diharapkan. Dengan kerjasama keempatnya berdasarkan
bersifat core maupun supporting;
< Sumber dan karakteristik informasi yang dihasilkan serta semangat “one for all” dan “all for one”, maka nischaya
dikelola oleh organisasi yang bersangkutan, yang dikaitkan organisasi dimaksud akan cepat dalam pembentukan
kulturnya menuju institusi berbasis teknologi informasi dan
dengan arsitekturnya;
< Kapabilitas dan topologi jaringan infrastruktur yang dimilii komunikasi. (REI)
organisasi;

5















(C) Richardus Eko Indrajit, 2012